Ceritasilat Novel Online

Ratna Wulan 6


Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Ya Dewata Agung. Adiprana. Kau.. kaukah ini, Adiprana.? Anakku.!"

   Dengan isak tangis yang tak dapat ditahannya lagi, Puspamirah menubruk maju hendak memeluk pemuda itu, akan tetapi Adiprana mengulurkan kedua tangan dan menahan ibunya dengan memegang kedua pundak ledek itu.

   "Jangan memeluk aku! Jangan menyentuh aku! Aku bukanlah seorang di antara laki-laki yang tergila-gila kepada ledek Puspamirah!"

   "Adiprana.!"

   Puspamirah menjerit ngeri sambil memandang kepada wajah puteranya dengan air mata membanjir keluar dari kedua matanya. Tubuhnya menjadi lemas, tangisnya mengguguk membuat dadanya serasa akan meledak, kepalanya pening dan ia hanya dapat mengeluh berkali-kali,

   "Adiprana.ampun Gusti. kau. kau Adiprana. anakku sendiri."

   Dan akhirnya ia tak dapat mengeluarkan keluhan lagi, bahkan tak dapat bergerak sama sekali, ia berdiri dengan pundak terpegang oleh pemuda itu dan lehernya mejadi lemas sehingga kepalanya menunduk ke bawah. Puspamirah telah roboh pingsan karena tikaman pada batinnya yang amat hebat. Untuk sesaat Adiprana memandang dengan muka marah, akan tetapi lambat laun kemarahannya terganti kekhawatiran melihat keadaan ibunya. Ia mulai mengoyang-goyang pundak ibunya dan memanggil.

   "Ibu."

   Akan tetapi tubuh wanita itu masih saja menyandar pada pegangan kedua tangannya dan tak menajwab.

   "Ibu.! Ibu.!"

   Suara Adiprana mulai mengandung kekhawatiran. Kemudian ia memondong tubuh ibunya dan mengangkatnya keatas pembaringan yang berada didalam kamar itu.

   "Ibu. sadarlah. ampunkan anakmu, ibu."

   Sampai lama Puspamirah pingsan, sedangkan Ratna Wulan yang mengintai di luar bilik menjadi demikian terkejut sehingga tak dapat bergerak, hanya berdiri bagaikan patung. Tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa Adiprana adalah putera ledek Puspamirah ini. Ia merasa terharu melihat keadaan mereka, akan tetapi juga timbul rasa penasaran di dalam hatinya. Betapapun juga, ia tadi telah menyaksikan lagak Puspamirah dihadapan para tamu dan betapa ledek itu telah menjadi pujaan semua laki-laki yang berada disana. Benarkah ini ibu dari Adiprana, pemuda yang gagah perkasa itu? Hampir tak dapat ia mempercayainya! Akhirnya Puspamirah siuman dari pingsannya. Ia bangun dan duduk, memandang kepada Pemuda yang telah berdiri dihadapannya itu dengan mata sayu.

   "Adiprana, tak kusangka sama sekali bahwa kita akan berjumpa dalam keadaan begini."

   "Lebih-lebih aku, ibu. Kau tidak tahu betapa hancur hatiku melihat ibu menjadi ledek yang dipuja-puja oleh banyak lelaki. Sakit hatiku melihat ibuku menjadi seorang ledek umumyang di perebutkan oleh orang-orang kasar dan rendah, menjadi bahan cemooh, menjadi alasan perkelahian, menjadi bahan ucapan-ucapan kotor. Ibu, mengapa ibu tersesat sampai demikian jauh? Mengapa ibu menjadi ledek? Apa akan kata ayah apabila ia masih hidup? Ibu. ibu, kau mengecewakan hati anakmu!"

   Puspamirah menghela napas dan mengerakkan ujung selendangnya yang merah itu untuk menghapus air matanya.

   "Adiprana, kau terburu nafsu dan keras hati seperti mendiang ayahmu. Dengarlah, nak, ibu tidak sehina sebagaimana yang banyak orang kira. Tak perlu dihiraukan apa kata orang-orang, makin kotor ucapan yang keluar dari mulut seseorang, berarti makin rendahlah jiwa orang itu. Aku menjadi ledek bukan untuk menjadi bahan hiburan orang. Jangan anggap bahwa ibumu telah berlaku sesat, karena aku masih mempunyai kesucian hati. Biarkan mereka menghina, mereka menganggap apa saja, akan tetapi buktinya ibumu tidak melakukan perbuatan hina. Ketahuilah, Adiprana, aku menjadi ledek, menjadi penari dan penyanyi karena dua sebab. Pertama, memang aku terdorong oleh bakatku dan senangku akan tarian dan nyanyian. Ke dua, dan ini jauh lebih kuat, karena aku harus mencari uang. Kau tentu masih ingat, bahwa ibumu masih mempunyai orang tua, yaitu kakek dan nenekmu, mereka itu orang-orang miskin di dusun Tagen. Siapakah pula yang akan membantu mereka yang sudah tua kecuali ibumu ini? Jadi, aku menjadi ledek untuk mencari uang, untuk memberi makan kepada tiga orang, yaitu kakek nenekmu dan aku sendiri. Aku pun seorang manusia biasa yang harus makan, yang harus memakai pakaian."

   "Alasan ibu memang kuat, akan tetapi, mengapa pula ibu menyerahkan diri kepada seseorang adipati? Mengapa pula ibu sudi diambil selir oleh adipati itu? Bukankah hal ini tidak cocok dengan ucapan ibu tadi?"

   "Adiprana, kau duduklah, nak. Tega hati benar terhadap ibumu. Telah bertahun-tahun, setiap hari aku rindu sekali kepadamu, kepada anak tunggalku. Dan sekarang. setelah kau pulang. Aku seakan-akan merasa berhadapan dengan seorang hakim yang hendak memberi hukuman kepadaku.! Adiprana, benar-benarkah kau sekejam itu?"

   Kembali Puspamirah menangis.

   "Ibu sendiri yang membuat hatiku beku. Keadaan ibu yang membuat hati anakmu demikian kecewa sehingga menjadi keras laksana karang. Ibu, jawablah pertanyaanku tadi. Mengapa ibu sudi menjadi selir adipati itu?"

   "Anakku Adiprana, sebelum aku menceritakan hal ini, agar kau dapat percaya, biarlah aku bersumpah kepada Hyang Maha Agung bahwa yang akan kuceritakan ini bukan bohong. Ketahuilah bahwa aku menerima menjadi selir adipati itu karena mengingat akan kepentingan dan nasibmu, nak."

   Adiprana mengangkat muka dan memandang wajah ibunya dengan tajam.

   "Apa maksud ibu? Mengapa pula aku dibawa-bawa dalam hal penerimaan menjadi selir ini?"

   Tanyanya penasaran.

   "Sesungguhnya, anakku Adiprana. Tadinya ibumu telah mengambil keputusan untuk hidup menjanda sampai hari akhir. Akan tetapi, ketika datang pinangan dari adipati itu, aku memikirkan nasibmu kelak. Adipati itu adalah seorang yang amat berpengaruh dan besar kekuasaannya di Majapahit. Dengan perantaraan dan pertolongannya, akan mudah bagiku untuk menduduki pangkat yang tinggi di kerajaan! Oleh karena itu, nak, aku sengaja mengorbankan diriku agar kemudian kau akan dapat ditolongnya, diberi pangkat yang tinggi sesuai dengan pengharapanku!"

   "Siapa sudi menjadi pembesar di Majapahit! Ibu, perlu kiranya aku berpanjang cerita. Pendeknya aku tidak setuju sama sekaliakan kehendak ibu ini. Yang sudah lewat biarlah lalu. Lebih baik ibu turut aku saja pergi ke kaki Gunung Mahameru di mana aku tinggal bersama kawan-kawanku."

   "Siapakah kawan-kawanmu itu, nak?"

   "Ibu, aku telah menjadi pelatih dari pasukan orang-orang gagah yang bercita-cita luhur. Mereka Adalah bekas anak buah Bupati Rangga Lawe, dan lain-lain penglima yang telah gugur dalam pemberontakan mereka melawan tentara Majapahit. Mereka membuat persiapan untuk mengadakan pemberontakan."

   "Apa.?! Kau. kau menjadi anggota pemberontak? Kau, anakku yang kucita-citakan menjadi seorang pembesar di Majapahit, kau bahkan menjadi pelatih pemberontak? Ya Jagat Dewa Batara!"

   Puspamirah menjadi pucat sekali dan memandang kepada anaknya dengan kedua mata dibuka lebar.

   "Semoga Dewa Agung mengampuni kita! Aduh, bagaimana kalau sampai kangmas adipati mendengar tentang ini? Ah, Adiprana, lemparlah jauh-jauh pikiran itu, nak. Insyaflah, bahwa seorang yang sehina-hinanya. Dan pula, apakah yang akan kau andalkan? Majapahit adalah Negara yang besar dan yang memiliki banyak panglima sakti mandraguna. Ketahuilah, anakku, adipati yang mengambil ibumu menjadi selir adalah seorang yang amat sakti mendraguna dan kau akan dapat banyak belajar ilmu kesaktian daripadanya. Kau akan senang tinggal disini dan menjadi seorang yang benar-benar cocok dengan harapan ibumu, dengan harapan mendiang ayahmu."

   "Siapakah adipati itu, ibu? Agaknya ibu telah jatuh hati benar-benar kepadanya,"

   Kata Adiprana dengan suara menyindir sehingga dari luar bilik Ratna Wulan merasa gemas dan benci sekali kepada pemuda itu. Tak pernah disangkanya bahwa Adiprana dapat bersikap semacam itu kepada ibunya sendiri. Bagi Ratna Wulan, betapapun juga keadaannya, seorang itu tetap merupakan seorang ibu, orang yang paling suci di dunia ini, yang harus paling di hormat, di cinta dan di belanya. Akan tetapi, Adiprana yang dianggapnya sebagai laki-laki gagah dan baik itu, dapat bersikap demikian kasar terhadap ibunya, sungguhpun ada alasannya untuk bersikap demikian.

   "Adipati yang mengambil selir kepadaku, yang sekarang telah menjadi ayah tirimu itu, bukan lain adalah Adipati Kartika, seorang yang menjadi tangan kanan Sang Bagawan Mahapati, bahkan menjadi muridnya yang tersayang, oleh karena itu kesaktiannya telah terkenal di mana-mana!"

   Kata Puspamirah dengan bangga. Terkejutlah Adiprana mendengar ini sedangkan Ratna Wulan yang mendengarkan nama ini juga terkejut sekalidan tak terasa pula tangan kanannya memegang kerisnya. Jadi ibu Adiprana ini telah menjadi bini muda musuh besarnya, Kartika! Adiprana teringat akan cerita Ratna Wulan, maka hatinya menjadi amat gelisah mendengar bahwa ibunya telah diambil selir oleh Kartika yang menjadi musuh besar Ratna Wulan itu.

   "Aduh, ibu. Orang itu pula yang menjadi suami ibu! Celaka benar! Ibu, hal ini memperkuat niat hatiku. Ibu harus ikut aku ke hutan randu, berkumpul dengan kawan-kawanku, karena aku tidak sudi melihat ibu menjadi selir keparat Kartika itu!"

   "Adiprana.!"

   Puspamirah menjerit.

   "Jangan kau sekurang ajar itu!"

   "Tidak, ibu. Hatiku telah tetap, kemauanku sudah bulat. Aku hendak membantu Pasukan Candrasa Bayu menggempur Majapahit dan apabila kekuasaan yang sekarang ini dapat memegang pangkat pula. Bahkan. aku telah mempunyai calon jodoh, ibu! Dia seorang dara yang gagah perkasa, dan tinggal menunggu ibu meminangnya. Dialah yang membentuk Pasukan Candrasa Bayu. Maka marilah ibu turut aku pergi meninggalkan Kota Raja."

   "Menjadi pemberontak? Kau anakku menjadi pemberontak dan mantuku juga seorang pemberontak? Tidak, tidak! Kau tersesat anakku!"

   Pada saat itu, terdengar suara seorang laki-laki yang parau di luar pondok,

   "Mirah.! Apakah kau telah sampai di rumah dengan selamat? Aku amat mengkhawatirkan keadaaanmu!"

   Pintu depan didorong dari luar dan terdengar tindakan kaki yang berat. Puspamirah menjadi pucat.

   "Nah, itu dia kangmas Kartika datang. Jangan kau kurang ajar terhadap ayah tirimu, nak. Ia manis budi, akan tetapi kalau ia tersinggung dan sampai marah, celakalah kau!"

   Katanya sambil turun dari pembaringan dan menjawab.

   "Masuklah, kangmas adipati! Jangan khawatir, aku tidak apa-apa!"

   Sambil berkata demikian ia bergegas keluar dari kamar dan menyambut adipati itu di luar kamar. Melihat kekasihnya masih berpakaian sebagai penari, pendatang itu berkata tak senang.

   "Mirah, sudah berkali-kali kukatakan jangan kau menari di muka umum lagi.Tadi kumendengar tentang keributan itu dan bahkan mendengar tentang penculikan terhadapmu. Ah, kau benar-benar membuat gelisah hatiku, manis."

   Memang tadi sebelum datang kerumah ini, Kartika telah mendengar tentang keributan di medan pesta, maka ia buru-buru pergi ke rumah tumenggungan itu. Kartika adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lebih yang bermuka gagah. Brengosnya yang tajam melintang membuat ia nampak gagah seperti Raden Gatotkaca. Ia menjadi adipati yang ditakuti karena besar kekuasannya dan tinggi ilmu kepandaiannya.

   "Apa yang telah terjadi di sini?"

   Tanyanya dengan suara yang keren ketika ia datang ke tempat pesta dan disambut dengan penghormatan oleh semua orang. Dengan singkat tuan rumah menceritakan peristiwa tadi dan mendengar betapa Mas Ngabei Bajrabumi yang mulai membuat kekacauan, ia melangkah menghadapi bei gemuk itu. Dengan tubuh mengigil Bajrabumi memberi hormat dan berlutut.

   "Kau berani mengganggu Puspamirah?"

   Bentak Kartika kepada Bajrabumi.

   "Mohon di ampukan, raka adipati."

   Kata Bajrabumi dengan suara gemetar.

   "Enyah kau!"

   Seru Kartika dan kaki kirinya melayang mengirim sebuah tendangan. Tubuh yang gemuk itu terlempar jauh dan bergulingan, lalu merayap bangun dan pergi meninggalkan tempat itu. Ia masih merasa untung tidak dibunuh atau tidak dipecat dari kedudukannya.

   "Kalau dia tidak mabok, tentu akan kusuruh buang dia!"

   Kata Kartika. Kemudian ia menghadapi Indrayana yang masih berada di situ.

   "Raden Indrajaya, tahukah kau siapa tiga orang yang menyerangmu?"

   "Tidak, paman adipati, aku tak pernah melihat mereka sebelumnya."

   Kartika memang suka dan merasa sungkan kepada pemuda ini karena dia adalah kesayangan sang prabu. Maka hubungan mereka amat baik seperti sanak keluarga saja. Tukang kendang maju dan menceritakan dengan wajah pucat.

   "Dia adalah seorang pemuda yang tampan, gusti adipati. Akan tetapi, agaknya dia bukan orang sini, karena hamba belum pernah melihat atau mengenalnya."

   Dengan hati murung Kartika meninggalkan tempat itu setelah berkata keras.

   "Lain kali tidak boleh siapapun juga memanggil Puspamirah untuk menari. Ia kularang menari di depan umum, kecuali kalau dipanggil oleh sang prabu sendiri. Mengerti?"

   Semua orang bungkam tak berani bergerak. Demikianlah, Kartika lalu menyusul ke rumah Puspamirah dan ia menjadi girang melihat kekasihnya itu telah berada di rumah. Dengan senyum manis Puspamirah berkata kepada Kartika.

   "Kangmas adipati, harap kau jangan khawatir atau gelisah, karena sesungguhnya yang menculik hamba itu bukanlah orang lain, melainkan putera hamba sendiri Si Adiprana. Dia tidak suka melihat hamba menari di depan umum."

   "Bagus! Memang demikian seorang anak yang baik. Akupun tidak suka melihat kau menari dan bernyanyi di depan umum, sungguh amat merendahkan namaku. Di mana puteramu itu sekarang?"

   Puspamirah lalu menjengkuk ke dalam kamarnya dan memanggil Adiprana.

   "Ngger, anakku Adiprana, keluarlah dan jumpailah ayahmu!"

   Dengan muka merengut pemuda itu keluar. Kartika kagum melihat ketampanan wajah dan kegagahan sikap pemuda yang menjadi anak tirinya itu. Akan tetapi ia merasa tidak senang melihat pemuda itu memandangnya dengan mata bernyala dan sama sekali tidak menaruh hormat sedikitpun.

   "Adiprana, berilah hormat kepada kang mas adipati, yang telah menjadi Ayahmu, nak!"

   Puspamirah membujuk dengan hati gelisah. Akan tetapi, sebaliknya Adiprana memandang dengan bangis kepada Kartika dan berkata,

   "Tidak sudi aku memberi hormat kepada seorang pembesar berhati palsu."

   Bukan main marahnya Kartika mendengar ini. Brengosnya serasa berdiri dan sepasang matanya bernyala-nyala.

   "Keparat cilik! Apa dosaku maka kau datang-datang menghinaku? Kalau kau tidak lekas berlutut minta ampun, akan kuhajar kau!"

   Kartika melangkah maju dengan kedua tangan terkepal. Adiprana tersenyum mengejek.

   "Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku Adiprana sama sekali tidak takut. Kau mau memukul? Majulah kalau kau memang jantan!"

   Makin memuncak amarah di hati Kartika. Belum pernah ia ditantang orang secara begini menghina.

   "Jahanam!"

   Teriaknya dengan suara keras.

   "Kuhancurkan kepalamu!"

   Ia melangkah maju hendak menyerang Adiprana yang siap menanti serbuannya dengan tenang. Akan tetapi sambil menjerit dan menangis Puspamirah menubruk adipati itu dan merangkulnya, dan membujuk-bujuknya.

   "Kakangmas adipati, ampunilah dia. Ampunilah anakku."

   "Hm, kalau tidak melihat muka ibumu, sekarang kau telah menjadi mayat!"

   Kata Adipati Kartika yang masih marah itu.

   "Ha,ha! Kartika! Siapa takut akan ancamanmu? Jangan kau menggunakan nama ibu untuk menunjukkan kegagahanmu. Majulah kalau kau memang gagah, kau kira aku takut kepadamu?"

   "Eh, bocah keparat!"

   Kartika tak dapat menahan nafsu amarahnya lagi. Sekali ia menggerakkan tangan, puspamirah terpelanting ke pinggir, kemudian dengan geraman dahsyat ia menubruk, memukul ke arah dada Adiprana. Pemuda itu cepat menangkis dan ketika tangan mereka beradu, keduanya terhuyung mundur dua tindak. Adiprana terkejut akan tetapi tidak menjadi heran karena ia telah mendengar akan ke digdayaan adipatiini. Akan tetapi Kartika hampir saja berseru karena terkejutnya dan herannya. Bagaimana pemuda ini dengan tenaga penuh? Kalau orang lain yang menangkis pukulannya, tulang lengan lawan itu pasti akan patah!

   "Keparat! Tidak tahunya kau memiliki kesaktian juga. Pantas saja kau berani berlagak! Rasakanlah pukulan Brajakastala dari tanganku!"

   Sambil berkata demikian, Kartika menyerang lagi dengan pukulan yang dahsyat sekali. Pukulan ini benar-benar hebat, maka ia tidak berani berlaku gegabah dan cepat mengelak kesamping dengan cekatan dan balas menyerang yang dapat pula ditangkis oleh adipati itu. Adiprana dapat merasa betapa angin pukulan ini benar-benar hebat, maka ia tidak berani berlaku gagabah dan cepat mengelak ke samping dengan cekatan dan balas menyerang yang dapat pula ditangkis oleh adipati itu.

   "Adiprana. anakku, jangan.!"

   Puspamirah menubruk anaknya.

   "Adiprana tidak taatkah kau kepada ibumu?"

   Adiprana marah dan merasa sebal sekali. Ia merenggutkan diri dari pelukan ibunya dan melompat keluar dari pintu.

   "Adiprana.!"

   Puspamirah memekik sedih.

   "Aku ibumu. nak.!"

   Jawaban yang terdengar dari luar menyayat-nyayat hatinya.

   "Lebih baik aku tidak beribu.!"

   "Bangsat jahanam!"

   Adipati Kartika memburu keluar, akan tetapi Adiprana telah jauh meninggalkan rumah itu, langsung keluar dari Kota Raja. Hatinya terluka dan ia membenci ibunya sendiri. Dengan hati murung dan marah pemuda itu terus berlari, kembali ke kaki Gunung Mahameru dengan hati penuh dendam. Adipati Kartika masuk lagi dan menghibur Puspamirah, akan tetapi kini lenyaplah sikap mencinta dari wanita ini. Dengan sedih ia menangis terus, tidak memperdulikan Kartika sehingga adipati itu akhirnya kewalahan dan pergi dengan hati kecewa. Tengah malam telah jauh lewat dan Kartika dengan hati kecut berjalan pulang menuju ke gedungnya.

   Bulan bersinar terang, akan tetapi hati adipati itu amat gelap dan rusuh. Ia merasa kecewa melihat putera Puspamirah memusuhi dan membencinya, oleh karena dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa pemuda itu memiliki kepandaian cukup tinggi dan tentu akan merupakan seorang pembantu yang amat boleh diandalkan kalau saja tidak demikian membencinya. Ayam telah mulai berkeruyuk ketika ia tiba di dekat gedungnya. Tiba-tiba ia terkejut karena dari balik pohon melompat keluar sesosok bayangan orang. Ia menyangka bahwa orang ini tentu Adiprana yang hehndak menyerangnya, makaia berlaku waspada dan menunda langkah kakinya. Akan tetapi biarpun orang inipun seorang pemuda yang lebih elok daripada Adiprana. Pemuda ini menghadang di depannya sambil bertolak pinggang dan sepasang matanya nampak berkilat di bawah sinar bulan purnama.

   "Siapakah kau dan apa maksudmu menghadang di jalan? Tidak kenalkah kau kepada Adipati Kartika?"

   Bentak Kartika dengan marah karena dalam keadaan seperti itu ia tidak suka di ganggu. Akan tetapi pemuda itu tertawa bergelak dan menjawab,

   "Tentu saja akukenal padamu, Kartika. Dan alangkah beruntung kudapat mengenalmu ketika kau beradadi rumah Puspamirah tadi! Kalau kau tidak di sana, mungkin bertemu di jalanpun aku takkan mengenalmu!"

   Mendengar ucapan yang sama sekali tidak menaruh hormat kepadanya itu, maklumlah Kartika bahwa pemuda ini tidakmempunyai niat baik, maka ia berlaku makin waspada.

   "Siapakah kau pemuda kurang ajar?"

   "Kartika, ketahuilah bahwa aku sengaja mencarimu dari tempat jauh untuk menangih hutangmu. Masih ingatkah kau kepada Nagawisena?"

   "Apa hubunganmu dengan mendiang Nagawisena?"

   Kembali pemuda itu tertawa bergelak. Biarpun suara ketawanya merdu, akan tetapi cukup membuat Kartika merasa tak enak hati dan bulu tengkuknya meremang.

   "Manusia Khianat! Ingatkah kau ketika membunuh Nagawinsena dengan cara yang rendah dan curang?Akulah anaknya! Ayahku telah tewas karena kecuranganmu dan ibuku menderita bertahun-tahun karena keganasanmu itu. Sekarang bersiaplah kau untuk binasa dalam tanganku!"

   Kartika tertegun. Dahulu ia telah menjadi sahabat yang amat karib dari Nagawisena, bahkan ia jatuh cinta kepada Dara Lasmi, isteri sahabat karibnya itu. Ia kenal baik keluarga Nagawisena dan sering kali ia dan sahabatnya itu kunjung-mengunjungi, maka ia tahu bahwa sahabatnya tidak mempunyai anak laki-laki.

   "Ha, kau bohong! Kau penipu dari manakah berani mati sekali mengaku sebagai putera Nagawisena? Aku lebih tahu bahwa Nagawisena tidak mempunyai putera laki-laki, hanya mempunyai anak perempuan seorang saja! Jangan kau hendak menipu aku!"

   Ratna Wulan pernah mendengar penuturan ibunya bahwa Kartika dahulunya memang sahabat karib ayahnya, bahkan seringkali mengunjungi ayah bundanya, maka ia tidak merasa heran mendengar ini, bahkan lalu bertanya.

   "Kalau kau tahu bahwa Nagawisena mempunyai seorang puteri, tahukah kau siapa nama anaknya itu?"

   "Tentu saja aku tahu, bukan seperti kau yang hanya mengaku-aku. Anaknya itu adalah Ratna Wulan, dan isterinya bernama Dara Lasmi puteri Malayu."

   "Kartika, buka matamu lebar-lebar jahanam! Akulah Ratna Wulan yang datang hendak mengambil nyawamu!"

   Sambil berkata demikian, Ratna Wulan merenggut ikat kepalanya sehingga rambutnya yang panjang hitam itu terurai di atas pundaknya.

   Juga jubahnya ia buka sehingga kini ia memakai baju kutang yang berwarna hitam. Sebentar saja pemuda tampan itu berubah menjadi seorang dara jelita yang amat gagah dan cantik. Kartika berdiri melongo dan hatinya berdebar keras. Kalau tadi ia menghadapi Ratna Wulan yang masih dianggapnya seorang pemuda itu dengan hati tabah dan memandang ringan, kini ia merasa gelisah sekali oleh karena gurunya, yaitu Bagawan Mahapati, pernah berpesan kepadanya agar supaya ia berhati-hati menhadapi lawan seorang wanita. Wanita memang seorang makhluk lemah, akan tetapi apabila wanita itu telah menjadi seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka orang itu tak boleh di pandang ringan. Sekarang Ratna Wulan telah berani masuk ke Kota Raja untuk mencarinya dan membalas dendam, maka tentu saja gadis ini telah memiliki ilmu yang tinggi.

   "Ratna Wulan.! Benar, kau Ratna Wulan, karena kau mirip sekali dengan Dara Lasmi ibumu! Ratna Wulan, janganlah kau memusuiku, nak. Ketahuilah bahwa aku, pamanmu ini dahulu seringkali memondongmu dan menimang-nimangmu ketika kau masih kecil sekali. Apakah kau hendak mengangkat senjata melawan pamanmu?"

   "Cih! Pandai sekali kau bermanis bibir! Mengapa kau tidak ingat akan hal itu ketika kau membunuh dan mencurangi mendiang ayahku? Hayo, cabutlah kerismu, kita membuat perhitungan sekarang dan di tempat ini juga!"

   "Jangan, Ratna Wulan, jangan kita mengadu nyawa!"

   "Pengecut! Jahanam! Kau yang telah berani mengkhianati ayah, demikian kecil dan pengecutkah hatimu sehingga tidak berani melawan seorang dara?"

   
Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Terbangunlah keangkuhan Kartika mendengar caci maki ini.

   "Ratna Wulan, siapakah yang takut kepadamu? Tidak, aku tidak takut, hanya aku merasa sayang kalau-kalau kau akan menjadi kurban pusakaku. Sampai berapa tinggikah kepandaianmu maka kau berani menantang Adipati Kartika?"

   "Tutup mulut! Lebih baik membiarkan kerismu bicara daripada mulutmu yang busuk dan berbisa itu!"

   Setelah berkata demikian, Ratna Wulan mencabut keris pusaka Banaspati dan memasang kuda-kuda untuk membuka serangan. Melihat sinar panas yang memancar keluar dari pusaka Banaspati itu, Adipati Kartika terkejut sekali dan ia maklum bahwa gadis yang menjadi musuhnya ini memilki keris pusaka yang ampuh. Maka ia lalu mencabutpula kerisnya, juga sebuah keris pusaka pemberian gurunya.

   "Kaulah yang menghendaki pertumpahan darah, Ratna Wulan. Ibumu akan memaafkan aku apabila ia Tahu bahwa kaulah yang memaksaku mencabut keris untuk menghadapimu. Ini hanyalah pembelaan diri dariku!"

   "Jangan banyak cakap!"

   Teriak Ratna Wulan yang segera mulai menyerang dengan kerisnya. Serangannya ganas dan dahsyat sekali sehingga Kartika kembali merasa terkejut melihat kecepatan gerakan gadis ini. Ia tidak berani memandang rendah dan cepat menangkis dengan kerisnya. Dua bilah keris pusaka itu ketika beradu menimbulkan percikan bunga api.

   Karena maklum bahwa menghadapi gadis ini tidak boleh dilakukan dengan main-main, Kartika lalu membalas dengan serangan yang cepat pula sehingga sebentar saja keduanya telah bertarung dengan seru, sengit, dan mati-matian. Hati Ratna Wulan yang penuh dendam membuat gerakannya amat dahsyat dan ganas sehingga Kartika harus berlaku hati-hati dan waspada sekali. Ia maklum bahwa untuk mengalahkan lawannya yang tangguh ini, ia tidak boleh menaruh hati kasihan lagi dan harus berdaya mendahuluinya, merobohkan atau membinasakan gadis ini. Maka dikeluarkanlah ilmu kerisnya yang hebat, latihan dari gurunya Bagawan Mahapati. Kerisnya bergerak-gerak laksana seekor ular hidup yang menyambar-nyambar dengan bengisnya, mengarah bagian-bagian yang mematikan, leher, uluhati, lambung, perut dan pusar.

   Akan tetapi, Ratna Wulan bukanlah seorang yang memiliki kepandaian biasa saja. Ia telah digembleng bertahun-tahun oleh Panembahan Mahendraguna, dan ilmu kerisnya selain cepat, juga kuat sekali sehingga ke mana saja Kartika menyerang, selalu dapat ditangkis atau di elakkannya. Jika dibuat perbandingan, Kartika menang tenaga dan menang pengalaman berkelahi, akan tetapi dalam hal gerakan, ia masih kalah cepat dan kalah tangkas. Selagi mereka ramai bertarung, lewatlah tiga orang peronda di tempat itu. Alangkah terkejutnya hati mereka melihat Kartika sedang berperang tanding melawan seorang dara perkasa yang luar biasa tanguhnya, maka beramai-ramai mereka maju mengeroyok mereka dengan tombak mereka.

   "Mundur!"

   Teriak Kartika mencegah mereka akan tetapi terlambat. Mereka telah menerjang maju dan ketika dengan tombak, mereka menusuk dan meyerang Ratna Wulan dari tiga jurusan,

   Gadis itu melompat dan meninggalkan Kartika, menyambut ketiga orang penyerangnya itu dengan keris di tangan. Tiga orang peronda itu hanya melihat bayangan cepat berkelebat dan dua orang di antara mereka menjerit dan roboh mandi darah karena yang seorang tertusuk keris Banaspati dan tewas di saat itu juga, sedangkan seorang lagi kena dirampas tombaknya dan ditusuk dengan tombaknya sendiri sehingga terluka parah dadanya! Seorang lagi mundur ketakutan lalu. berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu untuk memberi laporan dan minta bantuan! Bukan main terkejutnya hati Kartika melihat kehebatan sepak terjang Ratna Wulan ini, sehingga ia menjadi gentar dan permainan kerisnya agak kalut. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ratna Wulan yang segera mendesak dengan amat hebatnya.

   Pada suatu saat, ketika Ratna Wulan menusuk ke arah dada Kartika dengan kerisnya, dibarengi bentakan nyaring yang amat berpengaruh, Kartika mengelak ke kanan dan tangan kirinya lalu memukul ke arah kepala lawannya dengan mengerahkan aji kesaktian yang disertai mantra ini apabila mengenai sasaran, kepala mungkin akan pecah berantakan! Namun, Ratna Wulan sudah dapat merasakan angin pukulan yang laur biasa ini, maka dara perkasa ini menggeser kakinya ke kanan dan menghabiskan tangan kiri melakukan tangkisan sambil mengerahkan tenaga sakti dalam tangan kirinya. Betapapun juga, ia masih terhuyung mundur ketika tangannya beradu dengan tangan Kartika, tanda bahwa tenaga aji kesaktian SiGunting itu benar-benar luar biasa kuatnya.

   Ratna Wulan menjadi penasaran dan sambil memekik keras ia lalu menubruk maju, menyerang dengan keris dibarengi pukulan tangan kirinya yang melakukan tamparan dengan ajinya Astadenta (Tangan Gading), kemudian disusul pula oleh tendangan kilat yang menyambar ke arah pusat lawannya. Inilah serangan yang luar biasa hebatnya, karena ketiga-tiganya, baik tusukan kerisnya ke arah leher maupun pukulan Astadenta ke arah pusar, merupakan serangan-serangan yang dapat membawa maut. Kartika terkejut bukan main dan cepat berusaha menyelamatkan diri. Dengan tangan kirinya ia menangkis pukulan Astadenta ke arah lambung dan mengeser kakinya untuk mengelak tendangan ke arah pusar, sedangkan tusukan keris Ratna Wulan ia tangkis dengan keris pula.

   Akan tetapi ia tidak mengira bahwa pukulan Astadenta akan demikian hebatnya. Ketika tangan kirinya beradu dengan tangan kiri Ratna Wulan yang memukul, ia berseru kesakitan dan merasa betapa pergelangan tangannya sakit sekali seakan-akan seratus batang jarum ditusuk-tusukkan ke dalam tulangnya. Hal ini membuat kedudukannya menjadi lemah sekali dan sungguhpun ia dapat menghindarkan diri dari ketiga seranganitu, akan tetapi ia telah membuka lowongan bagi Ratna Wulan untukmengirim serangan berikutnya tanpa berkesempatan membalas serangan itu. Ratna Wulan yang bermata tajam tidak mau membuang kesempatan baik ini, dan ia cepat sekali mengajukan kakinya, dan kerisnya menyambar bagaikan petirnya kearah ulu hati lawannya.

   "Celaka!"

   Kartika berseru keras dan membuang diri ke kanan untuk mengelak dari serangan ini, akan tetapi ia kurang cepatdan "Bret!"

   Bajunya terobek oleh ujung keris Banaspati dan darah mengalir membasahi bajunya karena dadanya yang sebelah kanan berikut sedikit dagingnya telah terbeset oleh keris itu.

   "Mati aku!"

   Kartika menjerit dan cepat ia melompat ke belakang sambil berjungkir balik. Gerakannya ini amat cepat dan indahnya sehingga Ratna Wulan memandang kagum. Dalam keadaan terluka, Kartika masih dapat menyelamatkan diri dengan lompatan yang amat luar biasa dan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang telah tinggi ilmu kepandaiannya.

   "Bangsat, jangan lari!"

   Ratna Wulan megejar dan mengirim serangan pula. Akan tetapi kedudukan Kartika telah baik kembali, dan sungguhpun ia merasa betapa kulit dadanya terasa panas dan perih sekali terkena hawa yang keluar dari keris pusaka kayai Banaspati,

   Dan tangan kirinya juga terasa linu dan lumpuhterkena hawa pukulan Astadenta, namun ia masih dapat menggerakkan kerisnya dan melakukan perlawanan dengan amat gigihnya. Pertempuran itu berjalan amat lama dan sementara itu, cahaya matahari mulai mengusir cahaya bulan purnama dan keadaan mejadi makin terang. Peluh telah mengucur pada keseluruh muka Kartika. Ia merasa lelah dan gelisah sekali. Tak pernah disangkanya bahwa anak Nanawisena akan demikian tangguhnya Sukar untuk dapat percaya bahwa seoranga anak dara yang usianya baru belasan tahun ini akan dapat memiliki ilmu kepadaian setinggi ini, sehingga tidak saja dapat menghadapi dan melawannya, bahkan berhasil melukainya dan mendesaknya dengan keris!

   Kalau Kartika mulai lelah dan main mundur saja, adalah Ratna Wulan makin gagah dan makin cepat gerakannya. Dara perkasa ini makin bernafsu melihat betapa usahanya membalas dendam sudah mendekati hasil. Ia mengeluarkan seluruh kepandaian yang penah dipelajari dan mendesak tanpa mengenal ampun lagi sehingga Kartika makin ketakutan. Sebuah tusukan telah mampir di kulit pundaknya lagi sehingga darah telah membasahi bagian dada dan pundaknya, akan tetapi adipati yang banyak pengalaman berkelahi ini masih saja dapat mempertahankan dirinya. Ia mengambil keputusan untuk mempertahankan diri sampai titik untuk mengadu nyawa dengan gadis ini! Pada saat Ratnwulan sudah mendesak hebat kepada musuh besarnya, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan orang dan munculah dua orang yang diringkan oleh sepasukan bersenjata tombok dan perisai.

   Orang yang datang ini adalah seorang kakek berjubah putih, memegang tongkat hitam dan gerakannya ketika berlari masih amat cepatnya. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang amat tampan dan juga cepat gerak-geraknya. Mereka ini bukan lain adalah Sang Bagawan Mahapati sendiri bersama Raden Mas Indrajaya! Kebetulan sekali Raden Mas Indrajaya mengunjungi gedung Adipati Kartika untuk membicarakan tentang kedatangan dua orang pemuda aneh di Kota Raja karena Indrajaya merasa curiga dan juga ikut merasa bertanggungjawab atas keselamatan keraton Majapahit. Dia adalah seorang pemuda yang amat setia kepada rajanya. Ketika mendengar bahwa Kartika sedang pergi semenjak malam tadi mencari Puspamirah,

   Ia lalu mengadakan pertemuan dengan Bagawan Mahapati yang bertempat tinggal di gedung Kadipaten itu pula, dan bercakap-cakap karena memang Raden Indrajaya seringkali mengadakan pembicaraan dengan Bagawan yang sakti itu. Pada saat mereka sedang bercakap-cakap, datanglah peronda yang melaporkan dengan wajah pucat bahwa Kartika sedang bertempur melawan seorang dara pendekar yang amat sakti dan luar biasa. Maka berangkatnya Mahapati bersama Indrajaya ke tempat itu, dikuti oleh sepasukan penjaga. Kedatangan mereka tepat pada waktunya, karena dengan sebuah tendangan kakinya, Ratna Wulan telah berhasil membuat keris di tangan Kartika terpental dan ia sudah siap untuk menembusi jantung musuh besarnya itu dengan Kyai Banaspati. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat menusuk kearah pergelangan tangannya di barengi bentakan.

   "Lepaskan senjata!"

   Namun Bagawan Mahapati terkejut sekali karena tangan yang diserangnya itu dapat mengelak cepat dan bahkan mengirim tusukan ke arah perutnya. Ia cepat melompat mundur dan Ratna Wulan berdiri memandangnya dengan mata bercahaya marah.

   "Hm, tentu inilah orangnya yang disebut Bagawan Mahapati, dukun lepus itu!"

   Ia memaki.

   "Siapakah kau, perempuan muda yang liar?"

   Tanya Bagawan Mahapati memandang kagum karena belum pernah ia bertemu dengan dara yang sehebat ini. Sementara itu, dengan napas terengah-engah Kartika melangkah maju dan berdiri di belakang gurunya. Sedangkan Raden Indrajaya juga memandang dengan penuh perhatian. Ia serasa sudah pernah melihat wajah yang cantik jelita ini dan tak terasa pula hatinya berdebar aneh. Begitu melihat wajah yang ayu dan potongan tubuh yang denok itu, sekaligus ia tergila-gila dan jatuh hati. Sementara itu, Ratna Wulan dengan amat marahnya menjawab.

   "Kau mau tahu siapa adanya aku? Tanyakan saja kepada si keparat Kartika itu! Kalau saja ia bukan seorang pengecut yang paling rendah dan hina-dina, suruhlah ia mengambil kerisnya untuk melanjutkan pertempuran ini! Biarlah kita sama saksikan, apakah benar-benar Adipati Kartika seorang gagah ataukah seorang pengecut besar!"

   Akan tetapi semua orang dapat melihat bahwa keadaan Kertika telah amat payah, maka Bagawan Mahapati lalu berkata dengan keren karena ia marah juga melihat betapa muridnya yang tersayang itu dikalahkan dan terluka.

   "Bocah! kau masih kecil akan tetapi telah besar kepala! Kau telah berani menyerang seorang adipati, berarti menyerang memberontak terhadap kerajaan. Menyerahlah baik-baik, mungkin kau masih akan dapat diampuni."

   Sementara itu, diam-diam Indrayana berdiri terheran-heran, oleh karena semalam ini ia telah melihat dua orang muda yang luar biasa dan sakti mengacau di Kota Raja. Hati Ratna Wulan amat marah, gemas dan kecewa melihat betapa Indrayana, pemuda yang menambat hatinya itu, ternyata datang bersama dengan Bagawan Mahapati dan agaknya menjadi sekutu Kartika, maka dengan mengacungkan kerisnya.

   "Bagawan Mahapati! Enak saja kau bicara! Dengarlah, aku adalah puteri dari Nagawisena yang sengaja datang hendak membalas dendam kepada keparat Kartika! Kalau kau hendak membelas muridmu, majulah kau dan semua kaki tanganmu ini!"

   Ia mengerling kepada Indrajaya dengan pandang merendahkan.

   "Jangan maju sendiri, majulah kau berbareng, aku Ratna Wulan anak Mahameru sama sekali tidak takut menghadapi kalian!"

   Ratna Wulan benar-benar marah sehingga ia mengeluarkan sesumbar dan tantangan yang amat sombongnya.

   "Eh, sombong dan keras kepala anak ini!"

   Bagawan Mahapati berkata.

   "Kau agaknya tak boleh diberi hati. Kau belum tahu akan kesaktian Mahapati!"

   Sambil berkata demikian sepasang mata bagawan ini menatap wajah Ratna Wulan dengan amat tajamnya, seakan-akan sepasang mata itu bernyala bagaikan mata seekor harimau. Kemudian bagawan itu membaca mantra dan tiba-tiba ia membentak dengan suara yang amat berpengaruh.

   "Ratna Wulan, berlututlah engkau!"

   Bukan main hebatnya kesaktian ini. Pengaruh bentakan ini membawa tenaga yang gaib dan luar biasa sehingga dengan bentakan ini saja, Bagawan Mahapati telah banyak menundukkan dan mengalahkan lawan tanpa mengangkat tangannya. Seekor singa buas pun akan mendekam dan bertekuk lutut mendengar bentakan yang amat berpengaruh oleh karena mengandung tenaga batin yang amat kuat ini. Ratna Wulan tidak kuat menerima pengaruh ini dan tiba-tiba ia bertekuk lutut. Akan tetapi hanya untuk sebentar saja, oleh karena begitu lututnya menyentuh tanah ia telah melompat lagi dan berdiri tersenyum memandang kepada Bagawan Mahapati. Kakek sakti itu terkejut sekali melihat kekebalan mantranya, maka ia berseru.

   "Kartika, mari kita tangkap dia! Kakek ini telah melihat sendiri ketangguhan dara perkasa itu, maka dengan amat licik ia memerintahkan kepada muridnya untuk mengeroyok! Ratna Wulan telah merasa lelah, dan sekarang dikeroyok dua oleh Kartika yang mempergunakan lagi kerisnya dan Bagawan Mahapati yang mainkan tongkatnya secara hebat sekali.

   Hanya dengan kegigihan Ratna Wulan saja yangmembuat ia masih dapat mempertahankan diri sampai lama, membuat kagum hati Indrayana dan menggiriskan hati Kartika. Akhirnya, karena tenaga sudah mulai habis dan telapak tangan memegang gagang keris udah penuh peluh, ketika Mahapati menyerang (Lanjut ke Jilid 06 - Tamat)

   Ratna Wulan (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06 (Tamat)

   dengan tongkat dan ia menangkis, kerisnya terlepas dari tangan. Mahapati menubruk dan dengan mudah dapat meringkusnya, Ratna Wulan lalu dibelenggu tangannya. Sebagai seorang tawanan, Ratna Wulan hendak diseret kegedung Kadipaten, akan tetapi Raden Mas Indrayana lalu menghampiri Mahapati serta membisikkan sesuatu kepada telinga bagawan itu. Bagawan Mahapati tersenyum dan mengangguk, kemudian ia berkata kepada Kartika.

   "Kartika, biar kita serahkan tawanan gadis liar ini kepada Raden Indrayana!"

   Adipati Kartika memandang heran, akan tetapi ia tidak berani memandang heran, kehendak Gurunya dan demikianlah dengan cekatan Indrayana memondong tubuh Ratna Wulan, di naikkan ke atas kuda, kemudian ia larikan kudanya ke arah rumah gedungnya sendiri.

   "Bapa bagawan, mengapa gadis yang berbahaya itu diserahkan kepada Raden Indrajaya?"

   Tanya Kartika kepada gurunya setelah mereka kembali ke Kadipaten. Mahapati tersenyum penuh arti.

   "Raden Indrajaya tergila-gila kepada gadis yang cantik itu dan ingin membujuknya menjadi selirnya. Besok pagi Raden indrajaya hendak menghadap sang prabu untuk minta perkenan beliau. Kau maklum sendiri akan pengaruh pemuda itu dan apabila kita tidak menuruti permintaannya, tentu kita akan mengalami kesukaran."

   "Akan tetapi, bapa Bagawan, gadis itu adalah puteri dari Nagawisena. Ia sengaja datang untuk mencari dan membunuh hamba. Anak itu amat sakti dan amat berbahaya bagi hamba, kalau sekarang tidak di binasakan, apakah kelak takkan mendatangkan malapetaka?"

   "Jangan Khawatir, muridku! Betapapun digdayanya, selama masih ada gurumu di sini, ia takan dapat melakukan sesuatu. Apalagi kalau ia sudah berhasil di petik oleh Raden Indrajaya, tentu putera pangeran itu takkan membiarkan dia melakukan keributan, karena hal itu akan mencemarkan nama Raden Indrajaya sendiri. Kalau kita berkeras membinasakan gadis itu, tentu Raden Indrajaya akan merasa sakit hati dan marah, dan hal ini akan jauh lebih berbahaya daripada kemarahan atau sakit hati gadis liar itu kepadamu."

   Kartika memandang dengan penasaran.

   "Apakah berbahayanya seorang seperti Indrajaya? Kepandaiannya tidak berapa hebat, jauh lebih rendah daripada kepandaian gadis itu."

   "Kau tidak tahu, Kartika. Kau sendirilah yang berlaku ceroboh, menyuruh seorang bodoh dan tidak becus seperti Bajrabumi itu! Tahukah kau bahwa Raden Indrajaya telah tahu akan usahamu membinasakannya dengan menyuruh Bajrabumi dan tiga orang cabang atas dari Madura yang terjadi malam kemarin? Bukan itu saja, Indrajaya bahkan telah tahu akan maksud-maksud kita menggulingkan raja!"

   Kartika menjadi pucat mukanya mendengar ini. Memang, penyerangan atas diri Indrajaya yang terjadi di dalam pesta itu sebenarnya adalah dia sendiri yang mendalanginya. Indrajaya terlalu besar pengaruhnya kepada raja dan pemuda ini amat setia dan berpengaruh, oleh karena itu, sesuai dengan rencana mereka untuk melemahkan pemerintahan Jayanagara, pemuda itu harus dibinasakan! Dengan diam-diam dan secara rahasia, ia dan gurunya telah mengadakan kontrak dengan pemimpin pemberontak Semi, untuk membantu pemberontak itu menggulingkan Jayanagara! Kalau Indrajaya benar-benar telah tahu akan rahasia ini, maka tentu saja tentu baik menyerahkan, Ratna Wulan kepadanya, karena urusan dara itu tak berarti apabila dibandingkan dengan urusan pemberontakan yang lebih besar!

   Memang benar, Indrajaya sungguhpun belum mendapatkan bukti-bukti, namun ia telah merasa curiga kepada Mahapati dan Kartikadan ia selalu berlaku waspada untuk menjaga keselamatan junjungannya. Tadi ia melihat betapa Ratna Wulan tertawan dan karena ia memang jatuh cinta kepda dara perkasa ini, juga melihat kesaktian dara itu ia ingin menarik dara itu sebagai sekutunya, maka ia lalu menggunakan akal, minta tawanan itu sambil membisikkan kata-kata kepada Mahapati. Yang ia bisikkan itu adalah janji bahwa ia takkan mengadukan sesuatu yang ia ketahui tentang mereka kepada sang prabu! Ini hanya kira-kira dan dugaan saja, akan tetapi Mahapati kena tertipu dan mengira bahwa pemuda itu telah mengetahui segala rahasianya!

   "Karena aku telah mengetahui siapa maka memperkuat alasanku untuk membantumu. Menolong orang yang tak diketahui siapa adanya dan tanpa alasan sesuatu mengapa ia menolong orang itu adalah hal yang lebih aneh lagi. Aku menolongmu karena dasar-dasar yang lebih suci dan yang keluar dari lubuk hatiku."

   "Dasar-dasar apakah?"

   Tanya Ratna Wulan memandang tajam.

   "Dasar perasaan hatiku yang penuh kagum padamu, karena kau seorang yang berbakti kepada orang tua sehingga biarpun kau hanya seorang wanita akan tetapi kau bertekad untuk membalas sakti hati mendiang ayahmu tanpa memperdulikan bahaya. Aku kagum kepadamu, kagum melihat kegagahanmu dan aku. Aku suka kepadamu, timbul kasih sayangku kepadamu. Inilah yang memaksaku untuk menolongmu, Ratna Wulan!"

   Ratna Wulan melangkah mundur dua tindak dengan kaget.

   "Apa. apa maksudmu?"

   "Aku cinta kepadamu!"

   Pengakuan Indrajaya ini seakan-akan merupakan pengakuan yang sudah sewajarnya, dengan suara yang amat tenang dan meyakinkan "Aku cinta kepadamu seperti juga perasaan cinta yang mulai tumbuh dalam hatimu terhadap aku!"

   "Kau. kau gila!"

   Indrajaya mengangkat tangan kanannya seakan-akan menahan gadis itu berkata terlebih lanjut.

   "Ratna Wulan, semenjak kau melompat ke atas panggung dan menolongku, pandang matamu telah membuataku bingung dna heran. Pandang matamu itu menyatakan perasaan hatimu kepadaku. Aku telah mempelajari ilmu membaca muka orang, membaca perasaanhati yang timbuldari sinar matanya.Aku yakin bahwa aku mencinta.atau setidaknya, merasa suka kepadaku!"

   Pening kepala Ratna Wulan mendengar ini. Betapapun juga, ucapan pemuda ini ada benarnya. Ia memang amat tertarik kepada Indrayana, tertarik dan merasa suka. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengaku begitu saja, tidak mau menyerah demikian mudahnya. Ia memandang marah dan membentak.

   "Tutup mulutmu! Kau kira aku ini wanita macam apakah? Kau kira aku begitu mudah tunduk dan jatuh hati melihat ketampananmu?"

   "Kau adalah seorang wanita pilihan! Seorang puteri sejati yang selain gagah perkasa, juga cantik jelita. Seorang srikandi tulen! Seorang wanita yang patut di cinta dengan hati suci. Ratna Wulan, jangan kau mencoba menyembunyikannya dari padaku. Bahkan dalam kemarahannya ini, sinar matamu tidak hanya memancarkan api kemarahan, akan tetapi jelas kulihat api yang berasal dari Dewi Ratih memancar keluar!"

   "Tidak, tidak! Diam kau! Aku tidak sudi bicara tentang hal itu sebelum tercapai cita-citaku, sebelum terpenuhi tugasku. Aku harus membunuh Kartika! Ah. keris pusakaku telah hilang. akan tetapi, tidak apa, dengan kedua tangan ini akan kurenggutkan nyawa Kartika dari tubuhnya. Biarkan aku pergi, Indrajaya, dan lupakanlah kata-katamu yang gila tadi!"

   "Tak mungkin Ratna Wulan. Tak mungkink au dapat pergi dari sini. Kau harus tinggal di rumahku ini, dan Jangan kau tinggalkan Kota Raja!"

   Kini sinar mata Ratna Wulan memandang dengan marah sekali.

   "Hmm begitukah? Untuk itukah gerangan maka kau menolongku terlepas dan tangan mereka agar supaya aku selamanya tinggal di sini menurut segala kehendakmu?"

   Indrajaya tersenyum.

   "Tidak ada lain kesenangan dan kebahagiaan di dunia ini bagiku yang melebihi kenyataankata-katamu tadi, Ratna Wulan. Akan bahagialah hidupku kalau kau mau tinggal selama hidup di sampingku. Tak ada cita-cita yang lebih mulia terkandung di dalam hatiku. Akan tetapi kau salah sangka. Bukan untuk itulah sesungguhnya aku membawamu kemari. Dan bukan untuk itu pula aku melarangmu pergi dari sini begitu saja. Aku bukan manusia serendah itu. Aku tidak sudi memaksa seorang dara untuk menyerahkan diri kepadaku. Tidak. Ratna Wulan, aku hanya menerima sebagai kawan hidup selamanya apabila kau datang dengan sukarela, dengan hati mencinta."

   "Cukup!"

   Ratna Wulan merasa khawatir untuk mendengar rayuan ini lebih lama, khawatir akan kelemahan hatinya sendiri. Pemuda ini demikian pandai mencumbu rayu, lebih manis daripada madu, lebih merdu daripada gamelan Surgaloka segala kata-katanya.

   "Kalau bukan untuk itu, mengapa kau melarangku keluar dari sini?"

   "Cinta kasihku jualah yang memaksa aku melarangnya. Ketahuilah, Kartika dan Bagawan Mahapati bukanlah orang-orang demikian bodoh untuk menyerahkan kau kepadaku begitu saja. Mereka tentu telah berjaga-jaga dan mungkin sekarang juga rumahku telah di intai oleh banyak mata para penyelidik mereka. Kau takkan dapat keluar dengan selamat dan kalau kau sampai tertangkap kembali, sukarlah begiku untuk menolongmu."

   "Aku tidak takut! Aku akan mencari dan menyerang Kartika, biarpun untuk usaha itu aku harus tewas!"

   "Aku percaya akan kegagahanmu akan tetapi akulah yang merasa khawatir akan bahaya itu, Ratna Wulan. Percayalah mungkin tak ada orang lain yang akan menyedihi kematianmu, akan tetapi aku takan dapat menikmati hidup lagi kalau kau sampai tewas."

   Ratna Wulan merasa terharu juga mendengar ucapan ini.

   "Ratna Wulan, akupun maklum bahwa kau tentu tak sudi untuk tinggal di sini bersamaku hanya untuk menyelamatkan dirmu. Akan tetapi kalau kau hendak keluar dari sini, harus mencari jalan yang baik dan aman, jangan secara sembrono saja. Kalau kau keluar dari sini, lalu hendak pergi ke mana?"

   "Aku hendak mengumpulkan kawan-kawanku dan kemudian menyerbu Kadipaten dan Menyerang Kartika."

   Jawab Ratna Wulan terus terang.

   "Hanya satu jalan bagimu untuk dapat keluar dari Kota Rajadan itupun belum tentu berhasil pula.Jalan itu ialah aku harus mengawani keluar dari kota ini, bukan pada siang hari, melainkan pada malam Hari nanti."

   "Kalau kita bertemu dengan Kartika dan Mahapati bagaimana?"

   Tanya Ratna Wulan, sesungguhnya pertanyaan ini bukan menyatakan bahwa ia merasa takut, akan tetapi tanpa disengaja ia menyatakan kekhawatiran terhadap nasib pemuda itu. Indrajaya tersenyum.

   "Terima kasih atas perhatianmu terhadap diriku, Ratna Wulan. Kalau kita bertemu dengan mereka, aku akanmemberi alasan. Kalau mereka tidak percaya, tidak ada jalan lain bagiku selain membantumu mengamuk dan menyerang mereka."

   "Kau.? Bukankah kau sahabat baik dari mereka?"

   Indrajaya tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Kau kira aku ini sederajat orang-orang macam mereka? ketahuilah, Ratna Wulan. Ayahku seorang pangeran yang setia kepada keluarga raja. Akupun seorang yang setia dan aku bersedia mengurbankan nyawa untuk membela Kerajaan Majapahit. Adapun mereka itu, mereka adalah manusia-manusia dengan hati dengki, khianat, berhati palsu. Mereka kini telah mengadakan persekutuan dengan diam-diam bersama pemimpin-pemimpin pemberontak di luar kota. Mereka berniat menjatuhkan kerajaan agar mereka mendapat kedudukan yang lebih tinggi dan kuat. Hal ini terjadi oleh karena sang prabu mulai merasa curiga kepada Bagawan Mahapati yang mulai renggang perhubungannya."

   Bukan main terkejutnya hati Ratna Wulan mendengar penuturan ini. Mahapati dan Kartika bersekutu Dengan pemberontak. Padahal pemberontak-pemberontak adalah kawannya sendiri. Buktinya Pasukan Candrasa Bayu yang dilatihnya, bukankah mereka juga akan menggabungkan kepada barisan induk pemberontak. Bagaimana pulakah itu akan tetapi ia tidak mau ambil pusing. Urusan pemberontakan bukanlah urusannya. Yang terpenting baginya adalah membalas dendam kepada Kartika. Habis perkara. Di fihak manapun Kartika berdiri, ia tetap musuh besarnya, penghianatan yang telah membunuh ayahnya secara curang.

   

Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini