Alap Alap Laut Kidul 16
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
Bertubi-tubi datangnya serangan golok, namun Aji yang segera menghadapi serbuan golok itu dengan ilmu silat Wanara Sakti, dapat bergerak lincah dan cepat luar biasa, berloncatan mengelak ke sana-sini sehingga golok itu sama sekali tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Diam-diam Aji harus mengakui bahwa lawannya ini benar-benar memiliki ilmu golok yang amat dahsyat. Maka dia berhati-hati sekali dan menggunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri sambil mencari kesempatan dan lowongan untuk merobohkan Ki Munding Hideung. Dia belum merasa perlu untuk mempergunakan pusakanya, yaitu Keris Nogo Welang.
Pertandingan antara Ki Munding Bodas dan Sulastri mencapai puncaknya. setelah saling serang dengan sengit dan berulang-ulang ruyung bertemu pedang, Sulastri mengubah gerakan pedangnya yang kini berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung dan dari gulungan sinar ini kadang menyambar serangan kilat yang membuat Ki Munding Bodas menjadi terkejut dan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban. Mulailah si muka putih itu terdesak dan main mundur. Akan tetapi Sulastri terus mengejar. Ki Munding Bodas agaknya menjadi jerih dan dia terus mundur mendaki tebing, akan tetapi sambil mundur dia memutar ruyungnya untuk melindungi tubuhnya. tiba-tiba mulutnya mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. sulastri tidak perduli dan mendesak terus.
Suitan itu merupakan isarat sandi bagi para anak buah gerombolan untuk turun tangan mengeroyok. Kini puluhan orang itu bergerak, sebagian mengeroyok Aji dan sebagian lagi mengejar Sulastri yang mendaki tebing untuk terus mendesak Ki Munding Bodas. melihat dia terpisah dari sulastri, Aji cepat berseru.
"Lastri, jangan kejar! Kembali ke sini!"
Teriakannya nyaring karena Aji melihat adanya bahaya yang mengancam gadis itu. Kalau gadis itu terpisah jauh darinya, dia tidak akan dapat melindunginya lagi kalau sampai terancam bahaya. Akan tetapi agaknya Sulastri tidak mau mengacuhkan peringatan Aji dan ia sudah mengejar Ki Munding Bodas sampai puncak tebing. Pada saat itu, melihat para anak buah gerombolan yang jumlahnya puluhan orang mengejarnya, Sulastri lalu mengeluarkan pekik dan memukul dengan tangan kirinya, Tangan itu terbuka dan seperti mendorong ke arah tubuh Ki Munding Bodas.
"Haiiiitttt.......!"
Kebetulan Aji mendapat kesempatan melompat ke belakang dan memandang ke arah gadis itu. Mereka dapat terlihat dengan mudah karena berada di puncak tebing. Aji tertegun. Dia mengenal pukulan tangan kiri Sulastri itu. Itu adalah Aji Margopati! Aji yang dikuasai gurunya, akan tetapi yang oleh Ki Tejobudi sengaja tidak diajarkan kepadanya karena aji itu terlalu dahsyat, terlalu ganas, sesuai dengan namanya, Margopati (Jalan Maut). Pukulan itu adalah pukulan maut jarak jauh dan tidak sembarang orang mampu bertahan atau menghindarkan diri dari pukulan maut itu.
"Aahhhh.......!"
Tubuh Ki Munding Bodas terjengkang roboh, terjungkal ke bawah tebing sebelah sana.
Aji terpaksa mengelak dengan lompatan ke kiri ketika beberapa buah golok menyerangnya. Para anak buah gerombolan sudah mulai mengeroyolnya. Akan tetapi dia sengaja melompat jauh kesamping untuk melihat keadaan Sulastri. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat apa yang terjadi di atas puncak tebing itu.
Pada saat Sulastri menggunakan Aji Margopati memukul roboh Ki Munding Bodas, belasan orang anak buah gerombolan menyerang Sulastri dengan hujan anak panah! Gadis itu cepat memutar pedang di tangan kanannya, akan tetapi agaknya ia sedikit terlambat karena tadi perbuatannya tercurah kepada Ki Munding Bodas sehingga sebatang anak panah mengenai pundak kirinya dan gadis itu terhuyung ke belakang, tidak menyadari bahwa di belakangnya adalah akhir puncak tebing maka tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh dara itu terjatuh ke bawah tebing. Aji tidak melihat lagi, hanya mendengar lengkingan suara Sulastri yang bergema panjang. Perasaan kaget khawatir, dan sedih membangkitkan amarah dalam hati Aji. Sulastri telah terjatuh ke bawah tebing! Sulastri telah tewas!
Pikiran ini membuat dia bergerak seperti seekor burung alap-alap yang mengamuk. Tubuhnya melompat tinggi dan ketika turun, kedua tangannya menyambar ke arah pundak Ki Munding Hideung. Kepala geombolan ini mencoba untuk menyambut tubuh pemuda yang meluncur ke arahnya itu dengan bacokan goloknya. Akan tetapi, sebelum bertemu dengan tangan Aji, ada hawa yang amat kuat menyambut golok itu sehingga terpental dan terlepas dari pegangan tangan Ki Munding Hideung, sementara itu kedua tangan Aji dengan jari-jari terbuka sudah menghantam kedua pundaknya.
"Krek-krek!"
Tulang kedua pundak itu patah. Saking nyerinya, Ki Munding Hideung berteriak parau dan diapun jatuh terduduk, goloknya terlepas dan dia mengerang kesakitan dengan kedua lengan tergantung lemas, terkulai lepas karena digerakkan sedikit saja pundaknya terasa nyeri bukan main.
Para anak buah gerombolan menjadi marah dan menerjang, mengeroyok Aji! Pemuda ini dalam kekhawatirannya akan nasib Sulastri, mengamuk. Dia bagaikan seekor alap-alap yang menyambar-nyambar dan ke manapun dia melomapat seperti terbang dan menyambar, tentu ada satu atau dua orang anak buah gerombolan terpelanting dan tersungkur! Keadaan menjadi kacau dan anak buah gerombolan menjadi gentar menghadapi pengamukan Aji itu. Walaupun kini anak buah gerombolan yang tadi mengeroyok Sulastri turun dari puncak tebing dan ikut mengeroyok, tetap saja mereka dihajar sampai kocar-kacir oleh Aji. Belum pernah selama hidupnya hati Aji dicengkeram kemarahan seperti itu, kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hatinya terhadap Sulastri. Akan tetapi, betapapun marah dan sakit hatinya, tetap saja Aji membatasi tenaganya sehingga para anggauta gerombolan yang dirobohkannya itu tidak ada yang sampai tewas.
Mereka hanya menderita patah tulang dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokan. Setelah lebih dari tiga puluh orang gerombolan roboh oleh tamparan dan tendangan Aji, sisanya menjadi gentar dan mereka menghentikan pengeroyokan, bahkan mundur menjauhkan diri. Aji tidak memperdulikan mereka lagi. Dia cepat mendaki puncak, dia menjenguk ke bawah tebing sebelah sana dan matanya terbelalak, wajahnya menjadi pucat. tebing itu ternyata curam bukan main! Orang yang terjatuh ke bawah tebing tak mungkin dapat lolos dari maut. Tentu tubuhnya remuk-remuk terhempas ke batu-batu gunung, terguling-guling dan akhirnya terhenti di dasar tebing dalam keadaan remuk!
"Sulastri.......!"
Dia mngeluh lirih lalu cepat mencari jalan menuruni tebing. Jalan turun sungguh tidak mudah dan kadang dia harus merayap berpegangan kepada batu-batu gunung yang menonjol dan akar-akar pohon, seperti seekor kera. Tinggi tebing itu tidak kurang dari tiga ratus meter! Di bawah sana, dasarnya tidak tampak karena tertutup daun-daun pohon dan semak-semak belukar.
Setelah tiba di bawah, mulailah Aji mencari-cari. Hatinya terasa seperti diremas-remas dan dia merasa ngeri membayangkan akan menemukan tubuh Sulastri dalam keadaan luka-luka parah, berdarah-darah dan remuk, dan tentu saja sudah tewas. Tidak mungkin ada manusia yang memiliki kekuasaan untuk menyelamatkan diri setelah terjatuh dari atas tebing yang sedemikian curamnya! Tentu saja kalau Gusti Allah menghendaki, tidak mustahil sama sekali kalau Kekuasaan Gusti Allah menyelamatkan manusia yang terjatuh itu. Kekuasaan Gusti Allah! Aji menyesali diri sendiri! Kenapa dia, dicekam kekhawatiran dan kesedihan tadi, sejenak melupakan hal yang mutlak tak dapat dibantah ini?
Kenapa iman dan penyerahannya kepada Gusti Allah tadi goyah sehingga dia menjadi putus asa? Pada hal, mendiang gurunya sudah dapat menanamkan keyakinan di dalam hatinya bahwa segala sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi, hanya dapat terjadi kalau semua itu sudah diperkenankan dan dikehendaki oleh Gusti Allah! Semua milik Gusti Allah dan kalau Gusti Allah menghendaki untuk mengambil apa yang menjadi milikNya, siapa yang akan mampu mencegahnya? Seperti segala apa yang berada di seluruh alam mayapada ini, diri Sulastri juga milik Gusti Allah! Karena itu, dia harus pasrah dengan sepenuh penyerahan hatinya kepada kekuasaan Gusti Allah!
"Duh Gusti, ampunilah hamba.......!"
Aji berdoa dalam hatinya, sadar akan kesalahan dan kelengahannya sehingga tadi dia lupa diri. Kekhawatiran dan kedukaan yang mencekam membuat dia sejenak terlupa akan penyerahannya.
Setelah batinnya mengucapkan doa itu, hatinya menjadi tenteram dan dia mulai mencari-cari lagi dengan hati yang telah siap untuk menghadapi segala yang akan ditemukannya. Ketika dia menyibak semak belukar dengan sepotong ranting kayu dan melihat tubuh Ki Munding Bodas terkapar di antara semak, telentang dengan pakaian cabik-cabik dan tubuh penuh darah, matanya melotot, dari mulut dan hidungnya keluar darah menghitam, Aji tidak terkejut lagi. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat dada yang tidak tertutup baju lagi itu ada tanda telapak tangan menghitam. Itulah aji pukulan Margopati! Dia sudah mendengar banyak tentang aji itu dari mendiang Ki Tejobudi dan kakek itu memang sengaja tidak mengajarkan aji pukulan yang amat keji kepadanya.
Agaknya tubuh Ki Munding Bodas terhempas jatuh, terguling-guling dan akhirnya masuk ke dalam semak belukar yang lebat itu, yang kini seolah mengubur jasadnya. Dia melepaskan kuakan pada semak itu yang menutup kembali menyembunyikan mayat itu, dan melanjutkan pencariannya. Akan tetapi, setelah menjelajahi seluruh dasar tebing, memeriksa setiap semak belukar, menjenguk ke jurang-jurang yang berada di bawah tebing, dia tidak dapat menemukan Sulastri! Harapan mulai memenuhi hatinya. Kalau tidak dapat ditemukan jenazahnya, hal itu hanya berarti bahwa gadis itu masih hidup! Akan tetapi, andaikan atas kehendak Gusti Allah Sulastri masih hidup, setidaknya ia tentu terluka dan tidak dapat pergi jauh. Harapan yang timbul ini menggembirakan hatinya dan mulailah dia berteriak memanggil.
"Lastri.......! Nimas Sulastri.......!"
Karena dia memanggil dengan pengerahan tenaga saktinya, suaranya bergaung di sekeliling lembah. Dia menanti sampai gema suaranya menghilang lalu mengerahkan pendengarannya. Tidak ada jawaban, tidak terdengar gerakan.
"Nimas Lastri.......! Di mana engkau....... ?"
Kembali dia berteriak, bahkan lebih kuat daripada tadi karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Gaung suaranya juga lebih panjang daripada tadi. Akan tetapi tetap tidak terdengar jawaban. Aji terus mencari-cari dan memanggil-manggil, namun sia-sia. Sulastri bagaikan lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. setelah matahari condong jauh ke barat, Aji terpaksa meninggalkan tempat itu, kini melalui pendakian tebing yang amat sukar, dia kembali ke atas tebing.
Puncak tebing sudah sepi. Akan tetapi sarang gerombolan itu sudah tampak dari situ. Dia lalu menuruni tebing dan menuju ke sarang gerombolan yang berada tidak jauh dari danau kecil itu. Dengan tabah dan tenang Aji memasuki perkampungan yang pondok-pondoknya masih baru, terbuat dari kayu dan bambu itu. Begitu dia masuk, tampak beberapa orang gerombolan itu berlarian memasuki sebuah pondok besar. Dari dalam pondok-pondok itu terdengar suara-suara rintihan kesakitan maka tahulah Aji bahwa para anggauta gerombolan yang luka-luka berada di perkampungan itu. Melihat para anggauta gerombolan yang tadinya berada di luar pondok kini berlarian masuk dan bersembunyi dalam pondok, Aji lalu berseru nyaring.
"Kalian semua keluarlah dari pondok, atau haruskah aku membakar semua pondok ini lebih dulu untuk memaksa kalian keluar?"
Teriakan dan ancaman ini berhasil. Berbondong-bondong para anggauta gerombolan keluar dari dalam pondok. Bahkan yang terluka dipapah oleh yang sehat keluar pula. Agaknya mereka merasa takut bahwa pondok-pondok akan dibakar oleh pemuda yang sakti mandraguna itu. Aji melihat sekitar empat puluh orang keluar dari pondok dan mereka berjongkok, tanda bahwa mereka tidak akan melawannya. Tentu sebagian yang lain melarikan diri, pikirnya. Akan tetapi dia tidak melihat Ki Munding Hideung yang hendak ditangkap dan dibawanya ke Kadipaten Cirebon, diserahkan kepada Sang Adipati.
"Di mana Ki Munding Hideung dan para pemimpin yang lain?"
Aji bertanya, suaranya mengandung wibawa kuat.
"Suruh mereka keluar! Aku ingin bicara dengan mereka."
Aji memandang dan melihat para anggauta gerombolan itu berdiam diri dan hanya menundukkan muka dengan sikap takut-takut. Dia menunggu, akan tetapi sampai lama tidak ada yang berani menjawab pertanyaan itu. Aji menjadi penasaran. Dia dapat menduga bahwa sikap diam mereka itu sama sekali bukan hendak menentang, melainkan karena ketakutan.
"Hayo, seorang di antara kalian katakan, di mana adanya para pimpinan kalian itu? jangan takut! Kalau para pimpinan kalian marah, aku yang akan melindungi kalian!"
Setelah orang-orang itu saling pandang dan saling berbisik sehingga gaduh, akhirnya seorang anggauta gerombolan yang usianya sekitar lima puluh tahun bergerak maju sambil berjongkok lalu berkata dengan lirih seolah takut kalau sampai terdengar para pemimpinnya.
"Denmas, harap ampuni kami. Para pemimpin kami sudah lari meninggalkan kami di sini. Ki Munding Bodas telah terjatuh ke dalam jurang bawah tebing. Ki Munding Hideung dan lima orang pembantunya melarikan diri."
"Ke mana? Ke mana mereka melarikan diri?"
Tanya Aji.
"Kami tidak tahu, denmas. Mereka pergi tanpa pesan dan tidak memberitahukan ke mana mereka melarikan diri."
Aji percaya bahwa para anak buah gerombolan itu tidak berani membohonginya, akan tetapi untuk meyakinkan hatinya, dia lalu memeriksa dan menggeledah seluruh pondok. Benar saja, dia tidak menemukan Ki Munding Hideung dan para pembantunya. Maka dia keluar lagi dan mendapatkan puluhan orang anak buah gerombolan masih berjongkok di luar rumah induk yang tadinya menjadi tempat tinggal Ki Munding Hideung dan para pembantunya. Gerombolan itu ternyata tidak ada yang berkeluarga dan tidak terdapat seorangpun wanita atau anak-anak dalam
perkampungan gerombolan itu.
Aji sendiri menghadapi mereka.
"Hei, kalian semua, anak buah gerombolan Munding Hideung yang telah banyak membuat kekacauan dan kejahatan di daerah Kadipaten Cirebon. Sebenarnya aku telah diberi wewenang oleh Gusti Adipati untuk membasmi kalian semua dan kalau sekarang aku membunuh kalian semua sebagai hukuman, hal itu sudah semestinya dan sewajarnya!"
Anggauta gerombolan tua tadi cepat menyembah-nyembah dan berkata.
"Ampun, denmas, harap denmas sudi mengampuni kami. Kami hanya melaksanakan perintah pimpinan kami."
"Dan sekarang apakah kalian juga masih akan melanjutkan perbuatan kalian menjarah rayah rakyat yang tidak berdosa?"
"Kami sudah kapok, denmas!"
Teriakan ini keluar dari banyak mulut.
"Kalian adalah orang-orang yang bertubuh kuat, sepatutnya malu kalau menggunakan kekuatan kalian hanya untuk menjarah rayah (merampok) rakyat yang tidak berdosa, mengganggu dan mengacau bangsa sendiri! Pada hal, bangsa dan negara kini sedang menghadapi musuh yang paling besar dan berbahaya, yaitu Kumpeni Belanda. Kenapa kalian tidak mempergunakan kekuatan kalian untuk membela nusa bangsa, untuk membantu Sultan Agung di Mataram, menentang Kumpeni Belanda? Kalaupun hal itu masih belum dapat kalian lakukan, setidaknya kalian harus bekerja baik-bauk, kembali ke jalan benar dan tidak mengganggu rakyat bansa sendiri. Sekali ini aku mengampuni kalian, akan tetapi kalau lain kali aku masih mendapatkan kalian merampok, aku tidak akan mengmpuni lagi dan akan membasmi dan membunuh kalian semua!"
"Terima kasih atas kebijaksanaan denmas!"
Kata anggauta tua itu dan semua anggauta gerombolan itupun bergumam menghaturkan terima kasih mereka.
"Sekarang aku minta bantuan kalian."
Kata Aji.
"Kalian yang tidak terluka, harap mencari jalan menuruni tebing ini dan mencari temanku, gadis yang terjungkal ke bawah tebing tadi sampai dapat kalian temukan. Aku akan menanti di sini dan tinggal di rumah ini."
Dia menunjuk rumah bekas tempat tinggal Ki Munding Hideung.
Para anggauta gerombolan menjadi girang bukan main karena mereka diampuni, maka mendengar permintaan Aji itu, berbondong-bondong mereka lalu mencari jalan untuk menuruni tebing, tentu saja dengan jalan memutar karena menuruni tebing seperti yang dilakukan Aji tadi, tak sanggup mereka melakukannya.
Aji lalu memasuki rumah induk gerombolan itu dan mengaso. Dia duduk bersila dan termenung. Wajah Sulastri selalu terbayang di depan matanya, apa lagi bayangan yang menggambarkan jatuhnya gadis itu ke bawah tebing. Dia selalu gagal dalam Samadhi karena pikirannya tak pernah dapat menghilangkan bayangan gadis itu. perasaan hatinya tertindih duka yang mendalam, disertai kegelisahan membayangkan nasib Sulastri. Benarkah gadis itu tewas dengan tubuh remuk di bawah tebing? Sungguh sukar dapat dipercaya bahwa gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa dan cantik jelita itu kini menjadi mayat yang rusak dan remuk. Aji merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk.
"Duh Gusti Allah, hamba mohon kekuatan iman dan bimbingan."
Dia berbisik dan mnyerahkan segalanya dengan sepenuh jiwa kepada Gusti Allah Yang maha Kuasa. penyerahan secara total itu seketika menghapus semua duka.
Semua ini milik Gusti Allah, juga Sulastri adalah milikNya. Karena itu terserah kepadaNya untuk memutuskan apa yang akan terjadi dengan gadis itu. Kalau Gusti Allah sudah memutuskan, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mengubahnya. Dan semua keputusan Gusti Allah sudah pasti baik dan benar, sudah pasti yang terbaik baginya dan bagi Sulastri.
"Duh Gusti, hamba menyerahkan Sulastri dan diri hamba sendiri ke tangan Paduka. semoga Paduka sudi mengampuni semua dosa dan kesalahan Sulastri dan hamba."
Demikian suara hatinya keluar melalui pernapasannya.
Penyerahan ini bukan sekedar kata-kata atau sekedar pemikiran, melainkan tembus keluar dari jiwanya dan Aji merasa perasaannya tenteram kembali. Apapun yang akan terjadi pada diri Sulastri dia sudah menyerahkannya kepada Gusti Allah dan dia yakin bahwa apapun yang terjadi pada diri Sulastri, hal itu tentu yang terbaik bagi gadis itu karena sudah dikehendaki Gusti Allah. Sampai dua hari lamanya Aji tinggal di perkampungan gerombolan itu, membiarkan para anak buah gerombolan setiap hari mencari-cari jejak Sulastri. Akan tetapi ternyata sia-sia belaka. Para anggauta gerombolan hanya menemukan mayat Ki Munding Bodas saja. Akan tetapi seorang dari mereka menemukan pedang Sulastri dan menyerahkan kepada Aji.
Aji menerima Pedang Nogo Wilis itu, mengamatinya dengan hati penuh tanda tanya. Pedang dapat ditemukan, berarti Sulastri tentu terjatuh di sana pula, tak jauh dari pedangnya. Akan tetapi kenapa mereka tidak dapat menemukan Sulastri? Secercah sinar harapan menerangi hatinya. Sulastri tidak ada, juga tidak ditemukan bekas-bekas darah. ini hanya mempunyai satu arti, yakni bahwa gadis itu tentu masih hidup dan pergi dari dasar tebing itu. Akan tetapi kenapa pedang pusakanya ditinggalkan? Dan kenapa gadis itu tidak mendaki tebing lagi untuk menemuinya? Dia yakin, Sulastri pasti masih hidup. Akan tetapi bagaimana caranya gadis itu menyelamatkan diri, dan ke mana kini berada, menjadi pertanyaan yang selalu bergema dalam benaknya dan tidak dapat dia menjawabnya.
Aji membawa Pedang Nogo Wilis dan memasuki rumah, tepekur di dalam rumah itu sampai lama. Berbagai pertanyaan mengaduk benaknya. Sulastri hilang secara aneh. Sulastri mampu melakukan pukulan dengan Aji Mardopati! Sungguh aneh sekali. Dia lalu merenung tentang kematian, dan tentang kedukaan karena ditinggal mati orang yang dikasihi. Dia merasa yakin bahwa kematian bukan merupakan akhir segalanya. Memang kehidupan sebagai manusia dengan jasmani ini berakhir setelah mati, akan tetapi kematian adalah kelanjutan dari kehidupan ini. Kematian di dunia ini merupakan awal suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan baru dalam alam lain yang merupakan awal suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan baru dalam alam lain yang merupakan rahasia manusia yang masih hidup dalam alam ini. Karena itu, mengapa menyedihkan orang yang telah mati?
Bagaimana kita dapat merasa sedih kalau kita tidak tahu apa jadinya dengan orang yang kematiannya kita tangisi itu? Bukankah sudah jelas bahwa tangisan itu sebetulnya merupakan bukti kedukaan terhadap diri sendiri? Aku menangisi kematian orang yang kucinta, karena aku kehilangan dia, aku ditinggalkan sendiri, aku tidak bisa mendapatkan kesenangan lagi darinya, aku merasa kesepian dan aku merana. Karena itulah sebetulnya aku menangis! Melihat semua kenyataan ini membuat Aji menghela napas dan melayangkan puji kepada Gusti Allah, mohon kemurahanNya agar apapun yang terjadi dengan diri Sulastri, Gusti Allah akan selalu melindungi dan membimbingnya.
Akhirnya Aji mengambil keputusan untuk meninggalkan perkampungan gerombolan itu. Sekali lagi dia memperingatkan para anggauta gerombolan agar meninggalkan kejahatan mereka yang lama dan mulai kehidupan baru yang tidak menyimpang dari kebenaran. Setelah meninggalkan Gunung Careme, Aji lalu pergi ke Kadipaten Cirebon menghadap Pangeran Ratu. Adipati Cirebon itu merasa girang mendengar dari Aji bahwa gerombolan pengacau telah dapat dikalahkan. Ki Munding Hideung melarikan diri dan Ki Munding Bodas telah tewas, sedangkan para anak buahnya sudah menyatakan bertaubat dan tidak akan melakukan kekacauan lagi. Akan tetapi sang adipati itu juga merasa berduka mendengar bahwa Sulastri terjatuh ke bawah tebing dan lenyap.
Ketika sang adipati hendak memberi ganjaran, Aji menolak dengan halus dan diapun berpamit, meninggalkan kadipaten, menunggang kuda pemberian sang adipati yang kedua kalinya. Biarpun dia sudah menerima musibah yang menimpa Sulastri denngan segala kepasrahan, namun tetap saja dia merasa kesepian dan kehilangan sekali ketika meninggalkan pintu gerbang Kadipaten Cirebon. Dia merasa seolah ada sesuatu yang hilang, yang membuat hidup ini rasanya tidak lengkap lagi. bahkan ada rasa penyesalan besar dalam hatinya, seolah dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan Sulastri mati. Kalau gadis itu tidak ikut dengannya tidak melakukan perjalanan bersamanya, belum tentu gadis itu akan tewas. Sejak gadis itu ikut melakukan perjalanan bersama dia, Sulastri selalu mengalami ancaman maut dan menderita. Ia pernah diserang racun penghancur tulang oleh Nyi Maya Dewi yang jahat. Kemudian ia juga keracunan oleh air yang disuguhkan Ki Sajali pembantu Ki Munding Hideung itu, dan sekarang dia bahkan terkena anak panah dan terjungkal ke bawah tebing yang amat tinggi.
Sulastri tentu tewas, hal itu tidak dapat diragukan lagi. Orang yang terjatuh dari tempat begitu tinggi, biar ia seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekalipun, sulitlah akan dapat terlepas dari cengkeraman maut. Tentu saja ada kekecualian, yaitu kalau Kekuasaan Gusti Allah bekerja, maka tidak ada yang tidak mungkin bagi Kekuasaan gusti Allah untuk melakukan kemujijatan yang menurut ukuran pikiran manusia bagaimana tidak masuk akal dan anehpun.
Sekarang dia harus melanjutkan perjalanannya. seperti yang telah direncanakan menurut petunjuk Senopati Suroantani, dia harus melanjutkan perjalanannya sampai di Jayakarta atau Batavia, pusat benteng Kumpeni Belanda dan siap menanti di sana untuk membantu Mataram apabila pasukan Mataram mulai menyerang benteng Kumpeni Belanda di Batavia. Akan tetapi sebelum melanjutkan perjalanan ke sana, dia harus lebih dulu mencari ayah Sulastri untuk mengabarkan tentang diri Sulastri itu. Dia sudah mendengar dari Sulastri bahwa ayahnya bernama Ki Subali, seorang sasterwan, seniman dan dalang yang tinggal di dermayu. Apapun akibatnya, dia harus menceritakan sejujurnya tentang nasib yang menimpa diri gadis itu.
Benarkah Sulastri mati seperti yang dikhawatirkan Aji? Atau apakah yang terjadi dengannya sehingga ia lenyap tak meninggalkan bekas? Memang, kalau diukur dengan logika pikiran manusia, rasanya tidak mungkin kalau seseorang yang terjatuh dari atas tebing yang demikian curamnya, yang ratusan meter tingginya, akan dapat tinggal hidup. Akan tetapi, banyak sekali kenyataan dalam kehidupan manusia membuktikan bahwa kalau Gusti Allah menghendaki seseorang tinggal hidup, biar seribu satu macam ancaman maut menyerbunya, dia akan terbebas dari kematian. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun ada seribu satu perisai tidak akan mampu menghindarkannya dari sengatan maut yang mematikannya.
Sudah menjadi kenyataan bahwa Gusti Allah menghendaki Sulastri hidup. Buktinya, ia tidak mati walaupun terjatuh dari atas tebing yang begitu tinggi. Ia jatuh membentur-bentur dinding karang, bahkan kepalanya terbentur keras sehingga ia pingsan sebelum mencapai dasar tebing. Dan anehnya,
beberapa meter sebelum terbanting remuk di atas batu di dasar tebing, tiba-tiba luncuran tubuhnya terhenti karena bajunya tersangkut pada akar pohon besar yang mencuat dari dinding tebing seperti sebuah ujung tombak yang ada kaitannya! Tubuhnya tergantung di situ, bajunya terkait dan ia sama sekali tidak bergerak karena dalam keadaan pingsan. Dahinya dekat pelipis kiri berdarah.
"Heh-heh-heh, bocah denok ayu kok menggantung diri di situ!"
Terdengar suara orang terkekeh. Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus kering dan bongkok, tangan kirinya ceko dan mukanya mengingatkan orang akan tokoh Pendito Durno penasihat kerajaan Ngastino. Akan tetapi biarpun tangan kirinya ceko dan kaki kanannya agak pincang seperti tokoh Gareng dalam cerita wayang, dia dapat bergerak dengan cekatan sekali ketika mendaki tebing. Gerakannya ringan dan sebentar saja dia sudah sampai di tempat di mana Sulastri tergantung pada akar pohon.
"Uh-uh, perawan kinyis-kinyis, sayang sekali kalau mati di sini!"
Kata pula kakek itu.
Kemudian dengan tangan kanannya dia melepaskan baju Sulastri dari kaitan akar pohon dan memondongnya lalu turun lagi seperti seekor monyet. Kalau ada yang melihatnya tentu akan terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang kakek yang ceko dan pincang dapat memanjat tebing terjal seperti itu, bahkan ketika turun memondong tubuh seorang gadis. dari gerakan-gerakannya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kakek itu tentu bukan orang biasa, melainkan seorang kakek yang memiliki kesaktian. Setelah turun, kakek itu melanjutkan perjalanannya sambil memondong tubuh Sulastri. Ketika melihat mayat Ki Munding Bodas, dia berhenti dan mengamati mayat itu sambil berdiri.
"Uh-uh, Munding Bodas, engkau tewas terkena pukulan ampuh. Salahmu sendiri! Berapa kali sudah
(Lanjut ke Jilid 18)
Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
kuingatkan agar jangan membuat kekacauan di Cirebon karena Sang Adipati adalah keturunan mendiang Sunan Gunung Jati yang sakti mandraguna. Nah, sekarang engkau tewas dan akupun tidak dapat menghidupkanmu kembali. Tentu perawan ini ada hubungannya dengan kematianmu!"
Setelah berkata demikian, kakek itu meninggalkan mayat itu dan dengan berlari cepat dia memanggul tubuh sulastri menuruni lereng Gunung Careme ke arah selatan.
Luar biasa cepatnya kakek itu berlari, melompati jurang-jurang seperti seekor kijang saja. Dia sama sekali tidak tampak keberatan memanggul tubuh Sulastri yang masih pingsan. Setelah tiba di kaki gunung, dia memasuki sebuah hutan cemara dan ditengah-tengah hutan itu terdapat sebuah pondok kayu. Dia membuka pintu pondok dan membawa Sulastri memasuki pondok. direbahkannya tubuh gadis itu ke atas sebuah dipan bambu, lalu diperiksanya keadaan Sulastri. melihat bahwa gadis itu terluka dahinya dekat pelipis, dia lalu mengomel.
"Ah, luka ini parah juga. Untung ia memiliki kepala yang keras dan kuat sehingga tidak sampai pecah. Kasihan engkau perawan denok ayu, aku akan mengobatimu!"
Dia lalu keluar dari pondok dan mencari Widoro Upas, lalu dibawanya kembali ke pondok. Dengan jari-jari tangannya dia meremas Widoro Upas itu sampai hancur, lalu mencampurkannya dengan beberapa tetes madu dan mengoleskan campuran itu ke luka di dahi Sulastri. Setelah itu dia duduk di tepi dipan dan mengamati wajah yang cantik jelita itu. Biarpun rambut Sulastri terurau lepas dan pakaiannya cabik-cabik dan awut-awutan, namun kecantikannya bahkan tampak lebih menonjol.
"Huh-huh, sungguh ayu manis, kinyis-kinyis merak ati ........!"
Kakek itu berkata, matanya bersinar-sinar penuh gairah, beberapa kali menelan air liurnya dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya untuk menggerayangi tubuh muda yang menggairahkan hati dan menimbulkan nafsunya itu.
"Puuuunten.......!"
Terdengar suara orang beruluk salam dari luar pintu. Kedua tangan yang sudah bergerak ke depan itu tertahan dan kakek itu bangkit, bersungut-sungut.
"Hemmm, siapa yang datang menggangguku?"
Agaknya orang yang datang itu mendengar gerutunya.
"Bapa Guru, saya yang datang!"
"Uh-huh, kiranya engkau, munding hideung. Masuklah!"
Yang datang itu memang Munding hideung. Dia masuk pondok itu dengan langkah terhuyung dan ketika sudah masuk di ruangan depan, dia segera menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil mengerang kesakitan. kakek itu keluar dari dalam kamar dan melihat wajah yang hitam itu kini tampak agak pucat dan wajah muridnya ang tinggi besar itu menyeringai kesakitan, dia segera menghampiri.
"Uh-uh, apa yang telah terjadi denganmu, Munding Hideung? Engkau agaknya terluka!"
Kata akek itu. Kakek itu adalah Panembahan Kolo Srenggi, seorang pertapa di hutan cemara yang berada di kaki Gunung Careme dan dia adalah guru dari Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas.
"Aduh, celaka, bapa guru. kami mengalami malapetaka. Adi Munding Bodas telah tewas.......
"
"Huh-huh, aku sudah tahu. aku melihat mayatnya di bawah tebing. Dan engkau sendiri kenapakah?"
"Pundak saya ini....... kedua pundak saya, agaknya patah tulangnya, bapa guru.......
"
Munding Hideung mengeluh. Panembahan Kolo Srenggi terkekeh lalu menghampiri muridnya, menggerakkan kedua tangan dan memegang kedua pundak muridnya itu.
"Aduh.......!"
Ki Munding hideung mengeluh kesakitan.
"Uh-uh, tulang kedua pundakmu retak. Akan tetapi jangan khawatir. Obatku akan menyembuhkannya dalam waktu beberapa hari saja."
Setelah berkata demikian, kakek itu pergi ke sebuah kamar di belakang di mana dia menyimpan bermacam-macam rempa-rempa untuk bahan jamu.
Dia mengambil Tangkai Cikal Tulang, ditumbuk halus dan dicampur dengan Daun Srigi, setelah itu tumbukan itu dicampur dengan sedikit garam. Dia lalu membawanya ke ruangan depan di mana Munding Hideung masih menunggu sambil mengeluh kesakitan. Panembahan Kolo Srenggi membuka baju atas muridnya itu, kemudian jari-jari tangannya yang panjang kurus namun kuat itu memijat-mijat dan menekan-nekan, membetulkan kembali letak tulang pundak yang patah. Ki Munding Hideung menggigit bibir menahan sakit sampai peluh keluar dari mukanya. Setelah itu, kakek itu mengoleskan bubukan obat itu ke kedua pundaknya, lalu membebatnya dengan kulit pohon randu dan diikat dengan kain. Memang hebat sekali kemanjuran pengobatan kakek itu. Biarpun tulang-tulang pundaknya masih belum pulih, namun Ki Munding Hideung sudah mampu menggerakkan kedua lengannya!
"Nah, ceritakan apa yang terjadi.
"
Kata Panembahan Kolo Srenggi sambil duduk di kursi depan Munding Hideung.
Ki Munding Hideung menghela napas panjang.
"Kami mengalami kesialan, bapa guru. Dua orang utusan Adipati Cirebon, seorang pemuda dan seorang gadis, tiba-tiba menyerbu perkampungan kami. mereka itu sakti mandraguna sehingga banyak anak buah kami yang tewas dan terluka. bahkan Adi Munding Bodas juga terjatuh ke bawah tebing. Kami berhasil membuat gadis itu terjungkal ke bawah tebing dan tentu mampus. Akan tetapi pemuda itu sakti sekali sehingga kedua tulang pundakku patah oleh serangannya dan terpaksa kami melarikan diri karena kalau tidak kami semua habis dibunuhnya."
"Wah-wah, hanya dua orang saja dan kalian yang puluhan orang banyaknya sampai kalah? Siapakah dua orang utusan Adipati Cirebon itu?"
"Pemuda itu bernama Lindu Aji dan gadis itu bernama Sulastri."
"Hemmm, sudah berapa kali kuperingatkan kalian agar tidak membuat kekacauan di daerah Cirebon. sang Adipati Pangeran Ratu adalah keturunan mendiang Sunan Gunung Jati, bagaimana kalian berani main-main? Akan tetapi mengenai gadis itu, kau katakana tadibahwa ia terjatuh ke bawah tebing?"
"Benar, bapa guru. saya melihat sendiri. gadis itu memukul Adi Munding Bodas dengan pukulan jarak jauh dan Adi Munding Bodas terjungkal ke bawah tebing. Akan tetapi pada saat itu, serangan anak buah kami dengan panah berhasil. Sebatang anak panah mengenai pundak gadis itu dan iapun terjungkal jatuh ke bawah tebing pula."
"Uh-uh, aku belum memeriksa pundak itu. Munding Hideung, dengan siapa engkau datang ke sini?"
"Ada lima orang pembantu saya ikut lari dan kini mereka menanti di luar pondok, bapa guru."
"Biarkan mereka menunggu di sana dan marilah kau ikut aku dan lihat, siapa yang berada dalam kamarku?"
Ki Munding Hideung memandang heran, akan tetapi dia bangkit dan mengikuti gurunya menuju ke sebuah kamar. Mereka memasuki kamar itu dan melihat gadis yang rebah telentang di atas dipan itu. Munding Hideung berseru kaget.
"Itulah ia, gadis itu! dan ia belum mati?"
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakek itu menggeleng kepalanya.
"Tubuhnya tersangkut pada akar pohon dan aku menolongnya. Luka di dahinya cukup berat, akan tetapi aku belum melihat luka anak panah di pundaknya."
Dia lalu menghampiri Sulastri dan melihat betapa baju di pundak gadis itupun berdarah. Akan tetapi anak panah itu telah tidak ada, agaknya patah ketika tubuh itu terjatuh dan terbentur-bentur dinding tebing.
"Rrrrttt.......!"
Panembahan Kolo Srenggi merobek baju di pundak kiri gadis itu.
Kulit pundak yang putih mulus itu tampak. Ada darah berlepotan di situ, akan tetapi anak panahnya sudah tidak ada, tentu telah terlepas ketika gadis itu terbentur-bentur dinding tebing. Luka itu tidak terlalu dalam dan Panembahan Kolo Srenggi lalu mengobatinya dengan ramuan Widoro Upas dan Madu yang masih tersisa.
"Bapa Guru, berikan gadis ini kepada saya! Saya akan memperisterinya, selain untuk kesenanganku karena saya belum mempunyai pendamping yang begini cantik dan sakti, juga untuk membalas dendam atas kematian Adi Munding Bodas di tangannya!"
"Heh-heh-heh, engkau mau enaknya saja!"
Kata Panembahan Kolo Srenggi.
"Akan tetapi karena aku sekarang sudah terlalu tua dan tidak tertarik lagi kepada yang denok ayu, boleh engkau memiliki dia, sekedar untuk menghibur hatimu yang berduka karena malapetaka yang menimpa diri dan perkumpulanmu."
"Terima kasih, bapa guru, terima kasih!"
Kata Munding Hideung dan bagaikan seekor singa kelaparan melihat seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, dia segera membuat gerakan ke arah dipan seperti hendak menubruk tubuh Sulastri.
Agaknya dorongan gairah nafsunya membuat dia lupa diri, tidak perduli lagi bahwa di situ terdapat gurunya dan dia hendak menyalurkan gairah nafsunya pada saat itu juga. Panembahan Kolo Srenggi, yang di waktu mudanya juga seorang hamba nafsu yang tersesar jauh dari jalan benar, hanya terkekeh seolah merasa lucu, bahkan ingin menikmati kejadian lucu dan menyenangkan yang akan terjadi di depan matanya.
Pada saat jari-jari kedua tangan Munding Hideung sudah hampir menyentuh dada Sulastri, tiba-tiba tubuh gadis itu berbalik, menelungkup lalu seperti merangkak dan terdengarlah lengkingan yang demikian kuatnya sehingga seluruh pondok seperti terguncang hebat! Gadis itu telah sadar dari pingsannya dan ia melakukan hal ini dengan tiba-tiba sehingga mengejutkan Munding Hideung. Raksasa bermuka hitam ini segera melangkah mundur dengan kaget dan jerih.
Dia tahu betapa saktinya gadis itu dan pada saat itu, kedua pundaknya masih belum sembuh, baru saja diobati dan tidak mungkin dia akan menandingi gadis itu. Juga Panembahan Kolo Srenggi terkejut karena ia dapat merasakan kekuatan dahsyat terkandung dalam lengkingan itu. Pada saat kedua orang itu terkejut dan tertegun, tubuh Sulastri melompat keluar dari kamar itu.
"Tangkap! Tangkap gadis itu!"
Teriak Munding Hideung. teriakan ini ditujukan kepada lima orang pembantunya yang berada di depan pintu. Dan dia sendiri, bahkan didahului Panembahan Kolo Srenggi, melakukan pengejaran keluar pondok itu.
Lima orang pembantu Munding Hideung yang berada di luar pondok, mendengar dan mengenal suara teriakan pemimpin mereka. Mereka serentak bangkit menghadang di luar pintu dan mencabut golok masing-masing dan ketika Sulastri melompat keluar, ia segera disambut serangan lima orang itu. Gadis itu memandang heran seperti orang yang kaget dan tidak mengerti, akan tetapi nalurinya memperingatkan bahwa ia terancam bahaya, maka iapun bergerak cepat mengelak sambil membalas dengan tamparan dan tendangan. Akan tetapi lima orang itu adalah para pembantu Munding Hideung, rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan sehingga mereka dapat menghindarkan diri dari serangan Sulastri dan mengepung ketat.
Ki Munding Hideung dan Panembahan Kolo Srenggi juga sudah muncul. Munding Hideung tidak dapat ikut mengeroyok karena tulang pundaknya belum sembuh, akan tetapi Panembahan Kolo Srenggi sudah menggerakkan sebuah tongkat berbentuk ular yang panjangnya sama dengan tubuhnya. Gerakan tongkat ular ini cepat sekali dan mengandung tenaga sakti.
Sulastri melawan mati-matian. Ia tidak bersenjata dan kepalanya masih terasa pening karena luka di dahi dan pundaknya. Bahkan luka di pundak kiri membuat gerakannya menjadi kaku dan lambat. Dan pada saat itu gadis itu bergerak menurutkan naluri saja karena ia tidak mampu mempergunakan akal pikirannya. Semua tampak tak berarti dan tidak dimengerti, membuatnya bingung, hanya nalurinya mengatakan bahwa ia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya dan yang hendak mencelakainya, maka ia melawan mati-matian. Bagaimanapun juga, karena ternyata Panembahan Kolo Srenggi itu sakti dan gerakan tongkat ularnya amat berbahaya, sedangkan lima orang pembantu itupun cukup tangguh, maka Sulastri terdesak hebat dan sudah dua kali pinggang dan pahanya terkena gebukan tongkat kakek itu. Untung baginya bahwa berkali-kali Ki Munding Hideung berteriak kepada para pembantu dan gurunya agar jangan membunuh gadis itu, melainkan menangkapnya. Tentu saja Sulastri yang masih pening dan lemas itu, juga seluruh tubuhnya terasa nyeri karena tadi terbentur-bentur dinding karang, menjadi sibuk sekali dikeroyok enam orang itu.
Pada saat itu tampak berkelebat bayangan orang dan muncullah seorang laki-laki muda. Usianya masih muda sekali, paling banyak dua puluh dua tahun. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Bentuk tubuhnya sedang saja namun gerak geriknya sigap. Wajahnya tampan dan sinar matanya mengandung kegagahan. Sepasang alisnya tebal, matanya bersinar-sinar, kadang mencorong penuh wibawa, hidungnya mancung dan bibirnya mempunyai lekukan yang membayangkan kekerasan hati. Setitik tahi lalat kecil menghias dagunya, menambah manis wajah yang tampan itu. Di pinggangnya terselip sebatang keris yang gagangnya terbuat dari kayu cendana hitam. Melihat seorang gadis yang pakaiannya cabik-cabik, rambutnya terurai lepas, dan tampaknya kelelahan dikeroyok enam orang laki-laki yang memegang golok dan tongkat, pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal dan dia membentak.
"Sungguh tidak tahu malu sekali! Enam orang laki-laki bersenjata mengeroyok seorang gadis bertangan kosong yang sedang menderita luka dan tidak sehat. Kalian ini tentulah orang-orang jahat, karena hanya orang jahat saja yang tidak malu melakukan kecurangan seperti ini!"
Teriaknya dan tubuhnya sudah menerjang ke depan. Begitu kaki tangannya bergerak, dua orang pemegang golok terpelanting dan mengaduh, tidak mampu bangkit kembali karena yang seorang kepalanya retak terkena tamparan tangan pemuda itu dan yang seorang lagi dadanya terkena tendangan. Keduanya roboh dan setelah mengaduh-aduh lalu tewas! Pemuda itu melihat bahwa yang paling berbahaya adalah kakek bungkuk yang memegang tongkat ular panjang. Maka diapun cepat mencabut kerisnya dan menerjang Panembahan Kolo Srenggi.
"Trak-trang.......!"
Bunga api berpijar ketika tongkat bertemu keris dan alangkah kaget rasa hati kakek itu ketika melihat betapa tongkat ularnya telah terpotong ujungnya! Dia memutar tongkatnya, namun pemuda itu dengan tangkas telah menyerangnya mendesaknya dengan hebat. Bukan hanya keris di tangan kanan pemuda itu yang amat tangguh, akan tetapi tangan kirinya juga memukul dengan tenaga pukulan yang dahsyat sekali. Sementara itu, Sulastri yang kini hanya tinggal menghadapi tiga orang pengeroyok, mengamuk hebat. Ia dapat menyambar golok yang terlepas dari tangan seorang di antara dua orang yang roboh tewas di tangan pemuda itu dan dengan golok ini iapun mengamuk.
Gerakannya ganas dan cepat sekali dan dalam waktu singkat goloknya yang menyambar-nyambar ganas itu berturut-turut merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang pengeroyok itu roboh mandi darah dan tewas. Sementara itu, pertandingan antara Panembahan Kolo Srenggi melawan Pemuda itupun berlangsung seru. Akan tetapi kini jelas tampak betapa kakek itu terdesak hebat, terutama sekali oleh dorongan tangan kiri pemuda itu yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat.
"Heh, mampus kau!"
Kakek itu membentak dan tongkat ularnya yang sudah putus itu menyambar dahsyat. pemuda itu tidak menghindar ke belakang, bahkan maju mendekat dan tangan kirinya berhasil menangkap tongkat, lalu tangan kanan yang memegang keris menusuk. Keris pusakanya tepat menghunjam ke dada yang kerempeng itu. Panembahan Kolo Srenggi menjerit dan melepaskan tongkatnya, menggunakan tangan kiri mendekap dadanya yang terluka dan diapun terhuyung roboh telentang, tewas tak lama kemudian.
Melihat betapa lima orangnya sudah roboh semua, bahkan guruna juga tewas, Ki Munding hideung cepat menggerakkan kakinya melarikan diri. akan tetapi karena kedua pundaknya masih nyeri sekali kalau dipakai berlari, maka larinya juga tidak cepat. melihat dia lari, sulastri yang memandang semua itu dengan mata bingung lalu melontarkan golok rampasannya.
"Syuuuttt....... cappp.......!"
Golok meluncur bagaikan anak panah dan menancap di punggung Munding Hideung. Raksasa muka hitam ini menjerit dan roboh tertelungkup, tewas seketika karena golok itu menancap dalam sekali. Pemuda itu cepat menghampiri. Kini mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak dua meter dan saling pandang. Pemuda itu memandang dengan sinar mata mengandung iba dan kagum. Dia melihat betapa dahi gadis itu dekat pelipis luka dan kebiruan, akan tetapi luka itu sudah tertutup bobok jamu. Juga pundak kiri yang kulitnya putih mulus itu terluka dan sudah diobati. Mata gadis itu indah sekali dan amat tajam, akan tetapi pada saat itu memandang kepadanya dengan heran dan bingung. Dia melihat gadis itu masih sangat muda sekali, akan tetapi tadi memiliki sepak terjang yang amat hebat, pada hal tubuhnya sudah terluka.
"Nimas."
Dia menyebut nimas karena yakin bahwa gadis itu lebih muda dari padanya dan malihat sikap, wajah dan pakaiannya, gadis itupun bukan seorang gadis dusun yang sederhana dan bodoh.
"Dahi dan pundak andika terluka. Tentu orang-orang jahat ini yang telah melukaimu."
Sulastri memandang pemuda itu dengan heran. Ia tahu bahwa pemuda ini tadi telah menolongnya, membantunya melawan orang-orang yang mengeroyoknya, akan tetapi ia tidak mengenal siapa pemuda itu.
"Terima kasih atas petolonganmu, ki sanak. Akan tetapi luka-luka ini.......
"
Ia meraba dahi dan pundak kirinya yang terluka.
"..... kukira bukan mereka yang melukaiku. Ketika bertempur tadi aku tidak merasa dilukai mereka.....
"
"Kalau begitu, mengapa dahi dan pundakmu terluka? Siapa yang telah melukaimu?"
Sulastri mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu.....
"
Pemuda itu menatap wajah Sulastri dengan heran. Bagaimana orang sampai tidak tahu apa yang menyebabkan ia terluka seperti ini? Dia lalu memandang kepada mayat orang-orang yang tadi mengeroyok gadis itu.
"Siapakah mereka ini? Dan mengapa mereka mengeroyokmu?"
Sulastri memandangi mayat-mayat itu satu demi satu dengan penuh perhatian, akan tetapi slisnya berkerut dan ia memandang kembali kepada pemuda itu lalu menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu mengapa mereka mengeroyokku.......
"
Pemuda itu menjadi semakin heran.
"Ah, aneh sekali. Andika tidak mengenal mereka akan tetapi mengapa mereka mengeroyok andika? Sungguh jahat orang-orang ini. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, nona. Siapakah namamu dan bagaimana bisa sampai bisa sampai ke tempat ini?"
Mendengar pertanyaan itu, Sulastri memandang pemuda itu dengan bingung. melihat sikap Sulastri, pemuda itu tersenyum maklum. Memang tidak pantas kalau seorang gadis memperkenalkan diri lebih dulu kepada seorang pemuda.
"perkenalkanlah, nimas, aku bernama Jatmika dari Banten, akan tetapi sekarang aku telah pindah dan tinggal di dermayu. Nah, setelah andika mengenal namaku, bolehkah aku mengetahui siapa nama andika dari mana andika berasal?"
Mendengar pertanyaan ini, Sulastri menjadi semakin bingung. Ia meraba kepalanya dan menjawab lirih.
"..... aku..... aku tidak tahu.....! Ah, aku tidak..... ingat siapa namaku..... tidak ingat dari mana aku berasal..... tidak tahu mengapa berada di sini!"
Ia menjatuhkan diri berlutut dan masih memegangi kepalanya.
"Ah, di mana aku sekarang ini? Siapa aku ini..... ? Ki sanak..... eh, kakangmas Jatmika, tolonglah, beritahu aku, siapa aku ini..... ?"
Pemuda itu adalah Jatmika, putera tunggal Ki Sudrajat. seperti telah diceritakan di bagian depan, Ki Sudrajat adalah putera kandung mendiang Ki Tejo Budi, akan tetapi semenjak kecil Ki Sudrajat menjadi putera tiri Ki Tejo Langit yang kemudian mengubah namanya menjadi Ki Ageng Pasisiran.
Semenjak kecil Ki Sudrajat dipelihara dan dididik oleh Ki Tejo Langit yang dianggap ayah kandungnya sendiri dan tinggal di Banten. Kemudian Ki Sudrajat menikah dan mempunyai seorang anak, yaitu Jatmika. Sejak kecil Jatmika dididik oleh ayahnya, bahkan juga dibimbing dalam olah kanuragan oleh kakeknya di pantai Dermayu. Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit yang amat sayang kepada cucunya ini lalu minta agar Jatmika tinggal bersamanya. Akan tetapi pemuda ini tidak betah untuk tinggal menganggur saja di pondok kakeknya. Dia berpamit untuk merantau dan pada hari itu secara kebetulan saja dia tiba di kaki Gunung Careme dan lewat di hutan cemara itu sehingga melihat Sulastri yang dikeroyok enam orang, maka cepat dia membantu.
Kini melihat kedaan gadis yang lupa akan namanya sendiri itu, yang berlutut dan memegangi kepalanya, wajahnya tampak sedih sekali dan minta tolong kepadanya untuk memberi tahu siapa ia. jatmika segera dapat menduga apa yang telah terjadi dan menimpa gadis itu. Mungkin luka di dekat pelipis itu, pikirnya. Gadis itu tentu telah menerima pukulan keras didahinya sehingga isi kepalanya mengalami guncangan hebat dan agaknya hal itu membuatnya melupakan segala hal! Dia merasa iba sekali dan kecerdikannya membuat Jatmika cepat mengambil keputusan ketika dia menjawab dengan sura lembut menghibur.
"Ah, sekarang aku ingat, nimas! Namamu adalah Listyani dan biasa engkau dipanggil Eulis! dan aku tahu bahwa engkau datang dari daerah Cirebon walaupun aku tidak tahu tepatnya di mana karena aku belum pernah berkunjung ke rumahmu."
"Listyani..... ? Eulis..... ?"
Sulastri berkata perlahan seolah hendak menghafalkan nama itu.
"kenapa aku dapat melupakan nama sendiri? Ah, engkau tentu benar, kakangmas Jatmika. engkau telah menyelamatkan aku. Engkau baik sekali kepadaku, tentu engkau tidak berbohong! Namaku Listyani, biasa disebut Eulis. Ya-ya..... namaku bagus! akan tetapi siapa orang tuaku? Apa yang telah terjadi denganku selama ini? Aku telah lupa sama sekali!"
Jatmika tidak menjadi bingung. dia tersenyum.
"Mana aku tahu, nimas Eulis? Kita baru saja berkenalan dan aku hanya mengetahui namamu saja. Engkau belum pernah menceritakan padaku tentang orang tuamu dan segala hal mengenai dirimu. Engkau agaknya mengalami pukulan yang cukup parah. Aku mengerti sedikit tentang pengobatan. Mari, biarkan aku memeriksa luka-lukamu, nimas. Akan tetapi jangan di sini. Tempat ini menyeramkan dengan mayat-mayat ini. Kita mencari tempat lain yang lebih bersih dan nyaman. Akan tetapi tunggu dulu aku harus membereskan mayat-mayat ini."
Melihat pemuda itu menyeret mayat-mayat yang berserakan itu ke dalam pondok, Sulastri atau agar memudahkan mulai sekarang kita sebut saja nama panggilannya, yaitu Eulis, memandang dengan heran. Biarpun benturan pada kepalanya membuat ia lupa akan segala hal yang lalu, namun pikirannya masih bekerja dengan baik, dan kecerdikannya tidak berkurang.
"Kakangmas Jatmika, apa yang hendak kau lakukan dengan mayat-mayat itu?"
Tanyanya.
Pada saat itu Jatmika sudah menyeret mayat Munding Hideung yang letaknya paling jauh dari pondok lalu memasukkannya ke dalam pondok, kemudian dia memasuki pondok, menemukan seguci minayak dan dituangkan minyak itu diatas mayat-mayat itu, lalu dia mengumpulkan kayu-kayu dan daun-daun kering, ditimbunkannya semua itu pada mayat-mayat, barulah ditutupkannya pintu pondok.
"Aku akan membakar pondok ini, nimas. Kasihan mayat-mayat itu kalau tidak ada yang mengurusnya, maka biarlah mereka itu terbakar bersama pondok ini agar sempurna."
Sulastri mengangguk-angguk. Pemuda yang bijaksana, pikirnya. Sakti mandraguna dan bijaksana, inilah kesan hatinya terhadap Jatmika, di samping ia harus mengakui bahwa pemuda itu tampan, lembut dan menarik hati. Ia hanya memandang ketika Jatmika mengerjakan semua persiapan itu.
Setelah pemuda itu membakar pondok, dia lalu berkata kepada Eulis.
"Marilah kita meninggalkan tempat ini, mencari tempat yang lebih bersih untuk bercakap-cakap."
"Bercakap-cakap?"
Sulastri bertanya karena ia sendiri bingung, sama sekali tidak ingat akan apa yang telah dilakukan, dan tidak tahu apa yang sedang dan akan dilakukan. Ia sama sekali lupa akan segala hal mengenai dirinya.
"Ya, bercakap-cakap..... maksudku..... aku harus memeriksa luka-lukamu dan mencoba untuk mengobatinya. Marilah, nimas,"
Kata Jatmika dengan lembut.
Eulis mengangguk dan mengikuti pemuda itu meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian tibalah mereka di tepi sebuah sungai kecil. Sungai itu tidak banyak airnya, akan tetapi air yang mengalir di antara batu-batu itu jernih sekali. Sawah ladang membentang luas dan dari jauh tampak beberapa orang petani mencangkul di sawah.
"Nah, mari kita duduk di sini dan aku akan memeriksa luka-lukamu, nimas,"
Kata Jatmika. Eulis mengangguk lalu duduk di atas sebuah batu yang rata. Jatmika menghampiri.
"Maafkan aku, nimas,"
Katanya sopan sebelum dia memeriksa luka di dahi dekat pelipis itu.
Luka itu memang tidak terlalu besar, akan tetapi cukup dalam dan melihat warna biru kehitaman di sekeliling luka, mudah diduga bahwa dahi itu terkena pukulan benda yang keras dan kuat sekali sehingga menggetarkan otaknya.
"Bagaimana rasanya luka di dahi ini, Nimas Eulis?"
"Rasanya agak pusing dan panas.
"
Kata Eulis.
"Hemm, panas, ya?"
Jatmika mengerutkan alisnya.
"Tunggu, aku hendak mencari daun bayam dan madu. Dan luka di pundak ini..... hemm, maafkan kelancanganku, nimas,"
Kata Jatmika dan tidak jadi menyentuh luka itu yang berada di pundak agak ke bawah sehingga mendekati kaki bukit dada gadis itu.
"Agaknya luka ini karena tertusuk benda tajam. Ingatkah engkau apa yang melukai pundakmu ini?"
Eulis menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu, tidak ingat lagi."
"Hemm, luka terkena tusukan benda dari logam ada bahayanya terkena racun dan membusuk. Tunggulah sebentar, nimas. Pesediaan obat yang berada dalam bungkusan pakaianku tidak cukup. Aku harus mencari ke dusun di depan. Atau sebaliknya engkau ikut saja. aku khawatir kalau engkau kutinggalkan sendiri di sini, ada orang-orang jahat yang muncul lagi."
"Aku tidak takut!"
Kata Eulis. ternyata watak sulastri yang keras dan pemberani itu masih belum berubah.
"Aku percaya, nimas. Akan tetapi engkau sedang menderita luka. Marilah."
Suara lembut yang membujuk dari Jatmika itu membuat Eulis menurut dan pergilah mereka ke dusun yang sudah tampak dari situ. Jatmika mencari ramuan Asam Kawak (Asam lama), garam, daun Jarong dan Madu. Ramuan ini untuk dikompreskan pada luka di pundak, sedangkan untuk mengobati luka di dahi, dia menumbuk daun Bayam Duri, lalu dicampur madu dan ditempelkan pada luka itu. selain itu, Jatmika juga menggodok Temulawak dan Gadung untuk diminumkan kepada gadis itu.
Sikap Jatmika yang berwibawa dan lembut, juga karena dia membawa bekal uang yang cukup untuk semua biaya itu, membuat Ki Lurah di dusun itu menerima mereka dengan hormat dan senang. Selama tiga hari mereka berdua tinggal di rumah Ki Lurah. Obat itu ternyata manjur sekali. Dalam waktu tiga hari saja luka-luka itu telah sembuh dan Eulis tidak merasa nyeri lagi. Hanya ingatannya yang belum kembali. Ia sama sekali lupa akan masa lalunya. Ia seolah hidup baru dan kehidupannya mulai dari pertemuannya dengan Jatmika! Ia hanya ingat bahwa ia dikeroyok enam orang lalu ditolong Jatmika, sejak saat itu sampai sekarang. Itulah saja yang dapat diingatnya!
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo