Bagus Sajiwo 19
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Ken Darmini, disini ada kursi kosong. Aku Ratna Manohara murid Driya Pawitra mengundangmu duduk di sebelahku kalau engkau suka."
Ken Darmini memandang ke arah gadis dari Grajagan itu, lalu ia menyapu ke arah para datuk dan undangan yang hadir disitu. Ia tersenyum lebar.
"He-he-heh! Kulihat bahwa hanya kita berdua sajalah wanita yang hadir disini. Baik, aku suka duduk disebelahmu, Ratna!"
Ia lalu melangkah cepat menghampiri Ratna Manohara dan duduk di atas kursi di sebelahnya. Dua orang dara jelita yang muda dan sakti mandraguna ini segera bercakap-cakap dengan suara setengah berbisik, tampaknya gembira dan asyik, tanpa mengacuhkan orang-orang yang berada disitu.
Melihat ini, Sang Adipati Blambangan mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya tersenyum dan dia menggeleng-geleng kepalanya. Para tamu juga hanya dapat menggeleng-geleng kepala, merasa tidak berdaya. Mereka semua tahu bahwa kalau dua orang wanita saling bertemu dan mereka merasa suka satu sama lain, tentu mereka berdua akan berceloteh dan ngobrol dengan gembira. Sebetulnya yang banyak bicara adalah Ken Darmini.
Sang Adipati Blambangan memperkuat suaranya ketika dia berkata.
"Kami ulangi lagi ucapan selamat dalang dan terima kasih kami bahwa Andika sekalian suka memenuhi undangan kami. Kita datang dari berbagai daerah, akan tetapi mempunyai satu persamaan, yaitu kita semua menentang Mataram. Persamaan ini membuat kita dapat bekerja sama dengan baik untuk menghadapi ancaman Mataram dan menentangnya kalau Mataram berani datang menyerang. Dengan mempersatukan segenap kekuatan kita, kita bahkan akan mampu menyerang dan menundukkan Mataram atau sedikitnya dapat menimbulkan kekacauan di Mataram sehingga melemahkan kekuatan mereka. Apakah diantara Andika sekalian ada yang ingin memberi tanggapan atas pendapat yang kami kemukakan itu?"
Kebanyakan dari mereka mengangguk-angguk, merasa setuju. Tejakasmala utusan dari Raja Klungkung yang masih muda dan berwajah tampan dan gagah itu, berbisik kepada Cakrasakti, seorang diantara dua orang Senopati Klungkung yang duduk disebelahnya.
Senopati Bali Cakrasakti lalu berkata dengan suara lantang.
"Kami wakil Kerajaan Klungkung di Bali-dwipa setuju sekali. Mataram memang musuh kita!"
Terdengar suara tawa yang serak dan terbahak-bahak.
"Hak-hak-hak! Tepat sekali, kami utusan Kumpeni Belanda juga setuju sepenuhnya. Kita harus menghentikan keangkara-murkaan Mataram yang ingin menjajah semua daerah!"
Suara ini diucapkan oleh Arya Bratadewa, datuk Banten yang menjadi antek Kumpeni.
Mendengar pernyataan utusan Kerajaan Klungkung di Bali dan utusan Kumpeni Belanda yang merupakan dua kekuatan terbesar, hampir semua tamu menyatakan setuju.
Sejak tadi Bhagawan Kalasrenggi memperhatikan sikap Wiku Menak Jelangger yang dia tahu biasanya tidak memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap Mataram. Dia melihat Sang Wiku tidak ikut ramai-ramai menyatakan setuju dengan ucapan Sang Adipati, hanya duduk diam saja, maka dia pun bertanya dengan suara nyaring sehingga semua orang terdiam mendengarkan.
"Heh-heh-heh, sahabat Wiku Menak Jelangger!"
Suara Bhagawan Kalasrenggi itu tinggi melengking seperti suara wanita.
"Aku melihat Andika diam saja. Bagaimana tanggapan Andika terhadap pernyataan Sang Adipati tadi? Karena Andika adalah seorang datuk dari Blambangan maka kami ingin sekali mendengar pendapat Andika!"
Semua orang kini memandang kepada Wiku Menak Jelangger dan ingin sekali mengetahui jawaban tokoh Blambangan ini.
Sang Wiku bersikap tenang saja mendengar pertanyaan Bhagawan Kalasrenggi yang berhasil menarik hati Adipati Blambangan sehingga diangkat menjadi penasihat dan orang kepercayaan. Dia lalu menjawab, suaranya lembut.
"Jagad Dewa Bathara! Sahabat Bhagawan Kalasrenggi, kenapa Andika masih menanyakan hal itu kepadaku? Aku adalah seorang kawula Blambangan, oleh karena itu, kerajaan mana pun, siapa pun kalau mengacau dan mengganggu rakyat di Blambangan, pasti akan kutentang. Aku akan membela Blambangari dengan taruhan nyawa!"
"Heh-heh, sahabat Wiku Menak Jelangger, Andika belum menjelaskan apakah Mataram itu Andika anggap musuh atau bukan?"
Bhagawan Kalasrenggi mendesak.
"Sudah kukatakan bahwa aku akan menganggap siapa saja yang mengganggu kehidupan rakyat Blambangan sebagai musuh. Dan siapapun juga yang tidak menyerang Blambangan dan tidak mengganggu rakyatnya, tentu saja tidak kutentang."
"Wah, tepat sekali ucapan Sang Wiku Menak Jelangger itu! Aku setuju sepenuhnya. Kalau orang tidak mengganggu kita, untuk apa kita tentang? Siapa yang mengganggu kita, itulah musuh kita!"
Kata Ken Darmini dengan suara lantang.
Ia adalah seorang gadis yang galak, ugal-ugalan, berani, akan tetapi terbuka dan jujur, apa yang keluar dari mulutnya langsung keluar dari hatinya.
"Eh, Ratna, engkau sebagai wakil Driya Pawitra, bagaimana pandapatmu dengan ucapan Wiku Menak Jelangger tadi?"
Dengan suara lembut namun cukup tegas Ratna Manohara menjawab pertanyaan itu.
"Aku pun setuju dengan pendapatmu tadi, Ken Darmini. Kami sama sekali tidak ingin mencari permusuhan, akan tetapi kalau kami diganggu, tentu saja kami akan melawan dengan taruhan nyawa kami!"
Semua orang lalu saling bicara sendiri mendengar ucapan Wiku Menak Jelangger, Ken Darmini dan Ratna Manohara itu.
Mendengar ucapan tiga orang itu, diam-diam Adipati Blambangan merasa tidak puas. Dia mengumpulkan semua kekuatan untuk digabungkan bukan hanya untuk mempertahankan Blambangan kalau diserang Mataram, akan tetapi juga untuk menyerang dan kalau mungkin menundukkan Kerajaan Mataram. Maka dia ingin sekali mendengar utusan Kumpeni Belanda karena dia yakin bahwa Kumpeni akan menyokong niatnya menyerbu daerah Mataram. Dia mengangkat tangan kanan ke atas minta mereka tenang dan suara biasing itu perlahan-lahan mereda karena semua orang ingin mendengar apa yang akan dikatakan Sang Adipati.
"Saudara sekalian, kita masih ingin mendengarkan pendapal pihak lain. Kami persilakan utusan Kumpeni untuk menyatakan pendapatnya."
"Hak-hak-hak! Kalau Sang Adipati menanyakan, sekali lagi kami tegaskan bahwa Kumpeni selalu menganggap Mataram sebagai musuh! Bahkan beberapa tahun yang lalu Mataram pernah dua kali berturut-turut menyerbu Batavia, akan tetapi pihak Kumpeni dapat bertahan dan mengusir mereka. Tentu saja kami mendukung Blambangan untuk memusuhi Mataram dengan segala cara! Ha-ha-hak!"
Arya Bratadewa tertawa lagi terbahak-bahak.
Tiba-tiba terdengar suara yang halus, namun mengandung getaran kekuatan yang mengguncang hati semua orang. Itulah suara Tejakasmala yang bicara sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya mengandung getaran kuat dan berwibawa.
"Paman Adipati, saudara-saudara sekalian! Pendapat Andika sekalian itu benar. Juga pendapat Nimas Ayu Ratna Manohara dan Nimas Ayu Ken Darmini tadi tidak salah! Mereka berdua, maksud saya bertiga dengan Paman Wiku Menak Jelangger, menyatakan pendapat berdasarkan kepentingan pribadi, bukan seperti kami yang pendapatnya berdasarkan kepentingan kerajaan. Saya kira hal ini adalah karena mereka bertiga itu, belum mengerti akan urusan politik negara. Mereka tidak menyadari akan keangkara-murkaan Mataram yang sudah mendudukkan dan menjajah banyak daerah, yang terakhir daerah Kadipaten Surabaya, Madura dan Giri. Karena tidak mengerti, biarlah mereka itu berdiri di atas pendapat mereka sendiri. Setidaknya, Blambangan tentu akan mereka bela mati-matian kalau sampai diserang Mataram. Bukankah demikian, Paman Wiku Menak Jelangger, Nimas Ayu Ken Darmini dan Nimas Ayu Ratna Manohara?"
Sang Wiku Menak Jelangger hanya mengangguk-angguk, mau tidak mau membenarkan ucapan utusan Kerajaan Klungkung yang masih muda itu, walau pun di dalam hatinya ada perasaan tidak suka kepada pemuda yang tampan halus ini, mungkin perasaan ini timbul karena pancaran sinar mata pemuda tampan gagah itu.
"Ya, aku tidak menyangkal. Aku akan membela Blambangan kalau diserang musuh karena aku pun merasa menjadi warga-negara Blambangan, akan tetapi aku tidak mau diajak memusuhi kerajaan lain yang tidak mengganggu Blambangan!"
Kata Ken Darmini lantang.
"Aku setuju sekali dengan pendirian Mbakayu Ken Darmini!"
Kata Ratna Manohara.
"Heh-heh-heh, kalau pendirian Andika bertiga seperti itu, lalu apa gunanya mengikuti rapat pertemuan ini? Kami hendak membicarakan usaha kami menyerbu ke daerah Mataram yang menjadi musuh kami, kalau Andika bertiga tidak menyetujui tindakan yang akan kami lakukan itu, tidak perlu Andika berada disini. Nanti saja kalau Blambangan diserang musuh, Andika bertiga baru datang membela Blambangan bersama kami."
Kata Bhagawan Kalasrenggi dengan suaranya yang tinggi.
"Sadhu-sadhu-sadhu...!"
Kata Wiku Menak Jelangger sambil merangkap kedua tangan depan dada lalu bangkit berdiri.
"Ucapan Sang Bhagawan Kalasrenggi itu tidak keliru. Saya mohon pamit, Sang Adipati setelah berkata demikian, Wiku Menak Jelangger lalu keluar dari ruangan itu dengan langkah tegak.
"Huh! Untuk apa aku lebih lama disini hanya untuk mendengar dan melihat kesombongan seorang dukun tua bangka yang tengik? Paman Adipati, aku memang tidak perlu lagi tinggal disini lebih lama. Aku minta pamit!"
Kata Ken Darmini dengan galak, lalu ia menoleh kepada Ratna Manohara.
"Adik Ratna, mari kita keluar dari sini!"
"Paman Adipati, saya pun mohon pamit karena tidak ada keperluan lagi disini."
Kata Ratna Manohara sambil berdiri dan dua orang dara jelita ini melangkah keluar dari ruangan itu.
Melihat ini, si kembar Dhirasani dan Dhirasanu merasa tidak enak hati. Tadinya mereka berdua terpesona dan tertarik oleh kecantikan Ratna Manohara. Kemudian Ken Darmini yang jelita juga amat menarik hati mereka berdua. Maka, melihat dua orang dara jelita itu meninggalkan ruangan dan tampaknya tidak senang hati, mereka segera berkata kepada ayah mereka, Sang Adipati Blambangan.
"Kanjeng Rama, kami hendak pergi keluar sebentar."
Tanpa menunggu jawaban ayah mereka, kedua orang pemuda itu lalu keluar dari ruangan dan mengejar dua orang gadis yang sudah lebih dulu keluar dari situ.
Akan tetapi mereka tidak melihat dua orang gadis itu di luar. Mereka lalu bertanya kepada perajurit dan mendapat jawaban bahwa dua orang gadis itu menuju ke barat. Karena maklum bahwa dua orang gadis itu sakti dan mungkin menggunakan kepandaian mereka untuk berjalan cepat, dua orang muda kembar itu lalu berlari cepat mengejar ke barat.
Di pintu gerbang sebelah barat mereka mendengar dari penjaga pintu gerbang bahwa baru saja dua orang gadis yang mereka kejar itu lewat. Maka mereka terus melakukan pengejaran ke barat, keluar kota kadipaten dan akhirnya mereka dapat menyusul dua orang gadis yang sedang berjalan sambil bercakap-cakap itu.
"Nimas Ayu berdua, berhentilah sebentar, kami ingin bicara!"
Teriak Dhirasani sambil menghampiri bersama adik kembarnya, Dhirasanu.
Dua orang gadis itu menengok dan melihat dua orang pemuda kembar itu mengejar mereka, Ken Darmini tersenyum dan berbisik kepada Ratna Manohara.
"Wah, Raden Nakula dan Raden Sadewa datang..., ataukah mereka itu lebih cocok disebut Raden Citraksi dan Raden Citraksa?"
Ratna Manohara tersenyum, geli hatinya mendengar ini.
Nakula dan Sadewa adalah kakak beradik kembar dari tokoh tokoh Pandawa Lima, yaitu saudara ke empat dan ke lima. Ada pun Raden Citraksi dan Citraksa adalah dua orang kakak beradik dari pihak Kurawa yang ada yang mengira kembar, akan tetapi dua orang tokoh ini merupakan pemuda-pemuda yang sombong, tekebur, galak, banyak lagak seperti sakti mandraguna, namun sesungguhnya lemah dan pengecut. Dua orang tokoh Kurawa ini oleh ki dalang sering dimunculkan sebagai dua orang tokoh yang menjemukan dan lucu.
Ketika tiba di depan dua orang gadis yang masih tersenyum lebar setengah tertawa-tawa itu, Dhirasani dan Dhirasanu merasa girang karena menduga bahwa dua orang dara jelita ini bergembira melihat mereka berdua!
"Nimas berdua, kami sungguh merasa bahagia sekali dapat bertemu dengan Andika berdua!"
Kata Dhirasani sambil menatap wajah Ken Darmini tanpa menyembunyikan rasa kagumnya.
Pemuda ini memang telah tergila-gila begitu melihat Ken Darmini yang lincah dan pandai bicara.
"Tentu saja kita dapat saling bertemu karena kalian memang mengejar kami, bukan?"
Balas tanya Ken Darmini sambil tersenyum sehingga wajahnya tampak lebih menarik.
"Aku gembira sekali melihatmu, Nimas Ratna Manohara!"
Kata pula Dhirasanu yang lebih pendiam daripada kakak kembarnya dan dia lebih kagum kepada Ratna Manohara yang juga pendiam dan lembut.
"Akan tetapi kami tidak gembira karena andika berdua mengganggu perjalanan kami."
Ucapan Ratna Manohara ini membuat Dhirasanu tertegun dan tak mampu bicara lagi.
"He-he, aku tidak tahu antara kalian ini, mana yang Citraksi mana Citraksa..."
"Citraksi Citraksa...?"
Tanya Dhirasani heran sambil memandang kepada Ken Darmini yang setelah berkata tadi lalu tertawa geli.
Ratna Manohara juga tidak dapat menahan tawanya sehingga dua orang gadis itu kembali tertawa-tawa sampai membungkuk-bungkuk menutupi mulut mereka.
"Hi-hi-hi-hik..."
Ratna Manohara mengikik geli.
'"Heh-heh-he-he-he..."
Ken Darmini terkekeh-kekeh, lalu berhasil menghentikan tawanya dan memandang kepada dua orang itu bergantian.
"Maksudku... eh, aku lupa lagi nama Andika berdua!"
Ia tidak berbohong. Memang ia telah lupa lagi siapa nama mereka karena tadi-pun belum berkenalan. Ia hanya mendengar nama mereka disebut Ratna Manohara ketika mereka bercakap-cakap membicarakan mereka yang hadir di Kadipaten Blambangan tadi.
"Nimas Ken Darmini,"
Kata Dhirasani yang tidak marah malah merasa betapa lucunya gadis itu, menganggap ia hanya berkelakar ketika menyebut nama dia dan adiknya sebagai Citraksi dan Citraksa.
"Perkenalkanlah, kami berdua adalah saudara kembar, putera-putera Sang Adipati Santa Guna Alit penguasa Blambangan. Namaku adalah Dhirasani dan ini adik kembarku bernama Dhirasanu!"
"Sudahlah, diperkenalkan juga aku tetap akan bingung membedakan mana yang Dhirasani dan mana yang Dhirasanu. Nah, kalau kalian ingin melanjutkan bicara dengan kami, sekarang yang bernama Dhirasani harus menanggalkan ikat kepalanya dan biar yang bernama Dhirasanu tetap memakai ikat kepala. Dengan begitu aku tidak akan menjadi bingung. Kalau tidak mau, kami pun tidak sudi bicara dengan kalian karena aku menjadi bingung."
Kata Ken Darmini.
Dua orang saudara kembar itu saling pandang, kemudian Dhirasani yang memang sudah tergila-gila kepada Ken Darmini, terpaksa memenuhi tuntutan itu dan dia menanggalkan kain kepalanya. Tanpa kain pengikat kepala ini tentu saja sekarang mudah membedakan diantara mereka.
"Nah, bagus begitu. Sekarang katakan apa mau kalian mengejar kami!"
Kini Ratna Manohara yang bertanya.
Karena yang bertanya gadis murid perguruan Driya Pawitra ini, gadis yang menjatuhkan hatinya, Dhirasanu yang cepat menjawab.
"Begini, Nimas Ratna Manohara. Sebetulnya kami berdua menyusul Andika berdua atas kehendak kami sendiri, tidak diutus siapa pun, karena kami merasa kasihan melihat Andika berdua. Sudah jauh-jauh Andika berdua datang berkunjung, sebelum Andika berdua kami sambut dengan baik Andika sudah pulang lagi!"
"Hemm, untuk apa kami hadir dalam pertemuan yang hendak membicarakan urusan mengacau di daerah Mataram dan mencari penyakit? Tidak ada sangkut pautnya dengan kami!"
Kata Ratna Manohara.
"Karena itulah maka kami berdua mengejar Andika untuk minta maaf akan apa yang telah terjadi dalam ruangan pertemuan tadi. Kami berdua ingin bersahabat baik dengan Andika berdua, karena itu kini kami mengundang Andika berdua untuk menjadi tamu kehormatan kami. Ini merupakan urusan pribadi dan kami berjanji tidak akan bicara tentang urusan negara. Kami ingin menjamu Andika berdua dengan pesta yang tentu akan menyenangkan hati Andika berdua!"
Kata Dhirasani.
"BENAR, kami akan menyuguhkan hidangan terlezat dan pertunjukan tari-tarian, pendeknya, kami akan meng-hibur Andika berdua sebagai tamu-tamu agung kami."
Kata pula Dhirasanu.
Ratna Manohara dan Ken Darmini saling pandang. Ratna mengerutkan alisnya dan Niken tersenyum geli, lalu keduanya menggeleng kepala pertanda bahwa keduanya tidak setuju dan tidak bersedia menerima undangan dua orang pemuda kembar itu.
"Terima kasih, Dhirasani dan Dhirasanu. Akan tetapi maaf, kami tidak bersedia menerima undangan kalian. Kami akan melanjutkan perjalanan dan selamat berpisah!"
Kata Ratna Manohara. Setelah berkata demikian, ia menggandeng tangan Niken Darmini dan mengajaknya memutar tubuh dan melanjutkan perjalanan.
"Eh, tunggu dulu!"
Kata Dhirasam mengejar.
"Katakan dulu kenapa kalian berdua menolak undangan kami?"
Sekarang Niken yang menjawab. la memutar tubuhnya menghadapi pemuda itu dan berkata.
"Kami menolak karena kami melthat ada udang di balik batu!"
"Eh? Apa maksud Andika?"
"Ada niat buruk di balik undangan itu!"
"Aeh, Nimas! Niat kami hanya ingin sekali bersahabat baik dengan Andika berdua!"
Kata Dhirasani penasaran.
"Ya itulah udangnya! Kami tidak ingin bersahabat baik dengan kalian. Sudahlah, kami hendak pergi!"
Kata Niken Darmini dan la lalu membalikkan tubuh diikuti oleh Ratna Manohara dan melangkah pergi.
Akan tetapi tampak dua sosok bayangan berkelebat dan dua orang pemuda kembar itu telah melewati mereka dan kini berdiri menghadang di depan mereka.
(Lanjut ke Jilid 22)
Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 22
Dhirasani sudah memakai lagi kain ikat kepalanya. Wajah kedua orang pemuda kembar itu kemerahan. Mereka merasa penasaran dan marah. Mereka adalah putera-putera Adipati Blambangan yang biasa dihormati semua orang, bahkan disanjung dan mereka mengira bahwa semua gadis memuja mereka dan berlumba untuk menarik hati mereka. Dan kini, biarpun mereka telah merendahkan diri terhadap dua orang gadis ini, mereka ditolak mentah-mentah!
Dua orang gadis dari desa dan gunung berani menolak mereka yang mengundang dua orang gadis itu untuk disambut sebagai tamu agung! Ini amat merendahkan dan menyinggung kehormatan mereka. Mereka adalah putera-putera Adipati, tampan kaya raya dan juga sakti mandraguna!
Melihat dua orang pemuda kembar itu menghadang di depan mereka dengan muka merah dan alis berkerut, Ratna Manohara menegur.
"Hemm, mau apa kalian menghadang perjalanan kami?"
"Nimas berdua! Tadi dalam pertemuan Andika berdua mengatakan bahwa Andika berdua setia kepada Blambangan dan siap membela Kadipaten Blambangan, akan tetapi apa buktinya sekarang? Kalian menolak undangan yang kami ajukan dengan hormat dan baik-baik. Andika berdua agaknya lupa bahwa kami adalah putera-putera Adipati Blambangan dan kami berhak untuk memaksa siapa pun memenuhi perintah kami, termasuk Andika berdua!"
Kata Dhirasani dengan suara bernada marah dan penasaran.
Bagi dia dan adiknya, ditolak oleh seorang wanita, apalagi hanya gadis-gadis gunung, merupakan penghinaan yang menyakitkan hati.
Mendengar ucapan itu, Niken Darmini maju menghadapi Dhirasani sambil bertolak pinggang, kepalanya tegak dan dadanya dibusungkan, sikapnya penuh tantangan.
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aeh-aeh, jangan asal membuka mulut seenaknya kamu, Dhira..."
Ia bingung karena kini tidak lagi dapat membedakan dua orang pemuda itu yang sudah memakai kain ikat kepala semua.
"... Dhira... masa bodoh yang mana saja! Jangan bicara seenaknya! Kami menyatakan setia kepada Kadipaten Blambangan dan rakyatnya, bukan kepada kalian dua orang pemuda sombong yang suka GR (Gede Rasa)! Kami tidak lupa bahwa kalian berdua adalah anak-anak Adipati yang besar kepala! Dan dengarlah baik-baik, Citraksi-Citraksa, kalau kaliah berhak memaksa, kami pun berhak menolak! Nah, sekali lagi kami menolak undangan kalian! Lalu kalian mau apa?"
Sikap Niken Darmini menantang sekali sehingga Ratna Manohara yang wataknya lebih halus itu merasa tidak enak juga.
Wajah kedua orang putera Adipati itu menjadi kemerahan dan pandang mata mereka berkilat. Kakak beradik kembar ini memang bukan orang-orang yang suka mengumbar nafsu, tidak termasuk golongan jahat. Akan tetapi sebagai putera Adipati yang selalu dimanja, selalu dihormati semua orang di Blambangan, mereka menjadi tinggi hati dan merasa lebih tinggi derajatnya danpada orang lain. Mereka tidak jahat atau sewenang-we-nang, akan tetapi karena segala keinginan mereka selalu dituruti, hal ini membuat mereka tersinggung dan marah kalau sekali waktu keinginan mereka ditentang.
Sekali ini pun sebetulnya mereka tidak berniat buruk terhadap dua orang gadis itu, bahkan mereka berdua yang jatuh cinta kepada kedua orang gadis itu merasa tidak enak akan peristiwa di ruangan pertemuan. Mereka menyusul untuk mintakan maaf dan ingin menyenangkan hati dua orang gadis itu dengan mengundang dan menjamunya dengan pesta. Akan tetapi ternyata mereka kini malah mendapat penghinaan dan undangan mereka ditolak. Tentu saja mereka menjadi marah sekali.
Dhirasani dan Dhirasanu tahu benar bahwa dua orang gadis yang mereka hadapi itu adalah gadis-gadis yang sakti mandraguna, bukan gadis-gadis biasa yang boleh mereka paksa. Akan tetapi mereka sendiri pun bukan pemuda-pemuda biasa. Mereka adalah murid-murid Bhagawan Ekabrata, pertapa di Gunung Agung, Bali. Mereka memiliki aji kanuragan yang cukup kuat dan dahsyat. Oleh karena itu, kini diperhina dan ditantang oleh dua orang gadis, tentu saja mereka merasa malu, penasaran dan marah sekali.
"Niken Darmini dan Ratna Manohara!"
Bentak Dhirasani.
"Apakah kalian berdua menantang kami?"
Ratna Manohara mendahului sahabat barunya agar keadaan tidak makin meruncing.
"Sesungguhnya kami sama sekali tidak menantang kalian, akan tetapi kalau kami tidak dapat menerima dan memenuhi undangan kalian karena kami berdua mempunyai urusan lain, seyogianya kalian tidak memaksa kami. Sudahlah, kami tidak mencari keributan atau permusuhan dan biarkan kami pergi. Mari, Mbakayu Niken!"
Ratna Manohara lalu menggandeng tangan Niken Darmini, diajak pergi meninggalkan dua orang pemuda itu.
Niken Darmini hendak membantah, akan tetapi Ratna Manohara menariknya dan memaksanya pergi meninggalkan dua orang putera Adipati itu.
Dhirasani hendak mencegah mereka pergi, akan tetapi sebelum berkata atau berbuat sesuatu, Dhirasanu memegang lengannya dan ketika kakak kembarnya itu memandang kepadanya, dia menggeleng kepala melarangnya. Setelah dua orang gadis itu pergi jauh, Dhirasani menegur adik kembarnya.
"Adi Sanu, kenapa kita harus diam saja? Mereka itu menghina kita, kita harus memperlihatkan kepada mereka bahwa kita bukan pemuda-pemuda tempe!"
"Kakang Sam, bukankah engkau mencinta Niken Darmini? Aku tahu bahwa engkau mencinta Niken Darmini dan aku pun terus terang saja jatuh hati kepada Ratna Manohara. Karena itu, tidak baik kalau kita ribut dengan mereka. Sebaiknya kita menunggu saat yang baik dan tepat untuk mohon kepada Kanjeng Rama untuk meminang mereka secara resmi kepada orang tua mereka. Bukankah itu lebih baik?"
Mendengar ucapan adik kembarnya, Dhirasani mengangguk-angguk lalu memegang pundak adiknya.
"Engkau benar sekali, Adikku. Benar sekali. Untung engkau mengingatkan aku. Kalau sampai kita bermusuhan dengan mereka, tentu saja tidak mungkin kita dapat mempersunting mereka. Mari kita pulang."
Sementara itu, ketika mereka sudah pergi jauh, Niken Darmini mengomel.
"Hemm, bagaimana sih engkau ini, Ratna? Mereka begitu sombong hendak memaksa kita, masa kita diam saja? Mereka patut dihajar. Tadi aku sudah hendak turun tangan memberi hajaran kepada mereka, eh, engkau malah mencegahku. Bagaimana sih engkau ini?"
"Maaf, Mbakayu Niken. Aku rasa tidak baik bermusuhan dengan mereka. Ingat, mereka itu putera-putera Adipati Blambangan dan aku mendengar mereka itu murid-murid Sang Bhagawan Ekabrata di Gunung Agung, Bali.
"Aih..., jadi engkau jerih dan takut, ya?"
Niken Darmini mencela.
"Bukan takut, Mbakayu Niken, melainkan berpikir panjang dan mempertimbangkan akibatnya. Kalau kita berkelahi dan bermusuhan dengan mereka, berarti kita menyeret gurumu dan bahkan perguruanku ke dalam kesulitan karena mungkin akan dianggap pemberontak oleh Adipati Blambangan dan akan timbul permusuhan dengan Bhagawan Ekabrata. Pula, dan ini yang terpenting, kedua orang itu bersikap sopan kepada kita. Mereka hanya mengundang makan dan minta maaf atas peristiwa tadi di gedung kadipaten. Andaikata mereka itu kurang ajar dan mengganggu kita, aku sendiri tidak akan perduli akibatnya dan akan menghajar mereka. Akan tetapi kaiau hanya dengan alasan mereka mengundang kita makan dan kita menolak lalu timbul keributan yang menyeret gurumu dan perguruan kita, bukankah itu merupakan hal yang bodoh sekali?"
Niken Darmini memandang wajah temannya dengan kagum lalu ia mengangguk-angguk.
"Waduh, benar juga ucapanmu itu, Ratna! Senang aku mendapatkan seorang sahabat baru yang selain cantik jelita, gagah perkasa, juga amat cerdik seperti engkau ini!"
Niken Darmini lalu merangkul dan mencium pipi Ratna Manohara.
"Aih, engkaulah yang lebih cantik jelita, lebih sakti mandragurta, sayangnya..."
"Sayangnya apa, hayo?"
"Sayangnya... galak!"
"Hemm, memangnya aku ayam yang sedang bertelur?"
Keduanya tertawa dan Niken Darmini berkata.
"Hemm, kalau dikenang, sebetulnya mereka itu ganteng juga, ya?"
Ratna Manohara memandang wajah Niken Darmini dengan alis berkerut.
"Ah, kiranya engkau ini sir (naiksir) juga, ya?"
Niken Darmini menggoyang kepalanya.
"Sama sekali tidak. Biarpun mereka itu cukup ganteng, akan tetapi mereka bukan calon suami seperti yang kuidamkan."
"Eh? Lalu yang kau idamkan itu yang bagaimana?"
Ratna mengejar.
Niken mengerutkan alisnya dan memejamkan matanya seperti membayangkan dalam benaknya.
"Tampan atau ganteng maupun kesaktian bukan menjadi tolak ukur, juga kekayaan dan kedudukan, bagi pria yang kuidamkan. Idamanku adalah seorang pria yang kalau bertemu dengan aku dapat membuat jantungku melompat-lompat dan tadi ketika aku bertemu dengan mereka, jantungku diam saja! Dan bagaimana dengan engkau, Ratna?"
Kembali mereka tertawa-tawa.
"Ah, aku sama sekali belum mempunyai niat untuk urusan itu, Mbakayu Niken. Membayangkan sedikitpun belum."
"Engkau harus mulai dari sekarang mempunyai idaman agar kelak bertemu dengan orang yang cocok dengan yang kau idamkan. Andaikata kita menjadi isteri dua orang putera Adipati tadi, wah, tidak sudi aku hidup dekat denganmu, Ratna!"
Niken Darmini bersikap genit, bibirnya berjebi dan hidungnya yang ujungnya agak menjungkat itu digerakkan seperti mencium bau tidak enak.
"Memangnya kenapa?"
Tanya Ratna Manohara yang biasanya pendiam, akan tetapi bicara dengan Niken Darmini, bagaimana bisa tetap pendiam?
"Aku khawatir suami kita itu akan saling tertukar-tukar tanpa kita mengetahuinya. Ih, geli dan serem!"
Kembali kedua orang gadis itu terkekeh, bahkan Ratna Manohara sampai terpingkal-pingkal.
Setelah tiba di jalan perempatan dimana mereka harus berpisah, Ratna Manohara harus berbelok ke kiri sedangkan Niken Darmini terus ke barat, keduanya berhenti di tepi jalan, duduk di atas batu-batu besar yang terdapat disisi jalan.
"Mbakayu Niken, aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu!"
Kata Ratna.
"Hemm, aku pun menyesal mengapa baru sekarang kita saling mengenal, Ratna. Aku suka sekali kepadamu dan senang menjadi sahabatmu. Padahal kita baru saja bertemu dan berkenalan."
"Karena itu, sebagai sahabat, kiranya sudah sepatutnya kalau kita mengetahui keadaan kita masing-masing. Maukah engkau menceritakan riwayatmu kepadaku?"
"Wah, Ratna. Kita sudah mengetahui bahwa aku berusia sembilan belas tahun, dan engkau delapan belas sehingga engkau menyebut aku Mbakayu. Sekarang, siapa yang sepantasnya bercerita lebih dulu, yang muda atau yang tua?"
"Aih, engkau ini belum tua, Mbakayu, bicaramu seolah engkau ini sudah ompong peyot!"
"Siapa yang ompyot?"
"Heh? Apa itu ompyot? Mbakayu Niken?"
"Ompyot itu ya ompong peyot itu tadi. Aku belum ompyot akan tetapi aku lebih tua, jadi seharusnya sang adik yang lebih dulu bercerita. Hayo ceritakan riwayatmu dulu."
Kembali Ratna Manohara tertawa geli, lalu menghela napas panjang.
"Apa sih yang menarik tentang diriku? Seperti tadi telah kaudengar, aku adalah puteri Ki Sarwaguna yang menjadi ketua Perguruan Driya Pawitra. Aku adalah anak tunggal dan Ayahku adalah seorang duda. Ibu meninggal ketika aku masih kecil sehingga aku sudah tidak ingat lagi bagaimana wajah ibuku."
"Wah, kasihan engkau, Ratna. Sekarang ceritakan tentang perguruan yang dipimpin ayahmu itu."
"Perguruan Driya Pawitra dahulu didirikan oleh mendiang Kakekku. Setelah Kakek meninggal dunia, perguruan dipimpin oleh Ayahku, dibantu oleh tiga orang Paman Guruku. Sekarang perguruan kami mempunyai murid sejumlah seratus orang. yang sudah lulus pulang ke tempat kediaman masing-masing, sedangkan yang masih belajar sekarang berjumlah lima puluh orang lebih dan mereka tinggal bersama kami di dusun Grajagan, dalam sebuah perkampungan kami. Sekarang aku bertugas mewakili Ayah untuk melatih para murid wanita yang jumlahnya tujuh belas orang. Dan ketika perguruan kami menerima undangan Adipati Blambangan, Ayah mengutus aku untuk datang mewakilinya. Nah, tidak ada apa-apanya yang menarik, bukan? Sekarang giliranmu. Mbakayu Niken."
"Nanti dulu, Ratna. Mendengar engkau menyebut mbakayu kepadaku, aku jadi merasa tua dan juga sedih."
"Eh, mengapa sedih?"
"Aku pernah mempunyai seorang adik perempuan, akan tetapi ia meninggal dunia ketika berusia tiga tahun. Ia yang biasa menyebut aku Mbakayu. Kalau engkau menyebut begitu engkau mengingatkan aku kepada adikku dan membuat aku sedih. Karena itu, aku minta engkau tidak usah menyebut Mbakayu, sebut saja nama aku!"
"Baiklah, Niken. Memang engkau tidak pantas menjadi Mbakayuku, malah lebih pantas mehjadi adikku. Engkau tampak begitu muda!"
Tentu saja senang hati Niken dikatakan tampak muda. Wanita mana yang tidak senang hatinya disebut lebih muda daripada usianya yang sesungguhnya?
"Bagus, Ratna. Engkau memang seorang sahabat yang baik sekali. Sekarang aku bercerita tentang diriku. Kalau engkau seorang anak yatim, tidak beribu lagi, maka aku adalah anak yatim piatu, tidak punya Ayah dan Ibu lagi."
"Aduh, kasihan sekali engkau, Niken!"
Ratna Manohara merasa terharu dan ia merangkul sahabat barunya. Akan tetapi Niken Darmini tertawa dan melepaskan rangkulan Ratna.
"Wah, sudahlah, Ratna. Aku tidak mau menjadi gadis cengeng yang suka menangis dan kalau engkau bersikap begini terus, aku bisa menangis! Sejak berusia lima tahun aku dipelihara dan digembleng oleh guruku, yaitu Nini Kuntigarba. Aku masih samar-samar ingat akan wajah Ayah lbuku. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka, akan tetapi guruku hanya mengatakan bahwa Ayah Ibuku sudah meninggal dunia, tidak menceritakan lebih banyak lagi. Aku tahu bahwa guruku, Nini Kuntigarba, adalah seorang datuk sesat dan orang-orang menjulukinya Biang Iblis. Akan tetapi ia amat sayang kepadaku dan menganggap aku sebagai anaknya sendiri. Karena itu, biarpun aku tidak setuju dengan wataknya yang keras dan amat kejam, aku tidak bisa membencinya. Aku berhutang budi kepadanya dan aku juga merasa sayang kepadanya. Ketika ia diundang oleh Adipati Blambangan, ia menyuruh aku yang datang. Nah, begitulah riwayatku, sama tidak menariknya dengan riwayatmu."
"Bagiku riwayatmu amat menarik, Niken. Akan tetapi, engkau tadi menolak ajakan Adipati Blambangan yang hendak mengadakan kekacauan di daerah Mataram. Mengapa engkau membenarkan pendapat Wiku Menak Jelangger dan tidak mau membantu?"
"Dan engkau sendiri bagaimana, Ratna? Engkau juga menolak untuk membantu mereka."
"Perguruan Driya Pawitra yang dipimpin Ayah selalu mengutamakan pembelaan kebenaran dan keadilan. Tentu saja kami akan melaksanakan tugas sebagai kawula Blambangan dengan membela Blambangan dan rakyatnya, akan tetapi kalau harus menuruti keinginan Adipati Blambangan untuk membuat kekacauan di daerah Mataram, itu sudah berlawanan dengan pendirian kami membela kebenaran dan keadilan. Kami tidak sudi mengacaukan kehidupan rakyat di daerah Mataram. Bagaimana pendapatmu?"
"Aku tahu bahwa biarpun guruku seorang yang tidak perduli akan kebenaran dan keadilan, namun aku yakin bahwa ia tidak sudi dijadikan antek Adipati Blambangan. Guruku tidak kekurangan harta benda dan ia pun tidak ingin mendapatkan kedudukan. Akan tetapi aku sendiri, secara pribadi, berpendapat bahwa seorang warga negara haruslah membela negaranva kalau diserang musuh dari luar. Ratna, biarpun latar belakang kita berbeda, akan tetapi aku girang sekali bahwa dalam menghadapi ajakan Adipati Blambangan kita sepaham. Aku ingin sekali mengunjungimu dan melihat perguruan kalian di Grajagan."
"Ah, aku akan senang sekali, Niken. Kalau begitu, marilah, sekarang saja engkau langsung ikut aku ke Grajagan. Ayahku juga tentu akan senang menerimamu sebagai sahabatku yang baik!"
"Wah, jangan sekarang Ratna. Aku harus melapor dulu kepada guruku. Kalau guruku memberi ijin kepadaku untuk pergi merantau, maka tempat yang pertama kukunjungi tentu tempat tinggalmu."
Kedua orang gadis itu setelah tidak ada lagi soal yang dibicarakan, lalu berpisah. Ratna kembali ke Grajagan dan Niken menuju ke Gunung Betiri.
Setelah Wiku Menak Jelangger, Ratna Manohara, dan Niken Darmini meninggalkan ruangan pertemuan, Adipati Blambangan melanjutkan perundingannya dengan para tamu undangan.
= ooOoo =
"Kadipaten Pasuruan merupakan benteng pertama Mataram bagi kita,"
Antara lain Adipati Santa Guna Alit berkata.
"Kalau Kadipaten Pasuruan dapat kita duduki, maka jalan menuju daerah-daerah Mataram lain terbuka. Maka, kami kira penyerbuan ke Kadipaten Pasuruan merupakan langkah pertama yang amat pending."
Semua orang setuju dengan pendapat Sang Adipati dan mereka menyatakan siap membantu. Tejakasmala, sebagai utusan Raja Klungkung, Bali berkata tegas.
"Seperti yang pernah kami lakukan sejak dahulu, pasukan Kerajaan Klungkung selalu siap untuk memperkuat barisan Blambangan. Mataram merupakan ancaman bagi kita bersama, karena itu Kerajaan Klungkung akan selalu siap membantu Kadipaten Blambangan untuk menantang Mataram. Kami bertiga, sava, senopati Cakrasakti dan senopati Candrabaya, siap membantu semua rencana Paman Adipati Blambangan."
"Terima kasih, Anakmas Tejakasmala, kami tidak meragukan lagi bantuan Kerajaan Klungkung yang sejak dulu selalu bekerja sama dengan kami."
Adipati Blambangan. lalu memandang kepada Arya Bratadewa yang menjadi utusan Kumpeni Belanda.
"Bagaimana dengan Kumpeni Belando, Arya Bratadewa? Apa kesanggupan yang Andika bawa dari Kapten Van Klompen selain dua peti senapan dan pelurunya tadi?"
"Hak-hak-hak-ha-ha!"
Arya Bratadewa tertawa ngakak (terbahak) sehingga mukanya yang pucat seperti mayat itu tampak menyeramkan.
"Pihak Kumpeni Belanda akan mendukung dan membantu, Sang Adipati. Akan tetapi karena hubungan antara Mataram dan Kumpeni sekarang sedang damai, maka tentu saja Kumpeni tidak dapat membantu dengan pasukan. Namun, Kumpeni berjanji untuk membantu secara diam-diam, mengirim kami dan banyak telik sandi (mata-mata) yang lain untuk membantu selain mengirim senjata api untuk memperkuat pasukan Blambangan dan sekutunya."
Sang Adipati Santa Guna Alit merasa girang dan mereka lalu merundingkan rencana selanjutnya dari gerakan mereka. Pada saat itu, Dhirasani dan Dhirasanu memasuki ruangan dengan wajah agak muram.
"Dari mana saja kalian?"
Sang Adipati menegur.
"Kanjeng Rama, kami berusaha membujuk dua orang gadis itu untuk kembali, akan tetapi kami tidak berhasil. Akan tetapi kita bicarakan urusan ini nanti saja secara kekeluargaan, Kanjeng Rama."
Sang Adipati mengangguk dan Bhagawan Kalasrenggi terkekeh.
"Heh-heh-heh, Sang Adipati. Mereka yang tidak mau mendukung gerakan kita dengan sepenuhnya, patut dicurigai dan diawasi. Terutama sekali Wiku Menak Jelangger itu. Dia sungguh berbeda dengan mendiang Adi Wiku Menak Koncar yang sepenuhnya berjuang untuk kepentingan Kadipaten Blambangan dan mati-matian menentang Mataram sampai berkorban nyawa!"
Mendiang Wiku Menak Koncar adalah adik seperguruan Bhagawan Kalasrenggi dan juga merupakan kakak seperguruan Wiku Menak Jelangger, akan tetapi tidak ada hubungan apa-apa antara Wiku Menak Jelangger dan Bhagawan Kalasrenggi. Ketika Wiku Menak Koncar telah berpisah dari Wiku Menak Jelangger, dia berguru lagi kepada guru Bhagawan Kalasrenggi dan dia mulai tersesat oleh lingkungan perguruan yang baru ini, dimana Bhagawan Kalasrenggi menjadi murid utama.
"Hemm, kami akan mengutus telik sandi untuk mengawasi mereka bertiga. Kalau sekiranya mereka hendak berkhianat, kami akan turun tangan membasmi mereka. kata Sang Adipati.
"Selain itu, menurut pendapat saya, sebelum kita menggempur benteng pertama Mataram, yaitu Pasuruan, kita harus dapat membasmi lebih dulu para pendekar yang mendukung Mataram karena kalau mereka tidak dibinasakan, tentu akan menjadi penghalang besar yang menyulitkan pasukan kita."
Kata pula Bhagawan Kalasrenggi yang menjadi penasihat Adipati Blambangan.
Semua orang setuju dan Sang Adipati minta kepada semua yang hadir untuk memberitahu siapa kiranya pendekar yang berpihak kepada Mataram dan akan merupakan hambatan bagi Blambangan.
"Kami setuju, mereka harus dibinasakan lebih dulu."
Katanya.
Banyak nama pendekar, perguruan, bahkan pertapa disebut sebagai pembela dan pendukung Mataram yang setia. Tejakasmala, pemuda tampan gagah murid Bhagawan Ekabrata pertapa Gunung Agung di Bali itu berkata sambil tersenyum.
"Mudah saja untuk membasmi mereka. Biarlah aku dan dua orang pembantuku yang akan menumpas mereka!"
Katanya dengan tenang dan gagah.
"Para tokoh yang tadi disebutkan masih belum merupakan hambatan yang berarti, Kanjeng Adipati!"
Kata Bhagawan Kalasrenggi.
"Yang benar-benar merupakan bahaya bagi gerakan kita adalah dua pasang suami isteri yang selain pernah menjadi pejuang membantu pasukan Mataram yang menyerang kadipaten-kadipaten di daerah-daerah lalu membantu Mataram dalam penyerbuan ke Batavia, juga terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sakti mandraguna."
Mendengar kakek tua renta itu memuji-muji tokoh yang akan menjadi lawan, Tejakasmala yang berwatak angkuh mengerutkan alisnya.
"Hemm, katakanlah, Eyang Bhagawan. Siapa mereka itu? Aku sanggup untuk membinasakan mereka!"
Bhagawan Kalasrenggi memang tidak mengenal pemuda ini sebelumnya, akan tetapi mendengar bahwa Tejakasmala murid terbaik Sang Bhagawan Ekabrata dari Gunung Agung di Bali, dia dapat menduga bahwa pemuda ini memang sakti mandraguna. Maka, mendengar pertanyaan itu dia lalu berkata.
"Dua pasang orang sakti itu adalah pasangan suami isteri Ki Tejomanik yang terkenal dengan Pecut Sakti Bajrakirana miliknya dan isterinya Retno Susilo. Mereka tinggal di dusun Bayeman, di lereng Gunung Kawi. Dan pasangan yang lain, yang mungkin malah lebih sakti lagi dari pada pasangan pertama tadi adalah Parmadi yang terkenal dengan Seruling Gading senjata pamungkasnya dan isterinya Muryani. Suami isteri ini tinggal di Pasuruan. Nah, dua pasang suami isteri inilah yang merupakan lawan amat berat dan kalau keduanya tidak dibasmi lebih dulu, pasti rencana kita menyerbu Pasuruan akan menghadapi kesukaran karena mereka dan para pendekar lain tentu akan membela pasuruan."
"Apa sih hebatnya dua pasang suami isteri itu? Aku yang akan membasmi mereka!"
Kata Tejakasmala dengan sombong.
Pemuda ini bukan sekedar membual karena dia memang memiliki kesaktian yang hebat, yang mungkin lebih kuat dibandingkan kesaktian Bhagawan Kalasrenggi yang sudah tua itu.
"Sebaiknya kalau kita semua membagi tugas,"
Kata Bhagawan Kalasrenggi.
"Yang terpenting menghadapi dua pasang suami isteri yang sakti mandraguna itu. Kalau Kanjeng Adipari menyetujui dan kalau para utusan Kerajaan Klungkung sanggup, sebaiknya diatur begini. Tiga utusan Kerajaan Klungkung yaitu Teja-kasmala dan kedua orang senopati Klungkung bertugas untuk membunuh suami isteri Permadi dan Muryani yang tinggal di Pasuruan yang lebih dekat. Sedangkan aku sendiri bersama dua orang muridku akan pergi ke Gunug Kawi dan membunuh Ki Tejomanik dan isterinya!"
Adipati Blambangan mengangguk-angguk.
"Itu baik sekali, Paman Bhagawan. Dan biarlah para pendekar yang lain yang dapat merupakan penghalang, dibasmi oleh saudara yang lain."
Semua orang setuju dan mereka menerima tugas masing-masing untuk melaksanakan rencana pertama, yaitu membunuhi para pendekar yang dianggap setia kepada Mataram dan akan menjadi penghalang penyerbuan pasukan Blambangan ke Pasuruan. Persidangan ditutup dengan pesta makan yang mewah sehingga semua tamu undangan merasa gembira. Pesta dihibur oleh tarian dan nyanyian belasan orang ledek dari daerah Banyuwangi yang rata-rata cantik menarik dengan tubuh denok melakukan tarian yang menggairahkan sehingga para tamu makan minum sampai mabok.
- ooOoo -
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lindu Aji dan Sulastri sebagai pengantin baru melaksanakan perjalanan berkuda diiringkan Ki Parto. Mereka menuju pulang ke Gampingan di Pegunungan Kidul. Karena perjalanan itu melewati Loano, maka mereka singgah di rumah Ki Sumali, paman dari Sulastri.
Ki Sumali yang berusia sekitar lima puluh enam tahun dan isterinya, Winarsih yang berusia dua puluh tiga tahun, menyambut kedatangan Lindu Aji dan Sulastri dengan gembira sekali. Apalagi ketika mendengar bahwa mereka sudah menikah! Winarsih merangkul Sulastri dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Aduh, Lastri! Bukan main bahagia rasa hatiku mendengar engkau telah menjadi isteri Lindu Aji. Aiii, terlalu sekali engkau, kenapa menikah diam-diam saja dan tidak mengundang kami?"
"Maafkan kami, Bibi dan juga Paman Subali. Kami merayakan hanya sederhana saja, mengundang teman dan para tetangga dekat."
Ki Sumali dan isterinya menjamu tiga orang tamu itu yang menginap satu malam di rumah mereka. Malamnya mereka mengajak Lindu Aji dan Sulastri bercakap-cakap, sedangkan Ki Parto beristirahat di kamar yang diperuntukkannya.
Mendengar sepasang pengantin itu hendak pulang ke rumah ibu Aji, Ki Sumali berkata.
"Jadi kalian hendak pergi ke Gampingan di Gunung Kidul. Kemudian, apa rencanamu selanjutnya, Anakmas? Apakah kalian akan tetap tinggal disana?"
"Entah kelak, Paman. Akan tetapi sementara ini, setelah kami melangsungkan upacara ngunduh panganten (menyambut mempelai), kami berdua akan pergi ke Jawa Timur, ke Gunung Kawi."
"Ke Gunung Kawi?"
"Juga ke Gunung Liman, Paman."
Kata Sulastri.
"Ketahuilah, Paman. Selama dua tahun aku tinggal di Gunung Liman dan menjadi ketua perguruan Melati Puspa disana dan aku telah meninggalkan mereka untuk sementara. Aku harus kembali kesana dan memilih seorang ketua baru sebelum aku meninggalkan perguruan itu."
"Heh hebat! Engkau semuda ini telah menjadi ketua sebuah perguruan?"
Kata Ki Sumali.
Terpaksa Sulastri menceritakan pengalamannya bagaimana ia sampai menjadi ketua perkumpulan Melati Puspa untuk menghibur kedukaannya karena berpisah dari Lindu Aji.
"Wah ceritamu menarik sekali, Lastri,"
Kata Ki Sumali.
"Kalian juga hendak pergi ke Gunung Kawi, ada keperluan apakah?"
"Kami hendak menemui Paman Tejo-manik yang dikenal dengan nama julukan Pecut Sakti Bajrakirana, Paman."
Kata Lindu Aji.
"Ah, pendekar yang terkenal sakti mandraguna itu? Sudah lama aku mendengar namanya yang besar sebagai seorang satria yang besar jasanya terhadap Mataram!"
Seru Ki Sumali kagum.
"Benar, Paman. Akan tetapi nasibnya buruk dan kepergian kami kesana pun akan menyampaikan berita yang amat tidak enak.
"Hemm, apakah yang telah terjadi?"
Lindu Aji menoleh kepada isterinya dan Sulastri yang bercerita.
"Begini, Paman. Aku pernah bertemu dengan Ki Tejomanik dan isterinya yang bernama Retno Susilo, bahkan kami sama-sama membantu pasukan Mataram ketika menyerang Batavia. Mereka menceritakan bahwa putera tunggal mereka yang bernama Bagus Sajiwo lenyap diculik orang ketika baru berusia enam tahun. Paman Tejomanik dan isterinya mencarinya dan aku berjanji akan ikut mencarinya dalam perjalananku. Nah, ketika aku menjadi ketua perguruan Melati Puspa di Gunung Liman, pada suatu hari aku menemukan sebuah guha di dekat puncak Gunung Wilis tak jauh dari Gunung Liman dan guha itu tertutup reruntuhan dari atas, agaknya longsor. Ketika aku keluar lagi, di mulut guha aku melihat tulisan yang berbunyi KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO. Karena itu, maka kini Kakangmas Aji hendak mengajak aku ke Gunung Kawi untuk menyampaikan berita duka itu kepada Paman Tejomanik dan Bibi Retno Susilo."
Ki Sumali mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
"Nanti dulu! Siapa nama anak yang hilang itu?"
"Namanya Bagus Sajiwo, Paman!"
Kata Sulastri.
"Dan kuburan itu kuburan Bagus Sajiwo dan Maya Dewi?"
"Begitulah bunyi tulisan itu, Paman. Tentu kuburannya berada dalam terowongan guha yang tertimbun batu-batu itu."
"Coba ingat, kapan engkau menemukan guha yang menjadi kuburan mereka itu, Lastri?"
Sulastri mengingat-ingat.
"Hemm, beberapa bulan yang lalu, sebelum aku pergi ke muara Sungai Lorog..."
"Wah, engkau juga pergi kesana, Lastri? Kenapa tidak bertemu dengan aku, Lastri? Aku pun pergi kesana dan hadir dalam pondok Pangeran Jaka Bintara yang mengundang semua tokoh yang hadir. Akan tetapi tidak apa, coba ceritakan dari semula, Lastri. Engkau menemukan tulisan di depan guha itu, kemudian engkau melakukan perjalanan ke muara Sungai Lorog?"
"Benar, Paman. Aku meninggalkan perguruan Melati Puspa lalu melakukan perjalanan ke muara Sungai Lorog untuk menonton pencarian Jamur Dwipa Suddhi. Setelah tiba disana, aku melihat muara itu kosong, tidak ada seorang pun. Selagi aku melihat dari atas bukit kapur, tiba-tiba aku diserang seorang wanita gila. Ia menyerangku tanpa sebab dan kami bertanding. Ia sakti bukan main dan setelah bertanding beberapa lamanya, ia bahkan berhasil merampas Pedang Naga Wilis. Aku tentu sudah tewas di tangannya kalau tidak muncul Kakangmas Aji yang menyelamatkan aku. Wanita yang bernama Candra Dewi itu melarikan diri membawa pedangku. Kami berdua lalu turun ke muara dan disana kami hanya melihat banyak orang yang telah menjadi mayat. Kami berdua menguburkan semua mayat itu lalu meninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Kami lalu pulang ke Dermayu dan kemudian Kakangmas Aji pulang ke Gampingan lalu mengajukan pinangan dan kami menikah di Dermayu. Demikianlah nwayat singkatnya, Paman."
Ki Sumali menghela napas panjang, lalu mengangguk-angguk.
"Aneh, aneh sekali. Kalian tahu, aku bertemu dengan Maya Dewi dan Bagus Sajiwo itu di dalam pondok Pangeran Jaka Bintara dan mereka berdualah yang menyelamatkan aku ketika aku dikeroyok dan dituduh sebagai mata-mata Mataram!"
Lindu Aji dan Sulastri saling pandang dengan mata terbelalak heran.
"Benarkah itu, Paman? Wah, kalau begitu Bagus Sajiwo belum mati! Ah, alangkah bahagianya Paman Tejomanik dan Bibi Retno Susilo!"
Sulastri berkata dengan suara seolah bersorak.
Akan tetapi Ki Sumali menunduk dengan wajah muram.
"Baiklah kuceritakan pengalamanku. Memang semua peristiwa itu amat aneh, sampai sekarang pun aku masih belum mengerti mengapa semua itu terjadi. Begini ceritanya. Seperti juga engkau, Lastri, aku tertarik oleh cerita tentang Jamur Dwipa Suddhi. Aku pergi kesana dan ikut hadir di pondok yang didirikan Pangeran Jaka Bintara dari Banten karena semua tokoh diundang. Disana terjadi keributan karena aku dituduh sebagai mata-mata Mataram yang melakukan penyelidikan. Aku dikeroyok dan berada dalam keadaan gawat dan terancam. Lalu tiba-tiba muncul Maya Dewi dan ia... ia membelaku!"
"Iblis betina itu membantumu, Paman?"
Tanya Sulastri, hampir tidak percaya kepada pamannya.
"Bagaimana mungkin itu?"
"Ya, bagaimana bisa terjadi Maya Dewi membelamu, Paman?"
Kata pula Lindu Aji. Dia dan Sulastri tahu benar siapa Maya Dewi, wanita yang amat jahat dan kejam bagaikan iblis betina dan dulu wanita itu menjadi mata-mata Kumpeni Belanda yang berbahaya sekali.
"Ya, ya, aku sendiri pasti tidak percaya kalau mendengar itu. Akan tetapi aku mengalaminya sendiri! Maya Dewi membelaku mati-matian dan disampingnya ada seorang pemuda, masih amat muda, sekitar enam belas tahun dan namanya... namanya Bagus Sajiwo! Pemuda itu sakti mandraguna, dan mendengar percakapan antara mereka, pemuda luar biasa dan agaknya dialah yang telah mengubah jalan hidup Maya Dewi. Wanita itu kini sama sekali tidak liar dan jelas-jelas ia menentang mereka yang mengeroyok aku. Belasan orang yang tangguh kalah semua oleh Maya Dewi dan Bagus Sajiwo. Akan tetapi mereka itu tidak terbunuh, bahkan tidak terluka berat, hanya roboh pingsan atau tertotok jalan darahnya. Semua itu sungguh luar biasa sekali!"
"Bukan main!"
Sulastri berseru.
"Kalau pemuda itu bernama Bagus Sajiwo, tentu dialah putera Paman Tejomanik. Dia masih hidup!"
Lindu Aji melihat betapa wajah Ki Sumali tetap muram seperti orang yang kecewa atau bersedih.
"Cerita Paman menarik sekali. Lalu bagaimana selanjutnya, Paman?"
Tanyanya.
"Setelah semua orang melarikan diri, Maya Dewi dan Bagus Sajiwo juga keluar dari pondok itu. Aku diam-diam membayangi mereka karena aku merasa kagum dan juga heran. Mereka berdua menuju ke dekat muara Sungai Lorog. Aku mengintai dari jarak jauh. Tiba-tiba aku mendengar letusan-letusan senjata api. Beberapa orang telah menembaki Maya Dewi dan Bagus Sajiwo dari balik batu karang. Aku melihat Maya Dewi dan Bagus Sajiwo terjatuh ke dalam muara! Tujuh orang penembak muncul dari balik batu karang dan menjaga di tepi muara, akan tetapi Maya Dewi dan Bagus Sajiwo tidak pernah muncul lagi. Mereka agaknya tenggelam dan terseret arus air muara ke laut. Tak dapat disangsikan lagi, mereka agaknya tewas terkena tembakan itu..."
Sulastri bangkit berdiri dan mengepal tinjunya.
"Keparat! Jahanam! Tujuh orang itu tentu antek-antek Kumpeni karena mereka memiliki senjata api!"
Lindu Aji menghela napas panjang.
"Lastri, sebelum ditemukan jenazah mereka, aku masih belum yakin bahwa mereka berdua itu tewas. Paman Sumali, apakah jenazah mereka ditemukan?"
"Aku tidak tahu. Aku lalu meninggalkan tempat itu yang berbahaya bagiku."
"Aduh, sungguh celaka!"
Kata Sulastri.
"Hatiku tadi sudah merasa gembira bukan main mendengar Bagus Sajiwo masih hidup setelah dulu melihat kuburan atas namanya itu dan ternyata sekarang... dia tertembak senjata api dan mati...!"
"Bukan mati, Lastri, hanya hilang. Hilang. belum tentu berarti mati."
Kata Ki Sumali.
"Benar seperti apa yang dika-takan Anakmas Lindu Aji tadi."
"Benar begitu, Diajeng, jangan putus asa dulu. Ingat, dulu engkau pun jatuh dari jurang dan menurut perhitungan manusia, pasti engkau tewas. Akan tetapi ketika aku mencari jenazahmu tidak kutemukan, aku tidak putus asa dan aku yakin bahwa engkau masih hidup. Ternyata keyakinanku itu kemudian terbukti benar."
"Mudah-mudahan begitu, Kakangmas Aji. Akan tetapi sebaiknya kita cepat memberitahukan berita ini kepada Paman Tejomanik dan Bibi Retno Susilo."
Demikianlah, Lindu Aji dan Sulastri, diikuti Ki Parto, meninggalkan Loano dan mereka pulang ke dusun Gampingan. Di dusun itu dirayakan upacara "ngunduh panganten"
Secara sederhana, dihadiri para penduduk dusun itu. Setelah tinggal selama satu minggu, sepasang pengantin baru itu lalu berangkat menuju Gunung Kawi, tempat tinggal Ki Tejomanik dan Retno Susilo di dusun Bayeman.
Ki Tejomanik dan isterinya, Retno Susilo tiba di rumah mereka yang terletak di sudut paling pinggir dusun Bayeman. Rumah itu sedang saja akan tetapi mempunyai pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh terpisah dari para tetangga.
Ketika tiba dekat rumah, jantung mereka berdebar mengharapkan putera mereka yang hilang itu telah berada di rumah. Akan tetapi yang menyambut mereka hanya Ki Dirjo, pria berusia lima puluh tahun yang mereka tugaskan untuk menjaga rumah selama mereka pergi. Dari Ki Dirjo mereka mendengar bahwa selama mereka pergi, tidak ada seorang pun yang datang berkunjung. Tentu saja Bagus Sajiwo juga tidak pernah datang berkunjung!
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo