Ceritasilat Novel Online

Bagus Sajiwo 20


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Retno Susilo menjadi lemas dan murung.

   "Sudahlah, Diajeng. Kita harus bersabar dan aku yakin, kalau sudah tiba saatnya anak kita tentu akan pulang. Dia telah menjadi murid Eyang Ki Ageng Mahendra, tentu telah memiliki aji-aji yang linuwih (tingkat tinggi) sehingga dia menjadi sakti mandraguna dan dapat melindungi dirinya sendiri."

   Tejamanik menghibur isterinya setelah mereka memasuki rumah.

   Sejak hari itu, suami isteri ini hanya dapat menunggu dan menunggu, karena mereka tidak tahu kemana harus mencari anak mereka dan kalau mereka pergi lagi mencarinya dengan ngawur, mereka khawatir kalau anak mereka itu sewaktu-waktu pulang! Maka, tidak ada lain jalan bagi mereka kecuali menanti dan menanti dengan penuh kesabaran sambil berserah diri kepada kekuasaan Gusti Allah.

   Mereka sudah cukup berusaha selama berta-hun-tahun ini dan mereka sudah cukup merasa bahagia mendengar tentang putera mereka itu. Kini mereka hanya tinggal menanti saat putera mereka pulang.

   Kurang lebih dua bulan kemudian, ketika Ki Tejomanik dan Retno Susilo sedang bekerja di ladang, kesibukan yang membuat mereka sejenak melupakan penantian mereka itu, tiba-tiba Ki Dirjo datang berlari-lari dari rumah ke tempat suami isteri itu bekerja, agak jauh dari rumah mereka.

   "Denmas... Denmas...!"

   Pembantu itu berteriak sambil berlari menghampiri.

   Suami isteri itu merasa heran dan berlari ke tepi ladang.

   "Ki Dirjo, ada apakah?"

   Tanya Ki Tejomanik dengan alis berkerut, tidak senang melihat pembantunya demikian gugup.

   "Denmas... ada tamu... seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu tampan gagah...ah, mungkin dia..."

   "Kau tanya siapa namanya?"

   Retno Susilo bertanya.

   "Tidak, Masayu, akan tetapi... dia lembut, tampan dan gagah sepantasnya kalau dia putera Andika..."

   "Bagus Sajiwo...!"

   Suami isteri itu melompat dan mengerahkan tenaga sakti sehingga mereka berlari seperti terbang cepatnya menuju ke rumah.

   Ketika mereka tiba di pendopo, seorang pria muda dan seorang wanita muda bangkit dari bangku yang mereka duduki dan Ki Tejomanik dan Retno Susilo memandang dengan wajah tampak kecewa sekali.

   Mereka tak dapat menyembunyikan kekecewaan hati mereka, bahkan Retno Susilo segera terisak dan menutupi muka dengan kedua tangan. Orang muda itu bukan anak mereka karena ia mengenal dia yang bukan lain adalah Lindu Aji bersama Sulastri, keduanya sudah dikenal dengan baik.

   "Paman Tejomanik...!"

   Lindu Aji memberi salam dengan sembah di depan dada.

   "Bibi Retno Susilo, Bibi kenapakah?"

   Sulastri sudah menghampiri Retno Susilo dan memegang lengannya.

   Ki Tejomanik menghela napas panjang.

   "Maafkan kami, Anakmas Lindu Aji dan Sulastri... terus terang saja, kami kecewa karena mengira bahwa putera kami yang pulang..."

   "Ah, kami mengerti, Paman dan Bibi, kami mengerti. Sesungguhnya kami berkunjung ini pun ada hubungannya dengan putera Paman berdua."

   "Tentang puteraku? Bagaimana... dimana...?"

   Retno Susilo menghentikan tangisnya dan merangkul Sulastri.

   "Nanti dulu, Diajeng. Mari kita mengajak mereka duduk dan bicara di dalam."

   Kata Tejomanik dan mereka berempat lalu memasuki rumah dan duduk di ruangan dalam.

   "Apakah Paman berdua sudah mendengar tentang putera Andika, Bagus Sajiwo?"

   Tanya Lindu Aji hati-hati.

   "Kami sudah mendapat keterangan yang melegakan hati, Anakmas Lindu Aji. Putera kami itu ternyata ketika diculik oleh Wiku Menak Koncar, telah tertolong oleh Eyang Ki Ageng Mahendra dan menjadi murid eyang guru. Kami mendapat kabar bahwa setelah Eyang Ki Ageng Mahendra wafat sekitar empat tahun yang lalu, putera kami itu lalu turun gunung. Bagaimanapun juga, hati kami lega mendengar bahwa Bagus Sajiwo selamat bahkan menjadi murid mendiang eyang guru."

   Kata Tejomanik.

   "Akan tetapi kami tunggu-tunggu sampai sekarang dia belum juga pulang. Tadi... tadi kukira dia yang pulang...! Sudah empat tahun turun gunung, kenapa anakku itu belum juga pulang kesini?"

   Retno Susilo berkata sedih.

   "Aduh, Adik Bagus Sajiwo itu sungguh aneh s#ekali. Baru beritanya saja membuat semua panas dingin, sebentar gembira sebentar khawatir!"

   Kata Sulastri.

   "Anakmas Lindu Aji, apa yang Andika ketahui tentang anak kami? Ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya."

   "Saya kira Diajeng Sulastri yang lebih mengetahui akan hal itu, Paman, karena ia mengalami sendiri, akan tetapi sebelumnya perlu kami beritahukan bahwa kami telah menjadi suami isteri."

   Tejomanik dan Retno Susilo gembira mendengar ini.

   "Ah, kami mengucapkan selamat!"

   Kata Retno Susilo.

   "Akan tetapi, Sulastri, cepat ceritakan kepadaku tentang Bagus Sajiwo. Apakah engkau berjumpa dengan dia?"

   Sulastri menghela napas panjang. Rasanya berat untuk menyampaikan berita yang akhirnya akan membuat suami isteri itu gelisah dan berduka.

   "Seperti saya katakan tadi, Adik Bagus Sajiwo itu beritanya membuat kita semua panas dingin, karena itu saya harap kalau saya bercerita tentang dia, janganlah Paman dan Bibi bersenang atau berduka karena ada lanjutannya dan sampai sekarang pun cerita tentang Adik Bagus Sajiwo masih merupakan teka-teki yang penuh rahasia."

   "Aih, ucapanmu membuat hatiku berdebar tegang saja, Sulastri. Cepat ceritakanlah!"

   Kata Retno Susilo.

   "Beberapa bulan yang lalu, di dekat puncak Pegunungan Wilis, yaitu di puncak Bukit Keluwung, saya menemukan sebuah terowongan guha yang ketika saya masuki ternyata terowongan itu tertimbun batu-batu yang agaknya longsor dari atas. Ketika saya keluar lagi, saya melihat di depan guha itu ada tulisan di atas batu yang berbunyi:

   "KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO..."

   "Ah...!"

   Retno Susilo berseru dan wajahnya menjadi pucat.

   "Tenang, Bibi, sudah kukatakan tadi bahwa Bibi jangan merasa susah atau senang lebih dulu karena ceritanya masih bersambung! Memang cerita tentang Adik Bagus Sajiwo ini menyenangkan dan menyusahkan silih berganti, membuat kita panas dingin."

   "Tenanglah Diajeng. Sulastri, lanjutkan ceritamu, kami siap mendengar yang terburuk sekalipun!"

   Kata Ki Tejomanik yang kini merangkul pundak isterinya yang duduk di sampingnya.

   "Saya bertemu dengan Kakangmas Aji dan kami lalu melangsungkan pernikahan kami, direstui kedua orang tua kami. Kemudian kami melakukan perjalanan kesini, sengaja untuk mengabarkan tentang penemuanku di puncak bukit Keluwung Pegunungan Wilis itu. Kami melewati Loano dan mampir ke rumah Pamanku, Ki Sumali dan dari Ki Sumali kami mendapatkan kabar tentang Adi Bagus Sajiwo."

   "Bagaimana kabarnya, Sulastri?"

   Tanya Retno Susilo, akan tetapi kini wanita itu bertanya dengan suara yang tenang. Rangkulan tangan suaminya agak membuat ia lebih tabah dan tenang.

   "Paman Sumali menceritakan bahwa belum lama ini, jadi lama sesudah saya menemukan guha itu, dia bertemu dengan Bagus Sajiwo di muara Sungai Lorog di pantai Laut Kidul. Ini berarti bahwa tulisan di depan guha itu bohong, dan bahwa Adi Bagus Sajiwo masih hidup!"

   "Terima kasih kepada Gusti Allah!"

   Ki Tejomanik dan Retno Susilo berseru.

   "Yang amat aneh, Paman dan Bibi, ketika itu Paman Sumali dikeroyok orang-orang sesat yang menuduhnya sebagai mata-mata Mataram yang hendak merebut pusaka yang sedang dicari-cari..."

   "Maksudmu memperebutkan Jamur Dwipa Suddhi yang kabarnya muncul di muara Sungai Lorog itu? Kami juga mendengarnya, akan tetapi karena kami menanti-nanti pulangnya anak kami, maka kami tidak ikut pergi kesana. Ah, kalau saja kami pergi, tentu akan dapat bertemu anak kami!"

   Kata Retno Susilo.

   "Benar, Bibi. Ketika Paman Sumali dikeroyok dan berada dalam keadaan terancam bahaya, muncullah Maya Dewi yang membelanya!"

   "Ah, Maya Dewi mata-mata dan antek Kumpeni Belanda itu? Tidak mungkin...!"

   Kata Retno Susilo.

   "Bagaimana iblis betina itu membela pendekar yang dituduh menjadi mata-mata Mataram?"

   Kata pula Ki Tejomanik heran.

   "Itulah yang juga amat mengherankan Paman Sumali dan kami berdua. Menurut Paman Sumali, Maya Dewi sudah berubah dan ia menentang para tokoh sesat dan semua itu menurut Ki Sumali agaknya disebabkan oleh Adik Bagus Sajiwo yang muncul bersamanya di tempat itu. Maya Dewi dan Bagus Sajiwo dikeroyok belasan orang tokoh sesat yang sakti-sakti, diantara mereka terdapat Pangeran Jaka Bintara dari Banten dan Kyai Gagak Mudra, lima orang Panca Warak, Kyai Jagalabilawa, dan Ki Kebondanu. Akan tetapi mereka semua kalah dan tidak seorang pun dari mereka yang dibunuh. Mereka melarikan diri dan Paman Sumali selamat."

   "Bukan main! Alhamdulillah (Puji Tuhan), anak kita telah menjadi seorang yang sakti mandraguna dan baik budi!"

   Kata Ki Tejomanik kepada isterinya.

   Retno Susilo mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi, kenapa dia bergaul dengan iblis betina Maya Dewi? Di Puncak Bukit Keluwung tertulis kuburan dia dan Maya Dewi, kemudian di Loano dia juga bersama Maya Dewi. Apa artinya ini?"

   "Inilah yang aneh sekali dan membuat Paman Sumali terheran-heran dan tidak mengerti, terutama melihat Maya Dewi telah berubah menjadi seorang yang bersikap dan bertindak seperti seorang pendekar."

   Kata Lindu Aji, membantu isterinya yang sejak tadi dia biarkan bercerita terus.

   "Betapapun juga, kabar ini menggembirakan sekali karena terbukti bahwa Bagus Sajiwo masih hidup dan dalam keadaan selamat."

   Kata Tejomanik.

   "Lalu bagaimana ceritanya Ki Sumali itu, Sulastri?"

   "Inilah, Paman, yang membuat kami tidak enak hati untuk menceritakan."

   Kata Sulastri.

   "Cerita tentang Adik Bagus Sajiwo memang aneh, sebentar menyenangkan, sebentar menyusahkan."

   "Ceritakan saja, kami siap mendengarkan!"

   Kata Tejomanik sambil masih merangkul isterinya.

   "Ki Sumali yang merasa heran membayangi Bagus Sajiwo dan Maya Dewi dari jauh. Dia melihat mereka mendaki muara Sungai Lorog dan tiba-tiba ada tujuh orang yang menyerang mereka dengan tembakan senjata api."

   (Lanjut ke Jilid 23)

   Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 23

   "Ahh! Lalu... lalu bagaimana?"

   Retno Susilo bertanya.

   "Menurut cerita Paman Sumali, dia melihat Bagus Sajiwo dan Maya Dewi terjatuh ke dalam muara sungai dan lenyap. Tujuh orang bersenjata senapan itu menunggu di tepi muara sampai lama, akan tetapi Bagus Sajiwo dan Maya Dewi tidak muncul lagi. Paman Sumali lalu meninggalkan tempat itu, kembali ke Loano. Tentu saja pada waktu itu, Paman Sumali sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang bersama Maya Dewi membelanya itu adalah putera Paman dan Bibi."

   "Aih, Bagus...!"

   Retno Susilo tertegun lemas dengan wajah pucat. Akan tetapi ia menahan tangisnya dan bersandar ke pundak suaminya.

   Tiba-tiba ia bangkit berdiri, matanya mencorong dan kedua tangannya dikepal lalu diamangkan ke atas.

   "Katakan siapa tujuh orang yang menembak anakku itu? Siapa mereka? Akan kuhancurkan kepala mereka, kupecahkan dada mereka!"

   "Tenang dan bersabarlah, Diajeng."

   Tejomanik menarik lengan isterinya, diajak duduk kembali.

   "Menurut perkiraan Paman Sumali, orang-orang yang memiliki senjata itu mungkin sekali kaki tangan Kumpeni Belanda."

   Kata Sulastri.

   "Paman Tejomanik dan Bibi Retno Susilo, benar seperti dikatakan Diajeng Sulastri tadi, cerita tentang Bagus Sajiwo belum habis. Saya merasa yakin bahwa Bagus Sajiwo tidak tewas oleh tembakan itu."

   "Hemm, bagaimana engkau dapat begitu yakin, Anakmas Lindu Aji?"

   Tanya Tejomanik dan Retno Susilo memandang kepada Lindu Aji penuh harapan.

   "Begini, Paman dan Bibi. Dulu pernah Diajeng Sulastri terjatuh dari tebing yang amat tinggi dan menurut perhitungan manusia, ia tidak mungkin hidup terjatuh dari tempat yang demikian tingginya. Akan tetapi ketika saya mencari ke bawah tebing, saya tidak menemukan jenazahnya, maka saya merasa yakin bahwa ia masih hidup dan ternyata keyakinan saya itu benar dan ia masih hidup. Demikian pula dengan Bagus Sajiwo. Biarpun dia ditembaki dan tampak terjatuh ke dalam muara sungai, akan tetapi kemudian dia dan Maya Dewi tidak muncul lagi dan jenazah mereka tidak ditemukan. Selama jenazahnya belum ditemukan, maka saya yakin bahwa dia belum tewas. Seorang dengan kesaktian seperti Bagus Sajiwo, saya kira tidak akan tewas begitu saja terkena peluru senapan. Harap Paman dan Bibi tenang dan kita hanya dapat berdoa kepada Gusti Allah semoga Bagus Sajiwo mendapatkan perlindungannya selalu."

   "Amin!"

   Kata Ki Tejomanik dan dia memegang lengan Lindu Aji.

   "Terima kasih, Anakmas Aji. Kata-katamu membesarkan hati kami!"

   Ki Tejomanik dan Retno Susilo merasa suka dan cocok sekali dengan suami isteri muda ini, maka mereka minta dengan sangat agar Lindu Aji dan Sulastri tinggal di rumah mereka beberapa hari lamanya dan tidak tergesa-gesa meninggalkan mereka. Pengantin baru ini pun memenuhi permintaan mereka karena dari dua orang suami isteri yang banyak pe-ngalaman hidup ini mereka dapat menimba banyak pengetahuan.

   Setelah tinggal di rumah Ki Tejomanik selama satu minggu, barulah Lindu Aji dan Sulastri berpamit.

   "Terima kasih atas kunjungan kalian, Anakmas Aji. Berita yang kalian bawa tentang anak kami berharga bagi kami."

   Kata Ki Tejomanik ketika sepasang pengantin baru itu berpamit.

   "Kami juga merasa gembira sekali dapat berkunjung kesini, Paman. Paman dan Bibi sungguh telah memberi banyak kebaikan kepada kami. Kami berjanji bahwa kami akan selalu mendengarkan berita tentang diri Bagus Sajiwo dan kalau kami mengetahuinya, pasti akan kami kabarkan kepada Paman dan Bibi disini."

   "Terima kasih dan selamat jalan, Aji dan Sulastri."

   Kata Retno Susilo dengan akrab.

   "Selamat tinggal."

   Kata Lindu Aji dan Sulastri.

   Setelah meninggalkan Gunung Kawi, suami isteri ini lalu pergi ke Bukit Keluwung di Pegunungan Wilis.

   Sekitar lima puluh orang murid atau anggauta perkumpulan Melati Puspa menyambut ketua mereka dengan gembira, dipimpin oleh Suwarni yang mewakili gurunya memimpin perkumpulan selama Sulastri atau yang mereka kenal dengan nama Ni Melati Puspa tidak berada disitu. Para anak buah perkumpulan Melati Puspa itu terkejut bukan main ketika mereka berkumpul dan mendengar pengakuan ketua mereka.

   "Ketahuilah, kalian semua anggauta Melati Puspa! Pria ini adalah suamiku, namanya Lindu Aji. Aku telah menikah dengan dia, oleh karena itu aku datang untuk berpamit karena menurut peraturan, setiap anggauta Melati Puspa yang menikah, harus keluar dari perkumpulan ini. Maka aku menyatakan diri keluar dan aku datang untuk mengatur pengangkatan ketua baru!"

   Akan tetapi mendengar ucapan ketua ini, semua anggauta yang berjumlah sekitar lima puluh orang wanita itu terbelalak, bahkan ada yang menangis. Suwarni, pejabat ketua itu yang berlutut paling depan bersama Kasmi, menangis sesenggukan.

   Melihat ini Sulastri mengerutkan alisnya.

   "Hei, sejak kapan kalian menjadi orang-orang cengeng seperti ini? Kenapa menangis?"

   "Ampunkan kami, Ni Dewi, kami... kami mohon jangan Ni Dewi meninggalkan kami. Hanya Andika pembimbing kami, guru dan pemimpin kami. Kalau kami ditinggal, kami akan kehilangan pegangan dan kami takut, kalau sampai ada laki-laki yang jahat seperti Ki Surogento yang dulu memimpin dan menindas kami, kami akan celaka. Kalau Andika memaksa pergi meninggalkan kami, terpaksa kami pun akan membubarkan perkumpulan ini dan kami akan pergi kemana saja nasib membawa kami."

   Mendengar ucapan ini, kini semua anggauta menangis karena mereka itu rata-rata sudah tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai rumah lagi.

   Sementara itu, Lindu Aji diam-diam merasa kagum dan suka sekali akan tempat itu. Pemandangan alamnya sungguh amat indah, dan tanahnya juga subur. Dia melihat tadi sawah ladang yang amat luas, dengan tanahnya yang subur. Tempat ini baik sekali dijadikan tempat tinggal.

   "Bagaimana ini, Kakangmas?"

   
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Sulastri kepadanya karena ia sendiri merasa bingung dan kasihan kepada anak buahnya.

   "Hemm, bubarkan dulu mereka, kita bicarakan ini secara mendalam."

   Katanya kepada isterinya.

   Sulastri berkata dengan suara tegas.

   "Hentikan semua tangis itu! Aku, tidak suka melihat kalian cengeng begitu. Cepat kembali kepekerjaan masing-masing dan buatlah masakan yang enak untuk kita semua merayakan kembaliku kesini. Aku dan suamiku akan merundingkan urusan perkumpulan ini dan besok pagi baru aku akan mengambil keputusan bagaimana baiknya. Sekarang bubarlah!"

   Semua wanita menghentikan tangisnya dan sebagian besar dari mereka tersenyum penuh harapan. Mereka memberi hormat dengan sembah di depan dada lalu cepat meninggalkan pendapa untuk melaksanakan tugas. Sudah terdengar tawa riang mereka sehingga diam-diam Sulastri merasa terharu.

   Sulastri mengajak suaminya memasuki rumah. Kamarnya masih terpelihara dengan baik dan bersih. Mereka duduk berdua dalam kamar dan membicarakan urusan perkumpulan itu.

   "Kakangmas, terus terang saja aku merasa tidak tega meninggalkan mereka begitu saja. Sayang sekali kalau mereka yang sudah kubina menjadi orang baik-baik, nanti terbawa oleh lingkungan ke dalam jalan sesat. Akan tetapi, aku harus ikut denganmu, Kakangmas. Sebagai isterimu, aku akan meninggalkan apa pun juga untuk mengikutimu."

   "Engkau isteriku yang bijaksana dan setia, Diajeng. Akan tetapi, setelah tadi melihat keadaan di tempat ini, aku merasa suka sekali. Apakah perkumpulanmu ini memiliki sawah ladang yang cukup luas sehingga dapat mendatangkan hasil yang cukup untuk keperluan kita?"

   "Wah, sawah ladang kami luas sekali dan kalau dikelola dengan baik hasilnya akan lebih dari cukup."

   "Bagus! Diajeng, bagaimana kalau kita tinggal disini? Perkumpulan ini dapat kita ubah, bukan hanya perkumpulan wanita, melainkan perguruan besar yang mempuriyai murid pria dan wanita. Bagaimana pendapatmu?"

   Wajah Sulastri berseri dan matanya bersinar-sinar. Tadi memang ia mempunyai pikiran seperti itu dan alangkah senang hatinya ketika mendengar ucapan suaminya itu. Ini berarti bahwa mereka berdua akan hidup di tempat yang memang sudah amat disenanginya itu.

   "Itu baik sekali, Kakangmas. Engkau yang menjadi ketua bagian anggauta pria dan aku yang memimpin para anggauta wanita. Ah, kita akan hidup berbahagia disini!"

   Suami isteri itu lalu berunding. Sampai jauh malam mereka berunding dan akhirnya mereka mengambil keputusan untuk tetap tinggal di lereng dekat puncak Gunung Liman itu. Para anggauta Melati Puspa tetap dipertahankan dan mereka akan mengajak para pemuda berbakat di pedusunan sekitar Gunung Liman untuk menjadi anggauta atau murid. Nama perkumpulan baru itu pun harus diubah karena tidak sesuai lagi kalau mereka mempunyai murid atau anggauta pria.

   PADA keesokan harinya, Sulastri memanggil semua anggauta perkumpulannya untuk datang berkumpul ke pendapa rumahnya yang cukup besar itu.

   Lima puluh lebih wanita yang berusia antara delapan belas sampai mendekati tiga puluh tahun itu duduk bersimpuh di atas lantai yang bersih mengkilap. Sulastri dan Lindu Aji duduk di atas dua buah kursi berhadapan dengan para anggauta.

   "Saudara sekalian!"

   Kata Sulastri.

   Ia biasa menyebut para anggauta itu pada nama mereka saja, akan tetapi terkadang ia menyebut saudara sedangkan mereka menyebut Ni Dewi.

   "Kami berdua, aku dan suamiku, telah bersepakat untuk melanjutkan pimpinan kami! atas perkumpulan ini."

   Lima puluh lebih wanita itu bersorak gembira. Mereka tersenyum dan wajah mereka menjadi cerah, ada yang tertawa"tawa gembira.

   Sulastri mengangkat tangan kiri ke atas dan mereka semua diam.

   "Akan tetapi mulai sekarang, perkumpulan kita bukan merupakan perkumpulan khusus wanita saja karena suamiku yang akan memimpin, dan aku membantunya. Kami akan menerima anggauta pria juga. Suamiku akan memimpin anggauta pria dan aku tetap memimpin anggauta wanita. Apakali kalian setuju akan perkumpulan kita diubah menjadi perkumpulan umum dengan anggauta pria dan juga wanita?"

   "Setuju...!!"

   Mereka serempak menjawab dengan gembira.

   "Akan tetapi peraturan lama masih tetap dipakai, yaitu kalau ada anggauta, baik dia pria maupun wanita, menikah, dia harus berhenti menjadi anggauta perkumpulan kita. Dan karena akan ada anggauta pria, maka nama perkumpulan kita pun tidak akan tepat lagi kalau memakai nama Melati Puspa. Mulai sekarang perkumpulan kita memakai nama perguruan Mega Liman, ketuanya Ki Lindu Aji dan wakilnya Ni Sulastri. Aku tidak memakai nama samaran Ni Melati Puspa lagi. Namaku adalah Sulastri."

   Semua anggauta itu bertepuk tangan tanda setuju dan gembira.

   "Hidup Ki Aji! Hidup Ni Dewi!"

   Teriak Suwarni dan semua rekannya ikut berteriak.

   "Maaf Ni Dewi, kami akan tetap menyebut Andika Ni Dewi Sulastri dan ketua kami Ki Aji, kalau Andika tidak keberatan."

   Kata Suwarni.

   Sulastri memandeng kepada suaminyo dan Lindu Aji tersenyum mengangguk.

   Demikianlah, mulai hari itu, berdirilah Perkumpulan Mega Liman dan suami isteri itu menjadi ketua dan wakilnya. Mereka mulai menerima murid-murid atau anggauta-anggauta pria, yaitu para pemuda yang tinggal di pedusunan sekitar Gunung Liman.

   Lindu Aji memberi tahu ibunya di Gampingan dan menawarkan kepada ibunya kalau-kalau ibunya suka pindah ke Gunung Liman. Akan tetapi Nyi Warsiyem menolak karena sudah senang tinggal di Gampingan.

   Setahun kemudian, Sulastri melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan anak itu mereka beri nama Dewi Wulandari karena lahirnya tepat pada malam purnama.

   Wulandari berati Wulan Ndadari (Bulan Purnama berlingkaran). Tentu saja suami isteri itu merasa gembira dan kehidupan terasa bahagia sekali bagi mereka. Juga Perkumpulan Mega Liman menjadi semakin besar.

   Setelah lewat tiga tahun dan Wulandari sudah berusia dua tahun, Perkumpulan Mega Liman telah memiliki hampir seratus lima pulUh anggauta terdiri lima puluh orang murid wanita dan hampir seratus orang murid pria.

   Lindu Aji dan Sulastri hidup berbahagia dan perkumpulan Mega Liman menjadi semakin kondang (terkenal) sebagai perkumpulan orang-orang muda, baik pria atau wanita, yang berwatak satria, suka menolong orang-orang yang tertindas dan menentang "mereka yang jahat.' Juga sawah ladang yang menjadi milik perkumpulan itu dikelola dengan baik sehingga mendatangkan hasil yang cukup untuk membeli kebutuhan hidup mereka, Pondok-pondok dibangun untuk para murid dan dipisahkan antara tempat tinggal para murid pria dan para murid wanita. Ada pula diantara para, murid yang saling jatuh cinta. Mereka. menikah dengan baik-baik dan terpaksa meninggalkan Mega Liman.

   Setahun sekali, Lindu Aji dan Sulastri melakukan perjalanan berkunjung ke Gampingan lalu terus"

   Ke Dermayu. Terkadang mereka mengajak orang tua mereka untuk berkunjung ke Gunung Liman dan mereka semua merasa berbahagia.

   Suami isteri ini tidak melupakan pesan Ki Tejomanik dan isterinya agar mereka membantu mendengarkan kalau-kalau ada berita tentang Bagus Sajiwo.

   Anak buah perguruan Mega Liman mereka pesan agar ikut mendengar, bahkan mereka yang menikah lalu meninggalkan perkumpulan itu. juga agar segera memberitahu kalau mendengar berita tentang Bagus Sajiwo. Akan tetapi tiga tahun lebih telah lewat dan mereka sama sekali tidak pernah mendengar tentang Ragus Sajiwo yang menurut Ki Sumali telah ditembaki para antek Kumpeni dan terjatuh ke dalam muara Sungai Lorog lalu lenyap.

   Pada suatu pagi Lindu Aji dan Sulastri duduk di pendapa rumah mereka. Seorang murid wanita menghidangkan minuman teh hangat dan ubi goreng, Disitu terdapat pula Nyi Warsiyem, ibu Lindu Aji yang memangku Dewi Wulandari yang berusia dua tahun dan sedang lucu-lucunya.

   Wanita penduduk Gampingan ini sudah sepekan berada disitu, ikut Lindu Aji ketika puteranya itu berkunjung ke Gampingan. Nyi Warsiyem amat mencinta cucunya dan anak itu pun sebentar saja lengket dengan neneknya.

   Anak-anak yang masih kecil mempunyai perasaan yang amat peka. Hal ini adalah karena nafsu akal pikiran mereka belum menguasai dirinya sehingga jiwanya masih bersih dan perasaannya amat peka, dapat menangkap getaran rasa kasih sayang ataupun kebencian orang yang diarahkan kepada mereka.

   Mereka bertiga bercakap-cakap dalam suasana tenteram bahagia, terkadang diseling teriakan-teriakan Dewi Wulandari yang membuat mereka tertawa gembira.

   Seorang laki-laki muda memasuki pekarangan itu dan terus menuju pendapa. Lindu Aji dan Sulastri memandang. Laki-laki itu menghampiri mereka dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada Sebagai sembah.

   "Hei, engkau Kasman?"

   Tegur Lindu Aji sambil tersenyum.

   "Mari duduklah di atas kursi sini, jangan di lantai. Engkau sudah bukan murid Mega Liman lagi!"

   Ucapan ini ramah sekali.

   Laki-laki muda itu bernama Kasman dan sudah setengah tahun ia meninggalkan Mega Liman karena menikah dengan seorang gadis dusun yang tinggal di sebuah dusun di kaki Gunung Liman.

   Kasman biarpun dengan sungkan, duduk di atas kursi dengan sikap hormat.

   "Kasman. berita apakah yang kau bawa kesini?"

   Sulastri bertanya.

   "Denmas Aji dan Ni Dewi, saya mendengar berita tentang Denmas Bagus Sajiwo, maka saya cepat datang kesini untuk menyampaikan berita itu yang dipesan ketika saya hendak meninggalkan Mega Liman."

   "Ah, bagus sekali!"

   Seru Lindu Aji dengan gembira.

   Kalau ada berita tentang Bagus Sajiwo, hal itu membuktikan bahwa keyakinan tentang pemuda itu benar, yaitu bahwa putera Ki Tejomanik itu masih hidup!

   "Cepat ceritakan!"

   "Saya mendengar dari seorang penduduk dusun yang baru datang dari Tulung-agung bahwa di daerah sana tidak aman karena adanya gangguan gerombolan liar yang dipimpin oleh orang-orang sakti. Akan tetapi kemudian muncul seorang pria muda dan seorang wanita cantik mengobrak-abrik sarang gerombolan itu dan mengalahkan mereka sehingga gerombolan itu kocar-kacir dan melarikan diri. Daerah itu menjadi aman kembali dan pemuda serta gadis itu mengaku bernama Bagus Sajiwo dan Maya Dewi.

   Hanya itulah ceritanya, dan tetangga saya itu tidak tahu kemana perginya dua orang pendekar muda itu."

   Lindu Aji dan Sulastri menjadi girang bukan main. Setelah Kasman pamit, mereka membuat persiapan untuk berangkat ke Gunung Kawi dan menyampaikan berita menggembirakan itu kepada Ki Tejomanik dan isterinya. Mereka tidak merasa khawatir meninggalkan Dewi Wulandari karena selain disitu banyak murid wanita yang biasanya menjaga anak mereka, juga ada Nyi Warsiyem yang tentu akan mengasuh anak itu dengan penuh kasih sayang.

   Maka, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali suami isteri ini berangkat meninggalkan Gunung Liman menuju ke Gunung Kawi di timur.

   Setiap orang manusia dalam dunia ini mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya akan tetapi amatlah sukar menemukan seorang manusia yang benar-benar hidup berbahagia. Kesalahan kita adalah mengartikan kebahagiaan sebagai kesenangan. Ada yang menganggap bahwa kebahagiaan terdapat dalam harta benda. Kalau banyak harta benda berarti bahagia. Benarkah itu?

   Orang yang menderita sakit yang menimpa diri sendiri maupun keluarga terdekat, suami, isteri, orang tua, maupun anak, akan melihat kenyataan bahwa bukan harta benda yang mendatangkan kebahagiaan karena dia akan rela menukar semua harta bendanya dengan kesehatan. Lalu, apakah harta benda plus kesehatan sekeluarga menjadi sarong. bahagia yang didamba-dambakan? Orang Vang sedang menderita perten-tangan atau bentrokan dengan keluarga, antara anak dan orang tua, antara suami dan isteri, atau antara saudara, tidak akan merasa bahagia walaupun sekeluarga sehat badannya dan banyak hartanya.

   Terutama sekali akan terasa kalau suami dan isteri bentrok, tidak rukun sehingga cinta mereka berubah menjadi benci, maka semua harta dan kesehatan jasmani itu sama sekali tidak menolong dan mereka akan tidak merasa bahagia. Bagaimana kalau berharta, sehat, ditambah rukun sekeluarga? Apakah sudah berbahagia? Orang-orang yang mengalami permusuhan dengan tetangga, dengan orang lain, dalam menghadapi urusan dengan yang berwajib, atau menghadapi malapetaka, perang, kehilangan dan sebagainya, tetap saja tidak akan merasa bahagia walaupun dia berharta, sehat dan rukun sekeluarga. Tidak mungkin bahagia itu dicapai oleh keadaan lahiriah atau duniawi. Memang, kesenangan dapat diraih lewat semua itu. Hanya kesenangan, bukan kebahagiaan! Dan kesenangan itu hanya merupakan tercapainya keinginan nafsu. Seperti biasa, pengejaran kesenangan itu hanya mempunyai dua akibat. Pertama, kecewa dan duka kalau pengejaran kesenangan itu tidak tercapai, dan yang ke dua, merasa bosan kalau kesenangan itu sudah tercapai dalam waktu tertentu, hanya sementara.

   Lalu dimana letak kebahagiaan yang didambakan semua orang? Teramat jauh tidak mungkin terjangkau kalau dicari, namun terama dekat. Karena sesungguhnya kebahagiaan tidak pernah terpisah dari diri pribadi. Bukan kesenangan, melainkan kebahagiaan! Dalam keadaan tidak senang pun kita dapat berbahagia! Dalam keadaan miskin pun kita dapat berbahagia. Dalam keadaan sakit pun kita dapat berbahagia. Dalam keadaan terancam bahaya maut sekalipun kita dapat berbahagia karena kebahagiaan tidak pernah meninggalkan diri kita.

   Bagi seorang manusia yang berserah diri sepenuhnya, lahir batin, dengan ikhlas, tawakal, kepada Gusti Allah yang Maha Esa, dia akan merasa betapa kasih dan bahagia selalu berada dalam dirinya.

   Dia akan selalu bersukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah, dalam keadaan bagaimanapun juga, berserah diri sepenuhnya sebagai dasar dari semua tindakan dan ikhtiar dalam hidupnya dan yakin bahwa kehendak Gusti Allah saja yang terjadi, bukan kehendak kita. Yakin bahwa segala sesuatu itu milik Gusti Allah, hati akal pikiran yang mengaku-aku sebagai "aku"

   Ini tidak memiliki apa-apa, apalagi yang berada di luar diri seperti harta benda, kedudukan dan lain-lain, bahkan badan kita sendiri ini bukan milik kita, melainkan milik Gusti Allah. Kita tidak menguasai dan tidak dapat mengatur tumbuhnya sehelai rambut pun di tubuh kita! KekuasaanNya yang mengatur itu semua, kita hanya tinggal menerima. Semua yang ada ini adalah kurniaNya karena kasihNya yang.berlimpah kepada kita. Semua yang ditiadakan dan diambil dari kita itu pun adalah karena kuasaNya dan juga hakNya untuk mengambil apa saja yang dikehendakiNya karena semua itu milikNya!

   Sekali lagi, hanya kalau kita berserah diri sepenuhnya, lahir batin, dengan ikhlas dan tawakal kepada Gusti Allah, kita akan dapat merasakan apa yang disebut bahagia itu. Akan tetapi kalau kita menjauhiNya, maka Setan akan menggunakan kesempatan itu untuk mendekati dan memancing kita dengan umpan kesenangan yang serba enak, serba nikmat menyenangkan jasmani kita termasuk hati akal pikiran sehingga kita dikuasai sepenuhnya oleh nafsu dan diperbudaknya, dan kita akan terseret ke dalam perbuatan dosa sehingga kita akan jauh dari kebahagiaan.

   Ki Tejomanik dan Retno Susilo adalah suami isteri yang sakti mandraguna, juga orang-orang yang selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Akan tetapi, mereka pun hanya orang-orang biasa, manusia biasa seperti kita yang tidak sempurna, maka mereka pun tidak dapat terbebas dari duka nestapa.

   Semenjak mereka mendengar dari Lindu Aji dan Sulastri tentang putera mereka, Bagus Sajiwo yang ditembaki orang kemudian jatuh dan hilang dalam muara Sungai Lorog, tiga tahun mereka menunggu di rumah. Setiap hari mereka menungu-nunggu, sampai tubuh mereka menjadi kurus namun yang ditunggu tidak pernah muncul dan kabar tentang putera mereka itu pun tidak pernah terdengar.

   Retno Susilo hampir merasa putus asa. Akan tetapi dalam keadaan amat nelangsa itu, Ki Tejomanik menghihurnya.

   "Sudahlah, Diajeng. Kita tidak boleh putus asa, kita harus selalu percaya akan kekuasaan Gusti Allah. Segala sesuatu yang terjadi kepada anak kita, juga yang terjadi kepada diri kila sendiri, sudah ditentukan oleh Gusti Allah dan percayalah, apa yang terjadi atas kehendakNya itu pasti yang terbaik bagi kita!"

   "Aduh, Kakangmas, bagaimana aku dapat menerimanya sebagai yang terbaik kalau anak kita satu-satunya itu hilang dan tidak akan kembali lagi kepada kita?"

   Kata Retno Susilo dan la tidak dapat menahan mengalirnya air matanya yang entah sudah beberapa ribu kali membanjir dalam tangis dan keluh-kesahnya.

   "Sekarang dengarlah baik-baik, Diajeng, aku akan mendongeng!"

   Retno Susilo memandang heran kepada suaminya sambil menyusut air matanya.

   "Mendongeng?"

   "Ya, dongeng yang ada hubungannya dengan keadaan kita. Di jaman dahulu kala, ada seorang janda muda yang telah ditinggal mati suaminya dan ia memiliki seorang anak laki-laki berusia tiga tahun. Tentu saja ia amat menyayang puteranya itu karena di dunia ini ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Seluruh tujuan dalam hidupnya sepenuhnya diarahkan untuk merawat puteranya dengan penuh kasih sayang. Akan tetapi pada suatu hari anak itu terserang penyakit ganas dan meninggal dunia."

   "Aduh kasihan sekali!"

   Kata Retno 'Susilo dan pada saat itu ia lupa akan kesedihannya sendiri, mendengar kedukaan yang ia rasakan amat berat menimpa janda muda yang hidup seorang diri itu.

   "Ya, begitulah pendapat manusia tentang musibah yang menimpa dirinya. Janda muda itu tentu saja merasa penasaran sekali. Ia hidup sebagai seorang wanita yang baik budi, maka ia menganggap Gusti Allah tidak adil. Maka ia lalu naik ke Surgaloka, ingat, ini hanya dongeng, untuk menghadap Gusti Allah dan mengajukan protesnya!"

   "Aku tidak heran kalau ia berbuat begitu. Sekarang pun, kalau bisa, aku juga ingin menghadap Gusti Allah untuk memprotes hilangnya anakku!"

   Tejomanik tersenyum dan tidak menyalahkan pendapat isterinya itu.

   "Baik kulanjutkan ceritaku. Dengarkan baik-baik ketika janda itu tiba di pintu gerbang Surgaloka, ia dihadang oleh seorang malaikat yang bertanya kepadanya apa maunya naik ke Surgaloka. Janda itu menjawab bahwa ia hendak memprotes Gusti Allah yang telah mengambil nyawa anaknya. Ia berkata bahwa selama ini ia hidup dengan saleh, berbudi baik, tidak pernah melakukan kejahatan, selalu berdoa kepada Gusti Allah, akan tetapi kenapa Gusti Allah begitu kejam mengambil anaknya, satu-satunya teman dalam hidupnya yang sebatang kara? Apakah dosa anaknya yang baru berusia tiga tahun itu? Kalau memang ia sendiri yang mempunyai dosa, kenapa bukan ia saja yang diambil nyawanya? Kenapa anaknya? Kenapa Gusti Allah begitu tega menyiksa hatinya?"

   "Hemm, aku tidak menyalahkan janda itu,"

   Kata Retno Susilo.

   "Memang tidak salah kalau ia merasa penasaran."

   "Malaikat penjaga pintu gerbang itu lalu berkata kepada janda muda agar tidak tergesa-gesa menghadap Gusti Allah dan agar lebih dulu menonton sesuatu yang akan diperlihatkannya kepada janda itu, kalau ia tidak mau, maka ia tidak diperkenankan memasuki pintu gapura. Janda itu terpaksa menurut. Malaikat itu lalu membentangkan sehelai layar putih dan tampaklah oleh janda muda itu pemandangan yang aneh. Ia melihat seorang pemuda sedang mengamuk, melakukan perampokan dan pembunuhan secara kejam dan melakukan segala macam kejahatan yang hanya dapat dilakukan seorang penjahat yang kejam sekali. Janda itu memalingkan mukanya dan minta agar pertunjukan itu dihentikan karena hatinya yang selalu penuh belas kasihan itu tidak tega menyaksikan kejahatan yang demikian kejamnya oleh pemuda itu."

   "Aneh sekali,"

   Kata Retno Susilo.

   "Apa maksud dan artinya pertunjukan yang diadakan oleh malaikat itu?"

   "Malaikat itu lalu memberitahu kepada Sang Janda bahwa pemuda yang dilihatnya tadi, yang begitu kejam dan jahat bukan lain adalah anak janda itu kelak kalau dibiarkan hidup dan tumbuh menjadi seorang pemuda. Dia menjelaskan bahwa Gusti Allah amat sayang kepada janda yang saleh itu sehingga Gusti Allah menghindarkan ia dari kesengsaraan hati melihat puteranya menjadi penjahat yang amat kejam, dan menghindarkan putera janda itu menjadi jahat. Semua itu dilakukan Gusti Allah sebagai karunia karena kebaikan budi dan kesalehan janda itu! Kemudian malaikat itu bertanya kepada Sang Janda, apakah ia tetap menghendaki anaknya dihidupkan kembali agar kelak menjadi seorang pemuda seperti yang ditontonnya tadi? Sang Janda menangis dan mohon ampun kepada Gusti Alah atas ketidak-percayaannya dan protesnya, lalu mengucap sukur dan terima kasih kepadaNya, kemudian pulang ke rumahnya dengan hati damai dan tenteram dan imannya kepada Gusti Allah menjadi semakin kuat."

   "Akan tetapi..., anak kita tidak mungkin akan menjadi seorang penjahat seperti itu, Kakangmas!"

   Kata Retno Susilo.

   Suaminya mengangguk-angguk.

   "Diajeng, dongeng itu hanya menjadi contoh dan pelajaran. Janda itu mengalami kesengsaraan yang jauh lebih hebat daripada kita, namun ternyata di balik peristiwa menyedihkan itu terdapat hikmahnya yang luar biasa yang bahkan merupakan anugerah atau karunia baginya. Segala peristiwa yang terjadi karena kehendak Gusti Allah pasti baik dan benar. Biar pun tampaknya oleh pendapat manusia dianggap tidak baik dan mendatangkan duka, tidak enak, namun pasti baik dan benar karena di balik itu ada hikmahnya yang kita tidak ketahui. Kehendak Gusti Allah itu tidak sama dengan kehendak kita yang hanya didorong nafsu ingin enak dan senang belaka. Karena itu, apakah artinya peristiwa yang menimpa diri kita. ini dibandingkan dengan yang menimpa diri janda dalam dongeng itu. Memang benar anak kita satu-satunya hilang, akan tetapi dia belum pasti mati, dan pula, bagaimanapun juga, kita berdua masih saling memiliki, bukan ditinggal menjadi sebatang kara tidak mempunyai siap-siapa lagi seperti janda itu. Karena itu, merasa penasaran dan mengeluh bahkan menuduh Gusti Allah kejam dan tidak adil seperti dilakukan janda itu sebelum ia sadar, bukanlah sikap yang benar, Diajeng."

   Retno Susilo menghela napas panjang.

   "Alangkah beratnya derita hidup ini, Kakangmas. Akan tetapi aku kini dapat melihat kebenaran yang terkandung dalam dongeng tadi. Jadi, kita harus menerima keadaan apa pun yang menimpa kita dengan penuh kesadaran bahwa semua itu merupakan kehendak Gusti Allah yang tidak sama dengan kehendak kita, bahwa di balik semua itu terkandung hikmah yang tidak kita ketahui akan tetapi yang pasti merupakan yang terbaik bagi kita. Begitukah, Kakangmas?"

   "Benar, Diajeng. Bukan hanya yang terbaik untuk kita, akan tetapi juga untuk anak kita. Aku juga berduka, Diajeng, aku juga manusia biasa yang tidak dapat terbebas daripada suka duka, akan tetapi aku tetap berserah diri kepada Gusti Allah, aku pasrah dengan penuh keyakinan bahwa Gusti Allah itu Maha Murah dan Maha Kasih dan segala apa yang terjadi itu demi kebaikan kita manusia. Semoga Gusti Allah akan selalu menguatkan iman kita dan akan selalu membimbing kita, semoga kelak Gusti Allah memberi berkah dan karunia kebahagiaan dan mempertemukan kita dengan anak kita, kalau dia menghendaki!"

   "Insya Allah (kalau Allah menghendaki), Kakangmas. Amin-amin-amin."

   Kata Retno Susilo dan berkembanglah senyum manis di bibirnya, senyum penuh penyerahan, penuh kepercayaan dan penuh harapan.

   Akan tetapi, sering kali terjadi, apa yang diharapkan manusia itu bukan saja tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah hal yang berlawanan dan yang tidak diharap-harapkan!

   Pada suatu pagi yang sejuk, Ki Tejomanik dan Retno Susilo sedang sarapan di ruangan makan, sebelah dalam rumah mereka.

   Tiba-tiba terdengar suara keras jebolnya pintu depan yang mereka palangi karena pintu itu belum dibuka oleh pelayan.

   Kita tinggalkan dulu Ki Tejomanik dan Retno Susilo di Gunung Kawi dan kita ikuti perjelanan Bagus Sajiwo dan Maya Dewi.

   Seperti kita ketahui, dua orang ini meninggalkan batu karang di muara Sungai Lorog dan menuju ke Gunung Kawi untuk pulang ke rumah Ki Tejomanik karena Bagus Sajiwo merasa bahwa kini dia telah berusia dua puluh tahun dan sebagai mana telah dipesan mendiang Ki Ageng Mahendra, setelah berusia dua puluh tahun baru dia boleh puiang ke rumah orang tuanya.

   Dalam perjalanan itu, setiap menemui keadaan yang membutuhkan bantuan mereka, mereka lalu turun tangan, membela kebenaran dan keadilan, membela rakyat kecil yang tertindas oleh kekuasaan yang sewenang-wenang dan jahat, menentang mereka yang jahat dan pengganggu kehidupan rakyat. Setiap kali! mendengar keluhan penduduk kota mau- \ pun dusun akan adanya gerombolan yang mengacau dan mengganggu, mereka langsung mendatangi sarang gerombolan dan menghajar mereka sehingga mereka lari kocar-kacir dan gerombolam itu bubar. Akan tetapi atas anjuran Bagus Sajiwo, mereka tidak pernah membunuh lawan, cukup hanya merobohkan mereka saja dan' membuat mereka lari ketakutan.

   Ketika mereka tiba di Tulungagung, mereka mengobrak-abrik sarang gerombolan besar yang jumlah anggautanya tidak kurang dari seratus orang. Pimpinan mereka adalah orang-orang sakti, Akan tetapi Bagus Sajiwo dan Maya Dewi dapat mengalahkan mereka dengan mudah sehingga para pimpinan itu terluka dan semua anak buah kocar-kaclr.

   Nama Bagus Sajiwo dan Maya Dewi mulai terkenal dan disanjung-sanjung oleh rakyat sehingga nama mereka mulai dikenal sampai jauh. Banyak diantara para tokoh yang mengenal nama Maya Dewi, menjadi terkejut dan terheran-heran mendengar kini Maya Dewi memusuhi orang-orang dari golongan sesat. Padahal mereka mengenal Maya Dewi sebagai seorang datuk wanita sesat yang dijuiuki Iblis Betina!

   Karena tindakan mereka menentang gerombolan penjahat, terkadang membantu pasukan pamong-praja setempat, maka perjaianan Bagus Sajiwo dan Maya Dewi menjadi lambat. Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan lamanya, pada suatu pagi mereka tiba di padang rumput terbuka, di dekat sebuah hutan. Dari padang rumput itu sudah tampak Gunung Kawi menjulang tinggi.

   Mereka berhenti dan Bagus Sajiwo menunjuk ke arah gunung itu.

   "itulah Gunung Kawi, Dewi. Disanalah orang tuaku tinggal dan disana aku dibesarkan sejak lahir sampai berusia enam tahun ketika aku diculik orang."

   Maya Dewi mengerutkan alisnya, tampak pendiam dan wajahnya muram, hanya menunduk setelah memandang ke arah gunung itu sekilas.

   "He, engkau kenapa, Dewi? Kau tampak gelisah!"

   "Memang aku gelisah, gelisah sekali, Bagus."

   "Kenapa? Selama ini engkau gembira sekali, kini setelah hampir tiba di tujuan, semestinya engkau girang, malah engkau gelisah."

   "Bagus, aku takut..."

   "Engkau? Takut? Ha-ha-ha!"

   Bagus Sajiwo tertawa.

   "Siapa yang kau takuti? Setan pun akan jerih untuk menggangumu!"

   "Aku khawatir dan takut bertemu dengan orang tuamu, Bagus."

   Kata Maya Dewi dan suaranya agak gemetar.

   Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ketahuilah, Ki Tejomanik dan Retno Susilo adalah sepasang suami isteri yang terkenal gagah perkasa dan setia kepada Mataram. Mereka sudah mengenal betul siapa Maya Dewi. Dalam pandangan mereka, aku adalah seorang iblis betina yang Jahat, seorang datuk sesat dan bukan itu saja, malah seorang antek Kumpeni Belanda. Mereka tentu benci sekali kepadaku dan aku tidak menyalahkan mereka, aku sendiri benci kepada diriku sendiri kalau ingat akan kesesatanku dahulu. Aku sungguh takut berhadapan dengan orang tuamu, Bagus."

   "Tidak, Jangan takut, Dewi!"

   Kata Bagus Sajiwo sambil tertawa.

   "Engkau bukanlah Maya Dewi yang dulu lagi. Engkau sekarang adalah seorang yang telah meninggalkan Jalan sesat, telah menjadi seorang yang takut, taat dan tawakal, berserah diri kepada Gusti Allah. Aku yang akan menanggung kalau oran tuaku marah. Aku akan menjelaskan kepada mereka yang meyakinkan mereka bahwa engkau bukanlah Maya Dewi empat tahun yang lalu."

   "Benar engkau hendak melindungi dan membela aku, Bagus? Ah, aku ngeri, aku menyesal dan aku malu sekali kalau aku teringat akan kelakuanku dahulu..."

   "Bagus, itulah yang membuat Gust Allah senang dari seorang manusia, ya itu merasa malu dan menyesali dosanya lalu bertaubat mohon pengampunanNya seperti yang kau lakukan ini, Dewi. Su dahlah, kalau engkau sudah berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah, apalagi yang kau takuti?"

   Tiba-tiba mereka berdua waspada dan siap siaga.

   Sesosok bayangan putih berkelebat dan Candra Dewi telah berdiri di depan mereka, dalam jarak lima enam depa! Biarpun sudah lewat empat tahun namun ia masih tetap tampak cantik dengan daya tarik yang kuat. Tangan kirinya memegang sebuah kebutan berbulu putih dan pedangnya tergantung dipunggung. Sepasang mata tajam yang tadinya memandang liar, kini bersinar-sinar, wajahnya cerah berseri, mulutnya tersenyum manis ketika ia mengamati wajah Bagus Sajiwo.

   "Engkau...? Bagus Sajiwo, engkau ternyata masih hidup? Ah, betapa senang rasa hatiku, Bagus suamiku...!"

   Kata Candra Dewi melangkah maju menghampiri.

   Bagus Sajiwo merasa bulu tengkuknya meremang karena geli melihat wanita itu memandangnya dengan mata mengandung gairah nafsu dan kedua tangannya bergerak seperti hendak merangkulnya sehingga dia' melangkah mundur.

   Karena Bagus Sajiwo mundur beberapa langkah, maka kini Maya Dewi yang berada di depan menghadapi Candra Dewi.

   "Mbakayu, janganlah bersikap seperti ini! Bagus Sajiwo bukan suamimu."

   Kata Maya Dewi suaranya lembut membujuk.

   Agaknya baru sekarang Candra Dewi melihat Maya Dewi karena tadi seluruh perhatiannya tertuju kepada Bagus Sajiwo. Matanya yang tadi bersinar gembira itu kini melotot dan alisnya berkerut.

   "Kali bilang apa, Maya Dewi? Jangar membikin aku marah! Melihat Bagus Sajiwo masih hidup dan aku dapat bertemu dengannya membuat aku begitu bahagia sehingga aku mau memaafkan engkau dan tidak membunuhmu. Jangan membikin aku berubah pikiran dan marah sehingga aku akan membunuhmu. Hayo minggir dan pergi dari sini, aku hendak mengajak suamiku pergi bersamaku!"

   Akan tetapi Maya Dewi tidak mau pergi atau minggir, dan Bagus Sajiwo berada di belakangnya segera berkata.

   "Candra Dewi, sejak kapan aku menjadi suamimu? Aku bukan suamimu!"

   "Sejak kapan? Sejak engkau memeluk tubuhku dan minum darahku melalui gigitan pada leherku. Hayo minggir, Maya Dewi, aku hendak mengajak suamiku pergi!"

   Akan tetapi Maya Dewi tidak mau minggir.

   "Mbakayu Candra Dewi, tindakanmu ini tidak benar dan sesat! Mana ada wanita memaksa seorang pria menjadi suaminya? Sadarlah, Mbakayu, dan tinggalkan kami dengan segera agar kesesatanmu Jangan berlarut-larut."

   Lalu Maya Dewi menudingkan telunjuknya ke arah pedang yang tergantung di punggung Candra Dewi.

   "Aku mengenal pedang itu, Mbakayu Candra Dewi! Bukankah itu Pedang Pusaka Nogo Wilis milik Retno Susilo? Berikan pedang itu kepadaku, Mbakayu, untuk kukembalikan kepada pemiiiknya!"

   Bagus Sajiwo terkejut mendengar ini dan dia pun memandang ke arah pedang yang tergantung di punggung Candra Dewi. Dia pun teringat bahwa ibunya, Retno Susilo, memang memiliki pedang pusaka Nogo Wilis, akan tetapi dia sudah lupa lagi akan pedang itu sehingga tidak mengenalnya. Akan tetapi Maya Dewi mengenalnya dan ia sudah banyak mendengar dari para datuk tentang pedang itu yang kabarnya dicuri oleh Kyai Sidik Kawasa akan tetepi dirampas seorang pertapa sakti dan akhirnya pedang itu terjatuh ke tangan Sulastri. Ia tahu akan semua ini, maka ia minta pedang itu karena kalau ia dapat mengembalikan pedang pusaka itu kepada Retno Susilo tentu ibu Bagus Sajiwo itu akan berkiurang kebenciannya kepadanya!

   Candra Dewi marah bukan main.

   "Maya Dewi, apa engkau sudah bosan hidup? Sekali lagi, demi suamiku, aku ampuni engkau dan minggirlah. Kalau engkau tidak menurut, aku tidak aka mengampunimu lagi dan akan membunuhmu!"

   Candra Dewi sudah mengayun-ayun kebutan ditangan kirinya itu, mengancam untuk menyerang.

   "Engkaulah yang sepantasnya pergi dan meninggalkan kami, jangan ganggu kami lagi, Mbakayu Candra Dewi!"

   Kata Maya Dewi.

   "Syuuuuttt... tar-tar-tar!!"

   Tiga kali kebutan itu melecut dan menyambar-nyambar ke arah kepala Maya Dewi.

   Akan tetapi Candra Dewi terkejut bukan main karena tiga kali serangannya itu luput. Tubuh Maya Dewi bergerak amat lincahnya sehingga ia merasa seolah-olah ia menyerang sebuah bayangan saja! Candra Dewi menjadi semakin marah dan penasaran sekali. Ia mengerahkan seluruh kepandaiannya, menggunakan semua tenaga dan kecepatannya, menyerang bertubl-tubi, namun semua serangannya gagal.

   "Keparat!"

   Ia memaki dan sekali tangan kanannya bergerak, tampak sinar hijau. menyilaukan mata dan ia segera menyerang Maya Dewi dengan pedang dan kebutannya.

   Tampak dua gulungan sinar hijau dan putih menyambar-nyambar, mengepung dan menyerang tubuh Maya Dewi dari semua jurusan, namun tetap saja kedua senjata itu tidak mampu menyentuh tubuh Maya Dewi.

   Candra Dewi hampir tidak percaya akan kenyataan ini. Maya Dewi dengan tangan kosong mampu menghadapi serangan yang menggunakan pedang pusaka dan kebutan! Padahal, tingkat kepandaian adik tirinya telah jauh dibandingkan tingkatnya. Ia tidak tahu bahwa sejak Maya Dewi makan Jamur Dwipa Suddi tenaga saktinya menjadi berlipat ganda kuatnya dan kitab Aji Sari Bantalanya sudah dipelajari dan dilatihnya membuat ia dapat bergerak secara aneh, seperti lambat namun cepat, seperti lemah namun kuat sekali.

   Sementara itu, sejak tadi Bagus Sajiwo hanya menonton saja dan ia merasa girang dan kagum sekali melihat gerakan Maya Dewi melayani serangan Candra Dewi itu.

   Jelas tampak olehnya betapa Maya Dewi jauh lebih unggul dan dia tahu bahwa kalau Maya Dewi menghendaki, sudah sejak tadi ia akan dapat merobohkan dan membunuh lawannya. Ternyata Maya Dewi tidak mau membunuh kakak tirinya yang jahat itu.

   Semenjak keluar dan perut bukit karang di muara Sungai Lorog, baru sekarang Maya Dewi memperlihatkan kepandaiannya. Ketika berkali-kali mereka berdua menghadapi para gerombolan yang menjadi lawan Maya Dewi hanyalah penjahat-penjahat kecil yang kemampuannya terbatas sehingga tidak tampak ketangguhan Maya Dewi. Akan tetapi kini, lawannya adalah Candra Dewi, datuk wanita dari Banten yang amat sakti itu. Melihat Maya Dewi dapat mengatasi lawannya walaupun ia bertangan kosong, Bagus Sajiwo diam saja, hanya menonton. Maya Dewi seolah mendapatkan kesempatan untuk berlatih dan menguji ilmu silatnya, yaitu Aji Sari Bantala yang telah dilatihnya sampai selesai.

   Sebetulnya, ilmu itu baru dapat sempurna sepenuhnya kalau dimainkan oleh sepasang pria dan wanita. Kalau dia dan Maya Dewi yang menggunakan ajian itu bersama, maka mereka dapat saling mengisi dan menutup segala kekurangan dan kelemahannya sehingga Aji Sari Bantala itu akan menjadi kuat sekali. Akan tetapi dimainkan sendiri juga ternyata sudah hebat sekali karena buktinya Maya Dewi mampu dengan tangan kosong melayani Candra Dewi yang menyerangnya dengan senjata pedang pusaka dan kebutan ampuh.

   Dugaan Bagus Sajiwo benar. Maya Dewi memang sengaja hendak menguji ilmu yang baru saja dikuasainya dan ia merasa girang sekali karena dengan Aji Sari Bantala ternyata ia mampu menghindarkan semua serangan kakak tirinya yang datang bertubi-tubi menghujaninya. Kemudian, ia pun balas menyerang dengan tamparan tangan dan totokan jari tangan.

   Begitu ia balas menyerang, Candra Dewi menjadi terkejut dan terdesak hebat. Tamparan tangan Maya Dewi yang kecil dan berkulit halus itu datangnya bagaikan sambaran palu godam dan totokan jari tangannya bagaikan tusukan anak panah yang meluncur cepat. Candra Dewi terpaksa memutar pedangnya sehingga pedang itu berubah menjadi gulungan sinar hijau yang bagaikan perisai melindungi dirinya dari depan.

   Hebat memang kepandaian Candra Dewi. Tenaga saktinya juga sudah mencapai tingkat tinggi sehingga ketika ia melindungi dirinya dengan putaran pedang yang menjadi sinar hijau bergulung-gulung itu, Maya Dewi merasa sulit untuk merampas pedang seperti yang dikehendakinya. Kalau ia menggunakan pukulan yang merupakan inti Aji Sat Bantala, ia khawatir akan membunuh kakak tirinya itu. Hal ini tidak ia kehendaki. Ia tidak mau mengotori tangannya yang sudah ia cuci dan jaga jangan sampai menjadi kotor seperti dulu kembali, dengan membunuh, apalagi yang dibunuh adalah kakak tirinya sendiri betapa pun.jahatnya Candra Dewi.

   Bagus Sajiwo menonton dengan tertarik. Dia tahu akan kesulitan Maya Dewi untuk merampas pedang. Dia sendiri tentu saja tahu bagaimana caranya agar dapat merampas pedang tanpa membunu Candra Dewi. Akan tetapi dia diam saja ingin dia melihat apakah Maya Dewi dapat menggunakan akal agar niatnya merampas pedang itu berhasil. Dalam keadaan seperti itu, agaknya hanya kecerdikan yang akan dapat membuatnya berhasil.

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini