Bagus Sajiwo 21
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
Tiba-tiba Maya Dewi berhasil mengeluarkan pekik melengking dan ia mempercepat gerakannya.
Candra Dewi terkejut karena suara lengkingan itu menggetarkan jantungnya! Hal ini membuktikan betapa kuatnya tenaga sakti yang dimiliki adik tirinya itu. Maka untuk melindungi dirinya, ia memusatkan seluruh perhatian dan tenaganya untuk memutar pedangnya secepat mungkin agar dirinya terlindung. Ia tidak mampu lagi menyerang, hanya mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melindungi dirinya.
Tiba-tiba ia terkejut karena tubuh Maya Dewi lenyap! Ia tadi hanya melihat bayangan berkelebat melewati sebelah kanannya, maka cepat ia memutar tubuh dari kanan.
Maya Dewi yang sudah berada dibelakangnya, ketika Candra Dewi memutar tubuhnya itu, mendahuluinya dengan cepat sekali menotok siku tangan kanan itu. Biarpun lengan kanan Candra Dewi hanya terasa lumpuh selama beberapa detik saja, namun secepat kilat Maya Dewi menggerakkan tangan dan pedang pusaka Nogo Wilis telah dapat dirampasnya!
"Kembalikan pedangku!"
Candra Dewi berteriak marah.
"Ini bukan pedangmu dan akan kukembalikan kepada pemiliknya."
Jawab Maya Dewi tenang.
Candra Dewi marah dan penasaran akan tetapi ia juga merasa agak gentar. Tadi sudah terbukti bahwa kini adik tirinya itu memiliki kesaktian yang amat hebat sehingga ia dengan dua macam senjata tidak mampu mengalahkan Maya Dewi yang bertangan kosong, bahkan kini pedangnya terampas. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan mendorongkan tangan kanannya ke arah Maya Dewi sambil membentak nyaring.
"Aji Bajradenta...!!"
Maya Dewi yang sudah siap menyambut serangan pukulan jarak jauh yang ampuh ini dengan dorongan tangan kirinya.
"Syuuuuuttt... desss...!!"
Dua tenaga sakti bertemu di udara dan akibatnya tubuh Candra Dewi terjengkang dan roboh lalu ia bergulingan menjauh.
Tiba-tiba terdengar suara tawa terbahak dan muncullah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun yang tubuhnya sedang dan mukanya pucat seperti mayat. Begitu tiba dia langsung saja menyerang ke arah Maya Dewi dengan pukulan yang mendatangkan badai panas!
Bagus Sajiwo sudah waspada, maka dia mendahului Maya Dewi, berkelebat dekat dan menepiskan pukulan dahsyat itu dengan tangan kirinya.
"Blarrrr...!!"
Tubuh laki-laki muka mayat itupun terlempar ke belakang dan dia juga menggulingkan diri seperti yang dilakukan Candra Dewi tadi.
Dua belas orang laki-laki bermunculan dan mereka menyerang Bagus Sajiwo dan Maya Dewi dengan tembakan senapan dan pistol, Terdengar bunyi meledak-ledak ketika dari moncong senapan dan pistol itu mengeluarkan' asap dan belasan buah peluru menyambar ke arah mereka.
Maya Dewi cepat memutar pedang Nogo Wilis yang sudah berada di tangannya sehingga gulungan sinar hijau menyelimuti dirinya, Terdengar bunyi nyaring ketika peluru-peluru yang menyambar kepadanya tertangkis dan terpental oleh gulungan sinar hijau.
Adapun Bagus Sajiwo yang berdiri tenang menyambut peluru-peluru yang menyambar ke arah dirinya dengan kedua telapak tangannya. Peluru-peluru itu juga runtuh ketika mengenai kedua telapak tangannya!
Melihat ini, para penyerang menjadi gentar bukan main dan mereka semua, termasuk Candra Dewi segera berlompatan melarikan diri!
Maya Dewi hendak mengejar, akan tetapi Bagus Sajiwo. menangkap pergelangan lengan kirinya.
"Tidak perlu dikejar; Dewi."
"Akan tetapi diantara mereka itu ada penembak-penembak yang dulu menembaki, kita di muara Sungai Lorog sehingga pundakku terluka!"
"Akan tetapi serangan mereka dulu itu malah menguntungkan kita, bukan? Tanpa penyerangan itu, bagaimana mungkin kita dapat menemukan Jamur Dwipa Suddhi dan kitab Sari Bantaia? Terkadang Gusti Allah memakai cara yang aneh untuk memberi kasih karunia dan berkatnya, Dewi."
(Lanjut ke Jilid 24)
Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 24
Maya Dewi menjadi lemas kembali. Ia melihat kebenaran ucapan Bagus Sajiwo yang memang sesuai dengan kenyataan. Lalu ia memandang ke arah kedua tangan Bagus Sajiwo.
"Aku belum berani menyambut serangan peiuru dengan tangan seperti yang kau lakukan tadi, Bagus."
"Aku yakin engkau juga mampu melakukannya, Dewi. Dengan tenaga sakti yang kau dapat melalui Jamur Dwipa Suddhi dan latihan Aji Sari Bantala, engkau juga dapat membuat tubuhmu kebal terhadap peluru. Engkau bersusah payah tadi untuk merampas pedang itu. Untuk apakah, Dewi?"
"Untuk apa? Bagaimana sih engkau ini? Pedang pusaka Nogo Wilis ini dahulu adalah milik Nyi Retno Susilo, ibu kandungmu dan aku mendengar bahwa akhirnya pedang ini menjadi milik seorang gadis pendekar yang gagah perkasa bernama Sulastri. Aku harus mengembalikan pedang ini kepada ibumu!"
Bagus Sajiwo mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Ibuku tentu akan senang sekali. Mari kita lanjutkan perjalanan kita. Gunung Kawi sudah tampak, itu yang menjulang disana."
Mereka lalu meninggalkan tempat itu dan pergi menuju gunung yang sudah tampak itu.
Sementara itu, Candra Dewi melarikan diri bersama laki-laki yang tadi membantunya bersama dua belas orang yang membawa senapan dan pistol. Setelah melarikan diri cukup jauh dan tidak melihat lawan yang sakti mandraguna itu mengejar, mereka lalu berhenti. Candra Dewi memandang laki-laki muka mayat itu.
"Paman Arya Bratadewa terima kasih atas bantuanmu."
Kata Candra Dewi. Ia mengenal Arya Bratadewa karena mereka berdua sama-sama tokoh Banten.
"Ah, sudah sepantasnya kalau kita saling membantu, Ni Candra Dewi. Akan tetapi, bukankah wanita tadi Maya Dewi adik tirimu? Bagaimana ia sekarang menjadi begitu sakti? Dan siapa pula pemuda yang luar biasa itu?"
"Benar, ia adalah adik tiriku Maya Dewi dan pemuda itu bernama Bagus Sajiwo. Mereka memang sakti mandra-guna karena merekalah yang agaknya telah menemukan Jamur Dwipa Suddhi dan kitab rahasia yang dicari banyak orang itu. Selama kurang lebih tiga tahun mereka menghilang dan agaknya selama itu mereka telah mempelajari isi kitab rahasia dan menjadi sakti mandra-guna seperti sekarang."
"Ah, benarkah? Bukan main kalau begitu, pantas mereka demikian sakti mandraguna! Akan tetapi kalau engkau bermusuhan dengan mereka, Ni Candra Dewi, bergabunglah dengan kami. Dengan menyatukan tenaga, kita akan mampu membasmi mereka!"
"Hemm, Paman Arya, bagaimana engkau dapat berada disini? Engkau jauh-jauh meninggalkan Banten, apa yang kau lakukan disini dan siapa pula mereka yang membawa senjata api ini?"
"Mereka ini adalah para pembantuku dan kami adalah utusan Kumpeni Belanda yang telah menghadiri undangan Adipati Blambangan untuk mengadakan rapat pertemuan. Kami mengadakan persekutuan untuk menentang Mataram. Kalau engkau mau bergabung dengan kami dan menjadi kepercayaan Kumpeni Belanda, tentu engkau akan dapat membunuh musuh-musuhmu dan engkau pun akan menerima hadiah apa saja yang kau inginkan kelak. Kedudukan tinggi harta benda, semua dijanjikan oleh Kumpeni!"
Mereka bercakap-cakap dan Arya Bratadewa menceritakan tentang keadaan dalam rapat pertemuan di Kadipaten Blambangan itu dan hasil rapat pertemuan itu. Dia membujuk Candra Dewi untuk menjadi seorang pembantu Kumpeni dan ia menjanjikan akan membantu Candra Dewi menangkap Bagus Sajiwo hidup-hidup karena wanita itu tetap menganggap Bagus Sajiwo sebagai suaminya Hanya ada dua pilihan baginya yaitu menjadikan pemuda itu suaminya dan kalau Bagus Sajiwo menolak dan tidak dapat dibujuk, pemuda itu harus mati ditangannya!
Akhirnya Candra Dewi terbujuk dan bersedia menjadi pembantu Kumpeni. Ia lalu ikut dengan Arya Bratadewa meninggalkan tempat itu.
= ooOoo =
"Braaaakkk...!!"
Daun pintu depan nimah Ki Tejomanik Jebol, mengeluarkan suara hiruk pikuk.
Ki Tejomanik dan isterinya Retno Susilo terkejut mendengar suara ini. Ki tejomanik cepat mengambil Pecut Bajrakirana dan Retno Susilo mengambil pedangnya lalu keduanya berlari keluar.
Setelah tiba di luar, mereka melihat tiga orang berada di pekarangan dan mereka terkejut bukan main mengenal bahwa mereka itu adalah Bhagawan Kala-srenggi yang sudah tua renta bersama dua orang muridnya yang seperti raksasa, yaitu Kaladhama dan Kalajana.
Tiga orang ini pada tiga tahun yang lalu pernah bentrok dengan mereka nyaris celaka kalau saja tidak muncul Parmadi dan Muryani yang membantu mereka sehingga tiga orang itu dapat dikalahkan. Dan sekarang, setelah lewat tiga tahun, mereka bertiga itu muncul di depan rumah. Suami isteri itu menanti-nanti datangnya putera mereka, yang datang malah musuh yang amat tangguh dan berbahaya!
"Hemm, Bhagawan Kalasrenggi, apa perlunya Andika berkunjung secara tidak sopan seperti ini, merusak daun pintu rumah kami?"
Ki Tejomanik menegur.
Biarpun maklum bahwa tiga orang itu merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya, namun suami isteri pendekar ini sedikit pun tidak merasa gentar.
"Heh-heh-heh-hi-hik!"
Bhagawan Kalasrenggi terkekeh-kekeh seperti tawa seorang wanita, lalu berkata dengan suaranya yang tinggi kecil.
"Ki Tejomanik, tiga tahun yang lalu Andika berdua dapat lolos dari tangan kami. Akan tetapi hari ini kalian akan mati di tangan kami untuk menghadap roh Adi Menak Koncar dan kawan-kawan yang telah tewas di tangan kalian!"
Sekali ini Bhagawan Kalasrenggi merasa yakin bahwa dia dan dua orang muridnya pasti akan berhasil membunuh suami isteri yang dibencinya itu karena sebelumnya dua orang muridnya telah melakukan penyelidikan dan yakin bahwa suami isteri yang mereka hendak bunuh itu hanya berdua saja di rumah itu ' dan tidak ada orang-orang lain yang dapat membantu mereka.
"Heh, keparat pendeta palsu dukun lepus!"
Retno Susilo memaki marah teringat betapa dulu ia terpengaruh oleh aji pamelet yang dikerahkan kakek tua renta itu.
Sekarang dalam keadaan siap, ia tidak takut karena dengan tenaga saktinya ia dapat memperkuat batinnya dan menolak segala macam aji guna-guna dan sihir hitam yang mempergunakan kekuatan roh Jahat.
Ki Tejomanik. juga menggerakkan pecutnya ke udara dan terdengar suara meledak-ledak dan pada saat ujung pecut melecut udara tampak asap mengepul menyusul bunyi ledakan-ledakan itu.
Lalu pendekar gagah perkasa itu berkata dengan suara tegas dan mantap.
"Bhagawan Kalasrenggi, kami tahu betapa sakti mandraguna Andika bertiga, akan tetapi Andika membela dua orang murid Andika yang melakukan kejahatan keji terhadap penduduk dusun dan kami berdua akan selalu menentang perbuatan jahat yang dilakukan oleh siapapun juga. Kami tidak takut menghadapi ancamanmu!"
"Heh-heh-heh, Tejomanik, engkau boleh bicara sombong sesukamu, ini adalah kata-katamu terakhir."
Lalu dia menoleh kepada dua orang muridnya yang sejak tadi sudah menyeringai lebar menyeramkan.
"Serang mereka!"
Sambil tertawa Kaladhama lalu mencabut golok gergajinya dan dia menerjang kearah Retno Susilo, sedangkan adiknya, Kalajana, menggunakan golok gergajinya menyerang Tejomanik.
Ketika Tejomanik menggerakkan pecutnya menyambut, Bhagawan Kalasrenggi menggerakkan tongkat kayu cendana dan maju membantu Kalajana. Memang sebelumnya telah mereka atur. Kaladhama yang akan menghadapi Retno Susilo yang sudah dia ketahui sampai dimana tingkat kepandaiannya dan dia merasa dapat mengungguli wanita itu, ada pun Tejomanik yang amat berbahaya dan tangguh dengan pecut Sakti Bajrakirana, dikeroyok oleh Kalajana dan Bhagawan Kalasrenggi sendiri!
Pembagian tugas ini memang telah mereka perhitungkan dan ternyata tepat sekali. Retno Susilo memang merasa kewalahan menghadapi golok gergaji yang berat dan kuat ditangan Kaladhama itu, sedangkan Tejomanik juga tahu bahwa dua orang lawannya itu amat tangguh.
Andaikata Tejomanik harus menghadapi Kalajana seorang diri saja dia pasti akan mampu mengalahkannya, juga andaikata harus menghadapi Bhagawan Kalasrenggi seorang dia pun akan mampu menandingi walaupun kakek tua renta itu amat berbahaya dengan ilmu-ilmu sihirnya yang dia perdalam ketika dia berguru di Bali-dwipa.
Kini, Kalajana menggerakkan golok gergajinya dengan dahsyat, diperkuat oleh sambaran tongkat cendana di tangan Bhagawan Kalasrenggi. Biarpun hanya tongkat biasa, namun karena digerakkan dengan dorongan tenaga sakti yang amat kuat ditambah pengaruh sihir yang menggiriskan, tongkat cendana itu seperti "hidup"
Dan menyambar-nyambar dengan amat cepat seperti kilat dan juga mendatangkan angin kuat yang membawa bau cendana yang amat tajam menyengat hidung dan membuat kepala menjadi pening.
'"Tar-tar-tar-tarrr...!"
Pecut Sakti Bajrakirana berubah menjadi gulungan sinar yang meledak-ledak dan bunga api berpercikan, namun ujung pecut itu hanya dapat dipergunakan oleh Tejomanik untuk melindungi dirinya saja, menangkis serbuan golok gergaji dari tongkat. cendana!
Serangan Bhagawan Kalasrenggi dan Kalajana sedemikian gencar din dahsyat sehingga Tejomanik yang gagah perkasa dan sakti mandraguna itu kini hanya dapat mengandalkan pecut saktinya untuk membela diri dan menjaga agar tubuhnya tidak sampai terkena serangan dua orang lawannya.
Keadaan Retno Susilo tidak lebih baik dari suaminya. Desakan Kaladhama yang menyerang sambil terbahak-bahak itu sedemikian kuatnya sehingga Retno Susilo terpaksa memutar pedangnya untuk menangkis golok gergaji itu. Akan tetapi setelah puluhan kali terpaksa menangkis karena untuk mengelak tidak ada kesempatan lagi, ia mulai merasa betapa tangannya tergetar hebat setiap kali bertemu dengan golok gergaji yang berat itu.
"Hua-ha-ha! Manis, engkau masih cantik jelita. Menyerahlah untuk menjadi biniku dan aku akan mengampunimu, ha-ha-ha!"
Kaladhama mengejek.
"Jahanam busuk, mampuslah!"
Retno Susilo dengan nekat mengelak ke kiri lalu menerjang dengan tusukan pedangnya.
Hebat dan cepat sekali serangan balasan yang dilakukannya dengan tiba-tiba itu. Akan tetapi Kaladhama memang tangguh dan dia sudah menguasai ilmu-ilmu yang cukup tinggi. Dia menggerakkan goloknya menangkis dari samping.
"Tranggg...!"
Bunga api berpijar dan pedang Retno Susilo terpental, tangan wanita ini terguncang hebat.
Retno Susilo marah dan tangan kirinya lalu meluncur dengan aji pukulan Gelap Sewu. Aji pukulan ini hebat bukan main, bagaikan kilat menyambar dan mengandung tenaga sakti yang, panas sekali.
Aji pukulan Gelap Sewu ini adalah ilmu yang diturunkan kepada Retno Susilo oleh gurunya, mendiang Nyi Dewi Rukmo Petak. Hebat bukan main aji pukulan ini. Jangankan sampai tangan yang mungil halus itu sampai menyentuh tubuh lawan, baru angin pukulannya saja cukup untuk merobohkan lawan yang tidak memiliki kesaktian tinggi. Apa lagi saking marahnya, Retno Susilo sudah mengisi pukulan Aji Gelap Sewu itu dengan hawa dari Aji Wiso Sarpo yang mengandung hawa beracun sari dari bisa ilar!
Akan tetapi sekali ini lawannya adalah seorang tokoh sesat yang juga menguasai ilmu-ilmu sesat termasuk yang mengandung hawa beracun. Dengan beraninya Kaladhama menyambut pukulan telapak tangan yang didorongkan itu dengan dorongan tangan sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.
"Wuuutttt... dessss...!!"
Dua tenaga sakti bertabrakan dan tubuh Retno Susilo terpental kebelakang.
Kaladhama terbahak dan mengejar, akan tetapi biarpun kepalanya terasa pening dan dadanya sesak, wanita itu masih dapat memutar pedangnya melindungi diri sehingga Kaladhama belum dapat menangkap seperti yang dikehendaki raksasa muka-hitam itu.
Sambil tertawa-tawa Kaladhama menyerang dengan golok gergajinya dan Retno Susilo hanya dapat menangkis. Makin lama ia terdesak semakin hebat dan hanya dapat mundur berputaran.
Sementara itu Tejomanik juga terdesak hebat. Melihat betapa satria yang terdesak itu masih juga mampu membuat pertahanan yang amat kuat sehingga serangan dua orang pengeroyok itu tidak mampu menembus tirai sinar pecutnya, Bhagawan Kalasrenggi menjadi penasaran sekali. Dia berkemak-kemik membaca mantera dan tiba-tiba tubuh dua orang pengeroyok itu diselubungi uap hitam sehingga tidak tampak oleh Ki Tejomanik. Dari dalam bungkusan uap hitam ini, Bhagawan Kalasrenggi dan Kalajana menyerang sehingga Tejomanik menjadi semakin repot karena dia tidak dapat melihat dua orang pengeroyoknya sehingga dia tidak tahu dari mana datangnya serangan.
Tejomanik mengeluarkan pekik melengking disertai pengerahan tenaga sakti yang kuat. Pekik melengking ini mendatangkan getaran kuat sekali dan tiba-tiba uap hitam itu membuyar dan lenyap!
Bhagawan Kalasrenggi mengerutkan alisnya. Dia marah dan penasaran sekali melihat betapa ilmu sihirnya dapat dipunahkan oleh lengkingan pekik Tejomanik. Dia lalu berkemak-kemik lagi dan menudingkan tongkat cendananya ke arah Tejomanik. Tiba-tiba bola-bola api meluncur dari ujung tongkat bagaikan peluru-peluru meriam menyerang tubuh Tejomanik yang masih memutar pecut untuk menangkis serangan Kalajana.
Melihat datangnya serangan bola-bola api yang jumlahnya lima buah itu Ki Tejomanik lalu menghantamKan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka mehyambut bola-bola api itu sambil mengerahkan aji pukulan Bromokendali yang amat dahsyat.
Terdengar ledakan lima kali dan bola-bola api itu runtuh! Bukan main marahnya Bhagawan Kalasrenggi. Lawan yang sudah terdesak dan kepepet (tertekan) itu masih mampu memunahkan serangan ilmu-ilmu sihirnya! Dia berkemak-kemik lagi dan keluarlah gerengan seperti suara setan sendiri dari kerongkongannya dan Tejomanik terkejut ketlka melihat betapa kakek tua renta itu kini berubah menjadi Leyak (Iblis di Bali). Tinggi besar dengan mata melotot dan mencorong berapi, mulutnya lebar bertaring, lidahnya panjang seperti ular hidup, jarl-jari tangannya berkuku panjang, mengerikan sekali wujud itu.
Tejomanik kembali mendorong dengan Aji Bromokendali yang berhawa panas, namun sekali ini serangannya membalik ketika mengenai Iblis jadi-jadian itu! Kerlngat dingin membasahi tubuh Tejomanik. Lawan ini terlalu tangguh baginya, pikirnya dan dia membagi perhatiannya kepada keadaan isterinya.
Retno Susilo sudah terdesak hebat. Kaladhama yang merasa penasaran juga melihat betapa wanita itu, dalam keadaan terdesak dan tidak mampu balas menyerang, masih mampu bertahan dan menangkis semua serangannya, tiba-tiba mengeluarkan suara gerengan seperti binatang buas dan golok gergajinya menyambar dahsyat sekali. Agaknya karena penasaran, dia marah dan kini serangannya dilakukan dengan tenaga sepenuhnya karena dia hendak membunuh wanita yang tadinya hendak diringkus hidup-hidup itu. Goloknya menyambar dahsyat ke arah leher Retno Susilo!
Retno Susilo cepat menangkis dengan pedangnya, pedang Nogo Wilis tiruan.
"Trakkkk...!"
Pedang di tangan Retno Wilis patah-patah dan ia terhuyung ke belakang!
Kaladhama menubruk dan hendak meringkusnya. Retno Susilo menggunakan sisa pedang di tangannya untuk menikam, akan tetapi karena ia dalam keadaan terhuyung, serangannya tidak tepat dan tangan Kaladhama yang berbulu, besar dan kuat itu sudah menangkap pergelangan tangan Retno Susilo, mencengkeramnya sehingga terpaksa wanita itu melepaskan gagang pedang yang sudah patah itu.
Kaladhama memutar lengan Retno Susilo sehingga dengan mudah ia ditelikung dan kedua tangannya lalu diikat dibelakang tubuhnya. Akan tetapi ketika Kaladhama sambil tertawa-tawa hendak menggerayangi tubuhnya, Retno Susilo menendang dengan kakinya ke arah perut raksasa itu! Kaladhama mengelak, menangkap tumit kaki yang menendang dan sekali dorong tubuh Retno Susilo terjengkang dan roboh.
Pada saat itu, terdengar bunyi ledakan dan ujung pecut Bajrakirana menyambar ke arah Kaladhama yang hendak menubruk Retno Susilo yang sudah roboh. Kaladhama terkejut dan cepat menghindarkan diri dengan lompatan kesamping.
Tadi Tejomanik melihat isterinya roboh maka dia cepat melindungi isterinya, melompat kebelakang meninggalkan dua orang pengeroyoknya dan menyerang Kaladhama sehingga Retno Susilo tidak jadi ditubruk oleh raksasa itu. Akan tetapi Bhagawan Kalasrenggi dan Kalajana mengejar. Bhagawan Kalasrenggi tetap masih menjadi wujud Leyak dan lengan yang panjang dengan jari tangan berkuku panjang itu kini meluncur ke arah leher Tejomanik. Pendekar ini menggerakkan pecutnya menangkis.
"Tarrr...!"
Pecutnya membalik.
Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menggunakan Aji Bromokendali untuk menghantam ke arah tangan yang masih mengancamnya itu.
"Blarrrr...!"
Pertemuan dua tenaga itu sedemikian hebatnya sehingga wujud Leyak tadi pudar dan kembali menjadi Bhagawan Kalasrenggi yang mundur beberapa langkah.
Akan tetapi tubuh Tejomanik terpental dan roboh. Ternyata dia masih kalah kuat dari lawannya, walaupun tidak banyak. Tentu saja saat itu merupakan saat yang gawat bagi Tejomanik dan Retno Susilo, karena tiga orang lawannya itu kini sudah maju dan siap membunuh Tejomanik yang sudah rebah telentang walaupun tidak terluka parah.
TiBA-TIBA berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu tiga orang yang haus darah itu berhadapan dengan Lindu Ayi dan Sulastri!
Seperti kita ketahui, suami isteri ini mendengar berita tentang Bagus Sajiwo dan mereka sengaja pergi ke Gunung Kawi untuk menyampaikah berita menggembirakan itu kepada Tejomanik dan Retno Susilo. Kedatangan mereka tepat sekali sehingga mereka dapat melindungi Tejomanik dan Retno Susilo yang terancam bahaya maut!
Melihat munculnya Lindu Aji dan Sulastri, Tejomanik dan Retno Susilo menjadi girang sekali. Tejomanik segera menghampiri isterinya dan melepaskan ikatan kedua tangannya.
Retno Susilo bangkit berdiri dalam keadaan tidak terluka. Melihat pedang isterinya telah patah-patah, Tejomanik segera melepaskan kain pengikat kepalanya, itu adalah senjatanya yang kedua yang disebut Si-hung Nila dan. isterinya pernah mempelajari cara menggunakan kain pengikat kepala yang panjangnya satu setengah depa ini sebagai senjata. Dia memberikan senjata istimewa itu kepada isterinya.
Sementara itu Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya menjadi marah sekali. Semula mereka terkejut karena mengira bahwa yang muncul itu Parmadi si Seruling Gading dan Muryani, akan tetapi ketika melihat Lindu Aji dan Sulastri yang tidak mereka kenal, mereka menjadi lega dan memandang ringan.
"Heh, sepasang orang muda! Jangan coba-coba mencampuri urusan Bhagawan Kalasrenggi. Pergilah kalian berdua kalau tidak ingin mati ditangan kami!"
Teriak kakek tua renta itu dengan suaranya yang tinggi.
Sebelum Lindu Aji menjawab, Sulastri yang tadinya merasa betapa ucapan kakek itu amat mempengaruhinya sehingga hampir saja ia menggerakkan kaki pergi, akan tetapi setelah ia berpegang kepada lengan suaminya, pengaruh itu lenyap, membentak dengan marah.
"Heh, tua bangka budak iblis! Engkaulah yang sudah mau mati, jangan menggunakan kekuatan iblis busuk untuk mempengaruhi kami! Kami tidak takut padamu, biar ada seratus orang macam engkau ini boleh maju semua, kami tidak akan mundur!"
Mendengar ucapan dan melihat sikap galak wanita itu, Dhagawan Kalasrenggi marah bukan main. Dia mendengus seperti seekor kerbau gila dan matanya menjadi merah. Dia pun tahu bahwa kekuatan sihirnya yang tadi dipergunakan untuk mengusir suami isteri muda itu telah gagal.
"Keparat!"
Dia memaki dan tongkat kayu cendana di tangannya sudah terbang seperti ular hidup ke arah Sulastri. Wanita ini sudah mencabut pedang dan menangkis.
"Tranggg...!"
Tongkat itu tertangkis akan tetapi Sulastri terhuyung kebelakang.
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mundurlah!"
Kata Lindu Aji dan dia pun melompat ke depan Bhagawan Kalasrenggi yang sudah memegang tongkatnya yang kembali ke tangannya.
Melihat pemuda ini maju menghampirinya dengan tangan kosong, Bhagawan Kalasrenggi lalu menyerangnya dengan tongkat cendananya. Biarpun gerakannya lambat dari tampak lemah tenaganya, namun tongkat kayu cendana itu menyambar dahsyat, membawa angin dan bau yang menyengat hidung.
Lindu Aji menyambutnya dengan tangan kosong dan dengan Aji Bayu Sakti, tubuhnya berkelebatan ringan sekali. Dia menghadapi serangan kakek itu dengan ilmu silat Wanara Sakti. Gerakannya seperti Sang Hanoman yang lincah bukan main. Tak pernah dapat tersentuh tongkat lawan.
Sementara itu, melihat kakek sakti mandraguna itu kini dilawan Lindu Aji dan dia yakin akan kesaktian pemuda ini, Tejomanik lalu memutar Pecut Sakti Bajrakirana menyerang Kalajana yang tadi mengeroyoknya.
"Tar-tar-tarrr...!"
Bunga api berpijar dari ujung pecut dan Kalajana sudah sibuk memutar golok gergajinya untuk melawan dengan hati merasa jerih.
Sulastri menghampiri Retno Susilo.
"Bibi, mari kita hajar buto (raksasa) Galiuk muka hitam ini. Aku ingin sekali membuntungi dua buah telinganya yang seperti telinga kelelawar itu!"
Katanya sambil memandang ke arah sepasang telinga raksasa muka hitam itu.
"Baik, Lastri. Akupun ingin meremukkan batang hidungnya yang besar dan belang itu!"
Kata Retno Susilo yang wataknya juga amat keras dan suka bergurau di waktu mudanya.
Tentu saja ia hendak mengatakan bahwa raksasa itu adalah seorang hidung belang yang pantas dihajar!
Kaladhama menjadi makin hitam kulit mukanya karena marah mendengar dua orang wanita itu berkelakar dengan kata-kata yang menghina dan memandang rendah kepadanya.
"Kalian mampus di tanganku!"
Bentaknya dan kini dia benar-benar hendak membunuh dua orang wanita itu, betapa pun cantik menariknya mereka karena dia melihat pihaknya kini terancam.
Bagaikan seekor singa kelaparan dia menubruk dan menerjang dua orang wanita itu dengan golok gergajinya.
Akan tetapi Retno Susilo dan Sulastri dengan mudah menghindar, lalu mereka mengeroyok Kaladhama dari kanan kiri. Gurauan mereka tadi bukan sekedar anCaman gertak sambal, melainkan kini gulungan sinar pedang Sulastri terus-menerus menyambar ke arah kedua telinganya, dan gulungan sinar kebiruan dari kain ikat kepala berwarna biru itu benar-benar selalu menyambar kearah hidungnya!
Serangan dua orang wanita itu membuat Kaladhama benar-benar terkejut. Sama sekali tidak disangkanya bahwa wanita muda yang baru muncul itu ternyata juga merupakan seorang wanita yang sakti mandraguna dan gerakan pedang itu ganas bukan main. Tingkat kepandaian Kaladhama memang sedikit lebih tinggi dibandingkan tingkat Retno Susilo, akan tetapi setelah kini Sulastri membantu dan Kaladhama dikeroyok, sebentar saja raksasa itu menjadi repot sekali. Dia terdesak hebat dan hanya mampu menggerakkan goloknya untuk menangkis sinar pedang dan sinar kain ikat kepala.
"Sing...!"
Sinar pedang untuk kesekian kalinya menyambar dahsyat kearah telinga kirinya. Kaladhama menggerakkan goloknya menangkis.
"Tranggg...!"
Dia terkejut sekali melihat ujung goloknya patah sedikit disambar pedang lawan.
Karena kaget, dia tidak mampu menghindar ketika sinar biru menyambar kearah mukanya. Dia hanya dapat miringkan mukanya namun tetap saja sinar biru itu menyerempet ujung hidungnya.
"Prattt...!"
Darah mengucur dan ujung bukit hidung besar itu remuk!
Kaladhama mengeluarkan teriakan dan pada saat itu, sinar pedang menyambar.
"Crettt...!"
Daun telinga kiri Kaladhama terbabat putus!
"Aduhhh...!"
Raksasa muka hitam itu melompat kebelakang dan memutar golok melindungi dirinya. Darah menetes-netes dari telinga kiri dan batang hidungnya.
Sementara itu, Kalajana juga sudah terdesak hebat dan dua kali pundak dan hidungnya disengat ujung pecut Bajrakirana sehingga baju berikut kulit dagingnya tersayat, berdarah dan terasa perih panas. Dia juga hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran goloknya.
Bhagawan Kalasrenggi meraSa penasaran bukan. main. Segala ajian dan ilmu sihirnya telah dia keluarkan untuk merobohkan Lindu Aji, namun semua usahanya sia-sia belaka karena semua sihirnya dapat dipunahkan oleh orang muda itu.
Ketika melihat betapa dua orang muridnya terluka, dia mengeluarkan pekik tinggi dan tampaklah asap hitam mengepul memenuhi udara disitu. Lindu Aji cepat menggunakan kedua tangan untuk mendorong asap itu, sedangkan Sulastri, Retno Susilo, dan Tejomanik berlompatan kebelakang, khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun.
Tiga orang lawan mereka kini sudah tidak tampak, tertutup asap hitam. Tiba-tiba asap hitam yang mulai memudar itu kini meluncur kearah Lindu Aji. Tentu saja dia terkejut dan cepat menyambut dengan dorongan kedua tangan dengan tenaga Sakti Surya Candra.
"Wuuuuttt... blaarrr...!"
Tubuh Lindu Aji terguncang keras akan tetapi dia tidak roboh, hanya terpaksa melangkah mundur tiga kali karena pertemuan tenaga itu membuat dia terdorong amat kuatnya.
Asap hitam menghilang dan tampaklah kini pihak musuh. Bhagawan Kalasrenggi masih berdiri dengan tongkat cendana di tangan, terkekeh girang.
Kalajana berdiri dengan muka pucat dan wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri di pundak dan punggungnya yang terpatuk ujung pecut Bajrakirana. Kaladhama berdiri disampingnya, juga menyeringai menahan rasa nyeri karena ujung hidungnya penyok dan daun telinga kirinya buntung. Agaknya dia sudah menggunakan obat bubuk putih ditaburkan ditempat luka sehingga kini tidak mengucurkan darah lagi. Dan ternyata, ketika asap hitam mengepul tebal tadi, di pihak musuh telah muncul tiga orang yang tidak ketahuan kedatangan mereka.
Lindu Aji memandang. kepada laki-laki yang berdiri menghadapinya. Dia menduga bahwa tentu orang ini yang tadi menyerangnya, mendorong asap hitam ke arahnya karena dari tempat orang itu berdiri asap itu tadi menyambar. Dia memandang penuh perhatian karena maklum bahwa orang ini memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tenaga Surya Candra yang dia kerahkan masih kalah kuat.
Laki-laki itu seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Wajahnya tampan dan gagah. Melihat pakaian dan ikat kepalanya, mudah diduga bahwa tentu pemuda itu seorang ber-suku Bali dan melihat pakaiannya yang mewah, dapat diduga bahwa dia seorang hartawan. Tampan dan gagah, namun pandang mata dan senyumnya membayangkan kesombongan. Pemuda itu bukan lain adalah Tejakasmala, pemuda dari Bali yang menjadi utusan Raja Klungkung bersama Cakrasakti dan Candrabaya, dua orang Senopati Klungkung yang diperbantukan kepada Tejakasmala.
Seperti telah diatur dalam rencana persekutuan di Blambangan, kalau Bhagawan Kalasrenggi dan juga dua orang muridnya bertugas membunuh Ki Tejomanik dan isterinya, maka Tejakasmala dan dua orang pembantunya itu ditugaskannya untuk membunuh Parmadi yang berjuluk Seruling Gading dan isterinya, Muryani.
Tejakasmala dan dua orang senopati Klungkung berangkat ke Pasuruan, tempat tinggal suami isteri yang akan dibunuhnya. Akan tetapi ternyata rumah itu kosong dan dia mendapat keterangan bahwa Parmadi dan Muryani tidak berada dirumah, sedang melakukan perjalanan entah kemana. Para tetangga yang ditanyai tidak ada yang tahu kemana suami isteri itu pergi.
Karena tidak berhasil menemukan suami isteri yang harus dibunuhnya, Tejakasmala lalu mengajak dua orang pembantunya pergi ke Gunung Kawi, untuk melihat bagaimana pelaksanaan tugas Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang anak muridnya membunuh Ki Tejomanik dan istrinya.
Demikianlah, kedatangan Tejakasmala tepat sekali pada saat Bhaigawan Ki Kalasrenggi dan dua orang muridnya terdesak hebat. Kakek itu mengeluarkan awan hitam dan hendak melarikan diri, akan tetapi pada saat itu muncul Tejakasmala dan dua orang pembantunya sehingga dia tidak jadi melarikan diri karena ia tahu bahwa pemuda dari Bali itu boleh diandalkan. Maka Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya tidak jadi melarikan diri.
Lindu Aji melihat betapa dua orang yang lain juga mengenakan pakaian seperti bangsawan dari Bali-dwipa. Melihat keakraban sikap Bhagawan Kalasrengi dan dua orang muridnya dengan tiga orang Bali itu, dia menduga bahwa mereka itu pasti ada hubungan.
Sementara itu. Ki Tejomanik juga memperhatikan tiga orang yang baru muncul dan dengan pecut Brajakirana yang sudah tergulung ditangan kanan dia melangkah dan berdiri disamping Lindu Aji menghadapi Tejakasmala yang memandang dengan bibir tersenyum mengejek dan sinar mata memandang rendah.
"Kami melihat bahwa Andika bertiga adalah orang-orang yang datang dari Bali-dwipa. Apakah yang menjadi keperluan Andika datang ke rumah kami dan siapakah Andika?"
Tanya Tejomanik.
"Anakmas Tejakasmala, orang muda dan isterinya itu yang membantu Tejomanik sehingga kami gagal!"
Kata Bhagakala dan Kalasrenggi kepada Tejakasmala.
Pemuda ini tersenyum memandang kepada Ki Tejomanik, lalu kepada Lindu Aji dan kepada Retno Susilo dan Sulastri yang berdiri dibelakang suami mereka.
Lalu dia memandang kepada Ki Tejomanik dan melihat pecut tergulung di tangan satria ini, dia lalu menjawab pertanyaan tadi.
"Kalau aku tidak salah duga, Andika tentu Ki Tejomanik yang terkenal sebagai pembela Mataram dan pecut ditangan Andika itu agaknya yang disebut
Pecut Sakti Bajrakirana."
"Benar, orang muda."
Jawab Ki Tejomanik tegas.
"Dan siapakah Andika?"
"Namaku Tejakasmala dan dua orang ini adalah Cakrasakti dan Candrabaya yang menemani aku. Kedatanganku ini untuk membantu Paman Bhagawan Kalasrenggi untuk membunuh engkau dan isterimu, Ki Tejomanik!"
Pemuda itu berkata dengan sikap sombong sekali, seolah apa yang diucapkan itu pasti akan terjadi.
Retno Susilo tak dapat menahan lagi kesabarannya. Ia lalu berkata dengan nada keras dan marah.
"Bocah sombong! Engkau dan kawan-kawanmu yang berjumlah enam orang hendak mengeroyok kami? Bagus, kiranya engkau seorang pemuda Bali yang lagaknya saja sombong, akan tetapi ternyata hanya seorang pengecut yang beraninya mengandalkan keroyokan dengan jumlah banyak!"
Mendengar ucapan ini, Tejakasmala hanya memperlebar senyumnya. Dia adalah seorang pemuda gemblengan yang tidak mudah dibakar perasaannya, tetap tenang dan waspada.
"Ha, Andika tenti isteri Ki Tejomanik yang bernama Retno Susili! Hemm, biarpun Andika pantas menjadi bibiku, namun harus kuakui bahwa Andika masih tampak muda dan cantik jelita! Retno Susilo dan Andika sekalian, aku Tejakasmala sama sekali bukan seorang sombong yang pengecut. Untuk mengalahkan kalian kami tidak perlu melakukan pengeroyokan! Dengarlah tantanganku: Aku menantang siapa saja diantara kalian
untuk menandingi aku! Dan kalau Andika sekalian berani disebut pengecut, kalian
bahkan boleh maju bersama mengeroyok aku seorang!"
Bukan main sombongnya tantangan itu! Tejakasmala menantang agar dia seorang diri dikeroyok dua pasang suami isteri itu.
"Keparat sombong! Biar aku yang melawannya!"
Teriak Sulastri marah."
Akan tetapi Lindu Aji yang sudah tahu bahwa pemuda di depannya itu bukan sekedar membual dan menyombongkan diri, segera mencegahnya.
"Mundurlah, Diajeng."
Katanya dan Sulastri tidak jadi melangkah maju.
"Biarkan aku saja yang menghajar bocah sombong bermulut lancang ini!"
Bentak Retno Susilo.
"Mundurlah, biar aku saja yang menandinginya!"
Kata Ki Tejomanik mencegah isterinya.
"Ha-ha-ha,"
Daripada berebut lebih baik kalian berempat maju semua, agar lebih mudah bagiku untuk membasmi kalian!"
Kata Tejakasmala yang tidak membawa senjata.
"
Lindu Aji berkata kepada Ki Tejomanik.
"Paman, biarkan saya yang maju melawan Tejakasmala ini, kami sama-sama muda."
Ki Tejomanik yang juga dapat menduga bahwa Tejakasmala tentu seorang yang tangguh sekali, mengangguk dan mundur.
"Berhati-hatilah, Anakmas."
Kini Tejakasmala memandang kepada Lindu Aji penuh perhatian.
"Hemm, engkau yang bosan hidup mewakili mereka maju seorang diri melawan aku? Katakan dulu siapa namamu agar engkau tidak mati tanpa nama."
"Tejakasmala, namaku Lindu Aji."
Tejakasmala yang tinggal di Bali-Dwipa pernah mendengar nama ini. Akan tetapi Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya terkejut mendengar nama ini. Mereka sudah mendengar ketenaran nama Lindu Aji.
"Anakmas Tejakasmala, dia itu senopati Mataram yang terkenal."
Bisik Bhagawan Kalasrenggi kepada rekannya. Akan, tetapi Tejakasmala adalah seorang yang jumawa, percaya akan kesaktian sendiri hingga selalu memandang rendah orang lain.
Dia memandang wajah Lindu Aji dengan sinar mata mencorong, lalu berkata.
"Hemm, bagus sekali! Kalau engkau senopati Mataram, lebih kuat alasanku untuk membunuhmu lebih dulu. Bersiaplah engkau untuk menerima kematianmu!"
"Aku sudah siap melayanimu, Tejakumala!"
Kata Lindu Aji dan dia pun telah mengumpulkan seluruh kekuatan batinnya dan waspada karena maklum akan kesaktian lawan.
"Sambut ajiku Bayutantra, hyaaaaa-aahh!"
Tejakasmala mengangkat dua tangannya ke atas dengan dua telapak tangan menghadap ke atas, kemudian kedua tangan itu turun dan dihadapkan ke arah Lindu Aji.
"Sirrrrrr... wuuuussss...!"
Dari kedua tangan Tejakasmala itu keluar angin yang amat kuat, menerpa ke arah Lindu Aji.
Bahkan angin itu membawa getaran yang dahsyat sehingga terasa pula oleh Ki Tejomanik, Retno Susilo, dan Sulastri walaupun mereka itu tidak diserang langsung dan hanya keserempet saja.
Ki Tejomanik cepat duduk bersila, diturut oleh Retno Susilo dan Sulastri, mengerahkan kekuatan batin dan tenaga sakti mereka untuk melindungi diri karena merasa betapa jantung mereka berdebar keras!
Lindu Aji tentu saja yang paling hebat merasakan karena dialah yang menjadi sasaran serangan angin dahsyat itu. Lindu Aji dengan tenang lalu bersedekap dan mengerahkan Aji Tirta Bantala sehingga pada saat itu, dia laksana air atau tanah.
Angin itu menyambar, mendorong dengan kekuatan dahsyat, bahkan lalu berputar seperti angin lesus (beliung), angin berputar yang kalau mengamuk di pedusunan mampu mencabut sebuah rumah dan membawanya membubung ke atas!
Akan tetapi, Lindu Aji bersikap bagaikan tanah diserang angin. Sedikit pun tidak bergeming walaupun dia merasa betapa hebatnya serangan itu sehingga hampir saja pertahanannya jebol.
Tejakasmala hampir tidak dapat mempercaya apa yang dilihatnya. Pemuda bernama Lindu Aji itu mampu menahan serangan Aji Bayutantra yang biasanya tidak pernah gagal mengalahkan seorang musuhnya. Dia merasa penasaran bukan main dan setelah menghentikan Aji Bayutantra sehingga angin itu lenyap ketika dia menurunkan kedua tangannya, dia mengerahkan ajiannya yang lain.
"Lindu Aji, jangan bangga karena engkau mampu menahan serangan pertamaku tadi. Sekarang lawanlah ini, Sang Nagakala."
Tejakasmala mengembangkan kedua tangannya dan muncullah uap putih bergumpal-gumpal di atas kepalanya dan uap putih itu perlahan-lahan berubah menjadi bentuk seekor naga!
Naga itu kini menerkam ke arah Lindu Aji. Serangan ke dua ini pun merupakan serangan ilmu sihir yang merupakan keahlian Tejakasmala, disamping aji kedigdayaan tubuhnya yang sudah digembleng dengan aji kanuragan tingkat tinggi.
Melihat serangan ini, Lindu Aji merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua kakinya, yang kanan di depan dan yang kiri dibelakang, lalu dia mendorong dengan kedua telapak tangannya kearah naga yang hendak menerkamnya.
"Wuuuuttt... wesss...!"
Bayangan naga terdorong mundur ketika bertemu dengan dorongan kedua tangan Aji.
Beberapa kali naga itu mencoba untuk menerjang lagi, namun setiap kali terdorong mundur oleh dorongan kedua tangan Aji.
"Haiiiiiiittt...!"
Ketika naga itu masih mencoba menyerang, Lindu Aji mengeluarkan pekik melengking ini dan mengerahkan seluruh tenaga sakti Surya Candra.
"Wuuuuttt... blarrrr...!"
Bentuk naga itu terpental kebelakang dan lenyap, berubah menjadi gumpalan uap yang melayang kembali ke arah kedua telapak tangan Tejakasmala.
Akan tetapi diam-diam Lindu Aji terkejut karena ketika tenaga saktinya menghantam naga jadi-jadian itu, dia merasa seluruh tubuhnya tergetar sehingga dia maklum bahwa lawannya itu benar-benar tangguh bukan main! Padahal tadi dia telah mengerahkan seluruh tenaganya!
Gumpalan uap berbentuk naga itu tidak ambyar atau sirna, melainkan melayang kembali kearah kedua telapak tangan Tejakasmala. Ini membuktikan bahwa tidak mustahil pemuda itu memiliki tenaga sakti yang lebih kuat daripada tenaganya sendiri!
Sementara itu, Tejakasmala semakin penasaran! Selama turun gunung meninggalkan gurunya, belum pernah dia bertemu tanding setangguh ini! Dua ajiannya yang ampuh telah gagal mengalahkan Lindu Aji. Padahal, biasanya Aji Bayu-tantra, apalagi Aji Nagakala, dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya yang terkenal sakti mandraguna.
Kini, kedua ilmunya itu sama sekali tidak mampu mengalahkan lawan, apalagi merobohkan dan menewaskannya! Saking penasaran, dia nenjadi marah sekali dan begitu dia marah, seluruh tubuhnya bergerak menggigil dan terdengar bunyi tulang-tulangnya berkerotokan! Pemuda yang tampan itu kini menjadi menakutkan, memiliki wibawa yang membuat orang merasa ngeri! Matanya seperti mencorong dan tubuhnya seolah menjadi semakin besar, rambutnya berdiri dan dari tenggorokannya keluar suara menggereng yang menggetarkan bumi! Inilah Prabawasinga yang mendatangkan wibawa seolah seekor singa yang menakutkan semua musuhnya!
"Lindu Aji sekaranglah saatnya engkau akan mampus ditanganku. Aauuurrr-ggghhhh...!"
Tiba-tiba Tejakasmala mengeluarkan suara gerengan yang dahsyat bukan main.
Bahkan Ki Tejomanik, Retno Susilo, dan Sulastri sendiri, tiga orang yang sakti mandraguna dan yang sudah duduk berslla itu, tergetar dan terguncang tubuhnya dengan jantung seperti dilanda getaran yang dahsyat. Mereka bertiga mengerahkan seluruh tenaga sakti mereka untuk menahan diri agar jangan sampai menderita luka dalam.
Lindu Aji yang langsung menerima serangan suara sakti itu tentu saja dilanda kekuatan yang paling dahsyat. Dia terkejut dan maklum bahwa kalau dia melawan ajian lain yang mengandalkan kekuatan tenaga sakti, dia tidak akan kuat bertahan. Aji kesaktian yang dipergunakan Tejakasmala itu adalah kekuatan dari Iblis yang amat hebat dan kiranya tidak mungkin dapat dilawan dengan kekerasan pula.
Dia akan kalah kalau dia menggunakan kekerasan melawannya. Maka dia pun lalu berdiam diri, menyerahkan diri seutuhnya kepada kekuasaan Gusti Allah seperti yang dahulu diajarkan kepadanya oleh mendiang Resi Tejo-budi. Inilah yang disebut sarinya aji sikap Tirta Bantala. Dirinya seolah berubah memiliki sifat air atau tanah.
Terasa olehnya getaran dan guncangan dahsyat itu melandanya, namun hanya guncangan saja yang diakibatkan serangan Aji Singabairawa yang dipergunakan Tejakasmala itu. Getaran atau guncangan dahsyat itu melanda dan lewat tanpa melukainya, hanya mengguncangkannya, akan tetapi karena tidak ada kekuatan kasar darinya, maka dia tidak terluka atau terbanting roboh.
Hampir Tejakasmala tidak percaya akan apa yang dihadapinya. Juga teman-temannya memandang dengan takjub. Mereka yang berdiri dibelakang Teja-kasmala, tidak terlanda semua serangan tadi. Namun mereka dapat merasakan hebatnya serangan-serangan yang dilancarkan Tejakasmala kepada Lindu Aji. Namun ternyata Lindu Aji dapat menahan diri dan belum juga dapat dirobohkan!
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagaimanapun juga, Tejakasmala bermata jeli dan dia melihat bahwa biar pun dapat menahan serangan-serangannya, namun Lindu Aji tampak berkeringat, wajahnya agak pucat dan pernapasannya memburu. Hal ini menandakan bahwa lawannya itu terpengaruh juga dan kekuatan batinnya berkurang sebagai akibat menahan gempuran-gempurannya.
"Bagus! Makin tangguh engkau, semakin puas hatiku dapat akhirnya membunuhmu, Lindu Aji!"
Bentaknya dan kini dia membuat gerakan mencakar-cakar dengan kedua tangan menyilang seperti seekor kucing mencakar-cakar.
Semua orang melihat dan terbelalak betapa tangan pemuda tampan itu kini membara merah sekali dan mengeluarkan asap. Demikian hebat panas yang keluar dari kedua telapak tangan itu sehingga terasa oleh semua orang yang berada disitu!
"Ha-ha, Lindu Aji. Perlihatkan ketangkasanmu dan sambutlah Aji Condro-mowo ini!"
Kata Tejakasmala setelah tertawa dan dia mulai membuat gerakan silat seekor kucing atau harimau yang hendak menyerang lawannya.
Lindu Aji waspada dan berhati-hati sekali karena dia maklum bahwa Sekali ini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang benar-benar sakti mandraguna dan tangguh sekali. Dia pun cepat mengerahkan Aji Bayu Sakti untuk kecepatannya, Aji Surya Candra untuk mengisi tenaganya, dan bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti.
Begitu Tejakasmala menerkam seperti seekor harimau dengan kedua tangannya yang membara dan panas itu membentuk cakar, Aji cepat mengelak. Dari samping dia pun membalas dengan tamparan tangannya ke arah lambung lawan. Ini bukan sembarang tamparan karena mengandalkan tenaga sakti yang hebat, yang mampu menghancurkan batu karang.
"Plakk!"
Lengan Tejakasmala menangkis lengan Lindu Aji dan akibatnya, Lindu Aji terhuyung ke belakang, sedangkan Tejakasmala hanya mundur dua langkah. Ini saja sudah membuktikan bahwa pemuda Bali itu benar-benar memiliki tenaga yang lebih kuat. Dia terkekeh lalu menyerang lagi dengan gencar.
Gerakannya cepat, trengginas, dan kuat. Kedua cakar membara itu seolah menjadi banyak sekali, bertubi-tubi menyerang ke arah Lindu Aji. Hawa panas menerpa, tubuh dan muka Aji sehingga dia mulai terdesak hebat.
Melihat lawannya terdesak namun dengan gesitnya dapat selalu mengelak, Tejakasmala tidak sabar lagi.
Lindu Aji memang menyeling ilmu silat Wanara Sakti dengan ilmu silat gubahannya sendiri dari gerakan ular dan burung alap-alap sehingga tubuhnya dapat bergerak amat cepatnya, apalagi dia menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya ringan seperti angin. Melihat ini Tejakasmala tiba-tiba menekuk kedua lututnya dan dengan mengeluarkan suara menggereng seperti singa tadi, dia menyerang dengan dorongan kedua tangannya ke arah Lindu Aji.
Angin dahsyat menyambar, membawa sinar merah dari api membara menyergap Lindu Aji. Pendekar ini mengerahkan tenaga dan menyambut denfean dorongan kedua tangannya.
"Aauuurrgghhhhh...!!"
"Hyaaaatttt...! Blaarrrr"!"
Tubuh Lindu Aji terpental dan terbanting roboh telentang.
Sulastri menubruknya dan terdengar Tejakasmala tertawa bergelak. Akan tetapi, ketika dia hendak mengirim pukulan terakhir yang akan dapat membunuh Lindu Aji dan Sulastri, tiba-tiba terdengar cambuk meledak dan Ki Tejomanik sudah menyerangnya dengan sambaran Pecut Bajrakirana!
Pecut ini adalah sebuah senjata yang amat ampuh dan Tejakasmala agaknya tahu benar akan hal itu, Maka dia pun tidak berani menyambut dan dengan menggulingkan tubuhnya dia mengelak lalu kedua tangannya mendorong selagi tubuhnya bergulingan ke arah Tejomanik.
Satria gagah ini mencoba bertahan, namun dia pun terpental dan terbanting roboh. Retno Susilo cepat menubruk suaminya dan memeriksa keadaannya.
"Ha-ha-ha-ha! Sekarang, kalian ber-empat, dua pasang suami isteri pembela Mataram, akan tewas di tangan Tejakasmala! Sambutlah......aauurrrggghhhh...!"
Kedua tangan yang merah membara itu mendorong ke arah empat orang yang kebetulan berada ditempat yang saling berdekatan.
Lindu Aji dan Tejomanik sedang dalam keadaan tidak siap karena benturan tenaga tadi mengguncangkan tubuh mereka. Dan dua orang wanita itu pun sedang berjongkok dan menolong suami masing-masing, maka serangan itu dahsyat sekali dan mengancam keselamatan nyawa empat orang itu.
"Syuuuuutttt... wessss...!!"
Dua sosok bayangan berkelebat seperti kilat menyambar dan dorongan tangan yang membara dari Tejakasmala itu bertemu dengan hawa pukulan yang menyambutnya dari depan.
Tejakasmala terkejut, bukan main sampai melompat ke belakang ketika ia merasa betapa hawa yang amat dingin menyambut pukulannya yang panas sehingga dia merasa betapa tangannya yang panas seperti api bertemu air dingin!
Semua orang memandang dan disitu sudah berdiri seorang wanita cantik dan seorang pemuda tampan.
Ki Tejomanik, Retno Susilo, Lindu Aji, dan Sulastri berempat memandang dengan mata terbelalak ketika mereka mengenal bahwa wanita cantik itu adalah Maya Dewi!
Masih tetap cantik jelita, akan tetapi kini pakaiannya tidak mewah seperti dulu, tidak lagi pesolek, melainkan berpakaian sederhana dan mukanya tidak berbalut bedak!
Ki Tejomanik dan Retno Susilo memandang dengan mata terbelalak penuh keraguan kepada pemuda yang berdiri dekat Maya Dewi. Mereka sudah mendengar kabar bahwa putera mereka, Bagus Sajiwo, kini tampak bersama-sama Maya Dewi. Apakah pemuda tinggi tegap ini putera mereka?
Mereka kehilangan Bagus Sajiwo ketika anak itu berusia enam tahun. Kini mereka, menghadapi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun. Tentu saja mereka meragu.
Besar perbedaan antara anak berusia enam tahun dan pemuda berusia dua puluh tahun!
(Lanjut ke Jilid 25)
Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25
Maya Dewi, yang jantungnya berdebar tegang melihat Ki Tejomanik dan Retno Susilo, apalagi melihat Lindu Aji dan Sulastri yang pernah menjadi musuh besarnya, sengaja menghadapi enam orang yang memusuhi Ki Tejomanik itu. Ia tersenyum mengejek memandang kepada Tejakasmala, Candrabaya dan Cakra-sakti, ketiganya dari Bali, lalu kepada Bhagawan Kalasrenggi, Kaladhama dan Kalajana.
Enam orang, tiga dari Bali dan tiga dari Blambangan ini memang merupakan tokoh-tokoh baru yang baru saja datang dari Bali dan Bhagawan Kalasrenggi beserta dua orang muridnya juga baru satu dua tahun pindah ke Blambangan dari Bali, maka melihat mereka berenam, Maya Dewi sama sekali tidak mengenal mereka. Sebaliknya enam orang itu pun tidak mengenal wanita cantik yang dulunya merupakan datuk sesat yang dikenal semua tokoh dunia petualangan. Maya Dewi dianggap seorang Iblis Betina yang kejam, curang, bahkan pernah merendahkan diri menjadi antek dan telik sandi Kumpeni Belanda yang tangguh dan dipercaya.
Melihat betapa tadi Tejakasmala yang tampan itu nyaris membunuh Ki Tejomanik dan Lindu Aji bersama isteri mereka, Maya Dewi tersenyum lebar dan tertawa mengejek. Biarpun ia kini bagaikan seekor singa betina kelaparan berubah menjadi seekor domba yang lembut, namun tetap saja wataknya yang lincah masih kadang muncul, walaupun kini kelincahannya tidak melanggar kesopanan. Ia sudah dapat membedakan dan mengerti benar mana yang sopan dan tidak sopan, mana yang bersusila dan tidak, terutama sekali mana yang baik dan jahat.
"He-he melihat pakaian kalian, aku berani memastikan bahwa kalian ini tentu orang-orang dari Bali dan yang tiga itu pakaiannya seperti bangsawan Blambangan. Apa yang mendorong kalian berkeliaran sampai kesini dan mencoba membunuh orang-orang gagah perkasa, para satria pembela Mataram? Sudah pasti kalian ini antek-antek Kadipaten Blambangan yang kudengar kini sedang bersiap-siap menentang Mataram. Hi-hik, lucunya. Orang-orang macam kalian mana mungkin dapat mengalahkan para satria? Melawan aku seorang pun kalian berenam takkan mampu menang! Apalagi itu badut yang hidung dan sebelah telinganya buntung! Hiiih, buruk sekali! Hayo kalian cepat pergi dari sini atau terpaksa aku akan membuntungi hidung kalian semua, baru tahu rasa!"
Empat orang pendekar pembela Mataram itu bengong melihat aksi dan mendengar ucapan Maya Dewi. Hampir mereka tidak dapat percaya kepada pendengaran, mereka sendiri dan dalam keadaan biasa mereka tentu mengira Maya Dewi hanya berlagak dan sesungguhnya wanita itu berpihak kepada musuh. Akan tetapi mereka teringat akan cerita Ki Sumali bahwa Maya Dewi juga membela Ki Sumali. Akan tetapi Ki Tejomanik dan Retno Susilo tetap memandang kepada Bagus Sajiwo dengan mata tak pernah berkedip.
Melihat Maya Dewi menghadapi dan mengejek enam orang itu, Bagus Sajiwo tidak perduli. Dia percaya akan kemampuan Maya Dewi. Dia juga sejak tadi memandang kepada Ki Tejomanik dan Retno Susilo. Hanya keteguhan batinnya saja yang membuat pemuda ini tidak digoyahkan oleh keharuan yang amat sangat. Dengan tenang dia maju melangkah menghampiri suami isteri itu, lalu menjatuhkan dirinya berlutut menyembah kepada ayah ibunya dan berkata, suaranya agak gemetar karena dia menahan keharuan.
"Ayah dan Ibu, ampunkan anakmu Bagus Sajiwo yang baru sekarang pulang"
"Bagus...!"
Retno Susilo menjerit.
"Bagus Sajiwo...!"
Ki Tejomanik jugd berseru.
Kini mereka tidak ragu lagi dan Retno Susilo sudah menubruk dan merangkul puteranya sambil menangis tersedu-sedu. Ki Tejomanik juga menepuk-nepuk pundak puteranya dengan hati ber-bunga-bunga. Suami isteri ini merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo