Ceritasilat Novel Online

Bagus Sajiwo 23


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



Sambil menahan isaknya namun tetap saja suaranya gemetar dan lirih ia lalu berkata sambil mengangkat mukanya yang pucat, memandang wajah Bagus Sajiwo dengan mata yang telah kehilangan sinarnya, mata yang seolah menerawang jauh sekali.

   "Bagus, semua yang dikatakan oleh Ibumu itu benar. Aku memang seorang yang penuh dosa, seorang yang kotor dan sungguh tidak pantas berdekatan denganmu, Bagus."

   Hati Bagus Sajiwo penuh perasaan iba kepada Maya Dewi. Dia dapat membayangkan betapa hancur lebur hati wanita itu mendengar ucapan ibunya yang demikian keras dan penuh penghinaan, walaupun dia juga maklum bahwa apa yang dikatakan ibunya itu semua benar dan dia tahu pula mengapa ibunya marak kepada Maya Dewi.

   "Ibu, mohon Ibu dan Ayah mendengar saya baik-baik. Saya tahu benar siapa Maya Dewi. Ia telah menceritakan segalanya tentang masa lalunya yang penuh kesesatan itu kepada saya. Saya tahu bahwa ia dahulu adalah seorang yang beraliran sesat bahkan menjadi telik sandi Kumpeni Belanda. Ia menceritakan semua itu, akan tetapi ia menyesali semua dosanya dan sejak bertemu dengan saya, ia berusaha sekuat tenaga untuk kembali ke jalan benar dan saya melihat bahwa ia telah berhasil, Ayah dan Ibu. Karena itulah maka kami menjadi sahabat baik yang saling membantu. Saya mohon Ayah dan Ibu sudi memberi maaf kepada Maya Dewi sekiranya ia pernah berbuat salah kepada Ayah dan Ibu. Sayalah yang menanggung bahwa kini Maya Dewi sudah kembali ke jalan benar, membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan berserah diri kepada Gusti Allah. Saya yang menanggung, Ibu..."

   Mendengar Bagus Sajiwo membelanya sedemikian rupa, air mata Maya Dewi bercucuran semakin deras. Ia tidak kuat bertahan diri lebih lama lagi dan berkata dengan suara mengandung jeritan hati.

   "Ohhh... sudahlah, Bagus. Sudahlah, jangan membelaku lagi. Ibumu memang benar, semua orang benar, aku yang salah, aku yang kotor. Kalau engkau membelaku, engkau akan tercemar kekotoran dariku..."

   "Itu benar!"

   Bentak Retna Susilo yang sudah melompat ke depan Maya Dewi.

   "Anakku akan menjadi kotor kalau berdekatan dengan seorang perempuan macam kamu! Engkau sudah menggunakan sikap dan kata-kata manis sehingga mempengaruhi anakku yang masih muda. Maya Dewi, engkau sungguh tak tahu malu, usiamu sudah banyak masih merayu seorang pemuda remaja! Aku tahu bahwa engkau sakti, lebih digdaya daripada aku, akan tetapi kalau engkau mendekati anakku lagi, aku akan mengadu nyawa denganmu. Lebih baik aku mati daripada melihat anakku menjadi permainanmu!"

   Retno Susilo yang sudah gelap mata karena marah itu lalu mengayun kedua tangannya.

   "Plak-plak!!"

   Kedua pipi Maya Dewi ditamparnya.

   Maya Dewi tentu saja akan mudah mengelak atau melindungi mukanya dengan aji kekebalan, atau menangkis kalau ia mau. Akan tetapi ia diam dan menerima saja tanpa mengerahkan tenaga sehingga kedua pipinya menjadi biru membengkak dan darah mengalir dari ujung bibirnya yang pecah.

   Ki Tejomanik sudah melompat dan memegang kedua lengan isterinya agar jangan memukul lagi.

   "Sudah, Diajeng!"

   Katanya tegas.

   "Kemarahan menyeretmu melakukan perbuatan yang tidak benar!"

   Kemudian Ki Tejomanik memandang Maya Dewi yang kedua pipinya biru membengkak lalu berkata.

   "Maya Dewi, kami kira sebaiknyalah kalau engkau pergi meninggalkan kami dan biarlah kita mengambil jalan kita masing-masing."

   Maya Dewi mengangguk lalu memandang kepada Bagus Sajiwo. Matanya yang biasanya indah cemerlang dan jeli itu kini tampak seperti orang mati, tanpa ada sinar kehidupan. Lalu terdengar suaranya gemetar namun penuh kasih sayang.

   "Tolol... ampuni aku... yang telah membuat engkau... dimarahi orang tua-mu... selamat tinggal Tolol... jaga dirimu baik-baik."

   Wanita itu lalu memutar tubuhnya dan berkelebat cepat sekali meninggalkan tempat itu.

   Bagus Sajiwo merasa hatinya tergetar. Dia dapat menangkap getaran kasih sayang dalam suara Maya Dewi tadi, dan sebutan "Tolol"

   Itu mengingatkan dia betapa dahulu, pada pertemuan pertama kalinya, sebutan itu menunjukkan bahwa Maya Dewi sedang marah atau sedang menyayangnya. Sebutan itu dapat menjadi tanda kemarahan atau kemesraan. Dan sebutan tadi jelas sama sekali bukan merupakan tanda kemarahan.

   "Dewi...!"

   Dia berseru lirih, seperti bisikan karena seruan itu hanya merupakan letupan suara hatinya.

   Bagus Sajiwo berdiri memandang ke arah menghilangnya bayangan Maya Dewi, diam tak bergerak seperti patung.

   Retno Susilo memeluknya dari belakang. Bagus Sajiwo seperti baru sadar dari lamunan, memutar tubuh dan balas merahgkul Ibunya. Retno Susilo menangis.

   "Bagus, anakku sayang... kau maafkan Ibumu, ya Nak. Ibu... Ibu terpaksa harus bersikap kasar kepada Maya Dewi tadi... karena Ibu terlalu sayang padamu..."

   Bagus Sajiwo tersenyum, sama sekali tidak tampak kesedihan pada wajahnya. Dengan pandang mata penuh pengertian dia menepuk-nepuk pundak ibunya.

   "Saya tidak menyalahkan Ibu. Saya mengerti perasaan Ibu."

   Ki Tejomanik menghampiri mereka dan merangkul putera dan isterinya.

   "Anakku Bagus, aku bangga kepadamu, Nak. Engkau sungguh bijaksana!"

   Tiga orang itu saling rangkul.

   Sejak tadi, Lindu Aji yang memiliki perasaan halus, ikut merasa terharu sekali melihat adegan antara Maya Dewi, Bagus Sajiwo dan Retno Susilo. Dia adalah seorang yang bijaksana pula, maka dia dapat mengerti akan sikap Retno Susilo yang tidak rela dan marah-marah melihat putera tunggalnya bergaul akrab dengan Maya Dewi yang dahulunya memang merupakan seorang datuk sesat. Dia juga dapat merasakan pukulan batin yang diderita Maya Dewi dan di dalam hatinya dia merasa iba juga. Akan tetapi Lindu Aji mengerti bahwa itu merupakan akibat daripada sebab yang dibuat sendiri oleh Maya Dewi.

   Kesesatannya dahulu itulah yang mengakibatkan wanita itu menderita kehancuran batin seperti itu. Dan memang ia harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya di masa lalu. Dan Lindu Aji merasa iba, karena dia dapat melihat bahwa wanita itu bersungguh-sungguh dalam niatnya untuk mengubah jalan hidupnya. Maya Dewi agaknya telah menemukan, jalan terang. Buktinya tadi ketika ditampar Retno Susilo, ia sama sekali tidak melawan dan menerima begitu saja tamparan itu yang membuat kedua pipinya biru membengkak dan bibirnya berdarah. Maya Dewi agaknya merasa bahwa ia memang pantas menerima hukuman itu, dan ini mendatangkan kesan baik dalam hatinya.

   Sulastri yang tadinya, seperti Retno Susilo, juga merupakan seorang gadis yang keras hati, juga tidak menyalahkan sikap Retno Susilo. Akan tetapi ia merasa heran sekali akan perubahan yang amat besar dalam diri Maya Dewi. Sebagai seorang wanita, ia menduga bahwa Maya Dewi benar-benar amat mengasihi Bagus Sajiwo! Agaknya Retno Susilo juga merasakan ini, maka ia marah dan mengamuk, tidak rela kalau puteranya yang berusia dua puluh tahun dan seorang perjaka tampan dan sakti mandraguna, anak satu-satunya, saling jatuh cinta dengan seorang wanita yang dahulu menjadi iblis betina jahat, apalagi yang usianya sudah hampir empat puluh tahun! Ia pun merasa terharu melihat penderitaan Maya Dewi yang tahu diri dan mengalah itu.

   Akan tetapi, suami isteri ini, Lindu Aji dan Sulastri, benar-benar merasa heran dan kagum bukan main melihat sikap dan sepak-terjang Bagus Sajiwo. Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan gagah perkasa, juga lembut dan bijaksana sekali. Pemuda itu benar-benar seorang satria pinandita, gagah perkasa seperti satria dan berbudi hhur seperti pendeta. Dan yang lebih mengagumkan lagi, mereka dapat menduga bahwa Maya Dewi yang dahulunya demikian jauh tersesat, kini dapat kembali ke jalan benar berkat bimbingan pemuda yang baru berusia dua puluh tahun itu! Hal ini sungguh merupakan suatu keajaiban. Kalau bukan Kekuasaan Gusti Allah sendiri yang bekerja melalui pemuda itu, kiranya tidak mungkin ada manusia mampu menuntun seorang wanita yang tadinya demikian sesat dan jahat dapat berubah sama sekali dan menjadi seorang wanita yang berwatak demikian mengagumkan! " .

   Ki Tejomanik yang tadinya tenggelam dalam keharuan dan berangkulan dengan anak isterinya, teringat akan kehadiran Lindu Aji dan Sulastri yang tadi telah membantu dan menyelamatkannya ketika dia dan isterinya terancam oleh Bhagawan Kalasrenggi dan dua orang muridnya yang tangguh itu. Maka dia cepat menyadarkan isteri dan puteranya.

   "Bagus, mari kuperkenalkan kepada sepasang pendekar yang sudah banjak berjasa terhadap Mataram dan sudah menyelamatkan kami tadi sebelum engkau datang."

   Mereka bertiga menghanpiri Lindu Aji dan Sulastri.

   "Anakmas berdua, inilah anak kami Bagus Sajiwo. Bagus, mereka ini adalah Anakmas Lindu Aji dan isterinya, Sulastri. Mereka juga ikut prihatin dan sibuk mencarimu, Bagus."

   Bagus Sajiwo memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya depan dada.

   "Kakangmas Lindu Aji dan Mbakayu Sulastri, saya berterima kasih dan sangat menghargai semua kebaikan yang Andika berdua lakukan untuk kami."

   Lindu Aji dan Sulastri tersenyum dan menjawab.

   "Adimas Bagus Sajiwo, apa yang kami berdua lakukan hanya merupakan kewajiban semua pendekar yang memilih menjadi hamba dan alat yang dipergunakan oleh Gusti Allah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Kami berdua pun mungkin sekarang sudah tidak hidup lagi sekiranya Gusti Allah tidak menyelamatkan kami melalui uluran tanganmu tadi."

   Sepasang mata Bagus Sajiwo bersinar dan wajahnya berseri ketika dia mendengar ucapan Lindu Aji itu.

   "Ah, Kakangmas Lindu Aji ternyata adalah seorang yang bijaksana sekali!"

   Katanya.

   Ki Tejomanik yang kini sudah merasa gembira kembali berkata sambil tertawa.

   "Ha-ha, Bagus, tentu saja Anakmas Lindu Aji seorang satria yang bijaksana. Mari kita semua masuk ke dalam rumah agar kita dapat bercakap-cakap dengan leluasa. Banyak yang perlu kita bicarakan!"

   Lindu Aji dan Sulastri agak ragu-ragu karena mereka tahu bahwa suami isteri dan putera mereka yang baru saling ketemu dan berkumpul itu tentu akan merayakan kebahagiaan mereka. Lindu Aji dan Sulastri merasa seolah kehadiran mereka akan merupakan gangguan yang membuat keluarga itu merasa canggung dan kebahagiaan mereka terganggu. Mereka saling pandang dan saling mengerti perasaan masing-masing. Akan tetapi Retno Susilo yang juga bermata tajam dan peka itu dapat melihat kecanggungan dan keraguan mereka. Ia merangkul Sulastri dan berkata.

   "Eh, kenapa kalian tampak ragu-ragu? Kalian berdua sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, bukan orang luar. Hayo kita bersama merayakan kebahagiaan ini dan apakah kalian tidak ingin mengenal Adikmu Bagus Sajiwo lebih baik lagi dan mendengarkan kisah pengalamannya selama empat belas tahun meninggalkan rumah?"

   "Bibi kalian benar, Anakmas Lindu Aji. Mari kalian ikut bergembira bersama kami!"

   Kata Ki Tejomanik kepada Lindu Aji.

   "Saya juga ingin mengenal Kakang-mas Lindu Aji dan Mbakayu Sulastri lebih baik lagi dan mengharapkan banyak petunjuk dari Andika berdua."

   Kata Bagus Sajiwo.

   Mendengar kata-kata yang diucapkan keluarga itu dengan tulus, keraguan Lindu Aji dan Sulastri menghilang dan mereka ikut masuk ke rumah dengan wajah gembira.

   Bagus Sajiwo membawa buntalan pakaiannya yang tadi dia letakkan di bawah pohon dan ketika melangkah menuju ke pendopo, dia memandang kesekeliling pekarangan dengan mata bersinar-sinar karena dia melihat betapa keadaan dipekarangan itu masih sama seperti ketika dia masih kecil, seolah tidak pernah ada perubahan disitu. Yang berubah cepat adalah manusia.

   Ketika memasuki rumah, Bagus Sajiwo juga mendapat kenyataan bahwa tampaknya tidak ada perubahan sama sekali dalam rumah orang tuanya itu.

   "Lihat kamarmu ini, Bagus!"

   Kata Retno Susilo yang membawa mereka memasuki sebuah kamar.

   Bagus Sajiwo memasuki kamar itu dan meletakkan buntalan pakaiannya ke atas meja. Lalu dia memandangi semua benda yang berada di dalam kamar itu. Semuanya masih presis sama seperti belasan tahun yang lalu! Tempat tidurnya, almari pakaiannya. Dia menghampiri almari itu dan membukanya. Masih penuh pakaian, pakaiannya ketika dia berusia enam tahun!

   "Ibu, semua masih lengkap disini seperti ketika saya diculik orang! Sama sekali tidak ada perubahan. Pakaian-pakaian ini, ha-ha, tentu tidak bisa kupakai sekarang, terlalu kecil!"

   Bagus Sajiwo mengambil sepotong baju yang tentu saja terlalu kecil untuk tubuhnya.

   Ki Tejomanik dan Lindu Aji bersama isteri mereka yang ikut masuk ke dalam kamar itu tertawa.

   "Aku memang selalu merawat kamar ini dan tidak ada sepotong benda pun yang disingkirkan!"

   Kata Retno Susilo bangga.

   "Ibumu berkeras untuk mempertahankan kamarmu ini, Bagus. Dan ini merupakan bukti bahwa kami tidak pernah putus asa menanti kembalimu. Mari kita bicara diruangan dalam!"

   Mereka memasuki ruangan dalam dan duduk mengelilingi meja.

   "Nah, sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu sejak engkau diculik orang sampai hari ini, Bagus. Aku sudah ingin sekali mendengar kisah pengalamanmu. Setelah engkau bercerita, baru aku akan mengajak Sulastri untuk menyiapkan masakan untuk pesta keluarga kita."

   Kata Retno Susilo setelah menghidangkan minuman air teh yang sudah tersedia sebelumnya.

   "Ketika itu Ayah dan Ibu sedang tidak ada di rumah dan saya tinggal sendiri dirumah bersama Bibi Sikem, pembantu yang setia itu."

   Bagus Sajiwo mulai bercerita.

   "Ya, Ibumu dan aku sedang pergi membasmi perampok yang mengganggu penduduk dusun di kaki gunung yang ternyata merupakan pancingan agar kami berdua meninggalkan rumah. Para perampok itu disuruh oleh penculik."

   Kata Tejomanik.

   "Saya melawan akan tetapi tentu saja sia-sia ketika penculik itu membawa lari saya setelah dengan kejam dia membunuh Bibi Sikem. Penculik itu adalah Wiku Menak Koncar tokoh Blambangan dan dia hendak membawa saya ke Blambangan. Akan tetapi kemudian muncul Eyang Guru Ki Ageng Mahendra menolong saya. Setelah mengalahkan Wiku Menak Koncar yang melarikan diri, Eyang Guru lalu membawa saya ke Pegunungan Ijen dimana beliau bertapa dan sejak itu saya menjadi muridnya."

   "Paman Ki Ageng Mahendra itu masih saudara seperguruan guruku, Resi Limut Manik, Bagus! Jadi, beliau bukan orang lain!"

   Seru Ki Tejomanik.

   "Eyang Guru juga telah memberitahu kepada saya akan hal itu, Ayah. Akan tetapi beliau menerima saya sebagai muridnya dengan dua syarat. Pertama, saya tidak boleh pulang bertemu Ayah dan Ibu sebelum berusia dua puluh tahun dan ke dua, saya tidak boleh menanyakan apa sebabnya. Akan tetapi saya tetap percaya bahwa mendiang Eyang Guru tentu mempunyai alasan tertentu untuk hal itu. Beliau adalah seorang yang arif bijaksana."

   "Hemm, aku juga yakin akan hal itu dan setelah kini kami mendengar bahwa engkau dilarang pulang sebelum berusia dua puluh tahun, kami tidak menyalahkan engkau yang menaati pesan itu, Bagus."

   Kata Ki Tejomanik dan Retno Susilo'hanya mengangguk setuju.

   "Kurang lebih empat tahun yang lalu, ketika saya berusia enam belas tahun, Eyang Guru wafat karena usianya sudah sepuh (tua) sekali. Sesuai dengan pesan Eyang Guru, saya memperabukan jenazah beliau, dibakar berikut pondoknya. Setelah api padam dan jenazah sudah menjadi abu, selagi saya hendak mengumpulkannya, tiba-tiba datang angin lesus dan semua sisa pembakaran itu terbawa angin lesus diterbangkan ke atas sehingga abu itu menghujani permukaan Pegunungan Ijen. Karena Eyang Guru sudah memesan agar saya tidak pulang sebelum berusia dua puluh tahun, maka saya lalu meninggalkan gunung dan pergi merantau kemana saja untuk melewatkan waktu yang empat tahun lagi sebelum boleh pulang kesini."

   "Eyang Gurumu itu sungguh seorang yang arif bijaksana, Adimas Bagus Sajiwo."

   Kata Lindu Aji kagum.

   "Ya, bahkan agaknya beliau sudah tahu apa yang akan terjadi. Buktinya sebelum meninggal saya disuruh menanak nasi dan memasak daging kijang yang sekiranya cukup untuk dihidangkan kepada lima puluh orang. Dan ternyata persediaan itu cukup untuk para penduduk pedusunan yang datang melayat."

   "Lalu bagaimana engkau bertemu dan dapat bersama... Maya Dewi itu sampai hari ini, Bagus?"

   Tanya Retno Susilo dan kini setelah Maya Dewi tidak berada disitu, suaranya lembut, tidak lagi penuh kemarahan seperti tadi ketika berhadapan dengan wanita itu.

   "Begini, Ibu. Perjalanan saya tanpa tujuan itu pada suatu hari membawa saya tiba di Bukit Keluwung di Pegunungan Wilis dan di puncak bukit itu saya melihat seorang wanita berkelahi, dikeroyok oleh dua orang yang kemudian saya ketahui adalah Raden Jaka Bintara dan Gagak Mudra. Wanita itu terpukul dan terluka dalam dengan parah, nyaris tewas. Saya yang tidak mengenal mereka tergerak untuk menolong wanita itu dan berhasil mengusir dua orang yang hendak membunuhnya itu. Melihat wanita yang terluka parah hampir tewas itu, saya berusaha mengobatinya dan berhasil menyelamatkan nyawanya, walaupun ia masih dalam keadaan menderita luka dalam yang berbahaya. Dia adalah Maya Dewi. Lalu muncul seorang wanita berpakaian putih hendak membunuh Maya Dewi yang sudah menderita luka. Wanita itu adalah kakak tiri Maya Dewi dan memiliki kepandaian tinggi. Kembali saya membela Maya Dewi dan kami melarikan diri ke dalam sebuah terowongan guha yang berada di dalam Bukit Keluwung. Candra Dewi tidak dapat mengejar kami karena terowongan itu longsor dan ter-uruk batu dari langit-langit terowongan."

   "Ah, pantas saja aku melihat tulisan di batu luar guha bahwa tempat itu merupakan kuburan Maya Dewi dan Bagus Sajiwo. Karena kusangka bahwa engkau telah tewas, Adimas Bagus Sajiwo, maka saya mengabarkannya kepada Paman Tejomanik dan Bibi Retno Susilo."

   Kata Sulastri.

   Bagus Sajiwo mengangguk.

   "Benar, ia mengira kami telah mati. Kami berada dalam ruangan dalam bukit itu selama satu bulan untuk melenyapkan racun dingin dari Aji Wisa Sarpa yang membalik menyerang dirinya, karena ruangan itu merupakan pusat panas bumi. Setelah hawa beracun Aji Wisa Sarpa lenyap, tinggal hawa panas beracun dari Aji Tapak Rudira yang masih mengancam nyawanya. Kami lalu pergi ke Puncak Wilis yang teramat dingin dan disana saya mengajar Maya Dewi untuk bersamadhi, mengambil keadaan udara yang amat dingin itu untuk mengusir hawa beracun panas dari tubuhnya. Akhirnya ia sembuh, akan tetapi ia kehilangan kedua ajiannya itu. Ia menceritakan tentang kesesatannya dan menghilangnya dua aji sesat itu pun banyak membantu ia untuk menyadari kesalahan dan dosa-dosanya, bertaubat dan kembali ke jalan benar."

   "Adimas Bagus Sajiwo. Kami pernah beberapa kali bentrok dengan Maya Dewi dan seingatku, kesaktiannya tidak sehebat sekarang! Bagaimana setelah ia kehilangan dua ajinya yang ganas itu kini ia malah menjadi begitu sakti mandraguna?"

   Tanya Lindu Aji, agak penasaran melihat kemajuan luar biasa yang diperoleh Maya Dewi.

   Bagus Sajiwo tersenyum melihat betapa empat pasang mata itu memandang kepadanya penuh penantian dan keinginan tahu.

   "Setelah Maya Dewi sembuh benar, kami turun dari puncak Wilis dan mulai merantau karena saya harus menunggu sampai berusia dua puluh tahun, baru aku kembali ke Gunung Kawi sini. Ketika kami melakukan perjalanan, saya membantu Maya Dewi untuk berlatih menghimpun kembali tenaga sakti sehingga ia mendapatkan kembali tenaganya. akan tetapi bukan tenaga sesat seperti yang pernah ia miliki. Dan saya melihat betapa Maya Dewi benar-benar telah bertaubat dan kembali ke jalan benar. Perubahan pada dirinya itu tampak nyata ketika dalam perjalanan kami itu seringkali kami bertemu peristiwa kejahatan dan ia selalu membela kebenaran, membela orang-orang yang tertindas dan menentang kejahatan."

   Tiba-tiba Retno Susilo yang sejak tadi mendengarkan dan mulai merasa penasaran membayangkan puteranya bersama Maya Dewi sampai bertahun-tahun, bertanya.

   "Akan tetapi, Maya Dewi itu dahulu selain jahat dan kejam, juga terkenal sebagai seorang wanita kotor tukang pelet laki-laki! Apakah selama bersamamu ia tidak pernah merayumu? Rasanya tidak mungkin!"

   Bagus Sajiwo menghela napas panjang. Tadi ketika bercerita, dia sudah berhati-hati sekali, tidak mau menyinggung hati ibunya dan menjaga agar ibunya tidak marah. Maka dia tidak bercerita tentang pengalamannya bersama Maya Dewi ketika melakukan pengobatan, baik di Ruangan Pusat Panas Bumi maupun di puncak Wilis. Akan tetapi ketika ibunya bertanya tentang rayuan Maya Dewi, dia tidak dapat berbohong.

   "Sebenarnya, Ibu. Ketika baru pertama kali bertemu, Maya Dewi menyatakan cintanya dan keinginannya untuk menjadi suami isteri dengan saya..."

   "Nah! Perempuan hina dina itu...!"

   "Ssstt, Diajeng. Tekanlah nafsu perasaanmu agar dapat mendengarkan dengan baik. Aku yakin Bagus Sajiwo akan menceritakan semua dengan sejujurnya."

   Kata Ki Tejomanik kepada isterinya.

   "Sesungguhnya begitu,"

   Kata Bagus Sajiwo.

   "Akan tetapi karena pada waktu itu, saya masih remaja, usia saya baru enam belas tahun, aku menolaknya dan perlahan-lahan aku membimbingnya untuk berkenalan dengan Gusti Allah yang tidak pernah dikenalnya. Perlahan-lahan berkat iman dan penyerahan dirinya kepada Gusti Allah Maya Dewi dapat menguasai nafsu-nafsunya dan akhirnya ia terbebas dari belenggu nafsunya sendiri. Ia memang masih mencinta saya, amat mencinta saya, Ayah dan Ibu. Akan tetapi saya yakin dan merasa bahwa cinta kasihnya itu murni, bukan sekedar cinta kasih yang didorong oleh nafsu belaka. Saya pun amat menyayangnya, Ibu. Sayang dan iba kepadanya, maka ketika ia mohon dengan sangat agar diperbolehkan ikut saya karena ia takut bahwa kalau ia berpisah dari saya ia akan terseret kembali oleh kekuasaan Iblis ke dalam lembah dosa, saya tidak dapat menolaknya. Percayalah, Ibu. Hubungan kami kasih sayang diantara kami, bersih dan sama sekali tidak dicemari nafsu."

   Ki Tejomanik menepuk-nepuk pundak Retno Susilo dan wanita ini menghela napas panjang.

   "Anakku, tentu saja aku percaya kepadamu. Akan tetapi, peristiwa itu sungguh hampir mustahil. Perubahan yang terjadi pada diri Maya Dewi itu sungguh merupakan suatu keajaiban, maka tadinya aku merasa sukar untuk percaya."

   "Ibu, wejangan dan ajaran mendiang Eyang Guru Ki Ageng Mahendra membuka mata batin saya bahwa di dalam kehidupan di dunia ini, tidak ada seorang pun manusia yang sempurna dan bersih daripada dosa dan kesalahan. Kita semua sebagai manusia sudah pasti mempunyai kesalahan, mempunyai kelemahan dan berbuat dosa. Hanya mungkin kadarnya saja yang berbeda. Karena itu, sudah sepantasnya kalau kita yang juga berdosa dan siap untuk mengampuni orang lain yang bersalah kepada kita, karena bagaimana Gustl Allah berkenan mengampuni kita kalau kita sendiri tidak mau mengampuni....

   == Halaman Hilang ==

   masih ada tiga tahun lebih waktunya bagi saya untuk pulang kesini. Kami berdua tiba disana dan ternyata di muara itu telah berkumpul banyak tokoh dan datuk. Saya mengetahuinya dari keterangan Maya Dewi yang mengenal mereka itu. Dan orang yang dulu menyerang Maya Dewi, yaitu Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra membangun sebuah rumah di dekat muara dan semua tokoh diundang sebagai tamu pangeran dari Banten itu. Di tempat itu terjadi keributan dan seorang pendekar, namanya Ki Sumali dari Loano dituduh mata-mata Mataram dan dikeroyok para datuk yang menentang Mataram."

   "Adimas Bagus Sajiwo, dia itu Pamanku, adik Ayahku!"

   Kata Sulastri.

   "Ah, begitukah? Melihat Paman Sumali dikeroyok, Maya Dewi segera membelanya dan melawan para pengeroyok. Karena melihat para pengeroyok itu orang-orang yang digdaya, aku pun membantu dan akhirnya para datuk itu, dapat kami pukul mundur. Kemudian, Maya Dewi mengajak aku pergi melihat-lihat dekat muara dan semua orang mencari-cari disekitar muara. Tiba-tiba kami diserang tembakan senjata-senjata api oleh beberapa orang yang menembak dari balik batu karang. Maya Dewi tertembak pundaknya dan karena keadaan amat berbahaya baginya, saya lalu membawanya terjun ke dalam air muara itu."

   "Paman Sumali telah bercerita tentang itu kepada kami!"

   Kata Lindu Aji.

   "Dan menurut ceritanya, setelah engkau dan Maya Dewi tercebur ke dalam muara yang dalam, kalian tidak muncul lagi sehingga semua orang menduga bahwa kalian tentu tewas tenggelam."

   Bagus Sajiwo mengangguk.

   "Memang, tidak heran kalau semua orang menganggap begitu, Kakangmas Lindu Aji. Ketika saya membawa Maya Dewi menyelam, tanpa disengaja, secara kebetulan dan saya yakin hal itu memang merupakan bimbingan Gusti Allah, saya menemukan terowongan di dinding muara dan terowongan itu menembus ke sebuah ruangan bawah tanah yang luas. Dan apa yang kami temukan disana?"

   "Jamur Dwipa Suddhi!"

   Teriak Sulastri.

   Bagus Sajiwo mengangguk dan tersenyum.

   "Tepat sekali dugaan Mbakayu Sulastri. Kami menemukan tempat dimana Jamur Dwipa Suddhi disimpan. Dan bukan itu saja, kami juga menemukan kitab yang kuno, mengandung pelajaran Aji Sari Bantala."

   "Wah, luar biasa sekali. Ajaib dan sulit dipercaya, hampir mustahil ada ke-ajaiban yang begitu kebetulan dan aneh sekali!"

   Seru Retno Susilo dengan kagum dan terheran-heran.

   
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Diajeng, lupakah engkau bahwa hal-hal yang tampaknya mustahil bagi manusia, sebenarnya sederhana dan biasa saja bagi kekuasaan Gusti Allah? Kalau Gusti Allah menghendaki, tidak ada hal yang tidak mungkin di alam semesta maupun di akhirat. Teruskan, Bagus ceritamu semakin menarik. Selanjutnya bagaimana?"

   "Kami sangat gembira. Karena merasa kelaparan, ketika menemukan Jamur Dwipa Suddhi, Maya Dewi segera menggigit dan memakannya sepotong..Dan ia memberikan setengahnya kepada saya dan saya juga memakannya. Khasiatnya luar biasa sekali. Kami berdua memperoleh tenaga sakti mujijat yang hampir tidak dapat kami kendalikan. Akan tetapi dengan sabar dan tekun, kami dapat melatih sehingga kami dapat menguasai tenaga dahsyat itu, Ternyata pundak Maya Dewi tidak terluka parah dan setelah makan jamur itu, kami merasa sehat dan kuat. Kemudian kami berdua berdiam dalam ruangan bawah tanah itu, berlatih diri menguasai tenaga mujijat itu dan melatih Aji Sari Bantala. Ternyata aji itu membutuhkan ketekunan dan baru setelah tiga tahun, kami dapat menyelesaikan latihan kami itu. Kami lalu keluar dari bawah tanah dan jalan memanjat dinding karang yang terjal, licin dan tinggi. Karena saat itu saya sudah berusia dua puluh satu tahun, maka saya lalu melakukan perjalanan menuju pulang ke Gunung Kawi. Maya Dewi memohon kepadaku agar diperbolehkan ikut. Ia mohon agar diperkenan....

   ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   == Halaman hilang ==

   ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   ....ruangan itu, membawa sebuah benda panjang terbungkus kain.

   "Ibu seperti telah saya ceritakan tadi, Maya Dewi berhasil merampas pedang Candra Dewi dan ia segera mengenal pedang itu yang dikatakannya bahwa pedang itu milik Ibu. Tadinya ia hendak menyerahkan pedang itu kepada Ibu, akan tetapi ia mengubah pikirannya karena ia tidak ingin dianggap mencari muka, maka ia menitipkan pedang itu kepadaku dengan pesan agar saya yang mengembalikannya kepada Ibu., Lihat, Ibu mengenal pedang ini?"

   Bagus Sajiwo membuka buntalan itu dan tampaklah sinar kehijauan ketika sebatang pedang dan ambilnya dari buntalan.

   "Pedang Nogo Wilis...!!"

   Empat orang itu berseru, hampir berbareng.

   "Maya Dewi tahu bahwa pedang ini adalah pusaka milik Ibu, maka ia merampasnya dan ingin mengembalikannya kepada Ibu, Terimalah, Ibu."

   Bagus Sajiwo menyodorkan pedang itu kepada Ibunya.

   Retno Susilo menoleh dan memandang kepada Sulastri, lalu berkata kepada puteranya.

   "Bagus, pusaka ini sudah lama bukan milikku lagi, sudah kuberikan kepada Mbakayumu Sulastri."

   Bagus Sajiwo menoleh kepada Sulastri dan isteri Lindu Aji ini menghela napas dan berkata.

   "Memang benar, aku pernah diserang oleh Candra Dewi. Kami bertanding dan ia terlalu tangguh bagiku sehingga pedangku Nogo Wilis ini dapat dirampasnya dan aku nyaris dibunuhnya. Akan tetapi pada saat itu muncullah Kakangmas Lindu Aji yang membelaku dan mengalahkannya sehingga Candra Dewi melarikan diri. Saking gembiranya aku dan Kakangmas Lindu Aji karena pertemuan yang tidak tersangka-sangka itu, aku sampai lupa akan pedangku yang terampas Candra Dewi."

   "Kalau begitu, terimalah kembali pusaka ini, Mbakayu. Sekiranya Maya Dewi berada disini, aku yakin akan mengembalikan pedang ini kepadamu juga."

   "Terima kasih, Dimas."

   Kata Sulastri sambil menerima pedangnya dengan girang sekali.

   Retno Susilo memegang tangan Bagus Sajiwo dan ketika pemuda ini memandang, dia melihat sepasang mata ibunya basah dan dua butir air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya.

   "Bagus..., maafkanlah Ibumu. Baru sekarang aku menyadari bahwa tadi aku telah bersikap tidak adil terhadap Maya Dewi..."

   "Ibu, harap jangan minta maaf kepada saya. Bagi saya, Ibu, tidak bersalah. Kalau Ibu menganggap bahwa sikap Ibu tadi tidak adil dan sudah menyadari dengan perasaan menyesal, itu sudah baik sekali. Bukankah begitu, Ayah?"

   Ki Tejomanik mengangguk dan menghela napas panjang.

   "Anakmu benar, Di-ajeng. Maya Dewi pernah menderita sakit berat rohaninya, dan memang membutuhkan pengobatan. Dan kita semua tahu. bahwa Jamu yang berkhasiat dan manjur itu rasanya pahit. Maya Dewi memang, membutuhkan Jamu yang pahit-pahit agar ia benar-benar sembuh dari semua penyakitnya."

   "Apa yang dikatakan Paman TejomaniK itu memang benar,"

   Kata Lindu Aji.

   "Segala peristiwa yang menimpa diri kita mempunyai hikmat dan justeru dalam peristiwa yang pahit atau yang tidak menyenangkan tersembunyi hikmat yang amat besar manfaatnya bagi kehidupan kita, baik itu diterima sebagai ujian, peringatan, atau hukuman atau sekadar cobaan."

   "Ya,"

   Kata Ki Tejomanik.

   "keyakinan seperti apa yang dikatakan Anakmas Lindu Aji itu membuat kita selalu men-syukuri apapun juga yang menimpa diri kita, tidak terlalu mengeluh sehingga runtuh kalau dilanda hal yang menyusahkan dan tidak terlalu mabok kegirangan sehingga kehilangan kewaspadaan ketika menghadapi hal yang menyenangkan."

   "Sulastri, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk sibuk di dapur. Biarlah Bagus Sajiwo bercakap-cakap dengan ayahnya dan suamimu. Kita persiapkan hidangan untuk pesta keluarga yang menggembirakan."

   Dua orang wanita itu lalu bangkit dan menuju ke dapur dengan wajah cerah dan gembira, sedangkan Bagus Sajiwo melanjutkan percakapannya dengan Lindu Aji dan Ki Tejomanik. Biarpun terdapat sedikit perasaan haru dan iba terhadap Maya Dewi, namun dia menenangkan hatinya dengan keyakinan bahwa Gusti Allah Maha Kasih akan selalu memberi berkat dan bimbinganNya kepada wanita itu.

   Atas permintaan Ki Tejomanik, Retno Susilo, dan Bagus Sajiwo, Lindu Aji dan Sulastri tinggal di rumah keluarga itu sampai tiga hari lamanya. Selama itu, mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing dan hubungan diantara mereka menjadi semakin akrab. Baru setelah lewat tiga hari, Lindu Aji dan Sulastri meninggalkan Gunung Kawi, kembali ke perkampungan Perkumpulan Mega Liman yang berada di puncak Gunung Liman.

   Maya Dewi berjalan perlahan sambil menundukkan mukanya. Ia membiarkan kedua kakinya melangkah tanpa tujuan tertentu. Biarpun tidak ada suara keluar dari mulutnya, namun kedua pundaknya terguncang, kedua tangan menutupi muka dan air mata menetes-netes keluar dari celah-celah jari tangannya. Darah di ujung bibirnya sudah berhenti keluar akan tetapi kedua pipinya masih biru membengkak. Rasa pedih dan panas di mukanya sama sekali tidak terasa olehnya. Akan tetapi kesedihan yang amat mendalam menelannya, membuat dirinya hanyut.

   Ia sama sekali tidak merasa sakit hati, tidak mendendam atau marah kepada Retno Susilo yang menghinanya, mengusir bahkan menamparnya. Ia tahu bahwa ia memang sudah sepantasnya menerima semua itu, bahkan itu masih terlalu ringan kalau dipertimbangkan dengan dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Tidak, andaikata ia disiksa, dilukai parah, atau bahkan dibunuh sekalipun, ia akan merasa bahwa hal itu sudah sepatutnya dilakukan Retno Susilo, atau Tejomanik, atau suami isteri Lindu Aji dan Sulastri. Dosanya terlampau banyak dan terlampau besar. Yang membuat ia bersedih adalah perpisahannya dengan Bagus Sajiwo. Perpisahan inilah yang merupakan hukuman paling berat baginya. Dipaksa berpisah dari Bagus Sajiwo membuat hidupnya tidak ada artinya lagi.

   "Bagus... ahhh,.. Bagusss...!"

   Begitulah rintihan hatinya berulang-ulang, mengikuti setiap langkahnya yang terhuyung, terkadang terbisikan oleh mulutnya akan tetapi lebih banyak hanya bergema di ruang hatinya.

   Tiba-tiba hari yang tadinya terang itu menjadi gelap oleh mendung yang terbawa angin. Lalu hujan turun dengan derasnya. Namun, Maya Dewi seolah tidak menyadari bahwa air hujan membuat seluruh tubuhnya, dari kepala sampai ke kaki, menjadi basah kuyup. Ia tetap melangkah, tertatih-tatih, tanpa disadarinya memasuki sebuah hutan. Perasaannya terhimpit, sejak tadi ia pertahankan, akan tetapi himpitan itu semakin berat karena tidak tersalurkan, karena ia menahan-nahan tangisya.

   "Bress!"

   Ia menahrak pohon dan roboh terguling. Pingsan di bawah pohon. Telentang dan air hujan bertitik-titik menimpa muka dan tubuhnya. Ia rebah dengan penuh damai. Kilatan cahaya halilintar terkadang menerangi mukanya yang pucat seperti mayat.

   Segala macam peristiwa menimpa kehidupan manusia. yang tertimpa kesusahan merasa bahwa dirinyalah yang paling sengsara di dunia ini, sama sekali lupa bahwa masih banyak orang yang mengalami penderitaan kesengsaraan yang lebih hebat daripada yang dialami. Dan yang sedang menikmati kesenangan kebanyakan lupa bahwa disekelilingnya, banyak manusia hidup dalam kesengsaraan.

   Sampai disini kisah ini berakhir. Akan tetapi saya tidak ingin membuat para pembaca merasa kecewa dan penasaran.

   Bagaimana selanjutnya dengan Maya Dewi? Dan Bagus Sajiwo? Dan dengan para pendekar dan satria yang lain?

   Bagaimana pula ceritanya tentang Tejakasmala, pemuda Bali yang tampan gagah dan sakti mandraguna namun tinggi hati itu? Juga si kembar Dhirasani dan Dhirasanu? Apa pula yang terjadi dengan Ratna Manohara dan Niken Darmini, dua orang gadis remaja yang sakti itu?

   Dan apa pula yang dilakukan kelompok di Blambangan yang hendak menentang Mataram? Semua ini akan terjawab dalam kisah Bagus Sajiwo episode ke dua: "Kemelut Blambangan".

   Semoga kisah ini mengandung manfaat bagi kita semua dan sampai jumpa dalam kisah "Kemelut Blambangan".

   TAMAT

   lavender, http://indozone.net/literatures/literature/970

   12 Januari 2011 jam 5:26pm

   


Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini