Ceritasilat Novel Online

Bagus Sajiwo 9


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Tentu saja ia menjadi girang bukan main dan cintanya terhadap Bagus Sajiwo semakin mendalam. Kini tahulah bekas datuk wanita yang pernah disebut sebagai iblis betina ini bahwa biarpun usianya baru tujuh belas tahun, Bagus Sajiwo telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, bahkan ia sendiri tidak dapat mengukurnya karena di dalam kesaktian pemuda remaja itu tersembunyi sesuatu yang aneh.

   Selain dari memperoleh kembali tenaga sakti yang cukup ampuh, kini Maya Dewi juga banyak mengerti tentang hakekat hidup dan terbukalah matanya yang selama ini dibutakan nafsu bahwa kebahagiaan hidup hanya dialaml seseorang apabila ia berserah diri kepada Gusti Allah, bukan kepada iblis sehingga setiap tindakannya pasti melalui jalan yang digariskan Gusti Allah, yaitu jalan kebajikan, bukan seperti yang digariskan iblis, yaitu jalan pengabdian kepada nafsu iblis, mengejar kesenangan duniawi dan badani dengan menghalalkan segala cara.

   Setelah merasa bahwa Maya Dewi telah mendapatkan apa yang ia cari, pada pagi hari itu Bagus Sajiwo berkata.

   "Nah, Dewi. Kulihat bahwa tenaga saktimu telah cukup kuat, mungkin tidak kalah dibandingkan dulu sebelum engkau kehilangan tenaga saktimu itu. Coba sekarang engkau bersilat dengan ilmu Singorodra itu, ingin aku melihat hasilnya."

   Maya Dewi tersenyum, wajahnya kini berbeda dengan beberapa bulan yang lalu. Wajah yang cantik jelita dan yang dulu tampak kadang menyeramkan itu kini tampak anggun, senyumnya wajar dan pandang matanya amat lembut ketika ia menatap wajah Bagus Sajiwo.

   "Baiklah Bagus. Aku sendiri selama tiga bulan ini berjuang mati-matian melawan keinginanku sendiri untuk melihat hasilnya karena engkau selalu melarang aku jika hendak berlatih."

   Bagus Sajiwo tersenyum.

   "Itu merupakan satu diantara ujian-ujian batinmu, Dewi. Aku melarangmu karena aku tahu engkau ingin sekali, maka hendak kulihat apakah engkau sudah mampu melawan dorongan nafsu kehendak hatimu sendiri. Dan ternyata engkau lulus!"

   Maya Dewi lalu melompat ke tempat yang terbuka. Gerakannya lincah seperti seekor burung srikatan, kemudian mulailah ia bersilat dengan kedua tangan membentuk cakar. Itulah ilmu silat Singorodra (Singa Ganas). Kini gerakannya berisi tenaga sakti sehingga setiap gerakan tangan menyerang atau kaki menendang, membawa angin bersiutan.

   "Ciaaaattt...!"

   Tangan kanannya mencengkeram ke arah batu besar dan batu itu hancur tepinya.

   "Haiiiittt...!"

   Kaki kirinya menendang sebatang pohon dan dengan suara keras pohon itu tumbang!

   Setelah Maya Dewi menghentikan permainan silatnya, wajah dan pernapasannya biasa saja seolah tidak pernah mengeluarkan tenaga besar.

   "Cukup bagus, Dewi. Hanya saja harus engkau ingat selalu kalau bertanding melawan manusia. Manusia bukan batu atau pohon yang boleh kau rusak begitu saja. Jangan terlalu mudah dipengaruhi dendam amarah sehingga engkau ringan tangan melukai atau membunuh orang. Sekarang, tiba saatnya bagi kita untuk berpisah, Dewi."

   Wanita itu tiba-tiba meloncat ke depan Bagus Sajiwo dan menatap wajah pemuda itu dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah pucat.

   "Ber... pisah...? Apa... apa maksudmu, Bagus?"

   Melihat wajah wanita itu pucat dan ketika bertanya itu, bibirnya gemetar, Bagus Sajiwo merasa iba sekali. Diapun diam-diam harus mengakui bahwa terdapat ikatan batin yang amat kuat antara dia dan wanita itu dan ikatan inilah yang terasa amat berat dan menimbulkan duka apabila terputus dengan perpisahan.

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   "Mari kita duduk dan bicara, Dewi. Tenangkanlah dirimu dan mari kita melihat kenyataan."

   Bagus Sajiwo duduk di atas batu dan Maya Dewi juga duduk di atas sebuah batu di depan pemuda itu.

   "Ingatlah, Dewi. Sejak kita saling berjumpa sampai hari ini, kurang lebih lima bulan telah lewat. Sekarang, engkau telah sembuh dari ancaman maut karena luka disebelah dalam badanmu, engkau telah mendapatkan kembali tenaga saktimu. Dan aku sendiri masih mempunyai tugas yang harus kulaksanakan. Oleh karena itu, kukira sudah tiba waktunya bagi kita untuk saling berpisah dan mengambil jalan masing-masing. Aku tidak khawatir karena engkau sekarang sudah tahu jalan hidup apa yang harus kau tempuh, Dewi, yaitu jalan yang berlandaskan kebenaran dan kebajikan."

   "Tidak, Bagus, tidak! Jangan engkau tinggalkan aku seorang diri di dunia ini. Aku... aku tidak sanggup lagi hidup menyendiri seperti dulu. Aku... aku tidak berani, aku takut, Bagus...!"

   Bagus Sajiwo tersenyum.

   "Apa? Engkau takut? Ah, sungguh aneh sekali mendengar ucapanmu ini, Dewi. Dulu engkau tidak takut menghadapi apapun dan siapa pun juga. Sekarang engkau takut? Siapa yang akan mengganggumu? Engkau seorang wanita sakti mandraguna. Barangkali engkau takut kepada Candra Dewi, kakak tirimu itu?"

   Maya Dewi menggeleng kepalanya dan menghela napas.

   "Bukan, Bagus. Aku tidak takut kepada Mbakayu Candra Dewi atau kepada siapapun juga. Aku takut kepada... diriku sendiri. Dengan adanya engkau di dekatku, aku merasa tenang, tenteram, aman dan aku sanggup mengubah sifat-sifatku yang dahulu. Dengan adanya engkau di sisiku aku berani dan kuat menekan gejolak nafsu-nafsuku sendiri. Akan tetapi, kalau engkau pergi meninggalkan aku, ahh, aku takut, Bagus. Aku takut akan terseret oleh bujukan iblis dan kembali hidup seperti masa lalu yang hanya akan membawa aku ke dalam dosa dan kesengsaraan hidup. Karena itu, jangan tinggalkan aku, Bagus. Perkenankan aku ikut denganmu, kemana pun engkau pergi. Aku ingin mati atau hidup selalu di dekatmu."

   "Hemm, Dewi. Bukankah sudah berulang kali aku beritahu padamu bahwa dengan membiarkan hatimu terbuka sehingga. kekuasaan Gusti Allah jumeneng (hadir) di dalam batinmu, engkau akan selalu mendapat bimbinganNya dan tidak perlu takut terhadap apapun yang akan terjadi dan menimpa dirimu!"

   "Aku masih ingat dan tahu, Bagus. Akan tetapi aku khawatir keyakinanku akan hal itu menjadi goyah kalau engkau tidak berada disampingku. Aku takut, Bagus, sungguh aku takut sekali akan kelemahanku sendiri. Aku mohon padamu, Biarkan aku mengikutimu kemana pun engkau pergi!"

   Bagus Sajiwo tertegun. Dia sendiri masih belum tahu kemana dia akan pergi. Sebelum usianya dua puluh tahun, dia tidak boleh menjumpai orang tuanya, tidak boleh kembali ke lereng Gunung Kawi dimana orang tuanya tinggal. Demikianlah pesan Ki Ageng Mahendra kepadanya tanpa memberitahu mengapa demikian dan dia sama sekali tidak berani melanggar pesan gurunya itu. Dia hanya akan merantau kemana saja kakinya membawanya dan di sepanjang perjalanan harus selalu membela orang-orang yang tertindas dan menentang orang-orang yang melakukan kejahatan.

   Kalau Maya Dewi hendak menemaninya dalam perantauannya, apa salahnya? Wanita ini tidak mengganggu, bahkan dapat membantunya menentang orang-orang jahat. Pula, agaknya watak Maya Dewi sudah benar-benar berubah. Ia tidak lagi mudah marah seperti dulu. Pula, mengingat akan masa lalunya yang mengerikan dan tekadnya untuk mengubah jalan hidupnya, Maya Dewi memang perlu mendapat teman yang dapat menasihati dan mengingatkan apabila ia akan tersesat lagi.

   Setelah menghela napas seolah menghadapi seorang anak kecil yang rewel, yang membuatnya tak berdaya menolak, dia berkata.

   "Baiklah kalau itu yang kau kehendaki. Kita melakukan perantauan bersama."

   Tiba-tiba wajah yang tadinya pucat dan membayangkan kesedihan itu berseri-seri, mulut yang tadinya cemberut hampir menangis itu kini tersenyum lebar dan Maya Dewi lalu melompat ke depan merangkul leher Bagus Sajiwo!

   "Terima kasih, Bagus! Aku tahu, engkau pasti tidak tega kepadaku. Ah, engkau adalah orang yang paling mulia di dunia ini, Bagus, dan engkau adalah penolongku, sahabatku, pujaan hatiku, dan suamiku...!"

   "Husshh, jangan begitu, Maya Dewi!"

   Kata Bagus Sajiwo dengan lembut dia melepaskan rangkulan itu.

   "Kita bukan suami isteri, cukup menjadi sahabat baik saja."

   Maya Dewi tersenyum dan duduk kembali ke atas batu.

   "Baiklah, engkau sahabatku, Bagus. Akan tetapi di dalam hatiku, engkau tetap kuanggap sebagai suamiku. Aku selamanya tidak akan sudi nenikah dengan pria lain kecuali engkau. Nah, kita kemana sekarang?"

   "Dewi setelah kita sepakat untuk melakukan perantauan bersama, maka ke arah mana kita pergi kuserahkan kepadamu. Aku sendiri adalah seorang yang masih buta akan keadaan di dunia ramai, seolah seekor burung yang baru saja meninggalkan sarang, baru belajar terbang. Sebaliknya engkau sudah biasa melanglang buana, mengenal daerah-daerah, bahkan mengenal para tokoh sakti. Nah, terserah kepadamu kemana kita akan pergi."

   "Ah, baik sekali kalau begitu. Akan tetapi, lebih dulu peti hartaku harus disembunyikan disini. Tidak mungkin kita melakukan perjalanan merantau membawa-bawa harta sebanyak itu. Cukup beberapa potong saja, dan pakaian pengganti"

   "Kalau begitu, mari kita mencari tempat yang aman untuk menyembunyikan peti hartamu."

   Keduanya lalu mencari-cari tempat yang cocok. Akhirnya mereka menemukan sebuah guha kecil di puncak itu. Guha itu hanya merupakan sebuah lubang di dinding batu gunung, tidak iebih dari satu meter persegi luasnya.

   Mereka memasukkan peti harta itu di dalam lubang, menutupinya dengan rumput dan semak, kemudian Bagus Sajiwo menutup lubang itu dengan sebongkah batu besar. Tenaga lima orang laki-laki biasa saja tidak akan mampu menggulirkan batu itu dari depan lubang dan andaikata batu itu dapat disingkirkan, siapa yang akan mengira bahwa ada peti harta tersembunyi di balik rumput dan semak-semak itu?

   Setelah pekerjaan itu selesai, kedua orang ini turun dari puncak Wilis, menggendong buntalan pakaian dan Maya Dewi membawa beberapa potong perhiasan untuk bekal perjalanan mereka.

   Mereka berjalan santai menuruni puncak. Maya Dewi tidak ingin melihat pondoknya yang sudah dibakar habis oleh Candra Dewi seperti yang diketahuinya dari Bagus Sajiwo. Mereka langsung menuruni Gunung Wilis dengan santai karena memang perjalanan mereka itu tanpa tujuan, maka untuk apa tergesa-gesa.

   Ketika mereka jalan berdampingan menuruni puncak, Maya Dewi menggunakan kesempatan itu untuk mengajak Bagus Sajiwo bercakap-cakap.

   "Bagus, kita sudah bergaul begini akrab, akan tetapi aku sama sekali tidak mengetahui asal usulmu. Maukah engkau menceritakan riwayatmu kepadaku? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau yang masih begini muda merantau seorang diri tanpa tujuan?"

   Bagus Sajiwo sudah menduga bahwa akhirnya Maya Dewi tentu menanyakan hal ini dan dia pun tidak mungkin dapat berbohong. Dia tidak biasa berdusta, pula untuk apa merahasiakan keadaan orang tuanya? Mereka adalah pendekar-pendekar yang terkenal dan tidak ada alasan apapun untuk menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah anak tunggal mereka.

   "Ayah bundaku tinggal di lereng Gunung Kawi. Ayah bernama Ki Tejomanik dan ibuku bernama Retno Susilo..."

   "Ahh...?"

   Maya Dewi terbelalak. Ia terkejut sekali mendengar disebutnya nama-nama itu sebagai ayah ibu Bagus Sajiwo.

   "Maksudmu Sutejo yang juga terkenal dengan julukan Cambuk Bajrakirana itu?"

   "Benar. ketika muda ayahku bernama Sutejo."

   "Hebat...! Aku mengenal nama besar ayahmu dan ibumu! Juga nama ibumu pernah menggemparkan empat penjuru! Lalu, kenapa engkau kini merantau seorang diri?"

   Maya Dewi kini semakin kagum kepada pemuda itu yang ternyata keturunan suami isteri yang terkenal sakti mandraguna.

   "Aku menjadi murid mendiang Eyang Ki Ageng Mahendra. Setelah guruku meninggal dunia, aku turun gunung dan merantau seorang diri."

   Jawaban Bagus Sajiwo singkat saja karena sebetulnya dia tidak ingin bercerita banyak tentang dirinya sendiri.

   "Bagus, setelah turun gunung, kenapa engkau tidak langsung pulang ke rumah orang tuamu di Gunung Kawi?"

   Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya.

   "Saatnya belum tiba, Dewi. Sebelum usiaku mencapai dua puluh tahun, aku tidak boleh menemui orang tuaku."

   "Eh, kenapa?"

   "Mendiang guruku yang memesan begitu, Beliau adalah seorang yang arif bijaksana dan aku harus menaati pesannya itu. Nah, sekarang ganti engkau yang menceritakan riwayatmu, Dewi."

   "Hemm, masa laluku adalah buruk sekali, penuh dengan kebusukan. Kalau tidak kepadamu, aku malu dan tidak akan mau menceritakannya. Akan tetapi engkau berhak mengetahui segala kebusukan itu. Aku tidak ingin menyimpan rahasia keburukanku, agar engkau tahu betapa sesat dan jahatnya aku."

   "Dewi, tidak ada seorang pun manusia yang sempurna tanpa cacat di dunia ini. Semua orang berdosa karena tubuh kita ini menjadi sarang dosa. Akan tetapi bagi siapa yang mengakui dosanya dan mau bertaubat, Gusti Allah pasti akan mengampuninya."

   "Begitukah, Bagus? Ah, alangkah bahagia rasa hatiku kalau memang benar begitu. Akan tetapi dosa-dosaku terlalu besar dan terlalu banyak. Ibuku telah meninggal ketika aku masih kecil dan aku hidup bersama ayahku, seorang datuk sesat terkenal bernama Resi Kolo-yitmo yang telah meninggal dalam perang antara Mataram dan Kumpeni Belanda, dan juga Mbakayu Candra Dewi tinggal bersama kami. Ibu kandungku sudah janda dan mempunyai anak Mbakayu Candra Dewi ketika menikah dengan ayah. Kami berdua dididik oleh Ayah dalam olah kanuragan. Mbakayu Candra Dewi kemudian melarikan diri karena ayahku hendak menjadikan anak tirinya itu sebagai isteri. Aku lalu ikut ayah merantau. Kemudian aku selalu membantu pihak-pihak yang bermusuhan dengan Mataram. Ayahku mendendam kepada Mataram, maka sejak kecil aku sudah dijejali rasa benci kepada Mataram. Demikianlah, aku membantu Madura dan Surabaya ketika mereka berperang melawan Mataram dan yang paling akhir aku bahkan menjadi pimpinan telik sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda dengan imbalan harta."

   "Hemm, menurut mendiang eyang guru, bangsa Belanda memang licik dan pandai membujuk orang-orang kita yang pandai untuk membantu mereka."

   Kata Bagus Sajiwo.

   "Ya, aku baru menyadari setelah bergaul denganmu bahwa tindakanku itu sungguh amat kotor dan jahat. Aku membantu bangsa asing yang ingin menguasai tanah air dan bangsaku, aku menjadi pengkhianat yang hendak menjual tanah air dan bangsaku."

   "Semua itu sudah berlalu, Dewi. Yang sudah biarlah lewat dan mulai sekarang, asalkan engkau bertaubat dan tidak melakukan kekeliruan itu lagi, bahkan menebusnya dengan amal perbuatan yang sesuai dengan kehendak Custi Allah, yaitu membela kebenaran dan keadilan, Gusti Allah tentu akan mengampuni semua dosamu karena Dia itu selain Maha Kuasa dan Maha Murah, juga Maha Pengampun dan Maha Segalanya!"

   "Oohh... kalau saja benar kata-katamu itu, Bagus. Akan tetapi bukan itu saja kesesatan-kesesatan yang telah kulaKukan. Aku bukan seorang perempuan bersih, aku hina dan kotor. Selama belasan tahun ini aku menjadi hamba dari nafsu-nafsuku sendiri. Aku banyak membunuh orang. Aku mempermainkan banyak pria dan menjadi permainan mereka. Ah, sesungguhnya tidak pantas aku berdekatan dengan seorang pemuda sebersih engkau, Bagus. Akan tetapi aku... aku hanya mempunyai engkau sebagai gantungan harapanku. Hanya kalau berada disisimu aku sanggup untuk menempuh hidup baru, mengubah semua jalan hidupku yang sudah lalu. Tapi aku kotor, Bagus... aku kotor..."

   Bagus Sajiwo merasa terharu.

   "Itulah yang terpenting dalam hidup ini, Dewi. Melihat dengan jelas kekurangan dan kekotoran diri sendiri. Orang yang merasa dirinya kotor pasti bersemangat untuk membersihkan diri dari kekotoran itu. Orang yang merasa dirinya bodoh tentu mudah mendapat tambahan pengetahuan. Sudahlah, cukup kita bicara tentang masa lalu yang hanya mendatangkan rasa duka, dendam dan penasaran belaka. Mari kita kembali ke saat ini. Nah, karena engkau yang memimpin perjalanan kita ini, kemana sekarang kita akan pergi, Dewi?"

   Wajah yang tadi diliputi mendung itu kini menjadi cerah kembali dan Maya Dewi berkata dengan penuh semangat.

   "Aku pernah mendengar ketika aku masih tinggal di puncak Bukit Keluwung bahwa daerah sebelah selatan Pegunungan Kidul, disekitar muara Kali Lorog, terdapat pusaka-pusaka terpendam yang saat ini dicari semua tokoh sakti dan dijadikan rebutan. Nah, bagaimana kalau kita kesana untuk melihat-lihat? Siapa tahu kita berjodoh dengan pusaka-pusaka itu dan dapat menemukannya?"

   Bagus Sajiwo menjadi gembira mendengar ini. Dia yang belum banyak pengalaman tentu saja ingin sekali melihat apa yang terjadi di tempat yang dikabarkan menyimpan pusaka. Jiwa petualang dalam dirinya yang masih muda itu bangkit.

   "Ah, senang sekali aku untuk pergi kesana, Dewi! Akan tetapi, tahukah engkau pusaka-pusaka macam apa saja yang diperebutkan orang itu?"

   "Mula-mula sebuah kitab kuno, peninggalan jaman Mojopahit ditemukan orang. Di dalam kitab kuno itu disebutkan bahwa pada waktu itu, sampai sekarang sudah tiga ratus tahun lebih, terdapat semacam obat yang berkasiat ajaib, berupa jamur dan disebut Jamur Dwipa Suddi dan kabarnya jamur ini mempunyai dua sifat yang bertentangan, yaitu bagi mereka yang berjodoh, kalau makan jamur ini akan memperoleh kekuatan yang dahsyat. Sebaliknya bagi yang tidak berjodoh, makan jamur ini justru akan menghilangkan semua tenaga yang telah dikuasainya. Jamur itu kabarnya sudah dikeringkan sinar matahari dan biarpun disimpan berabad-abad lamanya tidak akan menjadi rusak."

   "Hebat sekali! Dari mana asalnya jamur ajaib Seperti itu, Dewi, aku menjadi ingin sekali mengetahui."

   "Menurut cerita dalam kitab kuno itu, Jamur Dwipa Suddi berasal dari jamur yang tumbuh di tubuh naga laut."

   "Wah, luar biasa sekali!"

   "Ceritanya begini, Bagus. Di jaman dulu, berabad-abad yang lalu, daerah Muara Kali Lorog Itu termasuk wilayah Kerajaan Wengker yang menjadi musuh bebuyutan dari Kerajaan Mataram Lama. Pada suatu hari, seorang pertapa yang suka mengumpulkan rempa-rempa, akar dan daun-daun yang berkhasiat sebagai obat, berjalan-jalan seorang diri di pantai Laut Kidul. Dia melihat sebatang balok atau batang pohon yang besar dan panjang di pantai dan ketika dekat, dia melihat beberapa buah jamur tumbuh di batang pohon yang melintang di atas pasir itu. Setelah memeriksa dan menciumnya, pertapa itu maklum bahwa jamur langka itu tentu mengandung khasiat yang ampuh, maka dia lalu mencabuti jamur itu. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba batang pohon atau balok itu bergerak! Dan ternyata "balok"

   Itu adalah seekor naga atau ular yang besar sekali. Naga itu segera kembali ke laut dan pertapa yang kaget setengah mati itu baru tahu bahwa yang dicabutnya tadi adalah jamur-jamur yang cumbuh di tubuh naga."

   "Hemm, hebat dan menarik sekali!"

   Kata Bagus Sajiwo.

   "Kemudian muncul puluhan orang perajurit Wengker dan para perwiranya hendak merampas jamur itu. Barulah sang pertapa maklum bahwa jamur yang ditemukannya itu adalah Jamur Dwipa Suddi. Dia mempertahankannya dan mengamuk. Akhirnya, semua pengeroyok yang puluhan orang jumlahnya itu tewas, akan tetapi sang pertapa juga menderita luka-luka parah. Dan sebelum' dia mati, dia menyembunyikan jamur ajaib itu. Nah, sejak itu, tak seorangpun mengetahui dimana adanya jamur itu dan setelah kitab yang mengandung cerita itu ditemukan orang baru-baru ini, ketika aku meninggalkan Batavia, barulah orang-orang sakti ramai memperebutkan dan mencarinya."

   "Menarik sekali, Dewi. Mari kita segera pergi kesana!"

   Bagus Sajiwo, bagaimana pun juga, adalah seorang pemuda remaja yang tentu saja tertarik akan hal-hal yang luar biasa.

   Mereka berdua lalu mempercepat langkah menuruni gunung dan ternyata Maya Dewi kini sudah dapat berlari seperti terbang. Wanita itu sudah pulih, memiliki kecepatan dan tenaga yang kuat, hanya ia tidak lagi dapat menggunakan dua aji pukulan beracun itu.

   Kegagalan bala tentara Mataram menyerang Kumpeni Belanda di Batavia yang terjadi sampai dua kali (1628 dan 1629) itu sedikit banyak menyuramkan kecemerlangan dan kebesaran Mataram. Terutama sekali para adipati di daerah Pasundan merasa kecewa dan penasaran sekali. Yang menderita paling parah adalah Kadipaten Sumedang.

   Adipati Sumedang, pada waktu itu adalah Adipati Ukur yang menggantikan Pangeran Mas Cede yang dianggap tidak setia kepada Mataram dan menjalin hubungan dengan Kerajaan Banten, telah membantu Mataram ketika menyerang Batavia. Banyak sekali perajurit Sumedang yang tewas dalam perang. Juga Sumedang telah menguras persediaan berasnya untuk dijadikan ransum bala tentara Mataram. Namun hasilnya mengecewakan. Mataram gagal dalam penyerangan dua kali berturut-turut itu.

   Para tokoh pimpinan di tanah Pasundan menjadi kecewa dan kepercayaan mereka terhadap Sultan Agung di Mataram menipis yang mengakibatkan kesetiaan mereka terguncang.

   Mereka, terutama Adipati Ukur sebagai penguasa tertinggi di daerah itu, tidak mengakui lagi kekuasaan Mataram atas daerah Pasundan. Bahkan Pasundan yang pada waktu itu kekuasaannya berpusat di Sumedang lebih suka menjalin hubungan dengan Banten, juga dengan pihak Kumpeni Belanda.

   Sikap penguasa Sumedang ini segera terdengar oleh Sultan Agung yang menjadi marah bukan main. Persiapan perang baru untuk menyerbu daerah Pasundan yang memberontak itupun dilakukan.

   Di Sumedang sendiri, Adipati Ukur Juga maklum akan bahaya penyerangan Mataram itu. Maka, diapun sudah bersiap-siap, mengumpulkan semua kekuatan untuk mengadakan perlawanan.

   Adipati Ukur sudah minta bantuan Kumpeni Belanda, akan tetapi Kumpeni Belanda masih merasa ngeri untuk membantu Sumedang secara terang-terangan karena mereka ingat akan penyerangan-penyerangan Mataram yang mengakibatkan terjatuhnya banyak korban itu. Mereka tidak ingin membangkitkan kemarahan Mataram dan merasa lebih aman kalau mereka tidak mencampuri pertentangan antara Sumedang dan Mataram. Akan tetapi diam-diam Kumpeni merasa gembira sekali dan berusaha melalui para antek mereka untuk mengobarkan kemarahan Sumedang terhadap Mataram.

   Memang keadaan ini amat menguntungkan Kumpeni dan merupakan satu diantara daya upaya untuk dapat menguasai Nusantara. Dengan cara mengadu domba, membiarkan para penguasa itu saling hantam sendiri sehingga mereka menjadi lemah. Pihak Kumpeni berpura-pura memihak Sumedang dan hanya membantu dengan beberapa pucuk senapan dan meriam saja, namun tidak langsung mengirim pasukan untuk membantu.

   Dalam waktu kedua pihak, Sumedang dan Mataram, mengadakan persiapan untuk berperang ini, suasananya menjadi tegang. Rakyat menanti dengan hati was-was karena dari pengalaman yang sudah-sudah, kalau timbul perang, maka yang paling menderita adalah rakyat. Tidak aman dan tidak leluasa menggarap sawah ladang, harta benda mereka terancam musna, bahkan nyawa mereka pun terancam mati konyol. Bahkan sudah banyak orang yang mengungsikan keluarga mereka, isteri dan anak-anak mereka, jauh ke daerah Banten dan ada pula yang mengungsi ke daerah Batavia.

   Akan tetapi untuk membesarkan hati dan semangat para senopati dan perwiranya, Adipati Sumedang malah mengadakan pesta. Pasukan yang cukup kuat telah dipersiapkan berjaga-jaga di perbatasan dan untuk mengurangi ketegangan, Adipati Ukur mengadakan pesta, mengundang waranggana yang paling terkenal di kota itu untuk menyenangkan hati para senopatinya. Juga dia mendatangkan seorang dalang wayang golek yang terkenal.

   Sejak sore, para tamu yang terdiri dari bangsawan dan pamong praja tingkat tinggi, terutama para perwira dan senopati sudah hadir memenuhi ruangan pesta.

   Di bagian luar, yaitu di pelataran, penuh pula dengan penonton yang tidak diundang. Hampir semua penduduk Sumedang dan sekitarnya datang menonton, bahkan dari daerah lain yang jauh juga memerlukan datang nonton. Siapa yang tidak tertarik nonton kalau waranggananya adalah Neneng Salmah yang cantik jelita bersuara emas itu, sedangkan dalangnya adalah Ki Subali, dalang kondang dari Dermayu yang amat trampil menggerakkan boneka-boneka sehingga tampak hidup?

   Ki Subali adalah seorang seniman, sasterawan, dan juga dalang yang terkenal di seluruh daerah Galuh, bahkan namanya kondang sampai ke Sumedang.

   Laki-laki berusia lima puluh tiga tahun ini tinggal di Dermayu. Seperti kita ketahui, Ki Subali ini adalah ayah kandung Sulastri yang kini menjadi pemimpih perkumpulan Melati Puspa di lereng Gunung Liman dan memakai nama Ni Melati Puspa.

   Adapun Neneng Salmah memang berasal dari Sumedang. Gadis berusia dua puluh tahun yang cantik jelita dengan kulit putih kuning mata dan mulutnya menggairahkan dan tindak tanduknya lemah lembut, suaranya merdu sekali ini dahulu pernah melarikan diri dari Sumedang bersama ayahnya yang bernama Ki Salmun. Mereka berdua terancam bahaya bahkan Neneng Salmah sudah disekap dan nyaris diperkosa oleh Raden Jaka Bintara.

   Akan tetapi Lindu Aji menyelamatkannya dan pemuda perkasa itu yang mengusulkan agar Ki Salmun dan Neneng Salmah mondok di rumah Ki Subali. Di rumah sasterawan ini Neneng Salmah sudah dianggap keluarga sendiri, bahkan dengan Sulastri ia menjalin persahabatan yang akrab sehingga mereka seperti kakak beradik sendiri saja

   Neneng Salmah jatuh cinta kepada Lindu Aji yang menolongnya. Ia mencinta pemuda itu mati-matian dan terus terang ia mengatakan tentang perasaan hatinya itu kepada Sulastri. Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa sebenarnya telah lebih dulu Sulastri mencinta Lindu Aji, bahkan pemuda itu juga mencintanya. Ia mengira bahwa Sulastri mencinta Jatmika yang merupakan saudara seperguruan Sulastri sendiri.

   Kemudian, setelah Sulastri, Lindu Aji, dan Jatmika pulang dari Batavia dimana mereka bertiga membantu Mataram melawan Kumpeni Belanda, mereka semua menghadapi kenyataan yang terasa amat pahit itu. Lindu Aji menolak cinta Neneng Salmah karena dia telah mencinta gadis lain dan Lindu Aji menerima Neneng Salmah menjadi adik angkatnya. Kenyataan lain yang lebih pahit lagi dan menghancurkan hati Neneng Salmah adalah ketika mendengar bahwa Sulastri juga menolak pinangan Jatmika! Baru ia tahu bahwa sebetulnya Sulastri saling mencinta dengan Lindu Aji. Akan tetapi Lindu Aji mengalah dan mundur karena mengira bahwa Sulastri jatuh cinta kepada Jatmika dan Sulastri juga mengalah mendengar betapa Neneng Salmah amat mencinta Lindu Aji! Keduanya mundur dan mengalah, membiarkan orang yang dicinta itu berjodoh dengan orang lain.

   Neneng Salmah merasa berdosa besar. Berdosa terhadap Sulastri yang demikian baik telah menampung ia dan ayahnya, menganggap ia seperti saudara sendiri dan ia merasa berdosa terhadap Lindu Aji yang telah menyelamatkan nyawa dan kehormatannya.

   Ia merasa berdosa karena ialah yang menggagalkan perjodohan dua orang yang saling mencinta itu. Dalam keadaan penuh duka sehingga tubuhnya menjadi kurus kering, ia menerima pukulan batin lagi ketika Sulastri meninggalkan rumah dan tidak diketahui kemana perginya! Ia merasa semakin nelangsa dan akhirnya ia mengajak Ki Salmun, ayahnya, untuk kembali ke Pasundan.

   Ki Salmun berani kembali ke Sumedang setelah mendengar bahwa Adipati Pangeran Mas Cede yang dulu mendukung Raden Jaka Bintara untuk menggagahi puterinya, kini sudah diganti oleh Adipati Ukur. Maka, ayah dan anak ini kembali tinggal di Sumedang.

   Neneng Salmah mulai terhibur setelah bertemu dengan kawan-kawan lama, apalagi setelah Ki Salmun menghimpun rombongan penabuh gamelan seperti dulu dan Neneng Salmah menjadi waranggana seperti dulu. Sebentar saja namanya yang memang sudah kondang itu kembali menjadi terkenal dan tanggapan datang hampir setiap hari.

   Kesehatannya pulih kembali dan tubuhnya kembali menjadi denok dan indah. Seperti juga dulu, pinangan datang bertubi-tubi, akan tetapi semua itu ditolak dengan halus. Tidak ada yang berani memaksanya karena semua orang tahu belaka bahwa penguasa yang baru, Adipati Ukur, melindungi Neneng Salmah yang dianggap sebagai waranggana kebanggaan Kadipaten Sumedang.

   Ketika pesta dimulai dan pertunjukan wayang dipertontonkan, suasana dalam ruangan pesta itu menjadi meriah sekali. Orang-orang menikmati permainan dalang Ki Subali yang memainkan golek-golek itu dengan mahirnya, juga mereka menikmati alunan suara Neneng Salmah yang merdu diiringi gamelan. Semua mata memandang kagum kepada Neneng Salmah. Gadis itu memang elok. Pakaiannya berwarna cerah, baju merah muda dan kain berkembang, rambutnya yang hitam panjang itu digelung dan dihias dengan bunga melati. Kerling matanya dan senyum bibirnya sungguh membuat banyak pria tergila-gila.

   Wajah Neneng Salmah memang cerah sekali. Ia sedang gembira karena telah bertemu kembali dengan Ki Subali yang dianggap sebagai orang tua sendiri. Ki Salmun, yang memimpin para penabuh gamelan, juga nampak gembira seperti puterinya. Mereka bertiga, Ki Subali, Neneng Salmah dan Ki Salmun telah mengadakan pertemuan dan mereka bercakap-cakap melepas nndu sebelum pertunjukan dalam pesta itu dimulai.

   Ki Subali senang melihat keadaan Neneng Salmah baik-baik saja bahkan kini namanya telah tenar kembali sebagai seorang waranggana paling disukai di Sumedang dan sekitarnya.

   Sebaliknya, Neneng Salmah dan ayahnya juga girang melihat Ki Subali dalam keadaan sehat walaupun Neneng Salmah agak prihatin juga mendengar bahwa Sulastri belum juga kembali ke Dermayu.

   Biarpun permainan wayang golek yang digerakkan tangan-tangan Ki Subali yang trampil itu menarik sekali, namun hanya para penonton yang sudah lanjut usianya saja yang mengikuti gerak gerik sang dalang dan golek-goleknya. Para penonton laki-laki yang muda hampir semua lebih tertarik untuk menonton Neneng Salmah dan mengikuti setiap gerakan bibir yang manis menggemaskan itu ketika bertembang.

   Diantara para penonton itu terdapat seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Pakaiannya sederhana namun rapi dan bersih. wajahnya tampan gagah dengan alisnya yang tebal hitam, matanya yang mencorong tajam dan tahi lalat di dagunya menambah kegagahannya. Tubuhnya sedang saja namun tegap, di pinggangnya terselip sebatang keris yang gagang dan warangkanya terbuat dari kayu cendana.

   Pemuda itu adalah Jatmika, seorang pemuda yatim piatu yang telah mewarisi ilmu-ilmu dan aji kesaktian dari eyangnya (kakeknya), yaitu mendiang Ki Tejo Langit. Pemuda perkasa ini juga membantu pasukan Mataram ketika menyerbu Batavia bersama para pendekar lainnya. Dialah yang dahulu menolong Sulastri ketika Sulastri terjatuh ke dalam jurang dan kehilangan ingatannya.

   Jatmika lalu memberinya nama baru, yaitu Listyani atau panggilannya Eulis dan dia pun jatuh cinta kepada Sulastri. Dia merasa yakin pula bahwa gadis yang diberinya nama Eulis itu juga membalas cintanya. Akan tetapi setelah Sulastri sembuh dan mendapatkan kembali ingatannya, gadis itu teringat akan pria yang dikasihinya, yang bukan lain adalah Lindu Aji. Setelah perang selesai Jatmika bersama Lindu Aji dan Sulastri pergi ke Dermayu dan Jatmika menggunakan kesempatan itu untuk meminang Sulastri.

   Akan tetapi, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya menimpa dirinya. Pinangannya itu ditolak oleh Sulastri! Gadis itu ternyata telah mencinta pria lain dan mudah saja dia menduga bahwa yang dicintanya itu tentulah Lindu Aji!

   Dunia bagaikan kiamat bagi Jatmika. Hatinya hancur dan dia meninggalkan Dermayu tanpa pamit kepada siapa pun juga dan ia merantau bagaikan seorang yang telah kehilangan semangat.

   
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia pergi ke pesisir di sebelah utara Dermayu dan menumpahkan segala kedukaannya di depan makam kakeknya, Ki Ageng Pasisiran atau Tejo Langit, dan makam ayahnya, Ki Sudrajat. Selama tiga bulan dia berdiam di bekas pondok kakeknya, setiap hari duduk bersila di depan kedua makam, jarang makan jarang tidur sehingga tubuhnya menjadi kurus kering. Pada suatu malam dia bermimpi, bertemu dengan ayahnya dan dalam mimpinya itu, Ki Sudrajat memarahinya. Masih terngiang dalam telinganya apa yang dikatakan ayahnya dalam mimpi itu.

   "Jatmika, bukan watak seorang satria untuk tenggelam ke dalam duka yang berlarut-larut karena gagal mengawini seorang wanita! Kelahiran, perkawinan, dan kematian berada di tangan Gusti Allah, tidak boleh kau paksakan. Hayo bangkit, masih banyak tugasmu sebagai seorang ksatria. Jangan membikin malu orang tua dan nenek moyangmu. Kalau sudah tiba saatnya, engkau akan bertemu dengan jodohmu kelak!"

   Mimpi itu menyadarkan Jatmika dan dia merasa malu kepada dirinya sendiri yang amat lemah itu. Maka bangkitlah semangatnya dan dia meninggalkan pesisir Dermayu lalu mulai dengan perantauannya.

   Dalam perjalanannya, dia melihat di daerah Pasundan, para pepguasa setempat mulai merasa tidak puas dan mulai memperlihatkan sikap tidak mau tunduk terhadap Mataram yang mereka nilai telah gagal menentang Kumpeni Belanda sehingga mereka yang tadinya membantu Mataram juga menderita kerugian bukan sedikit. Dan Jatmika melihat pula betapa semakin banyak telik sandi (mata-mata) Belanda disebar untuk membujuk para penguasa daerah untuk berbaik dengan Belanda dan menentang kekuasaan Mataram. Banyak yang terbujuk karena Belanda pandai mengambil hati mereka dengan memberi hadiah-hadiah dan janji-janji muluk.

   Jatmika yang setia terhadap ajaran dan pesan ayah dan eyangnya, selalu condong untuk membela Mataram yang dia tahu dipimpin oleh Suitan Agung yang bijaksana dan yang selalu ingin mempersatukan seluruh kekuatan di nusantara untuk menghadapi Kumpeni Belanda yang hendak memperlebar sayapnya untuk menguasai nusantara.

   Setelah berkelana selama hampir dua tahun, selalu turun tangan membela kebenaran dan keadilan, menentang pelaku kejahatan, bersikap sebagai seorang ksatria sejati yang dikehendaki ayahnya, akhirnya Jatmika pergi ke Sumedang.

   Jatmika sudah mendengar bahwa adipati Sumedang telah diganti. Dahulu adipatinya adalah Pangeran Mas Cede, sekarang digantikan oleh Adipati Ukur yang oleh Sultan Agung diangkat menjadi penguasa yang mewakili kekuasaan Mataram di daerah Parahyangan.

   Akan tetapi dia mendengar desas desus bahwa adipati yang baru inipun mulai memperlihatkan sikap menentang Mataram, bahkan membuat persiapan untuk mempertahankan diri apabila diserang pasukan Mataram.

   Ketika memasuki Sumedang, Jatmika terkenang kembali akan pengalamannya bersama Sulastri ketika mereka berdua ditawan oleh Aki Mahesa Sura dan para muridnya. Ketika itu dia dan Sulastri bertemu dengan Lindu Aji dan bersama-sama mereka menentang Tumenggung Jaluwisa yang memberontak terhadap adipati Sumedang yang ketika itu adalah Pangeran Mas Gede. Akhirnya, dia dan Sulastri berhasil membunuh si pemberontak Tumenggung Jaluwisa.

   Teringat akan semua itu, Jatmika menghela napas panjang dan cepat dia mengusir semua kenangan itu.

   Ketika mendengar bahwa Adipati Ukur mengadakan pesta untuk menjamu para senopati dan perwira dan mengadakan pertunjukan wayang golek dengan dalang Ki Subali dari Dermayu dan waranggana Neneng Salmah, tentu saja hati Jatmika tertarik sekali.

   Ki Subali dari Dermayu, ayah kandung Sulastri! Dan Neneng Salmah! Dia masih ingat betapa gadis waranggana, dara Pasundan yang geulis (ayu) itu, menjadi saudara angkat Sulastri yang akrab.

   Demikianlah, Jatmika berada diantara para penonton yang berdiri diluar tempat pesta. Jantungnya berdebar juga ketika dia melihat Ki Subali dan Neneng Salmah. Pertemuan ini menimbulkan kenang-kenangan lama.

   Ketika dia memandang ke arah Neneng Salmah, dia merasa kagum dan juga heran. Kagum melihat betapa cantik jelitanya gadis itu dan heran mengapa kecantikan gadis ini dulu terlewat begitu saja dari perhatiannya. Ah, benar juga, kata hatinya. Dahulu seluruh perhatiannya tertuju kepada Sulastri dan pada waktu itu baginya tidak ada dara lain di dunia ini yang cantik menarik kecuali Sulastri! Dia juga melihat Ki Salmun diantara para penabuh gamelan. Ki Salmun menabuh kendang dan memimpin para penabuh itu.

   Pada saat Jatmika memandang ke arah Ki Salmun, ayah Neneng Salmah ini kebetulan mengangkat mukanya dan dua pasang mata bertemu pandang. Ki Salmun mengerutkan alisnya karena merasa sudah mengenal wajah tampan pemuda itu.

   Ketika Jatmika tersenyum kepadanya dan mengangguk, teringatlah Ki Salmun. Dia pernah bertemu dan diperkenalkan kepada Jatmika, di rumah Ki Subali di Dermayu. Pemuda tampan yang kabarnya sakti itu, sahabat Sulastri dan Lindu Aji.

   Kalau wajah Ki Salmun tadinya seperti diliputi mendung, kini wajah itu menjadi cerah penuh harapan. Hati ayah ini sejak sore tadi sebelum pertunjukkan dimulai, selalu gelisah. Dia dipanggil oleh Tumenggung Jayasiran, senopati pertama yang dipercaya oleh Adipati Ukur, agar setelah pesta usai, dia dan puterinya, Neneng Salmah, berkunjung ke gedung tempat tinggal Tumenggung Jayasiran karena ada urusan penting sekali akan dibicarakan. Tentu saja hati Ki Salmun menjadi gelisah sekali.

   Tumenggung Jayasiran inilah yang hampir tiga tahun yang lalu telah membantu Jaka Bintara, Pangeran Banten itu, menawan Neneng Salmah sehingga puterinya nyaris menjadi korban pangeran Banten itu. Untung Lindu Aji menyelamatkannya dan dia bersama puterinya terpaksa melarikan diri ke Dermayu.

   Sekarang senopati itu memanggil dia dan puterinya menghadap, pasti mempunyai niat yang tidak baik. Dia merasa gelisah sekali, akan tetapi ketika melihat Jatmika disitu, timbul harapannya. Bukankah pemuda ini kabarnya saudara seperguruan Sulastri dan Lindu Aji, dan merupakan seorang pemuda yang sakti pula? Dia akan mohon pertolongan pemuda itu.

   Ketika mendapat kesempatan selagi gamelan berhenti karena dalang sedang mainkan adegan percakapan antara dua tokoh wayang dan dia tidak perlu memukul kendang, Ki Salmun cepat mencorat-coret di atas kertas, kemudian dia menggulung kertas bertulis itu dan memberi isarat kedipan mata kepada Jatmika.

   Jatmika yang sejak tadi memperhatikan perbuatan Ki Salmun, dapat menangkap maksudnya, maka dia mengangguk. Ki Salmun melemparkan gulungan kertas itu kepada Jatmika yang kini bergerak mendekat dan menerima lemparan kertas itu. Ketika dibacanya, isinya singkat.

   Anakmas Jatmika,

   Malam ini kami dipanggil Tumenggung jayasiran. Tolong lindungi kami.

   Jatmika memandang ke arah Ki Salmun yang juga menatap wajahnya. Pemuda itu mengangguk dan legalah hati Ki Salmun.

   Memang belum pasti bahwa Tumenggung Jayasiran berniat buruk, akan tetapi apapun yang akan terjadi, dia dan puterinya tidak perlu khawatir. Jatmika yang sakti sudah berada disitu dan akan melindungi mereka!

   TIDAK seperti biasanya, wayang golek itu tidak dimainkan semalam suntuk. Sang adipati memang hanya ingin memberi hiburan kepada para senopati dan perwira, tidak ingin

   bersenang-senang dan lengah karena mereka sedang dalam keadaan siap siaga menghadapi serangan Mataram.

   Kalau pesta diadakan semalam suntuk, tentu pada keesokan harinya para pemimpin pasukan itu menjadi lelah dan mengantuk sehingga lengah dan kehilangan kewaspadaan.

   Maka, Ki Subali telah dipesan agar menyelesaikan pertunjukkan wayang golek itu sampai menjelang tengah malam saja.

   Jatmika menonton sampai pesta itu bubar menjelang tengah malam. Dia melihat Ki Salmun dan Neneng Salmah sudah bersiap-siap meninggalkan ruangan pesta yang mulai ditinggalkan para tamu itu. Dia menyelinap ke luar dan mengintai dari jauh.

   Tiba-tiba dilihatnya empat orang berpakaian perajurit menghampiri Ki Salmun dan puterinya dan setelah bicara sebentar dengan Ki Salmun, ayah dan anak itu lalu digiring keluar.

   Di luar istana kadipaten telah menunggu sebuah kereta dan waranggana dan ayahnya itu

   disuruh naik kereta. Setelah kedua orang ayah dan anak itu memasuki kereta, kendaraan itu lalu dijalankan. Jatmika membayangi dari belakang.

   Dalam suratnya tadi Ki Salmun tidak menceritakan bahaya apa yang mengancam dia dan puterinya sehingga Jatmika tidak tahu kapan dia harus menolong mereka dan dia hanya

   membayangi saja.

   Kereta itu dikawal oleh empat orang perajurit tadi dan seorang kusir kereta. Tentu saja amat mudah baginya untuk membebaskan mereka dari lima orang itu akan tetapi bagaimana dia dapat lancang melakukan kalau dia tidak tahu bahaya apa yang mengancam Ki Salmun dan puterinya.

   Ternyata kereta itu tidak berjalan terlalu jauh. Kereta memasuki pekarangan yang luas dari sebuah rumah gedung besar dan megah.

   Ini tentu rumah gedung Tumenggung Jayasiran yang disebut dalam surat Ki Salmun tadi, pikir Jatmika dan diapun menyelinap memasuki pekarangan yang ditumbuhi banyak pohon sawo kecik itu.

   Dia harus yakin dulu bahwa ayah dan anak itu terancam bahaya, baru dia akan turun tangan menolong mereka. Bukankah dalam suratnya, Ki Salmun juga minta agar dia melindungi mereka? Dia tidak tahu orang macam apakah Tumenggung Jayasiran itu. Apakah

   sama dengan mendiang Tumenggung Jaluwisa yang dulu memberontak terhadap Adipati Pangeran Mas Gede dan kemudian tewas oleh dia dan Sulastri? Betapapun juga,

   Tumenggung Jayasiran ini tentu bukan seorang lemah.

   Sementara itu, sejak tadi di dalam kereta Neneng Salmah sudah menyatakan kekhawatirannya kepada ayahnya.

   "Lupakah ayah bahwa di rumah inilah aku disekap dan hendak dipaksa oleh Raden Jaka Bintara? Untung ketika itu ada Kakangmas Lindu Aji yang menolongku. Kalau sekarang

   kita datang ke sini, apakah tidak berarti domba memasuki rumah jagal?"

   "Jangan khawatir, anakku. Kurasa Tumenggung Jayasiran sekali ini tidak akan begitu bodoh untuk mengulangi perbuatannya dahulu itu. Dia tahu bahwa Gusti Adipati akan

   marah kalau dia berani mengganggumu. Gusti Adipati amat menghargaimu dan selain itu, ada seorang sakti yang melindungi kita. Apakah tadi engkau tidak melihat dia diantara para penonton?"

   Neneng Salmah menatap wajah ayahnya. Ia melihat wajah ayahnya tenang bahkan ada senyum di bibirnya yang menunjukkan bahwa ayahnya benar-benar merasa aman.

   "Siapakah dia, ayah?"

   Gadis itu menduga-duga.

   Apakah... Lindu Aji yang muncul lagi sebagai pelindungnya? Ah, ia akan merasa malu sekali dan merasa berdosa kalau harus bertemu dengan Lindu Aji. Ia merasa bahwa ialah yang menjadi penyebab gagalnya perjodohan antara Lindu Aji dan Sulastri!

   Kalau tidak ada ia yang menjadi penghalang, dua orang yang paling disayang dan dihormatinya itu tentu sudah menjadi suami isteri!

   "Dia adalah anakmas Jatmika."

   "Ah, dia...?"

   Neneng Salmah tentu saja ingat kepada pemuda gagah itu.

   Tentu saja ia ingat karena pemuda itulah yang membuat ia salah sangka, ia mengira bahwa Sulastri saling mencinta dengan pemuda itu maka ia berani menyatakan cintanya kepada Lindu Aji kepada Sulastri.

   Tadinya ia sama sekali tidak menyangka bahwa Lindu Aji yang dicinta Sulastri. Jadi bukan ia seorang yang menjadi sebab gagalnya perjodohan antara Sulastri dan Lindu Aji, akan tetapi Jatmika juga menjadi penyebabnya yang kuat.

   Mereka tidak dapat melanjutkan percakapan mereka karena kereta sudah berhenti di depan pendapa gedung ketumenggungan.

   Pintu kareta dibuka dari luar dan Tumenggung Jayasiran sendiri yang menyambut ayah dan anak itu.

   "Ah, selamat datang dan selamat malam, Ki Salmun dan engkau juga, Neneng Salmah. Mari masuk kita bicara diruangan tamu!"

   Kata Tumenggung Jayasiran kepada mereka.

   Ayah dan anak itu tidak berani membantah dan mereka mengikuti sang tumenggung memasuki ruangan tamu yang berada disebelah kanan.

   Jatmika melihat betapa ayah dan anak itu disambut oleh seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tujuh tahun, berpakaian mewah, bertubuh tinggi besar dan

   kumisnya sekepal sebelah seperti kumis Sang Gatotkaca.

   Melihat Ki Salmun dan Neneng Salmah mengikuti laki-laki itu memasuki ruangan sebelah kanan, Jatmika cepat mempergunakan kepandaiannya, menyelinap dengan gesit sehingga tidak tampak oleh para penjaga dan tak lama kemudian dia sudah mengintai ke dalam ruangan tamu itu melalui celah-celah jendela yang tertutup. Dari situ dia dapat

   melihat apa yang terjadi dan dapat mendengar semua percakapan.

   Ki Salmun dan Neneng Salmah dudukdi atas kursi menghadap Tumenggung Jayasiran yang juga duduk di atas sebuah kursi berhadapan dengan mereka, terhalang sebuah

   meja besar.

   "Ha-ha, senang sekali dapat berjumpa dengan kalian disini. Bagaimana kabarnya, Ki Salmun dan Neneng? Kalian baik-baik saja, bukan?"

   "Terima kasih gusti tumenggung, hamba berdua dalam keadaan baik-baik saja. Akan tetapi paduka memanggil hamba malam-malam begini, apakah yang harus kami lakukan?"

   "Begini, Ki Salmun. Terus terang saja, aku menjadi perantara, diutus oleh Pangeran Jaka Bintara untuk meminang Neneng Salmah..."

   "Ah...!!"

   Neneng Salmah menahan jeritan yang akan keluar dari mulutnya.

   "Nanti dulu, Neneng. Sekali ini Pangeran Jaka Bintara bersungguh-sungguh, tidak mau menggunakan kekerasan, melainkan melamar dengan baik-baik dan engkau akan menjadi isterinya yang resmi."

   "Tidak...! Hamba tidak sudi menjadi isterinya!"

   Neneng Salmah berseru dan bangkit berdiri.

   Tumenggung Jayasiran juga bangkit berdiri dan alisnya berkerut.

   "Neneng Salmah, pinangan ini dilakukan dengan baik-baik dan engkau akan menjadi isteri seorang pangeran Banten yang mulia dan terhormat. Apa engkau lebih suka kalau

   dipaksa dengan kekerasan?"

   Kini Ki Salmun juga bangkit berdiri.

   "Gusti tumenggung! Kalau anak hamba dipaksa, hamba akan melaporkan hal ini kepada Gusti Adipati yang pasti akan melindungi Neneng

   Salmah!"

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Sang tumenggung tertawa bergelak.

   "Lapor kepada Gusti Adipati? Hemm, justru beliau yang telah menyetujui pinangan itu. Kalian tahu, Sumedang menentang

   Mataram dan memerlukan hubungan persahabatan dengan Banten dan para penguasa daerah lain. Karena itu, engkau harus membantu Sumedang, Neneng! Kalau engkau menerima

   pinangan itu dengan baik-baik, berarti engkau mempererat hubungan antara Sumedang dan Banten, dan engkau sudah berjasa sebagai seorang kawula Sumedang!"

   "Tidak, aku tetap tidak sudi diperisteri pangeran yang jahat itu!"

   Neneng Salmah kukuh menolak.

   "Mau atau tidak, malam ini juga engkau harus berangkat ke Banten!"

   Kata Tumenggung Jayasiran dan dia bertepuk tangan tiga kali.

   Dari pintu sebelah dalam muncul tiga orang. Dua orang adalah perajurit dan seorang lagi adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, tinggi besar berkulit hitam dengan muka brewokan. Sepasang mata, hidung dan mulutnya serba besar dan gigi besar tongos mencuat keluar dari celah bibirnya. Pakaiannya mewah dan sikapnya sombong.

   Dia adalah seorang jagoan Sumedang yang terkenal dengan julukan Maung Sumedang (Harimau Sumedang) bernama Badrun dan merupakan orang kepercayaan Tumenggung

   Jayasiran yang tangguh dan setia. Baru setahun jagoan ini ditarik menjadi pembantu sang tumenggung.

   "Kalian tangkap Neneng Salmah dan masukkan dalam kereta!"

   Sang tumenggung memerintah kepada dua orang perajurit itu.

   Dua orang perajurit yang bertubuh tegap itu menyeringai senang menerima tugas itu. Sudah lama mereka hanya dapat mengagumi Neneng Salmah dan sekarang mereka mendapat kesempatan untuk menangkapnya, berarti mereka akan dapat memegang lengan yang putih mulus dan dapat mendekap tubuh yang denok itu!

   Sambil menyeringai keduanya lalu melangkah lebar menghampiri Neneng Salmah yang sudah mundur menjauh dari meja dan berada di tengah ruangan sehingga akan mudah bergerak.

   Ketika dua orang perajurit sudah tiba dekat Neneng Salmah, mereka seperti berlumba menerkam untuk menangkap gadis yang bertubuh bahenol itu.

   "Wuutt... bress...!!"

   Dua orang itu bertubrukan sendiri karena dengan gerakan yang indah dan lembut namun cepat sekali, Neneng Salmah telah dapat mengelak dari terkaman

   mereka!. Kiranya tidak percuma Neneng Salmah pernah mempelajari ilmu silat Sunya Hasta dari Sulastri ketika ia tinggal di Dermayu, di rumah Ki Subali.

   Dua orang perajurit itu menjadi penasaran sekali. Mereka cepat membalik dan kembali mereka menyergap, sekali ini bukan untuk mendekap, melainkan untuk menangkap kedua

   lengan Neneng Salmah.

   Akan tetapi Neneng Salmah sudah siap siaga. Ketika tangan dua orang itu seperti berebutan hendak menangkapnya, ia mengelak ke samping dan menampar.

   "Plak! Aduhh...!"

   Seorang perajurit terpelanting ketika lehernya terkena tamparan tangan miring itu. Yang seorang lagi mencengkeram ke arah lengan Neneng Salmah.

   Gadis itu tidak sempat mengelak dan pergelangan tangan kirinya dapat ditangkap. Akan tetapi secepat kilat tang"n kanannya bergerak, mengetuk siku lengan tangan yang memegang itu, lalu setelah perajurit itu terpaksa melepaskan pegangan karena lengannya mendadak seperti lumpuh, tangan kiri Neneng Salmah mendorong ke arah dadanya.

   "Bukk! Augghh...!"

   Perajurit ke duajuga terjengkang roboh!

   "Ehh, kiranya engkau pandai juga berkelahi?"

   Tumenggung Jayasiran berseru heran dan sekali dia menggerakkan tubuh, dia sudah melompat ke depan Neneng Salmah. Dia menjulurkan tangan untuk menangkap pundak gadis itu.

   Neneng Salmah menangkis dengan putaran lengan kirinya. Akan tetapi tentu saja Neneng Salmah yang baru mempelajari sedikit ilmu silat dari Sulastri, bukan lawan tumenggung yang digdaya itu!

   Tangkisan lengan gadis itu malah diterima dengan cengkeraman dan pergelangan lengan kiri Neneng Salmah sudah ditangkap oleh sang tumenggung.

   Gadis itu tidak mau menyerah begitu saja. Dengan nekat ia menggunakan tangan kanannya untuk memukul ke arah kepala sang tumenggung.

   Akan tetapi kembali tangan kanan itu disambut cengkeraman tangan kiri Tumenggung Jayasiran dan kini lengan kanan Neneng Salmah juga sudah tertangkap. Sang tumenggung

   tertawa dan pada saat itu, Ki Salmun berseru dari belakangnya.

   "Lepaskan anakku! Lepaskan...!"

   Dengan nekat Ki Salmun mengguncang pundak Tumenggung Jayasiran agar melepaskan kedua lengan puterinya.

   Senopati Sumedang itu menjadi marah sekali. Dia mendorong dan melepaskan kedua lengan Neneng sehingga gadis itu terdorong dan terhuyung kebelakang, menabrak kursi dan terjatuh.

   Badrun si Maung Sumedang segera menubruknya dan menggunakan sehelai kain untuk menelikung kedua tangan Neneng ke belakang lalu mengikatnya kuat-kuat sehingga Neneng tidak mampu menggerakkan kedua tangannya lagi.

   Sementara itu, dengan marah Tumenggung Jayasiran membentak Ki Salmun.

   "Keparat! Berani engkau memberontak?"

   Dengan cepat dia sudah berada di depan Ki Salmun dan sekali tangannya bergerak, dia sudah memukul kearah dada ayah Neneng itu.

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jilid 11

   "Bukk...!"

   Keras sekali pukulan itu.

   Ki Salmun mengaduh dan tubuhnya terpental kebelakang menabrak dinding.

   Tumenggung Jayasiran masih belum reda kemarahannya. Dia melompat lagi mendekati dan kakinya menendang, kini mengarah kepala.

   "Dess...!!"

   Tubuh Ki Salmun terlempar bergulingan dan dia rebah menelungkup, tidak mengeluarkan suara atau bergerak lagi.

   Neneng Salmah menjerit, meronta lepas dari pegangan Badrun dan gadis itu lari menghampiri Ki Salmun, lalu menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan masih terikat di belakang tubuhnya.

   "Bapa...! Bapa...!"

   Ia menjerit-jerit dan menangis, akan tetapi Ki Salmun tidak dapat menjawab, bahkan tidak mendengar lagi karena dia telah tewas oleh tendangan yang mengenai kepalanya tadi.

   Melihat darah mengalir dari hidung, mulut dan telinga ayahnya, Neneng Salmah dapat menduga bahwa ayahnya telah tewas. Ia menjerit-jerit dan menangis.

   "Engkau telah membunuhnya...! Telah membunuhnya...!"

   Ia meraung-raung.

   "Bawa ia cepat ke kereta dan berangkatlah!"

   Kata Tumenggung Jayasiran kepada Badrun.

   Si Maung Sumedang ini menangkap kedua pangkal lengan Neneng lalu setengah menyeret gadis itu keluar ruangan itu, menuju ke kereta yang masih menanti di pekarangan gedung.

   Jatmika marah sekali akan tetapi dia cukup cerdik untuk tidak menuruti nafsu amarahnya. Dia tidak keburu menolong Ki Salmun karena dia sama sekali tidak mengira bahwa Tumenggung Jayasiran akan membunuh orang tua itu.

   Dia dapat melihat bahwa Ki Salmun sudah tak dapat ditolong lagi, sudah tewas. Kalau dia turun tangan di gedung itu, dia bukan saja tidak dapat menyelamatkan Neneng, sebaliknya dia malah terancam bahaya sendiri.

   Tumenggung Jayasiran itu seorang yang digdaya, hal ini diketahui dari gerakannya ketika menyerang Ki Salmun dan di tempat itu terdapat banyak perajurit pengawal, anak buah senopati itu.

   

Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini