Ceritasilat Novel Online

Bajak Laut Kertapati 2


Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Benda ini bukan milikmu, enak saja kau memintanya!"

   Raden Suseno makin marah.

   "Bangsat kurang ajar! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Aku adalah Raden Suseno putera bupati dari Rembang, dan puteri ini adalah tunanganku, Raden Roro Santi!"

   Kertapati segera memotong pembicaraannya dengan membongkokkan tubuh dan berkata.

   "Terima kasih atas pemberitahuan nama itu, bukan namamu, akan tetapi nama puteri ini Roro Santi, alangkah indah nama ini, sesuai benar dengan orangnya..."

   "Keparat! Lekas berikan barang itu kepadaku! Atau barangkali kau minta dihajar dulu?"

   Raden Suseno sudah menjadi marah sekali maka ia lalu mengayun tangan kanannya, menempiling ke arah kepala Kertapati. Akan tetapi, dengan tenang sekali Kertapati merendahkan tubuhnya sehingga tamparan itu lewat di atas kepalanya, mengenai tempat kosong.

   "Pemiliknya telah memberikan kepadaku, kau perduli apa?"

   Katanya.

   "Kalau kau menghendaki benda ini, mengapa tadi kau tidak melompat ke dalam air?"

   Akan tetapi Raden Suseno taidak mau banyak cakap lagi, wajahnya menjadi pucat saking marahnya dan ia merasa penasaran sekali betapa tamparannya dihindarkan dengan mudah oleh pemuda itu. Ia menyerang lagi dengan tonjokan keras ke arah dada lawannya, dan menyusul dengan tendangan keras dan cepat untuk menendang tubuh pemda bulu hitam itu agar terlempar ke bawah panggung!

   Raden Suseno adalah seorang pemua ahli pencak, maka gerakannya cepat dan tenaganya kuat. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kertapati miringkan tubuh ke kiri untuk mengelak dari tonjokan ke arah dadanya, kemudian ketika kaki kanan lawannya yang menendang menyambut dekat, tiba-tiba ia ulur tangan kirinya dan mendorong tubuh Raden Suseno ke kanan! Karena tenaga tendangan sendiri ditambah dengan dorongan lawan, tak dapat tertahan lagi tubuh Raden Suseno terlempar ke kanan dan jatuh ke bawah panggung! Terdengar suara "Jeburr!"

   Ketika tubuhnya menimpa air, disusul suara tertawa yang ditahan-tahan dari para penonton di bawah panggung!

   Pada saat itu, terdengar teriakan orang dari bawah panggung,

   "Dia Kertapati...! Dia yang dulu kami kejar-kejar! Dia Kertapati! Tangkap...!"

   Yang berteriak-teriak ini adalah seorang diantara empat ponggawa yang dulu hendak menangkap Kertapati dengan bantuan seorang sersan Belanda. Ponggawa itu lupa bahwa kalau bajak laut itu berlaku kejam dan tidak menolong dia dan tiga orang kawannya ke dalam perahu, tentu mereka berempat telah mati seperti sersan Belanda itu pula! Kini ia berteriak-teriak dan berlari menuju ke panggung itu. Roro Santi terkejut sekali mendengar ini dan ia memandang kepada Kertapati dengan mata terbelalak dan muka pucat. Jadi inilah bajak laut Kertapati yang telah menggemparkan seluruh negeri selama beberapa bulan ini?

   "Terima kasih atas pemberian benda yang akan kusimpan selama hidupku ini..."

   Kertapati masih sempat berbisik perlahan sebelum mempersiapkan diri amenghadapi musuh-musuhnya. Memang, teriakan yang dikeluarkan oleh ponggawa tadi, untuk sejenak membuat semua orang merasa seakan-akan tubuh mereka menjadi kaku. Mereka berdiri bagaikan patung memandang kearah pemuda baju hitam yang msih berdiri di depan Roro Santi, bahkan kini tidka ada orang yang memandang ke dalam air di mana Raden Suseno sedang berenang ke tepi sambil menyumpah-nyumpah!

   Kemudian, serentak timbullah keributan besar ketika para penjaga dan ponggawa, engan tombak di tangan lalu mengurung punggung di mana Kertapati mengeluarkan suara ketawa bergelak dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah terjun ke dalam air! Terdengar tembakan yang dilepas dari senjata api di tangan seorang opsir tamu Belanda, akan tetapi dengan menyelamkan diri ke dalam air, Kertapati dapat menyelamatkan diri dari peluru yang menyambarnya itu. Opsir-opsir Belanda lain ketika mendengar bahwa pemua itu adalah bajak laut yang mereka benci, juga sudah mengeluarkan senjata api masing-masing dan kini dengan membabi-buta mereka menembak ke dalam air sambil mengira-ngira saja! Kertapati terus berenang di bawah permukaam air dan ketika ia muncul kembali, ternyata ia telah berada di tepi yang jauh dari terup itu, lalu melompat ke darat di mana terdapat banyak penonton.

   Akan tetapi, apra opsir itu masih menembakkan senjata api mereka ke arah tempat itu dan dua orang penonton roboh terkena peluru, sedangkan Kertapati lenyap diantara penonton yang banyak! Tentu saja hal ini menimbulkan keributan dan geger. Semua penonton berlari cerai-berai, takut terkena tembakan yang nyasar dan yang lepas dengan ngawur itu. Ketika tempat itu sudah bersih dari para penonton, ternyata Kertapati telah lenyap pula tanpa meninggalkan bekas! Para pnggawa masih mencari ke sana ke mari dengan hati kebat-kebit karena ketakutan, akan tetapi yang dicari telah lenyap, entah ke mana perginya! Perbuatan Kertapati yang amat berani ini mendatangkan kesan mendalam pada semua orang. Para opsir Belanda makin membencinya dan menggangapnya sebagai pengacau yang kurang ajar, terutama sekali Raden suseno merasa amat marah dan juga cemburu sekali.

   Ia tidak puas akan sikap tunangannya yang memberikan tusuk kondenya kepada bajak laut jahat itu! Hanya di dalam dada seorang saja kertapati menimbulkan kesan yang luar biasa, yakni dalam dada Roro Santi sendiri! Gadis ini merasa demikian tertarik kepada pemuda baju hitam itu. Ia menganggap pemuda itu gagah berani, jujur, dan juga tidak menjilat-jilat seperti Raden Suseno atau lain-lain pemuda dihadapannya. Kekurangajaran dan kekasaran bajak laut itu menarik hatinya. Biarpun berkali-kali ia mengerahkan tenaga batinnya untuk menganggap Kertapati sebagai seorang bajak laut yang kejam, pengacau yang penuh dosa, akan tetapi perasaan wanitanya berpendapat lain dan anehnya, bayangan pemuda dengan senyumnya yang manis dan tenang itu sukar sekali diusir dari alam pikirannya!

   Opsir Belanda yang pertama-tama melepaskan tembakan ketika Kertapati muncul dalam keramaian di pantai Jepara itu, adalah seorang berusia kurang dari tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, berambut kekuning-kuningan dan matanya biru serta tajam sekali. Dia bukanlah seorang opsir biasa, karena sesunguhnya opsir ini yang namanya Dolleman, adalah seorang kepala pasukan rahasia atau mata-mata Belanda yang banyak disebar untuk menyelidiki keadaan dan pergerakan para pengeran di Mataram berhubung dengan pemberontakan-pemberontakan Trnajaya. Dolleman amat cerdik dan ia telah mempelajari bahasa daerah sehingga dapat bercakap-cakap alam bahasa itu cukup fasih, sungguhpun lidahnya masih terasa kaku untuk dapat mengucapkan kata-kata daerah yang sing baginya itu. Telah banyak jasa yang diperbuat selama ia datang dari negerinya sehingga di kalangan Kompeni,

   Ia mendapat kepercayaan penuh, bahkan ia mempunyai surat kuasa untuk menggerakkan semua pasukan Kompeni yang terdapat di mana saja, menurut perintahnya apabila terjadi sesuatu yang penting. Selain mendapat tugas untuk mengawal Speelman yang mengunjungi Jepara dan mengadakan perteuan dengan Sunan, iapun mendapat tugas pula untuk menyelidiki dan mencari sarang bajak laut Kertapati yang mengacau disepanjang tepi Tegal sampai Jepara. Maka ketika Kertapati dengan beraninya muncul dalam keramaian di pantai itu, Dolleman segera mengerahkan seluruh pembantunya untuk disebar an melakukan penyelidikan di sekitar daerah Jepara. Ia merasa yakin bahwa bajak laut itu tentu berada di sekitar daerah itu dan bersembunyi di sebuah desa. Dolleman mempunyai banyak sekali kaki tangan yang terdiri dari penduduk pribumi yang tela makan uang sogokannya,

   Akan tetapi, ia tidak kenal betul kecerdikan Kertapati, dan tanpa disadarinya seorang diantara kaki tangannya adalah seorang anak buah bajak laut sendiri! Oleh karena itu, tentu saja kaki tangannya melakukan pengejaran dan penyelidikan, mereka tak berhasil menemukan bajak laut itu, Di dalam rumah penginapan. Dolleman duduk di kamar, sudut bibirnya menjepit sebatang serutu dan kedua tanagnnya mempermain-mainkan sebatang tangkai pena. Pikirannya bekerja keras dan ia benar-benar merasa bingung menghadapi bajak laut kertapati yang amat cerdik itu. Peristiwa terbunuhnya sersan Zeerot dan keadaan empat kawan ponggawa yang pingsan di dalam perahu, membuat ia dapat menduga bahwa betapapun juga, sebagai seorang bajak laut, Kertapati masih melindungi orang-orang sebangsanya.

   Siapa lagi kalau bukan Kertapatiyang menolong empat orang ponggawa itu sehingga mereka tidak mati tenggelam? Perbedaan nasib sersan Zserot dan empat orang ponggawa itu menimbulkan dugaannya bahwa Kertapati bukanlah bajak laut biasa dan Dolleman mulai menghubungkan keadaan bajak laut itu dengan pemberontakan Trunajaya. Adakah hubungan antara Kertapati dan Trunajaya? Untuk mencari sesuatu yangmerupakan titik terang guna mencari jejak untuk penyelidikan, ia mulai mengenangkan lagi semua peristiwa yang terjadi di dekat pantai pada waktu keramaian itu. Terbayanglah di depan matanya yang biru tajam itu ajah Roro Santi yang cantik jelita, pandang matanya yang amat manis itu. Terbayang pula betapa Kertapati memandang puteri itu dengan mata penuh perasaan dan teringatlah ia akan pemberian tusuk konde itu. Tiba-tiba Dolleman menancapkan penanya di atas meja dan berseru.

   "Bagus...!! akal inilah yang harus kugunakan!!"

   Wajahnya yang cakap menjadi berseri gembira, matanya yang tajam bercahaya terang ia segera menukar pakaiannya dengan pakaian yang indah dan baru. Kemudian dengan langkah lebar dan bersiul-siul, ia berjalan keluar dari rumah penginapannya dan lagsung menuju ke gedung Adipati Wiguna. Adipati Wiguna menyambutnya dengan ramah tamah dan tamunya duduk di ruang tengah. Diperintahnya pelayan untuk mengeluarkan hidangan bagi tamu itu, akan tetapi Dolleman lalu berkata sambil tersenyum.

   "Jangan merepotkan diri, tuan Adipati! Saya hanya ingin bercakap-cakap sebentar dan karena yang akan saya bicarakan ini adalah suatu hak yang amat penting, harap tuan Adipati suka menyuruh semua pelayan mengundurkan diri agar percakapan kita takkan terganggu."

   Biarpun merasa agak heran, Adipati Wiguna lalu memerintahkan semua pelayannya mundur, kemudian ia menghadapi Dolleman yang duduk di depannya sambil bertanya,

   "Perkara apakah gerangan yang hendak kau bicarakan?"

   Sebelum mulai bicara, Dolleman mengeluarkan sebungkus cerutu dan menawarkannya kepada tuan rumah, akan tetapi dengan halus Adipati Wiguna menampiknya sambil mengucapkan terima kasih. Dolleman mencabut sebatang cerutu dan menyalakannya, lalau menghisap asap cerutu itu dalam-dalam ke dadanya.

   "Tuan Adipati Wiguna,"

   Katanya setelah menghembuskan asap itu keluar dari mulut dan hidungnya.

   "Telah lama saya mendengar nama tuan Adipati dan kalau tidak salah tuan Adipati berasal dari Demak, bukan?"

   Adipati Wiguna mengganguk dan bangsawan ini cukup mklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang opsir penyelidik yang terkenal sekali, maka ia menanti dengan hati berebar akan kelanjutan dari percakapan ini. Karena tidak mungkin opsir ini datang sekedar untuk bercakap-cakap angin belaka.

   "Memang saya sekeluarga berasal dari Demak tuan Dolleman,"

   Jawabnya menekan debar jantungnya "Belum la asaya dipindahkan ke Jepara dan menjabat pangkat di sini."

   Dolleman mengangguk-angguk dan menyentil-nyentil cerutunya dengan jari sehingga abunya yang putih jatuh ke atas lantai.

   "Tuan Adipati, saya telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran, diantaranya pertempura melawan Trunajaya di Surabaya. Pertemuan saya dengan tuan Adipati mengingatkan saya akan seorang pemimpin pemberontak pembantu Trunajaya, oleh karena wajahnya mirip sekali dengan tuan Adipati."

   Biarpun Adipati Wiguna berusaha menetapkan hatinya, namun wajahnya tetap saja berubah pucat mendengar uapan ini. Ia tersenyum menutupi kegelisahannya dan berkata,

   "Kau aneh sekali, tuan letnan! Tentu saja diantara ribuan manusia di dunia, banyak yang mirip mukanya, apakah anehnya hal ini?"

   Dolleman mengangguk-angguka kepalanya yang berambut kuning keemasan itu.

   "Saya tahu, saya tahu... akan tetapi anehnya pula, orang inipun berasal dari Demak!"

   Kemudian letnan itu mendekatka kepalanya kepada tuan rumah danmatanya memandang tajam sekai, seakan-akan berusaha hendak menembus mata Adipati Wiguna an menjenguk ke dalam hatinya.

   "Dia itu bernama Wiratman, kenalkah kau kepadanya, tuan adipati??"

   Wajah Adipati Wiguna makin pucat dan ia tidak dapat menjawab untuk beebrapa lama. Ia maklum bahwa letnan Belanda itu telah mengetahui hal ini dan iamerasa seakan-akan ia berada dalam cengkraman tangan tamunya ini. Melihat kebimbangan tuan rumah, letnan Dolleman tersenyum dan menarik napas panjang tanda kepuasan hatinya.

   "Tuan adipati, jangan kau gelisah. Sesungguhnya saya sudah tahu belaka bahwa Wirataman itu adalah adik kandungmu! Akan tetapi, sekali saja janagn kau berkuatir, tuan Adipati. Biarpun hal ini apabila diketahui oleh Sunan akan merupakan hal yang hebat dan bahaya akan mengancam keluargamu, akan tetapi hal ini yang mengetahui hanya saya seorang, dan saya tah betul bahwa tuan Adipati tidak sama dengan adik kandung yang menjadi pemberontak itu!"

   Kembali Dollemon menghisap cerutunya dan menyadarkan tubuhnya pada kursinya.

   "Tuan letnan Dolleman, terima kasih atas kepercayaanmu. Dan... dan apakah kiranya yang dapat saya lakukan untuk membalas kebaikan budimu ini?"

   Melihat sikap dan mendengar ucapan Adipati Wiguna yang langsung itu, Dolleman tertawa bergelak, memperlihatkan giginya yang besar dan putih.

   "Ha, ha, tuan Adipati. Saya suka melihat tuan yang bersikap terus terang dan langsung ini! Memang harus begini laki-laki menyelesaikan sesuatu persoalan. Terus terang pula saya menyatakan kepadamu bahwa setelah bertemu dengan puterimu Roro Santi pada keramaian di pantai kemarin dulu, saya merasa suka kepadanya. Dengan setulus hati aya, saya mengajukan pinangan untuk puteri tuan adipati itu!"

   Sambil berkata demikian, kembali sepasang mata Dolleman memandang tajam. Bukan main terkejutnya hati Adipati Wiguna mendengar pinangan yang pernah diduga-duganya itu. Dia adalah seorang Islam demikianpun semua keluarganya, dan sungguhpun ia berselisih faham dengan Wiratman yang membela Trunajaya sedangkan ia tetap bersetia kepada sunan Amangkurat II, namun ia tetap seorang umat islam yang beribadat dan teguh iman. Bagaimana ia dapat menikahkan puterinya kepada seorang Belanda, seorang kafir? lagipula, puterinya itu telah dipertunangkan dengan Raden Suseno, putera bupati di Rembang.

   "Tuan letnan, hal ini tak mungkin dapat kuterima! Puteriku telah bertunangan dengan putera Bupati Randupati di Rembang dan pula, sebagai seorang Islam, kami tak mungkin menikahkan puteri kami kepada seorang yan bukan umat Islam! Harap kaumengerti akan hal ini dan mintalah saja yang lain."

   Dolleman tertawa lagi dan sikapnya masih tenang.

   "Kalau begitu tiada jalan lain bagi saya selain membuka rahasiamu kepada Sunan, biarkan Sunan sendiri yang menetapkan akibatnya!"

   Tiba-tiba Dolleman tertawa terbahak-bahak, sama sekali tidak memperlihatkan sikap melawan atau meraba senjata apinya.

   "Adipati Wiguna, simpan kembali kerismu itu. Aku hanya main-main saja. Ketahuilah, di negeri Belanda akupun telah mempunyai seorang isteri yang manis dan seorang anak, apa kau kira aku benar-benar hendak menikah lagi! Ha, ha, ha,!"

   Adipati Wiguna memanang heran, menyimpan kembali kerisnya dan duduk sambil berkata.

   "Tuan letnan Dolleman, jangan kau main-main. Apakah maksudmu yang sesungguhnya? aku sudah tua, jangan kau memprmainkan perasaanku."

   Dolleman membuang putung cerutunya ke dalam tempolong yang berada di bawah meja, lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh.

   "Tuan Adipati Wiguna, pinaganku ini hanya merupakan siasat untuk memancing bajak laut Kertapati, agar aku mendapat jaln untuk menangkapnya!"

   "Saya tidka mengerti mksudmu, bentangkanlah yang jelas."

   "Begini tuan Adipati. Pada waktu bajak laut itu muncul di panggung dan berhadapan dengan puterimu, saya dapat melihat dengan jelas bahwa bajak itu jatuh cinta kepada puterimu! Hal ini kuketahui baik-baik dan sungguhpun saya berani menyatakan bahwa puterimu juga tertarik kepadanya, akan tetapi aku yakin betul bahwa penjahat itu suka kepada Roro Santi! Oleh karena itu saya mendapat akal. Kalau dia mendengar bahwa Roro Santi akan menjadi isteri saya, tentu ia akan marah dan akan menghalanginya dan demikian, kita mendapat kesempatan untuk menawan atau membunuhnya!"

   "Jadi... tuan hendak menggunakan puteri saya sebagai umpan untuk memancing dia keluar...??"

   Tanya Adipati Wiguna dengan muka pucat.

   "Benar! Akan tetapi jangan kuatir, kami akan menjaga keras agar puterimu itu tidak mengalami sesuatu. Juga dengan pengurbanan ini, berarti Adipati dan puterinya telah emnunjukkan jasa besar terhadap Mataram. Bukankah bajak laut itu selain musuh Kompeni, juga merupakan musuh Mataram yang selalu mengacau dan menggangu lalu lintas di laut?"

   Adipati wiguna mengerutkan kening dan berpikir, kemudian berkata ragu-ragu.

   "Akan tetapi... bagaimana dengan Bupati Randupati dan puterinya? Saya rasa mereka akan keberatan!"

   Dolleman tersenyum.

   "Kalau kita jelaskan bahwa pinangan dan penyerahan puterimu kepada saya ini hanya sandiwara belaka, mengapa mereka berkeberatan? Saya akan memberitahukan hal ini kepadaatasan saya, juga kepada Sunan, tidak mau membantu, bukankah berarti bahwa dia membela dan melindungi bajak laut? kertapati? Apakah dia berani menolak?"

   "Akhirnya, karena berada di dalam kekuasaan Dolleman yang cerdik itu. Adipati Wiguna! Sekali-kali jangan kau ceritakan kepada Roro Santi, karena hal ini amat berbahaya. Kalau sampai rahasia ini bocor, maka tentu bajak laut Kertapati akan mendengar dan taidak mau membiarkan dirinya masuk perangkap!"

   Adipati Wiguna mengangguk-angguk mklum dan mereka berdua lalu pergi ke Rembang guna berunding denga Bupati Randupati di Rembang. Juga Bupati ini terpaksa menurut, sedangkan Raden Suseno yang tadinya merasa keberatan, ketika mendengar bahwa hal ini dilakukan untuk memancing keluar bajak laut Kertapati yang amat dibencinya, lalu menyatakan persetujuannya!

   "Sekarang harap tuan Adipati Wiguna suka menyiarkan berita bahwa pertunaga antara puterimu dan Raden Suseno dibatalkan dan kemudian menyiarkan berita bahwa puterimu telah ditunangkan dengan seorang letnan Kompeni. Kita sama-sama lihat apakah hal ini belum cukup kuat untuk memancing keluar Kertapati. Kalau belum cukup kuat, barulah kita bertindak lebih jauh, yakni mengirimkan puterimu dengan perahu Kompeni ke Semarang! Sementara itu, aku akan berusaha menyelidiki di mana sebenarnya sarang Kertapati itu!"

   Demikian Letnan Dolleman membari pesan terakhir kepada Adpipati wiguna. Dua hari kemudian, seorang laki-laki berkumis panjang melarikan kudanya menuju ke barat. Laki-laki ini datang dari Jepara dan ketika ia tiba di batas kota, ia ditahan oleh beberapa orang penjaga. Akan tetapi laki-laki itu mengeluarkan sehelai kartu yang ada tanda cap dua singa. Membaca kartu keterangan itu, para penjaga membiarkan ia pergi tanpa berani menganggu,

   Oleh karena kartu ini adalah tanda bahwa orang ini adalah seorang mata-mata kaki tanagn Kompeni! Memang benar, orang ini bernama Jiman, seorang kaki tangan dari Letnan Dolleman. Akan ettapi, sebenarnya Jiman adalah seorang anak buah bajak laut Kertapati yang dengan cerdiknya telah mendapat kepercayaan dari Letnan Dolleman, bahkan telah dijadikan mata-mata dari letnan itu! Setelah melalui pos penjagaan dengan selamat, Jiman terus membalapkan kudanya menuju ke barat an akhirnya ia memasuki sebuah dusun di pantai laut, kurang lebih empat puluh kilometer dari Jepara. Di luar dusun nampak beberapa orang pemuda nelayan yang menjaga an melihat kedatangan Jiman, mereka lalu mengantarkan mata-mata itu ke sebuah rumah bambu besar. Di dalam rumah itu nampak kurang lebih dua puluh orang laki-laki sedang duduk di atas tikar, agaknya sedang mengadakan rapat.

   Inilah tempat berkumpulnya kawanan bajak laut yang dikepalai oleh Kertapati memang mempunyai banyak tempat-tempat pertemuan di sepanjang pantai, dan ia mendapat dukungan sepenuhnya dari penduduk dusun yang tahu akan perjuangan! Perlu diketahui bahwa sebenarnya, Kertapati adalah seorang lejuang yang aktip dari pemberontakan Trunajaya! Sungguhpun ia bukan langsung menjadi anak buah Trunajaya, akan tetapi sebagai seorang yang bersempati kepada pemberontakan Tunajaya, ia merupakan pembantu sukarela yang telah banyak berjasa. Semenjak Trunajaya masih bertahan di Surabaya, Kertapati telah banyak membantunya dengan pengiriman-pengiriman senjata yang dapat dirampasnya dari perahu-perahu Belanda, atau harta benda yang dapat dirampoknya dari perahu-perahu yang menjadi kurbannya. Melihat kedatangan Jiman, Kertapati berdiri menyambutnya dan mempersilakan orang itu duduk.

   "Jiman, kau membawa berita apakah?"

   Tanyanya dan semua mata dari mereka yang duduk disitu ditujukan kepada pendatang itu.

   "Kertapati,"

   Kata jiman yang telah kenal baik kepada bajak itu.

   "Tidak ada berita yang penting. Dolleman agaknya telah berputus asa dan tidak mengirim orang-orangnya untuk mencari jejakmu lagi. Akan tetapi ada sebuah berita aneh yang membuat aku masih binggung memikirkannya."

   "Apakah itu?"

   "Aku mendengar berita bahwa Adipti Wiguna telah membatalkan pertunangan puterinya dengan putera Bupati Randupati! Hal ini memang tak ada gunanya kuberitahukan kepadamu, karena mungkin sekali ini terjadi karena peristiwa dengan kau dulu itu. Akan tetapi ada berita yang amat aneh mengejutkan, yaitu Adipati Wiguna setelah membatalkan pertunangan puterinya itu, lalu mempertunangkan anaknya dengan Dolleman!"

   "Apa...??"

   Kertapati terkejut sekali sehingga ia bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi, ketika melihat betapa semua kawannya memandangnya dengan heran, ia lalu menekan perasaannya dengan muka merah.

   "Ah, biarlah, Hal itu apakah sangkut pautnya dengan kita?"

   Akan tetapi, sambil berkata demikian, di luar tahuany semua orag, diam-diam ia meraba saku bajunya di mana tersimpan tusuk konde emas yang pada malam hari sering dikeluarkan dan dikaguminya itu.

   "Semenjak pertunangan itu diumumkan, Dolleman nampak tenang-tenang saja dan seakan-akan lupa kepada perkerjaannya. Jarang ia keluar pintu dan berdiam saja di rumah tempat ia menginap,"

   Jiman melanjutkan ceritanya.

   "Oleh karena itu, kami yang menjadi pembantunya, tidak mempunyai pekerjaan sesuatu dan aku berkesempatan datang kemari. Selain itu, ada sebuah berita lagi. Rombongan Tumenggung Basirudin akan datang besok pagi dengan perahu dari Semarang. Kabarnya selain membawa isteri dan anaknya, tumenggung ini membawa banyak barang-barang berharga."

   Berita ini disambut dengan girang oleh kawan-kawan Kertapati, sungguhpun kepala bajak itu sendiri nampak tidak begitu gembira, karena hatinya masih penuh dengan berita tentang pertunagan Roro Santi dengan Dolleman tadi.

   "Aku tak dapat lama berdiam di sini, kuatir kalau-kalau menimbulkan kecurigaan."

   "Baik, kau kembalilah ke Jepara, Jiman, dan perhatikan kalau-kalau ada perubahan dari fihak Dolleman,"

   Kata Kertapati. Jiman lalu keluar dan menunggang kudanya kembali, lalu melarikan kudanya pulang ke Jepara.

   "Saudara-saudara,"

   Kata Kertapati kemudian kepada kawan-kawannya.

   "Seperti telah kuceritakan tadi, sungguhpun Raden Trunajaya dan semua pengikutnya yang gagah berani telah dikalahkan oleh Kompeni, akan tetapi, berkat bantuan para saudara yang bersatu hati, kini Raden Trunajaya berhasil menduduki Mataram. Betapapun juga, hal ini belum berarti bahwa bencana telah lenyap sama sekali. Saudara semua tahu bahwa kedatangan Kompeni yang mengaakan perundingan dengan Sunan bukanlah hal yang tidak ada artinya. Tentu mereka bersepakat untuk sama-sama menggempur Mataram dan merampasnya kembali dari Raden Trunajaya. Oleh karena itu, kita harus mengumpulkan sebanyak senjata api dari Belanda, dan juga mengumpulkan harta benda untuk membiayai pertahanan Raden Trunajaya."

   "Hasil-hsil kita di laut tidak berapa besar, apakah artinya bagi Raden Trunajaya?"

   Kata seorang anggota.

   "Karena inilah maka kita harus bekerja keras, dan kalau perlu kita akan serang Jepara dan merampas harta benda dari para hartawan an bagsawan di sana!"

   "Itu berbahaya sekali!"

   Seru seorang anak buahnya. Kertapati tersenyum.

   "Apakah artinya bahaya?"

   Orang yang ebrseru tadi tertawa geli.

   "Bahaya artinya gembira!"

   Katanya karena memang ucapan ini merupakan semboyan mereka sejak dulu!

   "Kalau kita atur sebaliknya, apakah susahnya menyerbu kota seperti Jepara?"

   Demikianlah, dibawah pimpinan Kertapati yang cerdik itu, mereka mengatur siasat untuk menyerbu Jepara, kemudian ditetapkan bahwa sebelum penyerbuan itu, mereka lebih dulu akan merampok perahu yang adatang dari Semarang, yakni perahu yang membawa keluarga Tumenggung Basirudin.

   Menjelang senjakala, sebuah perahu yang cukup besar berlayar maju menuju ke timur. Perahu ini datang dari Semarang, membawa penumapang-penumpang untuk Jepara, yakni keluarga Tumenggung Basirudin berserta anak isteri, para pelayan, dan beberapa orang saudagar. Karena mklum akan bahaya yang mengancam pada waktu itu, yakni bajak laut Kertapati, Basirudin dikawal oleh sepasukan penjaga yang membawa tombak, bahkan tiga orang pemimpin pasukan membawa senapan. Mereka merasa lega bahwa selama pelayaran itu tidak terdapat gangguan sesuatu dan kini pelabuhan Jepara telah nampak dari jauh. Ingin mereka lekas-lekas tiba di kota itu karena sebelum melangkahkan kaki di ambang pintu rumah masing-masing, mereka belum merasa aman. Perahu maju perlahan karena angin tak berapa besar. Tiba-tiba seorang penjaga berseru,

   "Ada dua perahu di depan!"

   Semua orang menjadi pucat mendengar seruan ini dan memandang ke arah yang ditnjuk. Benar saja, di depan mereka nampak dua buah perahu melintang dan terapung-apung di atas air. Akan tetapi perahu-perahu yang berbentuk kecil akan tetapi panjang itu tidak ada penumpangnya. Dua perahu itu kosong! Tadinya pengemudi hendak membelokkan perahu, siap untuk menjauhi perahu-perahu itu, akan tetapi setelah memandang dengan jelas dan mendapat kenyataan bahwa perahu-perahu itu memang kosong, mereka menjadi lega dan melanjutkan perjalanan, makin mendekati perahu-perahu tadi.

   "Mungkin terlepas dari ikatan!"

   Kata seorang.

   "Nelayan-nelayan menakah yang demikian lalai sehingga perahu-perahu mereka terlepas dan terapung-apung di sini?"

   Tanya orang kedua. Perahu-perahu itu bercat hitam!"Terdengar seruan orang lain dengan kaget dan ngeri karena warna hitam adalah warna yang selalu dipergunakan oleh bajak-bajak laut Kertapati!

   "Perahu-perahu macam itu bukanlah perahu nelayan!"

   Kata pula orang lain dengan kaget dan gelisah. Dan ketika perahu yang mereka tumpangi telah datang dekat dengan perahu-perahu yang kosong itu, tiba-tiba mereka melihat banyak kepala orang bersembunyi di balik perahu-perahu itu!

   "Bajak...! Bajak laut Kertapati...!"

   Seru seorang penjaga yang segera menyiapkan tombaknya. Gegerlah dalam perahu besar itu dan tiga orang pemimpin pasukan yang membawa senapan segera berlari ke depan.

   Kini para anak buah bajak yang tadi bersembunyi di belakang perahu, muncul dan berenang dengan cepat bagaikan serombongan ikan cucut menuju ke perahu yang hendak dirampok. Tiga orang pemimpin bersenapan lalu menembak ke arah mereka, akan tetapi tiba-tiba dari balik perahu kecil itu melayang anak panah yang dengan cepat dan jitu sekali menancap di leher seorang diantara para pemegang senapan itu. Orang itu menjerit dan senapannya terlepas dari tangannya, jatuh keluar perahu, ke dalam air! Dua orang kawanya menjadi terkejut sekali melihat orang ini roboh denga leher tertancap sebatang anak panah hitam, sehingga mereka menjadi gugup dan tembakan-tembakan mereka ngawur. Kembali meluncur anak panah dari pasukan pelindung yang terdiri dari lima orang dan yang bersembunyi di balik perahu sambil mementang busur dan ributlah orang-orang di atas perahu.

   Mereka segera mencari perlindungan dan menjauhi pinggiran perahu. Hal ini memudahkan rombongan bajak yang dipimpin oleh Kertapati untuk melemparkan besi-besi pengait ke atas. Besi-nesi itu diikat dengan tambang sehingga kini banyak tambang tergantung di pinggir perahu. Bagaikan kera-kera yang gesit para bajak itu naik ke tas melalui tambang dikepalai oleh Kertapati. Maka terjdilah perang tanding yang hebat di tas perahu itu diantara ponggawa dan anak buah bajak. Para ponggawa menggunakan tombak dan tameng, sedangkan para bajak menggunakan parang atau keris. Teriakan-teriakan bercampur dengan suara senjata gaduh. Anak buah bajak laut itu terdiri dari dua belas orang, sedangkan para pengawal berjumlah dua puluh orang lebih, akan tetapi para bajak itu berkelahi dengan hebat sekali.

   Terutama Kertapati, pemuda yang sigap ini sama sekali tidak memegang senjata, kaan tetapi di mana saja ia berada dan tiap kali kaki tangannya bergerak, bergelimpanglah tubuh para ponggawa kena tendang atau pukul. Dua orang pemimpin penjaga dengan senapannya tidak berani menembak karena dalam pertempuran kacau balau itu, sukarlah untuk melepaskan tembakan tanpa membahayakan kawan sendiri, maka mereka lalu berlari mendekati Kertapati dengan senapan ditodongkan! Kertapati dapat melihat kedatangan dua orang itu yang menanti sat baik untuk melepaskan tembakan kepadanya. Dengan cepat, pemuda itu lalu menangkap tanagn seorang penyerang yang memegang tombak, meninju perutnya sehingga orang itu mengeluh dan pingsan, kemudian dengan memutar tubuh orang ini di depannya, Kertapati melangkah maju menyambut kedatangan dua orang pemegang senapan.

   Dua orang pemimpin pengawal itu terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak berani menembak karena tembakan mereka tentu akan bersarang ke dalam tubuh kawan sendiri yang diputar-putar di depan kepala bajak itu, dan selagi mereka masih ragu-ragu tiba-tiba tubuh ponggawa itu dilontarkan oleh Kertapati ke arah seorang pemegang senapan! Dan berbareng dengan melayangnya tubuh itu, ia sendiri lalu melompat mengikuti dan menubruk pemegang senapan yang satu lagi! Senapan ditembakkan, akan tetapi karena Kertapati telah memperhitungkan hal ini dan menubruk dengan gerakan dari samping, maka tembakan itu tidak mengenainya dan sebelum orang itu dapat menembak lagi, tangan kiri Kertapati telah menangkap pergelangan tangannya dan tangan kanan pemuda ini melayang ke arah dagu lawan.!

   Akan tetapi, ternyata bahwa pemimpin pasukan itu pandai pula bersilat. Dengan cepat ia dapat mengelak ke samping, akan tetapi terpaksa ia harus melepaskan senapannya yang oleh Kertapati lalu dirampas dan dipegang larasnya. Pada saat itu, pemegang senapan tang tadi tertimpa tubuh kawannya yang dilemparkan sehingga ia jatuh tunggang langgang di atas papan geladak, telah berdiri lagi. Secepat kilat senapan di tangan Kertapati diayun dan"Brak,"

   Senapan lawannya itu kena dihantam oleh gagang senapan Kertapati sehingga pecah berantakan! Kertapati tertawa dan melemparkan senapan rampasannya tadi ke laut!

   Kini kedua orang pemimpin pasukan itu telah berdiri dan mencabut klewang mereka! Dengan muka beringas dan kumis berdiri saking marahnya, mereka lalu melangkah maju dengan tangan kanan yang memegang klewang diangkat tinggi-tinggi sedangkan tangan kiri dikepal dan dirapatkan di atas pinggang. Inilah sikap atau kuda-kuda seorang ahli pencak yang pandai! Kertapati yang bertangan kosong menanti dengan tenang, tubuhnya berdiri dengan kaki kiri di depan kaki kanan di belakang, agak membungkuk dan sepasang matanya dengan tajam menatap dua orang lawannya. Seluruh urat-urat dalam tubuhnya menegang, siap menghadapi serbuan lawan-lawan itu! Pemimpin pasukan yang berkumis tebal tiba-tiba berseru keras an klewang di tangannya diayun an dibacokkan ke arah kepala Kertapati dengan kecepatan luar biasa sehingga bacokan itu mengeluarkan suara bersiutan!

   
Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kertapati tidak tergesa-gesa mengelak. Dengan tubuh tak bergerak dan mata waspada ia menanti datangnya klewang yang menyambar kepalanya dan setelah klewang it hampir mengenai kepala, barulah ia mengelak dengan sedikit gerakan saja. Ia miringkan tubuh dengan tiba-tiba dan mengerakkan kepalanya, maka senjata lawan itu menyambar di samping kepalanya mengenai angin. Pada detik berikutnya, tangan kiri Kertapati yang dibuka dan dimiringkan telaha menyambar ke arah siku lengan lawan yang memagang klewang! Akan tetapi ternyata si kumis tebal itu benar-benar pandai silat karena ketika membacok tadi, tangan kirinya sudah siap sedia melindungi tangan kanan maka begitu melihat tangan kiri Kertapati menyambar siku kanannya, ia telah dapat menangkis dengan tangan kiri melalui bawah siku itu!

   "Duk...!"

   Ketika dua lengan beradu dengan keras, si kumis tebal berseru kesakitan dan tubuhnya terdorong oleh tenaga pukulan Kertapati sehingga terhuyung-huyung ke belakang! Ia menjadi terkejut sekali karena merasa betapa lengannya seakan-akan beradu dengan kayu asam yang keras sehingga lengan kirinya terasa sakit sekali. Gerakan mengelak dari pemuda itu tadi membuat ia mklum bahwa lawannya adalah seorang ahli silat yang tinggi ilmunya,

   Karena menurut gurunya dulu, makin tinggi ilmu silat seseorang makin tenang dan cepat gerakannya dan hanya mengelak apabila serangan lawan telah datang dekat untuk kemudian dibarengi dengan pukulan balasan yang tiba-tiba dan mematikan! Kalau saja tadi ia tak berlaku cepat dengan tangkisannya, tentu siku kanannya telah terpukul dan kalau sikunya tidak terlepas sambungannya, sedikitnya klewangnya tentu akan terlepas dari pegangan! Sementara itu, orang kedua yang bermuka bopeng bekas dimakan penyakit cacar, ketika melihat gagalnya serangan kawannya, lalu menerjang maju dan kali ini menyerang dengan menusukkan klewangnya yang tajam dan runcing itu ke arah lambung Kertapati! Maksudnya hendak menyate tubuh pemuda itu dengan sekali tusukan.

   Kembali Kertapati memperlihatkan kesigapannya. Ia melihat berkelebatan ujung klewang mengarah lambungnya, maka dengan gerakan kakinya, hanya tubuh atasnya saja yang mendoyong ke kanan sehingga klewang lawan menusuk pinggangnya sebelah kiri. Saat itu, si kumis tebal telah melompat pula dan menggunakan kesempatan itu untuk membacok pula dengan klewangnya pada leher Kertapati yang tubuhnya masih miring! Agaknya ia ingin memengal leher pemuda itu bagaikan memenggal leher ayam saja. Namun Kertapati tidak menjadi gugup. Oleh karena ketika mengelak diri ke kanan tadi, ia tidak merobah kedudukan kakinya yang masih berada dalam pasangan kuda-kuda cawang, yaitu kedua kaki terpentang ke kanan kiri dengan betis tegak lurus, maka ketika klewang si kumis tebal membacok lehernya,

   Ia dapat menggerakkan kembali tubuhnya kepada kedudukan semula sebelum dibuang ke kanan dan secepat kilat tangan kirinya yang tadi diangkat ke atas mengelak dari tusukan klewang si muka bopeng, kini diturunkan dan dengan gerakan yang luar biasa dan berani sekali ia mengempit klewang si bopeng di bawah ketiaknya! Si muka bopeng melihat betapa lawan muda itu berani mengempit klewang yang tajam dan runcing, cepat membetot senjatanya. Akan tetapi, kalau tadi ia telah merasa girang dan hendak membuat kulit iga an lengan yang menegmpit klewangnya menjadi robek dengan betotan klwangnya yang tajam, kini ia merasa terheran-heran sekali karena klewangnya itu seakan-akan tercapit oleh catut besi yang kuat. Jangankan dengan satu tangan, bahkan ketika ia membetot dengan kedua tangannyapun, klewangnya ama sekali tak bergerak!

   Kertapati tertawa bergelak dan kaki kirinya menyabar ke arah dua tangan si muka bopeng yang terpaksa melepaskan kedua tangannya dan melompat mundur! Si kumis tebal yang tadi tak berhasil membacok leher, ketika melihat betapa klewang lawannya telah dapat dirampas, segera menyerang lagi dengan mambabi-buta. Klewangnya diobat-abitkan bagaikan kitiran angin cepatnya, menyerang bagian atas dan bawah tubuh Kertapati dengan tubuh jongkok berdiri. Dengan gerakan ini ia hendak membuat lawanya tiada berkesempatan mengelak lagi. Akan tetapi kini Kertapati telah mengambil klewang yang tadi dikempitnya. Ia menanti sampai berkelebat klewang si kumis tebal mendekati tubuhnya, kemudian ia menggerakkan klewang rampasan tadi sambil berseru keras,

   "Lepas senjata!!"

   Dua batang senjata tajam bertemu.

   "Traang!"

   Dan meluncurkan klewang dari tangan si kumis tebal bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Kebetulan sekali klewang itu meluncur ke arah Tumenggung Basirudin yang berdiri dengan penuh kegelisahan di depan pintu kamar perahu itu. Agaknya klewang yang terbang itu sebentar lagi akan menancap di dadanya tanpa dapat dicegah pula. Akan tetapi, tiba-tiba Kertapati yang melihat hal ini segera melontarkan klewang di tangannya yang secepat kilat menyambar menyusul klewang si kumis tebal tadi dan sebelum klewang itu mengenai tubuh Tumenggung Basirudin, telah tersusul dan terpukul kesamping oleh klewang yang dilontarkan oleh Kertapati! Tumenggung Basirudin menjadi pucat sekali dan segera menyerukan kepada semua ponggawanya yang telah terdesak hebat,

   "Berhenti...! Tahan semua senjata...! Kami menyerah!!"

   Mendengar seruan ini, Kertapati juga berseru kepada anak buahnya.

   "Tahan serbuan!"

   Akan tetapi, kedua orang pemimpin ponggawa yang telah kena dirampas klewangnya itu, ternyata masih merasa penasaran. Mereka adalh ahli-ahli pencak silat yang terkenal di Semarang dan mereka bertubuh tinggi besar dan bertenaga kerbau, masa mereka harus menyerah terhadap seorang pemuda yang tak berapa besar tubuhnya dan nampak lemah lembut ini?

   Di semarang nama Kertapati telah amat terkenal pula dan tadinya kedua orang inipun merasa gentar mendengar nama itu, akan tetapi kini setelah melihat orangnya, mereka merasa penasaran kalau sampai dikalahkan. Maka mereka lalu mempergunakan kesempatan pada waktu Kertapati sedang menengok ke arah anak buahnya untuk memberi perintah itu, dengan cepat keduanya lalu menubruk maju dan sepasang lengan mereka yang berurat bagaikan tambang dan panjang serta besar itu mmeluk tubuh Kertapati! Si kumis tebal dari kiri memeluk leher dan dada, sedangkan si muka bopeng dari kanan memeluk pinggang Kertapati. Jepitan dua pasang lengan ini kuat sekali, melebihi kuatnya belenggu besi, karena keduanya telah menggunakan pitingan yang mereka sebut "Talipati"

   Yakni yang maksudnya bahwa siapa yang telah terjepit kedua lengan ini pasti takkan terlepas lagi!

   "Kami telah dapat menangkapnya!"

   Si kumis tebal berseru girang.

   "Nah, berontaklah kau kalau mampu!"Teriak si muka bopeng dengan sombong. Sisa para pengawal menjadi girang melihat hal ini, sebaliknya siantara para anak buah bajak ada yang memanang dengan kuatir. Mereka ini belum mengenal betul pemimpin mereka, akan tetapi sebagain besar anggota bajak hanya memandang sambil tersenyum dan menggunakan tangan untuk mencegah mereka yang agaknya henak membantu Kertapati. Mereka memandang seakan-akan sedang menyaksikan pertandingan gumul yang menarik!

   Nampaknya Kertapati memang tak berdaya, Pemuda ini meronta ke kanan kiri mencoba untuk meloloskan diri, akan tetapi ia hanya merupakan seekor lalat kecil yang coba meloloskan diri dari sarang laba-laba yang menangkapnya! Terdengar suara gelak tertawa dari beberapa orang ponggawa yang melihat hal ini. Tak seorangpun menyangka, juga kedua orang kepala ponggawa yang memiting Kertapati itu, bahwa gerakan Kertapati tadi hanyalah untuk mengacaukan pengeraghan tenaga kedua lawannya saja. Dengan meronta-ronta itu tenaga lawannya terbagi dan kacau balau tak dapat di dipusatkan, kemudian terdengar pemuda itu menarik nyaring sekali dan ia bergerak ambil mengerahkan Aji Belut Putih. Aji Belut Putih inilah yang membuat Dursasana tokoh pewayangan dari para senopati Kurawa, terkenal sekali karena kelincahannya.

   Kedua orang pemimpin ponggawa yang menangkap tubuh kertapati itu tiba-tiba merasa betapa tubuh pemuda itu menjadi licin bagaikan belut an sebelum mereka tahu bagaimana pemuda itu bergerak, orang yang mereka piting itu telah merosot ke bawah dan terlepas dari pegangan dan kempitan mereka! Kertapati taidak mau berhenti sampai di situ saja, kedua tangannya bergerak dan "Plak! plak!"

   Telapak kedua tangannya telah menampar muka kedua orang itu sehingga membuat mereka merasa pedas mkanya dan mata mereka menjadi gelap yang membuat mereka terpaksa menutup kedua mata! Mereka lalu mengulur tangan ke depan dan menangkap sekenanya sehingga tanpa disadari mereka saling terkam dan saling piting!

   "Aduh, aduh! kau mencekik leherku!"

   Teriak si muka bopeng sambil terengah-engah dan sepuluh kuku jarinya mencengkeram ke depan.

   "Aduh...! Kumisku...! jangan tarik-tarik kumisku...!"

   Teriak si kumis tebal karena si muka bopeng dalam kebingunannya dicekik lehernya itu telah mencengkeram ke depan dan membetot apa saja yang kena ditangkapnya! Terdengar gelak tertawa dan kali ini yang tertawa adalah kawan-kawan Kertapati.

   Sebelum kedua orang kepala ponggawa itu insaf bahwa mereka telah saling jambak, tiba-tiba tangan Kertapati memegang dan mencengkeram rambut kepala yang berdekatan dan kedua kepala itu lalu dibenturkan satu kepala yang lain dengan kerasnya! Biarpun hidung merupakan anggota muka yang lunak, akan tetapi kalau saling dibenturkan dengan kuat-kuat, akan terasa sekali sakitnya. Apalagi kalau yang membenturkannya Kertapati, maka setelah terdengar suara "Blek!"

   Yang bagi telinga kedua orang itu terdengar bagaikan letusan gunung Merapi, kedua orang itu setelah dilepas lalu roboh pingsan dengan hidung mengeluarkan darah! Kini semua sisa ponggawa baru melihat dengan mata kepala sendiri kehebatan Kertapati, maka mereka berdiri dengan kaki mengigil, sedangkan Tumenggung Basirudin lalu berlari masuk ke dalam bilik perahu itu!

   "Rampas semua senjata. Jangan menggangu mereka yang tak menyerang!"

   Dia sendiri dengan sigapnya lalu melompat ke dalam bilik, menyusul Tumenggung tadi. Di dalam kamar itu nampak Tumenggung Basirudin, isterinya, dan anaknya, yakni seorang gadis cantik yang berdiri dengan tegak dan membelalak kedua matanya tanpa memperlihatkan rsa takut sama sekali. Inilah Dyah Winarti puteri Tumenggung Basirudin. Ia telah mendengar ribut-ribut tadi dan mendengar pula bahwa bajak laut Kertapati datang menyerbu, maka gadis yang tabah ini menghibur ibunya yang menangis ketakutan. Kini, melihat datangnya seorang pemuda baju hitam, gadis ini dengan heran berseru,

   "Ah, dia ini yang mendapat tusuk konde Roro Santi dulu!"

   "Sst, dialah Kertapati..."

   Bisik ayahnya yang berdiri menghadang di depan isterinya untuk melindungi mereka. Kemudian berkata kepada pemuda itu.

   "Kertapati, kau boleh ambil semua barang-barang kami, akan tetapi janganlah kau mengganggu anak isteriku!"

   "Siapa yang hendak mengganggu?"

   Kata Kertapati sambil tersenyum mengejek, akan tetapi tiba-tiba ia mendapatkan sebuah akal yang amat baik yang timbul dari seruan gadis itu. Gadis ini telah kenal kepada Roro Santi, dan selain itu, iapun memerlukan seorang yang dapat membawanya masuk ke Jepara pada saat penyerbuan kota itu. Maka ia lalu berkata.

   "Tumenggung Basirudin, aku tidak mau mengganggu anakmu, akan tetapi aku hendak meminjam sebentar."

   "Apa maksudmu?"

   Kertapati tertawa. Tentu saja ia tidak dapat memberitahu apa maksudnya dengan gadis itu.

   "Tumenggung Basirudin, kami datang untuk mengambil barang-barang berharga di perahu ini, dan anakmu akan kami jadikan tawanan agar kami dapat pergi dengan aman. Jangan kuatir, aku yang tanggung bahwa puterimu takkan terganggu oleh siapapun juga!"

   "Keparat, jangan ganggu anakku!"

   Tumenggung Basirudin berseru dan melangkah maju hendak menerjang. Akan tetapi sebuah dorongan tangan Kertapati membuat Tumenggung yang lemah itu jatuh tersungkur! Kemudian Kertapati hendak menendang tubuh itu, akan tetapi terdengar teriakan Winarti.

   "Jangan pukul! Aku akan ikut padamu!"

   Kertapati tersenyum lega ketika Tumenggung Basirudin hendak mencegah anaknya, Winarti berkata.

   "Rama, Kertapati bukanlah bajak laut sembarangan yang mau mengganggu wanita. Aku percaya kepadanya!"

   Demikianlah setelah perahu iti dirampok habis, para bajak laut lalu turun dan kembali ke dalam perahu. Mereka tak perlu takut untuk diserang dari atas perahu besar, oleh karena kini mereka mempunyai seorang tawanan yang menjadi tanggungan atau penjaga keamanan! Perahu-perahu kcil cat hitam itu lalu meluncur cepat, menghilang di dalam kegelapan malam mulai mendatang, membawa semua barang berharga dan juga Winarti yang duduk di dekat Kertapati tanpa takut-takut, bahkan menggunaka matanya untuk memandang kepada bajak laut muda itu dengan penuh kekaguman!

   "Siapakah namamu, manis?"

   Tanya Kertapati kepada gadis itu tanpa memandang wajahnya.

   "Diah Winarti,"

   Jawab gadis itu singkat.

   "Tadi kau menyebut nama Roro Santi, kenalkah kau kepada gadis itu?"

   Kini mata Kertapati menatapnya dengan tajam, dan heranlah pemuda itu melihat betapa sinar mata gadis itu memandangnya dengan halus dan mesra!

   "Tentu saja kukenal dia, akan tetapi kalau boleh kunasihatkan, tiada gunanya kau memikirkan dia!"

   

Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini