Ceritasilat Novel Online

Bajak Laut Kertapati 3


Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Apa maksudmu?"

   Kertapati bertanya sambil mengerutkan kening.

   Maksudku... sia-sia saja kau jatuh cinta kepadanya dan..."

   "Hai mengapa kau berani berkata selancang itu?"

   Kertapati membentaknya.

   "Siapa bilang bahwa aku... mencinta..."

   Winarti tersenyum memperlihatkan sebaris gigi yang kecil dan putih bersih.

   "Kau kira aku tidak melihatmu ketika kau hendak mengembalikan tusuk konde dulu itu? Aku duduk di dekat Roro Santi! Kau cinta kepadanya, hal ini mudah diterka, akan tetapi apakah kehendakmu itu akan tercapai, inlah soal yang sukar sekali! Pertama, Roro Santi adalah puteri Adipati Wiguna yang berpangkat tinggi, kedua gadis itu sekarang telah dipertunangkan dengan seorang Letnan Kompeni, ketiga, kau adalah seorang bajak laut yang dibenci. Maka kunasehatkan kau tadi bahwa tiada gunanya kau memikirkan dia!"

   Ucapan ini benar-benar menikam ulu hati Kertapati, sungguhpun ia merasa heran mengapa ia merasa hatinya sakit mendengar ucapan seperti itu. Winarti adalah seorang gadis yang berpemandangan tajam dan berperasaan halus, maka melihat kerut di kening Kertapati serta kemuraman yang menyelimuti sinar matanya, ia lalu berkata sengan suara menghibur,

   "Seorang tampan dan gagah seperti aku, masih muda pula, tak perlu merasa putus asa dan patah hati. Di dunia masih banyak puteri-puteri bangsawan yang cantik jelita!"

   Kertapati mau-tak-mau tersenyum juga mendengar ucapan ini. Alangkah tabahnya gadis ini. Sebagai seorang tawanan yang ebrada di tangan bajak-bajak laut, baukannya merasa takut, bahkan kini menjadi penasihat dan pengiburnya dalam hal asmara. Keberanian gadis itu membuat Kertapati menjadi agak gembira, maka sengaja ia melayani percakapan itu dan berkata,

   "Bukankah tadi aku bilang bahwa aku adalah seorang bajak laut yang dibenci? Puteri bagsawan mana yang sudi kepadaku?"

   Kini jawaban Winarti yang disertai pandang mata lembut dan penuh perasaan, benar-benar membuat Kertapati terkejut. Gadis itu berkata.

   "Banyak terdapat puteri-puteri bangsawan cantik jelita yang lebih menyinta seorang bajak laut yang muda, rupawan an gagah perkasa, daripada seorang teruna bagsawan atau pangeran yang bertubuh lemah, berpenyakitan, dan biasanya hanya mengumpulkan selir, sebanyaknya aja! Aku sendiri... akupun tidak suka dan benci sekali melihat pemuda bangsawan macam itu! Dan... bajak laut hanyalah merupakan nama saja, merupakan sebutan seperti halnya pakaian yang dipakai. Kalau pakaian itu ditinggalkan dibuang jauh-jauh di laut dan kemudian diganti dengan pakaian lain yang bersih, siapa yang akan tahu kalau Kertapati adalah bekas seorang bajak laut yang ditakuti? Dan aku... kiranya aku akan dapat menolongmu dalam hal ini, yakni... kalau kau kehendaki..."

   Tiba-tiba Kertapati tertawa bergelak.

   "Minggirkan perahu!"

   Katanya kepada anak buahnya yang mendayung perahunya. Para anak buahnya merasa heran mendengar perintah ini karena mereka msih jauh dari perkampungan yang makam hari ini akan dijadikan tempat persembunyian. Tapi mereka merasa girang melihat betapa Kertapati yang biasanya "Alim"

   Terhadap wanita itu, kini bahkan dengan tangan sendiri menculik seorang gadis. Dan melihat kecantikan puteri ini, diam-diam mereka mengharapkan agak kali ini Kertapati benar-benar akan memilih jodohnya! Maka, bukan main kecewa dan keheranan mereka ketika melihat bahwa setelah perahu menempel di tepi pantai, Kertapati lalu menarik tanagn gadis itu turun dari perahu dan berkata,

   "Nah, sampai di sini saja. Winarti! Dan tetang nasihatmu tadi... akan kupikir-pikirkan baik-baik. Terima kasih!"

   Sambil tertawa Kertapati lalu melompat ke atas perahunya lagi dan menyuruh anak buahnya mendayung pergi.

   "Kertapati! Jangan tinggalkan aku seorang diri di sini... aku takut!"

   Winarti berteriak-teriak sambil memandang ke sekelilingnya yang sunyi dan gelap,

   "Ha, ha, ha,! Kau tidak takut kepada bajak laut Kertapati, masa sekarang kau takut kepada malam gelap? Ha, ha, ha!"

   Terdengar suara ketawa Kertapati dan kawannya makin menjauh dan melenyap berbareng dengan lenyapnya bayangan perahu mereka. Winarti menjadi binggung. Kembali ia memandang ke sekelilingnya yang gelap. Sinar bulan yang suram muram mebuat pohon-pohon besar nampak bagaikan raksasa hitam tinggi besar dan angin laut yang tertiup membuat raksasa-raksasa itu bergerak-gerak seakan-akan handak menerkamnya. Winarti berlutut di atas pasir pantai dan menutupi kedua matanya dengan tangan, lalu menangis!

   "Dengar, kawan-kawan. Kalian harap lekas membawa barang-barang ini ke tempat kawan-kawan kita yang lain. Adakah persiapan untuk penyerbuan kota jepara yang akan kulalukan pada besok malam! Kerahkan semua kawan-kawan, bahkan tambahan bala bantuan dari kampung-kampung yang berdekatan. Kita harus memberi pukulan keras dan mendatangkan hasil yang besar kali ini agar cepat dapat kita kirimkan ke Mataram! Kalian boleh berkumpul di gerbang barat, menanti tiada yang akan kuberi dengan panah api."

   "Kau sendiri bagaiamana akan dapat masuk ke Jepara? Wajahmu telah dikenal dan setelah perahu Tumenggung Basirudin itu tiba di Jepara, tentu penjagaan akan diperkuat!"

   Kata seorang kawannya.

   "Mudah saja, aku sudah mempunyai "Kunci masuk"

   Yang merupakan seorang gadis cantik."

   Kawan-kawannya memandang heran, akan tetapi kemudian mereka dapat menduga, maka terdengar suara ketawa disana-sini. Kertapati lalu mengatur siasat penyerbuan itu dan memberi pesan kepada semua kawannya bagaimana harus menyerbu Jepara pada besok malam. Kemudian ia berkata.

   "Jangan lupa, kawan-kawan, karena mungkin aku tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengulang pesanan ini. Kelima ahli panah kita, Harjo, Wiro Mangun, Dibyo dan Kartiko, harus menyerang rumah penginapan Dolleman untuk menarik pertahanan kota di tempat itu. Serang sambil berpencar, tipu mereka dengan panah-panah kembar, dan jangan lupa bawa karung-karung pasir untuk tempat berlindung mereka."

   Setelah memberi pesan dengan teliti sekali, ia lalu berpaling kepaad seorang anggota bajak yang sudah agak tua, bertanya,

   "Dirun, kau bawa perabot-perabotmu?"

   "Ada, ada dalam saku bajuku,"

   Jawab orang itu.

   "Nah, mari kau robah mukaku, jangan terlalu muda, juga jangan terlalu tua, cukup saja untuk menarik kepercayaan seorang gadis tanpa menimbulkan jijik."

   Ia duduk di atas pasir dan Dirun mulai "Merobah"

   Muka kepala bajak muda itu dengan jari-jari yang amat cekatan.

   Pekerjaan ini dilakukan hanya dibawah penerangan beberapa batang obor yang mereka nyalakan. Winarti masih duduk ditepi laut seorang diri, kadang-kadang menangis, kadang-kadang mengibur diri sambil menarik napas panjang. Tak lama lagi, hari akan terang kembali dan aku bisa mencari jalan pulang atau minta tolong kepada orang kampung yang kujumpai di jalan, demikian ia menghibur diri sendiri dan menekan rasa takutnya. Akan tetapi kalau ia teringat kepada Kertapati, tak terasa air matanya mengalir turun kembali. Ia merasa amat kecewa, karena pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah perkasa itu agaknya sama sekali tidak tertarik kepadanya. Yang menyakitkan perasaannya ialah bahwa pemuda itu tidak menaruh kasian kepadanya! Alangkah kejamnya, meninggalkan aku seorang diri di tempat seperti ini.

   Ah, dia tidak berjantung, tidak berperasaan, tak kenal perikemanusiaan! Winarti mengomel panjang-pendek di dalam hatinya dan mencoba untuk menanam rasa benci di dalam hatinya. Akan tetapi, diam-diam ia harus akui bahwa tak mungkin baginya untuk membenci pemuda itu. Ia kagumi kegagahannya, dan wajah itu... terutama matanya yang tajam tak mau hilang saja dari bayang-bayang lamunannya! Ah, pikirnya sambil mengigit bibir, kalau dia berganti pakaian, berganti nama, dan menjadi... mantu ayahku, siapa yang akan menyangka bahwa ayahku, siapa yang akan meyangka bahwa dia adalah bajak laut Kertapati? Alangkah bahagianya bersuamikan seorang gagah perkasa... ah, akan tetapi ia sombong, sombong dan kejam! Aku benci padanya... benci! Ia menangis lagi. Tengah malam telah lewat dan keadaan makin sunyi membuat hati Winarti makin gelisah dan takut.

   Sebetulnya bukan tak ada orang sama sekali di sekitar tempat itu, karena semenjak tadi, di luar tahunya Winarti, ada sepasang mata yang tajam dan bersembunyi di balik bulu mata yang sudah keputih-putihan dan pelupuk mata yang agak sipit dan berkeriput. Ini adalah mata seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang petani, baju biru panjang penuh tambalan, celana panjang sampai bawah lutut, juga penuh tambalan, rambutnya yang telah banyak uban itu tertutup oleh sehelai ikat hitam dan sarungnya diselempangkan pada pundak kirinya. Kakek ini berdehem perlahan dan muncul dari tempat persembunyiannya. Winarti yang sedang menangis terkejut sekali hingga serentak ia bangun berdiri. Akan tetapi, ketika ia melihat seorang setengah tua berdiri tak jauh dari situ, ia menjadi setengah tua berdiri bertindak menghampiri ia berkata.

   "Pak tua... kau tolonglah aku..."

   Kakek itu melihat di bawah sinar bulan yang suram betapa seorang gadis cantik berlari kepadanya, maka ia segera membelalakkan matanya dan nampak terkejut sekali.

   "Ya Jagat Dewa Patara...!"

   Ia memuji.

   "Bagaimana di tempat seperti ini muncul seorang kuntilanak? Hai iblis! Pergilah dan jangan ganggu Pak Sumpil! Aku sudah tua dan takkan tertarik oleh kecantikanmu!"

   Sambil berkata demikian, kakek itu mengangkat kedua tangannya seakan-akan ia berdoa! Sungguhpun ia tadi baru saja menangis, akan tetapi melihat kelakuan kakek itu, Winarti tertawa terkekeh-kekeh sehingga kakek itu makin ketakutan dan mundur dua langkah.

   "Pak tua... atau Pak Sumpil kalau memang itu namamu. Aku bukan kuntilanak! Lihatlah, apakah punggungku bolong?"

   Sambil berkata demikian, Winarti lalu memutar tubuhnya memperlihatkan punggungnya yang halus, bersih dan sama sekali tidak bolong.

   "Bukan kuntilanak...? Maaf... kalau begitu, siapakah den ajeng ini? Mengapa seorang wanita muda seperti den ajeng berada di tempat ini pada saat seperti ini?"

   Kakek itu menghampiri dengan membungkuk-nungkuk memberi hormat.

   "Saya adalah puteri Tumenggung Basirudin di Jepara. Siapakah kau, pak? Apakah namamu Pak Sumpil?"

   Kakek itu nampak tertegun mendengar bahwa puteri ini adalah anak seorang tumenggung, maka ia segera memberi hormat dan berkata.

   "Memang benar nama hamba Pak Sumpil, karena selain menjadi petani, hamba suka mencari dan mengumpulkan sumpil (keong kecil), maka hamba disebut Pak Sumpil. Mengapa den ajeng berada di tempat ini seorang diri?"

   Dengan girang karena telah bertemu dengan seorang dusun, Winarti lalu menceritakan bahwa ia telah diculik oleh bajak laut Kertapati dan diturunkan di situ.

   "Maka, harap kau suka tolong aku, Pak Sumpil. Antarkan aku ke Jepara, ayah tentu akan memberi hadiah besar kepadamu!"

   Pak Sumpil segera menyanggupi dan berkata,

   "Karena malam gelap. Lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi, den ajeng, lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi, den ajeng. Kalau den ajeng suka, dan den ajeng boleh mengaso atau tidur, hamba yang menjaga."

   Akan tetapi Winarti tak dapat tidur, dan setelah Pak Sumpil membuat api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk, ia malah mengajak kakek itu bercakap-cakap.

   "Telah lama hamba dan sekalian saudara-saudara di kampung mendengar nama bajak laut Kertapati. Bahkan belakangan ini orang-orang mengabarkan bahwa bajak laut itu hendak menikah dengan seorang puteri Jepara yang ebrnama Roro Santi! Betulkah berita ini, den ajeng?"

   "Bohong! Bagaimana seorang bajak laut yang jahat bisa menikah dengan seorang puteri Adipati? Menggelikan! Andaikata Roro Santi sendiri setuju, tak mungkin ayahnya memberi ijin. Pula, Adipati Wiguna telah memberikan puterinya itu kepada letnan Kompeni, mereka sudah bertunangan!"

   Kakek itu nampak kaget.

   "Apa?? Menikahkan puterinya dengan seorang Kompeni? Aneh benar!! Belum pernah hamba mendengar berita seaneh ini selama hamba hidup."

   "Ini kehendak Adipati Wiguna, siapa bisa menghalanginya?"

   "Apakah den ajeng Roro Santi juga sudah setuju dinikahkan dengan seorang Belanda yang bermata biru dan berambut kuning?"

   Winarti menggeleng kepalanya.

   "Jangankan kepada seorang letnan Kompeni, bahkan pada tunangannya yang dulupun, Roro Santi tidak pernah merasa suka. Padahal tunangannya yang dulu, Raden Suseno, adalah seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah!"

   "Seorang gadis yang keras hati dan tak mudah jatuh cinta..."

   Kakek itu berkata perlahan.

   "diwaktu hamba masih muda dulu, pernah hamba bertemu dengan seorang gadis seperti itu."

   "Benarkah, Pak Sumpil? Tentu pengalamanmu banyak sekali tentang watak-watak wanita, bukan? Kau agaknya bukan seorang alim di waktu mudamu, pak!"

   Kakek itu tertawa bergelak.

   "Ah, hamba hanyalah seorang dusun, dan wanita-wanita yang hamba kenalpun hanya perempuan-perempuan tani dan nelayan."

   "Menurut pendapatku, pak, seorang gadus seperti Roro Santi itu kalau sudah menjatuhkan hatinya kepada seseorang, akan dibelanya sapai mati!"

   Setelah mendengar ucapan Winarti yang terakhir ini, kakek itu nampak tak ingin banyak bicara lagi dan Winarti yang kini tidak merasa takut lagi lalu menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan tertidur. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Winarti diantar oleh Pak Sumpil menuju ke Jepara. Akan tetapi, oleh karena perjalanan melalui hutan dan jalan yang amat sukar, sedangkan sebagai puteri bangsawan Winarti tak biasa berjalan jauh, maka perjalanan itu makan waktu sampai sehari! Gadis itu sama sekali tidka tahu bahwa kalau sekiranya mereka mengambil jalan langsung dan tidak berputar-putar dulu, tak sampai setengah hari mereka akan sampai di Jepara.

   Menjelang senja mereka memasuki gerbang pintu Jepara dan para penjaga ketika melihat Winarti diantar pulang oleh seorang petani itu, menjadi girang sekali. Segera mereka memberitahukan hal ini kepada Tumenggung Basirudin yang segera datang menjemput puterinya Winarti bertangis-tangisan dengan ayah-ibunya dan ketika kedua orang tuanya itu mendengar bahwa puteri mereka selamat dan tidak terganggu oleh bajak laut kertapati, mereka merasa bersukur sekali. Winarti menuturkan jasa Pak Sumpit yang mengantarkan sampai ke kota Jepara, maka dengan berterima kasih sekali Tumenggung Basirudin lalu memberi hadiah uang dan pakaian. Pak Sumpit mengucapkan banyak terima kasih, kemudian ia diperkenankan untuk bermalam di situ, mendapat tempat di bagian para nelayan. Akan tetapi Pak Sumpit menyembah dan mengajukan permohonan.

   "Gusti Tumenggung, banyak terima kasih hamba haturkan atas segala kurnia paduka kepada hamba yang sesungguhnya tidak melakukan sesuatu yang patut diberi jasa. Hamba adalah seorang dusun yang baru pertama kali semenjak puluhan tahun yang lalu melihat kota Jepara yang demikian indah. Oleh karena itu, karena besok pagi-pagi hamba harus kembali ke pondok hamba karena kuatir kalau-kalau anak cucu hamba mencari-cari, apabila diperkenankan, malam hari ini hamba tak hendak tidur. Hamba ingin menikmati keindahan kota Jepara dan berjalan-jalan di kota."

   Semua orang tertawa mendengar ini.

   "Tentu saja boleh, Pak Sumpil. Bahkan pintu samping akan kusuruh buka saja sehingga sewaktu-waktu kau datang, kau dapat terus masuk ke belakang,"

   Jawab Tumenggung Basirudin ramah.

   Pak Sumpil lalu minta diri dan keluar dari gedung tumenggung. Dengan langkah perlahan dan memandang ke kanan kiri dengan penuh kekaguman, berjalan-jalan seorang diri di kota Jepara. Seorang penunggang kuda lewat cepat di dekatnya. Pak Sumpil menengok memberi isarat dengan tangan kirinya. Penunggang kuda itu lewat terus seakan-akan tidka melihatnya, akan tetapi tak lama kemudian ia datang kembali dan melemparkan segulung kertas yang jatuh dekat kaki Pak Sumpil. Kakek ini berhenti berjalan, mengeluarkan slepai tembakaunya. Ketika ia menyalakan sebatang rokok klobot, tiba-tiba slepainya terlepas dari tangan. Ia mengambilnya dan kertas gulungan itupun terbawa oleh jarinya. Lalu ia melanjutkan perjalanannya sambil tunduk membaca tulisan di kertas gulungan itu, yang hanya sebaris. Kawan-kawan siap, gerbang selatan lemah. Kita serbu di sana.

   "Bagus, Jiman!"

   Kertapati tersenyum, karena kakek atau Pak Sumpil itu sebenarnya memang Kertapati sendiri yang menyamar dan mempergunakan Winarti sebagai "Perisai"

   Atau "Kunci masuk"

   Sehingga ia dapat memasuki Jepara tanpa banyak menimbulkan kecurigaan. Jiman sendiri tadi tidak mengenalnya, demikian sempurna samaran yang dilakukan oleh Kertapati itu, akan tetapi ketika melihat tanda isarat yang diberikan oleh Kertapati, barulah Jiman mengenalnya.

   Pembantu ini memang semenjak tadi telah merasa gelisah karena tidak melihat Kertapati yang menurut kata kawan-kawan berada di dalam kota. Setelah membaca surat itu yang lalu disobek-sobek dan dimasukkan ke saku bajunya untuk disebar di sepanjang jalan sedikit demi sedikit. Kertapati lalu melanjutkan perjalanannya dengan langkah perlahan dan lemah menuju ke selatan. Memang benar sebagaimana laporan Jiman, yang menjaga di gerbang ini hanya tiga orang penjaga. Pada saat Kertapati tiba di situ, Jiman telah mendahuluinya dan kini pembantunya itu nampak sedang bercakap-cakap dengan mereka. Jiman adalah seorang pembantu Letnan Dolleman yang banyak dikenal oleh para penjaga.

   "He, pak tua!"

   Jiman menegur ketika Kertapati berjalan dekat pintu gerbang.

   "Kau hendak pergi ke mana?"

   Sambil terbatuk-batuk seperti seorang kakek yang menderita penyakit mengguk, Kertapati berjalan terseok-seok menghampiri mereka, kemudian berkata.

   "Aku... adalah Pak Sumpil yang tadi mengantarkan pulang puteri Gusti Tumenggung. Waah, aku mendapat hadiah banyak sekali, coba lihat hadiah ini, alagkah indahnya..."

   Sambil berkata demikian ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menggenggam dengan kedua tangan. Tiga orang penjaga menjadi tertarik hatinya dan karena hadiah yang dikeluarkan dari saku itu agaknya kecil sekali sehingga tidak nampak dari tempat mereka,

   Mereka bertiga lalu melangkah maju untuk melihat benda di dalam kedua tangan kakek itu. Akan tetapi, alagkah kaget mereka ketika melihat bahwa kedua tanagn itu kosong tak terisi apa-apa! Selagi mereka hendak menegur, secepat kilat kedua lengan Pak Sumpil bergerak dan tahu-tahu leher dua orang penjaga telah dijepit dengan lengannya sedemikian kerasnya sehingga tak dapat mengeluarkan teriakan sama sekali. Pada saat itu juga, Jiman telah memukul kepala penjaga ketiga dengan gagang kerisnya sehingga penjaga itu roboh pingsan. Setelah membuat ketiga orang penjaga itu tak berdaya dan menyeret tubuh mereka ke dalam semak-semak di dekat gardu, Kertapati dan Jiman lalu membuka pintu gerbang. Jiman lari ke kudanya dan mengambil busur dan anak panah.

   Tak lama kemudian, dari gerbang itu meluncurlah anak panah yang dipasangi api keluar dari pintu gerbang. Mereka menanti sebentar dan tak lama kemudian berserabutanlah kawan-kawan mereka berlari datang dari balik-balik pohon. Tanpa banyak ribut karena memang telah diatur terlebih dahulu, mereka memecah rombongan menjadi beberapa bagian, mendatangi gedung-gedung besar yang telah menjadi bagian masing-masing! Suasana sunyi senyap, akan tetapi tak lama kemudian, ributlah seluruh Jepara oleh bunyi kentungan yang dipukul bertalu-talu dan bersaut-sautan. Titir! Tanda ada perampok menyerang kota. Akan tetapi rumah manakah yang dirampok? Demikian banyaknya kentungan berbunyi pada saat yang sama! Para penjaga menjadi panik dan tiba-tiba terdengar tembakan-tembakan senjata api di gedung tempat para Kompeni bermalam!

   Berlari-larilah para penjaga ke tempat itu dan hanya beberapa orang penjaga saja yang mendatangi rumah-rumah yang didatangi perampok, karena sebagaian besar berlari menuju ke arah datangnya suara senjata api. Mereka merasa lebih aman berlindung di belakang Kompeni yang bersenjata api! Para penjaga dan Kompeni menjadi panik ketika rumah itu diserang dengan anak-anak panah yang meluncur itu, dapat diguga bahwa fihak penyerang sedikitnya tentu ada dua puluh orang. Kompeni yang berada di dalam rumah itu hanya ada dua belas orang, termasuk Dolleman yang memaki kalang kabut. Letnan ini lalu memimpin kawan-kawannya untuk menembak ke arah penyerbu, akan tetapi para penyerbu itu selain berlindung di balik batang-batang pohon, juga ternyata membawa karung-karung pasir yang ditumpuk-tumpuk di dekat pohon itu!

   "Setan jahanam!"

   Seru Dolleman marah sekali.

   "Bagaimana mereka dapat masuk ke kota?"

   Ketika mendengar bahwa mereka datang dari pintu selatan, Dolleman makin marah. Telah lama ia mencurigai Jiman dan malam hari ini adalah giliran Jiman untuk melakukan pengawasan terhadap para penjaga! Sementara itu, para anak buah bajak laut dengan mudah telah dapat memasuki gedung-gedung bagian mereka dan mengambil harta benda yang dapat mereka bawa. Kertapati sendiri dengan dikawani oleh empat orang kawannya, menyerbu ke gedung Wiguna dan beberapa orang penjaga yang masih berada di situ dengan mudah saja dapat mereka bikin tak berdaya. Adipati Wiguna sekeluarga bersembunyi di dalam kamar mereka karena ketika Adipati Wiguna hendak ikut menghadapi perampok, ia dipegang oleh isterinya yang mencegahnya.

   "Biarlah mereka membawa semua harta benda, apakah artinya itu bagi kita? Kalau kau sampai terkena bencana, bagaimanakah dengan kami?"

   Isterinya mencegah, juga Roro Santi mencegah ayahnya. Kertapati setelah berhasil mengabil barang-barang berharga yang terbuat daripada emas, lalu memimpin kawan-kawannya untuk meninggalkan gedung itu, akan tetapi ia bertemu dengan seorang kawannya yang terluka pada pundaknya.

   "Wiji! Kau terluka? Bagaimana kawan-kawan?"

   "Celaka, Kertapati! Lima orang kawan kita yang menyerburumah Kompeni telah tertawan!"

   Kagetlah Kertapati mendengar ini. Lima orang ahli panahnya tertawan? Dengan depat Wiji menuturkan bahwa kelima orang itu telah kena tipu oleh Dolleman. Ketika Jiman datang ke tempat itu, tiba-tiba ia ditodong oleh Dolleman dan dipaksa untuk mengambil jalan memutar, menghampiri lima orang ahli panah itu. Mereka tidak mau memanah melihat Jiman, tidak tahunya di belakang Jiman ini terdapat Dolleman dan seorang lain yang memegang senjata api! Untuk menyerang Kompeni itu, tentu tubuh Jiman yang dijadikan perisai akan terkena, maka terpaksa di bawah todongan Dolleman dan kawannya, kelima orang ahli panah itu mengangkat tangan dan tertawan!

   "Keparat!"Seru Kertapati."Beri tanda agar semua segera berlari keluar!"

   Setelah Wiji berlari pergi untuk menjalankan perintah ini. Kertapati sendiri lalu berlari masuk kembali ke gedung Adipati Wiguna! Alangkah kagetnya hati Adipati Wiguna sekeluarga ketika tiba-tiba pintu kamar itu tertendang dari luar dan masuklah seorang pemuda baju hitam dengan keris di tangan!

   "Kertapati!"

   Terdengar Adipati Wiguna dan Roro Santi berseru hampir berbareng.

   "Diam dan jangan bergerak!"

   Kertapati mengancam.

   "Kawan-kawanku tertawan, dan Roro Santi kujadikan tawananku untuk kelak ditukar!"

   Sebelum semua orang sadar, ia telah menubruk maju dan cepat sekali tubuh gadis itu telah berada dalan penodongannya. Adipati Wiguna hendak menyerang, akan tetapi Kertapati membentak.

   "Kau tidak sayangi jiwa anakmu sendiri?"

   Kerisnya diangkat dan ditempelkan ke arah dada Roro Santi, sehingga Adipati Wiguna melangkah mundur lagi dengan pucat. Kertapati lalu melompat dan menghilang ke dalam gelap, gadis itu meronta-ronta dalam pondongannya! Geger dan ributlah kota Jepara dengan adanya serangan itu. Setelah para penyerang itu melarikan diri jauhm barulah para penjaga itu mencari-cari dan memburu ke sana ke mari! Ketika Kertapati berkumpul dengan anak buahnya, ternyata bahwa dua orang kawan mereka tewas, tiga dengan Jiman yang ditembak mati oleh Dolleman, empat orang luka-luka dan lima orang ahli panah tertawan! Akan tetapi hasil rampasan mereka amat banyak dan mereka membayangkan betapa akan gembiranya Trunajaya menerima bantuan ini!

   "Kau... pemuda yang berahlak rendah! Kau ksatria yang sesat dan membikin malu nama keluargamu sendiri!"

   Di dalam gubuk tempat ia ditahan, Roro Santi berdiri dan menudingkan, jari telunjuknya ke arah muka Kertapati yang telah meninggalkan samarannya, Wajah gadis itu merah dan matanya bersinar-sinar, memandang dengan penuh kemarahan. Kertapati duduk di atas sebuah bangku, menatap wajah Roro Santi dengan penuh kekaguman, Alangkah indahnya mata itu kalau sedang marah, memancarkan cahaya berapi-api. Alis yang kecil panjang menghitam itu lebih manis lagi ketika dikerutkan. Bagaikan terpesona Kertapati menatap bibir yang bergerak-gerak, mencela dan memakinya itu.

   "Sudah cukupkah? atau masih ada lagi? Kalau masih ada, teruskan, nanti datang giliranku!"

   Jawabnya sambil tersenyum dan Roro Santi merasa agak binggung melihat senyum itu. Senyum itu nampak demikian manis dan manarik hatinya sehingga diam-diam ia merasa kemarahannya memuncak.

   "Kau pemuda tidak tahu malu! Orang gagah perkasa yang rendah budi membikin malu bangsa sendiri! Kau menbajak, merampok, bahkan berani menculik puteri-puteri bangsawan! Pekerjaan apakah yang lebih rendah daripada semua kejahatan yang kaulakukan itu?"

   Kertapati mendengarkan sambil tersenyum dan mengangguk-angguk. Kau menculik Winarti dan menghinanya! Sekarang kau tidak hanya merampok penduduk Jepara termasuk atahku, akan tetapi juga berani menculik aku! Kau mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kami, sekarang aku sudah kau tawan, mau bunuh lekas bunuhlah!"Sambil mengangkat dadanya Roro Santi memandang dengan menantang, akan tetapi dari dua matanya melompat keluar dua titik air mata!

   "Sudah cukupkah?"

   Kata Kertapati dengan suara halus dan tenang. Sekarang giliranku. Kau tadi bertanya apakah ada kejahatan yang lebih rendah daripada perbuatanku? Banyak! Perbuatan orang tuamu, perbuatan para bangsawan di Jepara, bahkan perbuatanmu sendiri jauh lebih rendah!"

   "Apa katamu? Perbuatanku yang mana yang kau anggap rendah?"

   "Sebagai seorang puteri bangsawan, seorang imat Islam pula, kau telah menyediakan dirimu untuk menjadi jodoh seorang kafir, seorang Belanda yang banyak mendatangkan malapetaka bagi bangsa kita sendiri!"

   "Keparat! Jangan sembarangan membuka mulut! Siapa sudi menjadi jodohnya? Aku... aku tidak sudi!"

   "Akan tetepai kau tidka melawan kehendak ayahmu. Pertunaganmu dengan Dolleman bukan rahasia lagi!"

   
Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku... aku terpaksa, harus tunduk kepada ayahku, dan... dan hal ini sama sekali bukan urusanmu, kau perduli apa?"

   Kembali dara itu memandang marah dengan mata menantang.

   "Tentu saja aku perduli! Orang lain yang manapun kalau hendak dijodohkan dengan mata-mata Kompeni musuh kita itu, tentu membuat hatiku tak seneng. Apalagi... kau!"

   "Kalau aku mengapa!"

   "Kau... kau... aku harus melarang hal ini terjadi, biarpun akan kuhalangi dengan nyawaku. Aku rela kau menjadi jodoh keparat Kompeni itu atau... jodoh siapa saja!!"

   "Kau gila! Ada hak apakah kau atas diriku maka kau berani berkata demikian?"

   "Hal yang timbul karena perasaan kita, perasaanku dan perasaanmu. Santi, ikatan hati kita tak akan putus sedemikian mudahnya!"

   Roro Santi memandang dengan mata terbelalak.

   "Apa maksudmu...?"

   Kini wajah Kertapati nampak bersungguh-sungguh. Lenyaplah senyum mengejek tadi dari bibirnya dan matanya yang tadi berseri jenaka kini berubah sayu dan pandang matanya mesra ditujukan ke arah wajah gadis itu.

   "Santi, semenjak kau memberi tusuk konde itu... kita saling mencintai. Kau tahu akan hal ini sama baiknya dengan aku, dan jangan kau menipu hatimu sendiri!"

   "Tidak...! Bohong... Tak mungkin aku menyita seorang bajak, seorang perampok, lebih-lebih... seorang penghianat yang mencelakakan bangsa sendiri!"

   "Diam!"

   Kertapati membentak marah dan melompat lalu memegang kedua pundak Roro Santi.

   "Dengarlah, gadis...! Kau boleh menyebut aku apa saja akan tetapi jangan sekali-kali menyebutku penghianat. Aku tidak mau! Apalagi kalau keluar dari mulutmu dan mulut orang-orang yang bersekutu dengan Belanda! Kau mau dipertunagkan dengan Kompeni, ayahmu bersetia kepada Sunan yang untuk mempertahankan gelar dan singgasana, rela membuat kita diperbudak oleh orang-orang kafir! Apakah orang-orang macam kalian itu patut menyebutku seorang penghianat?"

   Sambil berkata demikian, dalam kemarahannya Kertapati mengguncang-gguncang kedua pundak Roro Santi yang tak berdaya dalam pegangan sepasang tangan yang kuat itu sehingga gadis ini mulai menangis! Melihat air amata yang membanjir keluar dari kedua mata Roro Santi, lemaslah tubuh Kertapati dan kekerasan hatinya hancur luluh sama sekali. Tanpa disadarinya, tangannya masih memegang pundak gadis itu, menarik tubuh itu ke dadanya dan sesaat kemudian ia mendekap kepala dan dada orang yang dikasihinya itu ke dada! Bagaikan terkena pesona dan hilang ingatan, untuk beberapa lamanya Roro Santi menangis sambil menyandar keningnya pada dada yang bidang dan kuat itu. Hal ini mendatangkan rasa damai dan tentram kepadanya.

   "Kalau saja... kau bukan bajak laut Kertapati... dan aku... Aku bukan Roro Santi puteri seorang Adipati..."

   Bisiknya perlahan. Kertapati tidak menjawab, hanya mempererat dekapananya. Akan tetapi, tiba-tiba Roro Santi merenggutkan tubuhnya dari pelukan itu dan berkata dengan wajah pucat,

   "Tidak... tidak!! Ini tidak mungkin! Kertapati kaudengarlah baik-baik karena kurasa kau mesih mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menimbang dengan adil. Jangan kau kira bahwa aku demikian gila dan suka kepada Kompeni juga mendengar percakapan-percakapan antara ayah dan ibu, mereka juga tidak suka kepada Kompeni! akan tetapi, ayah adalah seorang ponggawa kerajaan yang harus setia kepada junjungan. Dan aku... aku adalah puteri tunggal dari orang tuaku, maka aku betapapun juga harus berbakti dan tunduk. Aku tahu bahwa ayah dan ibu tidak begitu gila untuk mempertunangkan aku dengan Kompeni itu apabila tidak ada hal yang amat memaksa mereka. Dan kalau menolak... pasti ayah akan mendapat bencana! Sebagai seorang anak yang berbakti, tentu saja aku harus membela orang tuaku, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa!"

   "Lebih baik berkorban nyawa daripada mengurbankan kesucianmu sebagai gadis bangsawan yang beribadat kepada seorang Kompeni!"Kata Kertapati gemas.

   "Apa kau kira aku akan tunduk begitu saja, Kertapati? Aku tunduk hanya untuk membela orang tuaku, akan tetapi, Dolleman hanya akan dapat menjamah mayatku!"

   Sambil berkata demikian Roro Santi berdiri tegak dengan kepala dikedikan. Wajahnya ang masih basah air mata itu nampak pucat, akan tetapi membayangkan kegagahan dan ketabahan hati

   "Santi, alangkah gagahnya kau! Hatiku tidak rela melepasmu untuk menjadi korban keganasan Kompeni dan ketamakan ayahmu! Jangan kau pergi meninggalkan aku, Santi!"

   "Akan tetapi ayahku..."

   "Ayamu membela fihak yang sesat, jangan dipikirkan lagi!"

   Roro Santi memandang marah.

   "Kertapati! Tentu saja kau tidka mengerti tentang cintakasih antara orang tua dna anak, tidak kenal akan rasa bakti terhadap orang tua di dalam hati anak! Agaknya kau... kau tak pernah berbakti kepada orang tuamu! Oleh karen aitu agaknya maka kau tersesat dan menjadi seorang bajak, seorang perampok!"

   Tiba-tiba pucatlah wajah Kertapati. Bibirnya gemetar, ternyata bahwa ia sedang menderita pukulan batin dan menahan keperihan hati yang hebat mendengar ucapan itu. Kemudian katanya perlahan,

   "Santi, ayah, ibu, semua saudaraku telah tewas karena peluru senapan Kompeni di banten. Kebaktian apalagi yang dapat kulakukan selain memusuhi Kompeni dan kaki tangan serta sekutunya?"

   "Oh... maafkan aku, Kertapati,"

   Kata Roro Santi dengan suara perlahan dan terharu, dan kini pandangannya terhadap pemuda itu sama sekali berobah.

   "Jangan kau kira bahwa semua hasil rampokan dan rampasan yang kulakukan bersama anak buahku itu kami pakai untuk kepentingan sendiri. Tidak! Semua harta benda yang kami dapatkan, kami kirim untuk mambantu pemberontakkan-pemberontakan para pemimpin rakyat terhadap Kompeni. Maka, janganlah kau memandang terlampau rendah dan hina kepadaku, Santi..."

   Suara Kertapati bukan bersifat menyombong, bahkan terdengar sebagai seorang terdakwa yang membela diri dan minta dikasihani.

   "Kertapati... Kertapati..."

   Kata Roro Santi perlahan sambil memandang dengan air mata berlinang.

   "Sekarang aku merasa menyesal mengapa aku dilahirkan sebagai seorang puteri bangsawan... Aku ingin menjadi seorang gadis dusun agar dapat... membantumu...!"

   "Santi...!"

   Kertapati melangkah maju dan kembali memeluk dara itu yang kini telah menyerahkan hatiku bulat-bulat terhdap pemuda yang memang semenjak pertemuan pertama kali telah menarik hatinya itu. Pada saat itu, dari luar pintu rumah terdengar panggilan,

   "Kertapati!"

   Sepasang teruna remaja itu cepat-cepat memisahkan diri dan melepaskan pelukan.

   "Masuklah, Karim!"

   Kata Kertapati yang mengenali suara kawannya itu. Seorang pemuda bertubuh kecil masuk dan matanya mengerling ke arah Roro Santi yang memandangnya dengan tenang. Kalau Karim memiliki mata tajam, tentu ia akan melihat betapa mata gadis itu berbeda sekali dengan kemarin nampak sedih dan amrah, kini nampak berseri-seri dan seakan-akan cahaya baru timbul dari manik matanya!

   "Kompeni mengumumkan bahwa kelima orang kawan kita yang tertawan, akan dibebaskan apabila kita megembalikan puteri Adipati ini. Kompeni mengajak bertukar tawanan, satu lawan lima!"

   "Baik."

   Kertapati mengangguk.

   "Siapkan kudaku!"

   Karim keluar lagi dengan muka girang karena kawan-kawannya yang tertawan akan dibebaskan kembali. Setelah Karim pergi Kertapati duduk dengan muka muram dan kening dikerutkan, sikap yang belum pernah nampak pada diri anak muda ini sebelum Roro Santi masuk ke lubuk hatinya! Pemuda ini biasanya berani, tabah, gembira dan tak pernah menyusahkan sesuatu, akan tetapi sekarang, baru saja ia bertukar kasih dengan Roro Santi, ia sudah menderita kekawatiran, kesedihan dan kebingungan karena perpisahan dari kekasihnya ini! Dalam hal ini, ada betulnya juga kata setengah orang bahwa penderitaan laki-laki datang dari wanita! Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa segala kebahagiaan laki-laki timbul dari wanita pula! Roro Santi mklum akan jalan pikiran Kertapati, maka ia lalu mendekat dan menaruhkan tangannya ke atas pundak kepala bajak yang duduk di atas bangku itu.

   "Kertapati, kedudukan dan kebaktian kira merupakan jurang yang lebar dan dalam yang memisahkan kita. Akan tetapi, jangan kau gelisah. Sebagaimana yang telah kau katakan tadi, orang macam Dolleman atau laki-laki yang manapun juga, hanya akan dapat menjamah tubuhku yang sudah menjadi mayat!"

   Kertapati berdiri dan memegang tangan gadis itu. Sepuluh jari tangan mereka saling genggam erat-erat merupakan sumpah atau janji bisu yang tak terdengar oleh telinga akan tetapi telah mengukir di dalam hati masing-masing.

   "Santi, kau memberi kekuatan kepadaku untuk melanjutkan tugasku, bahkau kau menjadi penambah semangat bagiku! Karena aku tahu bahwa sungguhpun kau berdiri di seberang sana, akan tetapi hatimu berada di dekatku selalu. Jangan kuatir, kekasihku, siapapun orangnya yang berani mengganggumu, akan berhadapan dengan Kertapati, dan akan merasakan pembalasan tangan Kertapati! Kita pasti akan, bertemu kembali Santi!"

   Sambil menekan tangan pemuda itu Roro Santi berkata dengan air mata berlinang.

   "Pasti Kertapati, akupun yakin akan hal ini!"

   Kuda telah dipersiapkan dan Kertapati berkata kepada kawan-kawannya yang berada di depan rumah itu.

   "Kawan-kawan, aku sendiri akan mengantarkan puteri ini kembali ke Jepara, untuk ditukar dengan lima orang kawan-kawan kita!"

   "Akan tetapi, baagaimana kalau ini merupakan suatu perangkap untukmu, Kertapati?"

   Kata seorang kawannya. Pemuda itu tersenyum.

   "Mereka takkan mencelakakan [uteri ini, dan kalian tahu bahwa aku tak begitu bodoh untuk mudah saja masuk dalam perangkap seperti seekor tikus!"

   Dengan sigapnya, ia lalu membantu Roro Santi naik ke atas kudanya yang ebrbulu dawuk (kelabu) kemudian ia melompat di belakang gadis itu dan membalapkan kudanya yang berlari congklang.

   "Alangkah senengnya hidupku apabila setiap hari aku dapat bersama kau menunggang kuda seperti sekarang ini!"Kata Kertapati sambil menghela napas. Mendengar ucapan ini, Roro Santi juga menarik napas panjang. Setelah tiba di luar pintu gerbang, Kertapati menahan kudanya.

   "Hati-hati Kertapati, aku kuatir kalau-kalau Kompeni akan menipumu,"

   Berkata Roro Santi engan tubuh gemetar. Akan tetapi pada saat itu, dari pintu gerbang muncul sepasukan penjaga dan beberapa orang serdadu yang dikepalai oleh Dolleman sendiri. Mereka mengiringkan lima orang kawan-kawan Kertapati yang dibelenggu dengan rantai panjang pada lengan mereka.

   "Kertapati!"

   Dolleman berseru dari jauh.

   "Kau lepaskan tunanganku dan aku akan membebaskan lima orang kawan-kawanmu!"

   Bukan main mendongkolnya hati Kertapati mendengar Dolleman menyebut Roro Santi sebagai tunangannya. Akan tetapi ia menahan marahnya dan tertawa menghina.

   "Siapakah yang sudi mempercayai omongan palsu yang keluar dari mulut Kompeni? Kau kira aku tidak tahu bahwa begitu puteri ini tiba ditempatmu, kau dan kaki tanganmu akan menembak kami berenam? Ha, mukamu menjadi makin merah! Tak perlu kau merasa malu karena rahasia hatimu telah kuketahui. Lebih baik kau lekas pergi, aku tak sudi berurusan dengan Kompeni. Puteri ini adalah anak dari Adipati Wiguna, maka biarlah Adipati Wiguna sendiri yang berurusan dengan aku dan mengadakan pertukaran tawanan ini!"

   Marahlah Dolleman mendengar ini.

   "Kertapati, kau menghina Kompeni! Akan tiba masanya kau dan seluruh gerombolanmu mampus ditangan Kompeni!"Kata Dolleman.

   "Ha, ha, Dolleman, bagi kami, ancaman-ancaman dan bujukan-bujukan Kompeni tak berharga sedikitpun juga. Lekas kau pergi dan biar Adipati Wiguna sendiri menjemput puetrinya!"

   Kertapati mengusir pula. Setelah menyumpah-nyumpah karena merasa terhina sekali, akhirnya Dolleman mengalah dan menarik mundur pasukannya. Tak lama kemudian, Wiguna sendiri datang dan mengiringkan lima orang anggota bajak laut itu. Adipati Wiguna merasa terharu sekali melihat puterinya, maka ia lalu berlari-lari menghampiri Kertapati dan puterinya.

   "Santi...!"Ayah yang merasa bahagia ini lalu memeluk puterinya dan menatap wajahnya seperti orang menyelidik."Bagaimana, Santi? Kau tak apa-apa, nak?"

   Roro Santi atersenyum dan menggelengkan kepalanya.

   "Kertapati bukanlah penjahat yang suka mengganggu wanita seperti para pangeran muda ayah. Saya diperlakukan baik sekali..."

   "Syukur... dan terima kasih, Kertapati."

   Akan tetapi kertapati tak memperhatikan mereka, karena sedang sibuk untuk melepaskan belenggu yang mengikat tangan kelima kawannya setelah menerima kuncinya dari tangan Wiguna.

   "Kertapati, kau hati-hatilah,"

   Kemudian terdengar Adipati Wiguna berbisik.

   "Mungkin sekali perjalananmu pulang akan dicegat oleh Dolleman!"

   Mendengar ini, pucatlah wajah Roro Santi, dan Kertapati memandang dengan tajam kepada Adipati Wiguna seakan-akan hendak menjenguk isi hati orang tua itu.

   "Pernah kau mendengar nama Wirataman yang membantu Trunajaya? Dia adalah adik kandungku! Kau berlaku baik terhadap anakku!"

   Setelah mengeluarkan ucapan singkat ini kepada Kertapati yang mendengar dengan muka terheran, Adipati Wiguna lalu manrik tangan anaknya, diajak kembali ke dalam kota. Beberapa kali Roro Santi menengok, akan tetapi Kertapati yang merasa kuatir kalau-kalau terdahului oleh Dolleman, telah memberi perintah kilat kepada lima orang kawannya.

   Mereka berunding sebentar, lalu enam orang itu berlari cepat memasuki hutan dengan terpencar! Oleh karena ini, biarpun Dolleman dan pasukannya telah mencegat perjalanan kertapati, mereka tidak menjumpai enam orang itu, hanya melihat seekor kuda tanpa penunggang yang berlari cepat bagaikan setan! sekali lagi Dolleman menympah-nyumpah karena merasa telah dipermainkan oleh Kertapati. Semenjak pertemuannya dengan Roro Santi, kawanan bajak laut Kertapati makin mengganas, dan kini sasaran penyerbuan mereka semata-mata hanyalah perahu-perahu Kompeni. Perahu-perahu kecil panjang yangberwarna hitam dan berlayar hitam pula itu, muncul di mana-mana bagaikan setan-setan laut. Memang, Kertapati mendapat benyak pengikut yang setia dan kini ia melakukan operasi dengan berpencar menjadi tiga kelompok.

   Dan tiga kelompok inilah yang selalu mengganggu di sepanjang pantai, dan kini daerah mereka diperpanjang sampai Tuban. Pada waktu itu, semenjak mengadakan janjian dengan Sunan Amangkurat II untuk membantu usaha Sunan itu merampas kembali Mataram dari tangan Trunajaya, Kompeni lalu mengumpulkan kekuatan balatentaranya. Sudah menjadi siasat dan kelicikan Kompeni untuk mempergunakan tenaga orang lain, mengadu domba penduduk pribumi sendiri, mengadakan pengaruh "Uang sogokan"

   Yang berasal dari perasan bumi Indonesia sendiri! Demikianlah, maka mereka mendatangkan pasukan-pasukan yang besar jumlahnya yang terdiri dari bermacam-macam bangsa yakni diantaranya orang-orang Mardika, Melayu, Makasar, Ambon, dan sebagainya. Orang-orang Belanda sendiri yang ikut dalam pasukan itu tentu saja menjadi opsir-opsirnya!

   Pasukan-pasukan ini didatangkan dari luar Pulau Jawa untuk disatukan dengan pasukan-pasukan dari Amangkurat II sendiri dan kemudian untuk dipimpin melakukan penyerbuan besar-besaran ke Mataram! Pada waktu itulah maka Kertapati menjalankan perjuangan yang hebat. Perahu-perahu Kompeni yang membawa pasyukan-pasukan ini, seringkali mendapat gangguan hebat. Penyerangan para bajak laut itu memang dahsyat dan mengerikan. Pada waktu malam gelap, perahu Kompeni itu tiba-tiba waktu malam gelap, perahu Kompeni itu tiba-tiba diserang oleh panah-panah api yang meluncur dari sekelilingnya. Mereka sukar sekali membalas oleh karena perahu-perahu bajak itu hitam dan tidak memakai api penerangan. Pada saat tembakan ditujukan ke arah tempat dari mana meluncur panah api, perahu itu dengan cepatnya telah pergi ke lain bagian.

   Tiap kali panah api dilepas, perahu bajak yang ringan, runcing dan panjang itu bergerak maju cepat-cepat sehingga peluru-peluru Kompeni hanya mengenai air kosong apabila perahu Kompeni itu telah mulai terbakar layar-layarnya dan semua anak perahu terpaksa melompat ke dalam air! Dengan cara demikian, tidak kurang dari enam buah perahu kena dihancurkan oleh anak buah bajak laut. Kertapati, dan entah berapa banyak pasukan yang mampus karena terbakar atau tenggelam! Dalam penyerangan-penyerangan ini. Kertapati selalu berada di depan dan serngkali pemuda ini melakukan perbuatan-perbuatan berani luar biasa yang amat menggumkan. Pernah ia menyamar sebagai seorang nelayan tua yang menjala ikan dan ketika perahu Kompeni lewat, ia memberi tanda bahwa ia melihat adanya bajak laut! Tentu saja ia lalu dinaikkan ke perahu untuk ditanya lebih jelas.

   "Tadi hamba melihat lima buah perahu berlayar ke barat,"

   Demikian katanya dengan tubuh gemetar dan bibirnya yang keriputan menggigil.

   "Perahu-perahu kecil panjang berwarna hitam..."

   Dan ketika kapten belanda datang mendekatinya secepat kilat Kertapati menangkapnya, mengancam dengan keris di lambung kapten itu dan menyeretnya ke kamar mesin! Tak seorangpun diantara penumpang perahu berani menyerang atau menembak, kuatir kalau-kalau akan mencelakai kapen Belanda itu. Kemudian, sambil mempergunakan kapten itu sebagai perisai, kertapati membakar kamar mesin lalu menyeret kapten itu ke geladak dan bersama-sama melempar diri ke dalam air! Ketika anak buah kapten itu sibuk hendak menolong kaptennya, tiba-tiba api yang dilepas oleh Kertapati telah menjalar menyabar bahan bakar sehingga perahu itu meledak dan terbakar hebat! Kertapati sendiri telah selamat dan di angkat oleh kawan-kawannya yang telah menanti-nanti dengan hati berdebar menyaksikan perbuatan pemimpin mereka itu dari jauh!

   Masih banyak hal-hal yang luar biasa dan penuh keberanian dilakukan oleh Kertapati dan anak buahnya. Bahkan mereka pernah mencoba untuk membakar sebuah kapal Kompeni yang amat besar dan diperlengkapi dengan meriam-meriam. Kapal itu sedang berlabuh di pelabuhan Semarang yang besar dan terdapat banyak penjaga, nemun bajak laut Kertapati tak kenal takut dan berani mencobanya! Biarpun mereka hanya berhasil membakar layarnya saja dengan api karen akeburu datang serbuan dari para penjaga sehingga seorang anak buah Kertapati tewas kena tembak, namun perbuatan ini membuat nama bajak laut itu makin ditakuti. Dolleman makin merasa benci dan marah kepada Kertapai oleh karena kegagalannya untuk menangkap atau membunuh bajak laut itu membuat ia mendapat teguran hebat dari atasannya di Semarang.

   "Percuma saja kau menyebut dirimu sebagai mata-mata dan penyelidik yang terpandai an tercakap di seluruh Hindia,"

   Atasannya itu menegurnya "Baru menghadapi seorang bajak laut kecil seperti Kertapati saja kau tidak berdaya! Tahu-tahu kau bahwa Dewan Hindia telah menegurku karena gangguan-gangguan Kertapati itu? Mulai sekarang kau harus kembali ke Semarang, tiada gunanya kau tinggal berbulan-bulan di Jepara kalau tidak mampu membekuk Kertapati. Biar aku menugaskan kepada lain orang!"

   Marah, malu, dan mendongkol mengaduk-aduk pikiran dan hati Doleman ketika ia mendengar teguran ini.

   "Berilah aku ketika barang sebulan lagi,"

   Katanya memohon.

   "Kalau dalam sebulan aku tidak dapat menangkapnya, lebih baik aku dikirim kembali ke Negeri Belanda!"

   

Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini