Ceritasilat Novel Online

Kemelut Blambangan 11


Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Suami isteri itu dengan prihatin lalu mulai mencari jejak Styabrata dengan mencari keterangan kepada orang-orang didusun-dusun yang meraka masuki.

   

   Maya Dewi merasa betapa tubuhnya lemas seolah semua urat syarafnya hampir lumpuh. Semua ini timbul dari perasaan hatinya yang tertekan. Bajunya kotor dan terobek di sana-sini karena hujan batu tadi. Kembali orang-orang menghinanya, memakinya dan menyerangnya karena menganggap ia seorang wanita jahat. Memang, penduduk dusun Sampangan dengan lurahnya, Ki Ganjar, bersikap baik dan hormat kepadanya. Akan tetapi hal itu adalah karena pertama, mereka belum pernah mendengar Maya Dewi, dan kedua, karena ia telah berjasa menolong dusun mereka. Semua orang membencinya, semua orang yang pernah mendengar namanya.

   Semua orang, kecuali Bagus Sajiwo! Setiap kali hatinya risau dan ia merasa dihina dan direndahkan orang, ia pasti teringat kepada Bagus Sajiwo dan tak dapat ditahannya pula, beberapa butir air mata menggelinding keluar dari kedua matanya.

   Ia terkenang masa lalunya, ketika ia bertemu dengan Satyabarata. Ia kini harus dapat bertemu dengan Satyabrata dan merampas anak Parmadi dan Muryani yang bernama Joko Galing itu. Terbayang kembali hubungannya dengan Satyabrata di waktu dahulu. Ketika itu ia berusia sekitar dua puluh tahun. Ia bertemu dan segera akrab dengan Satyabrata karena mereka berdua memiliki persamaan watak dan kebiasaan, juga kedudukan mereka sama. Keduanya adalah mata-mata Kumpeni Belanda, bahkan Satyabrata merupakan pemimpin mata-mata yang amat dipercaya Belanda karena dia adalah keturunan orang kulit putih. Keduanya sama menjadi hamba nafsu masing-masing.

   Maka, mereka merupakan pasangan yang cocok, bersama mereka berenang di lautan nafsu, tidak pantang melakukan segala macam kejahatan! Mereka berdua lalu membantu Madura yang berperang melawan Mataram. Setelah pihak Madura kalah, mereka berdua melarikan diri. Akhirnya Satyabrata oleh Kumpeni Belanda dikirim ke Negeri Belanda untuk dididik menjadi seorang yang pandai, sedangkan ia sendiri melanjutkan petualangannya sebagai mata-mata yang dipercaya oleh

   (Lanjut ke Jilid 12)

   Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12

   Kumpeni Belanda. Ia bertualang, melakukan segala macam kejahatan sampai akhirnya ia sadar setelah merasa tidak menemukan kebahagiaan lalu meninggalkan Kumpeni, tidak mau lagi menjadi mata- mata Belanda. kemudian ia bertemu dengan Bagus Sajiwo dan berubahlah seluruh jalan hidupnya. Sekarang ia harus memetik buah yang pahit dan memakannya, dari pohon yang ia tanam sendiri. Pohon beracun yang menghasilkan buah beracun yang harus dimakannya!

   Ketika ia tiba di sebuah daerah persawahan yang luas, berjalan di atas jalan umum yang kasar dan sepi sekali itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang bertembang. Suara itu terbawa angin dan terdengar sayup-sayup, namun kata-katanya yang amat sederhana dapat tertangkap dengan jelas.

   "Manungsa urip ing donya Mung saderma anglakoni Kersaning Hyang Maha Agung Kanthi pasrah jiwa raga Yaiku narimah lan nyenyuwun Apa bae kang tinampa Tuhu sihe Sang Hyang Widi." (Manusia hidup di dunia, hanya sekedar mengalami kehendak Tuhan yang Maha Agung, dengan berserah jiwa raga yaitu menerima dan memohon, apa pun yang diterima sesungguhnya merupakan kasih Yang Maha Kuasa).

   Tembang Sekar Pangkur itu dinyanyikan dengan suara tua yang parau, kata-katanya amat sederhana, namun mengandung getaran yang mendatangkan keharuan dalam hati Maya Dewi. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju ke arah suara.

   Kakek itu tentu sudah enam puluh tahun lebih usianya. Namun, tubuhnya yang terbakar sinar matahari sehingga kulitnya berwarna coklat kemerahan itu masih tampak tegap dan kuat ketika dia mencangkul tanah persawahan itu. Tubuhnya bagian atas telanjang sehingga tampak tulang-tulang pundak dan iga menonjol dilingkari otot-otot yang menggembung karena sering bekerja berat. Tubuh bagian bawah memakai celana hitam sebatas lutut. Tubuh kurus namun kokoh itu membungkuk ketika dia mencangkul tanah. Agaknya hanya dia seorang yang bekerja di sawah pada saat itu. Para petani lain agaknya masih menunggu turunnya hujan baru mereka akan mencangkul tanah dan siap menanam padi. Akan tetepai kakek itu dengan sabar dan tekun mencangkuli tanah yang kering itu.

   Tanah yang luas itu, sinar matahari yang sudah naik tinggi, kesunyian itu dan hanya seorang kakek bekerja seorang diri sambil bertembang, suasananya begitu menyentuh perasaan Maya Dewi sehingga ia kini berdiri di tepi jalan memandang ke arah kakek yang agaknya tidak melihatnya. Maya Dewi memandang seperti terpesona. Seolah baru terbuka matanya kini, atau seolah matanya kini mempunyai penglihatan yang baru. Sebelumnya, melihat seorang kakek seperti itu, tentu merupakan penglihatan biasa saja dan mungkin hanya mendatangkan perasaan iba melihat seorang tua seperti bekerja berat dan keadaannya miskin. Akan tetapi saat itu, Maya Dewi melihat keindahan tang menggetarkan kalbu. Tubuh kakek tua kurus itu, kulit tubuh atas telanjang yang coklat tua berkeriput di sana-sini bermandikan keringat sehingga berkilauan ditimpa sinar matahari, kepala yang rambutnya putih terikat kain kepala yang sudah usang, wajah yang kurus keriputan, juga basah oleh keringat, tampak begitu cerah, semua itu tampak olehnya demikian indah dan agung!

   Keindahan yang bukan muncul karena perbandingan dan penilaian, keindahan yang timbul karena kesadaran bahwa itulah wujud seorang manusia, mahluk teragung di antara semua ciptaan Gusti Allah. Sesungguhnya, hasil ciptaaan Gusti Allah itu sempurna! Hati akal pikiran penuh nafsu yang membeda-bedakan karena membandingkan dan menilai. Seorang raja sekalipun, kalau dia sudah setua kakek petani itu, berpakaian hanya celana hitam seperti itu, dan mencangkul di sawah, keadaannya akan sama saja! Yang membedakan antara manusia hanyalah pakaiannya, baik pakaian itu berupa kain penutup tubuh, maupun kedudukan, harta benda, kepandaian dan sebagainya. Kalau mereka itu ditelanjangi dari semua pakaian itu, keadaannya tidak berbeda dari orang lain. Buktinya, apakah perbedaan di antara orang-orang mati, di antara mayat-mayat yang sudah dilepaskan dari semua pakaian itu?

   Agaknya pandang mata Maya Dewi yang penuh perhatian itu terasa oleh kakek petani yang mecangkul. Tiba-tiba dia menoleh ke kiri dan ketika melihat seorang wanita cantik berpakaian putih berdiri memandangnya, dia melepaskan gagang cangkulnya dan mengusap keringat dari matanya dengan menggunakan lengannya.

   Ketika kakek itu memandangnya dengan heran Maya Dewi tersenyum dan berkata lembut.

   "Selamat siang, Paman. Maaf kalau aku mengganggu pekerjaan Andika."

   "Wah, sama sekali tidak, Mas Ayu! Aku memang sudah lelah dan ingin mengaso."

   Kata kakek itu, lalu dia meninggalkan cangkulnya dan keluar dari sawah, mencuci tangannya di selokan air. Kemudian dia mengambil baju hitamnya yang dia taruh di atas batu besar, menyusut keringat dari muka dan leher, juga menyusut air dari lengan dan tangannya, kemudian memakai baju hitam itu, mengambil sebuah kendi dan sebuah bungkusan daun pisang yang berada di atas batu itu pula. Lalu sambil tersenyum dia melangkah menghampiri Maya Dewi dan duduk di atas batu di tepi sawah.

   "Andika lelah sekali, Paman?"

   Maya Dewi bertanya sambil duduk di atas batu di depan Kakek

   itu.

   "Ah, lelah yang enak. Mas Ayu. Kelelahan ini yang membuat singkong rebus ini lezat rasanya, air kendi ini segar sekali, dan makan minum di sini sambil mengaso dan dikipasi angin semilir, bukan main nikmatnya!"

   Kakek itu membuka bungkusan daun pisang yang ternyata berisi singkong rebus yang cukup banyak dan mempur (gembur), menawarkannya kepada Maya Dewi.

   "Silahkan, Mas Ayu. Singkong ini kurebus sendiri tadi dan sudah kuberi garam. Enak sekali!"

   Maya Dewi tersenyum dan mengambil sepotong.

   Ia tercengang betapa lezatnya singkong rebus itu! Padahal, itu hanya makanan sederhana sekali, murah dan merupakan makanan umum rakyat petani miskin. Anehnya, bercakap-cakap dengan petani sederhana ini, duduk di tepi sawah dan makan singkong rebus bersamanya, ia mendapat kenyataan pula bahwa semua perasaan yang tidak enak tadi ketika ia melamun, lenyap seketika tanpa meninggalkan bekas! Ia merasa bersatu dengan kesemuanya itu. Tanah kering, air selokan, sawah luas, langit cerah dengan awan-awan putih tipis, sinar matahari, kakek petani ini, semua itu demikian akrab dan keadaannya menjadi bagian dari semua keindahan itu! Ia merasa bersatu dengan semuanya, tiada apa pun yang perlu dipikirkan, jiwanya terasa bebas dari semua akal pikiran dan emosi, semuanya mengendap dan jernih, bebas dan bahagia! Belum pernah ia merasakan keadaan seperti ini.

   Ia memang sudah sering merasakan kesenangan, namun itu pun hanya merupakan perasaan hati yang tiada bedanya dengan kekecewaan, kepuasan, kesusahan, kekhawatiran, yang semua itu hanya sementara belaka, hanya di permukaan, pergi datang silih berganti, hanya permainan hati akal pikiran yang mempermainkan perasaan, terkadang diangkat, terkadang dibanting. Akan tetapi saat ini lain sama sekali. Tidak ada lagi Maya Dewi, tidak ada lagi kakek petani, yang ada hanya dua insan, dua manusia ciptaan Gusti Allah di antara segala ciptaanNya yang lain di sekeliling mereka, sejauh mata dapat memandang, sejauh pikiran mampu menjangkau! Inikah bahagia? Maya Dewi kembali kealam fana dan ia memandang kakek itu. Kakek itu menawarkan air kendi, itulah yang membuat ia sadar kembali bahwa ia tadi mengembara di alam sorgawi.

   "Minumlah, Mas Ayu. Air kendi ini segar sekali dan bersih karena aku mengambilnya dari sumur, bukan air kali."

   Kakek itu lalu menuangkan air dari lubang pancuran di perut kendi, Dia membuka mulutnya dan air kendi memancur masuk ke mulutnya dengan tepat walaupun air itu mancur dalam jarak sehasta dari mulutmnya.

   Maya Dewi sampai menelan ludah melihat betapa kerongkongan kakek itu bergerak-gerak ketika menelan air. Begitu segar dan enak! Maka ia pun menyambut ketika kendi diserahkan kepadanya. Tentu saja minum air kendi bukan merupakan hal asing baginya, jari-jari tangan kanannya mencekik leher kendi, lalu ia menuangkan air ke dalam mulutnya seperti yang dilakukan kakek tadi. Tanpa malu-malu ia membuka mulut lebar-lebar agar air kendi tidak sampai tumpah. Dan bukan main nikmat dan segarnya! Apalagi kerongkongannya memang agak seret (tersendat) setelah makan singkong rebus yang mempur tadi. Setelah mereka kenyang mereka berhenti makan minum dan Maya Dewi memandang wajah kakek itu sambil tersenyum gembira.

   "Terima kasih, Paman. Singkong rebusnya lezat sekali dan air kendinya segar bukan main!"

   "Wah, Mas Ayu. Aku hanya dapat menyuguhkan makanan dan minuman desa! Biasanya para priyayi dari kota tidak mau makanan dan minuman seperti ini. Akan tetapi Andika menikmatinya! Aku merasa senang sekali. Mas Ayu ini tentu seorang priyayi dari kota pula, mengapa berada di sini dan sudi bercakap-cakap dengan aku, bahkan sudi pula menerima suguhanku?"

   "Ah, Paman. Aku bukan priyayi. Aku orang biasa saja. Namaku Maya Dewi dan aku sedang melakukan perjalanan."

   Maya Dewi berhenti sebentar dan mengamati wajah kakek itu, hatinya sudah merasa tegang dan khawatir kalau-kalau kakek ini sudah mendengar nama busuknya pula dan lari ketakutan. Akan tetapi ternyata tidak. Kakek itu bersikap biasa saja dan senyumnya masih ramah. Maka ia pun melanjutkan dengan gembira.

   "Andika tentu seorang yang berbahagia, Paman."

   Petani itu memicingkan matanya memandang Maya Dewi dengan lagak lucu akan tetapi sinar matanya memancarkan keheranan karena selain dia menganggap pertanyaan itu aneh dan lucu, dia pun sama sekali tidak mengerti.

   "Mas Ayu, aku ini seorang petani, hidup sebagai seorang duda tanpa anak isteriku meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Aku seorang duda petani yang hidup sendiri di dusun sana, bukan seorang yang.... apa tadi yang Andika maksudkan?"

   "Seorang yang berbahagia."

   "Aku tidak mengerti apa itu berbahagia."

   Maya Dewi menjadi bingung karena sesungguhnya ia sendiri juga belum yakin benar bagaimana rasanya bahagia itu, kecuali pada saat-saat tertentu dan kemudian hilang kembali. Karena tidak mungkin menerangkan bagaimana bahagia itu, maka ia akan bertanya tentang hal-hal yang menghilangkan kebahagiaan.

   "Paman, Paman bilang kehilangan isteri dan hidup sebatang kara tanpa ada orang yang menemani hidup Paman, apakah Paman tidak merasa kesepian dan nelangsa hidupmu?"

   "Wah, tidak samasekali, Mas Ayu. Semua penduduk dusun mengenalku dan aku hidup rukun dengan mereka semua. Mereka itu kuanggap keluargaku sendiri. Kita merupkan keluarga besar. Aku sama sekali tidak kesepian, Mas Ayu."

   Maya Dewi mengerutkan alisnya. Tentu saja Bagus Sajiwo pernah memberi tahu kepadanya bahwa seluruh manusia di dunia ini sesungguhnya adalah keluarga kita sendiri. Akan tetapi begitu banyak orang membencinya, memusuhinya.

   "Paman, bagaimana kalau ada penduduk yang membencimu?"

   "Membenciku? Mengapa? Kalau aku baik dan sayang kepada mereka, tentu mereka juga baik dan sayang kepadaku, Mas Ayu. Akan tetapi andaikata ada yang membenciku, ya biar saja, itu urusannya. Yang penting aku tidak membenci siapa-siapa, sehingga dapat enak makan dan enak tidur."

   "Akan tetapi keadaanmu yang miskin, apakah hal itu tidak menyusahkan hatimu, Paman? Apakah Paman tidak ingin keadaanmu lebih makmur seperti banyak orang lain?"

   Kakek itu tertawa memperlihatkan mulutnya yang ompong.

   "Heh-heh, aku tidak pernah susah dengan keadaanku dan aku tidak pernah iri kepada orang lain, Mas Ayu. Aku selalu nrima ing pandum (menerima dengan syukur apa yang menjadi bagiannya). Boleh jadi aku miskin, akan tetapi aku tidak merasa miskin, karena aku tidak merasa kurang. Aku mempunyai sepetak sawah ini, punya rumah gubuk, mau apa lagi? Aku bekerja giat sebagai kewajiban hidupku, akan tetapi bagaimana hasil akhirnya, hal itu bukan kekuasaanku untuk menentukan."

   "Apakah engkau tidak pernah merasa bersedih, Paman?"

   "Tentu saja. Orang hidup bagaimana mungkin tidak penah merasa sedih? Misalnya ketika isteriku meninggal dunia, tentu aku merasa sedih. Atau ketika tanaman di sawahku gagal. Akan tetapi kesedihan itu hanya mampir sebentar karena aku tahu bahwa disedihkan bagaimanapun juga, kesedihan itu tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik, bahkan mungkin bertambah buruk. Itu tadi, Mas Ayu, nrima ing pandum."

   Maya Dewi tersenyum.

   "Kalau begitu, Andika adalah orang yang berbahagia, Paman."

   "Entahlah, Mas Ayu. Akan tetapi, terus terang saja, aku sama sekali tidak butuh bahagia. Biarlah aku seperti sekarang ini. Bahagia atau tidak, aku tidak ingin kehidupanku ini berubah."

   "Satu pertanyaan lagi, Paman. Bagaimana kalau kelak sewaktu-waktu Paman jatuh sakit karena usia tua padahal Paman tidak mempunyai keluarga? Apakah itu tidak menyedihkan hatimu?"

   "Heh-heh-heh, Andika ini aneh-aneh saja, Mas Ayu. Aku tidak mau memusingkan hal-hal yang belum terjadi. Bagaimana nanti sajalah! Siapa sih yang mengetahui apa yang akan menimpa dirinya? Maaf, mas Ayu, aku mau melanjutkan pekerjaanku."

   Petani itu bangkit berdiri dan Maya Dewi juga bangkit berdiri.

   "Terima kasih atas keramahanmu, Paman. Engkau baik sekali dan aku yakin kini bahwa Paman tentu seorang yang berbahagia, walaupun miskin dan hidup sebatang kara!"

   "Terserah anggapan Mas Ayu saja."

   Maya Dewi meninggalkan tempat itu, melanjutkan pejalanannya, akan tetapi ia berhenti menengok, lalu bertanya kepada petani yang sudah memegang cangkulnya itu.

   "O ya, Paman. Apakah Paman melihat seorang laki-laki menunggang kuda membawa seorang anak laki-laki?"

   "Laki-laki menunggang kuda? Ah, ya, aku ingat sekarang. Kemarin sore aku melihat seorang laki-laki membalapkan kudanya dan dia memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya."

   "Ke mana dia pergi, Paman?"

   "Dia membalapkan kudanya ke arah sana!"

   Kakek itu menunjuk ke arah utara.

   "Terima kasih, Paman!"

   Maya Dewi berkata girang dan ia lalu berlari cepat sekali sehingga kakek petani itu memandang dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi karena wanita cantik yang tadi makan singkong bersamanya, tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ.

   Setelah jauh meninggalan daerah pertanian itu dan mulai melewati dusun, Maya Dewi berjalan biasa. Ia beberapa kali senyum sendiri, teringat akan percakapannya dengan kakek petani tadi. Ia mendapatkan pengertian baru tentang kebahagiaan.

   Kalau aku tidak keliru, kata hatinya, setiap orang hidup sebetulnya telah bahagia. Gusti Allah menciptakan manusia bukan untuk ditakdirkan menderita. Ciptaan yang Maha Sempurna itu sudah tentu sempurna pula. Kalau kita merasa tidak berbahagia, hal itu berarti ada sesuatu yang menghalanginya. Kalau penghalang itu disingkirkan, maka bahagia ada di sana, di dalam hati setiap orang manusia! Jadi ketidak bahagiaan itu timbul karena ulah kita sendiri. Kalau hidup ini wajar dan berserah diri kepada Gusti Allah Yang Maha Kasih, dapat narima ing pandum, yaitu menerima segala hal yang menimpa dirinya dengan rasa syukur karea semua itu terjadi atas kehendakNya, tanpa meninggalkan ikhtiar kita sekuat tenaga, maka kebahagiaan tidak akan terhalang dan bersinar seperti matahari tak terhalang mendung.

   Ia dibenci orang, mengapa harus berduka? Kalau ia menerima kenyataan itu sebagai hal yang wajar, karena memang ia sendiri yng bersalah, dan ia berikhtiar sekuatnya untuk melaksanakan kehendak Gusti Allah, menjadi penyalur berkatNya kepada orang lain yang membutuhkannya, maka berarti ia menghilangkan penghalang bagi kebahagiaannya. Ia harus menerima semua perlakuan pahit tehadap dirinya itu sebagai buah perbuatannya yang dulu sebagai imbalan hukuman yang sudah sepatutnya diterimanya. Dan dalam penyesalan dan pertaubatannya, setiap melakukan sesuatu, ia harus menganggap sebagai menanam bibit yang akan tumbuh dan kelak mengeluarkan buah sesuai bibit yang ditanamnya.

   Ia masih teringat akan kata-kata Bagus Sajiwo bahwa Gusti Allah itu Maha Pengampun dan Maha Adil, setiap sa untuk menanggung semua hukuman ini."

   Maya Dewi berdoa dalam hatinya lalu mengusir semua perasaan iba iri itu denganat akan mengampuni setiap orang berdosa yang mau bertaubat dengan sungguh-sungguh seperti seorang ayah yang amat mencinta anaknya akan selalu menerima kembali anak yang hilang dan sesat jalan, menerimanya kembali dengan kasih sayang. Bahkan hukuman yang diberikan kepada si anak yang bersalah juga merupakan bukti kasih sayang si ayah agar si anak menjadi sadar bertaubat tidak melakukan kesalahan seperti itu lagi.

   "Duh Gusti Allah, Pangeran Yang Maha Kasih, kasihanilah hamba dan berilah kekuatan kepada hamba untuk menanggung semua hukuman ini."

   Maya Dewi berdoa dalam hatinya lalu mengusir semua perasaan iba diri itu dengan mencurahkan perhatiannya terhadap pengejarannya kepada Satyabrata yang melarikan Joko Galing, putera Parmadi dan Muryani.

   Siapakah laki-laki berusia sekitar empat puluh satu tahun yang menculik Joko Galing dan dikenal oleh Parmadi sebgai Satyabrata itu? Satyabrata lahir di Cirebon. Ibunya seorang wanita pribumi bernama Marsinah, sedangkan ayahnya adalah seorang pedagang bule berbangsa Portugis bernama Henrik. Ketika Satyabrata terlahir dan anak itu berkulit gelap dan berambut hitam, hanya matanya yang agak kebiruan, lebih mirip pribumi daripada bule, Henrik lalu meninggalkan ibu dan anak itu ketika dia kembali ke negaranya.

   Marsinah membesarkan anak itu seorang diri. Ketika Satyabrata berusia empat belas tahun, seorang perwira Kumpeni Belanda bernama Willem van Huisen merasa suka kepadanya dan Satyabrata lalu diambil sebagai anak angkat dan disekolahkan. Willem van Huisen sendiri hanya mempunyai anak perempuan Eisye van Huisen. Satyabrata lalu diberi nama Belanda, yaitu Jan van Huisen. Akan tetapi kalau berada di luar rumah, dia lebih suka memakai nama Satyabrata.

   Sebagai anak angkat perwira Belanda, Satyabrata mudah saja berguru kepada orang-orang sakti di Cirebon, mempelajari olah kanuragan. Bahkan dia pernah belajar di perguruan Dadali sakti. Setelah dia berusia dua puluh satu tahun, menjadi seorang pemuda yang tampan dan terpelajar, juga digdaya, ayah angkatnya Willem van Huisen mulai memberi tugas kepadanya sebagai pemimpin mata-mata Kumpeni.

   Ketika dia menyusup hendak menyelidiki keadaan Jatikusumo sebagai tempat para pendekar yang setia kepada Mataram, dia ketahuan, berkelahi dan terjatuh ke dalam sumur tua di belakang perguruan Jatikusumo. Sumur ini dikeramatkan dan menjadi tempat larangan bagi para murid Jatikusumo. Semua orang mengiara Satyabrata mati, akan tetapi sebaliknya dia malah dapat mempelajari ilmu-ilmu yang hebat dan aneh peninggalan mendiang Resi Ekomolo yang mati dalam sumur itu. Dia mendapatkan keris pusaka Ilat Nogo dan catatan ilmu- ilmu yang aneh. Dia mempelajarinya selama bertahun-tahun dan akhirnya dia menjadi seorang yang sakti mandraguna.

   

   Dia berusia sekitar dua puluh enam tahun ketika bertemu dengan Muryani dan jatuh cinta kepada gadis itu. Akan tetapi walaupun Muryani juga terpikat oleh ketampanan dan rayuan Satyabrata, namun gadis itu sudah saling mencinta dengan Parmadi sehingga menolak cinta Satyabrata. Akhirnya Muryani yang setia kepada Mataram itu mengetahui bahwa Satyabrata seorang yang jahat dan cabul, juga antek Kumpeni Belanda sehingga Muryani meninggalkannya dan bahkan memusuhinya.

   Setelah Satyabrata membantu Madura dalam perangnya melawan Mataram di mana dia bertemu dengan Muryani yang membela Mataram, kemudian Madura dapat dikalahkan Mataram, Satyabrata melarikan diri bersama Maya Dewi yang ketika itu menjadi rekan dan juga kekasihnya.

   Setelah tiba di rumah ayah angkatnya, Wilem van Huisen mengirim dia ke negeri Belanda di mana dia mempelajari banyak ilmu. Ilmu pengetahuan dan juga ilmu militer termasuk kemahiran mempergunakan senjata api. Pada suatu hari dia bertemu dengan Elsye, puteri kandung Willem van Huisen, atau adik angkat Satyabrata. Dahulu, ketika remaja, terjadilah hubungan cinta antara Satyabrata dan Elsye. akan tetapi ketika mereka bertemu di negeri Belanda, Elsye telah menjadi isteri Piet Meijer, Suami isteri ini belum mempunyai anak walaupun mereka sudah menikah selama lima tahun.

   Pertemuan itu menggugah cinta diantara mereka dan dengan pengalaman dan aji pengasihannya, akhirnya Satyabrata membuat Elsye jatuh dan menyeleweng dengannya. Hal ini berlangsung berbulan-bulan dan Piet Meijer tidak mengetahuinya karena dia tahu bahwa Satyabrata adalah kakak angkat Elsye. Akan tetapi pada suatu hari, Piet Meijer memergoki perjinahan mereka. Tentu saja dia marah, akan tetapi sebelum dia dapat berbuat sesuatu, Satyabrata mendahuluinya dan membunuhnya. Pada malam harinya, Satyabrata membawa mayat Piet Meijer ke dalam taman umum yang sudah sepi dan meninggalkan mayat itu di sana.

   Tentu saja peristiwa pembunuhan ini menggegerkan pemerintah Belanda. Akan tetapi polisi tidak dapat melacak pembunuhnya. Tak seorangpun mencurigai Satyabrata dan akhirnya, setahun kemudian Satyabrata menikah dengan Elsye secara resmi. Akan tetapi pasangan ini juga tidak mempunyai keturunan. Sudah menjadi watak Satyabrata, cintanya kepada wanita hanyalah cinta berahi. Kalau gejolak berahinya sudah terpuaskan, cintanya pun menguap dan terbang lenyap seperti uap. Dia mulai bosan setelah hidup sebagai suami isteri dengan Elsye selama bertahun-tahun. Dia sudah menghibur dirinya dengan penyelewengan-penyelewengan, namun akhirnya dia merasa bosan dengan itu semua, bosan dengan wanita-wanita Belanda dan mulai rindu kepada wanita bangsa ibunya. Terutama sekali dia merasa amat rindu kepada Muryani yang pernah dicintanya, dicintanya dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar cinta berahi.

   Maka, giranglah hatinya ketika dia menerima tugas dari Kerajaan Belanda untuk membantu Kumpeni Belanda di Tanah Jawa! Dia dapat bertemu dengan ibunya, Marsinah, kalau masih hidup. Dan terutama sekali dia akan dapat bertemu dengan Muryani yang tidak pernah dapat dia lupakan. Ketika isterinya, Elsye ingin ikut, dia melarangnya dengan alasan bahwa kini keadaan di Tanah Jawa sedang gawat, banyak terjadi bentrokan dengan Mataram dan berbahaya sekali bagi seorang wanita kulit putih untuk berada di sana. Akhirnya, Satyabrata berangkat sendiri.

   Demikanlah, begitu tiba di Batavia dia mendapat laporan dan gambaran tentang keadaan di Pulau Jawa, tentang gerakan Blambangan yang hendak menyerbu Mataram dan mendapat dukungan dari Bali, Madura, dan Kumpeni walaupun bantuan Kumpeni dilakukan secara diam-diam dan hanya menyumbangkan senjata. Politik Belanda adalah mengadu domba antara para penguasa di Pulau Jawa agar saling bentrok sehingga akhirnya melemahkan mereka sendiri. Kalau mereka sudah lemah karena perang saudara, akan lebih mudah bagi Belanda untuk menundukkan Mataram. Satyabrata bertugas untuk menghimpun semua mata-mata dan membantu agar perang saudara itu semakin menghebat.

   Tugas pertama adalah urusan diri sendiri diutamakan, yaitu mencari Muryani. Setelah mendengar bahwa Muryani tinggal bersama suaminya, Parmadi di Pasuruan dan sekarang sudah mempunyai anak laki-laki berusia enam tahun, dia langsung berangkat seorang diri ke Pasuruan!

   Secara kebetulan sekali, ketika dia melakukan perjalanan menuju Pasuruan, dia melihat Parmadi dan Muryani dikeroyok orang-orang yang menurut pakaiannya adalah orang Bali. Dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Bali yang menjadi sekutu Blambangan. Tadinya dia hendak menyelamatkan Muryani yang tampak terdesak walaupun tentu saja menurut tugasnya dia harus membantu orang-orang pendukung Blambangan. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat seorang wanita pakaian putih membantu suami isteri itu dan sepak terjang wanita itu demikian hebat sehingga dia tahu bahwa Muryani tidak terancam bahaya lagi.

   Maka timbul akalnya. Kiranya tidak akan mudah merampas Muryani begitu saja dari Parmadi yang menjadi suaminya. Selain Parmadi tentu akan menghalanginya, juga Muryani belum tentu mau. Maka dia harus menggunakan akal. Melihat putera mereka, Joko Galing seorang diri, dia cepat menangkap anak laki-laki itu dan membawanya lari! Menurut perhitungannya, perbuatan ini akan mendatangkan dua keuntungan baginya. Pertama, Adipati Blambangan tentu akan senang mendengar dia telah menawan putera Parmadi pembela Mataram setia itu. Kedua, dia akan dapat menggunakan anak laki-laki itu untuk memaksa Muryani mau menjadi isterinya!

   Semula Joko Galing meronta-ronta dan memaki-maki ketika dia dilarikan di atas kuda oleh Satyabrata. Akan tetapi Satyabrata diam saja dan pegangan tangan kirinya membuat anak itu tidak mampu banyak meronta lagi. Setelah semua usaha perlawanannya tidak ada gunanya, Joko Galing yang memiliki kecerdikan maklum bahwa tidak ada artinya kalau dia melawan. Dia lalu duduk di atas punggung kuda, di depan penculiknya itu dengan tenang, tidak memaki atau mencoba untuk meronta lagi. Satyabrata merasa senang dan dia pun tidak lagi menekan pundak anak itu dengan tangan kirinya. Kuda dilarikan dengan cepat dan baru berhenti setelah malam tiba.

   Karena malam tiba ketika mereka masih berada di tengah jalan, jauh dari kota atau desa, Satyabrata berhenti di kaki sebuah bukit, di bawah sebatang pohon johar besar yang tumbuh dekat sebatang anak sungai yang airnya bersih. Tanpa bicara dia menurunkan Joko Galing dari atas kuda, lalu mengumpulkan ranting pohon dan rumput kering, membuat api unggun karena di situ terdapat banyak nyamuk dan mimik yang amat mengganggu.

   Joko Galing merasakan juga gigitan nyamuk, maka dia menghampiri api unggun dan duduk dekat api unggun, berhadapan dengan Satyabrata. Anak ini mulai memperhatikan keadaan laki-laki itu. Sekarang dia mendapat kesempatan untuk mengamati orang itu. Seorang laki-laki yang agaknya sedikit lebih tua daripada ayahnya. Tubuhnya tinggi tegap mengenakan pakaian dari kain tebal berwarna biru. Kakinya memakai sepatu kulit yang menutupi kaki sampai ke betis, berwarna hitam mengkilat. Rambutnya berombak dan indah, wajahnya tampan dan matanya tampak aneh, agak kebiruan. Joko Galing pernah mendengar cerita ayah ibunya tentang bangsa Belanda yang berkulit bule dan bermata biru bahkan ada yang rambutnya kuning! Orang ini kulitnya tidak bule walaupun cukup putih, rambutnya yang berombak itu pun hitam seperti rambutnya sendiri. Hanya matanya memang agak kebiruan, tidak biru benar.

   Satyabrata juga memperhatikan Joko Galing dan hatinya merasa senang. Anak ini mirip benar dengan Muryani. Dia mengeluarkan bungkusan dari buntalan pakaian yang tadi digendongnya. Ternyata bungkusan itu berisi sepotong besar roti. Dia membagi roti itu menjadi dua potong lalu menyodorkan yang sepotong kepada Joko Galing. Anak itu menerimanya dan tanpa berkata-kata lalu keduanya makan roti. Rasanya asin manis, enak bagi Joko Galing, maka dimakannya roti itu sampai habis. Satyabrata mengeluarkan sebuah botol dan mendekatkan botol itu ke mulutnya lalu dia minum beberapa teguk, lalu menyerahkan botol yang berwarna hijau itu kepada Joko Galing. Anak itu pun menerimanya dan meniru perbuatan penculiknya, minum isi botol. Wah, enak sekali rasanya, terasa air jeruk yang manis!

   "Apakah engkau seorang Belanda?"

   Joko Galing bertanya sambil menatap mata yang kebiruan itu, yang baginya tampak aneh ketika mata itu terkena sinar api unggun.

   Mendengar pertanyaan ini, Satyabrata tersenyum dan wajahnya memang masih tampan ketika dia tersenyum.

   "ibuku seorang Jawa, seperti juga Ibumu."

   "Engkau mengenal Ibuku?"

   "Tentu saja, juga Ayahmu. Aku mengenal baik

   Parmadi dan Muryani, terutama sekali Muryani."

   Joko Galing menjadi semakin berani. penculiknya ibi sikapnya lembut, tidaj kasar seperti penjahat.

   "Siapakah namamu, Paman?"

   "Namaku Satyabrata. Ayah Ibumu, terutama Ibumu, mengenal aku dengan baik."

   "Kalau benar Paman merupakan kenalan baik Ayah Ibuku, mengapa Paman sekarang menculikku?"

   Tanya Joko Galing penasaran sekali.

   Satyabrata menghela napas panjang.

   "Apa yang terjadi sekarang ini adalah kesalahan Parmadi, akibat dari perbuatannya menyakitkan hatiku. ketahuilah.... eh, siapa sih namamu?"

   "Namaku Jaka Galing."

   "Nama yang bagus. Nah, dengarlah. Dahulu, ketika Ibumu Muryani itu masih gadis, ia adalah pacarku. Kami saling mencinta dan ia tentu menjadi isteriku yang tercinta kalau tidak muncul Parmadi yang merampas Muryani dariku."

   "Ayah merampas Ibu dari Paman? Apa maksud Paman?"

   "Parmadi muncul, merayu dan menggunakan guna-guna sehingga Muryani tergila-gila kepadanya, melupakan dan meninggalkan aku, lalu menjadi isteri Parmadi."

   Hening sejenak. Joko Galing yang baru berusia enam tahun itu tentu saja tidak mengerti benar apa yang diceritakan Satyabrata itu.

   "Akan tetpi mengapa sekarang Paman menculik aku? Apa hubungannya dengan cerita Paman tadi?"

   "Aku akan menuntut hakku! Muryani hars menjadi isteriku karena aku adalah pria yang pertama kali dicintanya dan sampai sekarang aku masih sangat mencintanya. Ia harus menjadi isteriku. Karena itu membawamu agar Muryani mau menjadi isteriku. Kita bertiga hidup berbahagia menjadi sebuah keluarga.."

   Joko Galing mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi .... bagaimana dengan Ayah?"

   "Ah, biar tahu rasa dia! Sudah belasan tahun lamanya dia menjadi suami Muryani yang sebetulnya harus menjadi isteriku. Kalau dia hendak menghalangi niatku ini, dia akan kubunuh!"

   Joko Galing melihat betapa mata yang kebiruan itu mengeluarkan sinar aneh dan mendorong mengerikan. Akan tetapi dia tidak takut. Jati anak kecil ini panas dan marah sekali mendengar ibunya hendak dipaksa menjadi isteri Satyabrata dan ayahnya hendak dibunuh.

   "Hemm, enak saja engkau bicara! Jangan harap engkau akan dapat membunuh Ayahku. Engkau tidak akan mampu menandinginya, bahkan kalau engkau berani melawannya, engkaulah yang akan mati! Ayahku adalah seorang yang sakti mandraguna, terkenal sebagai Si Seruling Gading!"

   Tiba-tiba Satyabrata tertawa dan Joko Galing merinding (meremang bulu tubuhnya) karena ngeri. Dia pernah melihat seorang gila dan seperti itulah tawanya. Seperti bukan tawa manusia, melainkan tawa hantu dalam dongeng!

   "Hyeh-heh-heh! Lihat kelelawar terbang itu!"

   Dia menuding ke atas. Joko Galing memandang ke atas. Ada beberapa ekor kelelawar terbang di atas pohon. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang mengejutkan hati anak itu.

   

   
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dar! Dar!"

   Dua ekor kelelawar itu jatuh dengan tubuh pecah dihantam peluru. Joko Galing memandang dan melihat Satyabrata sambil terkekeh memegang sebatang pistol yang masih berasap!

   "Nah, apa artinya kesaktian Parmadi menghadapi pistolku ini? Dan aku mahir menggunakan dua buah pistol!"

   Kini tangan kirinya meraih ke pinggang, lalu dengan kedua tangan masing-masing memegang sebuah pistol, beberapa kali dia menembakkan pistolnya ke atas.

   "Dar-dar-dar-darrr....!!"

   Dua buah pistol itu memuntahkan bunga api dan mengepulkan sedikit asap. Dengan cepat kedua tangan Satyabrata bergerak dan senjata api itu telah kembali ke pinggangnya.

   Joko Galing memang pucat melihat kehebatan ini, juga terkejut oleh suara ledakan-ledakan nyaring, akan tetapi dengan muka angkuh dia berkata.

   "Ayahku memiliki kekebalan! Tidak takut senjata apimu!"

   "Heh-heh-heh! Kalau pistolku berpeluru emas, ayahmu tidak akan mampu menahan dengan kekebalan. Dan selain pistol-pistol ini, lihat, apakah Parmadi lebih sakti daripada aku!"

   Satyabrata bangkit berdiri lalu dengan kedua kaki terpentang dan kedua lutut ditekuk dia lalu mendorong kedua tangannya ke arah sebatang pohon yang tumbuh dalam jarak dua tombak di depannya.

   "Heeeiihhh....!"

   Mulutnya membentak. Hawa yang dahsyat menyambar ke arah batang pohon sebesar tubuh manusia itu.

   "Wuuuttt.... braaakkk....!"

   Pohon itu tumbang, mengeluarkan suara berisik, tidak kuat menahan Aji Pukulan Margopati yang dilakukan dengan tenaga sakti yang amat dahsyat.

   "Heh-heh-heh, apa Parmadi mampu menahan tembakan pistol dan pukulanku tadi?"

   Satyabrata tertawa-tawa.

   Biarpun hatinya berdebar menyaksikan kehebatan Satyabrata, namun Joko Galing memang memiliki ketabahan luar biasa. Dia tidak mengenal takut dan sama sekali tidak cengeng.

   "Hemm, belum tentu Andika akan dapat mengalahkan Ayahku. Dan ada satu hal lagi yang Andika lupakan, Paman Satyabrata."

   "Hemm, apa itu?"

   "Bagaimanapun juga, Ibuku dan aku sudah pasti tidak sudi menjadi isteri dan anakmu!"

   Satyabrata mengerutkan alisnya dan mukanya yang tampan bersih itu berubah kemerahan, matanya yang bersinar aneh itu semakin mencorong karena marah. Dia tidak tersenyum atau tertawa lagi.

   "Begitukah pendapatmu? Kita sama lihat saja nanti! Muryani harus dan pasti mau menjadi isteriku kalau ia menghendaki kamu selamat dan hidup. Kalau ia menolak, aku akan meledakkan kepalamu dengan peluru pistolku!"

   Mendengar ancaman yang mengerikan terhadap ibu dan ayahnya itu, Joko Galing marah sekali. Lebih baik mati sekarang agar dia jangan dipergunakan untuk memaksa ibunya menjadi isteri orang jahat ini, tekadnya.

   "Keparat kau! Iblis jahat kau!"

   Setelah berkata demikian, Joko Galing melompat dan menyerang Satyabrata dengan nekat, menggunakan kedua tangan dan kepalanya untuk menyeruduk perut Satyabrata.

   Akan tetapi tentu saja serangan seorang anak kecil berusia enam tahun itu tidak ada artinya bagi seorang yang demikian saktinya seperti Satyabrata. Sekali kaki kirinya mencuat terdengar suara berdebuk dan tubuh anak itu terlempar dan jatuh bergulingan sampai empat lima tombak jauhnya! Pada saat itu tampak sesosok bayangan putih berkelebat dan seorang wanita cantik berpakaian putih sudah berdiri membelakangi Joko Galing dan menghadapi Satyabrata dengan senyumnya yang manis.

   Satyabrata terkejut dan heran melihat betapa tiba-tiba muncul seorang wanita tetapi setelah dia memandang penuh perhatian, wajahnya berseri, matanya bersinar gembira.

   "Maya Dewi....!"

   Dia berseru girang.

   "Senang sekali dapat bertemu denganmu di sini. Sudah lama aku mencarimu kemana-mana tanpa hasil."

   Maya Dewi tersenyum dan sikapnya tenang sekali. Hal ini sudah mengherankan hati Satyabrata karena dia mengira bahwa wnita cantik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan menubruk, merangkul dan mencumbunya kalau mereka saling bertemu.

   Semenjak dia datang di Tanah Jawa dari negeri Belanda, dia mendengar pemberitahuan Mayor Jakues bahwa Maya Dewi telah keluar dari pekerjaannya sebagai mata-mata Kumpeni Belanda, bahkan wanita itu berani memberontak dan menentangnya, tentu saja Mayor Belanda ini tidak menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi. Tidak menceritakan bahwa dia hendak memaksa Maya Dewi menjadi isterinya. Satyabrata lalu berusaha menemukan bekas kekasihnya itu. Akan tetapi sampai berbulan-bulan dia tidak berhasil menemukan Maya Dewi. Maka tentu saja dia girang bukan main melihat Maya Dewi tiba- tiba muncul di malam hari itu.

   "Satyabrata, setelah usiamu bertambah belasan tahun, ternyata watakmu masih juga belum berubah! Engkau menyerang anak ini yang tentu saja bukan tandinganmu."

   Satyabrata tertawa geli dan menambahkan beberapa potong kayu kering ke dalam api unggun sehingga api bernyala semakin terang.

   "Hua-ha-ha, Maya Dewi, bagaimana manusia dapat berubah? Mungkin aku lebih tua sekarang, akan tetapi semakin tua makin matang dan berpengalaman bukan? Kulihat engakau pun makin tua akan tetapi malah semakin manis dan menggairahkan, heh-heh- heh!"

   "Satyabrata,"

   Kata Maya Dewi dengan sabar akan tetapi suaranya mengandung wibawa.

   "Aku melarang engkau memukul anak ini!"

   Kembali Satyabrata tertawa.

   "Ah, tentu saja! Aku tahu akan kesenanganmu. Maya Dewi. Anak itu memang tampan dan sejak dulu engkau paling menyukai pemuda yang tampan dan kuat! Akan tetapi ingat, anak ini bukan pemuda, hanya anak-anak yang masih kecil! Untuk apa engkau menginginkannya? Tidak ada gunanya bagimu, Maya Dewi! Nanti aku bantu mencarikan pemuda-pemuda pilihan untukmu. Kita seperti dulu lagi!"

   "Cukup, Satyabrata! Aku tidak ingin mengobrol denganmu. Aku hanya ingin engkau tidak memukul anak ini dan membebaskannya!"

   "Maya Dewi, kekasihku yang manis! Lupakah engkau akan hubungan kita yang mesra pada masa lalu? Jangan bersikap menentangku seperti itu. Engkau tidak tahu siapa anak ini. Dia adalah anak dari sepasang suami isteri musuh kita, Maya. Dia anak muryani dan Parmadi."

   "Hemm, kalau dia anak mereka, mau kau apakan dia?"

   "Maya, engkau tahu betapa aku mencinta Muryani. Sampai sekarang pun aku masih rindu untuk memperisteri wanita itu. Aku menculik anaknya agar Muryani suka menjadi isteriku. Bantulah aku, Maya Dewi."

   "Engkau salah sangka, Setyabrata. Aku bukan Maya Dewi yang dulu, yang suka melakukan segala macam kejahatan. Aku tidak mau lagi membantumu. Aku telah bertaubat, Setyabrata. Aku bahkan akan menentang semua perbuatan jahat. Aku tidak sudi lagi menjadi hamba Setan melakukan kejahatan, aku ingin menjadi hamba Gusti Allah untuk menyalurkan berkahNya, melakuan kebaikan dan menentang kejahatan."

   Setyabrata tertawa, sekali ini tawanya nyaring seolah dia mendengar sesuatu yang lucu sekali.

   "Hua- ha-ha-ha-ha! Engkau, Maya Dewi Si Iblis Betina Cantik dari Banten, bertaubat dan menjadi hamba Gusti Allah menentang kejahatan? Ah, Maya Dewi, jangan main-main! Mana mungkin seorang seperti engkau ini, berkeinginan untuk bertaubat dan menebus dosa? Kalau ada dosa, maka dosamu sudah bertumpuk setinggi gunung! Kalau dikatakan kotor, kekotoran dirimu sudah berkarat tebal, rasanya tidak mungkin dibersihkan lagi. Ha-ha, lucu sekali, jangan engkau membadut, Maya!"

   Kembali Satyabrata terpingkal-pingkal menertawakan Maya Dewi.

   Tentu saja hati Maya Dewi kembali terpukul hebat oleh ucapan Satyabrata itu, akan tetapi ia mampu mengendalikan perasaannya dan menerima pukulan batin itu sebagai satu kewajaran. Sama sekali semua ucapan yang menghantam perasaannya itu tidak dipikirkan karena pikirannya sedang dicurahkan untuk mencari jalan terbaik sehingga ia dapat menyelamatkan anak itu. Ia masih ingat bahwa Satyabrata adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa dan hebat sekali. Dia sakti mandraguna, memepelajari ilmu-ilmu yang selain membuat dia sakti sekali, juga membuat dia seperti orang yang terkadang tidak waras pikirannya. Seorang yang berbahaya sekali. Dulu, ia sama sekali tidak akan mampu menandingi pria ini. Sekarang, tentu saja dengan ilmu yang ia pelajari bersama Bagus Sajiwo, mungkin ia akan mampu menandinginya. Akan tetapi ia belum yakin karena tingkat kesaktian Satyabrata memang sudah tinggi sekali dan kalau ia tidak mampu mengalahkannya, tentu ia tidak dapat menyelamatkan putera Parmadi dan Muryani. Padahal yang penting bukannya bertanding dan mengalahkan Satyabrata, melainkan menyelamatkan anak itu.

   Maya lalu menoleh dan melihat anak laki-laki itu sudah bangkit berdiri dan memandang kepadanya

   dengan mata penuh selidik.

   "Anak yang baik, engkau ikutlah aku."

   "Tidak!"

   Joko Galing berteriak.

   "Engkau adalah sahabatnya, engkau sama jahatnya dengan

   dia!"

   "Hua-ha-ha, ia malah lebih jahat!"

   Satyabrata tertawa mengejek.

   Tiba-tiba Maya Dewi mendorongkan kedua tangannya ke arah api unggun. Angin menyambar dahsyat dan kayu-kayu yang terbakar itu tersapu angin, cerai berai dan apinya padam. Cuaca menjadi gelap dan pada saat itu Maya Dewi sudah menyambar tubuh Joko Galing dan dipanggulnya.

   "Lepaskan! Aku tidak mau ikut denganmu. Lepaskan aku!"

   Anak itu meronta-ronta dan karena Maya Dewi memanggulnya dengan memegangi kedua kakinya, tubuh bagian atas anak itu berada di belakang. joko galling tidak dapat menggerakkan kedua kakinya maka dia meronta dengan kedua tangan, memukuli punggung yang lunak akan tetapi yang agaknya tidak merasakan pukulan kedua tangan, memukuli punggung yang lunak akan tetapi yang agaknya tidak merasakan pukulan kedua tangan Joko Galing itu.

   "Maya! Apa yang kaulakukan ini!"

   Bentak Satyabrata terkejut ketika api unggun padam dan cuaca menjadi gelap. Dia tidak mendengar wanita itu menjawab, akan tetapi ketika mendengar teriakan Joko Galing, Setyabrata maklum bahwa Maya Dewi menangkap anak itu dan agaknya hendak merampas anak itu darinya, Ia dapat mendengar gerakan Maya Dewi yang mulai berjalan pergi, maka cepat dicabutnya sebuah pistol dari balik bajunya. Pistol ini berbeda dengan dua buah yang terselip di ikat pinggangnya. Hanya sebuah pistol kecil dan suaranya pun tidak terlalu bising.

   "Tar-tar-tarrr....!"

   Tiga kali moncong pistol kecil itu mengeluarkan bunga api, akan tetapi tidak terdengar sesuatu dan Satyabrata tidak dapat mengejar Maya Dewi karena selain cuaca amat gelap, juga wanita itu memiliki keringanan tubuh dan kecepatan yang luar biasa. Joko Galing masih meronta-ronta sambil memaki-maki.

   "Hemm, anak yang gagah pantang menangis dan berteriak-teriak!"

   Kata Maya Dewi dan mendengar ini, Joko Galing berhenti berteriak, akan tetapi masih memukuli punggung wanita yang memanggulnya. Diamnya Joko Galing semakin mempersulit Satyabrata melakukan pengejaran terhadap Maya Dewi. Dia hanya menyumpah- nyumpah. Akan tetapi dia masih tidak percaya bahwa Maya Dewi kini sudah bertaubat dan pantang melakukan kejahatan lagi. Dia menduga bahwa tentu Maya Dewi suka kepada pemuda remaja itu, walaupun masih terlalu kecil dan Maya Dewi merampasnya untuk dimilikinya sendiri. Biarlah, biar anak itu menjadi korban Maya Dewi.

   Ini berarti bahwa dia telah membalas dendam kepada Parmadi dan Muryani. Dia akan mencari cara lain untuk mendapatkan diri Muryani, kalau perlu dengan kekerasan. Dulu dia tidak mau melakukan kekerasan terhadap Muryani karena dia memang sungguh mencintanya dan ingin memperisterinya. Akan tetapi setelah kini Muryani menjadi isteri orang lain, dia hanya ingin merampasnya dari Parmadi dan ingin memuaskan nafsu berahinya terhadap wanita yang dicintanya akan tetapi yang memilih laki-laki lain menjadi suaminya itu.

   Menjelang pagi, ketika matahari mulai mengirim cahayanya lebih dulu ke permukaan bumi sebelum dia sendiri muncul, Maya Dewi yang tadinya berlari, kini berjalan biasa memasuki sebuah hutan kecil. Joko Galing tidak meronta lagi. Anak itu kelelahan setelah sejak dipanggul dia menggunakan kedua tangan yang tergantung di belakang tubuh Maya Dewi untuk memukuli punggung wanita itu. Saking lelahnya, tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak meronta lagi.

   Setelah tiba di dalam hutan dan matahari mulai meneroboskan sinarnya melalui celah-celah daun pohon, Maya Dewi berhenti di bawah sebatang pohon lalu menurunkan tubuh anak yang sejak malam tadi dipanggulnya. Karena lelah, setelah diturunkan dan kedua kakinya menyentuh tanah, Joko Galing segera membiarkan dirinya jatuh terduduk dengan lemas.

   "Anak yang baik, engkau tidak apa-apa, bukan?"

   Maya Dewi membungkuk akan tetapi tiba- tiba ia agak menyeringai dan memejamkan kedua matanya menahan nyeri yang membakar pangkal lengan kanannya.

   Sebutir peluru telah menembus pangkal lengannya dan biarpun peluru itu tidak mengenai tulang dan menembus kulit daging pangkal lengannya, namun rasanya panas dan perih sekali. Ketika tadi terdengar tiga kali suara tembakan, Maya Dewi sudah mengerahkan kekebalan tubuhnya dan miringkan tubuh agar badan anak itu terlindung di belakang badannya sendiri. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tergetar ketika pangkal lengan kannanya terasa nyeri ditembusi peluru. Ternyata kekebalannya tidak mampu menahan terjangan sebutir peluru emas! Ia tidak merintih dan terus berlari sehingga Joko Galing tidak tahu bahwa wanita yang memanggulnya itu terluka. Kini, ketika ia membungkuk hendak memeriksa keadaan Joko Galing, Maya Dewi baru merasa betapa nyerinya luka itu.

   "Tidak perlu membujuk-rayu aku dengan sebutan anak baik!"

   Kata Joko Galing ketus.

   "aku tahu bahwa enkau adalah seorang jahat!"

   Kini Maya Dewi dapat melihat wajah anak laki- laki itu dengan jelas. Ia tersenyum melihat wajah yang tampan dan sinar mata yang tajam penuh keberanian itu. Ia mengambil saputangan putih untuk membalut lengannya sambil bertanya.

   "Bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa aku orang jahat?"

   "Tentu saja aku tahu! Aku mendengar engkau bercakap-cakap dengan penculik itu. Engkau adalah sahabatnya, engkau musuh ayah ibuku!"

   "Anak yang baik, dan engkau percaya kepadanya?"

   "Tentu saja!"

   "Dan engkau tidak percaya padaku? Engkau tidak percaya kalau aku mengatakan bahwa aku tidak mempunyai niat jahat terhadap dirimu?"

   "Aku tidak percaya! Kalau tiak jahat, mengapa engkau menculik aku?"

   Agak sukar bagi Maya Dewi untuk dapat membalut pangkal lengan kanannya hanya dengan tangan kiri dan ia gagal terus. Joko Galing melihat betapa baju putih di pangkal lengan itu berlepotan darah dan melihat wanita itu tidak juga berhasil membalut lengannya yang agaknya luka itu.

   "Mengapa lenganmu itu?"

   Dia bertanya.

   "Terkena tembakan tadi."

   Jawab Maya Dewi sambil lalu dan mencoba lagi untuk membalut pangkal lengannya.

   "Mari kubalutkan!"

   Kata Joko Galing. Anak itu memang keras dan pemberani, namun dia mewarisi kelembutan dan kepekaan hati ayahnya sehingga dia mudah merasa iba kepada orang yang menderita. Melihat wanita itu terluka dan sukar membalut lukanya, timbul perasaan iba dan dia siap membantu, seketika melupakan kemarahannya. Maya Dewi tersenyum dan menyerahkan saputangan putih itu kepada Joko Galing yang segera membalutnya dengan kuat dan rapi.

   "Terima kasih."

   Kata Maya Dewi dan ia segera terkenang kepada Bagus Sajiwo. Anak ini ternyata dapat bersikap dan berbuat baik penuh kelembutan seperti Bagus Sajiwo. Ia menghela napas panjang. Tidak mengherankan, anak ini adalah putera Parmadi dan Muryani, dua orang pendekar yang gagah perkasa dan budiman. Semakin yakinlah hatinya akan kenyataan betapa jauh bedanya antara watak para satria dan watak tokoh-tokoh dunia sesat di mana ia dahulu termasuk di dalamnya. Ia merasa bersukur dan berbahagia bahwa ia telah dapat membebaskan diri dari dunia sesat itu.

   Setelah selesai membalut pangkal lengan wanita itu, Joko Galing mengulangi pertanyaannya.

   "Bibi, kalau engkau tidak jahat, mengapa engkau menculik aku?"

   Maya Dewi memandang anak itu dan menjulurkan tangan kirinya, mengusap rambut kepala yang hitam tebal itu.

   "Engkau aneh sekali, Setyabrata yang menculikmu dengan niat jahat tadi kau percaya, sedangkan aku yang membebaskanmu dari tangan penculik, yang berniat menolongmu dan mengembalikanmu kepada Ayah Ibumu, tidak kau percaya!"

   Joko Galing memandang wajah Maya Dewi dengan mata terbelalak.

   "Bibi, engkau.... engkau menolongku dan hendak mengembalikan aku kepada Ayah Ibuku?"

   Maya Dewi mengangguk.

   "Tentu saja, kalau tidak hendak menolongmu dan mengembalikanmu kepada Ayah Ibumu, habis untuk apa aku membebaskanmu dari Satyabrata?"

   Joko Galing lalu bangkit berdiri dan mengepal kedua tangannya, memandang ke arah dari mana dia dilarikan Maya Dewi dan mengamangkan tinjunya.

   "Kalau begitu, jahanam keparat si.... siapa tadi namanya?"

   "Satyabrata,"

   Maya Dewi tersenyum.

   "Keparat Satyabrata itu! Dia telah bicara bohong tadi tentang dirimu, Bibi!"

   "Dia tidak berbohong. memang aku bukan seorang manusia yang baik...."

   "Ah, tidak! Siapa bilang? Engkau adalah seorang yang gagah perkasa dan berbudi baik, seperti Ibuku! Bibi yang baik, siapakah nama Bibi? Namaku Joko Galing!"

   "Namaku Maya Dewi, Joko."

   "Bibi Maya Dewi, aku berterima kasih sekali kepadamu. Engkau telah menolongku dan mengorbankan diri sehingga lenganmu terkena senjata api jahanam Satyabrata itu. Apakah Bibi sahabat baik Ayah Ibuku?"

   Mendengar pertanyaan ini, Maya Dewi tersenyum pahit. Ia dahulu adalah musuh Parmadi dan Muryani, musuh yang amat dibenci mereka karena memang ia melakukan segala macam perbuatan jahat.

   "Aku mengenal Parmadi dan Muryani, Ayah Ibumu itu, Joko. Marilah, kita lanjutkan perjalanan kita dan agar kita dapat berjalan cepat, mari kugendong di punggungku. Engkau tampaknya lelah dan kalau berjalan sendiri, tentu tidak akan segera bertemu Ayah Ibumu."

   "Akan tetapi, Bibi Maya. Engkau sendiri terluka, bagaimana masih akan menggendongku? Biarlah aku jalan sendiri."

   "Tidak, Joko. Kalau engkau berjalan, tentu kita akan dapat disusul Satyabrata dan sukar melindungimu karena dia seorang yang amat sakti. Jangan khawatir, luka lenganku tidak menghalangi aku menggendongmu."

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   Maya Dewi lalu berjongkok di depan Joko Galing dan anak ini tidak menolak lagi. Dia lalu menempel di punggung Maya Dewi sambil merangkulkan kedua lengannya di pundak wanita itu, berhati-hati menjaga agar tidak menyentuh pangkal lengan yang terluka.

   "Berpeganglah kuat-kuat, Joko, agar jangan terlepas dan jatuh. Aku akan berlari cepat."

   Kata Maya Dewi. Joko Galing tidak asing dengan ini karena dia pernah dingdong ayahnya atau ibunya dan dibawa lari cepat.

   "Jangan khawatir, Bibi. Aku tidak akan jatuh."

   Maya Dewi lalu berlari cepat, mengerahkan seluruh tenaganya karena ia ingin cepat-cepat menyerahkan anak ini kepada orang tuanya. Hatinya gembira karena ia mendapat kesempatan untuk melakukan kebaikan terhadap suami isteri itu. Biarlah perbuatannya ini biarpun hanya sedikit dan tidak berarti, dapat menebus dan agak mengurangi semua kesalahan yang pernah ia lakukan kepada Parmadi dan Muryani belasan tahun yang lalu.

   Mula-mula Joko Galing gembira dibawa lari cepat oleh Maya Dewi. Akan tetapi segera dia memejamkan kedua matanya karena kini Maya Dewi berlari cepat seperti terbang! Belum pernah Joko Galing dilarikan orang tuanya secepat itu sehingga dia merasa ngeri juga. Angin bersuitan di kedua telinganya dan rambutnya menjadi awut-awutan.

   "Takut, Joko?"

   Suara Maya Dewi disapu angin sehingga terdengar seperti bisikan bagi Joko Galing.

   "Ah.... sedikit, Bibi. Habis engkau terbang begini cepat!"

   Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maya Dewi tersenyum dan memang tubuhnya berkelebat cepat sekali. Ia menggunakan tangan kirinya yang tidak terluka untuk memegangi tangan Joko Galing agar anak itu tidak sampai melepaskan rangkulannya dan terancam jatuh terguling. Lengan kanannya terasa semakin nyeri dan panas. Biarlah, kalau Joko sudah kembali kepada orang tuanya, baru ia akan mencari obat untuk menyembuhkan luka di pangkal lengan kanannya.

   

Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini