Kemelut Blambangan 12
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Ia tidak harus pergi jauh. Setelah matahari naik tinggi dan Maya Dewi berjalan cepat tidak berlari lagi, keluar dari sebuah hutan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari depan. Ia berhenti di tepi jalan untuk memberi ruang kepada dua orang penunggang kuda itu. Akan tetapi setelah mereka dekat, ia mengenal mereka yang bukan lain adalah Parmadi dan Muryani. Agaknya suami isteri itu berusaha untuk mencari jejak penculik yang melarikan putera mereka. Ketika mereka melihat Maya Dewi menggendong Joko Galing yang tampaknya tertidur di gendongan wanita itu, tidur atau mungkin juga pingsan, suami isteri itu berloncatan turun.
"Maya Dewi, Iblis jahat! Kembalikan anakku!"
Muryani sudah membentak marah dan ia sudah menerjang ke depan, tangan kanannya siap menerjang ke depan, tangan kanannya siap merampas anaknya dan tangan kirinya menampar dengan Aji Pukulan Bromo Latu yang berhawa panas sekali ke arah kepala Maya Dewi.
Maya Dewi yang tidak sempat bicara, tahu-tahu diserang sedemikian hebatnya, terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis karena selain tangan kirinya ia pergunakan untuk memegang kedua tangan Joko Galing yang tertidur, juga kalau ia mengelak, ia khawatir bahkan akan membahayakan keselamatan Joko Galing yang dapat terkena pukulan nyasar.
"Wuuuttt.... desss....!"
Maya Dewi merasa betapa lengannya yang menangkis itu nyeri bukan main, kiut miut rasanya menusuk tulang dan menikam jantung. Ia tak dapat menahan dirinya lagi dan terpelanting. Ia khawatir kalau-kalau Joko Galing terbanting, maka cepat ia menggunakan kedua tangannya, walaupun lengan kananya terasa lumpuh, untuk mengangkat tubuh anak itu di depannya sehingga ketika ia terbanting telentang, tubuh Joko Galing tidak tertindih atau terbanting.
Akan tetapi Muryani menyangka bahwa Maya Dewi mengangkat tubuh Joko Galing di depannya untuk dipergunakan sebagai perisai. Ia marah sekali dan mencabut pedangnya, hendak menyerang Maya Dewi yang sudah roboh.
"Diajeng, tahan....!"
Parmadi berseru, petama karena dia tidak ingin melihat isterinya membunuh lawan yang sudah roboh, dan kedua karena kalau Maya Dewi nekat, bisa saja ia membunuh Joko Galing lebih dulu sebelum ia diserang Muryani dengan pedang. Seruan suaminya ini menahan gerakan Muryani dan ia memandang Maya Dewi dengan sinar mata penuh kebencian.
Joko Galing yang tadinya tertidur ketika dibawa lari cepat oleh Maya Dewi, segera terbangun ketika Maya Dewi roboh. dia melihat Maya Dewi roboh telentang dan ibunya dengan marah memegang pedang hendak membunuhnya. Dia cepat melepaskan diri dari pegangan Maya Dewi, lalu meloncat ke depan menghadapi ibunya dengan alis berkerut dan mata menyinarkan keheranan dan kemarahan!
"Joko....!"
Muryani hendak merangkul anaknya akan tetapi Joko galling mundur mendekati Maya Dewi yang sudah bangkit duduk dengan muka pucat dan rambut terurai lepas.
"Ibu boleh membunuh aku lebih dulu sebelum membunuh Bibi Maya Dewi!"
"Joko....!!"
Teriakan ini keluar dari mulut Muryani dan Parmadi karena mereka terkejut bukan main.
"Jangan, Joko....!"
Kata Maya Dewi lembut dan suaranya tergetar, ia bangkit berdiri, mengelus rambut kepala Joko Galing lalu berlari pergi dengan cepat walaupun agak limbung.
"Bibi Maya....! Jangan pergi dulu....!"
Joko Galing berteriak an hendak mengejar. muryani maju dan merangkul anaknya.
"Joko, apa artinya sikapmu ini?"
Muryani membalikkan tubuh anaknya dan menatap wajah anaknya penuh perhatian karena ia merasa khawatir sekali. Ia menduga bahwa tentu anaknya telah diguna- gunai dengan sihir oleh iblis betina itu.
Joko Galing meronta dan melepaskan diri dari rangkulan ibunya, lalu dia berdiri menghadapi ayah ibunya yang memandang bingung itu dan berkata lantang.
"Apakah sekarang Ayah dan Ibu sudah menjadi jahat?"
"Joko....!"
Muryani berseru kaget.
"Joko Galing, sadarlah engkau! Ini Ayah dan Ibumu yang akan membebaskanmu dari pengaruh sihir!"
Parmadi mendekat lalu meletakkan telapak tangan kirinya ke atas kepala anaknya. Joko Galing merasa hawa yang hangat menjalar ke dalam kepalanya. Akan tetapi dia pun meronta lepas dari tangan ayahnya.
"Jawablah dulu, Ayah. Apakah Ayah dan Ibu sudah berubah menjadi manusia-manusia jahat yang tidak mengenal budi?"
Muryani memandang suaminya. Dari pandang mata ini Parmadi tahu bahwa isterinya bertanya apakah anak mereka itu terpengaruh sihir guna-guna. Dia menggeleng kepala karena mendapat kenyataan tadi bahwa tidak ada hawa jahat mempengaruhi anaknya.
"Joko!"
Kata Parmadi dengan suara yang berwibawa.
"Katakanlah, apa maksudmu mengatakan Ayah dan Ibumu berubah jahat dan tidak mengenal budi? Wanita tadi Maya Dewi, adalah seorang wanita jahat seperti iblis yang sejak dahulu menjadi musuh kami. Jelas bahwa ia tidak berniat baik terhadapmu, Joko. Kami mengenalnya baik dan ia dahulu adalah sahabat baik dan sekutu Satyabrata yang kemarin menculikmu!"
"Ayah, Bibi Maya Dewi itu sama sekali tidak jahat! Malam tadi ia datang dan membawa aku lari dari Satyabrata yang mennculikku itu. Bahkan ketika menolong dan melarikan aku, ia terkena tembakan yang dilepas Satyabrata sehingga peluru menembus pankal lengan kanannya dan ia terluka parah. Ia sudah menolongku dengan taruhan nyawa sehingga lengannya terluka parah dan ia tadi sedang membawaku kembali kepada Ayah dan Ibu. Akan tetapi Ibu malah menyerangnya dan hendak membunuhnya!"
".... aahhhh....!"
Muryani berseru, mukanya berubah pucat. Ia menubruk anaknya, merangkul dan menciuminya sambil menangis.
".... duh Gusti.... apa yang telah hamba lakukan....? Ah, Joko.... maafkan Ibumu.... sungguh aku tidak menyangka...."
Joko Galing yang baru saja terlepas dari ketegangan semenjak dia diculik, kini dirangkul ibunya yang menangis tanpa suara karena dia pantang mnangis, apalagi dengan suara nyaring.
"Ibu.... ah, kasihan sekali Bibi Maya...."
"Ya Allah....!"
Parmadi juga berseru.
"Siapa yang akan mengira? Joko, Ibumu tidak bersalah. Kami sama sekali tidak pernah mengira kalau Maya Dewi benar-benar menolongmu seperti itu. Percayalah, Ayah Ibumu bukan orang jahat. Nanti kami ceritakan kepadamu siapa Maya Dewi itu yang kami kenal dahulu, belasan tahun yang lalu sebelum engkau terlahir."
"Kakangmas, kasihan ia, pergi kejar dan susullah. Kalau ia mau, undang ia ke sini agar kita dapat membantunya, mengobatinya. Kalau ia menolak, sampaikanlah maafku yang sebesar- besarnya...."
Parmadi menangguk dan cepat tubuhnya berkelebat dan berlari cepat mengejar ke arah larinya Maya Dewi. Muryani mengajak anaknya duduk di bawah pohon menanti kembalinya Parmadi. Akan tetapi tidak lama kemudian Parmadi datang sambil menggeleng kepala. Dia tidak berhasil menemukan jejak Maya Dewi.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju Perguruan Bromo Dadali di gunung Muria. Karena kuda tunggangan Joko Galing sudah hilang ketika dilarikan Satyabrata, maka Joko Galing lalu diboncengkan ayahnya. Di dalam perjalanan itu Joko Galing menceritakan segala yang didengarnya dari Satyabrata yang bermaksud merampas Muryani dari Parmadi. Diceritakannya pula tentang pertolongan Maya Dewi malam tadi dan tentang luka yang diderita Maya Dewi ketika ia ditembak Satyabrata.
Setelah anak itu selesai bercerita, Muryani yang duduk di atas kudanya yang berjalan di samping kuda yang ditunggangi suami dan anaknya, menghela napas panjang.
"Aahhh.... siapa dapat mengira bahwa Maya Dewi kini telah benar-benar bertaubat dan mengubah jalan hidupnya. Aku menyesal sekali telah salah sangka tadi."
"Tidak perlu menyesali diri, Diajeng. Bagaimanapun juga, perlakuan kita terhadap Maya Dewi itu kukira memang perlu baginya, agar ia semakin menyesali perbuatannya yang dulu-dulu dan benar-benar bertaubat. Aku yakin bahwa terjadi suatu keajaiban sehingga orang seperti Maya Dewi dapat berubah menjadi baik. Sungguh menakjubkan sekali." "Dan aku merasa heran sekali melihat munculnya Satyabrata. Telah belasan tahun dia tidak pernah menampakkan diri, juga kita tidak pernah mendengar akan beritanya. Akan tetapi, bagaimana kini secara tiba-tiba manusia sesat itu dapat muncul dan mengganggu kita?"
"Entahlah, Diajeng. Mungkin selama itu dia tekun memperdalam ilmunya atau mendapat tugas kai dari Belanda, Akan tetapi, apa yang baru saja terjadi merupakan peringatan bagi kta bahwa kita harus waspada terhadap Setyabrata karena jelas bahwa dia mempunyai niat yang tidak baik terhadap kita."
"Ih, menyebalkan sekali orang itu! Heran, kukira tadinya bahwa orang jahat itu telah mati! Kalau kita bertemu lagi dengan dia, Kakangmas, kita harus membasminya karena orang seperti Satyabrata itu amat berbahaya bagi masyarakat pada umumnya dan terutama sekali bagi Mataram karena dia adalah orang penting dari Kumpeni Belanda."
"Engkau benar, Diajeng. Kita harus berhati- hati. Keadaan menjadi gawat. Persekutuan yang kuat agaknya dibentuk Blambangan yang mengancam Mataram dan kini muncul pula Satyabrata. Kita harus membantu Mataram untuk menentang mereka yang hendak memerangi Mataram dan hendak mengacaukan kehidupan rakyat. Akan tetapi kita mempunyai titik kelemahan dan mereka tentu akan menyerang kami pada titik kelemahan itu. Marilah kita mempercepat perjalanan kita ke Muria."
Berkata demikian, Parmadi mengerling kepada Joko Galing yang duduk di depannya.
Muryani mengerti apa yang dimaksudkan suaminya. Memang, anak mereka itu merupakan titik kelemahan mereka dan para lawan yang memusuhi mereka, seperti Satyabrata, tentu akan menyerang mereka melalui anak mereka dan kalau hal ini terjadi, mereka itu sudah berada di tempat aman, dititipkan di Perguruan Bromo Dadali, maka mereka berdua akan dapat mencurahkan seluruh perhatian dan tenaga untuk menentang persekutuan yang memusuhi Mataram itu. Mereka mempercepat perjalanan menuju Gunung Muria di tepi Laut Utara (Laut Jawa)
Maya Dewi tertatih-tatih mendaki bukit yang penuh tumbuh-tumbuhan itu. Setelah tiba di tengah hutan lebat di lereng bukit, ia terkulai lemas, jatuh terduduk di bawah pohon besar dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon.
Pangkal lengan kanannya terasa nyeri bukan main. Panas, pedih, dan berdenyut-denyut. Lukanya menjadi semakin parah karena pertemuan tenaganya dengan tenaga Muryani yang menyerangnya dan ditangkisnya tadi. Pertemuan tenaga itu mengguncang seluruh lengan kanannya dan membuat luka di pangkal lengannya semakin parah.
Namun, rasa ngilu dan nyeri pada pangkal lengan kanannya itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan rasa nyeri dalam hatinya. Kembali ia tidak dipercaya, dihina, bahkan diserang oleh golongan pendekar. Ia memang dapat menerima semua sikap dan perlakuan terhadap dirinya itu sebagai buah pahit yang ia petik dari pohon tanamannya sendiri. Akan tetapi bagaimanapun juga, ia adalah seorang manusia biasa yang merasa memiliki harga diri. Kini harga dirinya berulang kali dibanting hancur berkeping-keping! Kalau golongan penjahat seperti Satyabrata membenci dan menentangnya, hal ini dapat ia terima sebagai suatu kewajaran karena ia sudah mengambil keputusan untuk menentang kejahatan membela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi ternyata golongan pendekar juga menolaknya. Golongan ini tidak percaya kepadanya dan menganggap bahwa ia kini berpura-pura menjadi baik sehingga ia menjadi bahan ejekan dan tertawaan, bahkan dimusuhi. Golongan sesat tentu saja tidak dapat menerima perubahan ini dan hendak menyeretnya kembali ke jalan sesat mereka. Kedua belah pihak tidak mau menerimanya, menolaknya sebagai orang yang tidak berharga !
"Bagus.... apa yang harus kulakukan.... ?"
Ia berbisik lemah dan tanpa suara ia menangis.
"Duh Gusti.... hamba mohon kekuatan untuk menerima semua hukuman ini...."
Kemudian ia seolah mendengar lapat-lapat sebuah diantara nasihat-nasihat yang diberikan Bagus Sajiwo kepadanya.
"Dewi, keadaan apapun yang menimpa dirimu, yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, terimalah semua itu seperti apa adanya. Kewajibanmulah untuk berikhtiar sekuat tenagamu untuk mengubah keadaan yang tidak baik menjadi baik, yang tidak enak menjadi enak, yang tidak menyenangkan menjadi menyenangkan. Akan tetapi dilandasi keyakinan bahwa hasil terakhir sepenuhnya berada dalam kekuasaan Gusti Allah. Tidaklah mungkin bagi seluruh manusia untuk mengubah keadaan apa adanya kalau tidak dikehendaki Gusti Allah. Maka, kalau usahamu tidak berhasil, jangan putus asa, usahakanlah lagi disertai kepasrahan kepada Gusti Allah Yang Maha Kasih."
Dalam kenyerian lahir batin itu teringat akan ucapan Bagus Sajiwo, Maya Dewi tersenyum!
"Terima kasih, Bagus!"
Katanya dan seolah mendapat kekuatan baru ia bangkit berdiri, menghapus air matanya. Kemudian, dengan penuh keyakinan, ia merangkap kedua tangan depan dada, memejamkan kedua matanya dan mengucapkan kata- kata lirih penuh khidmat.
"Terima kasih, Gusti. Terjadilah semua kehendakMu."
Pangkal lengannya masih terasa nyeri sekali, akan tetapi itu hanya kenyerian sebuah anggauta badan. Dan ia bukanlah lengan itu! Ia harus menggunakan akal untuk menghilangkan perasaan nyeri itu dengan mengobati lukanya. Ia harus berikhtiar dengan landasan keyakinan bahwa Gusti Allah akan menolongnya, namun apapun yang akan terjadi dengan dirinya, tidak akan meleset seujung rambut pun dari apa yang telah ditentukan olehNya. Segala kehendakNya pasti terjadi, terhadap siapa pun, kapan pun dalam keadaan yang bagaimana pun!
Mulailah Maya Dewi mencari tanaman yang dapat dipergunakan untuk mengobati lukanya. Akan tetapi karena ia tidak tahu dimana tumbuhnya bahan- bahan yang ia perlukan sedangkan di situ hanya terdapat pohon-pohon besar, Maya Dewi lalu pergi ke sebuah dusun di kaki bukit. Ia memasuki sebuah pondok sederhana dan diterima oleh penghuninya, seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahun.
"Wah, Den Ayu, Andika hendak mencari siapakah?"
Tanya wanita itu ramah dan seperti kebanyakan orang dusun, ia genbira sekali menerima kunjungan seorang yang dianggapnya sebagai priyayi (bangsawan)!
"Bibi, aku datang untuk minta pertolongan andika, akan tetapi harap jangan sebut aku Den Ayu, sebut saja namaku, Maya Dewi."
"Hemm, Maya Dewi.... alangkah indahnya nama itu, seindah orangnya. Baiklah, Maya, silakan masuk dan duduk di dalam. Kita bicara di dalam saja."
Maya Dewi merasa girang karena wanita ini menerimanya dengan begitu ramah! Kalau saja para pendekar mau menerimanya seperti sikap nenek ini ketika menerimanya, alangkah akan senang hatinya.
Mereka memasuki pondok dan duduk di atas tikar yang berada di ruangan itu. Dari keadaan prabotan rumah, Maya Dewi tahu bahwa nenek itu seorang miskin. Setelah duduk di atas tikar, Maya memandang ke sekeliling. Rumah itu sunyi, tak tampak ada seorang pun.
"Bibi, dengan siapakah Bibi tinggal di sini? Dan siapakah nama Bibi?"
"Aku dikenal sebagai Mbok Rondo Wiji (Ibu Janda Wiji) dan aku hidup sebatang kara, tinggal di sini seorang diri. Nah Maya Dewi, bantuan apakah yang dapat diberikan orang seperti aku ini, seorang janda tua miskin kepada seorang wanita muda cantik seperti Andika?"
"Bibi, saya terluka...."
Kata Maya Dewi dan tadi ketika ia bercakap-cakap sehingga perhatian terpecah, luka di pangkal lengannya tidak begitu terasa nyeri, akan tetapi begitu kini membicarakan lukanya dan perhatiannya tercurah, ia menyeringai.
"Terluka, Maya Dewi? Apamu yang terluka, nak?"
Janda itu bertanya penuh perhatian dengan wajah tampak membayangkan iba dan kekhawatiran. Melihat ini saja, terasa keharuan dan kebahagiaan menyelinap dalam hati sanubari Maya Dewi. masih ada orang yang menaruh iba dan memeperhatikannya! "Pangkal lengan kanan saya ini, Bibi Wiji...."
Maya Dewi merasa heran dan gemas kepada diri sendiri mendengar betapa suaranya itu mengandung kemanjaan! Ia lalu membuka bajunya yang berlubang di bagian pangkal lengan bawah pundak dan tampaklah pangkal lengannya yang masih ada bekas darah dan luka itu tampak mengerikan. Masih untung bagi Maya Dewi bahwa peluru pistol yang terbuat dari emas itu tembus dan tidak mematahkan tulangnya, melainkan tembus di bagian agak pinggir. Namun karena peluru itu berbau obat peledak, rasanya panas dan perih seperti dibakar di bagian dalam.
"Aduh, kenapa terluka sampai seperti ini. Maya Dewi?"
"Panjang ceritanya, Bibi. Sekarang saya minta tolong kepadamu, carikan bahan obat, yaitu Getah Pohon Gondang, Akar pohon Trengguli, Daun Bayam Duri, dan madu murni. Kalau perlu belilah, Bibi, dan ini uangnya."
"Baik, Nak Maya."
Janda iru menerima uang pemberian Maya Dewi.
"O ya Bibi. Obat-obat tadi hanya obat luar, carikan juga Temu Lawak, Asam Trengguli, dan Gula Aren agar dimasak untuk obat minum."
Nyi Wiji lalu cepat keluar dari rumah. Maya Dewi lalu mencari di dapur dan setelah menemukan prabotnya ia lalu menjerang air untuk mencuci lukanya. Tak lama kemudian Nyi Wiji datang membawa semua bahan obat yang dibutuhkan Maya Dewi. Daun Bayam Duri lalu digerus lembut dan dicampur madu murni untuk mengompres luka di bagian depan dan belakang pangkal lengan di mana peluru masuk dan menembus keluar. Kemudian Akar Pohon Trengguli ditumbuk halus, dicampur Getah Pohon Gondang dan Madu Murni dan dipanaskan di atas api kecil. Kemudian disaring dan disiramkan di atas luka dan dibalut. Kemudian temu Lawak, Asam Trengguli, dan Gula Aren dimasak dan diminum.
Setelah minum jamu yang membersihkan darah menolak keracunan, dan memakai jamu yang ditempelkan pada luka, Maya Dewi merasa lega. Perlahan-lahan rasa panas perih pada pangkal lengan kanannya menghilang, diganti rasa sejuk dan nyaman. Tahulah ia bahwa jamu itu telah bekerja dengan cepat dan ia yakin bahwa dalam beberapa hari saja lukanya akan sembuh.
Selama tiga hari Maya Dewi tinggal di rumah Mbok Rondo yang melayaninya dengan ramah dan gembira. Wanita ini, seorang desa yang sederhana dan polos, merasa terhormat sekali dapat menerima seorang priyayi atau orang kota bermalam di rumahnya.
Pada pagi hari ke empat, karena lukanya sudah sembuh, bahkan sudah mengering dan tidak perlu dibalut lagi, hanya diparami obat luar, Maya Dewi sudah siap untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan rumah janda tua di dusun itu. Nyi Wiji yang sudah tahu bahwa tamunya akan pergi pagi hari itu, sibuk di dapur.
"Nanti dulu, Nak Maya Dewi! Aku sedang membuatkan sarapan yang enak untukmu, sarapan terakhir di gubukku! Harap engkau suka menunggu dan jangan pergi dulu sebelum sarapan!"
Maya Dewi tersenyum. Selama tiga hari hidup di pondok miskin bersama Nyi Wiji, ia mengalami keadaan yang amat menyenangkan hatinya. memang, setiap hari makan minumnya amat sederhana, tidurnya pun hanya di atas lincak (bangku dari bambu) reyot. Akan tetapi, sikap Nyi Wiji yang selalu tersenyum dan amat ramah kepadanya bagaikan sinar matahari yang menerangi semua kegelapan dam relung-relung hatinya. Betapa sudah teramat lama ia merindukan sinar kasih sayang seperti itu! Kasih sayang seorang ibu atau ayah, seorang saudara, sahabat yang mengasihi bukan karena keadaan lahiriahnya belaka.
Pagi ini Nyi Wiji melarang ia untuk membantu di dapur. Ini sarapan istimewa yang harus ia buat sendiri, demikian katanya. Maya Dewi menanti masaknya makanan yang akan dihidangkan sebagai sarapan itu dan ia keluar dari dalam pondok. Udara pagi itu cerah sekali. Semua tampak bersih setelah semalam dicuci air hujan. Kini semua itu, pohon- pohon, tanaman-tanaman sampai rumput hijau, tanah dan apa saja yang masih tampak basah, seolah-olah pakaian yang habis dicuci dan kini dijemur di bawah sinar matahari pagi yang hangat. Suasana pagi hari yang cerah itu mendatangkan kenikmatan dalam hati Maya Dewi dan ia pun tersenyum cerah sehingga wajahnya yang cantik tanpa polesan atau hiasan itu tampak berseri.
Ia lalu duduk di atas bangku panjang depan rumah, memberi keleluasaan kepada badannya untuk menikmati semua keindahan itu. Matanya seolah berpesta memandang segala sesuatu yang mandi cahaya, telinganya menikmati suara burung- burung berkicau, desah angin lembut pada daun-daun pohon, teriakan anak-anak agak jauh di sana, dan lapat-lapat terdengar tangis seorang bayi disusul gumam sayang dari ibunya. Hidungnya juga menikmati keharuman tanah yang segar, bunga dan daun, terutama seluruh dirinya menikmati hawa udara segar sejuk yang memasuki dada dan perutnya.
"Pagi yang indah sekali....!"
Maya Dewi menoleh ke kanan dan di sana, sekitar dua tombak dari tempat ia duduk, berdiri deorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tubuhnya jangkung kurus sehingga mukanya seperti tengkorak terbungkus kulit. Sepasang matanya nakal, dan mulutnya tersenyum penuh arti, jelas membayangkan bahwa dia terpesona dan terkagum- kagum. Dia tadi berkata memuji keindahan pagi, akan tetapi mata dan sikapnya menunjukkan bahwa bukan pagi indah yang dia kagumi, melainkan wanita yang duduk di atas bangku reyot di depan pondok itu.
Bagi Maya Dewi, tatapan mata pria seperti itu bukan hal yang aneh atau asing lagi. Ia tahu benar bahwa laki-laki tinggi kurus ini sedang mengagumi kecantikannya secara terbuka, tidak disembunyikan sehingga mendatangkan kesan kurang ajar. Akan tetapi Maya Dewi tidak marah atau dongkol karena ia menganggap kelemahan laki-laki seperti itu masih wajar saja. Ia pun melihat bahwa dari pakaiannya, laki-laki ini bukan seorang desa yang miskin. Pakaiannya cukup mewah dan dari cara dia membawakan dirinya, mengandung sikap congkak atau tinggi hati yang menjadi ciri khas sikap orang- orang yang memiliki kedudukan, harta, atau nama besar yang membuat dia merasa lebih daripada manusia pada umumnya. Maya Dewi hanya memandang sejenak lalu menundukkan muka, pura- pura tidak tahu dan tida mengacuhkan agar orang itu segera pergi dan tidak mengganggunya lagi.
"Nimas, siapakah Andika? Andika cantik jelita seperti bidadari dari kahyangan! Manusia atau bidadarikah Andika?"
Laki-laki itu maju menghampiri sehingga berdiri di depan Maya Dewi dalam jarak sedepa. Maya Dewi dapat mencium bau harum bunga kenanga dari orang itu. Agaknya dia suka memakai wangi-wangian dari bunga kenanga.
"Saya orang biasa, nama saya Maya Dewi."
Katanya jujur.
"Adu-aduh....!"
Namanya indah seperti orangnya! Ketahuilah Nimas Maya Dewi yang cantik jelita. Aku adalah Ki Lurah Samin, lurah Dusun Waru ini. Eh, di mana Andika tinggal, Nimas?"
"Saya tinggal di sini menjadi tamu Bibi Wiji selama tiga hari, Ki Lurah."
"Sudah tiga hari? Ah, mengapa aku tidak tahu? Kalau aku tahu, tentu Andika kujadikan tamuku yang kami hormati, tinggal di kamar terbaik dalam rumah kami!"
Maya Dewi tidak menjawab. Ki Lurah Samin itu sudah mulai merayu dan kalau diberi hati, tentu akan semakin berani. Ia diam saja sambil menundukkan mukanya.
Ki Lurah Samin lalu menghampiri pintu depan pondok dan berteriak ke dalam.
"Hei.... Nyi Wiji! Aku datang! Keluarlah engkau!"
Dari dalam terdengar suara Nyi Wiji menjawab dan segera tampak wanita itu keluar dari pondok.
"Aduh, kiranya Ki Lurah yang datang! mohon maaf, Ki Lurah, saya tidak tahu bahwa Panjenengan (Andika, Paduka) yang rawuh (datang). Perintah apakah yang harus saya lakukan, Ki Lurah?"
Nyi Wiji berkata dengan sikap ramah yang tidak wajar, keramahan dibuat karena takut.
"Nyi Wiji, engkau ini bagaimana sih? Ada tamu yang begini cantik jelita seperti bidadari, mengapa tidak memberi tahu padaku? Keluargamukah Nimas Maya Dewi ini?"
"Ampun, Ki Lurah. Nak Maya Dewi ini bukan sanak keluarga saya. Bahkan sebelumnya saya tidak pernah mengenalnya. Ia datang sebagai tamu dan ingin mondok beberapa hari di rumah saya. Ia tinggal di sini selama tiga hari tiga malam dan pagi ini sudah akan pergi meninggalkan rumah saya, Ki Lurah."
"Meninggalkan tempat ini? Nimas, andika hendak pergi ke manakah?"
Tanya Ki Lurah Samin sambil menatap tajam wajah Maya Dewi yang baginya tampak semakin lama semakin menggairahkan itu.
"Hendak melanjutkan perantauan saya, ki Lurah."
"Merantau? Seorang wanita cantik jelita seperti Andika ini merantau? Di manakah rumah Andika?"
Maya Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Saya tidak punya rumah."
"Aduh kasihan....! Di mana keluargamu.... dan .... eh, suamimu....?"
Maya Dewi tetap tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Saya hidup sebatang kara."
Sepasang mata Ki Lurah Samin terbelalak, lalu bersinar gembira.
"Ah, kalau begitu sungguh tidak adil! Seorang wanita secantik bidadari seperti Andika ini sepatutnya tinggal di dalam istana, dipuja dan dihormati semua orang! Nimas Maya Dewi, kalau begitu marilah Andika ikut aku! Andika pantas menjadi sisihanku (pendampingku) yang paling kusayang. Andika akan diperlakukan sebagai seorang permaisuri, dipuja dan dihormati orang seluruh Dusun Waru, akan kusayangi dan kusanjung sebagai mustika! Marilah, Nimas, kuboyong ke dalam gedungku."
Maya Dewi tersenyum geli. Melihat tingkah Ki Lurah Samin, ia merasa seperti sedang nonton seorang dagelan (pelawak) bergaya di atas panggung ketoprak.
"Terima kasih Ki Lurah, atas kebaikan hati dan tawaran Andika. Akan tetapi maaf, saya tidak dapat menerimanya karena saya lebih suka hidup sendirian dan merantau."
"Aeh, Nimas Maya Dewi! Apa enaknya hidup sendirian dan merantau, tak menentu tempat tinggalmu dan hidup serba kurang dan sukar? Kalau engkau menjadi sisihanku, beberapa almari penuh pakaian baru dan indah siap kau pakai, makanan apapun yang kau kehendaki, akan tersedia, gedung yang paling indah di dusun ini akan menjadi tempat tinggalmu! Sudah cukup terpenuhi dengan baik sandang pangan dan papan bagimu. Ditambah lagi kasih sayang dariku, sanjungan dan penghormatan dari seluruh warga Dusun Waru. Nah, apalagi yang kurang bagi kehidupan seorang wanita?"
Maya Dewi tersenyum, manis sekali. Diam- diam ia merasa iba kepada laki-laki ini. Pria seperti ini, seperti yang telah banyak dikenalnya dahulu, adalah seorang hamba nafsu dan yang dikenal pria seperti ini hanyalah cinta nafsu berahi belaka!
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ki Lurah, kalau sebuah rumah tangga itu diumpamakan sepiring masakan, apa yang kaujanjikan dan sediakan itu merupakan bahan-bahan dan bumbu-bumbu yang serba baik dan lengkap. Akan tetapi sayang, semua bahan masakan berikut bumbunya itu belum tentu menghasilkan sepiring masakan yang lezat.
"Ah? Mengapa tidak? Kalau sayur mayurnya, dagingnya, dan bumbunya lengkap, bagaimana hasilnya tidak lezat? Kalau sandang, pangan, papan dan segala perlengkapannya sudah kusiapkan untukmu, bagaimana mugkin hidupmu tidak akan senang?"
"Andika lupa satu bumbu yang terpenting bagi masakan itu. Tanpa bumbu yang satu ini, masakan itutidak akanenak dimakan, Ki Lurah."
"Hemm, bumbu apa itu"
"Garam!"
"Ahh, tentu saja! Akan tetapi apa maksudmu dengan sebuah pernikahan, sebuah rumah tangga?"
"Garam itu adalah cinta kasih, Ki Lurah."
"Aiihh, kalau itu, aku sudah menyediakan segudang! Aku akan membanjirimu dengan cinta kasih dariku yang segudang banyaknya! Jangan khawatir, Nimas Maya Dewi. Aku bersumpah, aku sungguh cinta kepadamu!"
"Cinta kasih tidak mungkin menghasilkan kebahagiaan kalau hanya sepihak, Ki Lurah. Mungkin Andika mencintaku, akan tetapi sayang, aku tidak mencintamu seperti yang andika maksudkan. Aku tidak ingin menjadi isterimu. Maaf, Ki Lurah."
Wajah Ki Lurah Samin menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Alisnya berkerut dan muka yang kurus seperti tengkorak itu muram dan tampak menyeramkan. Dia menoleh kepada Mbok Rondo Wiji yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu mendengarkan, tidak berani ikut bicara.
"Nyi Wiji! Mengapa engkau diam saja seperti patung?!"
Ki Lurah Samin membentak marah. Wanita ini terkejut dan untuk dapat mengatakan sesuatu sebagai jawaban, ia lalu berkata, agak gagap.
"Maaf, ki Lurah..... anu.... saya kira.... Paduka tergesa-gesa.... eh, maksud saya , nak Maya Dewi ini tentu saja malu dilamar secara tiba-tiba begini...."
Ki Lurah Samin mengangguk-angguk dan tangan kanannya bertolak pinggang, tangan kiri mengelus kumisnya yang hanya beberapa helai seperti kumis kucing.
"Hemm.... malu, ya?"
Dia melihat betapa wajah cantik Maya Dewi itu sama sekali tidak memperlihatkan kemarahan, bahkan wanita itu tetap tersenyum dengan muka ditundukkan.
"Ya, engkau benar, Nyi Wiji! Ia malu! Nah, kalau begitu, engkau kuserahi tugas. engkau bujuklah ia sampai mau menjadi sisihanku. Kalau hal itu dapat terjadi, ganjaranmu besar. Rumah gubukmu ini akan kubangun menjadi rumah besar, lengkap dengan prabotnya. Dan akan kuhadiahi pakaian dan uang! Nah, lakukanlah. Aku menanti di Kelurahan! Nimas, aku pergi dulu. berbincang-bincanglah dengan Nyi Wiji. Aku akan mempersiapkan segalanya untukmu, Nimas."
Setelah berkata demikian, Ki Lurah Samin memutar tubuh, akan tetapi baru dua langkah dia berjalan, dia berhenti dan memutar tubuh kambali, menghadapi Mbok Rondo Wiji.
"Ingat, Nyi Wiji. Kalau engkau gagal membujuknya, akan kubakar gubukmu ini dan engkau akan dihukum rangket dengan lima puluh kali cambukan!"
Setelah berkata dengan nada penuh ancaman yang membuat Nyi Wiji seketika pucat dan tubuhnya gemetaran itu, Ki Lurah Samin kembali memutar tubuhnya pergi dari situ. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba pundaknya ditepuk orang dari belakang dan suara merdu Maya Dewi terdengar.
"Tunggu dulu, Ki Lurah!"
Ki Lurah Samin memutar tubuhnya dan wajahnya yang seperti tengkorak itu berseri ketika melihat siapa yang tadi menyentuh pundaknya. Maya Dewi yang secantik bidadari baginya itulah yang menyentuh pundaknya!
"Aduh, manisku! Engkau mau ikut denganku sekarang juga?"
Katanya sambil mengembangkan kedua lengannya seperti hendak merangkul.
Akan tetapi kini senyuman telah menghilang dari wajah ayu itu. Mulut Maya Dewi membentuk garis yang tegas dan sepasang matanya memandang dengan kilatan tajam menembus, suaranya juga terdengar mengandung teguran.
"Ki Lurah Samin, ingatlah bahwa rencana perbuatanmu ini jahat dan menyimpang dari kebenaran yang akhirnya akan menyeretmu ke dalam jurang kesengsaraan."
"Apa.... ??"
Ki Lurah terbelalak memandang Maya Dewi, lalu dia tertawa bergelak.
Wajahnya yang seperti tengkorak itu menjadi semakin mengerikan ketika dia tertawa terbahak-bahak
seperti itu.
"Ha-ha-he- he-hah....!"
Aku, lurah di dusun ini, orang yang paling berkuasa di seluruh desa. Kalau aku hendak mengambil seorang wanita sebagai selirku, apakah salahnya? Itu tidak menyimpang dari kebenaran dan tak seorang pun di dusun ini boleh melarangku!"
"Ki Lurah, bagi seorang laki-laki hendak mengambil seorang wanita sebagai selir, barulah hal itu dianggap benar kalau si wanita bersedia dan dengan suka rela mau menjadi selirnya. Akan tetapi engkau hendak memaksakan kehendakmu, itulah kesalahanmu yang pertama. Kemudian, kesalahanmu yang kedua, yang tidak kalah jahatnya, engkau memaksa Bibi Wiji membujukku dengan ancaman, kalau gagal engkau akan membakar rumahnya dan menghukumnya dengan siksaan cambuk. Kalau di dusun ini tidak ada orang yang berani melarangmu melakukan kekejian itu, akulah yang melarangmu, Ki Lurah!"
Ki Lurah Samin membelalakkan matanya.
"Engkau? Engkau berani melarang aku? Ha-ha-ha, kalau begitu sekarang juga engkau akan kuboyong ke rumahku, coba, engkau hendak melarang dengan cara bagaimana? Mari kupondong engkau, manis!"
Ternyata Ki Lurah Samin yang kurus kering itu, dapat bergerak dengan sigap juga. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga kuat ketika tiba-tiba dia menerkam ke depan, ke arah Maya Dewi bagaikan seekor harimau menubruk domba. Maksudnya, sekali terkam dia akan merangkul dan memondong tubuh yang sintal itu lalu membawanya pulang ke rumahnya. Dia yakin tidak akan ada seorang pun yang berani mencegah atau menghalangi karena selain dia dianggap sebagai orang yang digdaya, juga dia mempunyai pasukan jaga baya yang namanya saja disebut penjaga keamanan akan tetapi ulah dua losin anggauta pasukan keamanan ini sebaliknya malah perusak keamanan karena mereka menindas rakyat dengan perbuatan sewenang-wenang! Kalau pemimpinnya buruk watak, bagaimana mungkin anak buahnya dapat berwatak baik?
Maya Dewi tidak marah, hal ini memang akan mengherankan semua orang yang dulu pernah mengenalnya. dulu, sebelum Maya Dewi bertemu dengan bagus sajiwo, kalau ada laki-laki bersikap seperti Ki Lurah Samin, jangan harap dapat lolos dari tangnnya yang kejam. Sekarang marah pun ia tidak biarpun ulah Ki Lurah Samin itu amat merendahkan dan menghinya. dalam hati Maya Dewi telah terukir banyak hal yang pernah diucapkan.
"Mengampuni kesalahan orang lain kepada kita merupakan jalan satu-satunya agar kita mendapat ampunan dari Gusti Allah."
Suara hati sanubari ini melenyapkan kemarahan dan dendam. Maya Dewi selalu ingat akan semua dosanya yang pernah ia lakukan. Kejahatan Ki Lurah Samin ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan semua kejahatan yang pernah ia lakukan. Kalau kejahatan Ki Lurah Samin yang demikian kecilnya saja ia tidak mampu memaafkannya, lalu bagaimana mungkin ia menghendaki pengampunan dari Gusti Allah atas dosa-dosanya yang jauh lebih banyak dan lebih jahat?
Maka, Maya Dewi membatasi tenaganya ketika ia mengebutkan tangan kirinya ke arah penyerangnya, seperti orang mengusir lalat dengan kibasan tangannya. Akan tetapi akibatnya cukup hebat bagi Ki Lurah Samin. Ketika dia tadi menerkam dan tidak melihat Maya Dewi mengelak, dia senang sekali, seolah sudah dapat merangkul dan merasa betapa tubuh yang denok lembut hangat itu meronta-ronta dalam pelukannya ketika dia pondong. Akan tetapi tiba-tiba Maya Dewi mengibaskan tangan kirinya dan Ki Lurah Samin berteriak kaget. Tubuhnya seperti sehelai daun kering terbawa angin! Dia tidak mampu mempertahankan diri dan terlempar sejauh dua tombak dan terbanting ke atas tanah. Terdengar suara berdebuk disusul bunyi ngek ketika pantat yang tak berdaging itu terbanting ke tanah dan debu mengebul.
Marahlah Ki Lurah Samin. Selama bertahun- tahun menjadi Lurah, tidak pernah ada orang yang berani menentangnya dan kini wanita muda cantik itu telah membuat dia malu dan pantatnya tersa nyeri. Terseok-seok dia bangkit dan menghampiri Maya Dewi.
"Berani engkau melawan aku?"
Bentaknya dan biarpun pantatnya masih nyeri sekali, karena marah, dia memaksa diri menerjang maju dengan tangan kanan menampar kepala Maya Dewi, tangan kiri mencengkeram ke arah dada yang montok itu.
Maya Dewi menggerakkan kaki kirinya mencuat ke depan dan sebelum kedua tangan Ki Lurah Samin mengenai sasaran, lebih dulu perutnya dihantam ujung kaki mungil Maya Dewi.
"Blegg....!"
Kembali tubuh ceking itu terlempar ke belakang dan sekali ini, sambil meringis Ki Lurah Samin merangkak bangun dengan tangan kiri meraba pantat, tangan kanan menekan perut. Entah mana yang lebih nyeri, perutnya yang mulas atau pantatnya yang dua kali terbanting ke tanah itu. Dia tidak tahu bahwa kalau Maya Dewi tidak membatasi tenaganya, sudah sejak tadi dia rebah tanpa dapat bangun lagi selamanya!
"Ki Lurah Samin, kuperingatkan Andika. Sadarlah dan bertaubatlah. Kehidupan Andika akan menjadi jauh lebih baik dan bahagia!"
Akan tetapi Ki Lurah Samin yang kini menyadari bahwa wanita cantik itu sakti mandraguna dan dia maklum bahwa kalau melawan terus, dia akan celaka, segera melontarkan ancamannya.
"Maya Dewi, kau tunggu saja! aku akan kembali untuk membalas penghinaan ini!"
Setelah berkata demikian, sambil masih meraba pantat dan perut, dia lari terpincang-pincang menju kelurahan.
Mbok Rondo Wiji dengan tubuh gemetar menghampiri Maya Dewi lalu berkata dengan wajah ketakutan.
"Maya Dewi.... cepat, larilah! Pergi dai sini karena.... karena...."
Saking takut hatinya, Nyi Wiji menjadi gagap dan sulit bicara.
"Mengapa, Bibi? Mengapa aku harus melarikan diri?"
"Ah, cepatlah Maya. Engkau tidak tahu! Ki Lurah Samin itu terkenal jahat, sewenang-wehang. Cepat pergilah!"
"Aku tidak takut, Bibi."
"Tapi.... tapi.... dia mempunyai dua losin anak buah yang kejam-kejam, para tukang pukul itu tidak mengenal kasihan dan akan menyiksa siapa saja yang berani menentang Ki Lurah Samin."
Maya Dewi menatap wajah Nyi Wiji dan bertanya.
"Akan tetapi, Bibi, bagaimana dengan Andika sendiri? Bukankah Andika tadi diancam, akan dibakar rumahmu dan Andika sendiri akan disiksa, dicambuki? Mengapa Andika begini mengkhawatirkan aku, sedangkan dirimu sendiri terancam?"
"Ah, aku sudah tua, Maya. Aku hidup seorang diri dan miskin. Kalau mereka mau membakar gubukku, silakan. Kalau hendak menyiksa aku sampai aku mati, juga tidak mengapa! Akan tetapi engkau.... ah, engkau masih muda, Maya. Tidak boleh mati sia- sia. Maka, pergilah, Nak. Cepat larilah selagi masih ada kesempatan."
Untuk ucapan Nyi Wiji itu saja rasanya Maya Dewi mau untuk membela wanita tua itu dengan taruhan nyawanya sendiri! Betapa sejuk rasa hatinya mendengar ada orang mau membelanya, memperhatikannya dan menyayangnya setelah berulang kali ia hanya menerima hinaan dan permusuhan dari orang-orang lain. Ia merangkul pundak Nyi Wiji dan mengajaknya memasuki pondok.
"Jangan khawatir, Bibi. Aku akan menghadapi mereka dan kalau mereka bersikap buruk, aku akan menghajar mereka. Sekarang lebih baik kita sarapan dan jangan ingat mereka lagi!"
Mereka berdua makan sarapan pagi. Kalau Nyi Wiji makan tidak tenang, berulang kali menoleh ke arah pintu dengan wajah ketakutan, Maya Dewi sebaliknya bersikap tenang saja dan makan dengan enak, seolah ia telah lupa akan ancaman Ki Lurah Samin tadi.
Baru saja mereka seleai makan dan mencuci tangan, terdengar suara ribut-ribut di luar pondok. Nyi Wiji menggigil ketakutan. Maya Dewi bangkit berdiri dan menjenguk ke luar. Ia melihat Ki Lurah Samin berjalan, masih agak pincang, menghampiri pondok, diikuti dua losin orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai emapat puluh tahun. Rata-rata mereka bertubuh besar dan kokoh, berwajah bengis dan dipinggang mereka tergantung sebatang kewang.
Ki Lurah Samin bertolak pinggang dan berteriak dengan suara lantang, penuh kemarahan.
"Nyi Wiji....! Cepat suruh Maya Dewi keluar atau kubakar gubuk ini agar kalian berdua menjadi arang!"
Dengan tubuh menggigil Nyi Wiji masih menasihati Maya Dewi.
"Maya Dewi, cepat lari.... melalui pintu belakang!"
Maya Dewi tersenyum dan memegang kedua pundak janda yang ketakutan itu.
"Bibi, duduklah saja di sini dan jangan keluar. Aku akan menghadapi mereka. Tenanglah!"
Setelah berkata demikian, Maya Dewi melangkah keluar dari pintu depan pondok. Langkah dan sikapnya tenang sekali dan dua losin tukang pukul itu terbelalak kagum melihat wanita cantik itu. Maklumlah mereka mengapa juragan mereka sampai mengerahkan dua losin orang untuk mendapatkan wanita ini.
"Waduh cantiknya1" "Kalah dewi kahyangan!"
"Ini baru namanya wanita cantik!"
"Wah, sekali ini Ki Lurah memiliki pilihan yang tepat!"
Mereka menjadi ribut bicara sendiri, memuji- muji Maya Dewi dan tertawa-tawa seperti kebiasaan para pria yang kasar dan tampak kekurangajarannya kalau melihat wanita. Maya Dewi tetap tersenyum dan sabar.
"Ki Lurah Samin, apa kehendak Andika datang bersama banyak kawanmu ini?"
Tanyanya dengan lembut.
"Maya Dewi, hayo cepat engkau berlutut, lalu engkau ikut denganku pulang ke rumahku dan menjadi selirku!"
"Hemm, bagaimana kalau aku tidak mau?"
Tanya Maya Dewi.
"Tidak mau? Akan kupergunakan kekerasan! Mau atau tidak mau engkau harus ikut aku menjadi selirku!"
"Ki Lurah Samin, sudah kuperingatkan kepadamu, kejahatan akan menyeretmu kepada kehancuran dan kesengsaraan. Bertaubatlah dan kembali ke jalan kebenaran agar engkau dapat hidup tenteram bahagia."
Mendengar ucapan ini, dua losin tukang pukul itu tertawa bergelak. Ki Lurah Samin menjadi marah sekali. Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah Maya Dewi dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.
"Tangkap perempuan ini!"
Dua losin orang tukang pukul yang sudah biasa memukuli, menyiksa bahkan membunuh orang itu, bersorak mendengar perintah ini. Mereka merasa gembira diberi kesempatan untuk meringkus tubuh sintal wanita cantik itu. Bagaikan sekawanan anjing berebutan tulang, dua losin orang itu sambil tertawa-tawa berlumba maju untuk menerkam dan meringkus Maya Dewi.
Akan tetapi terjadi kenehan. mereka yang lebih dulu mendekati Maya Dewi dan menerkam ke arah wanita itu, tiba-tiba terpental dan terlempar ke belakang! Teman-teman yang lain menyusul dengan terkaman mereka, namun mereka juga terpental dan terlempar ke belakang! Ketika menubruk itu mereka merasa seolah tubuh Maya Dewi dilindungi hawa yang amat kuat, yang membuat tenaga tubrukan mereka membalik sehingga mereka terpental ke belakang. Bergantian dua puluh empat orang ini menubruk dan mereka semua berpelantingan terpental ke belakang.
Itulah Aji Sari Bantala yang ia pelajari bersama Bagus Sajiwo. menghadapi serangan dari lawan yang tidak memiliki tenaga sakti tingkat tinggi, tanpa menggerakkan tubuhnya Maya Dewi dilindungi hawa sakti yang amat kuat sehingga para penyerangnya terpental sendiri oleh tenaga serangan mereka yang membalik! Melihat betapa orang-orangnya berpelantingan, Ki Lurah Samin marah dan penasaran, mengira bahwa anak buahnya tidak turun tangan dengan sungguh- sungguh.
"Hayo tangkap perempuan itu! Tangkap!"
Ia berteriak-teriak dan melihat betapa anak buahnya bersikap ragu-ragu, dia sendiri melompat dekat memimpin anak buahnya untuk meringkus Maya Dewi. Akan tetapi seperti juga yang lain, ketika tubuhnya sudah dekat dan kedua lengannya yang dikembangkan hendak merangkul, tiba-tiba tubuh Ki Lurah Samin terpental dan terlempar ke belakang, bahkan lebih kuat daripada yang dialami anak buahnya karena ketika menubruk dia pun menggunakan tenaga yang lebih kuat. Tenaganya itu membalik dan dia terlempar lalu terbanting jatuh, membuat dia pringisan (menyeringai) karena pantatnya yang belum sembuh betul dari bantingan tadi kini terasa semakin nyeri selah tulang-tulangnya retak!
Orang yang biasa mengagulkan diri sendiri, merasa paling berkuasa dan paling kuat, tidak pernah dapat menyadari akan kelemahan sendiri dan karenanya sukar dapat menerima dan mengakui kekalahannya. Demikian pula Ki Lurah Samin. Biasanya, kalau sudah maju mengerahkan dua losin orang tukang pukulnya, apa pun yang dikehendakinya pasti dapat diperoleh, baik dengan bujukan halus maupun dengan jalan kasar memaksakan kehendak.
Kini, melihat kekalahannya, dia tidak dapat menerimanya, bahkan kegagalan itu membuat dia menjadi pensaran dan marah sekali. Saking marahnya, dia melupakan rasa nyeri dipantatnya, bangkit dan mencabut goloknya.
"Bunuh perempuan setan ini!"
Teriaknya sambil mengacung-acungkan goloknya. Semua rasa kagum tergila-gila dan cintanya kini tidak berbekas lagi, terganti oleh perasaan benci dan dendam! Didahului Ki Lurah Samin, dua puluh empat orang itu mencabut kelewang dan kini mereka menerjang kepada Maya Dewi, seolah hendak berlumba membunuh wanita yang tadi mereka kagumi itu.
Maya Dewi mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka karena lurah itu tidak dapat dibujuk dan disadarkan. Tubuhnya berkelebat dan dua puluh orang itu terkejut bukan main ketika tubuh Maya Dewi tiba-tiba lenyap dan yang tampak hanya bayangan menyambar-nyambar. Mereka mencoba menyerang bayangan ini, akan tetapi Maya Dewi telah dulu membagi-bagi tamparan sehingga para pengeroyoknya berpelantingan, mengaduh-aduh dan hanya mampu bangkit duduk, tidak kuat atau tidak berani bangkit berdiri, apalagi mengeroyok lagi.
Gerakan Maya Dewi yang seolah pandai menghilang dan tamparan-tamparannya yang membuat kepala mereka serasa hampir pecah itu menyadarkan mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sakti mandraguna! Dalam waktu singkat saja dua losin jagoan itu telah roboh semua dan hanya dapat duduk dan merintih kesakitan. Hanya tinggal Ki Lurah Samin yang belum roboh karena dia tadi memang agak menjauh ketika melihat Maya Dewi berubah menjadi bayangan yang mengamuk. Kini, melihat anak buahnya roboh semua, Ki Lurah Samin segera membalikkan tubuhnya dan melarikan diri.
Memang beginilah watak seorang pengecut. Dia biasanya bertindak keras dan kejam terhadap korbannya kalau dia memperkuat kedudukan dengan banyak anak buah. Kekejamannya itu menunjukkan bahwa sebetulnya pada lubuk hatinya perdapat rasa takut yang menghantuinya sehingga dia bertindak berlebihan untuk menyembunyikan rasa takutnya. Akan tetapi kalau dia sadar bahwa keadaannya terancam bahaya, tanpa segan atau malu lagi dia tentu akan melarikan diri!
"Ki Lurah Samin, berhenti!"
Maya Dewi membentak, suaranya mengandung wibawa yang amat kuat. Wania ini sekarang tidak lagi mau menggunakan kekuatan sihir, bahkan kekuatan sihirnya telah dilepaskannya, tidak mau ia mempergunakan kekuatan sihir lagi. Akan tetapi karena ia memiliki tenaga sakti yang kuat sekali, maka ketika ia membentak dan memerintahkan berhenti, otomatis Ki Lurah Samin berhenti seolah tubuhnya ditahan kekuatan yang hebat.
"Ki Lurah Samin, Andika ke sinilah, aku mau bicara!"
Kembali Maya Dewi berkata dan lurah itu seperti terpesona, lalu perlahan-lahan berjalan menghampiri Maya Dewi. Akan tetapi setelah dekat, dia merasakan ketakutan hebat dan tiba-tiba dia menggerakkan goloknya menyerang Maya Dewi dengan bacokan sekuat tenaga ke arah muka wanita itu!
Maya Dewi maklum bahwa serangan ini merupakan serangan untuk membunuh dengan nekat dari seorang yang putus asa dan ketakutan. Betapa kejamnya manusia yang hati akal pikirannya sudah menjadi hamba nafsu dan segala daya upayanya ditujukan semata untuk kemenangan dan kesenangan diri sendiri tidak segan untuk melakukan kejahatan sekejam apa pun kepada orang lain! Orang seperti ini kalau tidak dapat disadarkan, akan menjadi bahaya bagi keselamatan orang-orang lain. Ada dua cara untuk menyadarkan orang. Yang pertama adalah dengan kelemah lembutan, membuka kebodohannya sehingga dia mengerti dan sadar. Akan tetapi ada yang sudah sedemikian kuatnya nafsu menguasai dirinya sehingga perlu dilakukan cara kedua, yaitu dengan kekerasan dan
(Lanjut ke Jilid 14)
Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
hukuman sehingga dia dapat merasakan akibat yang tidak enak dari kejahatannya!
Menghadapi Ki Lurah Samin, Maya Dewi mengambil cara yang kedua karena maklum bahwa cara bujukan halus tidak akan berhasil. Ketika golok di tangan Ki Lurah Samin sudah menyambar dekat, Maya Dewi miringkan tubuhnya ke kiri, kemudian memutar tubuh, menggunakan tangan kanan untuk menangkap tangan Ki Lurah Samin yang memegang golok, mendorongnya dengan sentakan kuat sehingga golok itu membalik dan membacok ke arah telinga kirinya sendiri.
"Crakk! Aduuhhh....!"
Golok terlepas dan darah muncrat dari bagian kiri kepala di mana telinganya tadi menempel. Daun telinga itu telah terbabat putus dan kini Ki Lurah Samin yang merasakan kenyerian hebat, jatuh berlutut, mengaduh- aduh sambil mendekap kepala sebelah kiri dengan kedua tangannya!
"Masih hendak kau lanjutkan pengumbaran kekuasaanmu?"
Maya Dewi berkata dan sekali ini, Ki Lurah Samin benar-benar mati kutu. Semua kegarangan dan keberaniannya lenyap, terganti rasa takut yang hebat. Dua losin orang tukang pukulnya sudah roboh semua dan dia sendiri terluka parah, daun telinganya buntung dan darah mengalir deras dari lukanya.
"Ampun...., hamba mohon ampun.... Den Ayu....!"
Ki Lurah Samin merintih ketakutan karena dia benar-benar merasa ngeri dan takut dibunuh wanita yang sakti mandraguna itu. Tiba-tiba dengan cepat sekali jari tangan Maya Dewi bergerak dan sebelum Ki Lurah Samin tahu apa yang terjadi, jari tangan wanita perkasa itu telah menotok leher sebelah kiri di bawah telinga kiri yang terluka.
"Aduh, mati aku....!"
Ki Lurah Samin berteriak dan terguling. Akan tetapi dia tidak merasa sakit dan darah yang tadi bercucuran dari lukanya kini berhenti mengalir. Dia bangkit dan berlutut sambil menyembah-nyembah.
"Ampunkan hamba.... jangan bunuh hamba...."
"Hemm, kalau engkau minta-minta ampun begini, apakah engkau tidak ingat kepada mereka yang pernah minta-minta ampun kepadamu? Mintalah pengampunan dari Gusti Allah dan sejak saat ini sadarlah bahwa perbuatanmu yang kejam dan jahat hanya akan mendatangkan malapetaka bagi dirimu sendiri dan sekeluargamu. Seorang lurah kepala dusun bukan diangkat untuk menindas warganya, melainkan untuk mengatur agar warganya hidup aman tenteram dan sejahtera. Aja dumeh (jangan mentang-mentang) engkau menjadi lurah lalu mengumbar hawa nafsumu, mencari kesenangan diri sendiri dengan mengorbankan dan menindas warga dusun ini. Jangan bersikap sebagai raja! Engkau hanya lurah, masih banyak atasanmu yang lebih besar kekuasaannya. Bahkan raja sekali pun tidak boleh sewenang-wenang, karena di atas raja pun masih ada kekuasaan yang jauh melebihinya, yaitu kekuasaan Gusti Allah! Semua pamong praja termasuk rajanya dapat memperoleh kedudukannya karena ada rakyatnya. Tanpa adanya rakyat, lurah seperti engkau ini, atau bahkan raja sekali pun, tidak ada artinya dan bukan apa-apa! Karena itu, kepentingan rakyat haruslah diutamakan, harus dilayani karena sesungguhnya engkau ini hanyalah pelayan rakyat!"
Ketika Maya Dewi berhenti bicara, Ki Lurah Samin kembali minta-minta ampun dan sekali ini, dua losin anak buahnya juga ramai-ramai mohon ampun dari Maya Dewi.
"Aku tidak berhak mengampuni kalian. Hanya Gusti Allah yang berhak menentukan, apakah kalian dapat diampuni atau tidak. Akantetapi ingatlah ini, Ki Lurah Samin. Kalau lain kali aku lewat di sini dan mendengar bahwa engkau masih bertindak sewenang- wenang menindas warga dusun ini, tidak menjadi lurah yang baik, bukan hanya sebelah telingamu yang buntung, akan tetapi lehermu!"
"Ampun.... Den Ayu....!"
"Dan kalian para anak buah Ki Lurah Samin. Mulai sekarang, kalian harus benar-benar menjadi jogo-boyo yang baik, mejaga keamanan dusun ini, membela warga dan menentang kejahatan! Kalian ingat selalu, pada suatu hari aku akan lewat di sini dan aku akan bertindak keras untuk menghukum siapa di antara kalian yang masih menggunakan kekuatan untuk menindas warga dusun!"
Terdengar suara berisik dan ketika Maya Dewi menoleh, kiranya penduduk dusun itu telah berdatangan ke tempat itu, menonton dari tempat aman, agak jauh. Akan tetapi mereka semua melihat dan mendengar semua yang terjadi dan wajah mereka tampak gembira dan mereka saling bicara sendiri sambil tersenyum. Tentu saja peristiwa itu membuat semua orang lega dan gembira melihat Ki Lurah Samin dan anak buahnya yang ditakuti semua warga kini mendapat hajaran keras. Melihat semua orang berkumpul, Maya Dewi tidak ingin disanjung dan dipuji, maka sekali lagi ia membentak.
"Ki Lurah Samin dan kalian semua para jogo- boyo, aku pergi dan pada suatu saat aku pasti kembali untuk melihat apakah kalian sudah berubah baik."
Setelah berkata demikian, Maya Dewi menggunakan kepandaiannya, sekali tubuhnya berkelebat ia sudah berloncatan dan berlari cepat sekali sehingga tahu- tahu bayangannya sudah tiba kauh dari situ. Semua orang, termasuk ki Lurah samin dan anak buahnya, terkejut bukan main.
Tindakan Maya Dewi ini ternyata sangat menolong. Terjadi perbahan besar di dusun Waru. Ancaman Maya Dewi yang mengatakan bahwa sewaktu-waktu ia akan muncul kembali di dusun itu membuat Ki Lurah Samin dan anak buahnya ketakutan. Mereka benar-benar merasa jera dan sedikit terjadi perubahan pada watak dan sikap mereka. Mula-mula memang perubahan ini mereka paksakan, Semua gejolak nafsu mereka tekan karena rasa ngeri dan takut kepada ancaman Maya Dewi. Akan tetapi setelah terbiasa bersikap baik terhadap warga dusun dan mereka mulai dapat merasakan betapa senangnya dalam suasana damai seperti itu, melihat betapa sikap baik mereka pun mendatangkan rasa suka, hormat, dan patuh kepada warga dusun, mereka mulai merasa senang dengan keadaan itu! Memang sesungguhnya bahwa sikap baik atau buruk seseorang dapat disebabkan oleh kebiasaan dan lingkungan. Keadaan lingkungan mempengaruhi sikap orang, dan sikap ini kalau sudah terbiasa menjadi watak. Pelakunya tidak melihat kesalahan apa pun dalam sikapnya itu.
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo