Kemelut Blambangan 19
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Dan bagaimana dengan Anakmas Joko Darmono tadi?"
"Kami juga masih bingung, Kanjeng Rama. Dia muncul dan.... tiba-tiba dia marah dan menyerang kami. Akan tetapi Kakangmas Bagus mengalahkannya dan dia pun melarikan diri."
"Hemm, dia menyerang kalian? Mengapa begitu? Anakmas Bagus Sajiwo, dia adalah sahabat baikmu, tentu Andika mengerti mengapa Anakmas Joko Darmono tiba-tiba menjadi marah dan hendak membunuh kalian berdua. Mengapa begitu?"
Akan tetapi, melihat wajah puterinya yang masih kusut dan agak pucat, dan pandang mata gadis itu tampak bingung, Ki Sarwaguna berkata.
"Sudahlah, nanti saja kita bicara soal itu. Sekarang sebaiknya kita pulang dulu. Engkau perlu mandi dan makan agar tenang kembali, Ratna."
"Nanti dulu, Kanjeng Rama. Saya ingin sekali menangkap dan mengetahui siapa mereka yang telah membius dan menculik saya semalam. Mereka bilang hendak kembali ke sini bersama teman-teman mereka. Saya ingin menghajar orang-orang yang jahat itu!"
"Tidak perlu, Ratna. Bagaimana kalau mereka tidak datang? Kukira, melihat Anakmas Bagus Sajiwo dan aku sendiri berada di sini dan engkau sudah bebas, mereka tidak akan berani datang. Kalau mereka datang, biar mereka datang ke perkampungan kita dan kita hadapi mereka bersama."
"Paman Sarwaguna benar, Nimas Ratna. Kupikir sebaiknya kalau kita pulang ke perkampungan dulu. Engkau perlu beristirahat untuk memulihkan ketenanganmu. Kalau ada pihak memusuhi kita, biarkan mereka datang ke perkampungan!"
Setelah Bagus Sajiwo berkata demikian, Ratna Manohara yang merasa penasaran dan sakit hati terhadap dua orang penculiknya menurut dan mereka bertiga lalu kembali ke pekampungan. Setelah Ratna mandi, bertukar pakaian dan makan, mereka bertiga duduk bercakap-cakap di ruangan dalam.
"Kanjeng Rama, dapatkah Rama menduga siapa adanya dua orang yang membius dan menculik saya? Mereka berdua agaknya sengaja menyembunyikan jati dirinya dari saya sehingga saya tidak dapat memandang muka mereka dengan jelas."
"Kalau menurut dugaan saya, Paman, mereka pasti orang-orang Blambangan yang hendak membalas kekalahan mereka ketika mereka menyerbu perkampungan Driya Pawitra di teluk Grajagan dahulu. Siapa lagi yang memusuhi Paman sekeluarga kalau bukan mereka?"
Kata Bagus Sajiwo.
Ki Sarwaguna mengangguk-angguk.
"Aku pun hampir yakin bahwa mereka tentu orang-orang Blambangan. Dan mendengar bahwa Joko Darmono menyerang kalian berdua, aku mempunyai keyakinan bahwa tentu dia bekerja sama dengan orang Blambangan. Siapa tahu dia itu mata-mata Blambangan. Aku sudah mencurigainya sejak semula. Pertama, aku sudah merasa heran mendengar dia murid Nini Kuntigarba. Kedua, logat bicaranya aneh dan semua sikapnya seperti palsu dan merahasiakan sesuatu. Dan sekarang, ternyata dia menyerang kalian berdua! Jelas bahwa dia adalah musuh yang menyusup dan menyamar."
Bagus Sajiwo saling bertukar pandang dengan Ratna Manohara. Keduanya tidak memberi tanggapan atas dugaan Ki Sarwaguna. Ratna tetap memegang teguh janjinya kepada Niken Darmini, tidak mau membuka rahasia sahabatnya itu yang kini tentu membencinya karena cemburu. Maka ia diam saja.
"Anakmas Bagus Sajiwo, bagaimana pendapat Andika? Bukankah penyerangan Joko Darmono terhadap Andika dan Ratna merupakan bukti bahwa dia adalah musuh dan mungkin menjadi antek Blambangan?"
Bagus Sajiwo juga ingin merahasiakan tentang kecemburuan Joko Darmono kepadanya. Cemburu yang membuat Joko Darmono menyerang dia dan Ratna Manohara. Pertanyaan Ki Sarwaguna mengejutkannya dan dia pun menjawab tenang.
"Paman, saya kira Joko Darmono bukan anak buah Blambangan. Selama saya mengenalnya, dia adalah seorang pemuda yang berwatak satria, walaupun agak keras. Sepanjang penilaian saya, dia tidak ingin membantu pihak mana pun, Tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Mataram dan
Blambangan. Apalagi telah terbukti bahwa gurunya, Nini Kuntigarba, tewas di tangan para tokoh pendukung Blambangan. Kiranya tidak mungkin kalau dia menjadi anak buah Blambangan."
Ki Sarwaguna mengangguk-angguk.
"Rasanya ada benarnya pendapatmu itu, Anakmas Bagus. akan tetapi, lalu mengapa dia tiba-tiba mengamuk dan hendak membunuh Andika dan Ratna? Apa alasannya?"
Bagus Sajiwo tidak dapat menjawab, hanya menghela napas panjang karena dia merasa sedih juga mengingat akan peristiwa itu. Kini Ratna Manohara yang berkata kepada ayahnya.
"Sudahlah, Kanjeng Rama. Bagaimanapun juga, saya dan Kakangmas Bagus Sajiwo benar. Joko Darmono adalah seorang gagah perkasa. Kalau sampai dia bertindak menyerang kami, hal itu tentu ada sebabnya yang kita belum ketahui. Kami selamat dan dia sudah pergi. Mengingat bahwa dia sahabat baik Kakangmas Bagus Sajiwo, tidak enak kalau membicarakan dia."
Ki Sarwaguna menghela napas panjang.
"Kalian berdua benar. Baiklah, aku tidak akan menyinggung hal itu lagi."
Mereka lalu membicarakan hal-hal lain.
"Kanjeng Rama, melihat adanya orang-orang yang memusuhi kita dan menculik saya, dan kita menduga bahwa mereka adalah orang-orang Blambangan, maka kepindahan kita mengungsi ke sini agaknya masih belum membuat kita terhindar dari ancaman Blambangan."
"Hemm, kukira tidak demikian, anakku. Peristiwa malam tadi sehingga engkau dapat terculik hanya terjadi karena kelengahan kita. Kita sekarang telah berada di luar wilayah Blambangan, maka mereka pasti tidak akan terlalu berani. Buktinya, kalau benar yang melakukan penculikan malam tadi adalah orang-orang Blambangan seperti yang kita duga, mereka pun tidak terlalu berani. Yang tampak hanya dua orang, dan mereka tidak membawamu ke Blambangan. Jangan khawatir, kurasa di sini kita lebih aman. tentu saja mulai sekarang kita harus waspada dan selalu membuat penjagaan."
"Aku setuju dengan pendapat Paman Sarwaguna. Kita lihat saja. Kalau dalam beberapa hari ini tidak ada gerakan atau gangguan dari mereka, maka berarti mereka tidak berani bertindak terlalu jauh di luar wilayah Blambangan."
Kata Bagus Sajiwo.
Malam hari itu, di dalam kamar yang disediakan untuknya, Bagus Sajiwo sukar untuk dapat pulas. Dia rebah agak gelisah, sebentar telentang, lalu miring ke kiri, telentang lagi, miring ke kanan dan pikirannya melayang-layang. Peristiwa pagi tadi terbayang-bayang di dalam benaknya. Ketika dia menolong Ratna Manohara, melihat kulit putih mulus, bentuk tubuh yang indah dengan lekuk lengkung sempurna dan memiliki daya tarik yang menggairahkan. Lalu terbayang ketika dara itu merangkulnya dan menangis di dadanya. Harus dia akui bahwa dia merasa tertarik sekali kepada Ratna, perasaan tertarik kepada seorang wanita yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Terbayang betapa gadis itu amat cantik jelita, lemah lembut sikapnya, halus budi bahasanya dan terkenanglah dia betapa lembut, lunak dan hangat kulit tubuh itu ketika merangkulnya, betapa rambut dan tubuh itu mengeluarkan keharuman yang khas dan sedap. Inikah yang seringkali dikatakan orang sebagai cinta? Cinta yang menyentuh dan menjembatani hati seorang pria dan seorang wanita? Cinta antara pria dan wanita yang kemudian mengikatkan tali perjodohan?
"Ah, tidak....!"
Bagus Sajiwo menyangkal dengan seruan berbisik sambil mengguncang kepalanya untuk mengusir jalan pikirannya itu. Dia harus membuang pikiran itu jauh-jauh, demikian bisik hatinya ketika dia teringat kepada Joko Darmono. Dia tidak boleh mengkhianati sahabat baiknya itu. Jelas bahwa Joko Darmono saling mencinta dengan Ratna Manohara. Orang macam apakah dia kalau menyelinap di antara mereka? Dia tidak mau menghancurkan kebahagiaan hati sahabat baiknya itu. Tadi saja, Joko Darmono sudah salah mengerti dan cemburunya sudah sedemikian hebatnya sehingga dia hendak membunuh Ratna dan dia sendiri. Apalagi kalau dia benar-benar berjodoh dengan Ratna, tentu Joko Darmono akan membencinya dan menganggapnya sebagai seorang pengkhianat. Tidak, dia juga belum ingin terikat oleh sebuah perjodohan, belum ingin menjadi seorang suami dan calon ayah. Dia tidak ingin jatuh cinta kepada seorang wanita, apalagi wanita kekasih sahabat baiknya.
Sementara itu di dalam sebuah kamar lain Ratna Manohara juga berbaring di atas tempat tidurnya dengan gelisah. Sukar baginya untuk dapat tidur pulas karena ia juga selalu membayangkan peristiwa di dalam gua itu. Ketika ditolong oleh Bagus Sajiwo, ia berada dalam keadaan terguncang hebat. Perasaan takut dan ngeri seperti yang belum pernah ia rasakan, ketika itu mencekam hatinya. Dalam keadaan ngeri dan putus asa itu Bagus Sajiwo muncul dan membebaskannya. Pertolongan itu seolah mengembalikan nyawanya. Ia merasa berbahagia dan terharu sekali. Harus diakui bahwa Bagus Sajiwo sungguh tampan menarik, sakti mandraguna, lemah lembut dan sopan santun.
Ketika ia terkenang ketika ia saling rangkul dengan pemuda itu dan merasa begitu aman, tenang dan damai, merasa terlindung dada yang bidang dan kokoh, ia merasa terharu dan tak terasa lagi air mata menetes keluar dari pelupuk matanya. Demikian lembut sentuhan Bagus Sajiwo. Begitu sopannya pemuda itu sehingga menanggalkan baju dan dipakaikan kepadanya. Ah, ia telah jatuh cinta! Ia merasa dan tahu benar. Ia telah jatuh cinta kepada Bagus Sajiwo. Ada kerinduan untuk selalu berada dekat pemuda itu, dalam rangkulannya! Biarpun selama ini ia belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria, namun ia merasa benar dalam hatinya bahwa ia telah jatuh cinta kepada Bagus Sajiwo!
"Duh Gusti...., apa yang harus saya lakukan?"
Ratna Manohara mengeluh. Ia merasa malu untuk mengkhianati sahabatnya. Ia tahu benar, bahkan Niken Darmini sendiri mengaku kepadanya, bahwa gadis itu mencinta Bagus Sajiwo. Dan sekarang, sampai hatikah ia untuk merebut kekasih orang? Betapa akan malunya kalau kelak Niken Darmini mengetahui bahwa ia jatuh cinta kepada Bagus Sajiwo! Kalau begitu, Niken Darmini yang benar ketika menyerang dan hendak membunuhnya. Niken sudah memberitahu kepadanya bahwa gadis murid Nini Kuntigarba itu akan membunuh wanita yang merampas Bagus Sajiwo darinya! Dan sekarang, apakah ia tidak akan merasa bersalah besar dan malu sekali kalau justeru ia sendiri yang merebut Bagus Sajiwo dari sahabatnya itu?
Teringat akan semua ini, ratna Manohara mengeluh dalam hatinya dan menangis lirih. Ia merasa bingung dan sedihsekali. Ada perbedaan mendasar antara cinta antara sesama manusia dan cinta antara pria dan wanita. Walupun keduanya tidak terlepas dari hakekatnya, yaitu Kasih.
Cinta antara pria dan wanita biasanya disebut cinta asmara yang mengandung nafsu berahi. Nafsu berahi yang menimbulkan daya saling tertarik, tampak cantik atau tampan, pendeknya tampak menyenangkan dan menimbulkan keinginan utuk memiliki dan dimiliki, untuk menyenangkan dan disenangkan, menguasai dan dikuasai, dan semua pamrih yang pada dasarnya ingin mendapatkan kepuasan dan kesenangan dari yang dicinta, juga memberi kepuasan dan kesenangan. Singkatnya cinta asmara selalu mengandung keinginan untuk menerima dan memberi.
Adapun Kasih adalah perasaan yang timbul dari dalam, dari hati sanubari dan perhitungan akal pikiran hanya sedikit sekali pengaruhnya. Kasih tidak membedakan, tidak ada cantik atau jelek, menarik atau tidak menarik. Kasih menimbulkan bunganya, seperti belas kasihan, kesabaran, toleransi, mengalah. Dan buahnya adalah memberi dan memberi, tanpa pamrih dan tak pernah meminta. Menjulurkan tangan untuk menolong mereka yang memerlukan pertolongan, baik itu berupa benda, tenaga, maupun pikiran. Beginilah sifat Kasih. Bukan permainan akal pikiran, karena kalau kasih itu muncul dari akal pikiran, sudah pasti mengandung nafsu pementingan diri sendiri karena pikiran membentuk si-aku palsu hamba nafsu. Cinta yang didorong nafsu ini selalu menuntut imbalan, hadiah, baik berupa benda maupun sikap dan sanjungan.
Kasih antara suami dan isteri tidak mugkin terbebas daripada Nafsu Berahi. Memang sudah semestinya demikian, sudah ditakdirkan karena Nafsu Berahi dalam Kasih antara suami isteri ini merupakan sarana perkembang-biakan manusia. Akan tetapi Nafsu Berahi hanya menjadi bagian saja, bukan dasarnya. Kalau Nafsu Berahi yang menjadi dasar sebuah pernikahan, maka banyak terjadi pertikaian, kesalah-pahaman, percekcokan yang mengakibatkan perceraian. Karena Nafsu Berahi itu berwatak pembosan. Sebaliknya, Kasih mendatangkan kesetiaan, kerelaan, pengorbanan, dan tidak mementingkan diri sendiri, melainkan mementingkan yang dikasihi. Itu tadi, memberi dan memberi, tanpa menuntut imbalan.
Bagus Sajiwo dan Ratna Manohara adalah dua orang muda yang belum pernah jatuh cinta. Mereka belum mengetahui sifat-sifat cinta sehingga kini mereka terombang-ambing, bingung dan ragu. Akan tetapi mereka adalah orang-orang muda yang terdidik dengan baik, sejak kecil mendapat gemblengan batin yang kuat sehingga mereka memiliki budi pekerti yang baik. Maka, serangan cinta asmara itu tidak menggoyahkan ketegaran batin mereka sehingga sikap mereka tidak berubah dan gejolak dalam hati mereka tidak tampak pada wajah dan suara mereka. Hubungan mereka masih biasa, bahkan kalau saling bicara pun mereka biasa saja. Hanya terkadang Bagus Sajiwo bertemu dengan pandang mata gadis itu yang membuat hatinya tergetar karena dia dapat menemukan apa-apa dalam sinar mata gadis itu ketika memandang kepadanya. Akan tetapi hal itu hanya sebentar saja karena Ratna Manohara agaknya mampu mengendalikan gejolak hatinya.
Mereka semua menanti kalau-kalau pihak Blambangan akan datang lagi melakukan gangguan. Juga Bagus Sajiwo dan Ratna Manohara mengharapkan munculnya Joko Darmono. Akan tetapi tenyata tidak terjadi sesuatu. Tidak ada orang Blambangan datang, juga tidak tampak bayangan Joko Darmono. Tadinya Bagus Sajiwo ikut menjaga kalau- kalau ada musuh menyerbu Perguruan Driya Pawitra. Akan tetapi setelah sepekan lamanya tidak terjadi sesuatu, dia lalu berpamit kepada Ki Sarwaguna untuk meninggalkan perkampungan baru itu dan melanjutkan perjalanannya.
Mendengar pemuda itu berpamit hendak pergi, Ratna Manohara tampak agak pucat wajahnya dan matanya menjadi suram, bahkan gadis itu lalu cepat- cepat meninggalkan Bagus Sajiwo dan Ki Sarwaguna yang berada di pendapa, memasuki rumah.
"Anakmas Bagus Sajiwo, tentu saja kami tidak berhak menghalangi kepergian Andika. Bahkan kami berterima kasih sekali karena Andika telah menjadi juru selamat bagi kami. Akan tetapi sebelum Andika pergi meninggalkan kami, saya ingin membicarakan sesuatu yang amat penting dengan Andika."
Ki Sarwaguna lalu mempersilahkan pemuda itu duduk berhadapan dengan dia, terhalang meja kecil.
"Silakan kalau Paman hendak bicara, akan saya dengarkan."
Kata Bagus Sajiwo.
"Begini, Anakmas Bagus. Sesungguhnya semenjak saya bertemu dengan Andika, saya telah mempunyai keinginan untuk menjodohkan puteri saya dengan Andika. Akan tetapi keinginan itu saya simpan saja karena saya belum mengetahui perasaan hati anak saya. Akan tetapi sekarang saya yakin bahwa Ratna Manohara mengagumi dan mencinta Andika, terutama semenjak andika menolongnya tempo hari. Oleh karena itu, sekarang saya ingin menyampaikan niat hati saya itu secara terus terang kepada Andika, yaitu kalau sekiranya Andika sudi, saya ingin agar Ratna Manohara dapat bersuwita (menghambakan diri) menjadi isteri Andika. Bagaimana pendapat Andika anakmas Bagus Sajiwo?"
Sejak Ki Sarwaguna mengucapkan kalimat pertama, Bagus Sajiwo sudah mengetahui akan niat Ketua Driya Pawitra itu. Dia lalu menjawab dengan tenang namun sungguh-sungguh, setelah sebelumnya mempertimbangkan bahwa tidak baik kalau dia menolak begitu saja secara keras, juga tidak baik kalau dia membawa nama Joko Darmono dalam urusan ini. Dia sendiri masih ragu apakah dia benar mencinta Ratna Manohara dan menginginkan gadis itu menjadi isterinya.
"Paman Sarwaguna, maafkan saya kalau saya tidak dapat mengambil keputusan mengenai hal ini. Keputusan mengenai perjodohan saya, sepenuhnya berada di tangan Ayah Ibu saya. Saya tidak berani melancangi mereka dalam hal ini, Paman."
Ki Sarwaguna tersenyum dan mengangguk- angguk.
"Saya mengerti sepenuhnya, Anakmas. Memang demikianlah sikap seorang pemuda bijaksana yang berbakti kepada oang tuanya. Baiklah, Anakmas. Saya akan segera pergi berkunjung ke dusun Bayeman di Lereng Gunung Kawi dan menghadap orang tua Andika untuk mengajukan permohonan dan membicarakan perjodohan ini."
Bagus Sajiwo terkejut. Tak disangkanya Ki Sarwaguna akan sedemikian nekatnya. Biasanya, pihak pria yang mengajukan pinangan, maka tadi dia memakai alasan bahwa urusan pejodohannya berada di tangan orang tuanya. Siapa kira kini Ki Sarwaguna akan mengunjungi orang tuanya membicarakan urusan perjodohan, seolah-olah pihak wanita yang datang meminang atau yang mengusulkan perjodohan itu! Jantungnya berdebar. Bagaimana kalau ayah ibunya menyetuji? Ah, tiak mungkin. Ayah ibunya adalah orang-orang bijaksana, tidak mungkin memutuskan begitu saja tentang perjodohan anaknya. Tentu mereka akan bertanya dulu kepadanya. Berpikir demikian, hatinya tenang kembali dan dia berkata.
"Kalau begitu kehendak Paman, silakan." "Andika hendak kemana, anakmas?"
"Saya akan pergi ke Pasuruan, Paman. Setelah mendengar banyak tentang persekutuan di Blambangan dan kemungkinan besar mereka akan menyerang Pasuruan, maka sebaiknya kalau saya pergi ke sana. Siapa tahu, tenagaku dipergunakan di sana untuk membela Mataram."
Ki Sarwaguna mengangguk-angguk.
"Saya kira itu tepat skali, Anakmas Bagus Sajiwo. Mudah- mudahan saja Andika berhasil. Kami sendiri memang serba salah. Bagaimanapun juga, kami adalah kawula Blambangan karena sejak kecil tinggal di daerah Blambangan. Karena itu, kami tidak ingin terlibat dalam perang antara Blambangan dan Mataram walaupun kami mengakui bahwa Blambangan yang memulainya. Kami hanya menentang yang tidak benar dan jahat terhadap kami, dari mana pun datangnya. Kami tidak ingin terlibat dalam pertikaian antara kadipaten."
"Saya mengerti, Paman dan saya pribadi tidak menyalahkan pendirian Paman itu."
Sebelum pergi, Ki Sarwaguna dan Ratna Manohara menjamu Bagus Sajiwo sebagai ucapan selamat berpisah. Mereka makan bersama dan Bagus Sajiwo melihat betapa wajah gadis itu agak muram dan ia yang biasanya memang sudah pendiam itu kini menjadi semakin pendiam. Hanya sinar matanya saja yang bagi bagus sajiwo penuh pernyataan yang menggantikan kata-kata tak terucapkan. Dia merasa dan tahu bahwa gadis itu memang mencintanya.
Ketika Bagus Sajiwo meninggalkan perkampungan itu, Ratna Manohara mengantarnya sampai keluar dari perakampungan. Ki Sarwaguna sengaja tidak ikut mengantar sejauh itu, agaknya memang memberi kesempatan kepada puterinya untuk dapat bicara berdua dengan Bagus Sajiwo dalam kesempatan itu.
Setelah agak jauh meninggalkan perkampungan baru Perguruan Driya pawitra, Bagus Sajiwo berhenti melangkah dan memandang Ratna Manohara yang tadi berjalan di sampingnya.
"Nimas Ratna, kukira sudah cukup jauh engkau mengantarku. Kita berpisah di sini saja. Pulanglah dan aku akan melanjutkan perjalananku."
Katanya lembut.
Dia melihat betapa wajah gadis itu cantik sekali. Kedua pipinya kemerahan, bibirnya membentuk senyum namun mengharukan karena mengandung kesedihan, Sepasang matanya basah sehingga bola matanya tampak berkilauan. Suaranya terdengar menggetar lirih penuh perasaan.
"Selamat jalan, Kakangmas Bagus Sajiwo. Selama hidupku aku tidak akan melupakan budimu yang besar berlimpah kepadaku. Aku akan selalu berdoa semoga aku kelak mendapat kesempatan untuk membalas budimu itu."
Bagus Sajiwo merasa terharu sekali. Dia dapat merasakan getaran kasih sayang dari gadis itu. Keharuan membuat dia menjulurkan kedua tangan dan memegang kedua tangan gadis itu. Jari-jari tangan mereka saling genggam.
"Nimas Ratna Manohara, aku pun tidak akan melupakan kebaikanmu, kebaikan Ayahmu. aku akan selalu mengenangmu sebagai seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, baik budi, dan sebagai seorang sahabat yang teramat baik. Nah, selamat tinggal dan semoga kita akan dapat saling berjumpa lagi, Nimas Ratna."
Kini dua tetes air mata jatuh ke atas kedua pipi kemerahan itu. Bibir itu tersenyum manis. Ucapan Bagus Sajiwo itu seolah merupakan boreh (param) yang menyejukkan hatinya.
"Selamat jalan, Kakangmas Bagus, dan selamat berjuang. Semoga Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan berkatNya kepadamu."
Mereka saling melepaskan tangan dan Bagus Sajiwo lalu menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat. Tubuhnya berkelebat seperti bayangan meninggalkan gadis yang masih berdiri di situ memandang ke arah dia pergi, sampai beberapa lama walaupun bayangan Bagus Sajiwo sudah tidak tampak lagi.
"Ratna....!"
Gadis itu terkejut, memutar tubuhnya dan melihat ayahnya berdiri di depannya, ia cepat menghapus beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.
"Ah, Kanjeng Rama.... Kakangmas Bagus telah pergi...."
Ki Sarwaguna tersenyum dan melangkah maju menghampiri puterinya. Diletakkannya kedua tangannya di atas pundak Ratna Manohara.
"Ratna, engkau mencinta anakmas Bagus Sajiwo, bukan?"
Ratna Manohara menundukkan mukanya, tersenyum malu. Biarpun ia amat dekat dengan ayahnya dan agak manja kepada ayah yang meangkap tugas seorang ibu ini, namun ia malu untuk mengaku bahwa ia mencinta seorang pemuda! Akan tetapi, sikap menunduk dan tersenyum malu-malu ini sudah cukup bagi Ki Sarwaguna untuk mengetahui bahwa dugaannya sejak semula tidak keliru.
"Jangan khawatir, Anakku. Aku akan segera pergi mengunjungi Ki Tejomanik di dusun Bayeman lereng Gunung Kawi untuk membicarakan urusan perjodohanmu dengan Anakmas Bagus Sajiwo."
"Jangan, Kanjeng Rama....!"
Ratna Manohara memandang Ayahnya dengan mata tebelalak.
Ki Sarwaguna mengira bahwa puterinya merasa malu kalau ayahnya harus mengunjungi orang tua Bagus Sajiwo membicarakan perjodohan karena hal itu seolah-olah pihak wanita yang meminang pihak pria! Dia tersenyum gembira.
"Tidak mengapa, Anakku. Bahkan Anakmas Bagus Sajiwo sendiri yang mengusulkan kepadaku kalau ingin bicara soal perjodohan, harus berurusan dengan orang tuanya. Kalau engkau dan Anakmas Bagus Sajiwo sudah saling mencinta, aku yakin Ki Tejomanik dan isterinya tidak akan keberatan dan akan menerima dengan gembira."
"Tidak, Kanjeng Rama, tidak! Jangan lakukan itu....!"
Kata Ratna Manohara, menggeleng kepala kuat-kuat dan wajahnya berubah pucat.
"Eh? Engkau mengapa, Ratna?"
Ayahnya bertanya kaget dan memegang pundak anaknya.
"Mengapa aku tidak boleh melakukan hal yang baik itu?"
Melihat puterinya mulai menangis, dengan alis berkerut dan hati khawatir Ki Sarwaguna mendesaknya.
"Katakanlah, Anakku, mengapa engkau menangis? Engkau selalu berterus terang kepada Ramamu, bukan? Katakanlah, kalau ada masalah, kita pecahkan bersama."
".... ada.... ada sebabnya, Kanjeng Rama....!"
"Apa sebabnya? Siapa yang menyebabkannya?"
".... dia.... Joko Darmono....!"
"Joko Darmono? Bocah kuarangajar yang hampir membunuh engkau dan Anakmas Bagus Sajiwo itu? mengapa dia yang menyebabkannya? Apa yang dilakukannya? Katakan, apa dia mengancammu? Atau.... apa.... apa engkau.... jatuh cinta kepada pemuda jahat itu?"
Ratna Manohara menggeleng kepalanya kuat- kuat dan tangisnya semakin mengguguk. Ketika ayahnya merangkulnya, ia menyandarkan mukanya di dada ayahnya.
"Sudahlah, tenangkan hatimu, Ratna. Bukan di sini untuk membicarakannya. Mari kita pulang dan kita bicara dalam rumah. Akan tetapi hentikan tangismu dan keringkan air matamu agar jangan ada murid Driya Pawitra yang mengetahui bahwa engkau menangis."
Ratna Manohara dihibur ayahnya dan akhirnya ia mampu menenangkan hatinya dan dituntun ayahnya yang menggandengnya pulang ke perkampungan. Setelah mereka memasuki rumah, mereka lalu duduk di ruangan dalam yang tertutup, duduk di atas kursi berhadapan. Wajah Ratna Manohara masih pucat. Ia tidak ingin ayahnya membicarakan perjodohan antara ia dan Bagus Sajiwo. Hal ini akan membawa akibat berlarut-larut. Niken Darmini pasti akan merasa sakit hati dan gadis yang berhati keras itu tentu akan selalu memusuhi ia dan Bagus Sajiwo, dan hidupnya tidak akan tenteram lagi. Ia tidak mau mencapai kehidupan bahagia di atas penderitaan orang lain, apalagi orang lain itu Niken Darmini, seorang sahabat baiknya. Akan tetapi, ayahnya tentu tidak akan mau membatalkan niatnya menjodohkan ia dengan Bagus Sajiwo kalau ia tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menolaknya. Dan satu-satunya alasan adalah membuka rahasia Niken Darmini yang menyamar menjadi Joko Darmono!
"Nah, ceritakanlah, Ratna. Ada apa dengan Joko Darmono dan mengapa dia membuat engkau tidak ingin aku membicarakan perjodohanmu dengan Anakmas Bagus Sajiwo?"
"Karena ia amat mencintai Kakangmas Bagus sejak lama sebelum mereka datang ke sini dan ia berkata akan membunuh gadis yang berani merebut kakangmas Bagus Sajiwo darinya...."
"Gila! Bagaimana mugkin pria sama pria...."
"Bukan, Kanjeng Rama, Joko Darmono bukan seorang laki-laki, melainkan seorang gadis cantik dan sakti bernama Niken Darmini yang menyamar sebagai seorang pria. Ia murid tunggal mendiang Nini Kuntigarba."
"Ahhhh....!"
Ki Sarwaguna terbelalak dan sejenak dia terdiam, tak mampu bicara. Kemudian dia menghela napas berulang-ulang.
"Dan kukira tadinya.... kukira engkau tertarik kepada Joko Darmono dan di antara kalian ada hubungan cinta...."
"Demikian pula Kakangmas Bagus Sajiwo. Dia tidak tahu bahwa sahabatnya itu seorang wanita. Dia mengira bahwa Joko Darmono mncintaku sehingga ketika Joko Darmono menyerang saya dan Kakangmas Bagus, dia mengira bahwa Joko cemburu! Memang ia cemburu, akan tetapi Niken Darmini yang cemburu, mengira saya merebut Kakangmas Bagus darinya, bukan Joko Darmono yang cemburu seperti yang dikira Kakangmas Bagus."
"Wah.... wah.... dan aku mati-matian berusaha agar engkau tidak mencinta Joko Darmono, melainkan mencinta Bagus Sajiwo! Duh gusti, apa yang telah aku lakukan?"
Ratna Manohara cepat mengangkat mukanya dan menatap wajah ayahnya dengan penuh selidik.
"Apa yang Paduka lakukan, Kanjeng Rama?"
".... aku.... telah membuat Niken Darmini menjadi hancur hatinya, bahkan membencimu, membnci Anakmas Bagus Sajiwo.... ah, mengapa begini jadinya....?"
Orang tua itu seolah bicara kepada diri sendiri, wajahnya membayangkan penyesalan mendalam.
"Katakanlah, apa yang telah Kanjeng Rama lakukan? Tentu ada hubungannya dengan peristiwa penculikan diri saya. Saya sudah merasakan ketidak wajaran dalam peristiwa itu. Dua orang penculik itu tidak mengganggu saya, tidak mau memperlihatkan muka, dan ternyata yang dikatakan bahwa mereka mempunyai banyak teman pun tidak pernah muncul. Mereka meninggalkan saya begitu saja! Dan penculikan itu sendiri, kalau tidak dibantu orang dalam, bagaimana mungkin dapat mereka lakukan tanpa diketahui seorang pun? Katakan, Kanjeng Rama, apa yang telah Paduka lakukan?"
Setelah berulang kali menghela napas panjang, Ki Sarwaguna berkata dengan nada menyesal.
"Ratna, mengapa engkau tidak memberitahu padaku bahwa Joko Darmono itu seorang wanita? Kalau engkau memberitahu, tentu tidak akan terjadi peristiwa ini...."
"Kanjeng Rama, Niken Darmini minta kepada saya agar merahasiakan penyamarannya, dan saya sudah berjanji akan memenuhi permintaannya itu. Bahkan kepada Kakangmas Bagus juga saya tidak memberitahu. Akan tetapi, apakah yang telah Paduka lakukan?"
"Ah, aku menyesal sekali! Kukira bahwa engkau jatuh cinta kepada Joko Darmono dan sejak semula aku tidak begitu suka kepada pemuda itu walaupun dia juga membela perguruan kita. Ada sesuatu yang aneh dan tidak wajar pada dirinya, yang membuat aku merasa tidak suka. Sebaliknya, sejak pertemuan pertama, aku sudah ingin sekali agar engkau dapat berjodoh dengan Anakmas Bagus Sajiwo. Maka, melihat engkau begitu akrab dengan Joko Darmono, aku merasa tidak suka, lalu kuatur sehingga terjadi peristiwa itu. Engkau diculik, yang menolong Bagus Sajiwo, dan Joko Darmono melihat kalian berdua. Maksudku agar jangan terjadi hubungan cinta antara engkau dan Joko Darmono, dan agar engkau mengalihkan cintamu kepada Bagus Sajiwo yang menyelamatkanmu. Ah, aku menyesal sekali...."
Wajah Ratna Manohara menjadi pucat, lalu berubah merah, matanya mencorong akan tetapi lalu air mata mulai mnetes ke atas pipinya.
"Jadi.... jadi Kanjeng Rama sengaja menculik saya, lalu menyuruh Kakangmas Bagus Sajiwo untuk menolong saya, dan Kanjeng Rama menyuruh Joko Darmono menusul agar melihat kami berdua! Begitukah? Kanjeng Rama merencanakan itu semua?"
Baru sekali ini selama hidupnya Ratna Manohara bicara keras terhadap ayahnya. Suaranya mengandung ketidak-percayaan, keheranan, kekagetan dan juga penyesalan dan kemarahan.
"Semua itu kulakukan demi menyenangkanmu, demi kebahagiaanmu, Ratna...."
Kata Ki Sarwaguna lemas.
(Lanjut ke Jilid 21)
Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
"Demi saya, ataukah demi kesenangan Paduka sendiri? Andaikata Joko Darmono itu benar seorang pemuda dan saya benar mencintainya, Kanjeng Rama hendak merenggut cinta itu dan memaksa saya mencinta Kakangmas Bagus Sajiwo! Berarti Paduka melakukan segala cara, yang tidak baik sekalipun, demi memenuhi keinginan dan kesenangan hati Paduka sendiri! Ah, sungguh saya menyesal sekali! Sungguh memalukan sekali! Kanjeng Rama bahkan menculik anaknya sendiri....!"
Pada saat itu, dari pintu sebelah belakang muncul dua orang laki-laki, yang seorang berusia sekitar empat puluh delapan tahun, yang kedua berusia sekitar empat puluh enam tahun.
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ratna Manohara, kami berdualah yang telah melakukan penculikan itu."
Kata orang pertama yang bertubuh tinggi kurus.
Ratna cepat bangkit berdiri dan menoleh, memandang kepada dua orang itu.
"Paman Sarwaluhung dan Paman Sarwajati!"
Serunya, kedua alisnya berkerut.
"Memang mereka yang melakukan penculikan, akan tetapi aku yang menyuruh mereka. Akulah yang bertanggung jawab, Ratna."
Kata Ki Sarwaguna.
"Ah, memalukan! Memalukan sekali!"
Ratna Manohara terisak dan lari menuju ke kamarnya. Ketika Ki Sarwaguna hendak mengejar, dua orang adik seperguruannya itu menghadang.
"Kakang Sarwaguna, biarkan ia menangis, biarkan ia seorang diri sampai ia tenang kembali, baru dapat diajak bicara."
Kata Ki Sarwaluhung.
"Benar, Kakang Sarwaguna. Dalam keadaan masih marah dan kaget, akan sukar mengajaknya bicara baik-baik."
Kata pula Ki Sarwajati. Dua orang itu adalah adik seperguruan Ki Sarwaguna yang berusia lima puluh tahun. Sebetulnya Perguruan Driya Pawitra dipimpin oleh empat orang murid itu, ialah Ki Sarwaguna sebagai yang tertua, lalu Ki Sarwatama yang ternyata menyeleweng dan membantu
Blambangan,kemudian Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati. Dua orang tokoh Driya Pawitra ini selama beberapa tahun meninggalkan Driya Pawitra untuk merantau dan hidup sebagai pendekar perantau.
Mereka berdua tidak beristeri. Yang membantu Ki Sarwaguna hanya Ki Sarwatama, adik seperguruan yang berusia empat puluh sembilan tahun.
Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati mendengar akan Perkampungan Driya Pawitra yang diserbu kemudian dibakar orang Blambangan. Mereka berdua segera mencari dan dapat menemukan perkampungan Driya Pawitra yang baru. Ketika mereka bertemu dengan Ki Sarwaguna, saudara seperguruan tua ini mengajak mereka berunding tapa diketahui semua orang dan minta bantuan kedua orang adik seperguruan itu untuk melaksanakan rencananya "memisahkan"
Ratna Manohara dari Joko Darmono dan "mendekatkan"
Puterinya itu dengan Bagus Sajiwo.
Setelah puterinya berlari keluar sambil menangis dan kedua orang adik seperguruannya membujuknya agar dia tidak mengejar puterinya, Ki Sarwaguna lalu menjatuhkan dirinya di atas kursi dan termenung dengan wajah muram.
"Kakang Sarwaguna, sebelumnya kami berdua sudah mengingatkanmu bahwa cara yang tidak benar itu tidak nungkin mendatangkan hasil yang baik. Sekarang kenyataannya begini, biarlah ini kita anggap sebagai pelajaran agar kelak kita tidak mengulang kesalahan yang sama."
Kata Ki Sarwajati.
Ki Sarwaguna menghela napas panjang.
"Ah, kalau saja aku tahu bahwa Joko Darmono itu adalah Niken Darmini, yang kuanggap sebagai penghalang perjodohan antara anakku dan Bagus Sajiwo, tidak mungkin aku menggunakan cara seperti itu!"
"Semua sudah terjadi, Kakang Sarwaguna. Penyesalan saja tidak ada arti dan gunanya. Yang terpenting sekarang, kita usahakan agar Ratna Manohara dapat memaklumi niat baikmu dan dapat memaafkanmu. Ia seorang anak yang baik dan berbakti, kiranya tidak akan sulit baginya untuk melupakan semua itu dan memaafkan Ayahnya."
Kata Ki Sarwaluhung.
Kembali Ki Sarwaguna menghela napas panjang penuh penyesalan.
"Aahh.... memang Ratna benar. Aku sama sekali tidak mementingkan perasaan dan kebahagiannya, hanya mementingkan keinginanku sendiri, mementingkan kesenanganku sendiri. Aku telah membuat anakku sendiri merasa malu, membuat Niken Darmini mendendam dan memusuhi Ratna, mengacaukan kehidupan tiga orang muda itu."
"Sudahlah, Kakang, tidak perlu menyiksa batin sendiri dengan segala penyesalan tak berguna itu. Sebaiknya berusaha untuk memperbaiki kesalahan dan pertama-tama, temui Ratna dan ajak bicara dengan tenang, akui kesalahanmu yang terjadi karena kesalahan paham, mengira bahwa Niken Darmini itu seorang pria."
Ki Sarwaluhung membujuk.
Akhirnya Ki Sarwaguna merasa tenang dan dengan hati-hati pada sore hari itu dia mengetuk daun pintu kamar puterinya. Sejak pertemuan siang tadi, Ratna mengunci diri dalam kamarnya dan tidak pernah keluar.
Tidak ada jawaban. beberapa kali Ki Sarwaguna mengetuk, akan tetapi tidak mendapat jawaban. Padahal biasanya, begitu mendengar suara ayahnya, tentu gadis itu bergegas keluar. Ki Sarwaguna mulai merasa curiga dan dia mendorong daun pintu. Ternyata dengan mudah dapat terbuka dan dia tebelalak. Kamar anaknya telah kosong!
"Ratna....!"
Ki Sarwaguna berseru dan melompat ke dalam, memeriksa dan segera mendapat kenyataan bahwa beberapa potong pakaian puterinya tidak berada dalam kamar itu, juga pedangnya tidak berada di dinding di mana biasanya senjata itu tergantung. Jelas bahwa Ratna Manohara telah pergi dari perkampungan itu tanpa memberitahu kepadanya. Puterinya telah minggat, meninggalkannya, mungkin karena marah dan kecewa.
Ki Sarwaluhung dan Ki Sarwajati ikut merasa menyesal mendengar bahwa keponakan mereka itu pergi tanpa pamit. Mereka berdua menghibur kakak mereka dan berjanji akan mencari gadis itu dalam pengembaraan mereka.
"Terima kasih."
Kata Ki Sarwaguna.
"Kalau seorang diantara kalian bertemu dengannya, sampaikan penyesalan dan permintaan maafku dan bujuk ia agar kembali ke sini. Aku sendiri akan coba untuk mencarinya ke Pasuruan."
"Ke Pasuruan? Mengapa ke Pasuruan, Kakang Sarwaguna?"
Tanya Ki Sarwagati.
"Karena Bagus Sajiwo juga pergi ke Pasuruan. Bahkan kukira Joko.... eh, Niken Darmini juga pergi ke sana. Mereka adalah orang-orang gagah yang telah dimusuhi Blambangan, tentu mereka akan membantu Mataram menghadapi ancaman penyerbuan Blambangan. Kukira Ratna juga mencari mereka ke Pasuruan."
"Baiklah, Kakang Sarwaguna, kita berpencar mencari ke tiga jurusan. Akan tetapi, bagaimana pendapatmu tentang perang yang mungkin terjadi antara Blambangan dan Mataram, Kakang?"
Tanya Sarwaluhung.
Ki Sarwaguna mengerutkan alisnya.
"Kalau pendapatmu bagaimana, Adi Sarwajati?"
"Hemm, aku tidak tahu, Kakang. Memang tidak semestinya kita mencampuri, akan tetapi mengingat apa yang telah dilakukan orang Blambangan terhadap perguruan kita...."
Kata Ki Sarwajati ragu.
"Adi Sarwoluhung dan Adi Sarwajati, kita adalah penerus-penerus pimpinan Driya Pawitra yang setia kepada para pendahulu kita. Kalian berdua sudah tahu akan sikap dan pendirian Driya Pawitra. Kita dididik untuk menjadi orang-orang yang berjuang mempertahankan kebenaran dan keadilan, membela mereka yang benar namun tertindas, dan menentang mereka yang kuat namun jahat dan penindas sesamanya. Driya Pawitra tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan yang saling berperang karena dalam perang antara ribuan orang itu sukar ditentukan siapa benar siapa bersalah. Yang berperang pun sama sekali tidak mempedulikan tentang salah benar karena mereka hanya menerima perintah yang menjadi tugas perajurit. Pendeknya, kita tidak perlu mencampuri urusan perang antara daerah atau kadipaten manapun juga. Kita membela yang benar menentang yang bersalah, tanpa mengingat dia itu warga daerah mana."
"Setuju sekali!"
Jawab dua orang Adik seperguruan itu serempak.
Demikianlah, pada keesokan harinya, tiga orang bersaudara seperguruan itu lalu berangkat meninggalkan perkampungan baru Driya Pawitra dan berpencar, setelah Ki Sarwaguna meninggalkan pesan kepada para muridnya agar kalau terjadi serbuan gerombolan orang Blambangan yang mempunyai banyak orang sakti, mereka jangan melawan dan menyelamatkan diri pergi dari situ.
Blambangan dan sekutunya telah membuat persiapan besar-besaran. Adipati Santa Guna Alit yang dalam persekutuan dengan Bali, Madura dan daerah-daerah kecil lainnya, juga diam-diam didukung Kumpeni yang tidak berani terang-terangan membantu Blambangan, diwakili oleh Satyabrata, telah mengangkat Bhagawan Kalasrenggi sebagai kuasa dan wakilnya. Tentu saja yang memperkuat persekutuan itu terutama sekali adalah dari Bali. Raja Dewa Agung dari Gelgel membantu dengan pasukan pilihan dipimpin oleh Panji Buleleng dan Macan Kuning, dua orang senopati Gelgel yang terkenal sakti mandraguna.
Perwira-perwiranya yang terkenal di antaranya adalah Ki Tabanan dan Ki Pacung. Mereka bercampur dengan pasukan yang dipimpin Tejakasmala dan pasukan Bali itu berjumlah tidak kurang dari dua laksa orang. Juga pasukan dari Madura yang dipimpin Ki Randujapang sebanyak lebih dari tiga ribu orang sudah siap. Bersama pasukan Blambangan sendiri dan pasukan daerah-daerah yang lebih kecil seperti Panarukan, Blitar bagian timur dan lain-lain, maka seluruh pasukan berjumlah tidak kurang dari lima laksa orang.
Sesuai dengan rencana yang telah disepakati bersama, mereka hendak menyerbu Pasuruan yang dianggap sebagai pintu dengan wilayah kekuasaan Mataram, atau daerah yang mendukung Mataram. Kadipaten Pasuruan memang dikenal sebagai kadipaten yang telah ditaklukkan dan kini mendukung Mataram dengan setia. Akan tetapi sebelum menyerbu Pasuruan, persekutuan yang biarpun dihimpun di Blambangan yang dipimpin Bhagawan Kalasrenggi akan tetapi sesungguhnya berada di bawah pengaruh Bali yang pasukannya dipimpin Tejakasmala yang lebih sakti, telah bersepakat untuk lebih dulu memperkokoh diri dengan menarik bantuan dari daerah-daerah kecil. Juga mereka mendatangi perguruan-perguruan untuk menarik bantuan orang- orang yang memiliki kepandaian dan kesaktian. Banyak yang dapat terbujuk dan membantu dengan suka rela, ada pula yang membantu karena ditaklukkan dan dipaksa. Akan tetapi ada pula yang gagal seperti halnya Perguruan Bromo Dadali, Perguruan Driya Pawitra, dan beberapa orang tokoh sakti lainnya.
Bahkan Bhagawan Kalasrenggi yang cerdik dan licik itu telah berhasil menyebar mata-mata ke dalam kota Kadipaten Pasuruan dan sekitarnya. Hal ini mudah dilakukan karena Pasuruan merupakan kota yang terbuka untuk umum. Dari keterangan para telik sandi (mata-mata) ini, Blambangan dapat mengukur kekuatan pertahanan Pasuruan. Setelah mengadakan perundingan untuk mengatur siasat penyerbuan, maka persekutuan di Blambangan itu mengambil keputusan untuk menyerbu pada hari yang telah diperhitungkan oleh para ahli peramal.
Demikianlah, pada Hari Minggu Pon, Bulan Kartika dan Wuku Kurantil, pasukan dari Blambangan mulai menyerbu Pasuruan. Karena sudah mengetahui bahwa pasukan Pasuruan yang menjaga pertahanan hanya ada kurang lebih lima ribu orang, maka Blambangan juga hanya mengirim sekitar selaksa orang perajurit untuk menggempur Pasuruan. Perang campuh terjadi dan disepanjang jalan menuju kota Kadipaten Pasuruan, pasukan Blambangan menghadapi perlawanan gigih. Namun karena jumlah mereka jauh lebih besar dan mereka dipimpin oleh para senopati Bali, Madura, dan Blambangan, dibantu pula oleh orang-orang sakti, maka pasukan gabungan dari Blambangan dapat maju dengan cepat.
Pihak Pasuruan melakukan perlawanan sekuat tenaga. Namun tetap saja mereka tidak mampu membendung banyak sekali perajurit gabungan yang datang bagaikan air bah. Mereka bertahan dengan nekat, namun karena kalah kuat dan jumlah pasukan yang bertahan hanya sekitar setengahnya pasukan penyerbu, akhirnya setelah bertempur mati-matian sehingga banyak korban di kedua pihak, sisa pasukan Pasuruan mundur dan memperkuat benteng kota Kadipaten Pasuruan.
Pada saat pasukan Pasuruan mundur dan kini kota Pasuruan menjadi benteng terakhir, Parmadi dan Muryani datang dari Perguruan Bromo Dadali di Gunung Muria. Suami isteri ini melihat kota Pasuruan sudah dikepung musuh dan mereka harus menerobos kepungan musuh. Para perajurit gabungan Blambangan cepat menghadang dan mencoba untuk menghalangi dan menangkap suami isteri yang menunggang kuda dan hendak memasuki pintu gerbang kota Kadipaten Pasuruan. Parmadi dan Muryani mengamuk dan masih untung bagi mereka bahwa pengepungan itu baru saja terjadi sehingga belum teratur rapi. Orang-orang sakti mandraguna yang memimpin penyerbuan itu masih belum muncul sehingga akhirnya, setelah terpaksa meninggalkan kuda mereka, suami isteri itu berhasil masuk pintu gerbang yang dibuka sedikit oleh para penjaga atas perintah para senopati yang mengenal suami isteri itu.
Para senopati Pasuruan menyambut kedatangan suami isteri yang mereka kenal sebagai pendekar- pendekar yang sakti mandraguna itu dengan gembira. Mereka merasa mendapatkan bantuan yang dapat diandalkan. Akan tetapi, ketika Adipati Pasuruan dan para senopati dan jagabaya mengadakan persidangan kilat untuk mengatur siasat pertahanan terhadap serbuan Blambangan, Parmadi menyatakan kekhawatirannya.
"Saya melihat pengepungan amat ketat. Pasukan musuh yang mengepung berlapis-lapis dan jumlah mereka amat banyak."
"Kami tahu akan hal itu. Semenjak mereka menyerbu daerah Pasuruan dan kami menyambut mereka, kami sudah tahu bahwa jumlah perajurit mereka amat banyak, mungkin dua kali lebih banyak daripada jumlah perajurit kita. Karena itulah kita terpaksa mundur ke dalam kota dan menutup pintu gerbang, melakukan penjagaan kuat dari dalam untuk mencegah mereka memasuki dan menyerbu dalam kota. Kita dapat melakukan pertahanan lebih kuat di sini daripada di tempat terbuka di mana-mana para perajurit kita harus bertempur satu lawan dua orang musuh."
Kata Senopati Aryo yang sudah berusia enam puluh tahun.
"Keadaan ini sungguh buruk sekali."
Kata Muryani yang biarpun ia seorang wanita namun dihormati para senopati dan perwira yang tahu akan kegagahan dan kemampuannya.
"Seandainya kita kuat bertahan terhadap serangan dari luar, akhirnya kami tidak mungkin dapat bertahan terhadap serangan dari dalam!"
"Hemm, apa yang Andika maksudkan dengan serangan dari dalam, Mas Ajeng Muryani?"
Tanya seorang senopati lain.
"Kalau hanya serangan dari para telik sandi dan pengkhianat yang menjadi antek musuh, hal itu masih mudah kita tanggulangi. Akan tetapi sampai berapa lama kita dapat bertahan dalam kepungan ini? Kalau ransum kita habis dan bahaya kelaparan menyerang kita, kita menjadi lemah dan akhirnya kalah."
Mendengar ini, semua orang terdiam dan mengerutkan alis, menyadari kebenaran kekhawatiran wanita sakti itu. Parmadi lalu berkata dengan sikap hormat kepada sang Adipati Pasuruan.
"Maaf, Kanjeng Adipati, kalau menurut pendapat hamba, semestinya sejak lama kita minta bantuan pasukan dari Mataram untuk memperkuat pertahanan di sini."
Sang Adipati menghela napas panjang.
"Seharusnya begitu. Hal ini baru kami sadari sekarang. Tadinya kami terlalu memandang rendah gerakan Kadipaten Blambangan yang memberontak. Kekuatan Blambangan tidaklah berapa besar. Akan tetapi, ternyata mereka dibantu pasukan yang amat kuat dan banyak dari Bali dan Madura. Juga mereka mempunyai senjata api. Akan tetapi ketika pasukan kita terpaksa ditarik mundur ke dalam kota, kami sudah mengirim utusan untuk memberi laporan dan mohon bantuan dari Gusti Sultan di Mataram."
"Semestinya utusanitu sudah kembali bersama bala bantuan,"
Kata Senopati Aryo.
"Akan tetapi mengapa belum juga kembali dan tidak ada kabar dari Mataram."
"Hemm, saya tahu bahwa banyak orang yang tangguh dan berbahaya membantu Blambangan dan mereka disebar dimana-mana. Siapa tahu utusan itu mereka hadang sehingga tidak dapat mengirim laporan dan minta bantuan?"
Kata Muryani.
"Wah, itu mungkin juga!"
Seru Sang Adipati.
"Celakalah kalau terjadi begitu!"
Kembali semua orang dicekam kegelisahan membayangkan kemungkinan ini. Parmadi lalu berkata.
"Hamba kira lebih baik kalau sekarang kita kirim lagi beberapa orang utusan untuk menyusulkan pelaporan dan permohonan bala bantuan, kalau-kalau utusan pertama menemui kegagalan."
"Akan tetapi, Anakmas Parmadi, bagaimana mungkin menyelundupkan utusan keluar dari kepungan yang demikian ketat? Utusan itu pasti akan tertangkap dan usaha kita itu akan sia-sia saja."
Kata seorang senopati tua lain.
"Benar itu! Bagaimana utusan baru dapat diselundupkan keluar kepungan?"
Sang Adipati menyambung.
"Begini, Kanjeng Adipati. Biarlah hamba bersama isteri hamba yang menjadi utusan. Kami berdua akan menyusup keluar dari kepungan dan langsung menuju ke kota raja Mataram untuk mohon bantuan."
Para senopati menangguk-angguk menyetujui, akan tetapi sang Adipati menggeleng kepala kuat-kuat dan menggoyang tangan kanannya.
"Tidak, hal itu tidak tepat! Andika berdua dibutuhkan di sini untuk memperkuat pertahanan kita! Harus diatur agar orang-orang lain saja yang menjadi utusan! Kalian berdua harus memperkuat pertahanan!"
"Akan tetapi bagaimana caranya.... ?"
Semua orang bertanya-tanya dengan bingung.
"Saya mengetahui cara itu!"
Tiba-tiba Muryani berkata lantang.
"
Sekarang sudah senja, sebentar lagi malam tiba dan malam ini tidak ada bulan. Dalam kegelapan malam ini kita dapat menyelundupkan beberapa orang utusan untuk keluar. Saya dan suami saya, dibantu beberapa orang yang memiliki keberanian dan memiliki kedigdayaan, akan keluar di malam gelap dan mengamuk, membuat keributan, menyerang musuh yang berada di luar. Nah, dalam keributan itu para utusan diselundupkan keluar benteng dan mengingat bahwa pihak musuh terdiri dari orang-orang Blambangan, Bali, dan Madura, maka hal ini akan memudahkan para utusan untuk membaur di antara mereka tanpa dicurigai atau diketahui. Para utusan dipilih mereka yang pandai menyamar sebagai orang Bali atau Madura. bagaimana pendapat Andika sekalian?"
"Plakk!"
Sang Adipati menepuk meja di depannya dan wajahnya berseri.
"Wah, bagus sekali siasat itu! Kakang Senopati Aryo, cepat laksanakan siasat Mas Ajeng Muryani itu!"
Para senopati dan jagabaya yang hadir juga merasa kagum dan mereka lalu mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan penyelundupan para utusan itu. Pertama-tama, mereka memilih dua orang yang penah lama tinggal di Madura sehingga dapat menyamar sebagai orang Madura dengan baik, dan dua orang yang dapat menyamar sebagai orang Bali dengan baik. Mereka termasuk perajurit-perajurit setengah tua yang setia dan memiliki kecerdikan dan kedigdayaan. Malam hari itu, tepat seperti dikatakan Muryani tadi, langit tidak dihias bulan. Dan agaknya alam membantu usaha itu karena bintang-bintang terhalang mendung hitam sehingga malam itu gelap gulita.
Dalam keadaan gelap seperti itu, tentu saja pasukan Blambangan tidak melakukan serangan, bahkan mereka agak mundur, menjauhi dinding kota untuk menjaga agar tidak mendapat serangan gelap yang mendadak. Akan tetapi, biarpun agak mundur, mereka tetap melakukan pengepungan ketat sehingga biarpun orang dapat keluar dari pintu gerbang, dia tidak akan mampu keluar dari kepungan itu.
Setelah semua dipersiapkan, Parmadi dan Muryani, diikuti lima orang senopati yang memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh, keluar dari pintu gerbang. Mereka bertujuh langsung lari ke depan dan ketika bertemu dengan perajurit-perajurit musuh yang berjaga di lapisan terdepan, mereka lalu mengamuk. Tentu saja keadaan menjadi gempar. Para perajurit musuh menyalakan obor dan tujuh orang itu segera dikeroyok. Mereka mengamuk dan sebentar saja belasan orang peajurit musuh roboh terkena pukulan atau hantaman senjata tujuh orang itu. Ketika para senopati Blambangan mulai berdatangan terdengarlah kentungan dari dalam benteng Pasuruan. Itulah isarat bahwa empat orang utusan yang diselundupkan sudah keluar dan dengan mudah, dalam keadaan kacau itu mereka berempat dapat membaur dan pura-pura hendak ikut mengeroyok tujuh orang pengacau itu.
Mendengar ini, Parmadi membentak nyaring. Para pengeroyok berpelantingan dan bentakan itu pun merupakan isarat bagi Muryani dan lima orang senopati untuk berlari kembali ke pintu gapura yang segera ditutup kembali setelah tujuh orang itu menyelinap masuk. Siasat itu berhasil dengan baik dan hanya ada seorang senopati yang terluka ketika terjadi pengeroyokan, luka ringan di pundaknya karena terkena bacokan golok para pengeroyok.
Siasat yang dilaksanakan atas usul Muryani dan Parmadi ini memang baik dan cerdik. Akan tetapi pihak Blambangan mempunyai banyak tokoh yang tidak kalah cerdiknya. Peristiwa malam itu membuat Tejakasmala dan Satyabrata menjadi curiga.
"Tidak mungkin orang-orang seperti Parmadi dan Muryani hanya keluar dari benteng sekadar mengamuk dan membuat kekacauan saja. Tentu ada maksud tertentu di balik perbuatan mereka itu."
Kata Satyabrata kepada Tejakasmala, didengarkan oleh Bhagawan Kalasrenggi.
"Dugaan itu benar sekali, raden Satyabrata,"
Kata tejakasmala yang menghormati wakil Kumpeni Belanda ini karena dia sudah merasakan kesaktian orang setengah bule ini.
"Saya pun merasa curiga, tentu itu merupakan siasat, mungkin untuk memancing perhatian kita."
"Benar, Adi Tejakasmala. Aku mempunyai dugaan bahwa mungkin mereka menggunakan waktu terjadi keributan itu untuk menyelundupkan orang- orang keluar dari benteng dan menyusup di antara para perajurit kita. Mungkin saja mereka adalah orang-orang yang bertugas mencari bala bantuan dari Mataram."
"Wah, kalau begitu gawat sekali! Kita harus mencegah mereka pergi mencari bantuan ke Mataram. Kita harus dapat menguasai Pasuruan sebelum bala tentara Mataram datang menyerang."
Kata Bhagawan Kalasrenggi.
"Jangan khawatir, Paman Bhagawan. Saya akan menyuruh dua orang pembantu saya, Cakrasakti dan Candrabaya untuk membawa seregu perajurit Bali pilihan untuk melakukan pengejaran dan membinasakan para utusan yang diselundupkan itu.
Demikianlah, malam itu juga, dua orang senopati Bali itu membawa dua losin perajurit Bali untuk melakukan pengejaran dan pencarian terhadap orang-orang yang diselundupkan keluar. Akhirnya, pada keesokan harinya, mereka dapat menemukan empat orang utusan Kadipaten Pasuruan itu. Empat orang itu melawan ketika hendak ditangkap dan akhirnya mereka berempat tewas dikeroyok dua losin perajurit Bali yang dipimpin oleh Cakrasakti dan Candrabaya.
Sang Adipati Pasuruan dan para pembantunya sama sekali tidak tahu bahwa utusannya yang kedua kali ini pun gagal dan terbunuh. Mereka hanya menanti sambil mempertahankan benteng kota Kadipaten Pasuruan dari serbuan yang setiap hari dilakukan musuh. Akan tetapi setiap hari mereka kehilangan banyak perajurit, apalagi ketika pihak musuh mulai mempergunakan meriam sumbangan Kumpeni Belanda.
Semua itu ditambah lagi dengan ransum yang mulai menipis dan semangat para perajurit menurun. Rakyat penduduk kota kadipaten itu juga mulai gelisah dan ketakutan sehingga suasana di kota itu mulai gempar dan panic.
Parmadi dan Muryani berusaha untuk membangkitkan semangat para perajurit dengan contoh perlawanan mereka yang gigih. Pada suatu malam yang sunyi setelah siang tadi mereka mempertahankan kota dari serbuan msuh, para perajurit Pasuruan beristirahat. Hanya mereka yang mendapat giliran jaga saja yang tidak tidur. Suasana sunyi dan malam itu bulan sepotong muncul seolah melayang diantara awan tipis sepotong-sepotong. Makin larut, malam itu semakin sunyi dan udaranya amat dingin.
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo