Kemelut Blambangan 21
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
Akan tetapi sinar mata yang dalam dan tenang itu, terkadang menjadi sayu diliputi kepedihan hati. Pengalamannya selama ia mengubah jalan hidupnya penuh kepahitan, terkadang membuat ia bingung dan hampir putus asa. Dulu, ketika ia masih menjadi tokoh sesat, setidaknya masih mempunyai sahabat. Dulu ia musuh para pendekar dan sahabat para golongan sesat. Akan tetapi sekarang? Bertemu dengan para pendekar, ia dimaki dan dihina, tidak dipercaya dan dimusuhi karena dianggap tetap sesat dan semua kebaikannya dianggap palsu dan pura-pura! Bertemu dengan golongan sesat, ia dicemoohkan dan diejek habis-habisan. Dari kanan kiri ia tetap saja dihina. Ia merasa terbuang, tidak ada teman, seorang diri di dunia ini dan dimusuhi semua orang!
Kalau sudah begitu, ia merasa kesepian, kehilangan, dan teringat kepada Bagus Sajiwo. Betapa ia amat merindukan Bagus Sajiwo! Rindu akan tatapan sinar matanya yang penuh pengertian, penuh kasih dan selalu membangkitkan semangat hidup dan pengharapan. Rindu akan senyum pemuda itu, yang menyejukkan hatinya, mendatangkan rasa tenteram dan tenang. Terutama sekali suaranya, begitu lembut, apalagi kalau suara itu mengucapkan kata-kata yang menyegarkan hati akal pikiran, yang mendatangkan kesadaran dan pengertian sehingga meresap dan menyejukkan jiwa. Segala macam perasaan dan kesan yang terbaik memenuhi hatinya kalau ia teringat kepada Bagus Sajiwo.
Dalam pribadi Bagus Sajiwo ia menemukan kasih sayang murni seorang guru, orang tua, saudara, sahabat yang amat setia dan yang selalu membimbingnya tanpa pamrih untuk dirinya sendiri, tanpa mengharapkan imbalan jasa. Setelah setahun lebih berpisah dari Bagus Sajiwo, hidup dalam kesepian dan penuh perenungan, barulah ia mulai mengerti akan kasih sayang murni dari pemuda itu kepadanya. Selama ini ia telah salah sangka, salah memahami kasih sayang Bagus Sajiwo. Kasih sayang Bagus Sajiwo kepadanya sama sekali tidak mengandung berahi! Dan salahnya sendiri kalau ia membalasnya dengan cinta asmara dan menganggap pemuda itu sebagai suaminya, mengharapkan untuk hidup berdampingan selamanya sebagai suami isteri!
Sekarang ia maklum bahwa perasaan cintanya kepada Bagus Sajiwo itu muncul karena sejak gadis remaja, biarpun ia telah dicinta oleh banyak sekali pria, namun cinta semua pria itu hanyalah cinta nafsu berahi belaka.Semua laki-laki itu hanya mencinta keindahan tubuhnya, kecantikannya! Maka, begitu bertemu Bagus Sajiwo ia merasakan suatu kasih sayang yang lain sama sekali, dan kehausannya akan cinta sejati membuat ia mengiara bahwa Bagus Sajiwo mencintanya sebagai seorang calon suami mencinta calon isterinya! Ia terjebak dalam harapannya sendiri. Sekarang ia mengerti bahwa Bagus Sajiwo dapat menjadi segalanya, kecuali menjadi suaminya. Ia menyadari bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Usianya sekarang sudah tiga puluh tujuh tahun sedangkan usia Bagus Sajiwo baru sekitar dua puluh satu tahun!
Maya Dewi melangkah perlahan dan menghela napas. Kesadaran itu telah menghilangkan nafsu berahi dari kasih sayangnya terhadap Bagus Sajiwo. Kasih sayangnya kini terasa bahkan lebih halus, kerinduannya terhadap anak muda itu bukan lagi kerinduan jasmani, melainkan kerinduan rohani. Seperti seorang kakak merindukan adiknya, seperti seorang ibu merindukan anaknya, seperti seorang sahabat merindukan sahabatnya. Ia menghela napas
lagi.
"Bagus...."
Ia mengeluh lirih, keluhan yang keluar dari dalam lubuh hatinya.
Maya Dewi tadinya melakukan perjalanan menuju Pasuruan. Ia mendengar bahwa Pasuruan telah diduduki Pasukan Blambangan akan tetapi kini baru saja direbut kembali oleh Pasukan Mataram. Pasti Bagus Sajiwo berada di sana, pikirnya. Ia sudah mengambil keputusan untuk membela dan membantu Mataram menghadapi Kumpeni Belanda. Sebetulnya, ia bukanlah kawula Mataram. Mendiang ayahnya, Resi Kalayitmo, berasal dari Parahiyangan, lalu pindah ke Banten dan ia dilahirkan di Banten. Kalau ia kini mengambil keputusan untuk membantu Mataram, hal itu adalah untuk menebus semua dosanya terhadap Mataram. Ia pernah membantu Kumpeni Belanda memusuhi Mataram.
Kini ia menyadari kesalahannya, sadar betapa jahatnya Kumpeni Belanda terhadap bangsanya, bangsa di seluruh Nusa Jawa. Ia yang pernah menjadi tokoh telik sandi (mata-mata) Belanda maklum bahwa Kumpeni Belanda selalu mempergunakan siasat mengadu domba antara kadipaten dan penguasa- penguasa daerah. Kalau tidak berhasil menggunakan kekerasan, Kumpeni menggunakan siasat halus dan licik, pura-pura membantu Mataram. Siasat ini dipergunakan agar mereka yang saling perang sendiri itu menjadi lemah sehingga akhirnya mudah bagi Kumpeni untuk menundukkan mereka yang telah menjadi lemah dan cerai berai karena perang saudara. Ia telah berhutang banyak kepada Mataram, telah melakukan banyak kejahatan yang merugikan Mataram.
Oleh karena itu, ia kini bertekad untuk membantu dan membela Mataram untuk menebus dosa-dosanya. Dengan pikiran ini, ia pergi ke Pasuruan, untuk menawarkan bantuannya sebagai sukarelawan, bergabung dengan para pendekar. Hanya Bagus Sajiwo yang diharapkannya akan ia temukan di Pasuruan. Tanpa adanya Bagus Sajiwo, besar bahayanya ia tidak akan diterima para pembesar Mataram yang tentu mencurigai dan tidak sudi menerima bantuannya. Kalau ada Bagus Sajiwo, pemuda itu tentu mau membela dan menjadi penanggung jawabnya.
Akan tetapi jauh di luar Kadipaten pasuruan, di jalan umum yang sepi, ia berhenti berjalan ketika melihat tubuh lima orang malang melintang di atas jalan dalam keadaan mandi darah! cepat ia menghampiri dan setelah memeriksa, ternyata empat dari mereka telah tewas dan yang seorang hanya pingsan. luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah akan tetapi tidak terlalu berbahaya. agaknya yang menyerang mereka mengira dia juga tewas maka ditinggalkannya. padahal orang itu hanya pingsan. Maya Dewi cepat menolong dan menyadarkannya. Setelah sadar orang itu mengeluh dan bangkit duduk, memandang kepada Maya Dewi dengan heran dan juga takut.
"Jangan takut, Kisanak. Aku bukan musuh."
Maya Dewi menenangkan sambil membalut pundak orang itu dengan kain yang dirobek dari baju orang itu sendiri.
"Ceritakan apa yang telah terjadi di sini dan siapa yang membunuh dan melukai kalian."
"Kami berlima adalah perajurit Mataram. Induk pasukan kami berada di Benteng Pasuruan. Kami bertugas memeriksa keadaan sekeliling dan kami agak terlalu jauh meninggalkan kota Kadipaten Pasuruan. di tengah perjalanan itu kami melihat seorang wanita duduk di atas kuda dengan kedua tangan kaki terikat. Agaknya ia menjadi tawanan seorang laki-laki yang kami kenal sebagai seorang senopati Blambangan karena dia pernah ikut menyerbu ketika pasukan Blambangan dulu menyerang dan menduduki Pasuruan. Kami melakukan pengejaran sampai di sini dan laki-laki muda itu berhenti lalu menyerang kami. Ternyata dia sakti mandraguna sehingga kami berlima dalam waktu singkat roboh. Empat orang rekan saya tewas dan entah mengapa saya masih hidup, agaknya dia mengira sata tewas pula."
"Hemm, tahukah Andika siapa laki-laki itu dan siapa pula yang ditawan?"
Orang itu menunjuk ke arah timur.
"Ke sana." "Hemm. aku akan mengejarnya. Andika carilah bantuan di dusun terdekat untuk mengurus mayat kawan-kawan Andika ini."
Setelah berkata demikian, Maya Dewi lalu berlari cepatmelkukan pengejaran ke arah timur.
Siapakah gadis yang ditawan dan siapa pula penawannya seperti yang diseritakan perajurit Pasuruan itu? Gadis itu adalah Niken Darmini dan penawannya adalah Tejakasmala! Sepeti kita ketahui, Niken Darmini yang menyamar menjadi pemuda bernama Joko Darmono dengan marah, penuh cemburu dan keencian, meninggalkan Bagus Sajiwo dan Ratna Manohara setelah ia tidak berhasil membunuh kedua orang itu.
Ia melarikan diri dengan hati terasa nyeri karena cemburu dan kebencian. Sejak pertama kali bertemu Bagus Sajiwo yang mengenalnya sebagai Joko Darmono, Niken Darmini telah jatuh cinta kepada Bagus Sajiwo. Ia bertekad untuk menjadi isteri pemuda itu dan pada suatu saat yang baik ia akan membuka rahasianya bahwa ia seorang wanita. Dari sikap Bagus Sajiwo yang amat baik itu ia pun yakin bahwa Bagus Sajiwo pasti akan menerima dan membalas cintanya kalau diketahuinya bahwa ia seorang gadis jelita! Ketika ia bertemu Ratna Manohara yang tentu saja mengenalnya sebagai seorang gadis, ia minta agar gadis puteri Ketua Driya Pawitra itu menyimpan rahasianya dan terus terang ia katakan bahwa ia mencinta Bagus Sajiwo dan akan membunuh wanita yang berani merebut pemuda itu darinya.
Lalu, pada pagi hari itu, ketika ia masih tidur, Ki Sarwaguna mengetuk daun pintu kamarnya dan minta tolong agar ia membantu mencari Ratna Manohara yang menurut ayah gadis iru lenyap sejak semalam. Ketika ia bertanya di mana adanya Bagus Sajiwo, Ki Sarwaguna juga mengatakan bahwa pemuda itu tidak tampak pula, hilang seperti halnya Ratna Manohara. Ia lalu membantu Ki Sarwaguna
mencari, dan ditugaskan mencari ke arah bukit di mana terdapat banyak gua. Dan pada pagi hari itu, ia melihat Ratna Manohara dan Bagus Sajiwo keluar dari dalam sebuah gua sambil bergandengan dan berangkulan, dan pakaian Ratna Manohara tidak karuan!
Tidak sukar diduga apa yang mereka lakukan semalam dalam gua itu! Tentu saja ia menjadi marah bukan main, hampir gila karena cemburu. Ia merasa yakin bahwa Ratna Manohara dan Bagus Sajiwo, semalam berada di dalam gua itu, berhubungan gelap, berjina! Maka diserangnya Ratna Manohara, akan tetapi serangannya gagal oleh Bagus Sajiwo. Karena merasa tidak mungkin dapat mengalahkan Bagus Sajiwo, ia lalu melarikan diri membawa kemarahan, cemburu, dan kebencian.
Semakin dipikir dan dibayangkan, semakin panas hatinya. demikian besar perasaan benci mencengkeram hatinya sehingga yang ia inginkan hanya membunuh Bagus Sajiwo dan Ratna Manohara!
Niken Darmini melepaskan pakaian pria dan ia sudah berganti pakaian wanita, tidak ingin menyamar lagi. Hatinya merasa semakin sedih kalau ia ingat betapa ia sudah membantu Driya Pawitra, bahkan gurunya sendiri, Nini Kuntigarba, tewas dalam pertempuran membela Driya Pawitra. Akan tetapi apa yang ia dapatkan dengan pembelaan dan pengorbanan itu? Kekasih hatinya, pujaannya telah direbut Ratna Manohara!
Pada suatu pagi, ketika ia melangkahkan kaki dalam keadaan melamun dan masih tenggelam ke dalam kesedihan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berlari mendatangi dari arah belakangnya. Ketika penunggang kuda tiba dekat dan ia menoleh untuk memandang siapa penunggang kuda itu, matanya terbelalak dan kulit mukanya seketika merubah merah. Ia segera mengenal Tejakasmala, pemuda berpakaian Bali yang pernah ikut menyerbu Driya Pawitra dan pemuda inilah yang telah membunuh gurunya, Nini Kuntigarba!
"Jahanam keparat, jangan lari!"
Bentaknya dan ia cepat melompat dan mengejar.
Penunggang kuda itu memang Tejakasmala. Pemuda dari Bali yang mewakili Kerajaan Klungkung di Bali untuk membantu Blambangan itu ikut merasa kecewa mendengar bahwa Pasuruan telah direbut kembali oleh Pasukan Mataram. Persekutuan itu lalu meningkatkan kegiatan para telik sandi untuk menyelidiki keadaan daerah dan menggalang persatuan yang lebih kokoh untuk mengulang serangan mereka yang lebih kuat dan besar.
Tejakasmala tidak mau ketinggalan. Dia lalu seringkali mengadakan penyelidikan sendiri dan pagi hari itu dia sedang melakukan perjalanan, menyelidiki daerah di sekitar luar Kadipaten Pasuruan. Maka, ketika ada wanita berteriak memakinya, dia terkejut dan menahan kudanya lalu menoleh.
"Syuuuuttt....!"
Sinar kemerahan meluncur dan menyambar ke arah tubuhnya. Tejakasmala terkejut bukan main. Cepat dia mengelak dengan melompat dari atas pelana kudanya. Namun ujung sabuk merah yang digerakkan Niken Darmini untuk menerjangnya itu masih mengenai ujung bahunya sehingga bajunya terobek dan kulit pundaknya terkelupas sedikit. Dia berjungkir balik dan ketika tiba di atas tanah dia berdiri berhadapan dengan seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya.
"Eh, gilakah engkau? Tiada hujan tiada angin, tanpa sebab tiba-tiba menyerangku? Apa kesalahanku maka engkau menyerangku seperti orang gila?"
Tejakasmala menegur marah. Karena tidak ingin kehilangan kudanya, dia menghampiri kudanya, menenangkannya dan melepas kendali dari mulut kuda agar binatang yang sudah lelah dan lapar itu dapat makan rumput hijau di tepi jalan.
"Kamu yang gila!"
Niken Darmini membentak dan tangan kanannya mencabut sebatang keris dari ikat pinggang. Sabuk merah yang tadi ia pergunakan untuk menyerang berada di tangan kirinya.
"kamu telah membunuh Guruku dan hari ini aku akan mencabut nyawamu agar dapat menghadap roh Guruku di alam baka!"
Kini Tejakasmala dapat memandang wajah gadis itu penuh perhatian dan dia pun teringat! Dia pernah melihat gadis ini! Ketika Adipati Santa Guna Alit di Blambangan mengadakan pertemuan yang pertama, gadis ini juga hadir. Bahkan gadis ini dan seorang gadis lain, yaitu Ratna Manohara dari Driya Pawitra menolak untuk bekerja sama dengan Blambangan menentang Mataram. Gadis ini adalah utusan yang datang dalam rapat itu mewakili gurunya, Nini Kuntigarba! Dan belum terlalu lama ini, sebelum Pasukan Blambangan menyerbu Pasuruan dia bersama rombongan dari Blambangan menyerang Driya Pawitra dan dalam perkelahian itu dia telah terluka oleh Nini Kuntigarba, akan tetapi nenek itu pun roboh tewas!
"Ah, aku ingat sekarang! Andika adalah murid Nini Kuntigarba dan ketika terjadi pertempuran, Nini Kuntigarba membantu Driya Pawitra dan tewas. Akan tetapi, ia tewas dalam pertempuran yang dapat menimpa siapa saja yang melibatkan diri dalam perang. Aku sendiri pun terluka olehnya. Gurumu tak mempunyai permusuhan pribadi dengan aku, kita berempur karena membela pihak masing-masing. Aku tidak membunuhnya. Perang yang menyebabkan ia tewas. Di antara kita tidak ada permusuhan apa-apa!"
"Tak perlu banyak cakap lagi! Bersiaplah untuk mati di tanganku!"
Bentak Niken Darmini.
"Nanti dulu, aku Tejakasmala dari Bali dwipa tidak ingin bermusuhan dengan seorang wanita!"
"Huh, kita pernah bertanding di Perguruan Driya Pawitra, sudah lama kita menjadi musuh!" "Ahh? Aku tidak ingat lagi.... seingatku yang bertanding denganku adalah seorang pemuda yang kemudian dibantu Nini Kuntigarba.... eh, Andikalah pemuda itu?"
"Tidak keliru! Akulah Niken Darmini yang dulu menyamar sebagai Joko Darmono!"
Ia lalu menggerakkan sabuk merahnya yang meledak di udara seperti sebuah cambuk.
"Nanti dulu, Niken Darmini! Kalau engkau sekarang ini bertindak sebagai seorang pembela Mataram, maka engkau adalah musuhku. Akan tetapi kalau engkau tidak membela Mataram, aku tidak ingin bermusuhan denganmu!"
Niken Darmini membentak.
"Tutup mulutmu dan sambut seranganku ini!"
Ia lalu menerjang dengan sambaran sabuk merahnya dari atas. Ujung sabuk itu menyambar seperti kilat ke arah kepala Tejakasmala, disusul keris yang meluncur ke arah dada pemuda itu. Dahsyat bukan main serangan ini, serangan kilat yang kalau mengenai sasaran pasti mendatangkan maut.
Akan tetapi kini Tejakasmala telah siap. Pemuda ini adalah murid utama Bhagawan Ekabrata, pendeta pertapa di Gunung Agung Bali yang amat sakti mandraguna. Maka tingkat kepandaian Tejakasmala ini sudah tinggi sekali. Biarpun Nuken Darmini sudah mewarisi semua aji kanuragan yang dikuasai mendiang Nini Kuntigarba dan telah diajarkan kepadanya, namun dibandingkan tingkat kepandaian Tejakasmala, ia masih kalah tinggi.
Pemuda ini tingkat kepandaiannya sudah tingg sekali, maka dia tidak pernah membawa senjata. Kaki tangannya sudah merupakan empat batang senjata yang ampuh, belum lagi aji kesaktian yang dahsyat seperti Aji Pukulan Condromowo yang kalau dipergunakan tangannya berubah merah membara dan mendatangkan angin pukulan yang amat panas.
Aji Bayutantra yang mendatangkan angin pukulan bagaikan badai menyambar. Dengan pengerahan tenaga sakti dalam suaranya dia mampu merobohkan lawan yang kurang kuat tenaga dalamnya dengan Aji Singabairawa yang membuat gerangannya seperi auman singa yang dapat melumpuhkan lawan. Selain itu, dia juga dapat mempergunakan sihir dengan membuat dirinya berubah menjadi Nagakala. Pendeknya, Tejakasmala merupakan lawan yang amat tangguh bagi Niken Darmini. Gadis itu pun sudah maklum akan kesaktian lawan yang pernah menjatuhkannya dan bahkan hampir membunuhnya kalau saja tidak muncul gurunya yang menangkis pukulan pemuda itu. Akan tetpi ketika itu Niken Darmini berada dalam kemarahan besar, bukan saja mengingat akan kematian gurunya, melainkan terutama karena marah kepada Bagus Sajiwo dan Ratna Manohara. Kemarahan ini mendatangkan keberanian dan kenekatan. Maka iapun menyerang Tejakasmala, menggunakan senjata sabuk dan keris, menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena ia bertekad untuk membunuh atau terbunuh.
"Haiiiiittttt....!"
Niken Darmini menyerang lagi ketika tadi serangannya yang beruntun dapat dielakkan oleh Tejakasmala. Sabuknya menyambar dan dengan penyaluran tenaga sakti, sabuk dari kain sutera lemas itu berubah manjadi kaku seperti sebatang tongkat dan menusuk ke arah mata lawan. Tejakasmala menghindarkan diri dengan menggeser kaki ke kiri. Akan tetapi Niken membentak dan tiba- tiba sabuknya menjadi lemas kembali dan kini menyambar ke arah leher pemuda itu. Kalau terkena tentu sabuk itu akan menjerat leher dan mencekik! Namun Tejakasmala cepat melompat ke belakang sehingga sambaran sabuk itu luput. Niken melompat ke depan, kerisnya menusuk lambung.
"Aahhh!"
Tejakasmala mengibaskan tabgannya menangkis.
"Cringgg....!"
Seperti dua batang baja bertemu ketika tangan itu menepis keris dari samping. Kemudian, kaki kanan tejakasmala mencuat, mejadi tendangan dari samping mengarah pinggang dara perkasa itu.
Niken menghindar cepat sambil mengebutkan sabuknya untuk membelit kaki. Akan tetapi Tejakasmala cepat menarik kembali kakinya dan kini tangan kirinya meluncur cepat menotok ke arah pundak lawan. Niken menangkis totokan itu dengan kerisnya dan kembali keris bertemu tangan yangdemikian kuatnya sehingga Niken merasa tangannya tergetar.
Mereka serang menyerang dengan seru. Niken Darmini mengamuk dan serangannya dilakukan untuk membunuh lawan. Sebaliknya, Tejakasmala menyerang dengan tenaga terkendali karena dia tidak ingin membunuh gadis itu. Jauh lebih baik mencoba untuk membujuk Niken Darmini agar mau menjadi sekutu daripada mejadi lawan. Sayang pula kalau dibunuh. gadis ini cantik jelita dan cukup sakti. Dia ingin mengalahkannya tanpa membunuh. Akan baik kiranya kalau dia mampu menawannya, membawa ke Balmbangan dan disana akan dicarikan cara untuk membujuk Niken Darmini agar mau membantu Blambangan menentang Mataram.
Karena tidak ingin membunuh inilah maka perkelahian itu berlangsung cukup lama. Tak mudah bagi Tejakasmala untuk mengalahkan gadis ini tanpa melukai berat atau bahkan membunuhnya. Hebatnya, gadis itu benar-benar nekat dan agaknya tidak mempedulikan keselamatan sendiri. Akhirnya, Tejakasmala menemukan akal untuk dapat menangkap gadis itu tanpa membunuh atau melukai dengan parah. kalau dia melukai dengan parah, tentu sukar membujuknya untuk bekerja sama.
Ketika sabuk merah itu sekali lagi meluncur ke arah lehernya, Tejakasmala sengaja bergerak lamban sehingga ujung sabuk itu berhasil membelit lehernya! Niken girang dan cepat ia mengerahkan tenaga untuk memperkuat belitannya agar mencekik leher lawan. Akan tetapi Tejakasmala malah melangkah maju mendekatjan tubuhnya. Niken Darmini menyambutnya dengan tusukan keris ke arah dada lawan. Inilah yang dinanti-nanti Tejakasmala. Cepat tangan kirinya menangkap lengan tangan kanannya menyambar kearah pundak. Niken mengeluh dan pada saat itu, Tejakasmala mengeluarkan pekik Singabairawa. tubuh Niken menjadi lemas dan dengan mudah Tejakasmala menangkapnya dan mengikat kedua pergelangan tangannya ke belakang tubuhnya, menggunakan sabuk merah yang terbuat dari sutera amat kuat.
"Nah, Niken Darmini, engkau sudah kalah dan engkau harus menurut semua kehendakku."
"Keparat! Bunuh saja aku! Aku tidak takut mati, lebih baik mati daripada menurut kehendakmu!"
Bentak Niken Darmini, akan tetapi hanya suaranya saja yang kuat karena tubuhnya lemas dan tidak berdaya.
"Ha-ha-ha! Mau tidak mau engkau harus menuruti kehendakku. Engkau tidak dapat menolak!"
Setelah berkata demikian, dia menghampiri kudanya, memasang kendali. Ketika pemuda itu menghampiri kuda, Niken berusaha untuk melarikan diri namun ia nyaris terguling karena kedua kakinya lemas. Tekanan pada pundaknya membuat ia lemas. Tejakasmala menghampirinya dan tiba-tiba dia mengangkat tubuh Niken ke atas, didudukkannya di atas pelana kuda itu!
"Heii, mau apa engkau!"
Niken Darmini membentak. Akan tetapi Tejakasmala hanya tersenyum lalu mengikat kedua kaki gadis itu, melalui bawah perut kuda.
Tejakasmala lalu menuntun kuda itu setelah tersenyum kepada niken Darmini. Niken adalah seorang gadis perkasa yang sudah bisa menunggang kuda. Maka biarpun kedua tangannya terikat ke belakang, ia dapat duduk tegak di atas pelana kuda.
"Tejakasmala jahanam keparat, apa yang hendak kau lakukan? Ke mana aku akan kau bawa pergi?"
"Aku akan membawamu ke Kadipaten Blambangan."
"Aku tidak sudi! Lepaskan aku atau bunuh aku!"
"Ha-ha-ha, engkau lupa, Niken Darmini. Engkau kalah dan menjadi tawananku, terserah kepadaku apakah engkau hendak kubawa ke Blambangan, kulepaskan atau kubunuh. Akan tetapi aku memilih untuk membawamu pergi ke Blambangan. Dan engkau tidak dapat menolak karena engkau sudah kalah dan menjadi tawananku."
Pemuda itu tertawa dan melanjutkan perjalanannya menuntun kuda yang ditunggangi gadis itu.
Niken Darmini adalah seorang gadis yang cerdik. Tadinya ia merasa khawatir kalau-kalau Tejakasmala akan berbuat keji dan cabul pada dirinya. Hal ini membuatnya takut dan ngeri. Jauh lebih baik dibunuh daripada diperkosa! Akan tetapi melihat sikap dan kata-kata pemuda sakti dari Bali itu, mulai timbul harapannya bahwa ia tidak akan mengalami nasib mengerikan itu. Pemuda itu bersikap kurang ajar, bahkan membiarkan ia naik kuda dan pemuda itu berjalan kaki sambil menuntun kuda. Kalau memang dia berniat kotor, tentu langsung saja ia diperkosa dan dihina. Ia pun mulai mengubah sikap dan tidak lagi mencaci maki seperti tadi.
Tiba-tiba terdengar derap kaki beberapa ekor kuda dan muncul lima orang perajurit Mataram. Mereka adalah lima di antara para perajurit yang melakukan perondaan di sekitar benteng Pasuruan untuk menyelidiki gerak-gerik musuh dan melakukan pembersihan kalau perlu.
"Berhenti dulu!"
Teriak mereka dari belakang, mengejar Tejakasmala yang menuntun kuda yang diduduki Niken Darmini.
Ketika lima orang perajurit itu sudah berhadapan dengan Tejakasmala, mereka terkejut dan mengenal pemuda itu sebagai seorang di antara pimpinan pasukan Blambangan yang pernah menyerbu dan menduduki Pasuruan. Maka tanpa banyak cakap lagi, mereka berloncatan turun dari punggung kuda dan mengepung Tejakasmala yang sudah menjauhi kuda yang diduduki Niken Darmini sehingga yang dikepung hanya dia seorang. Tejakasmala tersenyum mengejek melihat lima orang perajurit Mataram yang mengepungnya itu.
"Meneyerahlah menjadi tawanan kami atau akan kami bunuh!"
Teriak seorang perajurit.
"Ha-ha, kalian berlima datang antar nyawa!"
Kata Tejakasmala. Lima orang perajurit itu menyerang dengan pedang mereka, akan tetapi tubuh Tejakasmala bergerak cepat, berkelebatan dan lima orang perajurit itu hanya mampu mengeluarkan satu kali teriakan lalu roboh.
Melihat lima orang lawannya roboh tewas, Tejakasmala tertawa, lalu dia mengambil seekor kuda terbaik dan ditungganginya sambil menuntun kendali kuda yang ditunggangi Niken Darmini. Dia sama sekali tidak mengira bahwa seorang di antara lima orang perajurit itu belum tewas, hanya pingsan dan terluka pundaknya saja. Tadi dia menggunakan jari-jari tangannya untuk menampar dan mencengkeram. Empat orang terkena cengkeraman atau tamparan di bagian kepala sehingga tewas seketika. Akan tetapi yang seorang lagi meleset dan pundaknya yang teluka. Karena orang itu pun roboh seketika pingsan, Tejakasmala mengira semua lawan itu tewas dan dia melanjutkan pejalanannya.
Melihat Tejakasmala merobohkan lima orang perajurit tadi, Niken Darmini memandang dan merasa kagum. Pemuda itu memang benar-benar sakti dan gagah. Bahkan wajahnya pun tampan, tubuhnya tegap dan sikapnya pun tidak kasar, membayangkan bahwa dia seorang pemuda bersusila. Tidak kalah tampan atau gagahnya dibandingkan Bagus Sajiwo. Akan tetapi bedanya, kalau Tejakasmala dalam sikap dan gayanya mengandung kecongkakan dan kekerasan, sebaliknya Bagus Sajiwo seutuhnya membayangkan kesabaran dan kelembutan yang mendatangkan perasaan damai tenteram di hatinya selama ini.
"Tejakasmala, ke manakah engkau hendak membawaku?"
Tiba-tiba Niken Darmini bertanya setelah beberapa lamanya mereka menunggang kuda berdampingan dan kendali kuda Niken Darmini dipegang pemuda itu. Pemuda yang tadinya seperti melamun itu menoleh dan tersenyum. Dia tidak mengira gadis itu dapat bicara baik-baik, tanpa mengandung makian dan kemarahan.
"Aku adalah seorang yang dipercaya menjadi utusan kerajaan Klungkung untuk memimpin pasukan dan membantu Blambangan menghadapi Mataram. Karena engkau membela musuh Blambangan, maka engkau kutawan dan akan kuhadapkan kepada Sang Adipati Blambangan yang akan memberi keputusan mengenai dirimu."
Mendengar jawaban itu, Niken Darmini termenung. Setelah beberapa lamanya, ia bertanya, kini suaranya mengandung penasaran.
"Tejakasmala, aku menyerangmu karena engkau telah membunuh guruku! Mengapa engkau membunuh guruku?"
"Mengapa aku membunuh gurumu? Aku tidak membunuh gurumu. Gurumu tewas dalam sebuah pertempuran. Dalam pertempuran antara kadipaten tidak ada siapa membunuh siapa. Adanya hanya pertempuran yang mengakibatkan luka atau kematian. Semua peristiwa yang terjadi tidak terlepas dari rangkaian karma, Niken Darmini. Ada akibat tentu ada sebabnya. Si sebab juga merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Si akibat juga akan menjadi sebab yang menelurkan akibat lain. Mengapa gurumu membantu Driya Pawitra? Mengapa Driya Pawitra tidak mau bekerja sama dengan Blambangan? Mengapa aku berada di sini membantu Blambangan? Semua pertanyaan itu pasti ada jawabannya atau sebab dan alasannya. Kalau ditelusuri terus, pertanyaan terakhir mungkin begini : Mengapa aku dihidupkan di dunia ini? Yang jelas, aku hanya melaksanakan tugasku sebagai utusan raja di Klungkung untuk membantu Blambangan."
Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan nada serius itu, Niken Darmini termenung. Memang, tidak dapat disangkal kebenaran kata-kata Tejakasmala pemuda Bali ini. Segala peristiwa dapat dipertanyakan. mengapa Blambangan memusuhi Mataram dan sebagainya. Dan semua pertanyaan itu tentu mendapat jawaban dengan alasan masing- masing yang diyakini benar oleh yang menjawab. Siapa yang benar? Kalau kedua pihak yang saling bertentangan merasa diri sendiri benar, maka siapa sebetulnya yang benar? Apakah kebenaran itu?
"Hemm.... antara Blambangan dan Mataram, siapakah yang benar dan siapa pula yang salah?"
Pertanyaan yang terucapkan ini merupakan gema dari suara hatinya sehingga terdengar oleh Tejakasmala yang merasa bahwa pertanyaan itu diajukan kepadanya.
Tertegun juga Tejakasmala mendengar pertanyaan ini. Bagi dia yang bertugas membantu Blambangan, tentu saja Blambangan yang benar dan Mataram yang salah. Akan tetapi bagi orang-orang Mataram dan mereka yang membela Mataram, tentu saja Mataram yang benar dan Blambangan yang salah.
"Menurut pendapatku, keduanya itu benar karena masing-masing tentu membenarkan diri sendiri. Akan tetapi di samping benar, mereka juga salah karena mereka saling menyalahkan."
Mendengar jawaban itu, Niken Darmini menjadi bingung, akan tetapi ucapan pemuda itu pun tidak dapat dibantah. Biarpun demikian, tetap saja jawaban itu belum memberi penjelasan kepadanya tentang apa itu kebenaran. Tiba-tiba ia teringat kepada Bagus Sajiwo. Kalau Bagus berada di situ, mungkin sekali Bagus akan mampu menjawab dan memeberi penjelasan seperti biasa. Akan tetapi ia benci Bagus! Kalau dulu, ketika ia masih menyamar sebagai Joko Darmono, ia cinta setengah mati kepada Bagus Sajiwo, kini ia berbalik merasa benci setengah mati kepada pemuda itu!
Cinta benci, cinta benci...., beginilah sifat perasaan yang dikemudikan nafsu. Cinta nafsu sama saja dengan ulah nafsu yang lain, mementingkan diri sendiri, mencari kesenangan diri sendiri. Cinta nafsu selalu menuntut imbalan segala macam keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Ingin memiliki yang dicinta, ingin menguasai, ingin memperoleh kesenangan, kenikmatan, kepuasan dari yang dicinta. Karena itu, begitu yang dicinta itu tidak memberi kesenangan, bahkan mendatangkan kekecewaan, cinta berubah menjadi benci!
Cinta Sejati adalah Cinta Illahi, adanya hanya memberi dan memberi, tanpa pamrih bagi dirinya sendiri, tanpa keinginan memperoleh imbalan atau balasan. Rela, ikhlas, sabar, mengalah karena merasa bahwa dirinya hanya merupakan alat penyalur Cinta Illahi.
Mampukah kita mencinta seperti itu? Tanpa adanya penguasaan nafsu atas cinta kita? Manusia tidak dapat terbebas dari nafsu yang memang menjadi peserta kita, sehingga tidak ada manusia yang sempurna kebersihannya. Manusia condong mengandung dosa, condong dikuasai nafsu-nafsunya. Hanya Kekuasaan Gusti Allah yang mampu menyingkirkan kekuasaan nafsu atas rohani dan jasmani manusia. Akan tetapi kalau kita menyadari akan hal ini dan dapat melihat jelas betapa kotornya cinta yang kita agung-agungkan itu, setidaknya hal itu akan dapat mengurangi pengaruh nafsu atas diri kita. membuat kita merasa demikian lemah dan bodoh sehingga kita mau bertekuk lutut berserah diri kepada Gusti Allah, mohon pengampunan dan bimbingannya.
"Tejakasmala, engkau hendak menyerahkan aku kepada Adipati Blambangan agar aku dihukum mati? aku tidak takut mati, aku hanya ingin tahu apa yang menjadi kehendakmu."
"Tidak, Niken Darmini, kukira tidak! Yang sudah pasti, sang Adipati Blambangan, kami semua, akan senang sekali kalau engkau mau bekerja sama membantu Blambangan menghadapi Mataram. Bagaimanapun juga, engkau adalah kawula Blambangan sehingga sudah sepatutnya kalau engkau membela Blambangan."
Hening sejenak. Ucapan pemuda itu menjadi bahan petimbangan dalam hati Niken Darmini. Sebetulnya, ia tidak peduli akan permusuhan antara Blambangan dan Mataram. Ia tidak ingin membantu salah satu pihak. Akan tetapi ia telah bermusuhan dengan orang-orang pendukung Blambangan karena ia membela perguruan Driya Pawitra. Ini pun karena ia terbawa oleh Bagus Sajiwo. Dahulu, demi Bagus Sajiwo ia mau berbuat apa saja, kalau perlu ia siap pula diajak membantu Mataram. Akan tetapi sekarang, setelah ia merasa "dikhianati"
Bagus Sajiwo yang bermain gila dengan Ratna Manohara, ia mendapat kesempatan melampiaskan kebenciannya terhadap Bagus Sajiwo dengan memusuhi Mataram dan membantu Blambangan!
"Bagaimana mungkin kalian menginginkan aku membantu Blambangan kalau sekarang aku kalian anggap musuh?"
"Kami tidak menganggap engkau sebagai musuh, Niken. Engkau hanya terlibat membantu Driya Pawitra, belum membantu Mataram dan belum memusuhi Blambangan secara pribadi."
"Huh, kalau bukan dianggap musuh, mengapa aku diikat seperti ini?"
Tejakasmala cepat menghentikan kudanya, melompat turun dan menghampiri gadis yang duduk di atas kuda dengan kaki tangan terbelenggu itu.
"Niken, kalau tadi aku membelenggumu, karena engkau bersikap memusuhi aku dan menyerangku. Sungguh mati, aku sama sekali tidak bermusuhan dengan gurumu dan tidak berniat membunuh gurumu. Kami terlibat pertempuran dan ia terluka dan tewas. Di antara kita sebetulnya tidak ada permusuhan. Apakah sekarang engkau tidak lagi memusuhi aku dan mau menghadap Adipati Blambangan secara sukarela? Aku yang menanggung bahwa engkau tidak akan dimusuhi. Kalau engkau bersedia, aku akan membuka belenggumu."
"Baiklah, sekarang aku melihat bahwa engkau dengan sengaja membunuh guruku. menang atau kalah, selamat atau tewas dam pertempuran merupakan hal yang wajar."
Dengan wajah berseri Tejakasmala lalu membuka ikatan kedua tangan dan kaki gadis itu. Kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan berkuda menuju ke kota Kadipaten Blambangan. Niken Darmini yang merasa sakit hati dan menaruh dendam kebencian kepada Ratna Manohara dan Bagus Sajiwo, mengambil keputusan untuk membantu Blambangan memusihi Mataram sebagai pelampiasan dendamnya.
Benar seperti telah dijanjikan Tejakasmala, ketika mereka tiba di istana Kadipaten Bambangan dan Adipati Santa Guna Alit mendengar laporan Tejakasmala bahwa Niken Darmini bersedia membantu Blambangan menghadapi Mataram, gadis itu diterima dengan ramah dan gembira oleh Sang Adipati dan para tokoh dan sekutunya. Terutama sekali Dhirasani, saudara kembar tertua putera Sang Adipati yang memang telah jatuh hati kepada Niken Darmini sejak pertemuan pertama kali. Dia merasa girang sekali bertemu kembali dengan Niken Darmini, apalagi sekarang gadis yang membuatnya tergila-gila sejak semula itu telah mau bekerja sama dan membantu Blambangan menghadapi Mataram. Dhirasani bersikap baik sekali, ramah, manis budi, penuh perhatian terhadap Niken Darmini sehingga gadis ini tidak merasa canggung dan mulai merasa suka sekali berada di istana Kadipaten Blambangan. Apalagi sikap sang Adipati Santa Guna Alit dan isterinya juga ramah, seolah orang tua itu setuju dengan pilihan hati putera kembarnya yang tertua itu.
(Lanjut ke Jilid 23)
Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
Niken Darmini adalah seorang gadis yang sejak kecil dipelihara dan dididik Nini Kuntigarba, seorang datuk wanita yang berwatak aneh dan keras. Biarpun ia telah mewarisi aji kesaktian yang cukup tinggi, namun Niken Darmini adalah seorang gadis biasa, seorang wanita yang tiada bedanya dengan wanita pada umumnya. Gadis dewasa yang sudah sewajarnya mulai tertarik kepada pria. Ada beberapa kelemahan umum terdapat pula pada diri Niken Darmini sebagai seorang gadis dewasa.
Pertama, ia lebih condong mengikuti perasaannya daripada penalaran pikirannya sehingga ia mudah saja mengambil keputusan membantu Blambangan karena perasaannya terpengaruh bujukan Tejakasmala kemudian diperkuat oleh sikap Sang Adupati Blambangan yang baik kepadanya, terutama sekali sikap Dhirasani. Ke dua, ia memiliki kelemahan seperti pada wanita umumnya, yaitu suka akan rayuan yang memujinya, mudah terpikat sikap laki-laki yang ramah dan menghargainya, ingin melihat bahwa ia disayang dan dicinta, ingin diperhatikan dan dimanja, ingin melihat bahwa ia disayang dan dicinta, ingin diperhatikan dan dimanja. Wajah tampan memiliki daya tarik baginya, namun yang lebih kuat menarik hatinya adalah sikap yang baik, ramah, menyayang dan mengalah dari pria. Dan Dhirasani yang tergila-gila kepadanya memenuhi semua daya tarik ini.
Tidaklah mengherankan kalau Niken Darmini mudah jatuh hati kepada Dhirasani dan melupakan pria-pria yang pernah menarik hatinya seperti Bagus Sajiwo dan yang terakhir Tejakasmala. Apalagi Bagus Sajiwo sudah membuat ia kecewa, cemburu, dan benci. Tejakasmala memang seorang pemuda yang menarik pula, akan tetapi sikapnya angkuh dan tidak pandai merayu seperti Dhirasani. Dhirasani lebih unggul kalau dibandingkan dengan yang lain. Pemuda ini, biarpun tidak sesakti Tejakasmala atau Bagus Sajiwo, namun juga bukan pemuda sembarangan. Dia masih adik seperguruan Tejakasmala, murid Bhagawan Ekabrata di Gunung Agung, Bali. Selain wajahnya tampan dan masih muda, juga Dhiarasani adalah putera Adipati Blambangan, seorang pangeran yang kelak akan menggantikan ayahnya menjadi adipati! Kaya raya dan dihormati semua orang.
Hubungan antara Niken Darmini dan Dhirasani menjadi semakin akrab. Kalau tadinya Niken Darmini masih bingung setiap kali bertemu Dhirasanu yang memang serupa benar dengan kakaknya, namun setelah berada di istana Kadipaten Blambangan selama kurang lebih satu bulan saja ia sudah dapat membedakan antara dua orang saudara kembar itu. Sinar mata dan senyum mereka yang membedakan. Dhirasani berwatak gembira, mudah tersenyum cerah dan sinar matanya jenaka. Sebaliknya Dhirasanu sang adik kembar, wataknya pendiam dan pandang matanya serius. Hanya dalam keadaan gembira sekali maka dia serupa benar dengan kakaknya karena senyum dan sinar mata mereka pada waktu demikian tak dapt dibedakan.
Maya Dewi merasa heran ketika ia melakukan pengejaran sampai memasuki daerah Blambangan ia mendengar keterangan dari orang-orang di perjalanan akan keadaan gadis yang menurut perajurit tadi diculik seorang pemuda. Mula-mula mereka memang melihat seorang gadis terikat di atas punggung seekor kuda yang didudukinya, dituntun seorang pemuda yang juga menunggang kuda. akan tetapi setelah ia mengejar terus, ia mendengar keterangan lain dari orang-orang yang melihat gadis dan pemuda itu. Menurut mereka, gadis itu menunggang kuda dan sama sekali tidak dibelenggu, melainkan berdampingan dengan seorang pemuda tampan yang juga menunggang kuda. bahkan tampaknya mereka akrab.
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar keterangan ini, Maya Dewi menghentikan niatnya untuk melakukan pengejaran dan pencarian terhadap gadis yang diculik orang seperti yang ia dengar dari perajurit yang terluka di tepi jalan itu. Ia tidak tahu siapa gadis itu, siapa pula penculiknya dan apa urusan yang terjadi di antara mereka. Ia melakukan pengejaran hanya karena mendengar ada gadis diculik orang, dengan niat untuk menolong gadis itu. Akan tetapi keterangan terakhir yang ia dapatkan mengatakan bahwa gadis dan pemuda itu telah bergaul akrab, tidak ada tanda sama sekali bahwa gadis itu diculik atau dibawa dengan paksa. Ia akan mendapat malu sendiri kalau nanti dapat menyusul mereka dan melihat bahwa tidak ada apa-apa di antara mereka!
Akan tetapi karena ia sudah berada di daerah Blambangan, ia teringat akan berita yang didengarnya dalam perjalanannya. Ia mendengar bahwa pasukan Blambangan telah menyerbu dan menduduki Pasuruan. Akan tetapi tak lama kemudian pasukan Mataram telah berhasil merebutnya kembali. Ia mendengar pula bahwa Blambangan diperkuat oleh bantuan dari pasukan Bali dan Madura. Dan yang membuat ia tak senang adalah ketika ia mendengar bahwa Blambangan juga dibantu oleh Kumpeni Belanda yang memberi banyak senjata api. Ia harus membantu Mataram, demi menebus kesalahannya yang sudah bertumpuk-tumpuk terhadap Mataram di masa lalu. Ia akan menyelidiki pihak Belanda yang berada di Blambangan, mencegah mereka memberi bantuan selanjutnya.
Setelah mengambil keputusan dengan cara itu ia akan membantu Mataram. Maya Dewi lalu pergi menuju pantai Blambangan dan ia pun berjalan menyusuri pantai karena ia tahu bahwa biasanya, untuk membantu suatu daerah yang menentang Mataram, pihak Kumpeni Belanda tentu menggunakan kapal sehingga dengan leluasa mereka dapat mendatangi daerah itu tanpa banyak gangguan seperti kalau melakukan perjalanan darat. Juga mereka mengandalkan keampuhan kapal mereka yang diperlengkapi dengan meriam-meriam, dan awak kapal dipersenjatai senjata-senjata api.
Setelah berhari-hari ia melakukan perjalanan menyusuri pantai dan bertemu dengan nelayan yang tinggal di dusun-dusun pantai, ia mendapat petunjuk di mana adanya kapal-kapal Belanda yang tampak dari pantai. Karena pantai itu penuh dengan batu karang, maka kapal tidak berani mendekat pantai dan awak kapal yang ingin ke pantai menggunakan perahu-perahu kecil. Setelah mendapat keterangan itu, Maya Dewi cepat menuju ke pantai yang dimaksudkan nelayan itu.
Pada suatu pagi yang cerah, ketika matahari mulai melukis jalur kemerahan di atas permukaan laut yang airnya tenang, Maya Dewi tiba di pantai dari mana tampak sebuah kapal Belanda berlabuh agak jauh dari pantai. Pantai itu sunyi saja, tak tampak seorang pun manusia. Juga tidak ada perahu nelayan seperti di pantai-pantai lain. Biasanya, para nelayan memang merasa takut kalau ada kapal Belanda. Mereka takut dicurigai dan para serdadu Belanda itu kalau merasa curiga lalu main tangkap, siksa, bahkan bunuh!
Tiba-tiba Maya Dewi melihat sebuah perahu kecil meluncur ke arah pantai. Agaknya perahu itu datang dari kapal dan perahu itu didayung dua orang. Di tengah perahu tampak duduk dua orang lagi.
Maya Dewi menyelinap dan bersembunyi di balik batu besar yang terdapat di tepi pantai. Setelah perahu itu tiba dekat pantai, dari tempat ia mengintai. Maya Dewi dapat melihat jelas bahwa dua orang yang mendayung itu adalah anak buah kapal dan yang seorang lagi seorang opsir. Akan tetapi yang seorang lagi berpakaian jubah longgar, bukan serdadu. Mereka berempat adalah orang-orang kulit putih dan Maya Dewi yang sudah hafal akan pakaian para anggauta pasukan Kumpeni Belanda mengenal bahwa yang tiga orang adalah seorang perwira dan dua orang perajurit Kumpeni Belanda yang bertugas menjadi anak buah kapal.
Setelah perahu itu mendarat, ia merasa heran bukan main melihat bahwa perwira Belanda itu memegang sebuah pistol yang ditodongkan ke arah orang kulit putih berpakaian jubah longgar itu. Agaknya orang itu ditawan! Kalau yang ditodong adalah seorang Jawa, ia tidak akan merasa heran. Akan tetepi kini yang ditodong adalah seorang Belanda, sedangkan penodongnya seorang perwira Belanda pula! Maya Dewi memandang penuh perhatian kepada orang yang ditodong itu.
Dia seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Rambutnya kelabu dan Maya Dewi sejak dahulu memang tidak pernah mengerti apakah kelabu itu memang warna rambutnya ataukah rambut hitam bercampur uban. Kulit muka laki-laki itu merah dan berseri tanda sehat dan anehnya, sikapnya begitu santai dan tenang, sama sekali tidak tampak takut menghadapi moncong senjata api yang ditodongkan ke arahnya sejakmereka berada di perahu tadi. Sepasang mata yang kebiruan itu bersinar terang, mulutnya mengandung senyum penuh kesabaran. Wajah yang tampan. Tubuhnya tinggi agak kurus dan pakaiannya agak kusut.
Setelah perahu menempel di pantai, perwira Belanda itu bangkit dan menghardik tawanannya dalam bahasa Belanda yang tidak dimengerti artinya oleh Maya Dewi. Akan tetapi melihat orang itu bangkit lalu melangkah keluar dari perahu dalam keadaan tetap ditodong, ia dapat menduga bahwa hardikan itu adalah perintah agar orang itu keluar dari perahu. Dua orang perajurit yang mendayung perahu tetap berada di perahu, memandang ke arah perwira dan tawanannya itu sambil tersenyum mengejek. Mereka lalu mengeluarkan rokok dengan santai. Sementara itu, si perwira menggunakan ujung senjata apinya untuk mendorong tawanannya agar maju lebih jauh dari air. Tanpa mereka ketahui, mereka kini mendekati batu besar di balik mana Maya Dewi mengintai.
Perwira dan tawanannya itu berhenti melangkah dan mereka lalu bicara dalam bahasa Belnda. Maya Dwi tidak mengerti, akan tetapi dari suara dan sikap mereka saja ia tahu bahwa opsir yang membentak- bentak itu marah-marah, sedangkan tawanannya itu bicara dengan tenang dan sabar. Tiba-tiba perwira itu membentak dan tawanannya menghela napas, mengangkat kedua pundaknya lalu berbalik membelakangi opsir itu, menjatuhkan diri berdiri di atas pasir, menengadah dan membentangkan kedua lengan ke atas, lalu berkata-kata dalam bahasa Belanda. Maya Dewi dapat merasakan getaran penuh perasaan terkandung dalam suara orang itu dan biarpun ia tidak mengerti artinya, ia dapat menduga bahwa orang itu agaknya sedang berdoa!
Tiba-tiba Maya Dewi menggerakkan tangan kanan yang sejak tadi sudah menggenggam sebuah batu karena memang ia sudah berniat untuk menolong orang yang ditodong sungguhpun ia tidak tahu urusannya. Begitu melihat perwira Belanda itu mengangkat pistolnya dan siap menembak orang itu dari belakang, Maya Dewi menyambitkan batu itu ke arah tangan yang memegang pistol itu.
"Syuuuutttt.... darrr!"
Pistol itu meledak ke arah atas sebelum terlepas dari tangan pemegangnya dan perwira Belanda itu menyumpah-nyumpah dalam bahasa Belanda sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah dengan tangan kiri.
Maya Dewi yang ingin melindungi laki-laki Belanda yang hendak dibunuh tadi sudah melompat keluar dari balik batu besar. Sementara itu, dua orang perajurit yang berada di perahu kecil, melihat peristiwa itu terkejut dan marah sekali. Mereka tidak membawa senjata api, akan tetapi di pinggang mereka tergantung pdang. Mereka cepat keluar dari perahu, mencabut pedang dan lari menghampiri perwira yang masih kesakitan itu. Perwira itu memberi perintah dalam bahasa Belanda dan dua orang serdadu itu lalu lari menghampiri Maya Dewi dan langsung saja menyerang dengan pedang mereka. Tawanan yang berdoa tadi berteriak-teriak. agaknya melarang, namun dua orang serdadu itu tidak peduli dan sudah menyerang kalang kabut, pedang mereka menyambar- nyambar ke arah tubuh Maya Dewi.
Akan tetapi Maya Dewi yang memang merasa tidak suka kepada bangsa Belanda karena ia tahu benar betapa liciknya Kumpeni Belanda mengadu domba bangsa pribumi dan berambisi besar untuk menguasai seluruh nusa, menyambut dengan gerakan cepat. Tubuhnya berkelebatan seperti berubah menjadi bayang-bayang dan tahu-tahu dua orang perajurit itu berteriak dan roboh dengan pangkal lengan berdarah-darah, terluka oleh pedang-pedang mereka sendiri yang telah berpindah ke tangan Maya Dewi!
Perwira itu terkejut dan marah sekali. Dia lari ke arah pistolnya yang tadi terlempar ke atas tanah. Maksudnya untuk mengambil senjata api itu. Akan tetapi bayangan Maya Dewi berkelebat mendahuluinya, lalu menyambar pistol itu dan membuangnya jauh sekali ke tengah lautan!
Perwira Belanda itu menjadi semakin marah. Agaknya saking marahnya dia melupakan tangan kanannya yang terluka karena sambaran batu yang dilemparkan Maya Dewi tadi. Dia mencabut pedangnya lalu menyerang dengan ganas. Perwira ini bertubuh tinggi besar dan tentu memiliki tenaga besar. Akan tetapi, gerakan perwira itu bagi Maya Dewi terlalu lamban sehingga dengan mudah ia mengelak ke kiri lalu tangannya membuat gerakan membacok ke arah pundak kanan lawan.
"Wuuuttt.... krekkk!"
Perwira itu berseru kesakitan dan tubuhnya terhuyung dan roboh dekat robohnya dua orang anak buahnya, mengerang dan tidak mampu bangkit kembali. Maya Dewi yang masih memegang pedang rampasan dengan tangan kirinya menghampiri mereka. Tiga orang Belanda itu adalah msuh Mataram dan ia juga mempunyai dendam pribadi dengan Kumpeni Belanda. Maka timbul niatnya untuk membunuhnya saja tiga orang ini sebagai bukti pembelaannya kepada Mataram.
"Nona, harap jangan bunuh mereka! Jangan melakuan dosa yang demikian besar. semoga Tuhan mengampunimu!"
Maya Dewi terkejut dan membatalkan niatnya. Ia membuang pedang itu dan menoleh kepada orang Belanda yang tadi hendak dibunuh perwira itu. Orang itu tersenyum kepadanya, bangkit berdiri lalu menghampirinya, lalu mengangkat tangan kanan ke atas.
"Sukur engkau tidak melanjutkan niatmu membunuh mereka, Nona. Semoga Tuhan memberkatimu!"
Setelah berkata demikian, dia cepat menghampiri tiga orang itu, berjongkok memeriksa mereka dan.... dengan ramah dan lembut orang itu lalu memberi pertolongan kepada mereka bertiga. Ia menurunkan sebuah tas gendong dari punggungnya lalu mengeluarkan alat-alat pengobatan sepeerti sebotol bubuk putih, kapas, kain pembalut dan lain- lain. kemudian, tanpa berkata apa pun dia merawat mereka yang terluka, mencuci luka dengan cairan dari botol, lalu memberi obat bubuk dan membalutnya dengan kapas dan kain pembalut putih. Bukan hanya Maya dewi yang memandang dengan bengong, bahkan tiga orang itu pun tampak terheran-heran.
"Vader (bapak, sebutan pendeta), mengapa engkau begini baik kepada kami? Kami hendak membunuhmu dan engkau...."
Kata perwira itu.
"Sssttt, Boeder (Saudara), jangan banyak bicara dan bergerak. Lukamu cukup parah. Engkau cepat kembalilah ke kapal dan beristirahatlah."
Kata laki- laki itu dengan senyum ramah.
"Akan tetapi, Vader Van Huisen.... (Bapak Van Huisen), kalau engkau kelak melapor kepada atasan, kami bertiga tentu akan celaka...."
Kata pula perwira itu.
Pendeta Van Huisen itu menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Tidak, jangan khawatir. Aku akan melaksanakan tugasku seperti biasa dan melupakan semua peristiwa tadi."
"Akan tetapi, bagaimana kami harus menerangkan tenang keadaan kami yang terluka ini?"
Perwira itu berkata pula dengan wajah agak pucat dan tampak gelisah.
"Ceritakan sesukamu, Kopral."
"Kami akan bercerita bahwa kami dihadang bajak laut...."
"Terserah kalian, aku tidak akan mencampuri lagi."
"Bapak benar-benar tidak akan bercerita akan niat buruk kami tadi? Bapak.... benar-benar melupakannya dan memaafkan kami?"
"Sudahlah, tuhan menampuni segala kesalahan manusia asalkan manusia percaya dan bertaubat. Tuhan memberkati kalian!"
Pendeta itu mengangkat ytangan ke atas memberkati dan tiga orang itu denganterhuyung-huyung kembali ke perahu, lalu mendayung perahu menuju kapal.
Maya Dewi melihat itu semua dan tentu saja ia tidak mengerti percakapan mereka tadi. Ia masih terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang tadi nyaris dibunuh dengan kejam, sekarang malah berbalik merawat pembunuh itu dengan sikap demikian lembut penuh kasih sayang? Biarpun ia tidak mengerti percakapan mereka, namun dari suara dan sikap wajahnya ia dapat melihat bahwa orang yang tadi nyaris dibunuh itu sama sekali tidak marah, apalai sakit hati atau membenci! Setelah perhu kecil itu menjauh, pria Belanda itu menoleh dan menghadapi Maya Dewi. Dia memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan depan dada.
"Nona, puji Tuhan bahwa engkau tadi tidak jadi membunuh mereka! baik sekali bahwa Nona telah dapat memaafkan mereka."
Kata orang itu sambil tersenyum lembut. Maya Dewi semakin heran. Ia dulu pernah bertemu banyak perwira Kumpeni Belanda yang mampu berbahasa pribumi semahir ini. Hampir tidak kentara lidah asingnya.
"Saya memaafkan mereka? Tuan, saya tidak mempunyai urusan apa pun dengan mereka. Sebaliknya engkaulah yang tadi nyaris dibunuh! Saya masih merasa heran dan tidak mengerti, mengapa engkau yang tadi akan dibunuh secara kejam, berbalik bersikap baik dan merawat mereka? Apa yang telah terjadi? Mengapa mereka hendak membunuhmu dan siapa engkau ini?"
Orang itu tersenyum mendenar pertanyaan yang bertubi-tubi itu.
"Nona, sebaiknya kita bicara di tempat lain saja. Kalau mereka datang bersama banyak kawan mereka dan mendapatkan Nona masih berada di sini, akan berbahaya sekali bagimu."
"Saya tidak takut, Tuan!"
"Bukan soal takut atau tidak, Nona. Akan tetapi mengapa menentang bahaya dan menghadapi perkelahian bunuh membunuh kalau hal itu dapat dihindari? Marilah, Nona, kita menyingkir dan nanti akan saya ceritakan semua kepadamu."
Maya Dewi menurut dan mengikuti pria Belanda itu menjauhi pantai, mendaki sebuah bukit karang. setelah agak menjauh, dia mengajak Maya Dewi duduk di atas batu, berhadapan.
"Nona, kasih karunia Tuhan telah menyelamatkan saya dari maut melaluimu. Puji sukur kepada Tuhan yang Maha Kasih, dan terima kasih kepadamu, Nona. Sebelum saya bercerita, bolehkah kita berkenalan? Nama saya David, David Van Huisen."
Dia menjulurkan tangan kepada Maya Dewi. Wanita ini sudah mengetahui kebiasaan untuk berjabat tangan, maka iapun menyambut uluran tangan itu dan mereka berjabatan.
"Nama saya Maya Dewi, Tuan. Mendengar nama Tuan, saya teringat pernah mengenal seorang perwira Kumpeni Belanda yang bernama Kapten Willem Van Huisen, dahulu tinggal di Cirebon."
"Ah, Nona mengenalnya? Kapten Willem Van Huisen adalah Kakak saya, Nona Maya Dewi. saya tahu, Nona tentu seorang di antara para pendekar yang saya dengar banyak terdapat di antara bangsa Pribumi."
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo