Kemelut Blambangan 23
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 23
"Perang mrupakan peristiwa paling buruk dan kejam yang menimpa manusia. Baik yang eluar sebagai pemenang maupun yang kalah suah pasti menderita seusai perang, kehilangan harta benda dan nyawa para warganya. perang memupuk kekejaman, melahirkan dendam kebencian. terus terang saja, aku tidak suka akan perang, Ananda Adipati!"
Maafkan kami, Paman Bhagawan. Akan tetapi kalau kami tidak memerangi Mataram, mereka tentu akan semakin merajalela dengan keangkara-murkaan mereka. Kami mohon bantuan Pamanda agar dapat mengakhiri permusuhan ini dengan kemenangan di pihak kami."
"Hemm, kalau terjadi perang, aku pribadi tidak apat membantu. Aku tidak mau terlibat perang. Akan tetapi jalan terbaik adalah berdamai dan hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, kedua pihak mengajukan wakil masing-masing untuk mengadu kesaktian. Yang kalah dalam pertandingan itu harus tunduk dan menerima tuntutan yang menang, ini pun harus berdasarkan kepantasan. Nah, kalau terjadi seperti itu, aku mau membantu Blambangan, sebagai darma-baktiku kepada kerajaan Bali yang membantu Blambangan."
"Akan tetapi bagaimana caranya menantang mereka untuk mengirim wakil mengadu kesaktian, Pamanda Bhagawan?"
"Hal ini terserah kepada kalian. Aku bukan ahli siasat. Nah, perkenankan aku beristirahat dalam kamar yang disediakan untukku, Ananda Adipati. Hal itu harap dibicarakan sendiri."
Sang Bhagawan lalu bangkit dan memasuki bagian belakang istana kadipaten. Sejenak suasana menjadi tegang. semua orang tenggelam ke dalam lamunan masing-masing.
"Wah, bagaimana mungkin perdamaian dicapai dan perang dapat dihindarkan secara demikian mudah? Pihak Mataram pasti tidak mau dengan cara itu dan mereka akan menyerbu kita dengan pasukan mereka yang besar. Kalau kita tidak bersiap-siap membuat pertahanan kuat dan melamun tentang perdamaian, kita tentu akan hancur! Aku tidak setuju dengan rencana perdamaian itu!"
"Kakangmas Satyabrata!"
Tejakasmala berseru nyaring. Dia tahu bahwa Satyabrata amat sakti, akan tetapi sekarang gurunya berada di situ! Pemuda ini, sebagai murid utama Bhagawan Ekabrata, memang tidak berwatak jahat, hanya dia agak tinggi hati karena merasa sebagai murid utama sang Bhagawan yang terkenal sakti mandraguna. Dia tadi setuju dengan usul gurunya, karena dia pun sudah melihat betapa para sekutu Blambangan banyak yang datang dari golongan sesat dan berwatak jahat.
"Guruku tadi hanya mengajukan usul karena diminta nasihat, dan usulnya itu baik sekali. Selain menghindarkan jatuhnya banyak korban, juga kalau berperang, apakah andika mengira akan mampu mengalahkan Mataram? Tidak mudah, Kakangmas Satyabrata. Di sana banyak terdapat orang-orang sakti mandraguna, dan Andika sendiri sudah merasakan betapa tangguhnya seorang saja dari mereka, yaitu Bagus Sajiwo."
"Aku tidak takut!"
Satyabrata membentak.
"Cukup semua perdebatan ini!"
Sang Adipati berkata tegas.
Hening sejenak dan terdengar Bhagawan Kalasrenggi berkata dengan hati-hati.
"Memang benar bahwa Sang Bhagawan Ekabrata hanya memberi nasihat dan tentu saja semua keputusannya berada dalam tangan Sang Adipati. Yang lain-lain tidak berhak untuk memutuskan. Harap Paduka menyatakan bagaimana pendapat Paduka mengenai usul Sang Bhagawan Ekabrata tadi, Ananda Adipati?"
Adipati Santa Gana Alit mengangguk-angguk lalu berkata.
"Hemm, serba susah memang. Andaikata kami menerima dan menyetujui usul Pamanda Bhagawan Ekabrata itu, lalu bagaimana caranya? Kalau menantang begitu saja agar Mataram mengirim wakilnya untuk mengadu kesaktian, belum tentu mereka menanggapi."
"Heh-heh, Ananda Adipati, untuk hal itu harap Paduka jangan khawatir. Serahkan saja kepada saya, saya akan mengatur sedemikian rupa bersama para senopati. Kalau mereka tidak mau mengirim wakil untuk mengadu kesaktian, kami akan melakukan sesuatu untuk memaksa mereka datang!"
Sang Adipati menghela napas lega.
"Baiklah, kami menyetujui usul Pamanda Bhagawan Ekabrata. Harap Paman atur agar adu kesaktian itu dapat terjadi demi keuntungan kita. Tentu saja kami juga ingin melihat terjadi perdamaian antara Blambangan dan Mataram, akan tetapi perdamaian yang menguntungkan kita dan Mataram harus mengakui kedaulatan kita sebagai sebuah kerajaan yang merdeka."
Persidangan ditutup dan Sang Bhagawan Kalasrenggi mengajak semua sekutu dan senopati untuk melanjutkan perundingan. Bhagawan Kalasrenggi yang banyak akal ini lalu menguraikan siasatnya.
"Jalan satu-satunya untuk memaksa mereka mau menerima tantangan Sang Bhagawan Ekabrata mengadu aji kesaktian, haruslah menggunakan paksaan. Kita culik seorang penting dan menjadikannya sebagai sandera untuk memaksa para jagoan Mataram datang ke suatu tempat yang ditentukan. Di situ kita dapat tantang mereka untuk mengadu kesaktian seperti yang dimaksudkn Sang Bhagawan Ekabrata."
Semua orang setuju dan tugas menculik seorang yang penting ini diserahkan kepada tiga orang yang dianggap memiliki kesaktian yang boleh diandalkan. mereka adalah Raden Satyabrata, Tekakasmala, dan Candra Dewi. Sebelum berangkat melaksanakan tugasnya, Raden Satyabrata diam-diam mengajak Bhagawan Kalasrenggi untuk menghadap Sang Adipati Blambangan dan mereka bertiga bicara dalam ruangan tertutup.
"Begini, Ananda Adipati. Raden Satyabrata mengemukakan usul rahasia kepada saya yang saya anggap amat menguntungkan Blambangan. Kita pancing para jagoan Mataram untuk mengadu kesaktian, dan pada saat itu, kita turun tangan dan basmi mereka! Kalau para jagoan yang sakti itu kita basmi, tentu Mataram kehilangan kekuatannya dan dapat dengan mudah kita taklukkan."
Memang apa yang diusulkan Bhagawan Kalasrenggi ini merupakan gagasan Raden Satyabrata yang tentu saja tidak ingin terjadi perdamaian antara Blambangan dan Mataram. Kalau para penguasa daerah berdamai dengan Mataram, maka kekuatan mereka akan menjadi semakin besar dan musuh Kumpeni Belanda menjadi semakis berat dan sukar ditundukkan. Maka dia akan melakukan segala daya upaya untuk menggagalkan perdamaian antara dua kerajaan itu.
Adipati Santa Guna Alit yang memang sudah dipengaruhi para sekutunya dari Bali dan Madura, akhirnya dapat terbujuk dan menyetujui siasat yang digunakan Bhagawan Kalasrenggi dan Satyabrata.
Demkianlah, beberapa hari kemudian, dua orang anak dari Adipati Pasuruan, yaitu Raden Gendana yang berusia sembilan tahun dan Roro Gendari yang berusia tujuh tahun, lenyap dari istana kadipaten. tentu saja Kadipaten pasuruan menjadi gempar.
Pada keesokan harinya dari malam terjadinya penculikan atas diri dua orang putera puteri Adipati Pasuruan, berturut-turut muncul Ki Tejomanik dan isterinya, Retno Susilo. Juga muncul Lindu Aji dan isterinya, Sulastri. Parmadi dan Muryani, bersama para senopati Mataram menyambut mereka dengan gembira karena mereka itu tentu saja merupakan tokoh-tokoh yang dapat diandalkan kesaktiannya untuk menghadapi para pimpinan pesekutuan Blambangan yang sakti mandraguna.
Para satria dan senopati lalu berunding, terutama membicarakan peristiwa penculikan itu dan surat tantangan yang ditinggalkan para penculik di kamar kedua orang anak itu. Penculikan itu menunjukkan bahwa pelakunya adalah seorang yang berilmu tinggi. Rupanya memiliki Aji Panyirepan yang ampuh karena para petugas jaga dan para pelayan tertidur semua. Surat itu menantang kepada para satria agar datang ke Bukit Cangak di perbukitan selatan, di daerah perbatasan untuk mengadu kesaktian.
"Hemm, orang-orang Blambangan dipimpin orang-orang licik. Tantangan ini tentu merupakan jebakan curang."
Kata Ki Tejomanik setelah tantangan itu dibacakan Pangeran Silarong.
Pada saat itu, tampak bayangan berkelebat dan tubuh seorang pemuda telah berada di ruangan itu. semua orang terkejut memandang karena kemunculan pemuda itu luar biasa sakelai. Dia masuk sebagai bayangan berkelebat tanpa diketahui seorang penjaga, padahal penjagaan mulai dari pintu gerbang ke ruangan itu berlapis-lapis dan ketat.
"Bagus....!!"
Retno Susilo berseru, bangkit dari tempat duduknya menyambut pemuda itu dengan rangkulan girang. Kiranya pemuda itu adalah Bagus Sajiwo.
Setelah memberi hormat kepada semua orang disitu yang telah mengenalnya, Bagus Sajiwo berkata.
"Dalam perjalanan saya ke sini pagi-pagi sekali tadi saya bertemu dengan tiga orang yang membawa dua oang anak kecil, laki-laki dan perempuan berusia sekitar sepuluh tahun kurang. Tiga orang itu adalah tokoh-tokoh Blambangan."
"Ah, itulah dua orang putera puteri sang Adipati Pasuruan!"
Seru Pangeran Silarong.
"Hemm, sudah saya kira bahwa dua orang anak itu tentu merupakan anak-anak penting yang mereka culik. Sayang saya tidak dapat merampas dan membebaskan mereka."
Atas permintaan mereka, Bagus Sajiwo lalu menceritakan bahwa pagi itu di luar kota kadipaten dia bertemu tiga orang yang sudah dikenalnya. Mereka adalah Satyabrata, Tejakasmala dan Candra Dewi. Tiga orang itu membawa dua orang anak kecil. Bagus Sajiwo melihat betapa dua orang anak itu menangis dan dibawa dengan paksa oleh mereka bertiga, segera menghadang dan menegur dengan suara tegas, agar mereka membebaskan anak-anak yang mereka bawa itu. Akan tetapi dia tidak mampu berbuat apa-apa karena Candra Dewi dan Tejakasmala yang masing-masing membawa seorang anak mngancam bahwa kalau dia membuat ulah, mereka berdua akan lebih dulu membunuh dua orang anak itu. Kemudian, Satyabrata yang menjadi wakil pembicara mereka mengajukan tantangan bahwa kalau pihak Mataram menghendaki dua orang anak itu dibebaskan, Mataram harus mengirim para jagoannya untuk bertanding kesaktian melawan para jagoan dari Blambangan dan mereka menanti di atas Bukit Cangak.
"Hemm, kiranya mereka bertiga yang melakukan penculikan,"
Kata Parmadi.
"Mereka adalah tiga orang yang paling tangguh di antara para senopati persekutuan Blambangan itu. Heran, mengapa Blambangan mempergunakan cara pengecut seperti ini menghadapi perang? Kalau mereka merasa takut, mengapa tidak menakluk saja? Mengapa harus mengganggu dua orang anak yang tidak tahu apa- apa?"
"Tidak salah lagi, ini pasti merupakan pancingan yang mengandung jebakan seperti yang diduga oleh Paman Tejomanik tadi."
Kata Lindu Aji.
"Bagus, bagaimana pendapatmu? Apakah kita harus menyambut tantangan mereka itu atau tidak?"
Retno Susilo bertanya kepada Bagus Sajiwo.
Melihat pemuda itu memandang ke sekeliling, agaknya sungkan untuk mengatakan pendapatnya melihat bahwa disitu hadir para pinisepuh yang lebih berpengalaman dan banyak pula senopati Mataram yang gagah perkasa, Ki Cangak Awu, Ketua Perguruan Jatikusumo yang juga sudah datang bersama isterinya, Pusposari, untuk membantu mataram, berkata dengan suaranya yang besar.
"Bagus Sajiwo, tidak perlu engkau sungkan untuk menjawab. Biarpun engkau yang termuda di antara kita semua, namun kami mengetahui bahwa engkau memiliki kesaktian yang dapat kami andalkan. Maka, sudah sepatutnya kalau engkau mengemukakan pendapatmu tentang hal yang pelik ini."
Semua orang mengangguk mendukung ucapan ini dan Bagus Sajiwo merangkap kedua tangan depan dada sebagai sembah lalu berkata dengan sikap tenang.
"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya. Biarpun tindakan orang-orang Blambangan itu curang, namun saya kira tantangan itu harus kita sambut. Pertama, demi keselamatn dua orang anak itu, dan kedua, kalau tantangan itu tidak kita sambut, tentu mereka akan mengatakan bahwa kita takut untuk bertanding mengadu kesaktian dengan mereka. Yang ditantang adalah para satria pembela Mataram, adapun yang menantang adalah orang-orang yang membantu Balmbangan. Ini sudah merupakan pertentangan pribadi, bukan lagi antar kerajaan. Karena itu, kita sudah sepatutnya menerima tantangan itu dan saya mempersiapkan diri untuk maju sebagai wakil Mataram."
"Akan tetapi, bagaimana kalau mereka itu bertindak curang dan menjebak kita?"
Tanya Retno Susilo yang tentu saja mengkhawatirkan keselamatan puteranya.
Bagus Sajiwo memandang kepada Pangeran Silarong dan berkata.
"Kalau terjadi mereka bertindak curang dalam adu kesaktian itu, tindakan selanjutnya kita serahkan saja kepada kebijaksanaan Gusti Pangeran sebagai pemimpin bala tentara Mataram."
"Ah, aku mengerti apa yang Andika maksudkan, Bagus Sajiwo! Kami setuju sepenuhnya. Para satria berangkat ke Bukit Cangak memenuhi tantangan mereka dan kami akan mempersiapkan pasukan. Kalau mereka bertindak apa mestinya, kita pun tidak akan mencampuri adu kesaktian antara para tokoh. Akan tetapi, begitu mereka bertindak curang, kami akan menggerakkan pasukan dan menyerang mereka, terus menyerang ke Blambangan.Bagaimana pendapat Andika semua?"
Kata Pangeran Silarong. Semua orang menyatakan setuju.
Demikianlah, pada hari yang ditentukan, para satria berangkat menuju ke Bukit Cangak. Mereka adalah Ki Tejomanik dan Retno Susilo, Parmadi dan Muryani, Lindu Aji dan Sulastri, Cangak Awu dan Pusposari, dan tentu saja Bagus Sajiwo sendiri. Masih banyak orang gagah yang ingin ikut, namun ditolak oleh Ki Tejomanik yang memimpin rombongan satria itu. Mereka menghadapi lawan yang memiliki kesaktian, maka tidak boleh orang yang tingakat kepndaiannya masih belum memadai, ikut dalam rombongan itu. Juga para senopati Mataram tidak diperbolehkan ikut, karena yang akan bertanding bukanlah para senopati pimpinan pasukan, melainkan orang-orang sakti yang membantu kedua pihak yang berlawanan.
Sementara itu, di pihak Blambangan juga sudah mengadakan persiapan. Sang Bhagawan Ekabrata sudah diberitahu bahwa pada pagi hari itu tantangannya mendapat sambutan dari pihak Mataram. Pertapa Gunung Agung ini merasa girang. Alangkah baiknya kalau gagasannya untuk mendamaikan kedua kerajaan itu berhasil, hanya melalui sebuah pertandingan adu kesaktian. Jauh lebih baik daripada terjadi perang yang akan mengorbankan puluhan ribu nyawa.
Akan tetapi di balik persiapan menghadapi kesaktian antara wakil kedua kerajaan itu, terdapat persiapan lain yang sama sekali tidak diketahui orang lain kecuali Satyabrata, Bhagawan Kalasrenggi, dan Adipati Santa Guna Alit. Bahkan Bhagawan Ekabrata sendiri juga tidak tahu, demikian pula Tejakasmala. Pemuda ini hanya tahu bahwa mereka menggunakan akal menculik dua orang putera Adipati Pasuruan untuk memancing atau memaksa Mataram menerima tantangan adu kesaktian itu. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Satyabrata mengatur siasat keji yang dengan curang hendak membasmi para satria Mataram dalam pertandingan itu.
Maka, tanpa curiga sedikit pun, Bhagawan Ekabrata berangkat ke Bukit Cangak, diikuti oleh Tejakasmala, Satyabrata, Candra Dewi, Arya Bratadewa, Resi Sapujagad, Bhagawan Dewokaton, Kaladhama, Kalajana, Kyai Kasmalapati, Dartoko, Bhagawan Sarwatama, dan Ki Randujapang.
Tanpa sepengetahuan Bhagawan Ekabrata, Satyabrata juga membawa Raden Gendana dan adiknya, Roro Gendari, karena dua orang putera Adipati Pasuruan ini yang akan dijadikan sandera atau semacam taruhan. Tentu saja kehadiran dua orang anak-anak itu pun tidak diketahui oleh Bhagawan Ekabrata.
Akhirnya dua rombongan itu saling berhadapan di puncak Bukit cangak. Puncak itu ternyata landai dan merupakan padang rumput yang cukup luas. sang Bhagawan Ekabrata menghampiri rombongan satria pendukung Mataram yang sudah berdiri menanti. Dia tersenyum ramah karena dia menganggap pertemuan ini bukan pertemuan antara dua musuh, melinkan antara orang-orang gagah yang hendak menyelesakan permusuhan dan memperoleh kesepakatan pedamaian tanpa harus mengorbankan banyak nyawa dalam pertempuran perang.
Sementara itu, di pihak para satria pendukung Mataram, merasa terkejut dan agak tercengang ketika mengenal kakek yang memimpin rombongan Blambangan itu. Sama sekali mereka tidak menyangka bahwa Sang Bhagawan Ekabrata yang terkenal sebagai seorang pertapa yang sakti mandraguna dan alim kini muncul sebagai pendukung persekutuan yang berada di Blambangan!
Kini kedua pihak sudah saling berhadapan. Sang Ekabrata merangkap kedua tangan depan dada dengan mulut tersenyum ramah dan sikap lembut. Melihat sikap ini, Ki Tejomanik yang dianggap sebagai pimpinan rombongan itu cepat merangkap kedua tangan depan dada dan memberi hormat.
"Kami para orang muda mengeluarkan sembah hormat kepada Paman Bhagawan Ekabrata."
Sang Bhagawan Ekabrata mengelus jenggot dan mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Para satria muda Mataram terkenal akan tata susila dan sopan santunnya! Aku orang tua sudah pikun, tidak ingat lagi siapa para satria gagah perkasa yang mewakili Mataram dan kini berhadapan denganku. Kalau Andika sekalian sudah mengetahui bahwa aku adalah Bhagawan Ekabrata, maukah kalian memperkenalkan diri kepadaku?"
"Paman Bhagawan, saya bernama Tejomanik dan isteri saya Retno Susilo, kami tinggal di lereng Gunung Kawi."
"Jagad Dewa Bathara!"
Kakek itu memandang kagum.
"Andika terkenal dengan Pusaka Pecut Bajrakirana, dan Andika murid mendiang Resi Limut Manik? senang sekali dapat bertemu dengan Andika berdua."
"Ini adalah Parmadi, murid mendiang Ki Tejo Wening dan isterinya Muryani murid mendiang Nyi Rukmo Petak."
Tejomanik memperkenalkan. Parmadi dan Muryani juga memberi hormat dengan sembah di depan dada.
"Hemm, aku mendengar dari muridku Si Tejakasmala tentang Parmadi yang berjuluk Si Seruling Gading! Hebat, ingin sekali aku sekali waktu mendengarkan suara sulingmu!"
Parmadi hanya membungkuk untuk menyatakan kerendahan hatinya.
"Dan pasangan ini adalah Ki Cangak Awu Ketua Perguruan Jatikusumo dan isterinya Pusposari."
"Bagus, aku sudah banyak mendengar tentang Perguruan Jatikusumo yang melahirkan orang-orang
gagah perkasa."
"Pasangan terakhir dan termuda ini adalah Lindu Aji dan isterinya, Sulastri. mereka adalah pimpinan Perguruan Mega Liman."
Sinar mata sang Bhagawan Ekabrata menatap suami isteri muda ini penuh perhatian dan dia mengangguk-angguk.
"Hebat, pantas menjadi satria Mataram yang sakti mandraguna."
"Dan ini anggauta rombongan kami yang terakhir, Paman Bhagawan. Dia bernama Bagus Sajiwo dan dia putera kami."
Tejomanik memperkenalkan, Bagus Sajiwo melangkah maju dan menyembah dengan sikap hormat kepada pertapa itu.
Sejenak sepasang mata pertapa itu memandang Bagus Sajiwo dengan penuh perhatian dan perlahan- lahan matanya melebar seperti keheranan, lalu dia menghela napas panjang. Diam-diam dia harus mengakui dalam hatinya bahwa para satria muda Mataram ini benar-benar merupakan orang-orang muda yang amat gagah pekasa, bersikap rendah hati dan baik, sama sekali jauh berbeda dibandingkan sikap pendukung Blambangan yang telah dilihatnya.
"Ki Tejomanik dan para satria muda Mataram sekalian. Kita mengadakan pertemuan di sini bukan untuk bermusuhan, bahkan untuk berusaha menghindarkan perang. Aku mewakili Blambangan, mengajak pihak Mataram agar mengajukan seorang wakilnya untuk mengadu kepandaian melawan aku. Kalau aku kalah dalam adu kesaktian itu, maka anggaplah Blambangan yang kalah dan Kadipaten Blambangan akan mengakui kekuasaan Sultan Agung di Mataram. Sebaliknya kalau wakil Mataram yang kalah, Mataram seharusnya mengakui kedaulatan Kadipaten Blambangan dan selanjutnya kedua pihak akan hidup berdampingan dalam kedamaian, menghentikan semua pertikaian. Nah, sekarang aku sudah berada di sini, siapakah di antara Andika sekalian yang akan maju mewakili Mataram menghadapi aku dan mengadu kesaktian?"
Ucapan pendeta itu lembut dan ramah, akan tetapi karena sebelumnya pihak Blambangan telah menculik dua orang putera Adipati pasuruan, Ki Cangak Awu yang berwatak jujur dan keras, meanggap ucapan itu hanya bermanis-manis dan palsu belaka.
"Hei, Sang Bhagawan Ekabrata! Kalau memang hendak mengajak damai dengan mengadu kesaktian, mengapa menculik dua orang putera Adipati Pasuruan, menjadikan mereka sandera untuk memaksa kami datang ke tempat ini?"
Sang Bhagawan Ekabrata mengerutkan alisnya, sepasang matanya memandang kepada Ki Tejomanik penuh selidik, lalu bertanya kepada Ki Tejomanik.
"Pecut Bajrakirana, Andika yang aku percaya keterangannya, apa maksud ucapan Ketua Jatikusumo tadi?"
"Sesungguhnya, Paman Bhagawan. Dua orang putera Adipati Pasuruan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan telah diculik oleh tiga orang utusan Blambangan, yaitu Satyabrata, Tejakasmala, dan Candra Dewi. Mereka meninggalkan surat mengundang kami datang untuk mengadu ilmu dengan mengancam akan membunuh dua orang anak itu kalau kami tidak datang. Demikianlah, Paman Bhagawan."
Sang Bhagawan Ekabrata kini memutar tubuh memandang kepada Tejakasmala. suaranya masih halus, namun penuh wibawa yang menggetar.
"Teja! Benarkah engkau ikut menculik dua orang anak itu?"
Pemuda itu cepat maju berlutut dan menyembah gurunya.
"Ampunlah saya, Eyang Bhagawan! Tindakan itu dilakukan sebagai siasat yang diperintahkan Sang Adipati Blambangan agar pihak Mataram mau menyambut tantangan Paduka, karena kami khawatir kalau-kalau mereka tidak mau datang memenuhi tantangan."
"Memalukan! Hayo, cepat serahkan dua orang anak itu kepada para satria Mataram!"
Kata Sang Bhagawan Ekabrata.
"Kakangmas Satyabrata, karena para wakil Mataram sudah datang, harap cepat lepaskan dan serahkan dua orang anak putera Adipati Pasuruan itu kepada mereka."
Akan tetapi Satyabrata tersenyum aneh dan berkata."
Kami tidak akan menyerahkan dua orang anak itu sebelum para pembela Mataram ini takluk dan menyerahkan diri menjadi tawanan kami!"
Berkata demikian, Satyabrata menggerakkan tangan memberi isarat dan muncullah dua belas orang laki- laki yang memegang senjata api. Mereka lalu menodongkan senjata api mereka ke arah sembilan orang satria pembela Mataram itu. Satyabrata sendiri juga mencabut pistolnya dan menodong ke arah mereka pula.
Tejakasmala terbelalak dan wajahnya berubah pucat. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa Satyabrata akan melakukan kecurangan seperti itu. Pada saat itu terdengar suara gaduh dan teriakan- teriakan di belakang para wakil Blambangan, dari balik batu-batu besar dan pohon-pohon yang tumbuh di sana. ketika semua orang memandang, tampak seorang wanita cantik memondong dua orang anak yang bukan lain adalah putera dan puteri Adipati Pasuruan yang diculik.
"Maya Dewi....!"
Bagus Sajiwo berseru girang ketika mengenal wanita yang memondong dua orang anak itu. Sementara itu, belasan orang perajurit Blambangan mengejar Maya Dewi.
"Bagus, sambut dan lindungilah mereka!"
Teriak Maya Dewi dan tiba-tiba ia melemparkan tubuh dua orang anak itu ke arah Bagus Sajiwo. pemuda ini menyambut dan berhasil menangkap tubuh dua orang anak yang melayang ke arahnya itu.
Seperti kita ketahui, setelah bertemu dengan Pendeta David, Maya Dewi melakukan perjalanan hendak memasuki Kadipaten Blambangan karena ia ingin menyelidiki persekutuan di Blambangan yang memberontak terhadap Mataram itu. Ia ingin membantu Mataram. dan dalam penyelidikannya inilah ia mendengar akan pertemuan di Bukit Cangak itu. Ia membayangi rombongan Blambangan dan melihat betapa di belakang para tokoh itu terdapat pasukan yang membawa dua orang anak yang agaknya menjadi tawanan. Ia menyelidiki dan mendengar bahwa mereka adalah putera-puteri Adipati Pasuruan yang ditawan dan dijadikan sandera, Maka, setelah mereka tiba di puncak Bukit Cangak dan para tokoh sakti berhadapan dengan para satria Mataram, maka Maya Dewi melihat kesempatan baik. Dua orang anak itu hanya dijaga oleh para perajurit, maka ia lalu turun tangan merobohkan para penjaga dan memondong dua orang anak itu lalu lari ke arah puncak di mana rombongan itu sudah saling berhadapan.
Setelah melemparkan dua orang anak itu kepada Bagus Sajiwo, Maya Dewi lalu mengamuk. Para perajurit yang mengejarnya itu roboh berpelantingan disambar pukulan dan tendangan kakinya. Melihat ini, Satyabrata marah sekali.
"Tembak! Habisi mereka semua!!"
Satyabrata memberi perintah kepada dua belas anak buahnya yang bersenjata api. Dia sendiri lalu mengejar Maya Dewi dan menembaki gadis itu dari belakang. Peluru- peluru emas yang sengaja dia pergunakan menembus tubuh Maya Dewi. Wanita ini terhuyung ke depan, akan tetapi ia tidak roboh dan terus mengamuk walaupun bajunya di bagian punggung sudah berlepotan darah. Sementara itu, dua belas orang perajurit bersenjata api sudah menembaki para satria Mataram. Akan tetapi dengan gerakan yang amat cepat, para pendekar itu berlompatan menghindar. Bagus Sajiwo cepat menyerahkan dua orang anak itu kepada ibunya.
"Ibu, selamatkan dulu mereka ini!"
Retno Susilo mengerti. Ia lalu membawa anak- anak itu pergi menjauh dan menyembunyikannya. Bagus Sajiwo segera siap menghadapi lawan yang dianggapnya paling berbahaya, yaitu sang Bhagawan Ekabrata. Akan tetapi dia melihat yang tak tersangka- sangka terjadi. Sang Bhagawan Ekabrata bagaikan terbang mengejar Satyabrata yang masih mencoba untuk menembaki Maya Dewi.
"Antek Belanda pengecut curang! Berani engkau menipu aku?"
Mendengar bentakan yang menggetarkan jantungnya itu, Satyabrata membalik dan melihat pertapa itu berdiri di depannya dengan sinar mata berkilat dan mencorong, dia terkejut dan menggerakkan kedua tangan untuk menembakkan dua buah pistolnya ke arah kakek itu!
"Wuuttt.... plak! Plak!"
Dua sinar menyambar ke arah kedua tangan Satyabrata dan pistol-pistol itu terlepas dari kedua tangannya. ternyata ada batu menyambar dari kanan kiri, tepat mengenai kedua tangannya yang tadi memegang senjata api sehingga senjata itu terlepas dari pegangannya. Kiranya dua buah batu itu disambitkan dari kanan kiri oleh Maya Dewi dan Bagus Sajiwo!
Satyabrata terkejut sekali. Akan tetapi melihat sinar mata kakek itu dia maklum bahwa Sang Bhagawan Ekabrata tidak akan mengampuninya, maka dia pikir lebih baik dia mendahului dengan serangan mautnya.
"Ciaaaaattttt....!"
Jeritnya lantang dan dahsyat sekali karena dia telah mengerahkan Aji Jerit Nogo, kemudian kedua tangannya yang terbuka mendorong ke arah sang pertapa. Hawa pukulan dahsyat menyambar dengan suara gemuruh. Itulah Aji Margopati yang hebat dan ampuh ini diperkuat oleh aya ilmu hitam yang dikuasai Satyabrata. Melihat serangan ini Sang Bhagawan Ekabrata terkejut dan maklum bahwa laki-laki yang menjadi antek Belanda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan berbahaya sekali. maka dia pun cepat menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangan terbuka.
"Syuuuttt.... blaaarrrr....!"
Tubuh Satyabrata terhuyung ke belakang, namun Sang Bhagawan Ekabrata juga mundur sampai empat langkah ke belakang. Bentrokan dua tenaga sakti tadi hebat sekali, bahkan terasa oleh orang-orang di sekitarnya.
"Ciaaaattttt....!"
Kembali dengan nekat Satyabrata menyerang dan seperti juga tadi, disambut oleh Sang Pertapa dengan dorongan kedua tangannya. mereka berdua sama-sama 1234terdorong ke belakang.
Sampai lima kali Satyabrata nekat menyerang dan yang terakhir kalinya dia terhuyung sampai roboh. Napasnya terengah dan wajahnya pucat sekali. Akan tetapi dia masih bangkit dan pada saat itu, Maya Dewi yang tubuhnya berlumuran darah datang menyerang. Sabuk Cinde di tangan wanita itu menyambar, membentuk sinar keemasan dan biarpun Satyabrata mencoba untuk mengelak, tetap saja ujung sabuk menghantam pelipis kepalanya. Satyabrata roboh dengan kepala pecah dan tewas pada saat itu juga!
Bhagawan Ekabrata juga terhuyung dan Tejakasmala cepat menghampiri gurunya.
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eyang Bhagawan....!"
Pemuda itu memegang lengan gurunya.
"Tejakasmala, mari kita pulang. Tidak perlu membantu penguasa brengsek ini!"
Sang Bhagawan menangkap lengan muridnya dan memaksanya berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, pertempuran tak dapat dielakkan lagi. para satria sudah saling terjang dengan para jagoan yang tadi mengikuti Satyabrata. Maya Dewi yang seluruh tubuhnya mandi darah masih mengamuk, yang menjadi sasarannya terutama sekali perajurit anak buah Satyabrata yang memegang senjata api. dalam waktu tidak terlalu lama, dua belas orang itu sudah roboh dan tewas.
Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah pasukan Mataram yang sudah dipersiapkan kalau-kalau pihak musuh bertindak curang. Mendengar bunyi tembakan-tembakan, Senopati Aryo yang memimpin pasukan ini lalu mengerahkan pasukannya menyerbu puncak Bukit Cangak. Melihat ini, para jagoan Blambangan tentu saja menjadi panik. Apalagi melihat Satyabrata dan dua belas orang anak buahnya yang bersenjata api telah tewas semua dan menghadapi para satria itu pun amat berat bagi mereka. Maka, tanpa dikomando lagi, mereka lalu melarikan diri tunggang langgang meninggalkan Bukit Cangak kembali ke kota raja Blambangan.
Setelah semua musuh melarikan diri, Bagus Sajiwo melihat betapa Maya Dewi terhuyung-huyung dan hampir roboh. Cepat dia melompat dan sempat merangkul ketika tubuh wanita itu terguling. Bagus Sajiwo duduk di atas tanah dan merangkul tubuh yang berlumuran darah itu.
"Maya Dewi....!"
Bagus mengeluh ketika melihat betapa tubuh wanita itu penuh luka tembakan. Dia maklum bahwa tidak mungkin lagi menghindarkan wanita itu dari kematian karena luka- luka itu disebabkan peluru emas yang memasuki pungungnya di tiga tempat!
Semua orang segera menghampiri dan berjongkok di sekeliling Bagus Sajiwo yang merangkul Maya Dewi. Mereka semua, terutama sekali Retno Susilo dan Muryani yang pernah menghina dan bahkan menyerang Maya Dewi. Dua orang wanita ini sampai meneteskan air mata. Semua orang terharu karena ternyata Maya Dewi mengorbankan nyawanya untuk menolong dua orang putera Adipati Pasuruan, dan membela Mataram menentang orang-orang Blambangan yang bertindak curang. Maya Dewi tersenyum ketika merasa betapa kedua lengan Bagus Sajiwo yang kokoh kuat dan lembut itu menyangga dan merangkul tubuhnya.
"Terima kasih.... Bagus.... aku berbahagia sekali.... dapat mati dalam.... pelukanmu.... terima kasih...."
"Dewi....!"
Bagus Sajiwo hanya mampu menyebut nama itu dengan suara tergetar mengandung kasih sayang.
Maya Dewi memandang sekeliling ke arah mereka yang berjongkok di sekitarnya. Ia tersenyum senang melihat betapa pandang mata mereka kepadanya tampak terharu mengandung iba dan sama sekali tidak ada yang memusuhinya. Ia girang bukan main dan merasa menyesal teringat betapa dahulu ia melakukan banyak kejahatan terhadap orang-orang yang gagah perkasa dan berbudi luhur itu.
"Paman Tejomanik dan Bibi Retno Susilo, maafkan saya."
Katanya kepada ayah ibu Bagus Sajiwo itu.
Retno Susilo memegang tangan Maya Dewi, lalu mengusap air matanya sendiri.
"Tentu saja kami memaafkan semua kesalahanmu dahulu, Maya Dewi. Engkau kini telah menjadi seorang wanita gagah perkasa yang berjiwa pendekar. Aku pun minta maaf atas sikapku kepadamu dahulu itu."
Maya Dewi tersenyum mengangguk, lalu menoleh kepada Lindu Aji dan Sulastri, kemudian kepada Parmadi dan Muryani.
"Kesalahanku terhadap Andika berempat setinggi gunung. Dahulu aku jahat sekali terhadap Andika berempat. Sudikah Andika sekalian memaafkan aku?"
Muryani yang pernah memaki dan menyerang Maya Dewi padahal wanita itu telah menyelamatkan puteranya, mengusap air matanya.
"Maya Dewi, semua kesalahanmu telah kau tebus dengan penderitaan dan dengan perbuatanmu yang mulia. marilah kita bersama mohon kepada Gusti Allah agar dosa-dosa kita diampuni."
"Maya Dewi."
Kata Lindu Aji yang dulu sering bentrok dengan wanita itu.
"Kami ikut berdoa mohon kepada Gusti Allah semoga semua dosamu diampuni dan engkau dapat diterima dan mendapatkan tempat yang baik."
Maya Dewi tersenyum lebar, wajahnya berseri.
"Kepada semua satria, kepada semua rakyat, aku mohon maaf, dan Bagus...."
Ia menoleh dan menatap wajah Bagus Sajiwo, wajahnya semakin pucat dan suaranya semakin melemah.
"Ya, apa yang hendak kau katakan, Dewi?" "Kuminta.... sampaikan permohonan.... ampunku.... kepada Gusti.... Sultan Agung...."
"Tentu saja, Dewi. Dan jangan khawatir, beliau pasti akan mengampuni segala kesalahanmu yang sudah engkau tebus dengan pembelaan Mataram dengan pengorbanan nyawamu."
"Bagus.... engkau dulu bilang.... hidup atau mati.... berada.... di.... tangan Gusti Allah.... pasti baik.... benar.... dan bahagia...."
"Benar, Dewi, karena itu kita harus selalu menyerah kepada Dia, dalam keadaan bagaimanapun juga."
"Bagus.... kalau aku.... mati.... bakarlah badanku yang kotor hina.... penuh dosa ini.... agar musnah...."
Bagus Sajiwo hanya mengangguk, tak kuasa menjawab karena terharu. Dia merasa dengan kedua tangannya betapa tubuh Maya Dewi kini lunglai tanpa daya seolah semua kekuatannya mulai menghilang.
"Hei.... Tolol....jangan bersedih.... senyumlah...."
Kini suara Maya Dewi seperti orang mengigau, ia tersenyum, wajahnya cerah namun pucat sekali dan kedua matanya terpejam. Bagus Sajiwo mendekap tubuh itu.
"Dewi....!"
Suaranya menggetar seperti merintih.
".... selamat tinggal.... Andika semua.... mari, Tolol.... kau antar aku...."
Tubuh itu terkulai.
"Dewi....!!"
Bagus Sajiwo mendekap kepala itu dan mencium dahi itu, tak kuasa menahan tetesan beberapa butir air matanya.
Barisan Mataram menyerbu Blambangan. pertempuran hebat terjadi. Ribuan bahkan puluhan ribu perajurit kedua pihak berjatuhan. Darah mengalir. Bunuh membunuh. Kejam dan ganas. Seperti yang digambarkan dan dikhawatirkan Sang Bhagawan Ekabrata. Dia telah berusaha, namun usaha manusia amat terbatas, tidak kuasa membendung datangnya Karma.
Perang antara Blambangan dan Mataram berkepanjangan. Karena mendapat dukungan dari Bali dan terutama dari Belanda yang selalu berusaha mengadu domba antara pemerintah daerah, maka perang itu berlarut-larut selama kurang lebih lima tahun (1635-1640).
Banyak jatuh korban di kedua pihak. Para sekutu Blambangan yang tewas dalam perang campuh yang hebat itu, diantaranya adalah Kyai Gagak Mudra, Kaladhama dan Kalajana, Bhagawan Kalasrenggi, Cakrasakti dan Candrabaya, Arya Bratadewa, Kyai Kasmalapati, Bhagawan Sarwatama, Ki Randujapang, dan banyak lagi para senopati. Bahkan Sang Adipati Santa Guna Alit juga gugur dalam perang itu. Mereka yang dapat lolos dari kematian melarikan diri ceri-berai.
Atas nasihat Tejakasmala yang meninggalkan Blambangan bersama Sang Bhagawan Ekabrata, kedua pangeran kembar, Pangeran Dhirasani dan Dhirasanu dan diikuti Niken Darmini dan Ratna Manohara, yang selama perang terjadi mengungsi dan tidak ikut perang, menyerah kepada Pangeran Silarong pimpinan balatentara Mataram. Mereka berempat menjadi tawanan dan dibawa ke Mataram. Akan tetapi, seperti biasa, sesuai dengan kebijaksanaannya yang selalu ingin memperkuat pesatuan, Sultan Agung tidak menghukum kedua orang pangeran kembar itu. Bahkan sebaliknya, mereka berdua diangkat menjadi Bupati yang menguasai daerah Blambangan.
Di pihak Mataram juga kehilangan banyak perajurit dan perwira, Para tokoh satria yang membela Mataram dapat terbebas dari maut walaupun ada di antara mereka yang menderita luka-luka yang tidak berbahaya. Mereka kembali ke tempat tinggal masing- masing setelah menerima pujian dan seperti biasa, mereka dengan hormat menolak penghargaan berupa pangkat. Mereka tidak ingin terikat oleh kedudukan yang hanya akan membatasi kebebasan mereka. Mereka lebih suka menjadi rakyat biasa, akan tetapi selalu waspada dan tidak pernah meninggalkan watak satria mereka yang selalu membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan sewenang-wenang melakukan penindasan.
Bagus Sajiwo memenuhi pesan terakhir Maya Dewi. Dia memperabukan jenazah Maya Dewi, dan abunya dia bawa ke Laut Kidul lalu menyebarkan abu itu di antara gelombang yang dahsyat.
Sampai di sini berakhirlah kisah ini dan mudah- mudahan kita dapat bertemu lagi dengan Bagus Sajiwo dan yang lain-lain di lain kesempatan.
T A M A T
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo