Kemelut Blambangan 9
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Baru pada keesokan harinya, dia melihat keadaan Swi Hong dan dia memandang kagum.
"Wah, engkau menjadi seorang pemuda yang ganteng, Swi Hong. engkau tampak tampan sekali dan lemah lembut seperti Harjuna!"
Swi Hong tersenyum.
"Apanya yang masih kurang pas, Bagus? Jangan sampai ada yang tahu akan penyamaranku."
Bagus Sajiwo mengamati keadaan gadis itu, dari rambut sampai ke kakinya.
"Hemm, rambutmu itu terlalu panjang dan halus bagi seorang pria, sebaiknya dipotong sehingga tidak terlalu panjang. Engkau harus sering membiarkan sinar matahari mengubah kulit muka dan bagian yang tampak lainnya menjadi kecoklatan. Bajumu sebaiknya longgar dan menutupi leher dan lenganmu, dan kakimu telanjang tidak memakai sepatu."
Swi Hong mematuhi petunjuk ini. Malam itu mereka melewatkan malam dalam gardu. Swi Hong melepaskan lelah dengan tidur dalam gardu sedangkan Bagus Sajiwo duduk bersila di atas batu besar yang terdapat di dekat gardu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka membersihkan badan di sebuah anak sungai, kemudian melanjutkan perjalanan. Mereka menyusuri pantai menuju ke utara dengan harapan akan bertemu dengan para penumpang perahu yang lain, terutama Joko Darmono dan Sie Tiong.
"Bagus, lalu bagaimana dengan namaku? Kalau ada yang bertanya dan terpaksa aku harus menjawabnya, aku harus memakai nama apa?"
"Tentu saja tidak baik kalau engkau enggunakan namamu Tan Swi Hong. Engkau kini menyamar sebagai seorang pemuda Jawa, dan melihat engkau begitu halus dan tampan mirip Raden Janoko maka sebaiknya engkau menggunakan nama Parto."
"Parto?"
"Ya, Parto itu adalah nama alias dari Raden Janoko atau Raden Harjuno."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan menyusuri pantai menuju ke utara.
Apakah yang terjadi pada diri Joko Darmono, Sie Tiong dan anak buah perahu yang pecah dan tenggelam itu? Selain Tan Beng Ki, ada tiga orang anak buah perahu yang terkena tembakan sehingga mereka tewas. Anak buah yang lain berlompatan ke air keika perahu mulai tenggelam dari mereka dicerai- beraikan gelombang yang dahsyat sehingga saling berpisah. Di antara permainan gelombang yang menggunung, mereka itu bagaikan semut-semut kecil yang digulung dan ditelan ombak.
Sie Tiong adalah seorang pemuda yang pandai berenang. akan tetapi dia pun tidak dapat berbuat banyak ketika digulung ombak bergelombang dahsyat itu. Akan tetapi dengan kepandaian renangnya, dia dapat memepertahankan dirinya sehingga tidak tenggelam. Bahkan kalau ada gelomang besar menerkam, dia menyelam agar terlepas dari cengkeraman ombak.
Tentu saja seluruh ingatannya terpusat pada Swi Hong, tunangannya yang tercinta. Dia berenang kesana-sini, mencari-cari Swi Hong namun sia-sia. Tunangannya itu seperti yang lain-lain, agaknya sudah ditelan lautan yang mengganas itu. Dia maklum bahwa dia sudah berada jauh dari tempat di mana perahu tadi pecah. Dia melihat perahu hitam sudah berlayar pergi dan dia dihempaskan, dihanyutkan gelombang ke arah utara.
"Hong-moi....!"
Berkali-kali dia mengeluh memanggil nama tunangannya. Hatinya gelisah bukan main. Apakah dia harus kehilangan kekasihnya itu? Tiba-tiba dia mendengar teriakan melengking, dari arah utara.
"Hong-moi....!"
Dia berseru dan cepat dia berenang menuju ke arah suara teriakan itu. Kebetulan pada saat itu, gelombang mulai mereda dan lautan menjadi agak tenang. Akhirnya dia dapat melihat bentuk tubuh seseorang di depan sana. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat sirip ikan meluncur dekat orang itu.
"Ikan hiu....!"
Teriak Sie Tiong. Orang itu diserang hiu! Akan tetapi ketika dia mempercepat gerakan renangnya mendekat, dia menjadi kagum. Orang itu adalah Joko Darmono dan pemuda ini dengan gigih melawan serangan seekor hiu sebesar tubuh manusia, menggunakan sebatang keris!
Agaknya hiu itu sudah terluka oleh tusukan keris, akan tetapi lukanya tidak parah sehingga ikan buas itu masih berusaha menyerang Joko Darmono, berenang mengitari pemuda itu. Melihat ini, Sie Tiong cepat mencabut pedang yang terselip di punggungnya, kemudian berenang mendekat. Ketika ikan hiu itu meluncur lewat di dekatnya, Sie Tiong menusukkan pedangnya.
Tusukannya mengenai tubuh ikan dan air menjadi merah. Ikan hiu itu agaknya kesakitan dan binatang itu melarikan diri dalam keadaan luka berdarah, keadaannya itu membuatnya tidak akan dapat bertahan lama karena tentu darah itu akan memancing datangnya ikan-ikan buas lainnya yang sebentar saja dia akan menjadi rebutan ikan-ikan buas yang menyerang untuk memakannya.
"Joko, cepat! Kita harus meninggalkan tempat ini. Darah ini akan membahayakan kita, ikan-ikan buas lainnya akan berdatangan!"
Sie Tiong berenang mendekat dan dia melihat gerakan Joko Darmono lemah sekali. Agaknya pemuda itu sudah kehabisan tenaga, terengah-engah hanya dapat mempertahankan diri agar tidak tenggelam dengan susah payah.
"Joko, berpeganglah padaku!"
Katanya sambil mendekat dan Joko Darmono lalu mencengkeram baju Sie Tiong. keduanya berenang dan Joko Darmono dapat mengaso karena berpegang pada baju Sie Tiong, tubuhnya dapat terapung dan dia hanya membantu dengan gerakan kedua kakinya. Mereka meluncur ke depan.
"Lihat, Joko. Ada pantai di depan!"
"Sie Tiong.... aku.... aku tidak kuat lagi...."
Sie Tiong terkejut, ini berbahaya, pikirnya. Kalau Joko Darmono sampai pingsan, akan sukarlah baginya menyelamatkan mereka berdua karena dia sendiripun sudah lelah bukan main.
"Joko, bertahanlah! Aku tahu engkau seorang yang sakti dan gagah perkasa, tidak mungkin menyerah begitu saja! Lawanlah ancaman laut yang akan menelanmu! Lawan sekuat tenaga! Hayo kita berdua melawan mati-matian. Lihat, pantai tak jauh lagi, kita harus dapat mencapainya. Kita tidak boleh menyerah, Joko. Pantang menyerah!"
Agaknya ucapan Sie Tiong itu membangkitkan semangat Joko Darmono yang sudah mengendur hampir putus asa.
"Pantang menyerah!"
Teriaknya dan dia seolah mendapatkan tenaga baru, kini berenang di samping Sie Tiong, tidak membonceng dengan memegangi ujung baju lagi.
Setelah menguras semua tenaga selama kurang lebih satu jam lamanya, akhirnya, berkat dorongan ombak dari belakang, mereka dapat tiba di pantai berpasir. Sie Tiong mendarat lebih dulu dan ketika dia melihat Joko Darmono berjalan terhuyung-huyung menyeberangi air yang selutut tingginya. Ketika akhirnya tiba di pantai, tubuh pemuda itu terkulai dan roboh telentang!
Sie Tiong cepat menghampiri. akan tetapi karena tenaganya sendiri sudah habis dan dia merasa tidak kuat untuk memondong tubuh kawannya itu, dia memegang kedua lengan Joko Darmono yang telentang lalu menyeret tubuh itu ke atas agar air tidak mencapainya.
Melihat Joko Darmono terpejam, dan sama sekali tidak bergerak, bahkan tidak tampak dia bernapas, Sie Tiong khawatir sekali. Dia berjongkok di dekatnya dan meraba dada pemuda itu untuk merasakan detak jantungnya. Akan tetapi begitu tangannya menyentuh dada, Sie Tiong terkejut dan melompat
(Lanjut ke Jilid 10)
Kemelut Blambangan (Seri ke 05 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
bangun seperti dipagut ular! Dia berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Joko Darmono. Rambut Joko Darmono riap-riapan karena kain pengikat kepalanya hilang terbawa air laut. bajunya di bagian leher lepas kancingnya sehingga tampak seluruh bagian leher yang berkulit putih mulus.
"Dia.... dia.... wanita...."
Sie Tiong berkata dengan perasaan heran, terkejut, dan juga bingung. Akan tetapi dia segera teringat bahwa Joko Darmono pingsan dan keadaannya lemah sekali. Maka dia lalu berjongkok kembali dan kini dia memegang pergelangan tangan Joko untuk merasakan denyut nadinya. Nadinya masih berdenyut, walaupun agak lemah. Sie Tiong pernah mempelajari ilmu menotok jalan darah untuk melancarkan darah, maka tanpa ragu-ragu dia segera menotok kedua pundak Joko Darmono, lalu mengurut tengkuk dan sepanjang tulang punggungnya.
Joko Darmono mengeluh, membuka matanya lalu bangkit duduk, dan melihat Sie Tiong berjongkok di depannya ia bertanya.
"Kita.... di mana?"
"Tenanglah, Thian Maha Kasih! Kita telah dapat terlepas dari maut dan berhasil mendarat di sini!"
Lalu dia duduk bersila di depan Joko Darmono dan berkata lagi.
"Kita kehabisan tenaga sehingga menjadi lemah. Sebaiknya kita mengaso sebentar dan memulihkan tenaga kita."
Setelah berkata demikian Sie Tiong lalu memejamkan kedua matanya dan berlatih pernapasan.
Dia perlu memulihkan tenaganya dan juga ketenangan hatinya yang sempat terguncang mendapat kenyataan bahwa Joko Darmono adalah seorang wanita! Kini dia mendapat kenyataan akan kebenaran ucapan gurunya Thian Le Hwesio, pendeta Buddha di kuil Siauw-Lim-si bahwa kalau tiba saatnya kematian menjemput seseorang, apa dan siapa pun tidak akan dapat mencegahnya. Sebaliknya kalau saatnya belum tiba, ancaman yang bagaimanapun hebatnya akan terlewat. Dia hanya dapat merasa bersyukur dan berterima kasih kepada Thian Yang Maha Kuasa.
Demikian pula Joko Darmono. selama melakukan perjalanan bersama Bagus Sajiwo, pemuda itu seringkali memperkenalkan Gusti Allah dengan segala kekuasaanNya yang meliputi segala sesuatu, menciptakan dan menguasai seluruh alam semesta dengan segala isinya. Maka, kini ia dapat merasakan bukti kebesaran dan kekuasaan Gusti allah. Hanya kekuasaanNya sajalah yang mampu menyelamatkannya dari cengkeraman maut di antara gelombang lautan yang menggelora itu. Ia pun duduk bersila dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaganya yang tadi terkuras habis.
Kurang lebih satu jam mereka berdua duduk diam di atas pantai pasir itu. Mereka kini merasa segar dan tenaga mereka pulih kembali. Joko Darmono membuka matanya dan pertama-tama yang ditemukannya adalah kenyataan betapa bajunya yang basah menempel ketat di tubuhnya dan betapa ramnutnya terlepas dan terurai. Dia menunduk dan terkejut sekali melihat betapa bajunya di bagian dada itu basah kuyup dan menempel ketat pada dadanya sehingga tampak jelas betapa dadanya menonjol. Dada wanita! Cepat dia menarik baju yang menempel ketat itu agar longgar dan menyembunyikan ciri kewanitaannya. Ketika dia mengangkat muka memandang, sinar matanya bertemu pandang mata Sie Tiong. Pemuda itu membungkuk dan menundukkan mukanya sambil berkata hati-hati.
"Joko, harap engkau suka memaafkan aku. tanpa kusengaja aku mengetahui bahwa engkau adalah seorang wanita."
Hening sejenak. Joko Darmono menatap wajah yang menunduk itu, alisnya berkerut. Dia memikirkan bagaimana Sie tiong dapat mengetahui rahasianya itu. Kemudian dia teringat. rambutnya yang terurai, leher bajunya yang terkuak lebar, lalu payudaranya yang membayang di balik baju yang basah kuyup dan menempel ketat. Atau mungkin juga ketika mereka berdua berjuang dan bergulat melawan ombak, tentu tanpa disengaja tubuh mereka dapat bersenggolan atau berhimpitan diombang ambingkan gelombang dahsyat. Ah, sama sekali tidak aneh kalau Sie Tiong dapat mengetahui bahwa dia seorang wanita! Dia menghela napas panjang, sebetulnya bukan merupakan hal yang amat penting untuk menyembunyikan kewanitaannya dibalik penyamaran.
Dia menyamar sebagai seorang pria hanya dengan maksud agar perjalanannya lebih leluasa dan mudah, tidak menghadapi halangan dan banyak gangguan. Pertemuannya dengan Bagus Sajiwo itulah yang membuat dia menyimpan rapat rahasianya itu. Bagus Sajiwo menganggap dia seorang pemuda dan kini mereka berdua telah menjalin persahabatan yang akrab. Kalau Bagus Sajiwo mengetahui bahwa dia wanita, belum tentu mereka berdua akan dapat bersahabat demikan akrab. Dia tahu betapa Bagus Sajiwo bukan seorang pemuda yang mudah tertarik kecantikan seorang wanita. Kalau kini Sie Tiong mengetahui rahasianya, tidak mengapa. Tidak ada bedanya baginya.
"Sie Tiong, tidak perlu minta maaf. Bukan salahmu. Dalam keadaan begini tentu saja aku tidak mampu menyamar sebagai pria dengan baik. Tidak mengapa kalau engkau kini mengetahui bahwa aku seorang gadis, akan tetapi aku minta dengan sangat agar engkau tetap menganggap aku seorang pemuda dan memanggil aku Joko. Dan yang lebih penting lagi, aku minta agar engkau tidak membuka rahasiaku ini dan tidak menceritakan kepada siapapun juga!"
Kalimat terakhir ini terdengar mengandung ketegasan.
Sie Tiong menangguk-angguk.
"Baik, tentu saja aku akan merahasiakan keadaanmu yang sesungguhnya, Joko. Akan tetapi bolehkah aku mengajukan dua buah pertanyaan mengenai penyamaranmu ini?"
"Boleh. Dua saja dan setelah itu kita tutup semua pembicaraan mengenai hal ini. Setuju?"
"Setuju. Nah, pertanyaanku yang pertama, mengapa engkau menyamar sebagai seorang pemuda, Joko? Akan tetapi kalau engkau merasa keberatan untuk menjawab pertanyaan ini, tidak usah engkau menjawabnya. Aku tidak ingin mengetahui masalah pribadimu, hanya ingin tahu mengapa engkau bersusah payah seperti itu?"
Joko Darmono tersenyum.
"Karena engkau sudah mengetahui bahwa aku seorang gadis, tentu saja engkau boleh mengetahui semuanya, Sie Tiong. Memang tadinya aku tidak mempunyai niat untuk merahasiakan keadaan diriku. Begini, aku bernama Niken Darmini, Guruku adalah Nini Kuntigarbo. Sejak kecil aku ikut Guruku yang bertapa di gunung Betiri mempelajari aji kanuragan dan kesaktian. Setelah mendapat perkenan Guruku, aku melakukan pejalanan merantau, mencari pengalaman dan diberi waktu selama dua tahun oleh guruku. dalam perjalanan itu aku sengaja menyamar sebagai seorang pemuda atas nasihat Guruku agar aku dapat melakukan perjalanan dengan leluasa dan tidak mengalami banyak gangguan dalam perjalanan. Nah, dalam perjalanan itu aku bertemu dengan Bagus Sajiwo dan kami berkenalan, saling cocok dan menjadi sahabat. Aku tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perantauanku, maka ketika Bagus Sajiwo mengajak aku untuk melihat-lihat keadaan Blambangan, aku melihat Blambangan bersekutu dengan Bali dan dibantu Belanda untuk memusuhi Mataram."
"Terima kasih, Joko. Keteranganmu yang panjang lebar itu membuat aku mengerti mengapa engkau melakukan penyamaran dan biarpun aku tidak tahu siapa itu Nini Kuntigarba, aku yakin bahwa ia tentu seorang wanita pertapa yang sakti mandraguna. Pertanyaanku kedua adalah, apakah Bagus Sajiwo juga tidak tahu bahwa engkau seorang wanita?"
Joko Darmono tersenyum, dia menggeleng kepala.
"Sama sekali dia tidak tahu bahwa aku wanita, dan karena itulah maka aku minta engkau merahasiakannya kepada siapapun juga agar Bagus tidak sampai mendengar. Kalau dia tahu...., maka sudah tidak lucu lagi. Nah, sekarang kita bicara soal lain. Kita berdua selamat, Sie Tiong, akan tetapi bagaimana dengan yang lain? Bagaimana dengan Bagus Sajiwo dan Swi Hong, juga para anak buah perahu lainnya? Mengapa tidak ada yang terdampar ke sini?"
Sie Tiong yang sejak tadi sudah gelisah sekali memikirkan nasib tunangannya, mengerutkan alisnya dan menghela napas panjang.
"Entahlah, Joko, aku pun khawatir sekali. Dalam keadaan seperti ini, apa yang dapat dilakukan? Ah, aku merasa tidak berdaya sama sekali. Ya Tuhan, bagaimana dengan Hong-moi?"
Mendengar suara yang menggetar penuh kegelisahan dan kesedihan ini, Joko Darmono berkata lembut.
"Jangan putus harapan, Sie Tiong. Selagi masih hidup, harapan harus tetap ada. percayalah, kalau Gusti Allah menghendaki, bukan mustahil Swi Hong akan selamat pula, seperti yang terjadi pada kita."
Tiba-tiba Joko Darmono merasa jantungnya seperti diremas karena dia teringat kepada Bagus Sajiwo. Ucapannya tadi merupakan pengulangan dari ucapan Bagus Sajiwo kepadanya.
"Engkau benar, Joko. Biarlah aku hanya dapat memanjatkan doa dan mohon kepada Thian Yang Maha Pengasih agar Swi Hong dapat diselamatkan...., juga Bagus Sajiwo!"
"Sekarang sebaiknya kita mencoba mencari mereka. Siapa tahu mereka terdampar tak jauh dari pantai ini."
Mereka lalu bangkit dan berjalan menusuri pantai, kalau terhalang bukit karang mereka mendaki, lalu turun di sebelah sana menyusuri pantai yang landai. Akan tetapi sampai matahari condong ke barat mereka tidak menemukan seorang pun. Akhirnya malam tiba dan mereka melewatkan malam dalam sebuah gua di bukit karang. Sie Tiong membuat api unggun dan mereka mengaso dalam gua. Lewat tengah malam, ketika Joko Darmono masih pulas, tiba-tiba dia terkejut mendengar teriakan-teriakan Sie tiong.
"Hong-moi.... ya Tuhan, Hong-moi....!"
Sie Tiong berteriak-teriak.
Api unggun dalam gua itu hampir padam sehingga keadaan di situ agak gelap. Joko Darmono cepat mengambil kayu dan menyalakan api unggun lagi sehingga kini keadaannya terang. Dia melihat Sie Tiong masih tidur, gelisah bergerak ke kanan kiri sambil mulutnya masih memanggil-manggil Swi Hong.
"Hong-moi.... Hong-moi....!"
Joko Darmono menghampiri pemuda yang tengah mimpi dan mengigau itu, lalu mengguncang pundaknya.
"Sie Tiong! Sie Tiong, bangunlah!"
Akan tetapi tiba-tiba Sie Tiong mengayun tangan kanannya memukul ke arah Joko Darmono! Akan tetapi dengan sigap Joko Darmono mengelak dan meloncat sambil bangkit ke belakang sehingga pukulan itu tidak mengenai sasaran.
"Sie Tiong, sadarlah!"
Kembali dia membentak dan suaranya mengandung getaran yang berwibawa. Sie Tiong bangkit duduk, menggosok kedua matanya, lalu memandang ke arah api unggun, dan mengangkat muka memandang kepada Joko Darmono.
"Joko.... apa yang terjadi....?"
"Sie Tiong, engkau mengigau dan ketika kubangunkan, engkau menyerang aku."
"Aduh, maaf, Joko. Aku.... aku bermimpi, melihat Hong-moi diculik orang. Aku mengejarnya dan aku menyerang penculiknya. Akan tetapi dia tangguh sekali sehingga aku terpelanting dan terbangun."
"Ah, pantas ketika kubangunkan engkau memukulku."
"Maaf, Joko. sungguh aku menyesal sekali...."
"Hushh, sudahlah. Pukulanmu tidak mengena, dapat kuhindarkan. Andaikata mengenai sasaran sekalipun, karena engkau memukul dalam keadaan mimpi, engkau tidak bersalah Sie Tiong, ingatkah engkau bagaimana wajah penculik itu?"
"Tidak, hanya aku tahu dia seorang laki-laki. Aku khawatir sekali akan nasib Hong-moi, Joko."
Suaranya menggetar sehingga Joko darmono merasa kasihan kepada pemuda itu.
"Itu hanya mimpi, Sie Tiong. Karena engkau selalu mengkhawatirkan keselamatan Swi Hong, maka sampai terbawa mimpi. Sudahlah, jangan dipikirkan dengan bayangan yang bukan-bukan. Percayalah saja bahwa Gusti Allah tentu akan menyelamatkan Swi Hong karena ia seorang yang baik."
"Terima kasih, Joko, dan maaf, aku telah mengganggu tidurmu."
Mereka lalu tidur kembali, akan tetapi Sie Tiong tidak dapat tidur lagi. Bayangan Swi Hong diculik orang selalu terbayang dan dia duduk bersila dekat api unggun, menjaga agar api unggun tidak sampai padam. Joko Darmono sudah tertidur pulas membelakanginya dan diam-diam Sie Tiong merasa iba sekali kepadanya. Kalau saja Joko Darmono itu laki-laki, tentu tidak timbul rasa iba melihat dia tidur tergolek di atas lantai gua itu. Akan tetapi Joko Darmono adalah seorang wanita, seorang gadis muda!
Joko Darmono tidur dengan pulas. Dia memang tadinya amat khawatir memikirkan Bagus Sajiwo, akan tetapi karena tahu bahwa mengkhawatirkan saja tidak ada gunanya bahkan merugikan, padahal dia perlu mengaso sampai tenaganya segar, dia dapat mencari Bagus Sajiwo. Maka dia menghentikan semua pemikiran dan dapat tidur pulas.
"Joko....! Joko....! Bangunlah, Joko....!!"
Teriakan itu mengejutkan Joko Darmono yang segera terbangun dan cepat dia bangkit duduk. Dia melihat Sie Tiong di depan gua. Kiranya pagi telah menggantikan malam. Sinar matahari pagi masih lemah, namun sinarnya cukup terang dan mulai mengusir sisa kegelapan malam.
"Ada apa lagi, Sie Tiong?"
Tanya Joko darmono sambil menghampri pemuda itu.
"Bermimpi lagikah engkau?"
"Tidak, Joko, tidak! Lihat, mereka.... mereka terdampar di sana....!!"
Joko Darmono memandang ke arah pantai berpasir yang berada di bagian bawah bukit karang yang ada guanya itu.
"Ah, benar! Mari kita ke sana!"
Joko Darmono melompat dan berlari cepat, diikuti Sie Tiong. sebentar saja mereka sudah tiba di pantai berpasir itu. Ternyata ada empat orang anak buah perahu namun masih hidup, dan terdapat juga jenazah Tan Beng Ki yang dadanya tertembus beberapa butir peluru.
Tentu saja hati Joko Darmono kecewa bukan main karena di antara mereka tidak terdapat Bagus Sajiwo. Juga Sie Tiong diam-diam menahan kesedihannya karena tidak melihat Swi Hong ikut terdampar di situ.
Sie Tiong dan Joko darmono lalu menolong empat orang anak buah perahu itu. setelah kesehatan mereka agak membaik, mereka lalu bercerita betapa mereka diombang-ambingkan gelombang dantiba-tiba malam tadi ada gelombang besar dari tengah menyeret mereka sampai ke daratan itu.
Setelah empat orang itu kuat kembali, Sie Tiong lalu mengubur jenazah Tan Beng Ki. Karena tidak ada alat untuk upacara sembahyang seperti yang pada umumnya dilakukan bangsa Cina pada waktu itu, Sie Tiong lalu memeberi hormat, berlutut, pai-kui (memberi hormat berlutut dan membenturkan dahi ke tanah) tiga kali. Kemudian dia berdiam diri, masih berlutut dan termenung, seperti lupa akan keadaan sekelilingnya. Empat orang anak buah itu tadi diutus mencari dusun terdekat dan membeli makanan untuk mereka berenam. Juga mereka disuruh membeli pakaian kepada penduduk dusun yang berdekatan. Pakaian sederhana seadanya untuk pakaian pengganti bagi Sie Tiong dan Joko Darmono karena pakaian yang menempel di tubuh mereka setelah kering kembali menjadi kumal dan kotor.
Joko Darmono duduk tak jauh dari Sie Tiong. Dia tidak ikut bersembahyang seperti Sie Tiong, namun diam-diam dia ikut mendoakan agar arwah Paman Tan Beng Ki yang baik dan damai. Tiba-tiba dia melihat betapa air mata menetes-netes dari kedua mata Sie Tiong menuruni kedua pipinya, Sie Tiong menangis! Apakah dia menangisi kematian ayah mertuanya? Ah, biarpun tentu saja dia berduka atas kematian calon ayah mertuanya itu, namun Joko Darmono merasa pasti bahwa bukan itu yang membuat pemuda gagah itu menangis.
"Sie Tiong, engkau menangisi Swi Hong?"
Tanya Joko lirih, merasa kasihan. Sie Tiong menggunakan kedua tangannya untuk menyusut air matanya, akan tetapi air matanya menetes semaki deras.
"Aku.... aku khawatir sekali, Joko. Aku khawatir dan kasihan kepada Hong-moi.... ah, kalau terjadi malapetaka menimpa dirinya...."
Joko Darmono diam saja, membiarkan pemuda itu melampiaskan rasa khawatir dan sedihnya melalui penumpahan air mata. Akhirnya Sie Tiong mampu menguasai perasaannya dan dia menghapus kering air matanya, lalu berkata kepada Joko Darmono.
"Joko, maafkan kelemahan dan cengenganku."
"Sie Tiong, engkau cinta sekali kepada Swi Hong, bukan?"
Sie Tiong mengangguk.
"Dengan seluruh jiwa ragaku, Joko."
Kemudian dia menghadapi makam Tan Beng Ki dan dengan kedua tangan menyembah depan dada dia berkata.
"Gak-hu (ayah mertua), disaksikan joko Darmono, saya bersumpah untuk mencari Hong- moi dan tidak akan berhenti mencari sebelum dapat saya temukan."
Joko Darmono merasa terharu.
"Jangan khawatir, Sie Tiong. Kalau memang Swi Hong masih hidup, aku yakin engkau akan dapat bertemu kembali dengannya. Dan aku akan membantumu mencarinya."
"Terima kasih, Joko."
Empat orang anak buah perahu, para karyawan mendiang Tan Beng Ki datang membawa makanan dan pakaian pengganti untuk Joko Darmono dan Sie Tiong. Biarpun yang mereka dapatkan itu hanya pakaian petani dan nelayan yang sederhana, namun cukup bersih. Mereka lalu makan. Setelah itu, Joko Darmono yang dianggap sebagai pemimpin dan penunjuk jalan karena dia lebih mengenal daerah Blambangan, lalu berkata, ditujukan kepada empat orang itu.
"Kalau kita melakukan perjalanan bersama, kita tentu akan menarik perhatian dan kalau bertemu dengan ponggawa Blambangan, akan dicurigai. Sebaiknya kita berpencar, masing-masing dua orang dan mencari jalan keluar dari daerah Blambangan ini. Kalian berempat dipecah menjadi dua kelompok terdiri dari dua orang, carilah jalan keluar masing- masing dan kukira jalan terbaik untuk keluar dari daerah ini dengan aman adalah menuju ke utara, sedapat mungkin menghindari jalan umum dan dusun- dusun. Aku sendiri bersama Sie Tiong akan mengambil jalan lain karena kami masih akan mencari Bagus dan Swi Hong."
Sie Tiong lalu memeberi nasihat agar mereka berhati-hati, dan kalau sudah tiba di Tuban dengan selamat agar jangan mengabarkan kepada isteri Tan Beng Ki akan kematian majikan mereka itu.
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan saja bahwa perahu kita tenggelam dan semua orang mencari keselamatan masing-masing, dan kalian belum tahu di mana adanya yang lain-lain. Biarlah aku sendiri yang kelak menyampaikan berita duka itu."
Empat orang itu lalu berpencar menjadi dua rombongan dan meninggalkan tempat itu. sejak makan bersama tadi, Joko Darmono tampak pendiam, bahkan ketika bicara kepada empat orang itu, sikapnya berbeda dengan biasanya. Wajahnya muram dan pandang matanya kehilangan sinarnya. Biasanya dia selalu licah gembira bahkan malam tadi pun masih tampak menunduk. Ketika mereka makan bersama, teringatlah dia kepada Bagus Sajiwo. Lalu dia teringat akan jenazah Tan Beng Ki yang dikubur tadi. Tiba- tiba saja menyelinap bayangan Bagus Sajiwo juga sudah menjadi jenazah seperti Tan Beng Ki. Hatinya tertekan hebat. gelombang lautan itu demikian dahsyatnya. Dia sendiri mengalaminya. Betapapun saktinya, seorang manusia tidak mungkin mampu melawan kekuatan alam yang demikian dahsyatnya.
Juga Bagus Sajiwo tidak mungkin kuat bertahan. Dalam keadaan diombang-ambingkan gelombang seperti itu, hanya kenujijatan yang dapat menyelamatkan keseorang. Bukan mustahil, bahkan besar sekali kemungkinannya Bagus Sajiwo juga menjadi korban dan tewas oleh keganasan lautan itu! Bayangan inilah yang meremas-remas hatinya dan dia menyadari sepenuhnya betapa dia kehilangan, betapa dia kesepian, betapa hidup ini kehilangan sinarnya, hanya merupakan derita sengsara, kalau Bagus Sajiwo meninggalkannya! Baru dia menyadari sepenuhnya bahwa dia sepertinya tidak dapat hidup bahagia tanpa didampingi Bagus Sajiwo! Menyadari bahwa sesungguhnya dia bukan hanya kagum dan suka kepada Bagus Sajiwo, melainkan juga mencintainya!
"Bagus.....!"
Tanpa disadarinya, dia berbisik menyebut nama pemuda itu dan matanya menjadi basah!
Sejak tadi Sie Tiong memperhatikannya dan pemuda ini maklum apa yang menjadi gejolak hati gadis yang menyamar sebagai pria itu. Memang dia sudah menduga bahwa gadis luar biasa ini menaruh hati kepada Bagus Sajiwo sehingga ingin selalu berdekatan dan untuk itu dia menyamar sebagai pria dan tidak membuka rahasianya karena khawatir hal itu akan membuat Bagus Sajiwo menjauhkan diri!
"Joko....!"
Sie Tiong memberanikan diri bertanya lirih.
"Engkau mencinta Bagus Sajiwo?"
Ditanya demikian, pertanyaan yang langsung menghunjam perasaannya yang paling dalam, dua butir air mata yang memang sudah memenuhi pelupuk matanya, menetes keluar. cepat dia menghapus air mata di pipinya itu dan sambil menatap wajah Sie Tiong, dia mengangguk.
"Kuatkan hatimu, Joko. Mari kita berdoa saja semoga Bagus Sajiwo dan Swi Hong diselamatkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Joko Darmono mengangguk tanpa menjawab, lalu bangkit berdiri dan berkata.
"
Mari kita cari mereka."
Kedua orang itu lalu meninggalkan pantai setelah Sie Tiong sekali lagi memberi hormay terakhir kepada makam Tan Beng Ki. Kini mereka telah berganti pakaian yang didapat dari penduduk dusun sehingga mereka menjadi dua orang pemuda dusun yang pakaiannya sederhana.
Gua di bukit yang berada di luar dusun Sampangan itu merupakan gua yang lebar, dalam dan amat bersih, seperti sebuah rumah yang terawat baik saja. Akan tetapi namanya aneh. Orang-orang di dusun sekitarnya menyebutnya Gua Siluman! Biarpun namanya masih Gua Siluman, namun sejak hampir setahun yang lalu, gua itu bukan merupakan tempat yang ditakuti orang seperti dulu. Dulu memang gua itu pernah menjadi tempat tinggal seorang datuk sesat yang amat jahat, yaitu Kyai Kasmalapati yang merupakan seorang dari para datuk Blambangan, bersama muridnya yang bernama Dartoko. Guru dan murid ini sama jahatnya, sombong dan cabul. Mereka mata keranjang dan suka mengganggu penduduk dusun-dusun sekitarnya. Akan tetapi, hampir setahun yang lalu, mereka berdua bertemu tanding dan dikalahkan, malah terusir dari gua itu dalam keadaan luka-luka. yang mengusir mereka adalah Nyi Maya Dewi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, terjadi perubahan yang amat besar pada diri Nyi Maya Dewi. Dahulu ia terkenal sebagai datuk wanita yang tidak pantang melakukan segala macam kejahatan, bahkan yang terakhir ia menjadi antek Kumpeni Belanda. Akan tetapi, setelah secara kebetulan ia remaja, kemudian hidup bersama pemuda itu selama kurang lebih empat tahun, mendapatkan dan mempelajari ilmu-ilmu yang amat tinggi, ia seolah dibimbing oleh Bagus Sajiwo dan bukan saja mulai mengenal Gusti Allah, bahkan telah dapat berserah diri sebulatnya dan sepenuhnya, jiwa raganya, kepada kekuasaan Gusti Allah, maka terjadilah perubahan itu.
Kalau dulu ia mendapat julukan Iblis Cantik Banten, sekarang ia disebut Dewi oleh para penduduk dusun. Bukan hanya menjadi sebutan saja karena memang pada hakekatnya ia benar-benar hidup seperti seorang dewi kahyangan yang serba bajik. Pikirannya, sikapnya, kata-katanya, perbuatannya, semua itu seolah merupakan buah-buah yang lezat menyegarkan bagi orang lain, penuh dengan kebajikan kasih yang terbimbing kekuasaan Gusti Allah. seorang Iblis Betina telah menjadi seorang Dewi Kahyangan.
Usia Nyi Maya Dewi sekarang sudah sekitar tiga puluh tujuh tahun. Akan tetapi kalau ada orang melihat wanita itu duduk bersila di dalam gua yang menjadi tempat tinggalnya itu, dia tidak akan percaya. Nyi Maya Dewi tampak masih muda sekali, tidak lebih dari dua puluh limatahun! Rambutnya yang panjang itu digelung sederhana, terkadang dibiarkannya terurai lepas. Rambut yang panjang agak berombak dan hitam mengkilat karena terawat baik dan bersih. Beberapa tangkai bunga kembang melati selalu menghias rambutnya, kembang-kembang melati yang masih segar karena setiap hari ia dapat memetiknya dari tanamannya sendiri di depan gua. Wajahnya yang berbetuk bulat itu selalu memancarkan cahaya dan tampak segar dengan kulit muka yang putih bersih.
Sepasang alisnya tampak segar dengan kulit muka yang putih itu, berbentuk melengkung indah seperti dilukis. Matanya lebar dan kedua ujung mata di kiri kanan agak menjungat ke atas. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya memiliki bibir yang tipis, penuh, lunak dan selalu merah basah. Tubuhnya masih denok ramping. Memang wanita ini secantik dewi. Perubahan besar itu tampak pula pada sinar matanya. Kalau dulu sebelum berubah, matanya liar dan penuh gairah nafsu, kini mata itu bersinar tajam dan terang namun lembut penuh pengertian.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, perasaan Nyi Maya Dewi hancur dan berduka sekali setelah ia dihina dan ditampar oleh Retno Susilo yang tidak rela melihat puteranya, Bagus Sajiwo, akrab dengan Nyi Maya Dewi yang dikenalnya sebagai wanita sesat. Ia dihina, ditampar dan diusir tanpa melakukan perlawanan sedikitpun, bahkan tamparan itu ia terima tanpa melindungi wajahnya dengan tenaga dalam sehingga kedua pipinya membengkak dan ujung bibirnya berdarah. Namun, perlakuan itu sama sekali tidak membuat hatinya hancur. Ia tidak menyalahkan Retno Susilo.
Ia memang pantas mendapat perlakuan seperti itu. Yang membuat hatinya hancur dan bersedih adalah karena ia harus berpisah dari Bagus Sajiwo! Perpisahan ini menghancurkan hatinya, menghancurkan segala- galanya dan membuat hidup ini baginya tidak ada artinya lagi. Akan tetapi setelah hidup mengasingkan diri dalam Gua Siluman di bukit yang berada di Gunung Kidul ini, ia mulai menyadari bahwa penderitaan batin itu muncul karena salahnya sendiri. Penderitaan karena perpisahan dari satu-satunya orang di dunia ini yang dikaguminya, dihargainya, dijunjung dan dicintanya, timbul karena kemelekatan hatinya pada orang yang dikasihinya itu.
Si-aku-nya yang masih kuat itu yang merasa kehilangan, merasa sengsara sehingga timbul perasaan iba-diri. Setelah menyadari semua ini, maka kedukaannya menipis dan akhirnya ia dapat mengatasi perasaannya sendiri. Mulailah Nyi Maya Dewi, setelah tinggal hampir setahun, menyadari bahwa tidak ada gunanya sama sekali bagi dirinya sendiri maupun dunia kalau ia membenamkan diri ke dalam pengasingan. Apa gunanya semua ilmu yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun kalau tidak dipergunakan dan dimanfaatkan untuk orang lain yang membutuhkan uluran tangannya?
Ia harus melakukan kebaikan sebanyak mungkin karena seperti yang dikatakan Bagus Sajiwo, melakukan kebaikan itu adalah tugas hidupnya, menjadi penyalur berkat Gusti Allah untuk siapa saja yag membutuhkan. Bukan dengan pamrih untuk mendapatkan imbalan jasa, melainkan semata-mata melaksanakan tugas hidup. Juga sebagai bukti petaubatannya. Kalau dulu ia melakukan kejahatan yang amat banyak, kini ia harus melakukan kebaikan yang lebih banyak lagi! Kalau ia berdiam saja di gua ini, lalu apa gunanya ia hidup?
Setelah mengambil keputusan, Maya Dewi lalu mengumpulkan pakaiannya dalam sebuah buntalan kain, menggendong buntalan itu lalu melangkah keluar meninggalkan gua tanpa ragu lagi. Ia berniat pergi ke dusun Sampangan untuk berpamit kepada Ki Lurah Ganjar. Ketika ia berjalan menuruni bukit, melihat alam terbentang di depannya dan merasakan angin semilir menerpanya, ia merasa seolah seekor burung yang baru keluar dari sangkar. Selama ini ia tidak pernah keluar dari gua yang menjadi rumahnya itu. Kebutuhan makan untuknya telah dipersiapkan para penduduk Sampangan yang merasa berhutang budi kepadanya.
Ketika ia tiba di kaki bukit dan berada di luar dusun Sampangan, ia melihat tiga orang keluar dari pintu gapura dusun dan mereka berjalan cepat ke arah dirinya. Maya Dewi berdiri dengan sikap tenang walaupun ketika mengenal dua diantara tiga orang itu ia sempat tercengang. Ia segera mengenal orang pertama yang merupakan seorang wanita cantik sekali, usianya tampak masih muda walaupun ia tahu bahwa wanita itu dua tahun lebih tua daripadanya, Pakaian wanita itu serba putih dan dipunggungnya tergantung sebatang pedang.
Tangan kirinya memegang sebatang kebutan berbulu putih. Siapa lagi kalau bukan Candra Dewi, Kakak tirinya! Candra Dewi yang berjuluk Iblis Betina Banten. Ia tahu betapa saktinya Mbakayu tirinya ini yang dulu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada tingkatnya. Akan tetapi setelah ia menemukan ilmu yang dahsyat bersama Bagus Sajiwo, ia tidak perku takut lagi kepadanya, bahkan pada pertemuan terakhir ia pernah mengalahkan Candra Dewi dan berhasil merampas kembali Pedang Nogo Wilis yang dirampas oleh Candra Dewi dari tangan Sulastri, isteri Lindu Aji. Orang ke dua juga sudah dikenalnya karena dia adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun yang bertubuh jangkung dan berwajah tampan, bermata tajam, hidung mancung, mulutnya mengembangkan senyum sombong yang seolah mengejek.
Dia adalah Dartoko, murid Kyai Kasmalapati yang dulu pernah dikalahkannya setahun yang lalu. Ia telah mengalahkan dan mengusir guru dan murid itu dari Gua Siluman. Guru dan murid itu mengganggu penduduk dusun Sampangan dan sekitarnya, dengan kejam bukan hanya memeras penduduk, juga menggunakan ilmu sihir menculik dan mempermainkan gadis-gadis dusun! Dan sekarang Dartoko kembali kesini, bersama Candra Dewi dan seorang laki-laki lain, sudah pasti tidak mempunyai niat baik terhadap dirinya!
Maya Dewi memperhatikan orang ketiga. Dia seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya sedang, mukanya pucat seperti mayat. Rasanya ia sudah pernah melihat orang itu, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana dan siapa dia. Setelah tiga orang itu tiba di depannya dan berhenti, orang ketiga itulah yang bicara lebih dulu sambil tertawa-tawa. Suara tawanya ngakak seperti ular besar dan serak.
"Hak-hak-hak! Inikah Maya Dewi puteri Kakang Resi Koloyitmo, Adik tirimu itu, Candra Dewi? Walah-walah! Ketika aku melihatmu dulu, engkau masih gadis remaja. Sekarang telah menjadi seorang wanita matang yang cantik jelita! Maya Dewi, senang sekali aku bertemu denganmu. Sudah bertahun-tahun aku mendengar nama besarmu."
Mendengar tawa ngakak seperti itu, Maya Dewi teringat. Sukar menemukan orang lain yang tawanya ngakak seperti itu. Ia ingat bahwa dulu, di Banten, Ayahnya memiliki seorang kawan yang namanya Arya Bratadewa. Inilah agaknya orangnya!
"Andika Paman Arya Bratadewa, bukan?"
"Hak-hak-hak, benar sekali, manis. Bagus kalau engkau masih ingat sahabat Ayahmu!"
"Mbakayu Candra Dewi, Andika datang bersama Paman Arya Bratadewa dan jahanam keju Dartoko ini menemui aku, ada urusan apa?"
Candra Dewi tersenyum dan Maya Dewi memandang heran. Baru sekali ini ia melihat Mbakayunya itu tersenyum. Biasanya, wajah wanita itu selalu dingin dan kaku, membayangkan sepenuhnya betapa hatinya keras seperti besi.
"Maya, dahulu kita salah paham dan saling bermusuhan. Sekarang tidak lagi, Maya. Engkau adalah Adikku, kita bersaudara, sudah sepatutnya kalau kita kakak beradik bekerja sama."
"Ya, benar itu! Bekerja sama dengan rukun dan sama-sama mencari kedudukan, harta benda, dan kemuliaan!"
Sambung Arya Bratadewa sambil menyeringai.
"Mbakayu Candra, apa maksudmu dengan ucapanmu itu?"
"Maya, aku mengajakmu untuk bekerja sama bersama Paman Arya Bratadewa dan yang lain-lain dalam membantu usaha Kumpeni Belanda untuk mendukung Kadipaten Blambangan yanghendak menyerbu Mataram."
Maya Dewi terbelalak heran mendengar ucapan Candra Dewi itu, lalu ia tersenyum karena merasa lucu.
"Lucu sekali, Mbakayu Candra. Dahulu engkau mencariku untuk membunuhku karena aku kauanggap melakukan penyelewengan, terutama karena aku membantu Belanda. Sekarang engkau malah yang menjadi antek Belanda dan membujuk aku untuk bekerja sama! Sungguh lucu dan aneh sekali!"
"Ha-ha-hak! Maya Dewi, sama sekali tidak ada yang lucu. Kami membantu Belanda bukan asal membantu akan tetapi dengan berbagai alasan yang kuat. Pertama, tentu saja kami ingin mendapatkan harta dan kedudukan. Kedua, dengan membantu Belanda kita dapat bergabung dengan kadipaten- kadipaten yang menentang Mataram. Ingat, Mataram itu musuh kita! Dan sekarang, kita bergabung dengan Blambangan untuk menghancurkan Mataram. Ah, engkau tentu sudah lebih mengetahui akan hal itu, Maya Dewi. Bukankah dulu engkau menjadi pemimpin para telik sandi Kumpeni Belanda, bahkan engkau telah dipercaya oleh Kumpeni dan mendapatkan tanda kekuasaan telik sandi berupa uang dinar kencana."
"Tidak Mbakayu Candra. aku telah insaf, telah menyadari bahwa menjadi antek Belanda berarti menjadi pengkhianat bangsa karena Kumpeni Belanda bermaksud untuk meluaskan wilayah sengkeramannya, ingin menguasai Nusa Jawa. Kalau engkau membela Banten jika ada prmusuhan antara Banten dan Mataram, hal itu masih dapat kumaklumi. Akan tetapi itu hanya merupakan pertikaian antara suku yang masih sebangsa, sesaudara. Sebaliknya, Belanda adalah bangsa asing, bangsa lain yang hendak menguasai tanah air kita. Seharusnya di antara semua suku bersatu padu menentang Belanda seperti
yang diinginkan Kanjeng Sultan Agung di Mataram. Kalau seorang pribumi Nusa Jawa membantu Belanda, berarti dia mengkhianati bangsa dan tanah airnya dan itu merupakan tindakan yang jahat."
"Ha-ha-ha-hak! Siapa tidak mengenal nama Ni Maya Dewi yang dijuluki Iblis Cantik Banten? Kejahatan apa yang tak pernah ia lakukan? Dan sekarang engkau bicara tentang kebajikan seolah engkau ini seorang pendekar wanita! Ha-ha-hak, Harimau Betina itu kini pandai mengembik!"
Maya Dewi tetap tenang, tidak mau dipengaruhi kemarahan.
"Paman Arya Bratadewa, justeru karena aku insaf dan menyadari semua dosa masa lalu yang pernah kulakukan, maka sekarang aku hendak bertaubat dan menentang semua kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Terserah kalian hendak bilang apa dan berbuat apa!"
"Paman Arya dan Nyi Candra Dewi, apa keteranganku tadi kepada Andika berdua? Percuma saja membujuk wanita ini! Maya Dewi kini telah menjadi antek Mataram dan pura-pura menjadi pendekar!"
Kata Dartoko.
"Kalau ia tidak dibunuh sekarang, kelak tentu hanya akan menyusahkan kita saja!"
Arya Bratadewa bertanya kepada Nyi Candra Dewi.
"Bagaimana pendapatmu, Candra Dewi? Kita bunuh saja Adik tirimu yang membangkang ini?"
"Hemm, kalau ia keras kepala, memang sebaiknya dibasmi saja!"
Kata Candra Dewi dengan sikap tak acuh. Memang pada dasarnya Candra Dewi tidak suka, bahkan membenci Adik tirinya ini. Pertama, karena dulu Ayah mereka, Resi Koloyitmo, lebih sayang kepada Maya Dewi daripada kepadanya. Ke dua, ia dahulu menganggap Adik tirinya itu menyeleweng dan membikin malu nama keluarga.
Kemudian ke tiga, ia iri hati melihat Maya Dewi menjadi sakti mandraguna melebihi ia sendiri dan lebih-lebih lagi, Bagus Sajiwo tampak akrab sekali dengan Maya Dewi, padahal ia sudah menganggap Bagus Sajiwo adalah suaminya! Ditambah lagi sekarang, Maya Dewi memiliki pendirian yang bertentangan dengannya. Tadinya, Dartoko yang telah bergabung dengan persekutuan di Blambangan bersama Kyai Kasmalapati, minta bantuan ia dan Arya Bratadewa, untuk membalas dendam kepada Maya Dewi. Candra Dewi memberitahu kedua orang kawannya itu agar ia membujuk dulu Maya Dewi agar mau bekerja sama karena kalau Adik tirinya itu mau bekerja sama, hal ini lebih menguntungkan mereka.
Akan tetapi ternyata sekarang Maya Dewi menolak, maka ia setuju saja kalau Maya Dewi yang dibencinya itu dibunuh.
Setelah mengeluarkan ucapan itu, Candra Dewi yang sudah maklum akan kesaktian Adik tirinya, menggerakkan kedua tangannya dan ia telah meloloskan pedang dengan tangan kanan lalu melintangkan pedang di depan dada sedangkan tangan kirinya mengangkat kebutannya yang berbulu putih ke atas kepalanya.
Dartoko yang juga mendendam kepada Maya Dewi dan ingin membalas dendam, sudah mencabut pedang dan kerisnya, melangkah maju seolah dia yang hendak menghabisi Maya Dewi. Keberaniannya ini tentu saja karena dia datang bersama Arya Bratadewa dan Candra Dewi. Arya Bratadewa juga sudah maju dan antek Kumpeni ini telah mencabut sepasang pistol dari ikat pinggangnya dan membidikkan dua buah pistol itu ke arah Maya Dewi.
Maya Dewi tentu saja sudah tahu akan bahaya yang mengancamnya. Dahulu ia pernah menjadi korban tembakan sebelum ia dan Bagus Sajiwo menemukan Jamur Dwipa Suddhi dan aji kesaktian Sari Bantala. Maka, melihat Arya Bratadewa telah siap menembakkan kedua pistolnya, ia sudah siap menghadapinya.
"Dar-dar-dar-dar-dar....!"
Ledakan-ledakan terdengar dari kedua buah pistol itu, masing-masing dua kali disusul mengepulnya asap. Saking cepatnya empat butir peluru itu menyambar, tidak dapat diikuti pandang mata orang biasa. Akan tetapi Maya Dewi tidak beranjak dari tempat ia berdiri. Kedua tangannya bergerak ke depan dan ia sudah menangkap dua butir peluru. Dua butir peluru lain menyambar ke arah dadanya. Akan tetapi hanya bajunya saja yang ditembusi dua butir peluru itu. Ketika mengenai kulit dadanya, dua butir peluru itu runtuh tanpa sedikitpun membuat kulit itu lecet.
Tiga orang itu terkejut bukan main dan pada saat itu Maya Dewi menggerakkan kedua tangannya. Dua butir peluru yang tadi ditangkapnya itu menyambar bagaikan kilat ke arah Dartoko dan Arya Bratadewa! Arya Bratadewa adalah seorang datuk dari Banten yang telah memiliki ilmu tinggi. Dia dapat mengelak dengan melempar tubuh ke samping lalu berjungkir balik beberapa kali. Akan tetapi Dartoko yang sama sekali tidak mengira akan diserang "tembakan"
Peluru yang keluar dari tangan Maya Dewi, mengaduh dan jatuh terduduk, memegangi pahanya yang dimasuki peluru!
Candra Dewi yang sudah pernah dikalahkan Maya Dewi menjadi gentar. Akan tetapi Arya Bratadewa belum mengetahui sampai di mana kedigdayan Maya dewi. Dia mengira bahwa tingkat kepandaian Maya Dewi tentu tidak melampaui kepandaian Candra Dewi. Kekebalan terhadap tembakan pistol itu bukan merupakan hal yang terlalu aneh pada masa itu. Banyak tokoh yang memiliki kekebalan seperti itu. Maka, dengan marah Arya Bratadewa lalu menyimpan kedua pistolnya, mencabut goloknya yang mengkilap tajam lalu dengan pekik yang parau dia menerjang maju dan menyerang Maya Dewi.
Dari gerakan golok yang menyambar ke arah kepalanya dari atas, Maya Dewi maklum bahwa Arya Bratadewa merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi ia merasa yakin dapat mengatasi lawan ini, maka dengan gerakan lembut namun cepat ia mengelak ke kiri, lalu tangan kanannya menyambar mengirim tamparan jarak jauh.
"Wirrr....!"
Arya Bratadewa mengeluarkan teriakan tertahan ketika merasa ada angin dahsyat menyambar dari samping. Dia cepat menarik tubuh ke belakang untuk mengelak dan goloknya berkelebat lagi, kini membacok dari samping ke arah perut Maya Dewi.
"Singgg.... plakk!"
Tubuh Arya Bratadewa terhuyung ke belakang dan matanya terbelalak. Gadis itu tadi menangkis goloknya dengan tangan telanjang dan pertemuan anyara golok dan telapan tangan itu telah membuat dia terdorong keras ke belakang.
"Tar-tar-tarr!"
Kebutan berbulu putih di tangan kiri Candra Dewi meledak-ledak dan menyambar- nyambar ke arah kepala Maya Dewi yang dengan tenang melangkah mundur dan menggunakan angin pukulan tangannya untuk menangkis sehingga kebutan itu terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Akan tetapi sinar berkilat ketika pedang di tangan kanan Candra Dewi meluncur ke arah dada adik tirinya. Maya Dewi mengelak ke kanan. Akan tetapi pada saat itu, golok di tangan Arya Bratadewa menyambar ke arah lehernya! Kembali Maya Dewi mengelak dengan lompatan ke belakang. Maklum bahwa dikeroyok dua orang yang sakti, yang hendak membunuhnya, sedangkan sedikit pun tidak ada niat dihatinya untuk membunuh dua orang ini, maka untuk dapat menjaga diri dengan baik, Maya Dewi melolos sabuk cinde yang dapat menjadi ikat pinggangnya.
Begitu ia menggerakkan sabuk cinde ini, tampak sinar keemasan bergulung- gulung menyelimuti dirinya. Candra Dewi dan Arya Bratadewa terkejut. Senjata mereka terpental setiap kali mereka menyerang dan bertemu dengan gulungan sinar keemasan itu.
Sinar itu mengeluarkan tenaga lentur, lunak namun sulit ditembus, bahkan tenaga sakti mereka yang mendorong senjata mereka itu membalik dan tergetar. Diam-diam Candra Dewi merasa heran dan kagum sekali. Ia memang pernah dikalahkan Maya Dewi, akan tetapi sama sekali tidakpernah disangkanya adik tirinya itu sehebat ini kesaktiannya. Arya Bratadewa adalah seorang yang amat tangguh, mungkin setingkat dengan kepandaiannya sendiri. Akan tetapi, kalau tadinya ia merasa yakin bahwa mereka berdua tentu akan mampu merobohkan Maya Dewi, sekarang kenyataannya, mereka berdua sama sekali tidak dapat menembus pertahanan Maya Dewi berupa gulungan sinar sabuk cindenya itu!
Maya Dewi memang tidak ingin mencelakai apalagi membunuh dua orang itu. Sudah meresap betul ke dalam sanubarinya nasihat Bagus Sajiwo agar ia tidak melakukan pembunuhan dan menghilangkan segala perasaan dendam dan benci dari lubuk hatinya terhadap siapapun juga. Karena itu, ketika tadi ia mengembalikan dua butir peluru pistol, ia hanya menujukan sambitannya ke arah kaki sehingga sebutir peluru melukai kaki Dartoko tanpa membahayakan nyawanya.
Dua orang itu menjadi amat penasaran dan mereka berusaha sekuat tenaga untuk menembus pertahanan sinar emas yang melindungi tubuh Maya Dewi. Bahkan keduanya mulai mengeluarkan kekuatan sihir melalui bentakan-bentakan untuk menyerang batin dan menggetarkan jantung Maya Dewi sehingga petahanannya akan melemah. Namun Maya Dewi sama sekali tidak terpengaruh, bahkan kini Maya Dewi mulai mengubah gerakannya, bukan hanya bertahan melainkan membalas dengan serangan untuk menyudahi perkelahian itu. Pada suatu saat yang sudah ia perhitungkan, ketika bulu kebutan putih menyambar dari atas, ia menggerakkan sabuk cindenya yang menangkis langsung membelit sehingga ujung kebutan dan ujung sabuk cinde saling membelit. Pada saat itu, golok Arya Bratadewa membacok dari atas ke arah kepala Maya Dewi. Maya Dewi menggunakan tenaga saktinya menarik sehingga kekuatan itu ikut tertarik. Rentangan bulu kebutan itu kini menangkis golok yang menyambar turun.
"Prattt....!!"
Bulu kebutan itu bertemu golok dan putus, bulunya rontok berhamburan ke bawah. Pada saat itu, Arya Bratadewa terkejut karena selain goloknya malah merusak kebutan kawan sendiri, juga pertemuan senjata itu membuat tangan yang memegang golok tergetar hebat. Pada detik itu juga jari tangan kiri Maya Dewi meluncur dan mengetuk pergelangan tangan kanan Arya Bratadewa.
"Tukk....!"
Arya Bratadewa berseru kaget dan goloknya terlepas dari pegangan tangannya yang terasa lumpuh kehilangan tenaga! Dia melompat ke belakang.
Candra Dewi yang kehilangan bulu kebutannya, dengan marah dan nekat menusukkan pedangnya ke arah dada Maya Dewi dari samping. Maya Dewi menggerakkan tangan kirinya yang miring dan dipergunakan sebagai pedang membacok ke arah pedang lawan yang meluncur ke dadanya sambil miringkan tubuh.
"Syuuuuttt.... trakkk!"
Pedang itu patah menjadi dua potong. Dengan muka berubah pucat Candra Dewi juga melompat jauh ke belakang. Kini Candra Dewi dan Arya Bratadewa berdiri berdampingan dan memandang kepada Maya Dewi dengan sinar mata penuh kebencian dan kemarahan. Mereka melihat Maya Dewi melibatkan kembali sabuk cinde di pinggangnya yang ramping dengan sikap tenang seolah tidak pernah terjadi perkelahian mati-matian yang mengancam nyawanya tadi.
Karena maklum bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan Maya Dewi, juga tembakan pistol tidak akan dapat merobohkannya, Arya Bratadewa dan Candra Dewi lalu memutar tubuh dan pergi, diikuti oleh Dartako yang terpincang-pincang. Setelah agak jauh, Candra Dewi berhenti dan menoleh.
"Maya Dewi, engkau yang sudah bergelimang dosa, pernah melakukan segala macam kejahayan sehingga dirimu berlepotan noda, kotor dan dikenal sebagai iblis betina, sekarang pura-pura menjadi orang bersih dan suci! Sungguh tidak tahu malu!"
Arya Bratadewa juga menoleh dan berseru.
"Munafik tidak tahu diri!"
Kemudian mereka bertiga pergi meninggalkan tempat itu.
Maya Dewi sejak tadi hanya berdiri dan mengikuti mereka dengan pandang matanya. Mendengar caci maki yang amat menghina itu, ia menggigit bibir lalu memejamkan kedua matanya sehingga dua titik air mata yang berada di matanya keluar dan jatuh ke atas pipinya.
"Duh Gusti Allah, ampunilah kiranya semua dosa hamba dan kuatkanlah hati hamba untuk menerima semua penghinaan ini. Hamba patut menerima semua penghinaan ini. Hamba patut menerima hukuman ini...."
Bisiknya.
Maya Dewi merasa lega lagi, terbebas dari himpitan perasaannya yang tertekan mendengar penghinaan tadi. Mulutnya dapat mengembangkan senyum lagi dan ia melanjutkan perjalanannya memasuki dusun Sampangan.
Semua penduduk yang berpapasan dengannya, memberi salam dengan ramah dan hormat kepada "Dewi"
Yang merupakan penolong dan pelindung mereka seama setahun ini. Maya Dewi lalu menuju rumah Ki Lurah Ganjar dan disambut dengan penuh kegembiraan oleh Ki Lurah Ganjar dan keluarganya.
Ketika Maya Dewi menyatakan keinginannya untuk pergi merantau meninggalkan Gua Siluman, semua orang merasa terkejut dan kecewa karena wanita ini sudah dianggap sebagai dewi pelindung mereka!
"Ah, Ni Dewi, sungguh kami merasa kecewa, menyesal dan kehilangan sekali mendengar andika akan meninggalkan kami. Akan tetapi kami tentu saja tidak berhak untuk menghalangi keinginan Andika. Akan tetapi harap Andika berhati-hati karena tadi ada tiga orang mencurigakan yang masuk ke dusun ini dan seorang di antara mereka adalah penjahat yang dulu mengganggu kami dan telah Andika usir dari Gua Siluman."
"Jangan khawatir, Paman. Mereka tadi sudah bertemu dengan aku dan sudah kuusir pergi."
"Sekarang ini keadaan sedang kacau, Ni Dewi. Kami mendengar bahwa kekacauan terjadi dimana- mana dan ada desas-desus bahwa Blambangan akan menyerbu daerah Mataram."
Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo