Ceritasilat Novel Online

Asmara Dibalik Dendam Membara 10


Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Katakan kepada Paman Adipati Surodiro bahwa kami berdua ingin menghadap karena ada urusan yang teramat penting!"

   Kata Niken dengan suara tegas. Para perjurit yang sudah mengenal gadis itu sebagai pengikut sayembara, dan juga pemuda itu yang sudah mampu mengalahkan sang adipati, segera mengawal mereka pergi ke dalam gedung kadipaten untuk menghadap Adipati Surodiro yang sudah diberitahu oleh para penjaga dan juga siap menyambut dua orang tamu itu. Begitu bertemu, tanpa menanti penggunaan salam menyalam seperti biasanya orang bertemu, Niken sudah langsung saja menghardik.

   "Paman Adipati Surodiro! Tidak kusangka seorang adipati seperti andika ini tidak merasa malu untuk bertindak curang!"

   Adipati Surodiro memandang Niken dengan alis berkerut dan matanya mengeluarkansinar marah.

   "Hem, apakah maksudmu datang dan menuduhku seperti itu?"

   Bentaknya. Budhi lalu melerai.

   "Begini, Paman adipati. Ketika kami ditengah jalan kami memeriksa Kyai Tilam Upih yang saya terima dari paman, ternyatalah bahwa keris pusaka itu adalah keris pusaka palsu! Nah, bagaimana paman akan mempertanggung-jawabkan kenyataan ini?"

   Niken mengambil keris pusaka itu dan melemparkan kepada sang adipati yang segera menangkapnya dengan tangannya. Agaknya memang dia sudah menduga bahwa dua orang muda itu tentu datang untuk membicarakan urusan itu, maka diapun telah menati dan menyambut seorang diri saja, tanpa ditemani seorangpun. Juga tidak nampak Wijaya dan Wulansari, dua orang muda, murid dan puterinya, yang paling dipercayainya. Adipati Surodiro menghunus keris pusaka itu dan memasukkannya kembali, menghela napas panjang. Lalu berkata,

   "Tadinya kuharapkan andika tidak akan tahu akan kepalsuan benda ini, anak mas Budhi. Akan tetapi ternyata dugaanku keliru dan baiklah, akan kuceritakan semua yang telah terjadi kepada andika berdua."

   "Harap saja cerita paman tidak dibuat-buat dan meyakinkan!"

   Kata Niken dan sang adipati menghela napas sambil tersenyum.

   "Peristiwa ini kurahasiakan dari siapapun juga, bahkan puteriku sendiri tidak mengetahuinya. Kurang lebih sebulan yanga lalu, jauh sebelum aku mengumumkan akan mengadakan sayembara perebutan Tilam Upih, pada suatu malam, kamarku dimasuki sesosok tubuh manusia. Kukira hanya maling biasa, akan tetapi ternyata ketika hendak menangkapnya, dia seorang yanga amat sakti. Karena dia mengenakan sebuah topeng di mukanya, aku tidak mengenalnya, hanya tahu dia seorang yang bertubuh sedang dan tegap. Dialah yang mencuri Tilam Upih dan meninggalkan penggantinya, yang palsu itulah. Aku telah mengerahkan seluruh kepandaianku, akan tetapi aku tidak berdaya melawannya bahkan aku dipukulnya sampai pingsan!"

   "Apakah paman tidak berteriak mainta bantuan para pengawal?"

   Tanya Niken.

   "Tadinya aku merasa malu untuk minta bantuan. Bagaimana mungkin aku, Adipati Nusa Kambangan, berteriak-teriak menghadapi seorang pencuri saja. Dan akhirnya aku terpukul pingsan, dia lari membawa pusaka itu dan meninggalkan yang palsu. Aku merahasiakan peristiwa yang kuanggap amat memalukan dan memukul nama besarku itu."

   Budhidarma lalu menghela napas dan berkata,

   "Jadi karena pusaka itu telah hilang dan ditukar yang palsu, maka paman lalu mengadakan sayembara ini?"

   Wajah adipati itu menjadi kemerahan.

   "Aku merasa amat sakit hati kepada maling itu, akan tetapi tidak berdaya. Maka, aku lalu mengadakan sayembara itu. Orang yang akan dapat memenangkan aku tentu akan mampu mencari maling yang telah melarikan Tilam Upih itu. Andika yang telah mengalahkan aku, anakmas Budhi dan sekarang aku telah berterus terang. Oleh karena itu, aku berharap andika yang akan mampu menemukan maling itu dan merampas keris pusaka Tilam Upih."

   Tiba-tiba Niken bangkit berdiri,

   "Aku tidak percaya omonganmu, paman. Engkau tentu telah menyembunyikan Tilam Upih yang asli dan menyerahkan yang palsu! Kalau engkau tidak mengeluarkan yang asli, jangan salahkan aku kalau aku memaksamu dengan kekerasan!"

   Gadis itu sudah siap untuk menyerang.

   "Hemm, aku tidak berbohong!"

   Kata Adipati Surodiro.

   "Siapa percaya akan dongeng itu?"

   Bentak pula Niken akan tetapi Budhi segera bangkit dan berkata kepada Niken dengan suara halus.

   "Niken, aku percaya kepada cerita paman adipati. Maka, marilah kita pergi dari sini!"

   Dia menerima kembali keris dari surodiro. Niken cemberut, akan tetapi terpaksa ia keluar dari ruangan itu tanpa pamit seperti yang dilakukan Budhi, dan tak lama kemudian mereka telah menyeberangai pula Selat Nusa Kambangan itu dan mendarat di pantai Lautan Kidul. Setelah turun ke darat, Niken marah-marah kepada Budhi. Tadi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena tanpa bantuan Budhi, ia tahu bahwa ia tidak berdaya menghadapi Adipati Sudrodiro, apalagi di kadipaten itu terdapat banyak pasukan yang tentu akan mengeroyoknya.

   "Budhi, aku tahu sekarang mengapa engkau begitu mengalah dan percaya kepada Surodiro. Padahal aku yakin dia pasti berbohong dan Tilam Upih tentu masih di tangannya!"

   "Tidak mungkin, Niken. Kalau Tilam Upih masih berada di tangannya, lalu mengapa dia mengadakan sayembara? Tidak, keterangannya tadi tentu benar."

   "Lalu kemana engkau akan mencari orang aneh penuh rahasia itu? Engkau hanya tahu bahwa dia

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   berkedok dan berkepandaian tinggi. Bagimana engkau bisa tahu atau menduga siapa adanya orang yang mencuri keris pusaka itu?"

   "Aku akan mencarinya dan akan hasilnya, terserah kepada Hyang Widhi. Akan tetapi aku yakin bahwa kejahatan akan berakhir dengan kekalahan, Niken."

   "Hemm, kurasa engkau memang sengaja mengalah kepada Surodiro karena engkau jatuh cinta kepada puterinya!"

   "Ah, jangan menuduh yang bukan-bukan, Niken!"

   "Siapa menuduh? Engkau terang-terangan ditipu oleh Adipati Surodiro, akan tetapi engkau tidak marah bahkan membelanya. Apalagi yang menjadi sebab kalau bukan karena engkau jatuh cinta kepada Wulansari? Ia memang cantik menarik. Huh, muak aku melihatmu!"

   "Niken...!"

   Akann tetapi gadis itu sudah melarikan diri dengan cepat tanpa menengok lagi kepada dan Budhi hanya mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya sambil menghela napas panjang berkali-kali. Entah mengapa, dia merasa tiba-tiba suasana hatinya menjadi sunyi sekali setelah ditinggalkan Niken yang galak itu. Ketika Niken berada bersamanya, dia merasa segala sesuatu serba lengkap dan menyenangkan. Inilah yang dinamakan cinta? Dia menghela napas lagi dan tidak mampu menjawab.

   "Bagus, aku masih dapat menyusulmu di sini, Budhi!"

   Tiba-tiba terdengar seruan nyaring. Budhi menengok dan melihat Wijaya telah meloncat dari perahunya dan berada di depannya. Wajah pemuda yang gagah jantan itu nampak kemerahan dan matanya mengeluarkan sinar mencorong penuh kemerahan. Karena sudah mengenal pemuda ini dan dia merasa suka, Budhi tersenyum menyambutnya, bukan menghampiri sehingga mereka berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari dua meter.

   "Ah, kiranya engkau, Wijaya? Ada keperluan apakah engkau menyusul aku? Apakah engkau diutus oleh paman adipati?"

   "Tidak ada yang mengutusku! Aku sengaja mengejarmu karena aku mepunyai urusan pribadi yang harus diselesaikan di antara kita sekarang juga!"

   "Urusan antara kita berdua? Eh, ki sanak, urusan apakah itu? Aku merasa tidak mempunyai urusan apapun denganmu."

   "Tidak perlu banyak cakap lagi, Budhidarma. Engkau datang dan memasuki sayembara, hndak merampas diajeng Wulansari dari tanganku! Hemm, aku akan mempertahankan dengan nyawaku!"

   Kata pemuda gagah itu dengan geram. Budhi terbelalak, akan tetapi lalu teringat betapa sang adipati pernah membujuknya untuk suka menikah dengan Wulansari. Kini tahulah dia. Pemuda ini mencintai Wulansari dan cemburu kepadanya. Tentu karena mendengar tentang maksud sang adipati mengambilnya sebagai mantu! Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada pemuda ini yang demikian gagah dan jantan. Bahkan sikapnya untuk "Mempertahankan"

   Wulansari sudah menunjukkan kegagaghannya dan betapa besar cinta kasihnya pemuda itu kepada adik seperguruannya itu.

   "Akan tetapi aku mamasuki sayembara bukan untuk merebut Wulansari, melainkan merebut Tilam Upih!"

   Dia membantah.

   "Biarpun demikian, tetap saja engkau juga bermaksud merebut daijeng Wulansari. Buktinya, paman adipati hendak menjodohkan engkau dengan Wulansari dan sikap Wulansari terhadap diriku sama sekali berubah setelah engkau memenangkan sayembara itu! Sudahlah, Budhidarma, tidak perlu banyak cakap lagi. Sekarang kita hanya berdua di sini, kita perebutkan Wulansari dengan taruhan nyawa. Engkau atau aku yang mati dan siapa menang dia akan mendapatkan Wulansari."

   "Gila...!"

   Kata Budhi akan tetapi ucapannya itu disambut serangan oleh Wijaya yang sudah menjadi marah bukan main. Cemburu memang suatu perasaan yang amat aneh. Dapat membuat orang yang betapa lemahpun menjadi kuat dan yang penakut menjadi pembarani, juga dapat membutakan mata pikiran sehingga dia tidak akan memperdulikan segala macam pertimbangan lagi. Diserang secara dahsyat itu, Budhi mengelak. Dia tahu bahwa bicara dengan pemuda yang kalap itu tidak akan ada gunanya lagi, maka dia terus mengelak walaupun lawan menghujankan serangan bertubi-tubi. Dia merasa kasihan kepada Wijaya, maka tidak tega untuk membalas. Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Wulansari telah berada di situ.

   "Kakang Wijaya, apa yang kau lakukan ini?"

   Bentaknya kepada kakak seprguruannya, akan tetapi agaknya Wijaya sudah tidak mau mendengar lagi dan bahkan menyerang semakin dahsyat. Kini Wijaya bahkan sudah mencabut sebatang keris dan menyerang dengan kerisnya! Budhi tetap hanya mengelak dan kadang menepis keris itu dengan tangannya, akan tetapi tetap saja tidak mau membalas.

   "Kakang Wijaya, hentikan itu!"

   Teriak pula Wulansari. Dan tiba-tiba gadis itu terbelalak heran. Ia melihat Budhi terhuyung, terkena tamparan tangan kiri Wijaya! Hampir ia tidak dapat percaya! Bagaimana mungkin Wijaya dapat membuat pemuda sakti yang telah mengalahkan Ayahnya itu sampai terhuyung dengan sebuah tamparannya! Agaknya bukan Wulansari saja yang terkejut dan heran. Wijaya sendiripun heran, akan tetapi dia girang sekali dan mendesak terus dengan kerisnya dan tamparan tangan kirinya. Dan kini Budhi benar-benar terdesak hebat. Pemuda ini hanya mampu mengelak dan menangkis terus mundur.

   "Desss...!"

   Sebuah pukulan tangan kiri mengenai dada Budhi dan pemuda itu terpelanting dan terjengkang. Melihat dia dapat merobohkan lawan, Wijaya merasa bangga sekli, dia dapat mengalahkan Budhi, di depan Wulansari lagi! Dia bertolak pinggang dan berkata dengan lagak amat gagah.

   "Budhidharma! Bangkitlah kalau engkau laki-laki!"

   Budhidarma bangkit merangkak, lalu berkata,

   "Tobat, Wijaya, aku mengaku kalah...!"

   Dan dia terus meloncat dan melarikan diri ketakutan. Melihat ini, Wulansari terbelalak dan ia lalu menghampiri Wijaya,

   "Kakang... engkau mampu mengalahkannya...!"

   Wijaya tersenyum.

   "Untuk mempertahankan dan memperebutkanmu, semua iblis, bahkan dewa sekalipun akan kuhadapi dan kulawan dengan taruan nyawaku, diajeng."

   Sementara itu, tak jauh dari situ, Budhi mengintai dari balik semak-semak dan diapun tersenyum puas. Inilah kemenangan yang paling indah baginya. Menang karena telah dapat menyatukan du hati yang nyaris terpisah. Dia memang sengaja mengalah dan dia tahu bahwa ini satu-satunya jalan untuk menyatukan dua hati kakak beradik seperguruan itu. Diapun pergi sambil tersenyum, dengan cepat meninggalkan tempat itu tanpa diketahui oleh Wijaya dan Wulansari. Di dalam kamar yang agak gelap itu, berulang kali Ki Sudibyo menghela napas panjang. Dia merasa betapa kesehatannya semakin memburuk Dan dia amat merindukan Niken. Ingin dia melihat Niken, muridnya yang terkasih itu berada di dekatnya, timbul perasaan menyesal mengapa dia memberi tugas seberat itu, mencari Tilam Upih, kepada muridnya itu.

   Biarpun Niken sudah menguasai aji Hasta Bajra, namun di dunia ini banyak terdapat orang-orang jahat yang amat pandai. Kini timbul kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau muridnya itu akan terancam bahaya dan dia sama sekali tidak berdaya. Tubuhnya sudah amat lemah dan selama muridnya itu pergi, dia hanya bersembunyi saja di dalam kamarnya, dududk bersamadhi memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar muridnya diselamatkan dari semua malapetaka, dijauhkan dari marabahaya. Dia sama sekali tidak memperdulikan lagi keadaan Gagak Seto, mempercayakan saja kepada Klabangkoro dan Mayangmurko, dua orang muridnya tertua yang sudah dipercayanya sebagai murid-murid yang setia kepadanya. Pada suatu hari, menjelang malam, Ki Sudibyo memanggil Jinten yang melayaninya selama Niken pergi! Pelayan itu selalu siap melayaninya dan berada di luar kamarnya.

   "Jinten...!"

   Dia memanggil dan pelayan itu segera memasuki kamar. Baru sekarang Ki Sudibyo menyadari betapa kini sudah berubah. Mukanya yang manis itu dibedaki tebal, alisnya ditambah warna hitam dan kedua pipinya dan bibirnya juga diberi pemerah. Nampak cantik pesolek. Akan tetapi Ki Sudibyo diam saja karena menganggap bahwa hal seperti itu wajar saja dilakukan wanita muda.

   "Jinten, buatkan aku wedang jahe. Yang pedas, ya?"

   Kata Ki Sudibyo dan diapun terbatuk-batuk.

   "

   Badanku terasa tidak enak dan lemah sekali."

   Dia terbatuk-batuk lagi.

   "Baik, bendara, akan saya persiapkan."

   Kata Jinten dengan hormat dan lembut, akan tetapi setelah keluar dari kamar itu, pelayan ini bergegas lari ke tempat tinggal Klabangkoro yang tidak berada jauh dari rumah induk. Ia segera nampak berbisik-bisik dengan sikap manja kepada Klabangkoro.

   "Ki Sudibyo kelihatan lemah sekali dan sakit, terbatuk-batuk dan minta dibuatkan wedang jahe yang pedas."

   Ia melapor. Klabangkoro mengangguk-angguk.

   "Bagus, kini saatnya yang baik telah tiba."

   Dia mengambil sebuah bungkusan dari almari lalu menyerahkannya kepada Jinten.

   "Jinten, masukkan obat bubuk ini ke dalam wedang jahe yang akan kau hidangkan kepada Ki Sudibyo, lalu tinggalkan di kamarnya. Akan tetapi engkau harus mengintai dari luar dan melihat bahwa wedang jahe itu benar-benar telah diminumnya. Nanti aku menyusul ke sana."

   Dengan tangan gemetar Jinten menerima bungkusan itu.

   "Akan tetapi... bagaimana... kalau dia mengetahui? Aku bisa celaka!"

   "Hushh, aku ada di sini, takut apa? Cepat laksanakan, manis!"

   Dia merangkul dan mencium wanita itu yang segera nampak tabah lalu pergi meninggalkan rumah Klabangkoro untukl membuat wedang jahe yang akan dicampur dengan obat bubuk berwarna putih itu. Sementara itu, Klabangkoro cepat menghubungi Mayangmurko di pondoknya.

   "Adi Mayang murko, cepat engkau mambuat persiapan. Saatnya telah tiba untuk kita bertindak terhadap Ki Sudibyo."

   Dia lalu menceritakan pelaporan Jinten.

   "Kau tangkap tiga orang murid untuk dibawa kepada Ki Sudibyo kalau diperlukan. Aku sekarang hendak pergi dulu ke sana. Nanti engkau menyusul segera."

   "Baik, Kakang Klabangkoro."

   Kata Mayangmurko dengan gembira dan diapun cepat pergi berpisah dari kakak seperguruannya itu. Ketika Klabangkoro tiba di luar kamar Ki Sudibyo, dia melihat Jinten. Wanita ini segera menghampiri dan berbisik.

   "Wedang jahe itu telah diminum sampai habis."

   "Bagus, sekarang engkau pergilah menjauh dan jaga agar tidak ada murid dapat mendekat ke sini."

   Setelah Jinten pergi, Klabangkoro lalu membuka pintu kamar itu dan dia melihat Ki Sudibyo duduk bersila dengan alis berkerut dan mulut menyeringai seperti menahan rasa nyeri. Dengan jantung berdebar tegang dia mendekati lalu berlutut ketika Ki Sudibyo mambuka matanya.

   "Klabangkoro, mau apa engkau masuk ke sini tanpa kupanggil?"

   Ki Sudibyo menegur sambil memandang tajam.

   "Bapa Guru, saya datang menjenguk karena mendengar bahwa keadaan Bapa Guru tidak sehat."

   "Hem, siapa bilang aku tidak sehat? Aku... ahhhh..."

   Tiba-tiba Ki Sudibyo memgang dadanya dan terbatuk-batuk.

   "Bapa sakit keras, karena itu saya kira sebaiknya kalau Bapa Guru meninggalkan pelajaran Aji Hasta Bajra kepada saya agar aji itu tidak akan lenyap dan dapat dimiliki oleh ketua baru. Juga sudah sepantasnya kalau Bapa Guru mengangkat saya sekarang juga menjadi ketua sebelum terlambat."

   Sepasang mata itu terbalalak marah.

   "Klabangkoro, apa yang kau katakan itu?"

   Kini sikap Klabangkoro tidaklah sehormat tadi lagi.

   "Maksud saya, Bapa harus mengangkat saya menjadi ketua Gagak Seto dan mengajarkan Hasta Bajra kepada saya. Kalau sudah tidak keburu sebaiknya Bapa Guru menuliskannya pelajaran aji itu dalam sebuah kitab."

   "Jahanam! Berani kau berkata demikian? Mengharuskan aku?"

   Ki Sudibyo marah sekali.

   "Bapa Guru tidak perlu marah-marah, hal itu hanya akan mempercepat kamatian Bapa!"

   "Keparat!"

   Ki Sudibyo meloncat bangun untuk menyerang muridnya itu, akan tetapi tiba-tiba dia terpelanting dan mengeluh, memegangi dadanya.

   "Ha-ha-ha, andika sudah tidak berdaya, Ki Sudibyo!"

   Kata Klabangkoro dengan sikap kurang ajar.

   "Cepat angkat aku menjadi ketua dan tuliskan Aji Hasta Bajra menjadi kitab pelajaran, atau aku terpaksa menyiksamu sampai mati!"

   "Klabangkoro! Engkau yang bertahun-tahun menjadi muridku, kupercaya dan kuberi pelajaran, begiini tega...?"

   Tanyanya, hampir tidak percaya.

   "Salahmu sendiri, Ki Sudibyo. Aku yang sudah bersetia kepadamu selama bertahun-tahun, membantu menegakkan dan mambesarkan Gagak Seto, sama sekali tidak kau perhatikan bahkan engkau akan mengangkat gadis itu menjadi ketua dan mengajarkan Hasta Bajra kepadanya! Karena itu, sekarang engkau harus mengangkatku menjadi ketua dan mengajarkan Hasta Bajra kepadaku. Percuma karena tubuhmu sudah keracunan!"

   "Keracunan?"

   "Ya, dalam wedang jahe tadi!"

   "

   Sudah... jadi Jinten...?"

   "Sudah lama ia menjadi pembantuku yang setia. Dan hampir semua murid Gagak Seto juga menjadi pendukungku."

   "Tidak! Tidak sudi. Biar engkau akan menyiksa dan memnunuhku, tidak akan kuangkat engkau menjadi ketua, apalagi mengajarkan Hasta Bajra kepadamu!"

   Dia kembali bangkit berdiri, mengepal kedua tinjunya.

   "Aku akan melawanmu mati-matian!"

   Kini Ki Sudibyo menerjang ke depan. Akan tetapi dai terhuyng dan ketika Klabangkoro menangkisnya, diapun terpelanting lagi dan jatuh terduduk. Tahulah bahwa murid durhaka itu tidak berbohong. Dia telah keracuanan. Andaikata tidak keracuanan sekalipun belum tentu dia dapat menendingi muridnya karena tubuhnya sakit-sakitan dan lemah, apalagi kini telah keracunan. Dia benar-benar tidak berdaya!

   
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bunuhlah, aku tidak takut mati!!"

   Kata Ki Sudibyo dengan marah.

   "

   Nyawaku akan mengutukmu!"

   "Ha-ha-ha, hendak kulihat apakah engkau dapat menolak permuntaanku!"

   Klabangkoro bertepuk tangan tiga kali dan pintu itu terbuka. Masuklah Mayangmurko dan orang ini mendorong masuk tiga orang murid muda. Tiga orang itu terdorong dan berlutut di atas lantai.

   "Nah, Ki Sudibyo, apakah engkau masih menolak menuliskan Aji Hasta Bajra untukku?"

   Klabangkoro kini mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu Pecut Dahono dan mengancamkan senjata itu di atas kepala tiga orang murid muda itu. Melihat itu, Ki Sudibyo memandang marah dan akhirnya dia menghela napas panjang.

   "Bebaskan mereka, aku akan menuliskan aji itu."

   Aakhirnya dia berkata. Bagimanapun juga tidak mungkin dia mau mengorbankan nyawa tiga orang murid muda yang tidak berdosa itu.

   "Adi Mayamurko, bawa mereka keluar!"

   Kata Klabangkoro, dan sambil tartawa Mayangmurko mabawa tiga orang tawanan itu keluar dari dalam kamar. Klabangkoro ternyata sudah mempersiapkan segalanya. Dia sudah membawa kertas serta alat tulis dan menyerahkan semua itu kepada Ki Sudibyo. Dengan dijaga dan ditunggui Klabangkoro, Ki Sudibyo menuliskan aji Hasta Bajra di atas kertas kosong itu. Sampai pagi barulah tulisannya selesai dan setelah memeriksa tulisan itu dengan girang Klabangkoro tetawa dan memasukannya ke dalam balik sabuknya.

   "Klabangkoro muri murtad. Sekarang jangan ganggu aku lagi. Keluarlah!"

   "Ha-ha, tidak semudah itu, Ki Sudibyo. Biarpun engkau telah menuliskan Aji Hasta Bajra, Bagimana aku dapat yakin bahwa tulisan itu tidak palsu?"

   Aku harus menahanmu sebagai sandera sampai terbukti bahwa tulisan ini tidak palsu. Aku akan mempalajarinya lebih dulu dan engkau boleh menunggu dalam tahanan bawah tanah yang sudah kubuat untukmu, ha-ha-ha!"

   "Murid jahanam!"

   Ki Sudibyo mengutuk akan tetapi dai tidak berdaya ketika Klabangkoro memegang dan menarik lengannya, memaksanya berdiri dan mendorongnya keluar dari rumah menuju ke bukit di kebun belakang. Di situ ternyata telah dibuatkan sebuah penjara bawah tanah dan Ki Sudibyo dimasukkan ke dalam tahanan bawah tanah ini dan dijaga secara bergiliran oleh lima orang anak buah Klabangkoro!

   Ki Sudibyo menderita sengsara sekali. Klabangkoro memeng memberi obat penawar untuk racun yang dicampurkan dalam wedang jahe itu. Akan tetapi tubuh orang tua ini memang sudah lemah karena tidak sehat lagi. Di dalam kamar tahanan itu, setiap hari dia hanya duduk bersila atau tiduran. Akan tetapi dia tetap bersabar dan makan hidangan yang disuguhkan agar tidak mati kelaparan. Bagaimanapun juga, dia masih mempunyai harapan, yaitu menunggu kembalinya Niken Sasi. Murid tercintanya ini tentu akan mencarinya, dan dia merasa yakin bahwa akhirnya Niken Sasi yang akan dapat menolongnya keluar dari neraka itu. Harapan Ki Sudibyo memang tidak sia-sia. Kurang lebih satu bulan setelah ia dikeram ke dalam tahanan bawah tanah, pada suatu pagi datanglah Niken Sasi di perkampungan Gagak Seto di lereng Gunung Anjasmoro!

   Pada waktu itu semua murid Gagak Seto, baik yang menjadi anak buah Klabangkoro maupun yang setia kepada Gagak Seto, menganggap bahwa Klabangkoro telah menggantikan Ki Sudibyo sebagai ketua, atau setidaknya mewakili Ki Sudibyo yang oleh Klabangkoro dikatakan telah pergi merantau tanpa memberitahu ke mana perginya. Tiga orang murid muda yang diapergunakan untuk memaksa Ki Sudibyo telah lenyap entah kemana. Hanya Klabangkoro yang tahu bahwa tiga orang itu telah mati dan mayat mereka dibuang ke dalam sebuah jurang. Dengan demikian, rahasia yang telah diperbuat atas diri Ki Sudibo hanya diketahui mereka bertiga, yaitu Klabangkoro, mayangkoro dan Jinten saja. Kedatangan Niken Sasi disambut gembira oleh semua murid Gagak Seto, kan tetapi tentu saja tiga orang itu berdebar tagang melihat munculnya dara perkasa itu Setelah saling bertukar salam dengan para murid Gagak Seto, Niken langsung bertanya kepada Klabangkoro ke mana gurunya.

   "Kakang Klabangkoro, ke mana Bapa Guru? Kenapa dia tidak berada di rumahnya?"

   "Ah, kami juga bingung memikirkan Bapa Guru, Niken. Sudah sebulan ini Bapa Guru pergi tanpa memberitahu ke mana perginya, Kami juga bingung, akan tetapi tidak tahu harus mencari ke mana."

   "Hemm, ke mana beliau pergi? Jangan-jangan beliau pergi untuk menyusul aku."

   Kata Niken.

   "Mungkin saja karena selama ini Bapa Guru mengharap-harap kedatanganmu. Akan tetapi, sebaiknya kita tunggu saja. Kurasa tidak lama lagi dia juga akan kembali."

   Kata Klabangkoro.

   Niken menerima pendapat ini dan dia menanti dengan sabar. Sambil menati kembalinya gurunya, Niken setiap hari pergi berjalan-jalan ke dusun-dusun di sekitar Gunung Anjasmoro. Dara ini memang dikenal oleh penduduk sekeliling tempat itu dan iapundi mana-mana diterima dengan Ramah oleh warga dusun. Lima hari kemudian semenjak Niken pulang, pada suatu siang muncullah seorang pemuda diperkampungan Gagak Seto. Pada siang hari itu Niken juga tidak berada di situ, sedang berjalan-jalan di sebuah dusun di kaki gunung untuk mencari durian karena waktu itu musim durian dan kaki bukit itu banyak orang menjual durian. Pemuda itu bukan lain adalah Budhidarma. Tentu saja dia segera dihadapi banyak murid Gagak Seto yang merasa heran melihat datangnya seorang pemuda yang tidak mereka kenal.

   "Ki sanak, siapalkah andika dan ada keperluan apa andika datang ke tempat kami?"

   Tanya seorang di antara para murid itu.

   "Apakah di sini perkampungan Gagak Seto?"

   Tanya Budhi.

   "Benar, siapakah andika dan apa kepentingan andika?"

   "Saya bernama Budhidharma dan kedatangan saya ini untuk bertemu dengan ketua Gagak Seto. Harap laporkan kepada ketua kalian bahwa aku mohon mengahadap karena ada urusan yang penting sekali."

   "Kau tunggulah sebentar, Ki sanak, akan kami laporkan ke dalam kepada pimpinan kami."

   Beberapa orang murid lalu pergi melapor kepada Klabangkoro dan mayangmurko yang sedang bercakap-cakap di ruangan dalam. Kedua orang itu sedang menyusun siasat bagimana mereka dapat mengalahkan Niken yang tentu saja merupakan ancaman bahaya bagi mereka. Untuk menggunakan kekerasan terhadap dara itu, mereka belum berani.

   Biarpun Klabangkoro sudah mempelajari aji Hasta Bajra dari catatan yang dia dapatkan dari Ki Sudibyo, akan tetapi dia masih belum yakin apakah benar ilmu yang dipelajarinya itu asli dan ampuh walaupun ketika dia menggerkkan kedua tangannyam, ada hawea yang dahsyat keluar dari kedua tangannya. Ketika mereka sedang berbincang-bincang itulah datang para murid yang melaporkan bahwa di luar datang seorang pemuda yang hendak bicara dengan pimpinan Gagak Seto. Mendengar ini, Klabangkoro dan Mayangmurko segara keluar dari rumah itu dan bergegas pergi ke pintu gerbang perkampungan Gagak Seto untuk menemui pemuda yang baru datang itu. Mereka melihat pemuda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi sebaliknya Budhi segera mengenal Klabangkoro. Biarpun sudah lewat sepuluh tahun, namun Klabangkoro masih seperti dulu.

   Usianya sekarang kurang lebih lima puluh tahun, tubuhnya masih tinggi besar seperti raksasa dengan sabuk kuning gading melilit pinggangnya. Kulitnya hitam dan matanya lebar. Akan tetapi yang membuat Budhi sama sekali tidak dapat melupakannya adalah sebatang pecut yang terselip di pinggangnya itulah. Orang inilah yang dulu membunuh Ibunya, bahkan hampir hampir membunuhnya pula. Kalu tidak ditolong oleh Sang Bhagawan Tejolelono, tentu dia telah tewas oleh cambuk raksasa itu. Budhi menahan gejolak jantungnya yang terasa panas teringat akan kematian Ibunya. Akan tetapi dia lalu teringat pula akan nasihat gurunya. Tidak, dia tidak boleh membiarkan hati akal pikirannya bergelimang dengan dendam. Pembunuh ini hanyalah seorang pesuruh, dia harus dapat bicara dengan orang yang menyuruh raksasa ini membunuh Ibunya dan mengapa Ibu dan Ayahnya mereka bunuh.

   "Hemm, orang muda! Siapakah andika dan mau apa ingin bertemu dengan ketua kami?"

   "Nama saya Budhidarma dan saya hanya mempunyai kepantingan dengan ketua Gagak Seto. Oleh karena itu, saya hanya mau bicara dengan ketua Gagak Seto. Harap laporkan kepada ketua andika."

   Kata Budhi dengan tenang dan menahan kesabarannya. Klabangkoro menjadi marah.

   "Hemm, orang muda! Ketua kami sedang tidak berada di rumah, sedang pergi dan selama dia pergi, akulah yang menjadi ketuanya. Maka, apa keperluanmu katakan saja kepadaku!"

   "Tidak, kalau ketuanya tidak ada sekarang, lebih baik lain kali saja,"

   Jawab Budhi sambil membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu.

   "Tahan!"

   Bentak Klabangkoro marah.

   "Sudah kukatakan, akulah ketuanya. Akulah ketua Gagak Seto! Hayo katakan apa keperluanmu atau kami akan menghukummu karena engkau telah berani lancang memasuki tampat kami!"

   "Aku tidak ingin berurusan dengan segala macam pembunuh dan anak buah melainkan dengan ketuanya!"

   Kata Budhi yang juga marah.

   "Keparat kurang ajar!"

   Klabangkoro lalu membantak marah dan dia sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah dada budhi. Budhi yang bagaimanapun juga pernah dihajar orang ini, cepat miringkan tubuh dan ketiak kepalan tangan menyambar lewat, dia mendorong dengan tangannya ke arah pundak kanan Klabangkoro. Tubuh Klabangkoro terputar dan hampir roboh! Merah sekali wajah Klabangkoro dan alisnya berdiri, matanya semakin lebar. Dia sedemikian marahnya dipermainkan di depan anak buahnya. Rasanya ingin dia menelan pemuda itu bulat-bulat!

   "Jahanam busuk, berani engkau melawan?"

   Dan tiba-tiba timbul ingatannya akan aji Hasta Bajra. Kenapa tidak dia coba aji itu kepada pemuda yang nampaknya tangguh ini? Dia lalu mengeluarkan suara menggeram, mengerahkan tenaga dari Aji Hasta Bajra yang selama ini dia latih dari catatan Ki Sudibyo, lalu memukul dengan sepenuh tenaganya.

   "Wirrrrr...!"

   Hawa panas sekali menyambar ke arah Budhi. Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa lawannya yang telah membunuh Ibunya itu amat tangguh, sudah mengelak dengan cepat ke samping. Akan tetapi tangan kedua Klabangkoro sudah menyambar lagi ke arah kepalanya, mengeluarkan hawa panas yang sama. Budhi menagkis pukulan itu dan terasa batapa tenaga pukulan lawan tidaklah berapa hebat seperti tampaknya.

   "Dukkk!"

   Tubuh Klabangkoro terdorong ke belakang dan terhuyung. Klabangkoro terkejut sekali dan merasa penasaran. Benarkah aji Hasta Bajra yang dipelajarinya itu dapat ditangkis pemuda ini? Dia merasa tidak yakin dan segera menyerang lagi, sekali ini menggunakan kedua tangannya untuk menghantam dada Budhi. Akan tetapi Budhi yang sudah mengukur tenaga lawan menerima pukulan itu dengan dadanya.

   "Bukk!"

   Dan kini tubuh Klabangkoro terpelanting sedangkan Budhi yang dipukul tidak bergeser sedikitpun. Klabangkoro terkejut setengah mati! Kalau begitu Hasta Bajra yang dipelajarinya itu palsu. Kalau asli tidak mkungkin ada orang dapat bertahan menerima pukulan itu dengan dadanya! Dengan penasaran dia lalu mencabut pecutnya sambil berteriak kepada Mayangmurko dan kawan-kawannya.

   "Maju, bunuh keparat ini! Tar-tar-tar...!"

   Akan tetapi sebelum mereka maju mengeroyok Budhi, terdengar bantakan nyaring,

   "Tahan! Jangan berkelahi!"

   Mendengar bentakan itu, semua murid Gagak Seto menahan senjatanya, bahkan Klabangkoro dan Mayangmurko juga mundur, mebiarkan Niken untuk menghadapi pemuda yang ternyata digdaya itu. Niken meloncat maju ke depan Budhi. Kedua orang ini saling pandang. Keduanya terbelalak penuh keheranan.

   "Niken...!!"

   "Budhi...!!"

   "Kau di sini, Niken?"

   "Tentu saja! Aku memang tinggal disini. Dan engkau... ada keperluan apa di sini?"

   "Aku mencari ketua Gagak Seto, ada urusan penting sekali yang harus kusampaikan kepadanya!"

   "Engkau mencari Bapa Guru Ki Sudibyo?"

   "Bapa Guru? Jadi ketua Gagak Seto itu..."

   "Beliau bernama Ki Sudibyo dab dia guruku, Budhi."

   "Ahhh...!"

   Budhi terkejut sekali sehingga dia melangkah tiga langkah ke belakang dan memandang wajah Niken dengan mata terbelalak dan wajah agak pucat.

   "Kenapa, Budhi? Ada urusan apa engkau dengan guruku?"

   "Aku hanya mau bertemu dengannya, bicara dengannya, Niken."

   "Nah, itulah, Niken. Dia tidak mau bertrus terang, hanya berkeras hendak bertemu dengan Bapa Guru, maka kami menerangnya."

   Kata Klabangkoro yang diam-diam merasa terkejut bukan main melihat hubungan yang nampaknya demikian akrab antara Niken dan Budhi. Niken menatap wajah Budhi dengan penuh selidik.

   "Budhi, kita sudah saling mengenal. Karena guruku sedang tidak berada di sini, maka engkau boleh mengatakan urusan itu kepadaku saja. Aku yang akan mewakili guruku untuk membereskan semua persoalan. Tentu engkau percaya kepadaku, bukan?"

   "Hemm, amat tidak enak kalau engkau mendengar urusan ini, Niken."

   "Tidak mengapa. Aku siap mendengarnya!"

   "Baiklah, kalau engkau memaksa. Nah, dengarkan baik-baik. Orang yang bernama Klabangkoro ini, dialh yang membunuh Ayah Ibuku! Akan tetapi karena dia hanya suruhan, maka aku masih belum bertindak keras kepadanya. Aku ingin bertemu dengan orang yang menyuruhnya membunuh Ayah Ibuku, yaitu ketua Gagak Seto!"

   Sepasang mata Niken terbelalak dan mukanya berubah pucat sekali.

   "Jadi engkau... engkau... Putera mendiang Ni Sawitri...?"

   "Bagus kalau engkau sudah tahu! Nah, aku harus membuat perhitungan dengan Ki Sudibyo yang telah mengutus murid-muridnya untuk membunuh Ayah Ibuku!"

   "Budhi, jangan lakukan itu!"

   Niken berseru, hatinya seperti ditusuk rasanya karena bagaimanapun ia tentu saja membela gurunya, akan tetapi di lain pihak iapun tahu bahwa gurunya itu telah merasa berdosa membunuh Ibu Budhi yang dulu adalah isterinya. Pada saat itu Klabangkoro dan Mayangmurko. Juga para murid lain sudah serentak maju mengeroyok Budhi.

   "Dia hendak mencelakai Bapa Guru. Bunuh dia!"

   Teriak Klabangkoro yang sudah menerjang dengan pecutnya. Diikuti Mayangmurko dan para murid yang lain. Karena melihat para murid sudah maju, Niken tidak dapat mencegahnya lagi. Tentu saja para murid itu menjadi marah mendengar bahwa guru mereka akan dicelakai orang.

   Melihat semua orang maju mengeroyoknya, Budhi lalu meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri. Dia menghendaki ketua Gagak Seto, bukan semua murid Gagak Seto. Apalagi di antara mereka terdapat Niken. Hatinya sedih bukan main dan dia mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga para murid Gagak Seto itu tidak ada yang mampu menyusulnya. Niken sendiri berdiri bengong dengan hati bingung bukan main. Bagaimana ia mampu mengalahkan Budhidarma yang hendak membalas kematian Ayah Ibunya? Akan tetapi kemudia ia teringat bahwa ia harus menceritakan segalanya kepada Budhi. Pemuda itu harus tahu apa yang sebenarnya yang membuat gurunya menyuruh Klabangkoro membunuh Ni Sawitri dan Margono. Dan harus memberitahu bahwa sebetulnya Budhi adalah anak kandung sendiri dari Ki Sudibyo. Begitu ingat akan hal ini, iapun cepat meloncat dan melakukan pengejaran. Melihat gadis itu berlari cepat mengejar, Klabangkoro cepat mengajak Mayangmurko berunding.

   "Celaka,"

   Katanya setelah mereka berada berdua saja di dalam kamar.

   "Agaknya pemuda itu adalah bocah yang dulu terlepas dari tanganku dan ditolong seorang Kakek sakti."

   Kata Klabangkoro kepada adik seperguruannya.

   "Akan tetapi, Niken sudah mengejarnya dan mudah-mudahan saja dapat membunuhnya!"

   Kata Mayngmurko.

   "Justeru itulah yang mengkhawatirkan hatiku. Mereka nampak begitu akrab. Bagaimana kalau mereka tidak jadi bermusuhan, dan Niken bahkan membantu pemuda itu?"

   "Kalai begitu kita harus cepat membunuh Niken!"

   Kata Mayangmurko.

   "Kita lihat saja nanti. Kalau Niken tidak dapat membunuh pemuda itu, kita harus cepat turun tangan. Ingat, kirim berita kepada Jinten agar ia bersembunyi terus, jangan sekali-kali keluar dari tempat persembunyiannya agar jangan sampai terlihat Niken. Demikianlah, kedua orang itu telah mengatur rencana untuk membunuh Niken andaikata Niken tidak memusuhi Budhidarma. Dan kurang lebih dua jam kemudian, Niken pulang dengan tangan Hampa.

   "Bagaimana, Niken? Apakah engkau berhasil mengejar dan membunuh pengacau yang hendak memusuhi Bapa Guru itu?"

   Niken menggeleng kepala.

   "Dia telah lari jauh dan aku kehilangan jejaknya.

   "Paman, benarkah dia itu putera dari mendiang Ni Sawitri?"

   Klabangkoro mengangguk.

   "Dahulu ketika aku mendapat tugas dari Bapa Guru, aku berhasil membunuh Ni Sawitri dan suaminya, Margono. Dan sekarang aku ingat, bocah itulah yang mengamuk dan menyerangku, dan dia tentu sudah kubunuh kalau saja tidak muncul seorang Kakek sakti yang menolongnya."

   Niken menghela napas panjang.

   "Sayang sekali Bapa Guru mengeluarkan perintah seperti itu.

   "Kau mengenal pemuda itu, Niken?"

   "Tentu saja. Dalam perjalanku beberapa kali kami bahkan saling bantu membantu dan dia adalah seorang ksatria yang gagah perkasa."

   Kata Niken dengan suara sedih dan iapun memasuki rumah induk Gagak Seto. Malam itu Klabangkoro dan Mayangmurko mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan Niken. Biarpun Niken tidak ada nafsu untuk makan enak, akan tetapi tentu saja ia merasa sukar untuk menolak penghormatan yang diberikan oleh para murid Gagak Seto itu. Dalam pesta makan enak itu, Niken berpesan kepada Klabangkoro dan Mayangmurko dengan suara sungguh-sungguh,

   "Paman Klabangkoro dan Mayangmurko, pemuda bernama Budhidarma itu adalah putera mendiang Ni Sawitri dan Margono yang telah dibunuh atas perintah Bapa Guru. Karena itu, mulai sekarang harus diatur penjagaan ketat karena aku yakin bahwa dia tentu akan berusaha membalas dendam. Sayang Bapa Guru tidak berada di sini sehingga tidak ada yang mengambil keputusan."

   "Niken, bagaimana engkau bisa tahu tentang Ni Sawitri?"

   Tanya Klabangkoro dengan heran. Niken menghela napas panjang.

   "Bapa Guru yang meberitahu kepadaku."

   Jawabnya singkat.

   "Berhati-hatilah. Budhidarma itu sakti mandraguna, jangan dilawan. Kalau dia muncul, cepat beritahu kepadaku."

   Setelah makan kenyang, tiba-tiba Niken merasa kepalanya pening dan pandang matanya melihat bumi di sekelilingnya seperti berputar. Ia bangkit berdiri dan terhuyung, memegangi dahi dengan tangan kirinya.

   "Ah, celaka...!"

   Ia mengangkat muka memandang kepada Klabangkoro, akan tetapi ia melihat wajah Klabangkoro seolah menjadi banyak dan berputaran.

   "Paman... apa... apa yang kau kau berikan padaku...?"

   Ia tergagap. Klabangkoro tertawa bergelak dan segera suara tawanya diikuti oleh tawa Mayangmurko dan para murid yang menjadi anak buah Klabangkoro. Niken mendengar suara tawa disekellingny dan kepalanya semakin pening. Akan tetapi ia segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Ia keracunan! Orang telah memberi racun pada makanannya atau minumannya!

   "Keparat! Kalian meracuni aku...?"

   Ia melompat dan hendak menyerang Klabangkoro, akan tetapi ia terpelanting karena kepalanya yang pening membuat ia tidak dapat berdiri tegak.

   Dan segera Klabangkoro dan Mayangmurko meringkusnya. Dalam keadaan nanar dan terbelenggu Niken yang setengah pingsan itu dibawa ke rumah tahanan bawah tanah. Para penjaga di situ memandang heran ketika melihat Klabangkoro dan Mayangmurko mendorong-dorong tubuh Niken yang terhuyung. Akan tetapi karena mereka juga orang-orang kepercayaan Klabangkoro, mereka tidak banyak bertanya. Apalagi ketika Klabangkoro berkata singkat bahwa Niken telah bersekutu dengan musuh yang datang mengacau. Pintu kamar tahanan dibuka dan gadis itu didorong masuk, terhuyung-huyung dan terjatuh di depan kaki Ki Sudibyo yang dduk bersila di lantai. Melihat bahwa Niken dalam keadaan setengah pingsan didorong masuk oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, Ki Sudibyo terkejut sekali dan memaki,

   "Klabangkoro, manusia laknat, murid durhaka! Apa yang kau lakukan kepada Niken?"

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir, Ki Sudibyo. Ia tidak akan mati, akan tetapi menjadi temanmu di sini sampai kalian berdua menuliskan aji Hasta Bajra yang asli untukku!"

   Setelah berkata demikian, Klabangkoro keluar dan menutupkan pintu besi itu, lalu berkata dari luar, Ki Suidibyo, jangan mencoba untuk melarikan diri atau kalian akan mati seperti seekor tilus tenggelam dalam lubang. Ha-ha-ah!"

   Setelah mereka pergi, Ki Sudibyo membangunkan Niken, mengerut tengkuk dan punggungnya, lalu menekan ulu hatinya. Niken muntah-muntah, akan tetapi merasa kepalanyatidak sepening tadi, walaupun tubuhnya masih lamas. Ketika melihat Ki Sudibyo, ia menubruk dan berlutut di depan kaki gurunya.

   Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bapa Guru...!"

   "Tenanglah Niken. Engkau telah terjebak, tentu telah diacuni mereka dan dijebloskan di sini."

   "Kiranya Bapa Guru ditahan di sini! Mereka mengatakan bahwa Bapa pergi tanpa pamit."

   "Hemm, apa saja yang terjadi, Niken? Aku setiap saat mengharap kedatanganmu, akan tetapi tidak seperti ini. Ternyata engkau juga terperangkap! Kakek itu menghela napas panjang. Niken lalu menceritakan tentang bagaimana ia terperangkap oleh Klabangkoro yang pura-pura menyambutnya dengan pesta. Sama sekali ia tidak menaruh curiga sehingga makan dan minum hidangan yang disediakan untuknya.

   "Dan Bapa Guru sendiri bagaimana sampai ditahan di tempat ini? Apa yang telah terjadi, Bapa?"

   Ki Sudibyo menghela napas panjang.

   "Ah, biadab-biadab durhaka itu! Mereka tahu bahwa aku sedang sakit dan lemas, lalu mereka meracuni aku sehingga aku tidak mampu melawan. Mereka bahkan memaksa aku untuk menuliskan aji Hasta Bajra untuk mereka pelajari."

   "Hemm, tentu Bapa tidak sudi menuliskan aji itu!"

   "Mula-mulanya aku tidak sudi. Lebih baik aku disiksa atau dibunuh dari pada memenuhi permintaan mereka. Akan tetapi mereka menangkap tiga orang murid Gagak Seto muda dan mengancam untuk mebunuh mereka di depan mataku. Bagaimana aku tega mengorbankan mereka?"

   "Jadi Bapa menuliskan juga aji itu? Pantas aku melihat Klabangkoro menjadi kuat dan agaknya sudah menguasai aji itu!"

   Ki Sudibyo mengeglengkan kepala dan tersenyu.

   "Aku tidak sbodoh itu, Niken. Aku hanya pura-pura setuju dan yang kutuliskan itu merupakan aji Hasta Bajra yang palsu. Memang ada manfaatnya di pelajari, akan tetapi tidak menjadi sehebat aslinya."

   "Ah, aganya mereka tahu pula akan hal itu dan sekarang tentu akan memaksa kita untuk menuliskan aji itu."

   "Kalau tiba saatnya, kita akan mencari akal untuk menghindar. Sekarang ceritakan bagaimana pengalamanmu mencari Tilam Upih, Niken.?"

   Niken lalu menceritakan tentang Adipati dari Nusa Kambangan yang mengadakan sayembara memperebut Tilam Upih.

   "Dia sakti mandraguna, Bapa. Aku sendiri sudah maju menandingainya, akan tetapi aku kalah..."

   "Hemm, tentu saja. Aku sudah mendengar tentang dia. Bukankah adipati itu dahulu seorang datuk besar bernama Koloyitmo, terkenal sakti, terutama sekali karena memiliki Aji Wijoyokusumo? Engkau tentu akan kalah pengalaman dibandingkan dia, Niken. Lalu, siapa yang akhirnya berhasil mendapatkan pusaka Tilam Upih memenangkan sayembara itu?"

   Niken merasa jantungnya berdebar tegang. Kalau saja ia belum tahu bahwa Budhidarma adalah putera mendiang Ni Sawitri, tentu ia tidak merasa tegang. Akan tetapi ia sudah tahu bahwa Ni Sawitri dahulunya adalah isteri gurunya ini, dan sebelum melarikan diri telah mengandung sehingga Budhidarma sesungguhnya adalah putera kandung Ki Sudibyo sendiri!

   "Kenapa engkau diam saja, Niken?"

   Tegur Ki Sudibyo yang ingin sekali mengetahui siapa pemenang sayembara dan yang berhasil mendapatkan keris pusaka Tilam Upih. Niken seperti baru sadar dari lamunannya.

   "Yang berhasil mengalahkan adipati Surodiro adalah seorang pemuda bernama Budhidarma, Bapa. Dia seorang pemuda yang sakti mandraguna dan kebetulan saja bebrapa kali pemuda itu bekerja sama denganku menghadapi gerombolan jahat. Bahkan pemuda itu menolongku dari ancaman bahaya."

   Niken lalu menceritakan pengalamannya, ketika ia singgah di temopat Jainten, kemudian ketika dijamu oleh Jinten, ia terbius tertawan orang-orang jahat. Bahkan hampir saj celaka kalau saja tidak ditolong Budhi. Tiba-tiba ia terkejut dan membelalakkan matanya.

   "Ahhh...! Baru aku teringat sekarang! Sungguh aneh sekali ketika dijamu oleh Jinten, aku keracunan, persisi seperti keadaanku sekarang ini...!

   "Hemm, tidak perlu merasa aneh, Niken. Aku dapat menduga bahwa Jinten adalah kaki tangan atau pembantu dari Klabangkoro."

   Niken tertegun, lalu mengepal tangannya dengan gemas.

   "Aih, kalau begitu si kedok hitam itu adalah Klabangkoro? Akan tetapi, ketika aku roboh pingsan, aku masih melihat bahwa Jinten juga terkulai dan keracunan."

   "Tentu saja, untuk mengelabuhimu terpaksa Jinten juga makan hidangan bercampur racun pembius. Sudahlah untung engkau terlepas dari bencana ketika itu. Lalu, bagaimana lanjutan ceritamu?"

   "Yang terakhir aku bertemu dengan Budhi yang sedang dikeroyok oleh pasukan kerajaan yang dipimpin Pangeran Panjiluwih dan Senopati Lembudigdo. Aku membantunya dan kami berdua akhirnya berhasil meloloskan diri dari pengeroyokan. Akan tetapi lalu ada terjadi hal yang merupakan kenyataan yang aneh sekali, Bapa."

   "Hemm, apanya yang aneh? Kejadian apakah itu?"

   Kami berdua mendapat kenyataan bahwa Tilam Upih yang diterima Budhi dari tangan Surodiro itu ternyata adalh keris pusaka palsu."

   Kini Ki Sudibyo yang terbelalak memandang muridnya.

   "Palsu? Ah, Adipati Surodiro mengadakan sayembara palsu apa maksudnya?"

   "Setelah mendapat kenyataan ini, Budhi dan aku pergi ke Nusa Kambangan dan langsung menanyakan kepada Surodiro. Dan diapun mengaku. Katanya, sebulan yang alau keris pusaka itu dicuri oleh seorang berkedok yang sakti mandraguna dan ditukar dengan keris yang palsu itu. Tadinya aku ingin mengamuk, akan tetapi Budhi mencegahku dan mengatakan bahwa dia percaya akan keterangan Adipati Surodiro."

   Ki Sudibyo mengangguk-angguk.

   "Bukan menjadi watak Koloyitmo untuk main-main dan menipu. Tentu dia ingin melepaskan keris pusaka yang telah dipalsu oleh pencuri itu, dari pada nanti Nusa Kambangan diganggu banyak orang yang memeperebutkan Tilam Upih. Ahh, pegalamanmu banyak dan hebat pula, Niken. Biarpun engkau tidak berhasil mendapatkan Tilam Upih, akan tetapi pengalaman-pengalaman itu merupakan pelajaran yang baik sekali bagimu."

   Niken menghela napas panjang.

   "Semua itu tidak ada artinya, Bapa. Masih ada lagi peristiwa yang amat penting dan hebat belum kuceritakan kepada Bapa."

   Ki Sudibyo memandang kepada wajah muridnya penuh selidik.

   "Apakah itu, Niken? Hebat sekali engkau, belum lama pergi telah mengalami hal-hal yang hebat dan bertubi-tubi."

   "Ketika aku pulang, jahanam-jahanam itu mengatakan bahwa Bapa Guru telah pergi tanpa pamit. Aku mencari keterangan disekitar pegunungan ini samapi beberapa hari tanpa hasil dan pada suatau hari ketika aku pulan, aku melihat Klabangkoro, Mayangmurko dan para murid Gagak Seto mengeroyok seorang pemuda. Dan pemuda itu ternyata adalah Budhidharma!"

   "Hemm, tentu dia datang berkunjung untuk mencarimu. Engkau telah menjadi kawannya yang baik, bukan?"

   Karena dalam kata-kata itu terkandung nada suara penuh arti, wajah Niken menjadi kemerahan.

   "Kalau begitu halnya, tentu peristiwa itu tidak penting dan luar biasa, Bapa. Akan tetapi Budhidharma datang ke Gagak Seto untuk mencari Bapa dan bahkan untuk membunuh Bapa Guru."

   "Hahhh...? Mengapa demikian? Aku tidak mengenalnya dan tidak mempunyai urusan dengan dia!"

   "Akan tetapi Bapa mengenal Ibu dan bapanya. Tahukah Bapa siapa pemuda itu sebenarnya? Akupun baru mengetahuinya saat dia datang ke Gagak Seto itu. Dia adalah putera kandung Ni Sawitri dan hendak membalas dendam untuk kematiana Ni Sawitri dan Margono."

   Wajah Ki Sudibyo tiba-tiba menjadi pucat sekali dan dia memandang wajah muridnya seperti orang melihat hantu.

   "

   Ya Jagad Dewa Bathara...!"

   Akhirnya dia berseru.

   "Bagaimana... bagaimana engkau tahu tentang Sawitri dan Margono?"

   "Aku telah mendengar semuanya sebelum Budhi muncul, Bapa. Karena ketika bertemu dengannya dahulu kami tidak saling menceritakan riwayat kami, maka aku tidak athu bahwa dia putera Ni Sawitri. Aku sudah mendengar bahwa Bapa menyuruh Klabangkoro untuk membunuh Ni Sawitri dan Margono!"

   "Aduhhh... jangan ingatkan lagi itu kepadaku, Niken! Aku merasa menyesal sekali sejak itu terjadi. Aku hanya menyuruhnya membunuh Margono karena murid itu murtad dan pantas dihukum, akan tetapi Sawitri ikut membunuh diri... aku menyesal sekali..."

   Orang tua ini nampak berduka sekali.

   "Akupun sudah mendengar akan hal itu, Bapa. Akan tetapi melihat watak Klabangkoro yang amat jahat, bukan tidak mungkin Ni Sawitri juga dibunuh olehnya. Dan aku mengerti pula mengapa Bapa mengeluarkan perintah yang kejam itu. Karena Margono Ni Sawitri, isteri Bapa."

   Dengan kepala tertunduk Ki Sudibyo mengangguk.

   "Benar... ah, aku menyesal sekali karena kematian Sawitri, aku berdosa besar dan kalau sekarang puteranya datang mencariku, aku siap untuk mati di tangannya untuk menebus dosa..."

   Orang tua itu kini memukul-mukuldadanya dengan perasaan berduka sekali. Niken merasa kasihan, akan tetapi ia tidak dapat menahan dorongan hatinya untuk bicara terus.

   "Akan tetapi ada satu hal yang Bapa tidak ketahui, akan tetapi aku mengetahuinya."

   "Apa itu?"

   "Budhidharma itu, dia bukanlah anak kandung Margono, melainkan anak kandung Bapa Guru sendiri!"

   Mata yang tua itu terbelalak, mulut yang ompong itu terngaga, dan wajah yang keriputan itu kini menjadi semakin pucat. Beberapa detik lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara, kemudian dia memaksa diri berkata,

   "Niken...! Apa... apa maksudmu...? Demi Sang Hyang Widhi Wasa, katakan... jangan siksa aku dengan kebingungan...!"

   "Memang benar, Bapa. Ketika Ni Sawitri melarikan diri bersama Margono meninggalkan Gagak Seto, ia sudah mengandung! Jadi, Budhidarma itu adalah anak kandung Bapa Sendiri."

   "Tidak... tidak...! Bagaimana engkau bisa tahu..."

   "Aku bertemu dengan paman Ki Joyosentika dan beliau yang menceritakan semua itu kepadaku."

   "Duhhh Gusti...!"

   Tubuh Ki Sudibyo terkulai pingsan!

   "Bapa Guru...!"

   Niken lalu menekan-nekan tengkuk dan kedua pundak gurunya. Tak lama kemudian Ki Sudibyo sudah siuman dan membuka kedua matanya, Niken terkejut sekali karena melihat betapa mata itu sama sekali tidak bersinar lagi, seperti mata mayat saja. Dan rambut di kepala gurunya itu mendadak berubah putih semua!

   "Duhai Sawitri... ampunkan aku... aku telah buta dan kejam kepadamu. Sawitri... ampunkan aku...!"

   Orang tua itu lalau menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil. Niken tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia merangkul gurunya dan juga dari kedua matanya mengalir air mata. Ia tahu bahwa gurunya telah melakukan kekejaman, akan tetapi hukuman yang diterima gurunya ini jauh lebih menyakitkan lagi.

   "Sekarang aku rela, aku mengerti... mengapa para dewa menghukumku seperti ini... ah, Sawitri, bagaimana aku harus menjelaskan kepada anak kita...? Budhidharma... betapa indahnya anama anakku..., keturunanku... tapi... tapi dia hendak membunuhku. Ke sinilah anaku, tikam jantung Ayahmu yang jahat ini...!"

   Dia mengeluh, merintih dan menangis, akhirnya jatuh pingsan lagi.

   "Bapa Guru...!"

   Niken mengeluh penuh perasaan iba. Kini dibiarkan gurunya karena dalam keadaan seperti itu lebih baik dibiarkan gurunya tak sadarkan diri karena justeru kesadarannya yang menyiksanya. Segala macam perasaan suka duka kecewa marah benci dan sebagainya adalah permainan pikiran. Pikiran yang mengolah semua itu sehingga orang dikuasai oleh bermacam perasaan itu.

   Kalau pikiran itu tidak sadar, seperti dalam tidur, pingsan, maka semua perasaan itupun lenyap. Budhi merasa penasaran sekali, sama sekali tidak disangkanya bahwa Niken, gadis yang selama ini selalu menjadi menjadi buah pikirannya, yang bayangannya tak pernah meninggalkan hatinya, ternyata adalah murid musuh besarnya! Akan tetapi bagaimanapun juga, daia harus menjelaskan kepada Niken mengapa ia mencari Ki Sudiby, pembunuh Ayah bundanya. Harus dijelaskan kepada Niken betapa jahatnya Ki Sudibyo. Budhi tidak berlari jauh. Dia memang bersembunyi ketika dikejar Niken karena dalam keadaan seperti itu, dia tidak ingin bentruk dengan Niken, gadis yang diam-diam dicintainya. Ketika bersembunyi itu, dia teringat akan benda pemberian Ibunya, Benda perhiasan mainan berupa burung gagak. Mengapa Ibunya memberikan benda seperti itu kepadanya?

   Kenapa Ibunya mengatakan agar dia tidak membalas dendam kepada Gagak Seto dan benda itu akan mencegah dia dibunuh oleh Gagak Seto? Apa hubungan benda ini dengan Ibunya dan Gagak Seto? Semua itu pasti akan terungkap setelah dia berhadapan dengan ketua Gagak Seto. Kini dia telah tahu bahwa ketua Gagak Seto bernama Ki Sudibyo. Benarkah Ki Sudibyo meninggalkan Gagak Seto, tidak berada di rumah? Atau hanya alasan saja dari para muridnya agar diatidak menemuinya? Dia harus menyelidikilagi dan kalau mungkin bertemu secara baik-baik dengan Niken. Akan dijelaskan semuanya kepada Niken agar gadis itu dapat mempertimbangkan niatnya bertemu dengan Ki Sudibyo, bahkan membantu pertemuan itu. Pada suatu malam, beberapa hari kemudian, Budhi berkunjung ke perkampungan Gagak Seto.

   Sekali ini kunjungannya tidak terang-terangan karena dia tahu bahwa kalau dia berkunjung begitu saja, dia akan dihadapi pengeroyokan puluhan orang. Kalau terjadi keributan begitu, dia tidak sempat bicara dengan Niken dan kalau Niken ikut mengeroyoknya, akan sukarlah dia untuk dapat mengalahkan mereka yang jumlahnya begitu banyak. Apalagi kalau Ki Sudibyo yang kabarnya sakti itu muncul. Budhi mempergunakan kepandaiannya untuk melompati pagar yang mengelilingi perkampungan Gagak Seto tanpa terlihat oleh para penjaga. Dia berindap-indap menghampiri rumah induk karena tahu bahwa di situlah tentu sang ketua berada, juga Niken. Jantungnya berdebar juga ketika dia berhasil memasuki ruangan belakang yang nampak sunyi saja. Dan dari ruangan belakang itu dia masuk ke ruangan dalam yang gelap. Tiba-tiba terdengar suara orang,

   "Selamat datang orang muda. Kami telah menetimu di sini!"

   Dan nampaklah sinar lampu dinyalakan orang sehingga ruangan yang tadinya gelap itu menjadi terang. Budhi melihat di situ telah duduk dua orang yang bukan lain adalah Klabangkoro dan Mayangmurko. Budhi siap untuk menhadapi pengeroyokan, akan tetapi Klabangkoro berkata sambil menyeringai,

   "Tenanglah, Budhidarma. Kami bukan musuh-musuhmu. Duduklah dan mari kita bicara!"

   Akan tetapi Budhi tetap waspada walaupun dia kelihatan tenang saja dan tidak ragu untuk memnuhi permintaan Klabangkoro untuk duduk di atas bangku berhadapan dengan mereka berdua.

   "Hemm, Klabangkoro, bicaramu tidak masuk akal. Bagaimana aku tidak menganggap engkau sebagai musuhku setelah engkau membunuh Ayah dan Ibuku, bahkan nyaris pula membunuhku sepuluh tahun yang lalu?

   "Ah, aku percaya engkau tentu sudah mengetahui bahwa aku hanyalah seorang suruhan. Sebagai murid Ki Sudibyo tentu saja aku tidak berani menentang perintahnya. Dialah yang memerintahkan aku melakukan pembunuhan itu. Tidak ada persoalan pribadi antara aku dengan orang tuamu. Oleh karena itu, semua kesalahan berada di pundak Ki Sudibyo. Dialah musuh besarmu yang sesungguhnya!"

   "Klabangkoro, apa maksudmu dengan semua kata-kata ini? Aku sama sekali tidak percaya kepadamu dan tentu semua kata-katamu ini merupakan jebakan yanga akan mencelakakan aku!"

   Budhi menatap tajam wajah kedua orang itu. Dari wajahnya saja dia sudah dapat menduga bahwa duao orang yang duduk di depannya ini adalah orang-orang yang menjadi hamba nafsu dan yang tidak segan melakukan

   

Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini