Asmara Dibalik Dendam Membara 11
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
(Lanjut ke Jilid 11)
Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
segala macam bentuk perbuatan jahat untuk memnuhi kehendak nafsunya. Oleh karena itu dia bersikap waspada dan hati-hati sekali.
"Ha-ha-ha, orang muda, agaknya andika masih curiga kepada kami. Terus terang saja, kami sendiri merasa tidak setuju ketika guru kami mengutus kami untuk membunuh Margono dan Ni Sawitri. Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah saudara-saudara seperguruan kami,. Kami merasa menyesal sekali dan untuk membuktikan penyesalan kami, kami bersedia untuk memberitahu kepadamu di mana persembunyian Ki Sudibyo."
Budhi terkejut dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia tidak percaya begitu saja.
"Hemm, benarkah itu? Dan di mana dia bersembunyi?"
"Hemm, tanpa petunjuk dari kami, tidak mungkin andika bisa menemukan tempat persembunyiannya itu. Dia bersembunyi di bawah tanah."
"Kalau benar semua katamu, tunjukkan padaku di mana tempat itu!"
Kata Budhi.
"Tidak mudah mendatangai tempat itu malam-malam gelap begini, Budhidarma. Besok pagi, datanglah ke belakang perkampungan ini dan kami akan menjadi petunjuk jalan."
"Baik, aku pergi sekarang!"
Kata Budhi yang hendak menguji kejujuran mereka. Dia lalu pergi dan ternyata benar saja, tidak ada yang menghalanginya meninggalkan perkampungan itu. Malam itu, di sebuah bilik pondok seorang petani di lereng bukit, Budhi tidak dapat tidur, memikirkan keanehan itu. Melihat sikap mereka yang tidak menghalanginya, agaknya mereka itu berkata benar. Akan tetapi mengapa? Mengapa mereka hendak mengkhianati guru mereka sendiri? Benarkah karena penyesalan? Ataukah karena takut akan balas dendamnya sehingga sengaja berbuat baik menolongnya agar terlepas dari pembalasan dendamnya? Dia tidak peduli. Yang penting baginya dapat bertemu dengan ketua Gagak Seto! Dengan pikiran itu akhirnya Budhi dapat tidur pulas juga.
"Bapa, apakah benar-benar tidak ada jalan keluar dari sini? Bagaimana kalau kita menggunakan Hasta Bajra, menjebol pintu besi itu dan menyerbu keluar?"
"Jangan, Niken. Selain pintu besi itu kokoh kuat dan dindingnya terbuat dari batu, juga kalau kau lakukan itu kita berdua akan mati bagaikan dua ekor tikus dalam lubang. Ketahuilah, tempat ini dapat dialiri air yang besar sekali sehingga kita akan tenggelam. Bendungan itu ada di tangan mereka. Sekali kita berusah lari dan mereka membuka bendungan, tempat ini akan penuh air. Sudah kuselidiki selama berbulan-bulan ini dan jelas tidak ada jalan keluar, kecuali kalau mereka yang membuka pintu. Juga di luar tempat tahanan ini dijaga ketat."
Niken mengerutkan alisnya.
"Kalau begitu, apakah kita harus menyerah begitu saja dan mati di tempat ini Bapa?"
"Tentu saja tidak! Akan tetapi kita harus memakai perhitungan. Mereka masih terus mengirim makanan dan minuman, itu berarti mereka bekum menghendaki kita mati. Dan aku tahu bahwa mereka masih mengharapkan penulisan aji Hasta Bajra yang tulen. Kita tunggu saja. Kalau sewaktu mereka lengah dan berani datang ke sini, barulah engkau boleh menyergap mereka dan dengan demikian dapat memaksa mereka mengeluarkan kita."
Terpaksa Niken menaati gurunya karena memang tidak ada jalan keluar lagi. Dua hari kemudian, pada malam hari mereka mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tahanan. Dan tak lama kemudian, dalam keadaan gelap, seorang didorong masuk ke dalam kamar tahanan yang ditutup kembali. Niken tidak sempat menyerbu keluar karena selain gelap, juga ia tidak tahu siapa orang yang didorong masuk. Orang itu merintih. Ki Sudibyo meraba-raba. Ternyata dia seorang pria
"Siapa andika?"
Ki Sudibyo bertanya ketika melihat betapa orang itu luka-luka, bahkan terluka parah di bagian kepalanya yang berdarah. Dengan suara lamah, orang itu berkata,
"Adi Sudibyo..., ini aku..."
"Kakang Joyosentiko...!"
Ki Sudibyo mengenal suara itu dan merangkul.
"Apa yang terjadi, Kakang?"
"Aku... aku berusaha untuk membebaskan kalian... akan tetapi ketahuan dan aku... aku dihajar... terluka parah..."
"Ah, Kakang Joyosentiko, kenapa kau lakukan ini?"
Ki Sudibyo meraa menyesal sekali. Dalam hal aji kanuragan, ilmu kepandaian kakak seperguruannya ini memang termasuk lemah.
"Aku... aku ingin bicara denganmu. Aku mendengar bahwa anak itu telah datang, anak Sawitri... aku ingin memberitahu bahwa dia itu putera kandungmu, Sudibyo. Ketika hendak pergi, Sawitri mengatakan kepadaku bahwa ia telah mengandung. Dia anakmu..."
Suara itu terengah-engah dan semakin lemah.
"Aku sudah tahu dari Niken. Diamlah, Kakang, engkau harus beristirahat, biar kuurut jalan darahmu..."
"Per... percuma...!"
Kakek itu mengeluh. Biarpun dibanti Niken, dalam kegelapan itu Ki Sudibyo masih berusaha menolong, namun menjelang pagi, ketika matahari sudah memasuki tempat itu dari terowongan. Ki Joyosentiko menghembuskan napas terakhir.
"Keparat Klabangkoro, manusia iblis berhati busuk. Aku akan membunuhmu untuk ini!"
Kata Niken dengan marah sekali. Terdengarlah langkah-langkah kaki di luar. Mula-mula mereka mengira bahwa penjaga yang seperti biasa mengantarkan makanan untuk dimasukkan melalui jeruji besi. Akan tetapi, ternyata itu suara Klabangkoro.
"Bapa Guru, ada orang yang hendak bertemu dengan Bapa Guru Sudibyo!"
Ki Sudibyo dan Niken memandang dengan heran dan melihat Klabangkoro dan Mayangmurko berada di luar kamar tahanan dan di samping mereka berdiri Budhidharma! Pemuda itu kelihatan marah sekali, matanya mencorong seperti mata naga.
"Budhidharma, temuilah orang yang kau cari!"
Kata Klabangkoro sambil membuka pintu besi. Melihat ini, Niken berseru,
"Budhi, jangan masuk!"
Akan tetapi Budhi salah sangka, mengira bahwa Niken hendak membela gurunya. Pada saat itu Niken melompat ke pintu untuk menyerang Klabangkoro, akan tetapi ia bertemu dengan Budhi yang mendorongkan kedua tangannya sehingga tubuh Niken terhuyung dan kembali ke dalam kamar tahanan. Pintu itu segara ditutup oleh Klanbangkoro dan Mayangmurko dia bergegas meninggalkan tempat itu.
"Ki Sudibyo!"
Bentak Budhi dengan marah sambil memandang kepada laki-laki tua yang sudah berdiri di depannya itu, tidak memperdulikan lagi kepad Niken atau kepada mayat yang mengegeletak di sudut ruangan itu.
"Aku adalah Budhidarma, putera dari Margono dan Ni Sawitri yang telah kau bunuh! Aku menuntut keterangan dan tanggung jawabmu. Kenapa engkau membunuh Ayah Ibuku?"
Kedua tangan Budhi sudah gemetar dan suaranya agak gemetar pula, saking tegang hatinya.
"Budhi, tenang dan sabarlah dulu. Dengarkan penjelasanku!"
Kata Niken.
"Niken, jangan mencampuri urusan ini! Ini adalah urusan pribadi antara aku dan pembunuh orang tuaku!"
Budhi membentak Niken yang melangkah mundur dengan kaget karena tidak biasa Budhi bersikap sekasar itu kepadanya.
"Mundurlah, Niken. Biarkan aku sendiri yang menghadapinya."
Kata Ki Sudibyo dengan tenang dan dia melangkah maju menghampiri Budhi. Dua orang itu saling pandang sampai beberapa lamanya, kemudian Ki Sudibyo berkata, suaranya gemetar penuh keharuan akan tetapi sikapnya tenang.
"Budhidarma, aku merasa menyesal sekali, akan tetapi perbuatan itu telah terlanjur dan aku bersedia menerima hukumannya. Kalau engkau datang hendak membalas dendam atas kematian mereka kepadaku, Nah, lakukanlah, Budhidarama. Aku tidak akan melawan!"
Kakek itu memejamkan matanya, berdiri di depan Budhi.
"Ki Sudibyo, aku bukan seorang pengecut yang membunuh orang yang tidak melawan. Pergunakan kedigdayaanmu. Aku mendengar bahwa engkau seorang yang sakti mandraguna, mari kita selesaikan perhitungan di antara kita, akan tetapi katakan dulu kenapa engkau membunuh Ayah Ibuku!"
Tiba-tiba Niken meloncat di antara mereka dan menghadapi Budhi dengan sinar mata menyala.
"Budhi, dengar dulu!"
"Niiken, sudah kukatakan, jangan engkau ikut campur!"
Bentak Budhi.
"Tidak bisa! Aku harus ikut campur. Pertama karena dia guruku dan kedua kalinya karena engkau buta, tidak mau mendengar penjelasanku. Guruku tidak mau menjawab karena tidak ingin melukai hatimu, maka aku yang mewakili untuk meberi keterangan mengapa Bapa Guru membunuh kedua orang tuamu itu!"
"Niken, jangan...!"
Ki Sudibyo berseru.
"Harus Bapa! Dia harus mendengarnya. Baik ataupun buruk rahasia itu, orang harus mendengar kenyataan. Budhi, dengarlah. Bapa Guru menyuruh orang membunuh Margono dfan Ni Sawitri karena Ni Sawitri itu adalah isterinya yang melarikan diri dengan Margono muridnya! Dia mengutus Klabangkoro murid murtad dan isteri yang menyeleweng itu!"
Budhidharma memandang Niken dengan mata terbelalak dan wajahnya berubah merah sekali.
"Bohong! Tidak mungkin Ibuku dan Ayahku seperti... seperti yang kau tuduhkan itu...!!"
"Engkau boleh saja tidak percaya akan tetapi demi Hyang Widhi demikianlah kenyataannya. Sayang saksi utama dari kenyataan itu kini mengegletak tak bernyawa lagi di sini, dibunuh oleh Klabangkoro. Dan buka itu saja, Budhi. Ketika Ibumu, Ni Sawitri melarikan diri bersama Margono meninggalkan Gagak Seto, Ibumu itu dalam keadaan mengandung. Setelah terlahir, engkaulah puteranya, jadi Ayah kandungmu bukan Margono, melainkan Bapa Guru Ki Sudibyo."
Budhi menjerit.
"Tidak mungkin! Bohong semua itu! Dia musuh besarku! Niken, jangan coba-coba untuk membela gurumu dengan segala kebohongan itu!"
Kini Ki Sudibyo melangkah maju mendekati Budhi.
"Anakku Budhidarma..."
"Jangan sebut aku anakmu! Engkau musuh besarku yang telah membunuh Ayah Ibuku!"
Bentak Budhi marah.
"Baiklah, akan tetapi sesungguhnya, Niken tidak berbohong. Akupun baru saja mendengar tentang kenyataan ini dari mulut Kakang Joyosentiko yang tewasa ini. Kalau saja aku tahu bahwa Ibumu pergi dalam keadaan mengandung, demi Hyang Widhi, aku pasti tidak akan menyuruh orang mengejar meraka. Ah, semuanya telah terjadi. Aku sungguh mencintai Ni Sawitri, aku hampir gila ketika ia pergi. Sebagai tanda cintaku, aku memberikan benda pusaka peninggalan orang tuaku kepadanya, yaitu perhiasan berbentuk burung gagak yang kemudian menjadi julukanku dan juga nama perkumpulanku. Kalau engkau tidak percaya bahwa engkau anakku dan Ibumu itu isteriku, nah, ini dadaku. Bunuhlah aku untuk menebus dosaku."
Akan tetapi Budhi membuang muka dan berkata ketus,
"Aku tidak sudi membunuh orang yang tidak melawan!"
Akan tetapi dalam suaranya mengandung keraguan. Dia masih terkesan dengan cerita Ki Sudibyo tetntang benda pusaka yang berbentuk burung gagak yang katanya diberikan Ibunya. Benda itu kini tergantung di lehernya! Ibunya berkata bahwa benda itu akan melindunginya dari ketua Gagak Seto! Jadi benarkah benda itu merupakan pusaka bagi ketua Gagak Seto? Pada saat itu terdengar suara tawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Kalian tidak mau saling bunuh? Baiklah, kalau begitu biarlah kalian semua mati bersama!"
Mendengar ini, Ki Sudibyo dan Niken meloncat ke pintu, akan tetapi mereka tidak dapat berbaut sesuatu karena Klabangkoro ternyata berteriak dari luar dan pintu itu masih tertutup rapat dan kau t.
"Bapa, kita harus berusaha untuk mencoba meloloskan diri, tidak bisa kita menunggu mati konyol di sini!"
Berkata Niken dan iapun lalu mengerahkan, aji Hasta Bajra, kedua tangannya didorongkan ke pintu besi.
"Wuuuuuutttt... dessss...!"
Pintu besai itu terguncang keras dan batu-batuan bertebara, akan tetapi agaknya pukulan Hasta Bajra itu masih belum cukup kuat menghancurkan daun pintu baja dan dinding batu itu.
Melihat ini lalu Budhi berkata.
"Biar aku mencobanya!"
Dan diapun menggosok kedua telapak tangannya, kemudian menghantamkan kedua tangannya ke arah pintu baja.
"Wuuuuuuuuttt... darrr...!"
Pecahlah pintu baja itu dan banyak batu dinding porak poranda! Akan tetapi sebelum mereka dapat meloloskan diri, tiba-tiba terdengar bunyi air yang hiruk pikuk dan dari terowongan itu menerjang air yang banyak sekali! Mereka bertiga terkejut dan tidak dapat melawan arus air yang demikian kuatnya.
Mereka baru sampai di pintu kamar tahanan sudah disambar air dan hanyut kembali ke dalam kamar tahanan. Air demikian kuat dan banyaknya sehingga sebentar saja air sudah naik samapi ke dada mereka! Mereka tidak mungkin dapat berenang keluar kamar karena dari luar terus membanjir air yang bagaikan gelombang samudera! Kasihan sekali Ki Sudibyo yang sudah tua dan lemah tubuhnya. Dia gelagapan dan tentu sudah tenggelam kalau saja Niken tidak menyambar lengannya. Kini air naik terus dan terpaksa mereka bertiga menggerakkan kedua kaki dan tangannya untuk mencegah agar tubuh mereka tidak tenggelam. Air sudah lebih dalam dari tubuh mereka dan amsih terus menyerbu masuk. Atap kamar tahanan itu tinggal satu meter lagi, dan tak lama kemudian mereka tentu akan ditelan air yang memenuhi tempat itu, dan tewas.
"Niken...! Budhi...! Cepat kalian mengerahkan tenaga untuk menerjangair dari pintu itu. Cepat sebelum terlambat. Jangan perdulikan diriku!"
Ki Sudibyo berteriak dengan hati khawatir sekali. Akan tetapi Niken tidak mau meninggalkan dan juga Budhi yang digdaya di daratan itu ternyata tidak begitu pandai berenang sehingga diapun sudah lemas dan sudah banyak menelan air. Ketika Niken menarik lengan gurunya, kemudia bersam Budhi mencoba untuk menerjang arus air, mereka terserempet kembali dan bahkan kepala mereka terbentur dinding sehingga mereka bertiga merasa pusing dan lemah.
"Aduh, celaka...! Niken, Budhi, sekali ini tewaslah kita...!"
Ki Sudibyo berkata sedih.
"Jangan khawatir, Bapa. Ada aku di sini yang menemanimu sampai mati sekalipun!"
"Budhidarma... Budhi..."
Ki Sudibyo berkata terengah-engah dan berusaha agar jangan menelan air.
"Untuk terakhir kalinya, percayalah engkau kepadaku? Bahwa engkau ini putera kandungku?"
Budhi juga berusaha agar tubuhnya tidak tenggelam, namun kepalanya juga pening sekali, tubuhnya mulai menjadi lemah karena kelelahan. Akan tetapi mendengar pertanyaan Ki Sudibyo, dia mengeraskan hatinya dan berkata.
"Aku bukan puteramu, engkau adalah musuh besarku yang telah membunuh Ayah bundaku!"
"Budhi...!"
Kata Niken, suaranya mengandung kemarahan, juga kesedihan.
"Maaf, Niken...!"
Kata Budhi. Mereka menggerakkan kaki mkereka terus agar jangan tenggelam, biarpun air yang sampai ke leher mereka itu kadang naik mengenai mulut dan hidung. Atap semakin dekat, hanya tinggal setengah meter lagi dan udara mulai pengap. Beberapa menit lagi mereka tentu akan tewas seperti tiga ekor tikus yang tenggelam dalam lubang.
"Budhi, kita bertiga sudah menghadapi maut. Agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi kita. Untuk yang terakhir kalinya, tidak maukah engkau mengakui Bapa Guru sebagai Ayah kandungmu?"
Tanya Niken dengan penuh penasaran. Melihat wajah Niken, hampir saja kekerasan hati Budhi runtuh, akan tetapi dia menggigit bibirnya dan berkata,
"Tidak bisa, aku tidak bisa mengakui musuh besarku sebagai Ayahku. Bagaimana aku dapat menghadap Ayah dan Ibuku di alam baka?"
"Kepala batu!"
Niken memaki dan kalau saja Budhi berada di dekatnya, tentu sudah dipukulnya pemuda itu.
"Sudahlah Niken. Biarlah aku menderita batin yang sebesarnya, ini merupakan hukumanku. Ahh, selamat tinggal Niken, Budhi..."
Agaknya Ki Sudibyo sudah putus harapan dan tidak kuat lagi mempertahankan tubuhnya agar tidak tenggelam. Kelelahan dan kedinginan membuat kaki tangannya tidak mapu lagi bertahan.
"Bapa...! Jangan putus asa dulu. Kita melawan dan bertahan sampai saat terakhir!"
Kata Niken dan ia menyambar tangan Ki Sudibyo dan menariknya kembali ke atas.
"Haiiiiiiiii...? Air menurun... tiba-tiba Budhi berseru dan Niken juga dapat merasakannya. Atap semakin menjauh. Apakah yang telah terjadi? Di luar terowongan itu, di lambung bukit, seorang pemuda menggunakan sebatang linggis untuk membongkar batu-batu di situ. Dia bekerja keras mati-matian dan pemuda itu adalah Gajahpuro! Pemuda ini amat mencintai Niken, mencintai dengan sepenuh hati, dengan sungguh-sunggu. Bahkan ketika dia disuruh Ayahnya menodai Niken ketika gadis itu tertawan, dia tidak sudi melakukannya. Dia mencintai gadis itu dengan tulus. Dia tahu bahwa Niken ditahan bersama gurunya, kemudian Budhi juga ditahan. Dia tidak akan berani melawan Ayahnya kalau yang ditahan atau hendak dibunuh itu Ki Sudibyo dan Budhi.
Akan tetapi Niken? Niken hendak dibunuh dan dia tidak mungkin tinggal diam saja. Sudah dicarinya akal untuk membebaskan gadis itu, namaun tidak juga ditemukan dan dia hampir putus asa. Akan tetapi ketika dia mendengar dari para murid bahwa tiga orang tawanan itu akan dibunuh dengan mengalirkan air ke dalam terowongan, dia mendapat akal untuk menolong Niken. Yaitu dengan membobol punggung dekat terowongan. Setelah bekerja mati-matian akhirnya dia berhasil. Dia berhasil membobol dinding dan kini air mengalir dengan derasnya keluar dari lubang itu! Saking kuatnya tekanan air maka sebntar saja lubang itu menjadi besar dan air membanjir keluar. Akan tetapi, perbuatan itu ketahuan oleh Klabangkoro yang mendapatkan laporan dari anak buahnya. Dia lari menghampiri dan memaki,
"Anak durhaka! Apa yang kau lakukan ini?"
"Ayah tidak boleh membunuh Niken!"
Kata Gajahpuro. Saking marahnya Klabangkoro menrjang dan menempiling kepala pemuda itu. Gajahpuro mengeluh dan terpelanting, pingsan!
"Buang dia ke sumur tua, biar dia rasakan hukuman itu selama tiga hari!"
Bentak Klabangkoro yang sudah marah sekali. Dia sudah girang karena menurut pertimbanganya, Ki Sudibyo, Niken dan juga Budhi tentu akan mati tenggelam. Siapa kira anaknya sendiri yang menggagalkannya. Empat orang mengangkat tubuh Gajahpuro yang pingsan untuk melaksanakan perintah pemimpin mereka. Di sebelah selatan perkampungan Gagak Seto memang terdapat sebuah sumur tua yang tidak berair dan kesanalah pemuda itu diturunkan dan ditinggalkan.
"Hayo kita serbu tempat tahanan, jangan sampai mereka meloloskan diri!"
Kata Klabangkoro pula dan bersama Mayangmurko dan para anak buah mereka berangkatlah mereka ke tempat tahanan, di gua yang berterowongan itu. Smentara itu, dengan girang sekali Niken dan Budhi mendapat kenyataan bahwa air menurun dengan cepat. Setelah air tinggal selutut dalamnya, Budhi berkata,
"Mari kita keluar cepat!"
"Mari, Bapa."
Kata Niken sambil menggandeng tangan Ki Sudibyo yang sudah lemas. Mereka bertiga memang merasa lelah sekali. Bahkan Budhi yang digdaya itupun merasa lemah dan lelah karena dia harus berjuang agar tidak tenggelam dalam waktu lama, padahal dia tidak begitu pandai berenang. Mereka bertiga terhuyung keluar dari pintu baja yang tadi runtuh terkena pukulan Budhi dan Niken. Mereka berjuang dalam air yang sudah setinggi lutut menuju terowongan untuk keluar dari goa itu. Akan tetapi tiba-tiba dari luar datang Klabangkoro, Mayangmurko dan para murid anak buah Gagak Seto.
"Hajar mereka dengan anak panah!"
Bentak Klabangkoro yang sudah mempersiapkan segalanya. Puluan batang anak panah yang dilepas mereka itu meluncur masuk ke terowongan menyambut tiga orang yang hendak melarikan diri itu. Melihat ini, Budhi menerjang maju ke depan untuk melindungi Niken dan gurunya. Dia berhasil menangkis puluhan batang anak panah sehingga runtuh, akan tetapi karena memang dia sudah lemas dua batang anak panah masih saja menerobos dan mengenai pundak dan lambungnya!
Budhi terhuyung ke belakang. Melihat ini, Ki Sudibyo yang biasanya lemah itu mendadak menjadi beringas. Melihat puteranya, putera kandungnya terluka anak panah, dia lalu menerjang ke depan sambil berteriak lantang. Murid-murid yang murtad! Berani kalian menyerangku?"
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan dia melancarkan pukulan jarak jauh yang tiba-tiba menjadi demikian kuatnya sehingga belasan orang murid Gagak Seto, terkena pukulan aji Hasta Bajra dan terpelanting keras. Yang lain menjadi jerih, apalagi ketika Klabangkoro dan Mayangmurko yang mencoba untuk maju, juga terlempar oleh pukulan ampuh itu, Klabangkoro terkejut sekali, mengira bahwa kini gurunya telah pulih kembali tenaganya. Maka iapun meneriaki para anak buahnya untuk mundur, lalu dari atas goa mereka menghujankan batu-batu besar untuk menutup goa.
Kertia Ki Sudibyo mengamuk membela puteranya, Niken menolong Budhi yang terkulai lemas. Agaknya anak panah yang mengenai tubuhnya itu adalah anak panah yang dilepas oleh Klabangkoro dan Mayangmurko. Hal ini dapat diduga karena ujung anak panah itu mengandung racun, tidak seperti anak panah lain yang dilepas para murid Gagak Seto yang tidak mengandung racun. Budhi sudah dududk bersila untuk mengatur pernapasan dan melawan jalannya racun yang terasa panas itu. Setelah semua pengeroyok mundur dan goa itu ditutup banyak batu besar Ki Sudibyo tiba-tiba menjadi lemas kembali. Dia tadi telah mengerahkan tenaga diluar batas kemampuannya yang sedang lemah, dan ini membuat dia terbatuk-batuk dan keluar darah dari mulutnya. Ki Sudibyo terluka dalam! Akan tetapi dia cepat mengusap bekas darahnya dari bibirnya dan lari menghampiri budhi.
"Bagaiman dengan dia?"
"Bapa, lukanya parah. Badanya panas sekali."
Ki Sudibyo memeriksa lalu tiba-tiba mencabut kedua anak panah itu. Budhi mengeluh dan roboh pingsan. Ki Sudibyo melihat bekas luka dan memaki,
"Jahanam Klabangkoro, dia menggunakan panah beracun. Mari, bantu aku mengangkatnya kembali ke dalam, Niken."
Air sudah surut kembali dan biarpun lantai masih basah, namun tidak ada lagi genangan air.
Budhi direbahkan di atas lantai dan Ki Sudibyo lalu duduk bersila di dekatnya. Setelah mulutnya berkemak-kemik membaca doa, dia lalu mengerahkan sisa tenaga dalamnya kepada jari-jari tangannya, kemudian dengan sepuluh jari tangannnya dia mulai mengrut tubuh Budhi, terutama di sekitar pundak dan dada yang tadi terluka anak panah. Ki Sudibyo memang mempunyai ilmu pengobatan dengan jalan mengerut jalan darah. Niken yang tidak dapat membantu hanya menonton dengan wajah khawatir sekali, Ia tidak hanya mengkhawatirkan keselamatan Budhi, akan tetapi juga mengkhawatirkan keselamatan gurunya karena ia mengerti bahwa melakukan pengobatan seperti gurunya itu membutuhkan pengerahan tenaga sakti yang banyak dan keadaan gurunya lemah sekali. Ia melihat keringat membasahi seluruh wajah gurunya, Bahkan dari ubun-ubun kepala gurunya mengepul tapi tipis.
Dengan hati-hati Niken lalu memeras saputangan sampai kering benar, lalu mengusapnya, wajah gurunya yang basah keringat itu perlahan-lahan. Dengan terharu ia mengerti bahwa gurunya berjuang mati-matian untuk menyelamatkan nyawa putera kandungnya. Setelah berjuang keras selama satu jam, akhirnya Ki Sudibyo membuka matanya dan memandang dengan girang. Dari kedua luka dipundak dan dada itu keluar darah yang berwarna agak hijau makin lama semakin banyak sampai akhirnya yang keluar darah merah. Ki Sudibyo mengeluarkan senyuman girang, melepaskan kedua tangannya, akan tetapi dia terkulai roboh dan pingsan di samping Budhi. Niken terkejut sekali. Melihat Budhi tertolong, hatinya girang, akan tetapi melihat keadaan gurunya, ia khawatir sekali. Wajah gurunya pucat seperti mayat dan napasnya terengah-engah.
"Bapa Guru...! Bapa...!"
Ia mengguncang pundak orang tua itu, akan tetapi tidak dapat menyadarkan gurunya. Saking bingung Niken lalu menangis! Entah sampai berapa lama ia mengguguk sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan ia sendiri tidak menyadari. Sebuah tangan meraba pundaknya dan suara yang lembut menyapa.
"Niken, kenapa engkau menangis?"
Niken menurunkan kedua tangannya, menoleh dan melihat bahwa Budhi rtelah siuman telah bangkit duduk dan pemuda itulah yang menyentuh pundaknya dan bertanya. Niken memandang lagi kepada gurunya. Masih seperti tadi. Pucat seperti sudah mati.
"Bapa Guru...!"
Ia menjerit dan menangis lagi. Budhi melihat keadaan Niken itu menjadi tidak tega, akan tetapi wajahnya berubah tak senang melihat Ki Sudibyo.
"Niken, tidak usah ditangisi. Gurumu itu jahat sekali, maka dia menerima hukuman dari para dewa."
Mendengar ucapan ini, seketika Niken menghentikan tangisnya. Mukanya masih basah air mata, kini kemerahan dan sepesang matanya seperti membara ketika ia memandang wajah Budhi.
"Engkau yang jahat! Engkau anak durhaka yang tidak mengenal budi orang. kau tahu? Ketika engkau terluka tadi, Bapa Guru telah mengerahkan tenaga di luar batas kemampuannya untuk melindungimu dan mengusir mereka keluar goa. Kemudian, dengan sisa tenaganya yang masih ada, Bapa Guru telah mengerahkan tenaga saktinya untuk mengurutmu dan mengeluarkan racun dari lukamu. Dia sampai kehabisan tenaga dan sekarang menggeletak pingsan seperti ini! Dan engkau mengatkan jahat?"
Budhi tertegun dan terkejut. Dia memandang kepada wajah orang tua yang mengegletak di depannya itu. Kemudian dia memandang Niken dan berkata lirih,
"Maafkan aku, Niken. Aku tidak tahu akan hal itu. Kalau begitu, dia telah berbuat baik kepadaku. Kenapa dia berbuat baik begitu?"
"Bodoh kau ! Dia itu Ayah kandungmu! Tentu saja dia rela berkorban nyawa sekalipun untukmu!"
"Hemm, dia... dia membunuh Ayah dan Ibuku!"
Kata Budhi kukuh.
"Akan tetapi hal itupun dilakukan dengan ada sebabnya. Budhi, maukah engkau memaafkan Ayah kandungmu sendiri yang amat mencintaimu?"
Budhi menggeleng kepalanya.
"Masih terbayang di depan mataku ketika Ibu disiksa kemudian Ibu membunuh diri, masih ingat aku betapa Ayahku menggeletak menjadi mayat dengan tubuh luka-luka. Aku tidak dapat memaafkan dia!"
"Budhi, kau kejam...!"
Niken menangis lagi dan memeluki tubuh gurunya yang masih belum sadar. Hatinya terasa sakit sekali. Harus diakui bahwa ia mencintai pemuda itu, akan tetapi iapun mencintai gurunya sebagai pengganti orang tuanya. Ingin ia agar Budhi berbaik kembali dengan Ki Sudibyo, dan alangkah akan bahagia hatinya kalau Ayah dan anak itu berbaik kembali, dua orang yang dicintainya menjadi rukun. Akan tetapi harapanya itu ternyata gagal. Budhi tidak dapat memaafkan Ki Sudibyo, tetap memusuhinya dan karenanya sama saja dengan memusuhinya! Sakit hati atau dendam, dan perasaan suka duka atau apapun juga dalam hati manusia, timbul dari pikirannya.
Dalam keadaan pikiran tidak berjalan atau tidak bekerja, segala macam perasaan hati itupun tidak akan timbul. Tidak ada suka duka. Tidak ada benci atau sayang, terasa dalam hati orang yang sedang tidur, karena pikirannya tidak bekerja. Dan pikiran sudah bergelimang dengan nafsu yang selalu hendak menguasai diri manusia. Karena itu pikiran membentuk si-aku dan semua ditujukan demi kepentingan dan kesenangan si-aku. Kalau si-aku merasa dirugikan, maka bencilah dia. Kalau si-aku merasa diuntungkan, maka sayanglah dia. Manusia dipermainkan dan diombang-ambingkan oleh pikiranya sendiri yang bergelimang nafsu. Berbahagialah orang yang tidak bertindak menurutkan pikiran yang bergelimang nafsu, melainkan menurutkan bisikan nurani yang lebih bersih, bisikan jiwa yang bebas dari pengaruh nafsu.
Akan tetapi mungkinkah itu? Mungkinkah manusia menjungkir-balikan nafsu sehingga bukan nafsu lagi menguasai dia, melainkan nafsu menjadi peserta dan hamba yang baik? Tentu saja mungkin, akan tetapi bukan oleh usaha pikiran, karena pikiran sendiri sudah menjadi sarang nafsu. Yang mampu menaklukan nafsu dan mengembalikan nafsu pada tugas awal yang sebenarnya, yaitu menjadi peserta manusia, adalah Kekuasaan Tuhan! Hanya dengan penyerahan kepada Tuhan sajalah, kalau Tuhan menghendaki, maka kita akan dapat terbebas dari cengkeraman nafsu, dan akan memanfaatkan nafsu sebagai pelengkap dan peserta hidup. Sebuah perahu meluncur cepat sekali, didayung oleh seorang wanita cantik, menyeberang ke Nusa Kambangan. Wanita itu berusia kurang lebih tiga puluh tujuh tahun, cantik manis dengan wajah bulat telur, jelita dan anggun.
Akan tetapi sepasang matanya amat tajam seperti burung rajawali, dan bibirnya yang manis itu tersungging senyuman yang aneh. Biarpun tangan dan lengan kecilnya saja, namun ketika ia menggerakkan dayung, perahu melesat seperti anak panah terlepas dari busurnya, menandakan bahwa tangan kecil ramping itu memiliki tenaga yang dahsyat. Wanita itu bukan lain adalah Dewi Muntari yang kini han7ya menggunakan nama Dewi saja. Dewi telah tamat belajar dari Ni Durgogini, dan ia mendapat tugas untuk mencari pusaka Tilam Upih. Mendengar bahwa pusaka itu berada di tangan Adipati Nusakambangan, Dewi langsung saja menuju ke pulau itu. Begitu perhunya menepel di daratan pulau dan Dewi meloncat ke pantai, ia segera dikepung belasan orang penjaga pantai itu. Melihat seorang waita yang begitu cantik, para penjaga pantai ini bersikap ceriwis dan kurang ajar.
"Manis, siapakah engkau dan hendak mencari siapa?"
"Jangan mencari orang lain, cari saja aku berada di sini!"
Kata yang lain. Mendengar ucapan dua orang itu, yang lain tertawa riuh gembira. Dewi mengerutkan alisnya.
"Mulut kalian busuk, pantas dihancurkan!"
Katanya tenang. Dua orang itu terbelalak sejenak, akan tetapi akhirnya tertawa dan dan yang lainpun tertawa. Seorang wanita cantik seperti itu, bagaimana hendak menghancurkan mulut mereka?
"Ha-ha-ha, biar mulutku hancur kau cium...!"
"Prakkk!"
Tiba-tiba saja, secepat kilat, Dewi menggerakkan dayung yang tadinya di pegangnya, tepat mengenai mulut orang itu dan mulut itu hancur, giginya berantakan. Orang kedua terbelalak akan tetapi kembali dayung itu menyambar dan orang kedua juga terpelanting dengan mulut berdarah-darah. Melihat ini, semua orang menjadi terkejut dan marah, dan mereka segera bergerak untuk menyerang. Akan tetapi, dengan dayung di tangannya, Dewi mengamuk dan dalam waktu beberapa menit saja belasan orang itu sudah roboh dan malang melintang terkena hantaman dayungnya. Sebagian lagi lari memberi laporan kepada Adipati Surodiro. Kini para perajurit berdatangan dan jumlah mereka puluhan orang dipimpin oleh beberapa orang panglima. Akan tetapi, melihat demikian banyaknya orang, Dewi lalu berteriak marah.
"Aku datang untuk bertemu dan bicara dengan Adipati Surodiro! Kalau kalian semua sudah bosan hidup, boleh mengeroyok aku!"
Akan tetapi karena sudah banyak penjaga yang roboh, para panglima sudah menjadi marah sekali dan mereka lalu memerintahkan para perajurit untuk mengeroyok.
Tiba-tiba terdengar lengking yang memekakkan telinga. Banyak perajurit terhuyung dan roboh mendengar teriakan melengking itu. Itulah Aji Sardulo Krodo (Harimau Marah). Aji seperti ini merupakan pekiki yang mengandung getaran penuh wibawa, seperti auman harimau yang dapat melumpuhkan calon korbannya. Banyak perajurit yang tidak kuat mendengar jerit yang mengegtarkan jantung ini dan pekik itu terdengar sampai seluruh pulau! Dewi lalu mengamuk, menggunakan dayung di tangannya. Dengan gerakan seprti burung walet, tubuhnya menyambar-nyambar dan kemanapun dayungnya bergerak, tentu ada perajurit yang roboh. Ia memang mengendalikan tenaganya dan tidak melakukan pembunuhan karena kedatangannya ke Nusakambangan bukan untuk membunuh orang, melainkan untuk mencari Tilam Upih. Tiba-tiba terdengar seruan lantang.
"Tahan semua senjata!"
Yang berseru ini adalah Surodiro sendiri. Mendengar ada wanita mengamuk diasegera datang ke tempat itu dan melihat para anak buahnya banyak yang roboh, dia menjadi marah dan menghentikan perkelahian itu. Semua anak buahnya mundur mendengar bentakan sang adipati ini dan kini Dewi berhadapan dengan Adipati Surodir. Mereka berdiri saling pandang bagaikan dua ekor harimau yang saling berlagak hendak mengadu kuatnya taring tebalnya kulit.
"Heh, wanita, siapakah andika dan mengapa andika datang mengamuk di Nusa Kambangan?"
Bentak Surodiro dengan angkuh. Bagaimanapun juga, dia tidak akan menunjukkan kelemahan di depan seorang wanita, apalagi wanita yang demikian cantiknya. Dewi mengamati pria yang berdiri di depannya itu penuh perhatian. Dari pakaiannya dia dapat menduga siapa pria yang nampak gagah perkasa, berusia lima puluh tahun ini.
"Hemm, apakah aku berhadapan dengan Adipati Surodiro sendiri?"
"Benar, akulah Adipati Surodiro?"
"Bagus andika keluar sendiri, Sang Adipati. Aku bernama Dewi dan aku sengaja datang untuk bertemu dan berbicara denganmu. Akan tetapi anak buahmu yang tidak tahu diri ini mencegah aku bertemu dengan andika, maka terjadi perkelahian ini!"
"Babo-babo, dewi! Andika datang-datang memperlihatkan kesaktian seolah tidak memandang kepadaku. Sekarang kita sudah saling berhadapan, nah, katakan, apa kehendakmu?"
"Tidak banyak, Adipati Surodiro. Aku datang untuk minta kepadamu agar pusaka Tilam Upih diberikan kepadaku."
"Kalau tidak kuberikan?"
Tantang Adipati Surodiro.
"Nusa kambangan akan kubikin karang-abang (Lautan Api)!"
Babo-babo, sumbarmu seperti dapat memecahkan gunung Mahameru! Sebelum kita bicara lebih lanjut mengenai Tilam Upih, aku hendak mencoba dulu kedigdayaanmu. Nah, bersiaplah andika melawan aku!"
"Bagus, kalau andika juga ingin bertanding, silakan! Dan karena andika tidak menggunakan senjata, akupun akan bertangan kosong saja!"
Dewi lalu mengayun dayungnya dan dayung itu menancap di atas tanah sampai setengahnya.
Dari ini saja dapat dibuktikan bahwa wanita itu ternyata memiliki tenaga sakti yang dahsyat! Ki Surodiro agaknya juga maklum bahwa lawannya bukan orang lemah, maka begitu menerjang dia sudah mengerahkan Aji Kembang Wijoyokusumo yang mengeluarkan hawa yang mengandung getaran hebat. Tangan kanannya menampar dengan jari terbuka dan ada hawa yang menggetarkan keadaansekeliling menerpa ke arah Dewi. Akan tetapi, Dewi sudah bersikap waspada. Yang dikhawatirkan hanya kalau sang adipati menggunakan keris Tilam Upih yang menurut gurunya amat ampuh menggiriskan. Kalau hanya pukulan tangan kosong saja ia tidak takut dan cepat iapun mengerahkan Aji Trenggiling Wesi yang membuat tubuhnya kebal. Ia mengangkat tangan menangkis sambil menggerakkan tenaga.
"Desssss...!"
Dua lengan bertemu dan akibatnya, Adipati Surodiro melangjkah mundur tiga langkah sedangkan tubuh Dewi hanya terguncang saja. Dalam pertemuan tenaga ini saja sudah dapat dibuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga sakti, Dewi masih menang setingkat! Dewi tidak berhenti sampai di situ saja, ia lalu membalas dan kini ia menggunakan Aji Jaladi Geni (Lautan Api), menampar dengan kanan kirinya. Serangkum hawa panas yang panas seperti api menyambar ke arah Adipati Surodiro. Orang ini terkejut dan cepat menangkis.
"Dessss...!!"
Untuk kedua kalinya lengan mereka bertemu dan sekali ini Ki Surodiro terhuyung sampai lima langkah. Tahulah dia bahwa wanita ini benar-benar sakti dan kalau dilanjutkan, dia tentu akan kalah. Biarpun dia merasa penasaran sekali, akan tetapi dia tidak mau melanjutkan karena kalau samapi dia dirobohkan oleh seorang wanita di depan semua anak buahnya, hal itu akan mendatangkan malu besar baginya.
"Elhadalah! Andika memang seorang wanita skti, Dewi. Sudah sepatutnya kalau menjadi tamuku. Mari ikut bersamaku ke kadipaten di mana kita dapat bercakap dengan leluasa!"
Dewi yang pemberani itu tidak takut akan jebakan atau perangkap.
"Baik, Adipati!"
Katanya dan mereka berdua lalu pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kadipaten. Para anak buah itu menuju ke kadipaten. Para anak buah Nusa Kambangan tentu saja Ramai membicarakan wanita sakti itu yang bukan saja amukannya telah mereka rasakan, akan tetapi juga telah sanggup menandingi Sang Adipati, hal itu sudah merupakan hal yang amat mengagumkan. Sementara itu, Dewi sudah duduk berhadapan terhalang meja dengan Adipati Surodiro. Seorang pelayan menyuguhkan minuman dan dengan berani Dewi meminumnya ketika dipersilakan. Dari gurunya ia sudah mempelajari tentang racun dan andaikata minuman itu beracun, ia sudah dapat mencium dengan hidungnya dan merasakan dengan lidahnya.
"Nah, engkau memang seorang wanita yang gagah sejati, Dewi. Katakan, apa sebetulnya kehendakmu. Engkau menghendaki Tilam Upih, untuk siapakah?"
"Hemm, hal itu tidak perlu andika tanyakan, Adipati. Aku ingin agar engkau menyerahkan Tilam Upih kepadaku, habis perkara. Apa yang akan kuperbuat dengan keris pusaka itu, adalah urusanku sendiri."
"Engkau datang terlambat, Dewi ketahuilah bahwa Tilam Upih tidak berada di tanganku lag. Apakah andika tidak mendengar bahwa aku telah mengadakan sayembara tentang Tilam Upih? ? Siapa yang dapat mengalahkan aku, memperoleh Tilam Upih!"
"Ada juga aku mendengar. Lalu, Bagaimana hasilnya?"
"Tilam upih sudah kuserahkan kepada seorang pemuda yang bernama Budhidarma dan telah dibawa pergi."
"Andika kalah olehnya?"
"Benar, dalam sayembara itu aku dikalahkan oleh Budhidharma. Karena itu, keris pusaka Tilam Upih kuserahkan kepadanya dan telah dia bawa pergi, katanya akn diserahkan kepada Sang Parbu Jayabaya."
Dewi mengangguk-angguk.
"Aku percaya keteranganmu, Adipati. Akan tetapi hati-hatilah. Kalau kelak aku mendapat kenyataan bahwa andika telah membohongiku, aku akan kembali dan tidak akan memberi ampun!"
Wajah Adipati Surodiro berubah agak pucat mendengar ancaman ini dan dia cepat berkata,
"Ada suatu rahasia yang perlu andika ketahui, Dewi. Keris pusaka Tilam Upih yang kuserahkan kepada Budhidarma itu bukanlah keris yang asli!"
Dewi terbelalak.
"Ehh? Apa maksudmu? Engkau menipunya?"
"Tidak, dia juga sudah mengetahuinya! Persolannya begini. Sekira duabulan yang lalu aku kedatangan seorang yang berkedok. Dialah yang mengambil Tilam Upih dan menukarnya dengan yang palsu. Aku berusaha menghalanginya dan aku dipukulnya sampai pingsan. Orang itu tangguh bukan main. Hal itu terjadi dalam kamarku dan tidak diketahui orang lain. Aku malu untuk bercerita kepada orang lain. Maka aku mengadakan sayembara agar orang yang dapat mengalahkan diriku kelak dapat mencari si pencuri dan merampas Tilam Upih yang asli. Nah, begitulah persoalannya dan aku berani bersumpah bahwa memang demikian keadaannya."
"Andika tidak menyembunyikan yang asli dan berpura-pura saja?"
"Mana aku berani? Kalau aku berpura-pura tentu Budhidarma tentu tidak akan melepaskan aku."
"Hemm, kita lihat saja nanti perkembangannya. Engkau tahu sendiri bahwa aku tidak akan tinggal diam seandainya engkau membohongiku!"
Setelah meninggalkan ancaman itu, Dewi lalu pergi dari pulau Nusa Kambangan, diantar oleh Adipati Surodiro sampai ke pantai. Dewi lalu mendayung perahunya dengan cepat dan mendarat di pantai Selatan. Kalau keris pusaka itu dicuri orang, kelak ia harus mencoba untuk mencari pencuri itu. Akan tetapi di mana jejaknya? Bahkan Ki Surodiro sendiri yang menghadapi pencuri itu hanya tahu bahwa dia seorang yang berkedok, yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ia mengesampingkan urusan Tilam Upih dan kini ia kembali ke Kota Raja! Masih ada dua hal penting yang harus ia kerjakan. Pertama, menyelidiki Pangeran Panjiluwih yang menurut Ki Blendu mengutus Ki Blendu untuk mebunuh ia dan suaminya.
Dan kedua, untuk mencari puterinya, Niken Sasi, yang terpisah dengannya ketika Klabngkoro dan kawan-kawannya menyerangnya. Iatidak tahu bagaimana dengan nasib Niken Sasi dan kalau ia teringat akan puterinya itu, hatinya menjadi sedih sekali, menambah kesedihannya kehilangan suaminya. Pada suatu hari, ketika ia sedang berjalan seorang diri dengan tujuan kembali ke Kota Raja, Tiba-tiba ia melihat beberapa orang penunggang kuda datang dari depan. Ia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik semak-semak karena ia tidak ingin mendapat gangguan kalau bertemu dengan orang-orang asing. Ketika rombongan terdiri dari belasan orang itu lewat, jantungnya berdebar tegang dan iapun cepat bangkit berdiri dan berlari cepat mengejar dan membayangi robongan Pangeran Panjiluwih sebagai penunggang kuda terdepan!
Penggang kuda terdepan itu memang Pangeran Panjiluwih, seperti kita ketahui, diam-diam Pangeran ini meninggalkan rombongan Senopati Lembudigdo yang kembali ke kediri dari Nusa Kambangan. Pangeran Panjiluwih diikuti belasan orang pengawal dan ditengah perjalanan dia bertemu dengan Joko Kolomurti yang sudah dikenalnya karena Joko Kolomurti dan mendiang Ayahnya, Wiku Syiwakirana juga menjadi anak buah Pangeran ini dalam persekutuan dengan perkumpulan Jambuka Sakti dan Gagak Seto yang dipimpin secara rahasia oleh seorang yang mereka sebut Kanjeng Gusti. Kini mereka bersama bersatu setelah Joko Kolomurti bercerita bahwa Ayahnya telah tewas dan perkumpulan Durgomontro di Bukit Girimanik telah dihancurkan oleh seorang gadis bernama Budhidarma.
Keduanya lalu meneruskan perjalanan menuju ke Gunung Anjasmoro untuk mengadakan perundingan dengan Klabangkoro dan kawan-kawannya. Sama sekali Pangeran Panjiluwih tidak pernah menduga bahwa ada seseorang yang membayanginya. Karena ingin tahu apa yang dilakukan oleh Pangeran Panjiluwih di Bukit Anjasmoro, Dewi tidak segera menghadapi Pangeran itu, melainkan terus membayangi sampai mereka tiba di perkampungan Gagak Seto. Pangeran Panjiluwih dan Joko Kolomurti diterima dengan hormat dan Ramah oleh Klabankoro dan Mayangmurko, lalu dipersilakan memasuki rumah induk dan mereka bercakap-cakap di ruangan dalam. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Dewi terus membayangi ke dalam perkampungan dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi Dewi dapat mengintai ke dalam ruangan itu dan mendengarkan apa yang mereka percakapan.
"Bagamana, Gusti Pangeran, apakah paduja berhasil mendapatkan Tilam Upih?"
Tanya Klabangkoro yang sudah tahu bahwa Pangeran ini ditugaskan untuk mencari Tilam Upih.
"Wah, celaka, paman Klabangkoro. Tilam Upih itu telah terjatuh ke tangan seorang pemuda bernama Budhidarma dan seorang gadis bernama Niken."
Dewi yang mendengarkan di luar merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Siapakah yang meraka bicarakansebagai Niken? Apakah puterinya, Niken Sasi? Ia menahan napas dan mendengarkan terus.
"Ha-ha-ha-ha-ha...!"
Klabangkoro tertawa bergelak sehingga Pangeran Panjiluwih mengerutkan alisnya tak senang. Dia menceritakan kegagalannya dan Klabangkoro berani menertawakannya!
"Kenapa andika tertawa, paman? Berani andika menertawakan kegagalanku?"
Dia membentak marah. Klabangkoro masih tertawa, akhirnya dapat juga bicara.
"Maaf, Gusti Pangeran. Bukan kegagalan Paduka yang saya tertawakan, akan tetapi saya mempunyai berita teramat baik dan tentu Paduka akan senag sekali mendengarnya. Ketahuilah, yang namanya Budhidarma dan Niken itu sekarang sudah berada di tangan kami!"
"Eh, apa maksudmu?"
"Mereka sudah terjebak, bersama Ki Sudibyo, di dalam Goa yang sudah kami tutup dan dijaga ketata. Mereka tidak akan mampu keluar lagi dan akan mati kelaparan di dalam."
"Akan tetapi mereka itu tangguh sekali! Bagaimana kalian dapat menagkap mereka?"
"Ha-ha-ha, kami menggunakan siasat yang cerdik. Mereka bertiga itu seperti tiga ekor tikus yang sudah terjebak dan kita hanya tinggal menanti kematian mereka saja. Kalau sudah begitu, tentu Tilam Upih yang berada di tangan mereka akan dapat Paduka miliki."
"Benarkah, paman? Ah, bagus sekali kalau begitu!"
Kata Pangeran Panjiluwih.
"Bagus! Kalau begitu dendam kematian Ayahku dan hancurnya perkumpulan kami juga ajkan terbalas impas! Gadis bernama Niken itu yang telah membunuh Ayah, dan bersama Budhidharma menghancurkan perkumpulan kami!"
Kata pula Joko Kolomurtidengan girang sekali.
"Cuma sayang sekali kalau gadis bernama Niken itu mati kelaparan begitu saja. Ia cantik jelita sekali, dan kalau bisa terjatuh ke tanganku..."
Pangeran Panjiluwih tertawa.
"Joko, engkau jangan hanya memikirkan kecantikanya saja, akan tetapi juga harus kau ingat kesaktiannya. Kalau ia dibebaskan, dengan kesaktiannya ia dapat membuat kita semua kewalahan."
"Benar sekali,"
Kata Klabangkoro.
"Gadis itu telah menguasai Aji Hasta Bajra yang berbahaya sekali. Karena itu kami menjaga tempat itu dengan ketat, khawatir kalau-kalau dengan Hasta Bajra ia akan mampu lolos!"
Dewi tidak mau mendengarkan lagi. Ia segera meninggalkan tempat persembunyiannya dan cepat ia mencari ke bagian belakang perkampungan itu. Ketika ada seorang anggota Gagak Seto lewat ia menangkapnya dan mencekik lehernya.
"Hayo katakan, di mana tiga orang itu di sekap? Di goa mana? Katakan atau akan kusiksa kau !"
Orang itu hampir tidak mampu bernapas, berkelonjotan dan berkata dengan susah payah.
"Di... di belakang perkampungan... di... dibukit itu..."
Diapun terkulai dan telah tewas karena Dewi telah memperkuat cekikannya. Kemudian ia lari menuju ke balakang perkampungan, mendaki anak bukit itu dan tak lama kemudian iapun dapat melihat sebuah goa yang tertutup banyak batu besar. Dan di depan goa itu nampak puluhan anak buah Gagak Seto melakukan penjagaan! Melihat ini, Dewi menjadi marah sekali ia meloncat danmenyerbu ke arah para penjaga itu. Gegerlah mereka!
Sepak terjang Dewi memang hebat sekali. Biarpun ia hanya bertangan kosong, akan tetapi sekali tangannya bergerak, tentu ada satu dua orang penjaga yang terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali! Setelah semua penjaga kewalahan dan jerih, lalu mundur, ia segera mulai membongkar batu-batu di dalam goa itu. Kita melihat di dalam goa. Niken sudah tidak menangisi gurunya lagi, melainkan duduk diam di sampingnya. Gurunya yang masih pingsan sepeti orang tertidur. Budhi juga duduk di dekatnya, merasa tidak enak sekali. Dia harus mengakui bahwa orang tua itu telah menyelamatkanny, bahkan telah menguras tenaganya untuk menyembuhkannya dan mengusir racun dari tubuhnya. Padahal Ki Sudibyo sendiri menderita luka yang sangat parah. Akan tetapi bagaimana dia dapat menghilangkan rasa benci terhadap orang yang telah menyuruh bunuh Ayah Ibunya?
Dia mulai berpikir. Iabunya dikatakan menyeleweng, dengan Ayahnya, Margono. Katanya Ibunya adalah isteri dari Ki Sudibyo ini, bahkan dia adalah putera Ki Sidibyo yang ketika Ni Sawitri melarikan diri bersama kekasihnya Margono, dia telah berada dalam kandungan Ibunya. Budhi menghela napas. Kalau memang demikian, Ibunya juga bersalah! Juga Ayahnya atau orang yang selama ini dianggap Ayahnya yang bernama Margono itu. Biarpun Ki Sudibyo juga bersalah, telah menyuruh orang membunuh mereka berdua, akan tetapi tindakan Ki Sudibyo bukan tanpa alasan. Karena sakit hati ditinggal pergi isterinya tersayang! Dia merasa bingung dan ragu. Ayah Ibunya, Margono dan Ni Sawitri, bagaimanapun telah tewas, dan orang ini, Ayah kandungnya yang sejati, masih hidup dan mengharapkan dia dapat memaafkannya!
"Sawitri...!"
Ki Sudibyo berbisik. Dia telah sadar dan dalam keadaan masih pening dia mengingau, memanggil-manggil isterinya.
"Sawitri... ke sinilah, isteriku... kenapa engkau begitu tega meninggalkan aku... Sawitri..."
Dan Kakek itu dengan mata masih terpejam lalu menangis! Air matanya jatuh berlinang dari matanya yang terpejam. Niken yang memandang gurunya ikut pula berlinang air mata. Budhi memandang terharu.
"Sawitri... mana anak kita... Sawitri mana... anakku? Anakku... mendekatlah... anakku... ha, maafkanlah aku, anakku... anakku..."
Orang tua itu semakin mengguguk dan dia menggerakkan tangan kanannya ke atas seperti hendak meraba-raba. Tergetarlah hati Budhi. Orang tua ini keadaanya sudah payah sekali. Kalau permintaan terakhir itu tidak dilaksanakan, mungkin dia akan mati penasaran! Orang tau ini agaknya telah memaafkan kesalahan Sawitri Ibunya, bahkan merindukannya, kenapa dia tidak dapat memaafkan kesalahannya. Niken memandangnya dengan air mata yang mengalir di kedua pipinya dan gadis itu sesenggukan. Budhi tidak tahu lagi. Dia lalu mengeser duduknya, mendekati Kakek itu dan mengulurkan tangannya, memegang tangan kanan yang seperti hendak meraba-raba itu. Kakek itu nampak terkejut, tangannya memegang kuat-kuat, lalu perlahan-lahan dia melalui air matanya melihat sipa yang memegang tangannya, dia menghela napas panjang.
"Duh Gusti terima kasih... kau... kau anakku... Budhidarma... kau memaafkan Ayahmu ini, nak...?"
Budhidarma tidak mampu menjawab. Kedua matanya juga basah dan dia mengangguk.
"Terima kasih... terima kasih Gustiku..."
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan pegangan tangan itu terlepas, Kakek itu terkulai. Niken menubruk gurunya, akan tetapi Budhidharma berkata.
"Jangan khawatir, dia tertidur."
Pada saat itu dia mendengar suara gaduh dan batu-batu yang dibongkar orang.
"Ada yang membongkar batu yang menutupi goa!"
Kata Niken sambil melompat berdiri. Budhidharma juga melompat berdiri dan mereka berdua lalu menggerakkan tenaga mendorong batu beasar yang menutupi goa. Dengan tenaga mereka berdua, mereka berhasil membongkar bata-batu itu yang mengelinding ke luar. Melihat ini Dewi menjadi Girang sekali dan iapun melompat ke dalam goa itu. Pertama-tama yang dilihatnya adalah Niken dan sejenak kedua orang wanita itu tertegun dan saling pandang seperti terpesona, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Kemudian, seperti tertarik oleh besi semberani, keduanya lari saling merangkul.
"Niken...!"
"Ibu...!"
Mereka berciuman dan bertangisan dalam rangkulan masing-masing.
"Niken Sasi, kiranya benar engkau...!"
Dewi Muntari membelai kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Ibu, kiranya Ibu yang menolong kami...!"
Pada saat itu Ki Sudbyo sadar dari tidurnya. Karena tadi hatinya merasa lega dan gembira penuh kebahagiaan, kini kesehatannya agak membaik dan tenaganya agak kuat. Dia bangkit duduk mendengar Niken menyebut Ibu kepada wanita cantik itu, dia lalu cepat menghaturkan sembah.
"Gusti Puteri, hamba Ki Sudibyo menghaturkan sembah dan ikut bergembira atas pertemuan yang membahagikan ini."
Dewi memandang kepada Ki Sudibyo dan bertanya kepada puterinya,
"Niken Sasi, Siapakah paman ini?"
"Ibu inilah Ki Sudibyo, ketua Gagak Seto yang telah menyelamatkan aku dan kemudian menjadi guruku."
"Ah, terima kasih atas budhi yang andikalimpahkan kepada puteri kami paman Sudibyo."
Kata Dewi.
"Dan pemuda ini, apakah ini yang bernama Budhidharma?"
Sejak Budhi melihat Ayahnya memberi hormat tadi, dia sudah menjadi terheran-heran. Ayahnya memberi hormat kepada wanita itu dan menyebutnya Gusti Puteri! Siapakah wanita yang menjadi Ibu kandung Niken itu? Melihat Budhi berdiri bengong saja, Ki Sudibyo yang menjawab,
"Budhi anakku, berilah hormat kepada Gusti Puteri ini. Beliau adalah Gusti Puteri Dewi Muntari, puteri dari Sang Prabu Jayabaya di Kediri."
"Ahhh...!"
Budhidharma lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Dewi.
"Hamba Budhidharma mengahatukan sembah kepada, Gusti Puteri."
"Sudahlah, tidak perlu memakai banyak aturan, lihat siapa yang berdatangan itu!"
Kata Dewi. Niken Sasi memandang ke depan dan wajahnya berubah merah saking marahnya.
"Ibu, mati kita basmi jahanam-jahanam busuk itu!"
Ternyata para anak buah Gagak Seto tadi sudah berlarian melapor dan kini muncullah Klabangkoro. Mayangmurko, Pangeran Panjiluwih, Joko Kolomurti, Belasan orang yang pengawal dan nak buah Klabangkoro, juga banyak anak buah Jambuka Sakti. Nelihat ini, Ki Sudibyo yang sudah lemah badannya itu menguatkan diri untuk berdiri, dibantu oleh Budhidarma dan Kakek ini berdiri dengan gagahnya di depan goa. Dia memandang kepada para anggota Gagak Seto dan suaranya terdengar lantang dan garang.
"Para warga Gagak Seto dengarlah baik-baik! Selama ini aku dijebak dan dikurung oleh Klabangkoro dan Mayangmurko yang memberontak dan jahat! Karena itu, aku perintahkan kalian untuk tidak lagi menurut dan tunduk kepadaperintah mereka yang murtad! Ingat, akulah ketua kalian yang belum
(Lanjut ke Jilid 12)
Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
diganti oleh siapapun!"
Para anggota Gagak Seto yang melihat Kakek ini terkejut dan baru menyadari bahwa mereka telah dibawa menyeleweng oleh Klabangkoro. Mereka menyambut ucapan Ki Sudibyo dengan aorak-sorai. Klabangkoro menjadi marah sekali. Dia mengandalkan orang-orang Jambika Sakti dan juga para pengawal Pangeran Panjiluwih.
"Haiii, kalian semua! Ingat dan lihat baik-baik siapa yang berdiri disisiku ini! Ini adalah Pangeran Panjiluwih, utusan Sang Prabu Jayabaya dan juga Puteranya! Kalau kalian berani melawan, kalian semua akan dicap pemberontak dan menerima hukuman!"
Pangeran Panjiluwih lalu mencabut Kyai Gliyeng, yaitu keris yang dia terima dari Sang Parbu Jayabaya ketika dia di utus mencari Kyai Tilam Upih. Sambil menodongkan kerisnya ke atas diapun berteriak.
"Aku adalah Pangeran Panjiluwih dan aku mewakili Kanjeng Rama Prabu Jayabaya. Siapa berani melawan aku?"
Tentu saja para anggota Gagak Seto menjadi gentar, Bahkan Ki Sudibyo sendiri surut dua langkah. Akan tetapi tiba-tiba Dewi Muntari yang meloncat ke depan dan membentak,
"Adimas Pangeran Panjiluwih, masih kenalkah engkau kepadaku?"
Melihat seorang wanita cantik meloncat ke depannya, Panjiluwih memandang dan mukanya seketika menjadi pucat,
"Engkau... ayunda Dewi Muntari...! Akan tetapi engkau... engkau telah mati! Tentuengkau orang yang menyamar sebagai ayunda Dewi. kau harus mati!"
"Cobalah adimas Pangeran!"
Kata Dewi Muntari dan segera wanita ini menerjang ke depan, sama sekali tidak takut menghadapi keris pusaka Kyai Gliyen. Segera kedua kakak beradik ini sudah bertanding dengan hebatnya, akan tetapi segera dapat diketahui bahwa Pangeran Panjiluwih sama sekali bukan lawan Dewi Muntari. Sementaraitu, Niken sudah meloncat jauh ke depan menghadapi Joko Kolomurti.
"Joko Kolomurti manusia jahanam danmesum! Pernah andika menolongku, akan tetapi sekarang aku tidak hutang budi lagi dan aku kini tidak akanmengampuni!"
Ia segera menyerang, akan tetapi dikeroyok oleh Joko Kolomurti dan para pengawal Pangeran yang sebagian besar juga membantu Pangeran mengeroyok Dewi Muntari. Budhi juga sudah maju menghadapi Klabangkoro dan Mayangmurko.
"Klabangkoro dan Mayangmurko, ingatkah kalian ketka membunuh Ayah dan Ibuku?"
Bentak Budhidarm. Klabangkoro dan Mayangmurko tidak menjawab, melainkan meneriakan perintah agar orang-orang Jambuka Sakti membantunya mengeroyok pemuda itu. Terjadilah pertandingan yang hebat. Ki Sudibyo yang melihat keadaan ini, melihat betapa Dewi, Niken dan Budhi dikeroyok banyak orang, segera berseru kepada anak bauhnya, yaitu para anggota Gagak Seto.
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo