Asmara Dibalik Dendam Membara 2
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Diajeng, sudah bertahun-tahun kau menjadi murid Ggak Seto selain ilmu kanuragan engkau juga mempelajari tentang nilai-nilai kegagahan. Katakan, diajeng, apa hukumannya bagi pengkhianat yang mengkhianati kepercayaan orang orang kepadanya? Apa hukumannya bagi seorang yang menginjak-injak kehormatan kita, seorang yang membalas madu kebaikan kita dengan racun kebusukan? Jawablah, diajeng."
Ni Sawitri merasa jantungnya berdebar tegang dan seluruh tubuhnya terasa gemetar.
"Kita... kita harus membunuhnya, Kakang Mas Sudibyo..."
"Bagus, engkau masih ingat akan nilai kehormatan itu. Dan sekarang, jawablah sejujur- nya. Apakah engkau mencintai aku?"
Sawitri terkejut sekali dan memandang ke arah wajah suaminya. Suaminya tidak memandang kepadanya, akan tetapi melihat wajah suaminya itu dari samping saja sudah cukup menimbulkan kengerian di hatinya. Wajah itu kaku dan dingin seperti arca besi, penuh kemarahan terpendam.
"Aku... tentu saja mencintaimu, Kakang Mas. Kenapa engkau tanyakan? Aku sudah menjadi isterimu, bukan? Itu saja sudah menandakan bahwa aku mencintaimu, Kakang Mas."
"Tidak ada madu semanis kata-kata bercumbu yang keluar dari bibir seorang wanita cantik, namun sayang, di situ pula bersarang kebohongan dan pengkhianatan."
Kata ki Sudibyo lirih tanpa menoleh.
"Kakang Mas...! Apa... apa... maksudmu...?"
Sawitri bertanya dengan suara gemetar.
(Lanjut ke Jilid 02)
Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
"Sudahlah, pergilah ke kamarmu, diajeng. Jangan terlalu lama di sini! Pergi, cepat!!"
Ni Sawitri menjadi pucat wajahnya. Belum pernah ia mendengar suara suaminya membentak-bentak seperti itu, penuh kemarahan dan kebencian. Sambil menahan tangisnya, iapun keluar dari kamar itu. Perang hebat terjadi di hati akal pikiran Ki Sudibyo. Segala macam perasaan teraduk menjadi satu dalam pikirannya. Ada rasa kecewa, sedih, marah, dan cinta. Kalau menuruti dorongan nafsu kemarahannya karena dia merasa ditipu, dikhianati, dilanggar kehormatannnya, ingin rasanya dia membunuh orang itu. Akan tetapi perasaan cintanya kepada isterinya menjadi penghalang besar. Dia terlalu mecintai osterinya dan tidak ingin membunuh isterinya, tidak ingin melihat isterinya menderita sengsara. Setelah perang itu berkecamuk dalam hatinya selama semalam suntuk. Menjelang pagi barulah dia mengambil keputusan yang harus dipilihnya pada saat terakhir nanti.
Dua keputusan itui adalah pertama : Memaafkan mereka dengan menyadari bahwa Ni Sawitri tidak mencintainya melainkan mencintai Margono, maka lebih tepat kalau mereka menjadi suami isteri dan meninggalkan Anjasmoro. Keputusan kedua, membunuh mereka berdua sebagai pelanggar-pelanggar kesusilaan dan pengkhianat. Dia bangkit dari duduknya, menyarungkan keris pusaka Megantoro, lalu melangkah keluar dari dal;am sanggar pamujan. Karena merasa dadanya sesak, dia lalu keluar dari dalam rumah. Setibanya di halaman depan, dia merasa betapa angin sejuk menerpa wajah dan dadanya. Segar rasanya seperti disiram air dingin. Dia mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup hawa sejuk itu sebanyaknya. Kepalanya ditengadahkan. Pagi masih remang-remang, bintang-bintang diangkasa masih tanpak. Ayam jantan sedang berkokok dan dia mengenal suara Si Jagal, ayam jagonya. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat.
"Siapa itu!"
Bentak Ki Sudibyo sambil memutar tubuh ke kiri. Bayangan laki-laki tinggi besar berusia tiga puluh tahun menghampirinya.
"Ah, Bapa Guru. Kebetulan sekali, saya memang sedangencari Bapa Guru untuk melaporkan sesuatu."
Katanya sambil memberi hormat.
"Hemm, kiranya engkau, Klabangkoro. Sepagi ini, apa yang hendak kau laporkan kepadaku?
"Bapa, tadi saya melihat bayangan orang dua menyelinap keluar dari perkampungan kita. Karena curiga, saya lalu menghampiri, akan tetapidua bayangan itu bukan lain adalah adi Margono bersama... bersama..."
Raksasa tinggi besar itu agaknya takut untuk melanjutkan laporannya. Api kemarahan yang tadinya sudah hampir padam itu mulai menyala lagi di dalam dada dan kepala Ki Sudibyo. Tidak perlu dijelaskan lagi siapa yang melarikan diri bersama Margono itu. Akan tetapi untuk mendapatkan keyakinan, dia membentak.
"Hayo cepat katakan, bersama siapa Mrgono melarikan diri!"
"Saya... saya takut... kalau bapa marah..."
"Kalau tidak kau katakan, aku bahkan akan marah sekali dan menghancurka kepalamu!"
Bentak Ki Sudibyo.
"Saya melihat dia bersama... Ni Sawitri, bapa..."
"Keparat!!"
Sudibyo melompat ke dalam rumah, mencari isterinya di dalam kamar-kamar rumah itu. Tentu saja isterinya tidak ada, seperti yang sudah diduganya, dan diapun hanya inginmendapat kepastian saja. Dia lari lagi keluar dan melihat Klabangkoro masih berdiri di depan pintu.
"Di mana kau melhat mereka? Tanyanya dengan suara tegas.
"Di sana, bapa. Mereka lari ke utara!"
Tubuh ketua Gagak Seto itu melesat ke arah utara dan kini keris Pusaka Megantoro telah terselip di pinggangnya.
Pusaka itu diambil ketika mencari isterinya k dalam rumah tadi. Klabangkoro berdiri sambil menyeringai. Hatinya juga terasa sakit ketika melihat Ni Sawiti bergandengan tangan dengan Margono dan keduanya berlari ke utara. Sejak dahulupun dia tahu bahwa kedua adik seperguruannya itu saling mencintai. Akan tetapi Ni Sawitri ditarik menjadi isteri guru mereka. Dan dia hanya menjadi penonton yang iri hati. Sudah lama dia menaruh hati kepada Ni Sawitri, namun tak pernah ditanggapi gadis itu sampai akhirnya ia diambil isteri oleh Ki Sudibyo. Sekarang rasakanlah kalian semua! Hatinya bersorak, karena bukan dia seoranglah yang menderita karena gadis itu. Dengan hati panas terbakar Sudibyo melakukan pengejaran ke utara, namun dia tidak menemukan jejak dua orang yang melarikan diri itu.
Setelah mencari dan melakukan pengejaran sehari lamanya, akhirnya dia pulang denagn tangan dan hati hampa. Dia mengutus Klabangkoro dan belasan orang murid lain untuk melakukan pengejaran dan pencarian, namun sampai bertahun-tahun mereka tidak pernah berhasil. Ki Margono dan Ni Sawitri seperti lenyap ditelan bumi. Kalau ada berita bahwa mereka berada di suatu tempat, cepat melakukan pengejaran, akan tetapi mereka sudah pergi lebih dulu. Sepasang burung itu telah terbang pergi meninggalkan pohon sewaktu para pemburunya berindap datang dengan busur dan anak panah di tangan! Bertahun-tahun pengejaran itu dilakukan dan akhirnya, pada hari itu Klabangkoro melaporkan bahwa muridnya telah berhasil membunuh Ki Margono. Bahkan Ni Sawitri juga telah tewas membunuh diri!
Semua kenangan itu muncul dalam ingatan Ki Sudibyo seperti nonton sandiwara. Berulang kali dia menghela napas. Sebetulnya, dia tiadak menghendaki terbunuhnya Ki Margono, apa lagi sampai Ni Sawitri membunuh diri pula. Akan tetapi perbuatan mereka berdua itu sungguh menyakitkan hatinya, memadamkan semua gairah hidup dan kegembiraannya, melenyapkan semua kebahagiaannya. Dan kini setelah kedua orang itu tewas, tidak ada sedikitpun kepuasan terasa di hatinya. Dia tidak menjadi bahagia karenanya, bahkan sebaliknya, dia menjadi semakin bersedih. Kalau dia teringat akan saat-saat mesra penuh kasih sayang bersama isterinya, walaupun hanya sekitar tiga empat bulan yaitu sejak mereka menikah, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, Dia amat mencintai Ni Sawitri dan menurut perasaannya, Ni Sawitri juga amat mencintainya.
Mengapa lalu timbul persoalan dengan Ki Margono itu? Dia merasa menyesal sakali harus membunuh mereka. Penyesalan yang ditebusnya dengan kesehatannya yang makin memburuk. Hanya demi kepentingan perkumpulan Gagak Seto, Ki Sudibyo masih mau hidup dan berusah mengatasi gangguan kesehatannya untuik memimpin perkumpulan itu. Akan tetapi, semua urusan keluar dia serahkan kepada ua orang murid kepercayaannya, Yaitu Klabangkoro dan Mayangmurko. Kalau saja dia mempunyai pandangan siapa yang pantas menggantikan kedudukannya sebagai ketua Gagak Seto, tentu hatinya akan terasa tenang. Akan tetapi dia belum melihat adanya pengganti itu. Klabangkoro terlalu kasar, sedangkan Mayangmurko memiliki kecondongan untuk berbuat culas dan licik.
Demikianlah, semenjak Klabangkoro memberitakan tentang kematian Margono dan Sawitri, kehidupan Ki Sudibyo seperti kosong dan tidak ada artinya lagi. Dia telah banyak mengurung diri di dalam kamarnya, bersamadhi. Usianya baru lima puluh tahun, akan tetapi rambutnya sudah putih semua dan wajahnya yang penuh keriputan mambuat dia nampak jauh lebih tua. Urusan Gagak Seto dia serahkan kepada Klabangkoro dan Mayangmurko. Sudibyo sama sekali tidak tahu bahwa setelah kini dia tidak lagi langsung memegang kemudi perkumpulannya, perkumpulan Gagak Seto mulai meninggalkan garis-garis yang telah di ditentukan. Tadinya, perkumpulan Gagak Seto adalah perkumpulan orang gagah yang di segani perkumpulan orang gagah lainnya, dan ditakuti gerombolan-gerombolan yang menyusahkan rakyat.
Akan tetapi kini, tidak jarang anak buah Gagak Seto bahkan melakukan perbuatan jahat dan sewenang-wenang, mengambil milik orang yang kebetulan lewat dengan paksa, bahkan menculik wanita-wanita cantik. Bukan para anak buahnya saja yang melakukan perbuatan maksiat, bahkan dua orang pemimpin mereka, Klabangkoro dan Mayangmurko, menerima ketika ada pendekatan dilakukan para pimpinan perkumpulan Jambuka Sakti (srigala sakti), sebuah perkumpulan lama dan besar dari segerombolan penjahat yang terkenal buas dan kejam. Dan semua peristiwa yang terjadi di luar kamarnya ini sama sekali tidak diketahui oleh Ki Sudibyo yang hanya membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka nestapa.
Tidak jauh dari perkampungan Gagak Seto, kurang lebih sepuluh kilometer jauhnya, terdapat sebuah air terjun yang airnya jernih sekali dan air terjun itu membentuk sebuah telaga kecil sebelum air mengalir menjadi anak sungai dan menuruni dusun di kaki bukit. Air terjun ini oleh rakyat setempat dinamakan Grojokan Kluwung (Air Terjun Pelangi)karena di situ sering muncul pelangi ketika uap air yang terjun ditembusi sinar matahari. Pada suatu hari yang sunyi, Ki Sudibyo meninggalkan pondoknya dan seperti orang yang kehilangan semangat akhirnya tibalah ia di tepi gerojokan kluwung itu. Sampi lama dia berdiri memandangi air yang terjun dan menimpa telaga dan dia membayangkan betapa dahulu, ketiak masih brepengantin, dia sering mandi di telaga itu bersama isterinya Ni Sawitri.
Seolah ada sesuatu yang mendatangkan rasa nyaman di hatinya ketika dia berada di tempat itu dan sejak hari itu, kurang lebih dua tahun semenjak ia menerima berita tentang kematian isterinya, Ki Sudibyo menemukan tempat baru untuk menghibur hatinya. Hampir setiap hari dia pergi ke tempat itu dan duduk dekat air terjun, melamun dan menenggelamkan semangatnya bersama air yang terjun. Sudah lebih dari satu bulan Ki Sudibyo ssetiap hari pergi keair terjun itu, bahkan pernah dia bermalam di situ, duduk bersila setengah tidur di bawah pohon beringin yang tumbuh di dekat air terjun. Pada suatu pagi, ketiak dia sedang duduk melamun di bawah pohon, dua pasang mata mengintainya. Pandang kedua pasang mata itu buas dan tajam, dan ternyata itu adalah dua pasang mata milik dua orang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang sedang mengintai dari balik semak-semak.
Dua orang laki-laki yang membawa keris telanjang di tangan dan kini setelah saling memberi isyarat dengan kedipan mata, keduanya bergerak perlahan menuju ke arah bawah pohon beringin di mana Ki Sudibyo masih duduk bersila. Setelah dekat, seorang yang matanya agak juling bergerak lebih dulu. Dengan tangan kanan memegang keris, dia melompat keluar dari balik semak-semak dan lari menghampiri Ki Sudibyo yang masih bersila dan seolah tidak tahu bahwa dirinya diserang orang. Akan tetapi tentu saja ketua Gagak Seto itu sudah tahu dari tadi. Seorang yang sudah dapat menangkap suaraning asepi (suara kesunyian)tentusaja suadh dapat membedakan suara yang tidak lajim dan Ki Sudibyo tadi sudah mendengar gerakan kedua orang ini ketika mengintai mendekatinya.
Ketika si mata juling menubruk dan menyerangnya dari belakang, mengjunjamkan keris ke arah punggungnya Ki Sudibyo merendahkan tubuh dengan membungkuk sehingga serangan tusukan keris itupun luput. Dan ketiak tubuh orang itu terdorong hempir menabraknya, Ki Sudibyo cepat mengangkat tangan kanannya, menangkis lengan yang memegang keris dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh si mata juling itu telah mencelat ke depan! Akan tetapi si mat juling kiranya bukian penjahat sembarangan. Tubuhnya yang terlontar itu membuat gerakn jungkir balik beberapa kali sehingga dia dapat turun ke atas kedua kakinya tidak sampai terbanting. Sementar itu orang ke dua juga sudah menubruk dengan kerisnya, Akan tetapi, Ki Sudibyo kini sudah siap siaga. Kaki yang tadinya di lipat bersila kini telah di bukanya dan sebelum penyerang itu mampu mendekat, kakinya sudah mencuat mengirim tendangan.
"Dukk!"
Orang yang kumisnya tebal itu menangkis tendangan dengan lengan kirinya, akan tetapi kekuatan tendang itu membuat dia terhuyung ke belakang. Kini Ki Sudibyo bangkit berdiri dengan tenang dia memandang ke kanan kiri, ke arah kedua orang penyerang itu. Dia tidak mengenal mereka, maka merasa heran mengapa mereka itu hendak membunuhnya.
"Ki sanak, kalian siapakah dan mengapa pula kalian menyerang saya tanpa sebab?"
Tanyanya dengan suara yang tenang berwibawa. Dua orang itu melangkah maju dari kanan kiri dan memainkan keris dengan sigapnya. Melihat gerakan keris mereka, Ki Sudibyo sebagai seorang pendekar besar yang berpengalaman lalu tersenyum.
"Hemm, kalau tidak salah kalian ini tentu Sepasang Keris Maut dari Nusa Barung. Kabarnya kalian pembunuh bayaran yang mahal. Siapakah sekali ini yang menyuruh kalian membunuh aku, dan dengan bayaran berapa mahalnya?"
"Ketua Gagak Seto, bersiaplah untuk mampus di tangan kami! Haiiiit...!"
Si mata juling sudah menerjang pula dari kanan. Serangan mereka memang hebat sekali, gerakan mereka cepat dan keris yang menusukkan itu mengeluarkan bunyi mencicit tanda bahwa tangan yang menggerakkannya mengandung tenaga yang dasyat. Namun dengan sigap pula Ki Sudibyo telah siap siaga. Tidak lari dari serangan kanan kiri itu, akan tetapi setelah kedua penyerangnya tiba dekat, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua kakinya di kembangkan menendang ke kanan kiri.
"Duuuk! Dukk!"
Kedua kaki itu dengan tepatnya mengenai ulu hati kedua orang penyerangnya sehingga dua orang itu terjengkang keras dan merasa dada mereka seperti ditumbuk alu besi dengan amat kuatnya. Dua orang itu ternyata kebal juga. Hanya sejenak mereka terjengkang dan terbanting terengah-engah akan tetapi mereka segera dapat bangkit kembali dan keduany menyerang lagi lebih buas.
Ki Sudibyo tahu bahwa dua orang itu hanya menjalankan tugas demi mencari upah besar, maka diapun tidak ingin membunuh mereka. Ketika mereka datang dekat, dengan berapa langkah kaki saja dia telah membuat tusukan-tusukan keris mereka mengenai tempat kosong, kemudian kedua tangannya bergerak cepat sekali bagaikan sambaran kilat, ke arah kedua orang pengeroyoknya. Akan tetapi dia membatasi tenaganya, hanya kurang lebih seperempat bagian tenaga saja yang dia pergunakan, akan tetapi dia menampar dengan aji Hasta Bajra (Tangan Kilat). Ilmu pukulan hasta Bajra ini merupakan ilmu simpanan yang ampuh dari Ki Sudibyo dan biarpunhanya sebagian kecil saja dari aji ini dipergunakan, akan tetapi ketika tampatannya mengenai muka kedua orang lawannya, mereka terpelanting keras dan mengaduh-aduh.
"Aduhhh... tobatttt...!!"
Keduanya merangkak bangun lalu melarikan diri tanpa berani menoleh pula. Ki Sudibyo menggosok kedua telapak tangannya yang mengandung hawa panas, lalu mengusap sedikit peluh dari lehernya dan duduk kembali bersila di dekat air mancur seolah tidak pernah terjadi sesuatu kepadanya.
Akan tetapi setelah duduk bersila kembali, Ki Sudibyo mengatur pernapasannya. Makin yakinlah dia bahwa cara hidupnya yang terendam duka dan semenjak mendengar berita tentang tewasnya Sawitri mendatangkan pukulan yang amat hebat di dalam dadanya dan membuatnya lemah sekali. Kemudian teringatlah dia. Melihat tubuhnya yang lemah itu, agaknya dia tidak dapat mempertahankan nyawanya berusia panjang. Dia tidak memikirkan diri sendiri. Kematian bukan apa-apa baginya, bahkan membebaskannya dari pada duka. Akan tetapi yang dipikirkan adalah perkumpulan Gagak Seto. Siapa yang akan menggantikannya? Dia tidak mempunyai keturunan dan juga tidak ada seorangpun muridnya, pria maupun wanita, yang pantas untuk dijadikan penggantinya. Kalau Gagak Seto kelak dipimpin oleh seorang yang tidak luhur budinya, tentu akan berbahaya sekali dan dapat dibawa menyeleweng.
Tiba-tiba, ada gerakan di seberang danau kecil itu menarik perhatiannya. Tadinya disangka seekor binatang yang bergerak di sana. Akan tetapi ketika dia mengamati, ternyata bukan binatang, melainkan seorang anak perempuan. Anak perempuan itu berpakaian compang-camping. Tubuhnya hanya tertutup sehelai kain berkemben yang sudah roberk-robek, rambutnya yang panjang terurai lepas dan di bagian pundaknya kelihatan berlepotan darah. Usia anak itu sekitar sepuluh tahun. Jantung Ki Sudibyo berdebar tegang. Anak itu berada di tebing, di atas danau yang berada di depannya itu. Tidak kurang dari lima belas meter tingginya dan tebing-tebing itu8 penuh dengan batu-batu yang tajam. Anak itu kini merangkak-rangkak, sikapnya ketakutan seperti hendak melarikan diri dari suatu yang ditakutinya.
"Heiii, hati-hati, engkau bisa jatuh!"
Teriak Ki Sudibyo. Akan tetapi peringatan itu terlambat sudah. Terdengar anak itu menjerit dan tubuhnya tergelincir jatuh ke bawah!
"Byuuurrr...!! !"
Air telaga muncrat ke atas dan tubuh anak perempuan itu tertelan lenyap.
"Celaka...!"
Ki Sudibyo sudah cepat bangkit dan meloncat ketelaga, lalu berenang secepatnya ke arah jatuhnya anak tadi. Di situ dia menyelam dan tak lama kemudian dia sudah muncul kembali sambil mengangkat tubuh anak perempuan itu dengan sebelah tangannya, sedangkan sedangkan dengan kakinya dan sebelah tangannya dia cepat berenang ke tepi danau. Anak itu tidak terluka parah, keadaannya tidak berbahaya, hanya pingsan. Setelah dirawat sebentar, anak itu siuman lalu menangis ketakutan.
"Diamlah, nini, jangan menangis. Jangan takut, aku bukan orang jahat. Aku yang telah menolongmu dari dalam telaga tadi. Tenaglah."
Anak itu memang tadinya menangis karena takut. Mendengar ucapan itu, ia berhenti me- nangis, menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan kini sepasang mata memandang wajah Ki Sudibyo baru melihat kenyataan bahwa anak perempuan ini cantik sekali. Kulitnya halus kuning, rambutnya panjang hitam subu, matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora. Hidungnya kecil mancung, bibirnya mungil dan manis sekali, seperti wajah puteri bangsawan.
"Benarkah, paman? Engkau... engkau bukan seperti mereka yang jahat. Mereka yang membunuh... ayahku...? "Gadis cilik itu agaknya baru teringat akan Ayah Ibunya. Ia lalu menangis memanggil-manggil nama Ayah Ibunya.
"Tenangkan hatimu, Nini. Aku bukan orang jahat dan aku akan membantu Ayah Ibumu kalau mereka terancam bahaya. Apakah yang telah terjadi dengan Ayah Ibumu? Siapakah mereka dan di mana mereka sekarang?"
Kembali anak itu berhenti menangis dan kini memandang kepada Ki Sudibyo dengan sinar mata penuh permohonan dan harapan.
"Paman, namaku adalah Niken Sasi"
Ki Sudibyo mendengarkan sambil mengobati luka di pundak anak itu dengan daun picisan dan widoro upas, karena hanya dua macam rempa-rempa itu yang bisa didapatkan di situ. Akan tetapi obat ini cukup mujarap, menghentikan keluarnya darah dan mendatangkan rasa dingin sejuk pada bagian yang terluka. Akan tetapi ketika anak itu melanjutkan penuturannya. Ki Sudbyo makin tertarik, bahkan kini dia memandang dengan mata terbelalak.
"Ayahku adalah Raden Mas Rangsang dan Ibuku Dewi Muntari dan kami tinggal di Kota Raja..."
"Ayahmu Raden Mas Ramsang, mantu sang Prabu?"
Tanya Ki Sudibyo dengan hati kaget bukan main. Anak itu mengangguk.
"Ayah dan Ibu mengadakan tamasya di sekitar gunung Anjasmoro, diiringkan belasan orang pengawal. Akan tetapi di lerenga gunung kami diserang oleh puluhan orang penjahat... aku melihat Ayah roboh mandi darah... dan Ibu... ibuku dilarikan penjahat..."
Anak itu menangis lagi, teringat kepada orang tuanya.
"Jagat dewo Bathoro...!"
Ki Sudibyo berseru.
"Siapa berani mengganggu keluarga kerajaan Daha? Gusti Puteri, bagimana hal itu bisa terjadi? Bukankah ada belasan orang pengawal yang melinduangi Paduka sekeluarga?"
"Entahlah, para pengawal itu juga memberikan perlawanan, akan tetapi mereka segera melarikan diri meninggalkan Ayah seorang diri melawan penjahat. Akan tetapi sebelum itu, Ibuku menyuruh aku melarikan diri. Aku turun naik jurang, tubuhku luka-luka, pernah aku terguling ke dalam jurang. Untung tidak sampai mati... dan dan aku tiba di sini, tergelincir masuk danau... untung ada andika yang menyelamatkan aku, paman."
"Jangan khawatir, Gusti Puteri Paduka akan hamba antarkan kembali ke kotaraja dan tentu keluarga kerajaan akan mengirim pasukan untuk mencari Ibunda Paduka dan..."
"Jangan...! Ah, paman, kasihanilah aku, jangan bawa aku ke istana. Setelah Ayah meninggal dan Ibuku lenyap, aku tidak berani kembali ke istana. Jangan bawa aku ke sana, paman. Dan biarkan aku tinggal disini bersama paman...!"
Anak itu memegang tangan Ki Sudibyo dengan tangan gemetar ketakutan. Ki Sudibyo memandang heran.
"Harap Paduka jangan takut, tidak akan ada orang yang berani mengganggu Paduka, selama ada hamba di sini. Gusti puteri."
"Tidak, biarkan aku mati saja menyusul Ayahku kalau engkau akan mengantar akau kembali ke istana!"
Tentu saja Ki Sudibyo terkejut dan heran bukan main. Seorang cucu Sang Prabu Jayabaya tidak mau diantar kembali ke istana! Sungguh aneh sekali.
"Akan tetapi kenapa, Gusti? Kenapa Paduka tidak mau kembali ke istana?"
"Di sana tempat orang-orang jahat yang membenciku, yang membenci kami. Tidak, aku lebih senang tinggal di sini bersamamu, paman. Boleh, ya, paman Boleh, Ya?"
Suara anak itu demikian merengek manja sehingga Ki Sudibyo merasa tidak tega untuk membantah.
"
Dn harap jangan sebut aku gusti puteri, jangan memberitahu kepada siapapun juga bahwa aku adalah cucu Eyang Prabu. Paman, aku ingin ikut paman, menjadi anak dusun biasa."
Ki Sudibyo mengangguk-angguk. Tentu anak itu mempunyai alasan kuat sekali mengapa mengajukan permintaan aneh itu. Biarlah untuk sementara dia tidak membantah karena anak ini agaknya menalami guncangan batin yang hebat.
"Baiklah, Niken Sasi, mari engkau kuantar pulang dulu. Engkau perlu beristirahat di rumah kami dan aku akan mencoba mencari Ibumu."
Karena anak ini masih gemetar tubuhnya dan masih amat lemah, Ki Sudibyo lalu memon- dongnya dan membawanya pulang. Tentu saja para anggota dan murid Gagaki Seto merasa heran bukan main melihat ketua mereka pulang sambil memondong seorang anak perempuan yang agaknya pingsan atau tidur dalam pondongannya.
"Anak ini terpisah dari orang tuanya dan terjatuh ke dalam telaga. Coba tolong memberi kain kering kepadanya."
Ktanya kepada beberapa orang murid wanita. Anak itu segera dibaringkan ke atas dipan dan mendapat perawatan para murid wanita. Setelah Niken Sasi terbangun. Ki Sudibyo berkata dengan lembut kepadanya.
"Niken Sasi, engkau istirahat dulu bersama para muridku. Engkau akan aman di sini. Aku akan mencoba mencari Ibumu."
Anak perempuan itu mengangguk-angguk, memandang kepada empat wanita yang gagah yang berada di situ, lalu memegang tangan KI Sudibyo.
"Paman, janagn lama-lama, ya paman. Aku... aku takut kalau ditinggal paman..."
Ki Sudibyo merasa hatinya tertusuk rasa haru. Gadis cilik ini agaknya jarang mendapatkan kasih sayang orang sehingga ia takut menghadapi orang-orang yang belum di kenalnya. Gadis itu percaya kepadanya karena sudah terbukti tadi bahwa dia menolongnya.
"Jangan khawatir, Niken Sasi. Aku pergi takkan lama, dan tidak ada seorangpun di sini yang berani mengganggumu." Katanya sambil mengelus rambut kepala anak itu. Niken Sasi memandang kepadanya dengan mata yang bersinar-sinar kemudian mengangguk dengan punuh kepasrahan dan kepercayaan. Ki Sudibyo melupakan keadaan tubuhnya yang tidak sehat, bahkan ketika dia menuruni lereng bukit Anjas noro, dia merasakan sesuatu kegembiraan baru dalam hatinya. Dia seolah merasa seperti dahulu, di waktu kedukaan belum melanda hatinya, di waktu dia masih belum jatuh hati kepada Ni Sawitri, masih menjadi seorang pendekar yang suka melakukan perjalanan merantau seorang diri, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadailan. Dengan melakukan perjalanan cepat, sambil berlari cepat,
Akhirnya tibalah dia di tempat yang diceritakan Niken Sasi tadi, di atas sebuah diantara lereng-lereng gunung Anjasmoro. Dan tidak sukar baginya menemukan jenazah Ayah anak perempuan itu. Hanya ada satu saja jenazah menggeletak di situ, maka tidak ragu lagi bahwa ini tentunya jenazah Raden Mas Ramsang, mantu Sang Prabu Jayabaya di daha. Seorang laki-laki yang tampan dan matinya juga gagah, dengan tubuh penuh luka. Dia merasa heran sekali bagaimana bangsawan muda ini dapat mati dikeroyok sedangkan para pengawalnya yang belasan orang banyaknya itu tidak seorangpun tewas. Dan mengapa pula para pengawal yang melarikan diri itu lupa menyingkirkan jenazah bangsawan itu? Melihat jenazah orang muda itu menggeletak di tempat sunyi, Ki Sudibyo merasa iba. Kalau tidak diurusnya jenazah itu, tentu akan membusuk atau dimakan binatang buas.
Dia lalu menggali lubang di bawah pohon kenanga, dan dikuburnya jenazah itu dengan sederhana. Kemudian, dia meletakkan sebuah batu sebesar gentong di atas kuburan sebagai tanda kalau-kalau kelak puteri Raden Mas Rangsang itu akan mencari kuburan Ayahnya. Setelah selesai mengubur jenazah Raden Mas Rangsang dan hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap gerakan orang. Ki Sudibyo berdiri tegak dengan kaki terpentang. Dia tadi menanggalkan bajunya ketika menggali lubang dan menguburkan jenazah itu, dan kini bajunya itu masih belum dipakainya kembali, masih tergantung di pundak kirinya. Dia hanya memakai celana hitam sebatas lutut dan kain yang dipakainya dicincangkan ke atas. Rambut yang panjang dan bercampur putih itu diikatnya dengan kain hitam pula dan selebihnya, badannya tidak mengenakan pakaian lain.
Tubuh itu nampak jangkung dan agak kurus, namun ketika di berdiri, dai nampak kokoh dan anggun penuh wibawa. Keris pusaka Sang Megantoro terselip di ikat pinggangnya. Tubuhnya yang berdiri tegak itu sama sekali tidak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak perlahan, melirik ke kanan kiri penuh kewaspadaan. Dia bagaikan Sang Bima sena sedang menghadapi bahaya, begitu tenang, santai penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Tak lama kemudian nampak bermunculan belasan orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan mereka memegang sebatang golok telanjang yang berkilauan saking tajamnya. Bentuk golok ini semua sama, melengkung dan gagangnya terukir kepala anjing srigala, dengan ronce merah sebagai lidah kepala srigala itu. Dengan sikap beringas dan penuh ancaman, tiga belas orang itu sudah mengepung dan mengitari kI Sudibyo.
"Keparat"
Terdengar Ki Sudibyo berkata dengan suaranya yang dalam parau dan berpengaruh.
"Gerombolan anjing dari mana berani mengacau daerah Anjasmoro yang di kuasai Gagak Seto?"
Tiga belas orang itu, seperti menanti sebuah komando, tertawa bergelak mendengar ucapan Ki Sudibyo itu. Dan berkat dengan suara garang.
"Bagus Ki Sudibyo. Engkau hendak menggertak kami dengan dengan nama Gagak Seto yang sebentar lagi akan kami hancurkan? Kami memang membiarkan engkau mengburkan jenazah itu, setelah itu engkau sendiri yang akan menggantikan jenazah itu, menggeletak di sini menanti datangnya binatang buas yang akan memangsamu, ha-ha-ha!"
Wajah Ki Sudibyo menjadi merah karena marahnya.
"Bukankah kalian ini anak buah kelom- pok Jembuka Sakti (Srigala Sakti) dari Lereng Bromo? Setahuku ketua kalian, Brotokeling, tidak pernah memusuhi Gagak Seto! Apa yang kalian kehendaki?"
"Kami menghendaki nyawamu"
Bentak tiga belas orang itu dan mereka sudah menerjang maju dari segala jurusan, menyerang dengan golok mereka. Ki Sudibyo merasa heran, akan tetapi juga marah sekali. Baru saja, dia juga diserang oleh dua orang yang dikenalnya sebagai Sepasang Keris Maut dari Nusa barung, diserang tanpa sebab oleh dua orang tokoh yang dikenalnya sebagai pembunuh-pembunuh bayaran itu. Jelasa ada orang yang menghendaki kematiannya dan kenyewa dua orang itu. Untung dia dapat menandingi mereka dan membuat mereka melarikan diri. Dan sekarang tahu-tahu geroembolan. Jambuka Sakti dari lereng Bromo mengepung dan menyerangnya. Padahal, walaupun mungkin ketua mereka, Brotokeling yang terkenal jagoan, menganggap dia sebagai saingan.
Dia tidak pernah bergaul dengan kelompok seperti Jambuka Sakti itu, karena dia tahu bahwa perkumpulan itu adalh perkumpulan para penjahat yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan. Akan tetapi, biarpun jalan mereka bersimpang, KI Sudibyo merasa belum pernah bentrok dengan mereka. Melihat gerakan tiga belas orang itu ketika memainkan golok, diam-diam Ki Sudibyo terkejut. Ternyat bukan anak buah rendahan yang datang menyerangnya, tentu merupakan murid-murid pilihan karena gerakan golok mereka cukup tangkas, cepat dan bertenaga sehingga terdengar suara berdesing berbisik ketika mereka semua menggerakkan golok. Tiga batang golok menyerang dari arah belakang. Ki Sudibyo menggerakkan tangan kirinya yang memegang baju hitamnya sambil memutar tubuh. Baju itu terkembang dan dan menangkis tiga batang golok.
Para penyerang itu terkejut bukan main karena tangkisan baju itu membuat golok mereka terpental dan kalau mereka tidak cepat melompat ke belakang, tentu mereka akan kena hantaman baju yang ketika digerakkan oleh Ki Sudibyo berubah menjadi senjata yang amat kuat. Belasan orang itu menjadi marah dan menyerang serentak. Ki Sudibyo maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka sambil memutar baju hitamnya dengan tangan kiri, diapun mencabut keris pusakanya. Ketika dia menggerakkan keris, nampak seperti ada awan aatau uap putih menyambar dan terdengar pekik seorang pengeroyok yang roboh dengan tangan berdarah. Kiranya Goloknya tadi patah dan terlempar ketika bertemu dengan keris dan tangannyapun terluka. KI Sudibyo terus mengamuk dengankeris. Sepak terjangnya mengerikan sekali. Dia seperti Bimasena mengamuk dengan Pancanaka-nya.
Setiap kali ada kilatan keris Megantoro menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang roboh! Dalam waktu tak lama, sudah ada enam orang pengeroyok yang roboh, baik oleh kerisnya, maupun hantaman baju hitamnya. Para pengeroyok itu agaknya maklum bahwa mereka tidak akan menang, maka sambil menyeret tubuh kawan-kawan yang terluka merekapun melarikan diri dari situ. Ki Sudibyo masih berdiri tegak membiarkan mereka pergi melarikan diri. Tubuhnya mengkilap oleh keringat dan biarpun nampaknya dia tenag saja akan tetapi dari dadanya yang kembang kempis, perutanya yang naik turun dapat diketahui bahwa pendekar perkasa ini terengah-engah melalui hidungnya. Dia memejamkan kedua matanya dan setelah pernapasannya biasa kembali, barulah dia mengebut-ngebutkan bajunya dan mengenakan baju itu setelah menempelkan keris pada dahi dan dadanya lalu menyarungkannya.
Dia menahan rasa nyeri pada dadanya. Aku harus menjauhkan diri dari perkelahian, pikirnya. Kalau dia bertemu dan bertanding dengan lawan tangguh, dia bisa celaka. Padahal dalam keadaan biasa belasan orang tadi sama sekali tidak ada arti baginya. Tubuhnya lemah sekali. Setiap kali mengerahkan tenaga sakti, tentu dadanya terasa nyeri dan pernapasannya memburu dan tertekan. Akan tetapi Ki Sudibyo masih mempertahankan diri dan dia melanjutkan usahanya mencari Dewi Muntari, Ibu Niken Sasiyang menurut anak perempuan itu katanya ditangkap dan dialrikan diri penjahat. Akan tetapi sampai hari menjadi sore, dia tidak berhasil menemukan jejak wanita itu. Apakah Dewi Muntari ditangkap oleh gerombolan Jambul Sakti?
Aku akan mengirim utusan dan minta dengan hormat kepada Ki Brotokeling agar membebaskannya, kalau benar wanita itu ditawannya. Tentu Brotokeling masih mau memandang kepadanya untuk memnuhi permintaannya. Kalau permintaannya ditolak, hemm, bagaimana nanti sajalah. Akhirnya dia kembali ke Anjasmoro. Kalau menuruti kata hatinya, andaikat dia seperti dahulu yang berwatak penuh semangat dan tubuhnnya tidak selemah ini, dia tentu langsung saja pergi mengunjungi Brotokeling dilereng Bromo! Setibanya di Anjasmoro, dia disambut oleh Niken Sasi yang berlari keluar menyambutnya. Diam-diam Ki Sudibyo kagum sekali. Anak itu kini sudah penuh semangat, tidak seperti ketika ditinggalkan. Ia sudah meniru dandanan para murid Gagak Seto, ringkas dengan celana, kain dan baju hitam, rambutnya diikat sutera merah. Nampak cantik manis dan gagah sekali.
"Paman, bagaimana, paman? Sudahkah paman dapat menemukan Ibuku?"
Ki Sudibyo memegang tangan kanan anak itu dan hatinya sendiri merasa tertegun. Kenapa jantungnya berdebar begini tegang dan mengapa ada perasaan gembira dan bahagia menyelinap di hatinya ketiak melihat anak itu datang menyambutnya dan ketika tanganya memgang dan menggandeng tangan kecil itu? Dia menarik Niken Sasi ke dalam rumah sambil berkata singkat,
"Niken mari kita bicara di dalam."
Anak ini rupanya cerdik pula. I teringat bahwa ia ingin menyembunyikan siapa dirinya yang sebetulnya, oleh karena itu, iapun tidak bertanya lagi dan mengikuti ketua Gagak Seto itu masuk ke ruangan dalam. Setelah tiba di ruanan dalam, kI Sudibyo membiarkan para muridnya yang bertugas melayaninya, menyediakan minum dan mengganti pakaiannya. Setelah selesai, dia lalu memberi isyarat kepada mereka untuk meninggalkan dia berdua saja dengan Niken Sasi.
"Niken Sasi, aku telah menemukan jenazah Ayahmu dan telah menguburkannya dengan baik. Kuberi tanda dengan batu agar kelak engkau dapat mencari kuburan Ayahmu itu."
Pendekar itu lalu diam biarpun dia maklum betapa anak itu menanti kelanjutan ceritanya, terutama mengenai Ibunya. Setelah agak lama Ki Sudibyo berdiam diri, Niken lalu bertanya dengan suara yang bening.
"Dan bagaimana dengan Ibuku, paman? Sudahkah paman menemukannya dan bagimana keadaan Ibuku?"
Ki Sudibyo menghela napas panjang lalu memandang kepada anak itu dan menggeleng kepalanya.
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sayang sekali aku tidak berhasil menemukan jejak Ibumu, Niken."
Dia melihat betapa sinar penuh duka dan kecewa menyelubungi pandangan mata nak itu, maka dia cepat berkat.
"Akan tetapi jangan putus asa dan jangan khawatir, Niken. Sekarang juga aku akan mengutus anak buahku untuk mencari di seluruh pelosok Anjasmoro ini.
"Mudah-mudahan saja anak buahku akan berhasil menemukan Ibumu."
"Ah, terima kasih, paman!"
Kata Niken dengan girang.
"Aku telah menyusahkan paman. Aku hanya ingin memperoleh kepastian tentang keadaan Ibuku paman."
"Aku mengerti, Niken."
Ki Sudibyo segera bertepuk tangan dan dua orang muridnya muncul."
Panggil Klabangkoro dan Mayangmurko ke sini."
Murid-murid wanita itu keluar dan taklama kemudian muncullah dua orang laki-laki yang selain menjadi murid juga menjadi wakil ketua itu selama bertahun-tahun ini.
Selain orang-orang muda dari dusun yang masuk menjadi murid Gagak Seto mempelajari ilmu kanuragan juga terdapat banyak sekali gerombolan penjahat yang telah ditaklukan Gagak Seto kemudian menggabungkan diri dengan perkumpulan ini setelah bersumpah untuk mengubah jalan hidup mereka. Di antara para gerombolan itu terdapat Klabangkoro dan Mayangmurko ini. Dan Ki Sudibyo merasa puas melihat keduanya karena selama ini memperlihatkan sikap yang baik, taat dan setia kepadanya. Karena itu, mengingat bahwa di antara para muridnya, kedua orang ini yang paling tangguh ilmunya, dia mengangkat keduanya menjadi wakilnya. Setelah dua orang itu masuk ke ruangan itu, mereka memberi hormat kepada Ki Sudibyo dan Klabangkoro bertanya,
"Bapa guru memanggil kami? Ada petunjuk apakah, Bapa guru?"
"Klabangkoro dan Mayangmurko, engkau bawalah anak buah secukupnya dan carilah seorang wanita, Ibu anak ini yang kabarnya ditangkap penjahat. Carilah ia sampai ketemu atau setidaknya sampai mendengar di mana ia berada dan bagaimana keadaan. Juga, perlu kalian ke lereng Bromo, menemui Ki Brotokeling."
"Ki Brotokeling ketua Jambuka Sakti, Bapa guru?"
Klabangkoro bertaya dan matanya yang lebar itu terbelalak.
"Benar. Kalian pergilah menghadap Brotokeling dan berikan suratku kepadanya, minta balasan."
"Baik, Bapa guru. Kapan kami berdua berangkat?"
"Sekarang juga. Bawa perbekalan secukupnya."
Dua orang pembantu itu memberi hormat dan keluar dari rumah itu untuk melaksanakan tugas mereka. Setelah kedua orang itu pergi Ki Sudibyo menoleh kepada Niken Sasi sambil tersenyum.
"Nah, engkau mendengar sendiri. Niken. Aku sudah menyuruh anak buahku untuk mencari Ibummu."
Niken Sasi tiba-tiba berlutut dan menyembah kepada pendekar itu. Ki Sudibyo terkejut sekali dan cepat-cepat dia mengangkat anak itu bangun. Anak perempuan itu adalah seorang puteri cucu Sang Prabu Jayabaya, bagaimana boleh menyembahnya?
"Ahhh, Niken! Apa yang kau lakukan ini? Engkau tidak boleh memberi hormat seperti itu kepadaku. Ingat, engkau seorang puteri!"
"Paman. Harap jangan sebut itu lagi. Paman sudah berjanji akan merahasiakan asal-usul dariku."
Kata anak itu memperingatkan.
"Biarlah aku menjadi muridmu, paman. Perkenankan aku menyebut paman sebagai bapa guru, seperti para kakak yang berada di sini. Aku ingin mempelajari ilmu kanuragan agar kelak kemudian hari aku dapat..."
"Membalas dendam?"
Ki Sudibyo menyambung.
"Tidak, Bapa. Membalas kepad siapa? Aku akan mempergunakan kepandaianku untuk menentang para penjahat, membela kau m lemah tertindas, mempertahankan kebenaran dan keadilan!"
Sudibyo tersenyum. Dia memang sudah merasa suka sekali kepada anak perempuan ini. Merasa iba dan juga kagum dan dua perasaan ini berkembang menjadi rasa kasih sayang. Kemudian dia teringat. Sudah lama dia merindukan seorang murid yang baik, seorang murid yang dapat dia wariskan seluruh ilmunya, seorang murid yang kelak akan menggantikan dia memimpin Gagak Seto, yang akan mengangkat tinggi namanya dan nama Gagak Seto. Mengapa tidak? Agaknya Niken Sasi memiliki bakat yang baik dan anak ini memiliki ketabahan, keberanian dan semangat. Hal ini tidak mengherankan karena di dalam tubuhnya masih mengalir darah bangsawan tinggi, tarahing kusumo rembesing madu. Keturunan Sang Prabu Jayabaya, seorang raja yang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Tentun saja keturunannya, biarpun wanita, bukan orang biasa!
"Baiklah, Nini! Baiklah, dengan bangga dan girang sekali aku menerima permintaanmu dan mulai saat ini, engkau menjadi muridku! Engkau rajinlah belajar dan bersiaplah, niken, karena aku, gurumu akan mengajarkan semua ilmu yang kukuasai kepadamu, yang tak pernah kuajarkan kepada murid lain. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin sekali kuketahui. Mengapa engkau tidak ingin kembali ke istana, di mana terdapat keluarga istana, keluargamu? Padahal, semestinya, aku membawamu ke istana dan di sana engkau akan diteriam dengan baik, bahkan Gusti Prabu tentu akan berusaha mencari Ibumu. Nah ceritakanlah kenapa engkau hendak menyembunyikan dirimu dan tidak ingin kembali ke istana?"
Anak itu mengerutkan alisnya, menghela napas beberapa kali kemudian berkata,
"Sebetulnya tidak baik aku menceritakan semua ini kepadamu, paman. Akan tetapi kalau tidak aku ceritakan tentu paman bertanya-tanya. Baiklah, terus terang saja aku benci hidup di dalam istana, paman!"
"Eh, kenapa? Bukankah eyangmu Sang Prabu Jayabaya adalah seorang raja yang agung biantara dan sakti mandraguna, juga arif bijaksana?"
"Memang benar, akan tetapi beliau selalu sibuk dengan pekerjaan dan dikelilingi oleh para penjilat yang kesemuanya memakai bermacam-macam kedok."
"Ehh? , Memakai kedok?"
"Benar, paman. Memang tidak ada yang melihatnya kecuali aku. Aku melihatnya betapa muka mereka selau dipasangi kedok kalau mereka menghadap Eyang Prabu. Dan dengan kedok itu mereka bersikap manis dan baik, dan bermuka-muka menjilat-jilat. kau tahu, paman, di istana aku selalu menerima penghinaan dan cemohan. Aku dikatakan gadis dusun, darah petani sama sekali tidak mempunyai darah bangsawan. Katanya, Eyang puteri hanya anak pendeta, sedangkan Ayahku juga hanya seorang biasa, bukan bangsawan, hanya seorang perwira muda yang karena jasa-jasanya lalu dinikahkan dengan Ibuku. Katanya aku bocah dusun. Tidak, aku tidak sudi kembali ke istana. Bahkan sebelum meninggal dunia, Ayah seringkali bicara dengan Ibu tentang keinginannya pindah keluar istana. Aku lebih suka di isni, menjadi gadis petani, paman."
Ki Sudibyo menghela napas panjang. Gadis ini masih kecil akan tetapi sudah mempunyai perasaan yang halus, memiliki harga diri yang tinggi dan dia pun diam-diam terkejut, tidak mengira bahwa di dalam istana, di mana tinggal keluarga bangsawan tertinggi yang penuh dengan tata-susila dan kebudayaan,
Ternyata terdapat perasaan iri hati dan persaingan, bahkan seperti kata Niken Sasi, menjadi sarangnya para penjilat yang memakai topeng palsu! Dan murid barunya ini, Niken Sasi yang baru berusia sepuluh tahun, ternyata telah mampu melihat topeng-topeng palsu yang dipakai manusia. Hal ini sungguh merupakan suatu kewaspadaan yang luar biasa bagi seorang anak sekecil itu. Maka mulai hari itu dia menggembleng anak itu dengan penuh kesunguhan hati, dengan tekun dan rahasia sehingga para murid lain tidak tahu bahwa baru sekali ini guru mereka menurunkan ilmu-ilmunya yang hebat kepada seorang murid. Karena mengira bahwa Niken sasi juga hanya menerima pelajaran ilmu kanuragan seperti yang mereka pelajari pula, maka bahkan Klabangkoro dan Mayangmurko tidak terlalu memperdulikan bocah itu.
Apa sesungguhnya yang terjadi dengan Dewi Muntari, isteri Raden Mas Rangsang dan Ibu Niken Sasi itu? Dewi Muntari adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang cantik jelita dan nampak jauh lebih muda dari usia yang sebnarnya. Bagaikan buah, ia sedang masak-masaknya. Wajahnya yang bulat telur itu berdagu runcing manis. Kulit nya putih kemerahan seperti kulit bayi. Rambutnya hitam lebat dan panjang iakl mayang, ngandan-andan. Alisnya hitam kecil melengkung menjaga sepasang mata yang pandanganya sayu, sepasang mata yang jeli dan kedua ujung pelupuk mata agak menjungkat ke atas sehingga mata itu nampak indah menggairahkan. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya juga kecil, lebar sedikit saja dari hidungnya, dengan bibir yang selalu segar merah basah.
Sungguh Dewi Muntari adalah seorang wanita muda yang cantik jelita. Kecantikan selalu mendatangkan berkah. Sejak masih perawan tanggung, Dewi Muntari sudah menderita karena kecantikan wajahnya. Para puteri istana lainnya merasa iri hati kepadanya. Padahal Dewi Muntari berwatak baik, rendah hati dan juga pandai membawa diri. Iapun menyadari bahwa dari pihak Ibu, ia hanyalah keturunan sorang pertapa sederhana yang hidup melarat di puncak gunung. Ibu kandungnya puteri seorang pertapa, bahkan Ibunya tidak sempat diboyong sebagai selir oleh Sang Prabu Jayabaya. Ibunya telah meninggal dunia di tempat pertapaan kakeknya, dan ketika dia berusia lima belas tahun, ia diantar kakeknya menghadap Sang Prabu Jayabaya. Ia lalau diakui oleh Sribaginda dan mulai saat itulah ia hidup di istana sebagai puteri raja.
Akan tetapi, hal ini mendatangkan iri dalam hati para puteri lainnya. Apa lagi Dewi Muntari demikian cantik sehingga hampir semua pria muda di lingkungan istana memuji-muji kecantikannya. Empat tahun saja Muntari hidup sebagai puteri raja. Seorang perwira muda bernama Rangsang berjasa membasmi gerombolan pengacau di sebelah barat Kota Raja. Ramsang menerima anugerah dan di jodohkan dengan Dewi Muntari. Hal inipun merupakan hasil siasat para saingan Muntari yang melalui penasihat raja melaksanakan dendamnya kepada Muntari agar gadis ini menikah dengan Ramsang dan tidak lagi menjadi saingan dalam istana! Dewi Muntari adalah seorang puteri yang setia dan taaat kepada Sribaginda Raja. Ia sama sekali tidak memperlihatkan sikap menentang ketika soal perjodohan disampaikan padanya.
Ia percaya sepenuhnya kepada Ayahnya dan ia yakin tentu selalu Ayahnyamenghendaki hal yang terbaik baginya. Dan kenyataannya memang demikianlah. Ternyata suaminya yang kini mendapat sebutan Raden Mas Rangsang itu adalah seorang pemuda yang baik hati, berwajah tampan dan gagah perkasa. Pendeknya seorang satria sejati! Dengan mudah Muntari dapat jatuh cinta kepada suaminya dan mereka hidup berbahagia. Sang Prabu Jayabaya yang suka menyayang Muntari kerena puterinya ini sudah kehilangan Ibu dan sejak kecil hidup sebagai bocah petani di pegunungan, menahan puterinya itu dan membolehkan menempati beberapa ruangan di dalam istana bersama suaminya. Suami isteri yang saling mencintai itu setahun kemudian mendapatkan seorang anak perempuan yang mereka beri nama Niken Sasi.
Penderitaan yang dirasakan Dewi Muntari karena kecantikannya, ternyata dirasakan pula oleh Niken Sasi yang sejak kecil sudah dapat merasakan hal ini. Anak yang mungil ini disayang oleh kakeknya, dan banyak pula yang menyayangnya, dan hal ini mendatangkan rasa iri dan dengki kepada mereka yang membenci Dewi Muntari. Inilah sebabnya Niken Sasi merasa tidak kerasan tinggal di dalam istana. Ia seringkali mendapat makian dan ejekan yang menghina dari para puteri lain. Dewi Muntari memang merencanakan untuk pindah dan meninggalkan istana, akan tetapi rencana ini tidak pernah dapat terlaksana karena Sang Prabu Jayabaya menyayang keluarga ini dan menahannya. Suami isteri ini tentu saja tidak berani berterus terang kepada Sang Prabu Jayabaya tentang permusuhan yang mereka hadapi, karena pelaporan seperti ini akan mendatangkan kesan buruk kepada mereka sendiri.
Demikianlah, uantuk menghibur hati mereka ketika Niken Sasi sudah berusia sepuluh tahun, Raden Mas Rangsang mohon ijin kepada Sang Prabu Jayabaya untuk berpesiar bersama anak isterinya. Dia diijinkan dan disuruh membawa pasukan pengawal. Akan tetapi, agar tidak menimbulkan iri kepada Pangeran lainnya yang juga memandang rendah kepadanya, Raden Mas Ramsang hanya membawa dua belas orang perajurit pengawal. Ketika pada pagi hari itu mereka tiba di penggunungan Anjasmoro, mereka menikmati keindahan gunung itu. Tiba-tiba bermunculan puluhan orang. Tidak kurang dari lima puluh orang mengepung mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Raden Mas Ramsang. Tentu saja panglima muda ini mengamuk untuk mempertahankan diri dan membela anak isterinya.
Juga selosin orang pengawalnya nampak menyambut serangan puluhan orang itu. Mungkin karena terdesak oleh jumlah lawan yang jauh lebih banyak, dua belas perajurit dah inipun mundur dan akhirnya melarikan diri. Tinggal Raden Mas Rangsang yang masih mengamuk dengan kerisnya. Hebat memang sepak terjang panglima muda ini. Bagaikan seekor singa yang membela anak isterinya dia berloncatan dan berkelebatan dengan cepat dan tangkas. Tidak kurang dari sepuluh orang sudah roboh terkena tikaman kerisnya, hantaman tangan kirinya atau tendangan kakinya. Akan tetapi, betapapun kuatnya, dia hanya seorang diri. Bagaimana mungkin dapat melawan puluhan orang lawan yang kesemuanya jelas merupakan orang yang sudah biasa berkelahi? Raden Mas Ramsang yang telah mendapat beberapa luka di tubuhnya, meneriaki isterinya agar membawa lari Niken Sasi.
"Diajeng, larilah! Bawa anak kita berlari...!"
Dia berteriak, akan tetapi terpelanting ketika sebatang golok menyerempet pundak kirinya.
"Kakang Mas...!"
Dewi Muntari menjerit melihat suaminya roboh. Ia mendorong punggung puterinya.
"Niken larilah! Cepat!!"
Didorong sampai terhuyung oleh Ibunya dan mendengar Ibunya berteriak agar ia melarikan diri, Niken Sasi yang biasanya taat kepada Ibunya itu, kini menanatinya dan larinya anak inipun menantinya, dan larilah anak ini tunggang langgang. Sang Ibu, bagaikan seekor singa betina, menerjang ke depan dengan sebatang keris kecil. Dengan kerisnya itu ia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Akan tetapi tusukan kerisnya yang kedua itu terselip di antara tualang iga lawan dan sukar dicabutnya kembali, dan pada saat itu,
Sebuah tangan yang besar menangkap pergelangan tangannya, memutar pergelangan tangan itu sehingga ia terpaksa melepaskan kerisnya. Pada saat itu, tubuhnya sudah ditelikung dan dipondong seorang pria tinggi besar yang tertawa bergelak sambil memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Raden Mas Ramsang. Biarpun luka-luka di tubuhnya sudah membuat dia mandi darah tenaganya hampir habis, akan tetapi melihat isterinya dipondong seorang penjahat, Raden Mas Ramsang mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan diapun melompat maju untuk menyerang Si tinggi besar yang memondong isterinya. Akan tetapi dia disambut oleh lima orang yang menggerakkan golok mereka. Kerisnya dapat merobohkan seorang lawan, akan tetapi dia sendiri roboh dengan dada dan leher robek-robek!
"Kakang Mas...!!"
Dewi Muntari terkulai lemas dalam pondongan penawannya, pingsan karena duka dan ngeri melihat kematian suaminya. Gerombolan itu meninggalkan tempat itu sambil membawa teman-teman mereka yang terluka atau tewas, dan meninggalkan mayat Raden Mas Ramsang menggeletak di tempat yang kembali menjadi sunyi. Yang memondong tubuh Dewi Muntari adalah pimpinan rombongan, seorang raksasa bermuka penuh bopeng yang tubuhnya kuat sekali. Mereka menuju ke balik bukit dan Dewi Muntari mulai siuman dari pingsannya. Ia menggeliat dan ketiak mendapatkan dirinya dalam pondongan lengan yang besar itu, ia terkejut dan segera teringat akan segala yang telah terjadi. Cepat ia mengepal tangannya dan menghantam ke arah leher orang yang memondongnya.
"Wuuuttt... plakk...!!"
Pukulan itu cukup kuat dan si raksasa bopeng terkejut bukan main, lehernya terasa nyeri dan terpaksa ia melepaskan wanita itu. Dewi Muntari sudah meloncat ke atas tanah dan biarpun ia sudah tidak memegang senjata, ia bertekat melakukan perlawanan sampai mati. Ia berdiri tegak. Kedua tangan terkepal dan siap melakukan bela diri.
"Ha-ha-ha. Kakang Blendu, engkau kena sepak kuda betina itu?. Ha-ha-ha!"
Yang menertawakan itu adalah seorang pria jangkung bermuka pucat, yang merupakan pembantu atau wakil dari Ki Blendu, pimpinan gerombolan itu.
"Hushh, jangan mengejek kau !"
Bentak Ki Blendu dengan suara geram dan dia mengusap-usap leher yang terpukul tadi. Kulitnya kebal dan tebal seperti kulit badak, dan biarpun pukulan yang dilakukan Dewi Muntari tadi mengandung kekuatan dan hawa sakti, namun hanya mendatangkan rasa nyeri sedikit, sama sekali tidak melukainya. Setelah mengusap lehernya, Ki Blendu melangkah maju menghadapi Dewi Muntari dan dia tertawa. Tawanya sampai mengakak menyeramkan dan Dewi Muntari bergidik. Orang ini seperti bukan manusia, pikirnya. Mukanya penuh bopeng yang besar-besar, seperti kulit salak, dan matanya begitu besar seperti mendelik terus, hidung dan mulutnya juga besar. Otot melingkar-lingkar di seluruh tubuh pria ini yang usiany tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.
"Hua-ha-ha-ha, bojleng-bojleng iblis laknat! Setiap mawar yang harum tentu mengandung duri! Akan tetapi tamparanmu tadi bagiku seperti dipijat, wong ayu! Terasa hangat, nyaman dan enak! Mari mari manis, mari kupondong lagi. Tak lama lagi kita kan sampai di tempat tinggalku dan engkau akan menjadi isteriku yang tersayang, terkasih, ha-ha-ha-ha!"
"Keparat jahanam! Engkau kejam, engkau tidak berprikemanusiaan. Kalian mengeroyok dan membunuh suamiku Raden Mas Rangsang dan engkau hendak menagkap aku! Padahal di antara kita belum pernah saling mengenal atau ada urusan kenapa engkau bertindak begini kejam kepada kami? Ha-ha-ha, jangan salah mengerti, wong ayu. Aku, Ki Blendu, sama sekali tidak kejam, bah- kan amat menyayang wanita cantik jelita seperti andinda. Kami hanya menjadi orang-orang suruhan manis. Bukan kami yang bermaksud memusuhi keluargamu. Semua ini adalah untuk memnuhi keinginan Gusti Pangeran Panjiluwih. Ha-ha-ha-ha!"
Ki Blendu merasa aman membuka rahasianya itu karena Raden Mas Rangsang kini telah terbunuh dan isterinya kini sudah berada di tangannya. Wajah Dewi Muntari menjadi pucat sekali dan kedua matanya terbelalak,
Tangan kirinya diangkat ke depan mulutnya yang ternganga saking terkejut dan herannya mendengar pengakuan raksasa itu. Pangeran Panjiluwih? Akan tetapi, Pangeran itu adalah kakak sendiri lain Ibunya. Kakak tirinya. Pangeran Panjiluwih juga seorang putera Sang Prabu Jayabaya yang lahir dari seorang selir yang bersal dari Blambangan. Akan tetapi kenapa? Selama ini hubungan di antara mereka baik dan biasa-biasa saja, bahkan keluarga Pangeran Panjiluwih juga agaknya memnadang rendah kepadanya sehingga diantara mereka taidak ada hubungan dekat. Dengan sendirinya tidak ada permusuhan di antara mereka. Mengapa kini Pangeran itu menyuruh gerombolan untuk membunuh keluarganya? Terbayang di mata Dewi Muntari suaminya yang roboh mandi darah dan tewas, juga wajah puterinya yang melarikan diri entah ke mana.
"Jangan bohong kau !"
Ia membentak karena masih juga belum dapat percaya.
"Ha-ha-ha-ha, wanita cantik itu memang biasanya bodoh!"
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo