Asmara Dibalik Dendam Membara 3
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Ki Blendu tertawa lagi.
"Percaya atau tidak terserah wong ayu. Yang penting, kami sudah melaksanakan tugas dan menerima upahnya. Nah, sekarang ke sinilah, akan kupondong engkau agar kedua kakimu yang indah itu tidak menjadi kelelahan manis."
Ki Blendu menubruk ke depan untuk merangkul Dewi Muntari. Akan tetapi sang puteri mengelak dan tangannya menampar ke arah muka raksasa itu.
"Ha-ha-ha!"
Ki Blendu menangkis dan langsung menangkap lengan itu. Dewi Muntari hanya belajar ilmu kanuragan dari suaminya setelah ia menikah maka tentu saja ilmunya tidak dapat dibandingkan dengan tenaga Ki Blendu yang besar. Ia sudah diringkus lagi dan meronta-ronta dalam pondongan dua lengan besar itu, ditertawakan oleh Ki Blendu dan anak buahnya. Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan menyeramkan. Suara tawa itu pendek-pendek, bukan seperti suara tawa melainkan seperti suara leher tercekik.
"Kek-kek-kek-kekkk! Kerbau gendut tolol, Lepaskan ia!"
Ki Blendu tiba-tiba merasa kedu lengannya seperti lumpuh sehingga di terpaksa melepaskan pondongannya dan Dewi Muntari cepat melompat ke dekat seorang Kakek yang tiba-tiba saja muncul dan berada di situ. Melihat Kakek ini, Dewi Muntari merasa ngeri juga. Muka Kakek itu seperti muka tengkorak dibungkus kulit saja, demikian kurus. Apalagi sepasang matanya yang cekung ke dalam itu mengeluarkan sinar berapi-api. Usianya tentu sudah tua sekali, sedikitnya sembilan puluh tahun, pakaiannya juga hanya kain dilibat-libatkan tubuhnya yang kurus kering. Kain itu sudah kuamal dan kotor sehingga keadaan Kakek ini menjijikkan, seperti seorang gembel tua berpenyakitan. Akan tetapi, tentu saja ia memilih dekat dengan Kakek ini daripada dengan Ki Blendu dan anak buahnya, maka iapun lalu berdiri di belakang Kakek itu untuk berlindung.
"Kek-kek-kekkk... laki-laki macam kalian ini tidak berharga untuk mendekati seorang dewi kahyangan, kek-kek-kekkk!"
Kakek itu menudingkan telunjuknya yang tinggal tulang terbungkus kulit dan kini Dewi Muntari melihat persamaan antara Kakek ini dengan seorang tokoh pewayangan, yaitu seorang tokoh yang amat sakti, cerdik licik dan curang, yaitu bernama Begawan atau Danyang Durna! Tubuh yang kurus bongkok itu, muka yang seperti tengkorak, sungguh amat menyeramkan, akan tetapi karena Kakek itu agaknya hendak melindunginya, maka Dewi Muntari memberanikan diri mendekat.
"Babo-babo, Kakek tuwek elek!"
Bentak Ki Blendu marah sekali.
"Siapa andika tua bangka mau mampus berani mencampuri urusanku dengan isteriku sendiri! Dia isteriku, jangan mencampuri urusan rumah tangga orang!"
"Tidak, Eyang... saya bukan isterinya. Dia penjahat besar, dia bahkan telah membunuh suamiku!"
Kata Dewi Muntari.
"Kek-kek-kekk...! Tentu saja kerbau gendut ini berbohong. Ah, nini dewi, siapakah namamu?
"Nama saya Dewi Muntari, Eyang. Harap suka menyelamatkan saya dari tangan para penjahat keji ini."
"Kek-kek-kekk... benar dugaanku. Engkau seorang dewi. Heh, kerbau-kerbau busuk, hari ini kalian bertemu. Kolokrendo, sama saja dengan bertemu Yamadipati, kalian akan mampus semua, kek-kek-kekkk!"
Ki Blendu menjadi marah sekali. Dia menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menyerbu.
"Bunuh Kakek tua bangka gila ini, biarkan aku menangkap kembali calon isteriku!"
Puluhan orang itu berbesar hati. Kalau cuma membunuh seorang tua bangka kerempeng seperti itu mudah saja. Sekali bacokpun beres. Tiga orang yang berada paling depan sudah mengayun golok mereka ke arah tubuh Kakek itu. Kakek itu agaknya sama sekali tidak mengelak dan Dewi Muntari sudah merasa ngeri. Tulang-tulang Kakek itu tentu akan berantakan diserang tiga batang golok yang bergerak cepat dan amat kuat itu.
"Krak-krak-krak...!"
Tiga batang golok itu bertemu tulang tangan terbungkus kulit dan patah-patah! Dan tiga orang itu terbelalak, lalu memekik mengerikan ketika jari-jari tangan yang panjang melengkung itu berturut-turut menancap di batok kepala mereka dan mereka pun terjengkang roboh dengan kepala berlubang-lubang, mengucurkan darah bercampur otak! Dewi Muntari sampai hampir muntah meliahat ini, akan tetapi para penjahat itu menjadi marah sekali. Merekapun seperti sekumpulan semuat maju mengeroyok dengan golok mereka. Bahkan Ki Blendu juga merasa penasaran, lalu sekali meloncat dia sudah berda di belakang Kakek yang mengaku bernama Kolokrendo itu. Goloknya menyambar ke arah kepala Kakek itu.
"Wuuuuuttt... plakkk!"
Kepala itu tepat dihantam golok dalam tangan Ki Blendu, akan tetapi bukan
(Lanjut ke Jilid 03)
Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
kepala itu yang pecah, melainkan Ki Blendu yang terhuyung ke belakang. Dia merasa seperti sedang membacok baja yang amat kuat. Dan selagi dia terhuyung, Kakek itu membalikkan tubuhnya, tangan kirinya mencuat ke depan dan terdengar Ki Blendu menjerit mengerikan. Tangan kiri Kakek itu ternyata sudah mencengkeram dada Ki Blendu dan jari-jari tangan yang kurus itu telah menencap dan masuk ke dalam dada yang bidang itu! Tangan itu mencengkeram ke dalam dan ketika ditarik keluar... jari-jari tangan yang berlepotan darah itu telah menggenggam sepotong jantung yang masih menggelempar hidup!
"Keke-kek-kekkk... jamu obat kuat, obat muda, kek-kek-kekk!"
Kemudian Dewi Muntari menyaksikan penglihatan yang sedemikian mengerikan sehingga ia menutupi muka dengan kedua tangannya.
Kakek kurus itu ternyata makan jantung yang segar itu dengan lahapnya, dan kaki tangannya terus bergerak ke sana sini dan terdengar pekik-pekik keskitan dari mereka yang nyawanya direnggut maut. Setiap tendangan atau setiap tamparan itu mematikan. Dalam waktu singkat saja dua puluh orang lebih telah tewas! Tentu saj kini yang lain menjadi ngeri dan ketakutan. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi kini Kakek itu seperti dapat terbang ke sana sini, menyambar-nyambar dan sisa gerombolan itu roboh malang melintang dengan kepala pecah! Akhirnya, tidak seorangpun di antara mereka dapat lolos dari maut di tangan Kolokrendo! Bahkan mereka yang tadinya terluka oleh pengamukan Raden Mas Rangsang dan sedang dibawa oleh kawan-kawan mereka kini tidak terbebas dari pada maut yang lebih mengerikan lagi.
"Keke-kek-kek-kekkkk...!"
Kakek itu tertawa-tawa aneh dan menggunakan pakaian para korbannya untuk mengusap mulut dan kedua tangannya. Kemudian baru dia menghampiri Dewi Muntari. Wanita ini memang tadinya girang mendapat pertolongan Kakek itu, akan tetapi ketika menyaksikian sepak terjang Kakek itu, ia merasa ngeri dan ketakutan. Ia berhadapan dengan makhluk yang tidak seperti manusia lagi. Seorang iblis haus darah! Maka, ketiak Kolorendo maju menghampirinya, Dewi Muntari mundur-mundur dengan ketakutan.
"Kek-kek-kekkkk, mereka semua telah mampus, Dewi."
Dewi Muntari merangkap kedua tangan memberi hormat.
"Terima kasih atas pertolongan Eyang. Sekarang saya harus pergi dari sini!"
Bergegas diankatnya ujung kainnya agar ia dapat berjalan lebih cepat meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi. Hatinya sudah merasa tenang karena tidak terdengar suara apapun. Kakek ituagaknya mengejarnya. Akan tetapi ketika ia tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba saja ia terperanjat melihat Kakek itu suadh berada di depan sana, berdiri membungkuk sambil mengeluarkan bunyi tawa seperti leher tercekik. Dengan jantung berdebar tidak karuan, badan panas dingin Dewi Muntari memutar tubuhnya dan berlari pergi kelain jurusan. Ia mengerahkan tenaga berlari secepat mungkin dan kini ia hampir yakin bahwa Kakek itu tidak mengejarnya. Hampir putus napasnya dipakai berlari cepat itu. Akan tetapi, tiba-tiba kedua kakinya tertahan dan ia tidak mampu bergerak saking takutnya. Terdengar suara itu.
"Kek-kek-kek-kekkk...!"
Akan tetapi orangnya tidak nampak. Selagi memandanf ke kanan kiri, tiba-tiba terdengar suara dari atas.
"Dewiku, engkau tidak akan dapat pergi begitu saja. Engkau harus ikut denganku!"
Muntari memandang ke atas dan ternyata Kakek itu sudah duduk ongkang-ongkang di atas sebatang dahan pohon.
"Eyang... ahh, biarkan saya pergi, Eyang. Saya memohon... biarkan saya pergi..."
Katanya dengan suara lirih saking takutnya.
"Kek-kek-kekkk...! Enak saja. Andika harus menemani aku, mengusir kesepian hidupku, kek-kek-kekkkk!"
Kini tubuh Kakek itu melayang turun dari atas dahan pohon. Dewi Muntari hendak lari, akan tetapi begitu tangan Kakek itu menyambar dan menyentuh pundaknya, ia tidak lagi dapat bergerak dan berdiri saja seolah tubuhnya sudah berubah menjadi patung!
"Kek-kek-kekkk..., andika cantik, Dewiku!"
Jari-jari yang kurus dan keras itu membelai dagu dan Dewi Muntari masih dapat merasa betapa jari-jari tangan itu dingin seperti batang pohon pisang. Mengerikan sekali! Dan lebih mengerikan lagi, ketika ia berusaha untuk menghindarkan diri dari tangan itu, ia tidak mampu menggerakkan kepalanya! Seolah ada daya yang amat kuat yang membuat kepalanya menempel pada jari-jari tangan itu. Pada saat tangan yang berjari kurus kering itu hendak merayap lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara yang lebih menyeramkan lagi. Kalau suara tawa Kakek itu seperti leher dicekik, suara tawa ini mengiki seperti suara siluman dari balik kubur.
"Hih-hih-hih-hih!"
Aneh sekali, Kakek tengkorak hidup yang sakti mandraguna itu, begitu mendengar suara tawa ini, kelihatan terkejut sekali dan dijauhkannya tangannya dari tubuh Dewi Muntari, bahkan dia melangkah mundur. Matanya memandang ke arah satu tempat. Dewi Muntari memutar tubuhnya memandang dan iapun terkejut bukan main, merasa seolah ia tidak berada di dunia tempat tinggal manusia, melainkan di ambang neraka tempat tinggal jin setan iblis. Di depannya berdiri seorang nenek yang walaupun tidak lebih buruk dari pada Ki Kolokrendo, namun tidak kalah aneh dan mengerikan. Usia nenek itu sekitar delapan puluh tahun, tubuhnya pendek gendut. Wajahnya biasa-biasa saja, akan tetapi yang aneh dan menjadi mengerikan adalah betapa wajah ini tertutup bedak putih yang tebal,
Ditempat alis yang sudah tidak berbulu itu dicoreti penghitam alis yang panjang melengkung, dan pada pipi dan bibirnya diberi pemerah bibir yang menyolok sekali. Pakaiannya hanya merupakan kain yang dilibat-libatkan tubuh, akan tetapi kain itu terbuat dari pada sutera halus dan mahal! Dan gerak geriknya! Minta ampun! Lebih genit daripada seorang dara remaja! Akan tetapi saat itu agaknya nenek ini sedang marah sekali. Mulutnya menyeringai, tersenyum tidak cemberut pun tidak, hanya menyeringai seperti memamerkan giginya yang masih lengkap sehingga nampaknya semakin aneh. Mukanya yang ditutupi bedak putih seperti topeng itu tidak menuenjukkan perasaan apapun, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang ditujukan kepada Kakek itu, tanda bahwa ia sedang marah.
"Keparat busuk kau Kolokrendo! Batas terakhir kau langgar, berarti engkau harus siap menerima kematianmu sebagai hukuman!"
Aneh sekali. Kakek yang demikian sakti mandraguna, yang membunuhi puluhan orang muda perkasa dengan amat mudahnya, kini menjadi pucat dan tubuhnya menggigil menghadapi wanita pendek gembrot itu. Dan demikian besar rasa takutnya sehingga diapun menjatuhkan diri berlutut sambil menangis! Dan tangisnya juga bersuara seperti leher dicekik,
"Kek-kek-kek-kekkk...! Ampunkan aku sekali ini, Ni Durgogini. Ampunkan aku... aku belum ingin mati..."
"Hih-hi-hi-hik! Beberapa kali sudah engkau minta ampun seperti ini? Lupakah engkau yang terakhir kali ketika engkau menagkap dua orang gadis dusun itu? Aku masih mengampunimu dan mengatakan itu yang terakhir kalinya dan kalau engkau melanggar aku akan membunuhmu! Dan apa yang kau lakukan sekarang? Tetap saja engkau menyakitkan hatiku, tergila-gila seorang wanita muda yang cantik. Akan tetapi mengingat bahwa sudah banyak berjasa di waktu dahulu, aku memberi kesempatan kepadamu. Kalau engkau mampu menahan seranganku selama lima puluh jurus, engkau boleh bebas dan boleh pergi dari sini!"
"Ahh, Ni Durgogini. Mana berani aku melawanmu? Ampunkan aku, aku sudah bertaubat, sungguh mati..."
"Sumpahmu tidak ada harganya secuil pun! Sejak dahulu engkau kuperlakukan dengan baik, kuberi pelajaran segala macam ilmu, bahkan kuberikan tubuhku kepadamu. Akan tetapi berulang kali engkau menyakiti hatiku. Sudahlah, bersiaplah untuk menghadapi seranganku selama lima puluh jurus, atau aku akan bunuh engkau seketika juga walaupun engkau tidak akan melawanku!"
Nenek itu berbicara dengan amat cepat dan cerewet sekali. Suaranya melengkin-lengkin. Akan tetapi, ada sesuatu pada nama itu. Terdengar tidak asing baginya, atau setidaknya, ia pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh Ayahnya, Sang Prabu Jayabay. Ah, sekarang teringatlah ia. Terjadinya belasan tahun yang lalu. Ia berusia enam belas tahun ketika itu, dan belum lama datang dari gunung diantar kakeknya menghadap Sang Prabu Jayabaya dan diteriam sebagai seorang puterinya.
Pada suatu pagi ia mendengar para pengawal dan para puteri bicara bahwa Sang Prabu Jayabaya semalam menerima seorang tamu yang aneh. Tamu itu seorang nenek yang tua dan penuh rahasia, kabarnya tahu-tahu berada di istana, tanpa ada yang mengetahui kapan masuknya! Tentu saja menimbulkan geger, akan tetapi Sang Prabu Jayabaya muncul dan melarang para pengawal untuk mengganggu nenek yang katanya hendak menghadap itu. Bahkan nenek itu diterima oleh Sang Prabu Jayabaya di ruangan dalam dan bercakap-cakap berdua saj. Dan nenek itupun tahu-tahu telah pergi, tanpa ada orang lain mengetahui kepergiannya. Hal yang aneh ini mengganggu pikirannya dan sebagai puteri baru yang lebih berani karena belum mengenal adat istiadat di istana.
Dewi Muntari lalu bertanya kepada Ayahnya tentang tamu yang penuh rahasia itu. Dan ketika itulah Ayahnya menyebut nama Ni Durgogini! Menurut Ayahnya, Ni Durgogini adalah seorang tokoh besar di dunia orang-orang sakti dan menghadapnya untuk menghaturkan sebatang keris pusaka. Menurut penuturan para penghuni istana, Ayahnya adalah seorang raja yang sakti mandraguna dan mata bijaksana, sehingga banyak orang sakti di dunia ini tunduk kepadanya dan menyerah tanpa dipergunakan kekerasan. Kini Dewi Muntari menonton dengan hati penuh ketegangan. Biarpun Kakek yang bernama Ki Kolokrendo itu ketakutan, akan tetapi ketika dia diserang, diapun cepat melompat, menghindar dan membalas serangan nenek itu. Dewi Muntari adalah seorang yang pernah mempelajari ilmu kanuragan dari mendiang suaminya.
Karena itu ia tidak merasa asing dengan gerakan silat. Akan tetapi sekali ini ia hanya bengong, sama sekali tidak mampu mengikuti gerakan dua orang yang sedang bertanding itu. Hebat sekali pertandingan itu. Kalau tadi Ki Kolokrendo membunuhi puluhan orang dengan enak dan mudah seperti orang membubuti rumput saja, sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk membela diri dari serangan wanita yang selama ini menjadi isterinya, juga gurunya! Mereka berdua menggunakan tenaga sakti sehingga di sekitar tempat itu dilanda angin yang mengemuk seperti badai, seolah-oleh dalam hutan itu terdapat banyak raksasa atau iblis yang mengamuk. Dan sambil berkelahi mati-matian, mereka berdua tetap mengeluarkan suara mereka yang khas.
"Kek-kek-kek-kekkkk...!"
"Hihi-hi-hi-hi-hik...!"
Dewi Muntari bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Angin pukulan kedua orang itu terasa sekali olehnya, kadang ada hawa panas seperti apai menyergapnya dan terkadang ada hawa dingin seperti ampak-ampak. Dengan bersembunyi di belakang pohon besar ia merasa aman terlindung. Ia mengintai dan kedua orang itu telah lenyap bentuk tubuh mereka, yang nampak hanyalah bayangan dua orang saling kejar dan saling serang dengan dahsyatnya. Ia tidak tahu berapa jurus lamanya mereka bertanding. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berhi-hi itu semakin nyaring dan suara berkek-kek makin lemah dan akhirnya ia mendengar bentakan.
"Mampuslah laki-laki tidak setia!"
Dewi Muntari melihat tubuh Kakek itu melayang ke atas dan menabrak cabang dan daun pohon, lalu jatuh seperti sepotong batu ke atas tanah, tak jauh dari tempat ia berdiri. Ia dapat melihat betapa Kakek itu sama sekali tidak terluka, akan tetapi dari matanya, telinganya, hidung dan mulutnya bercucuran darah segar dan mata Kakek itupun terpentang lebar. Dia sudah tewas! Kini nenek itu berdiri memandang tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu, kemudian terdengar dari mulutnya suara yangseperti tawa dan juga seperti tangis itu,
"Hi-hi-hi-hi-hi-hi...! Ki Kolokrendo, kenapa engkau mati meninggalkan aku? Lalu bagaimana hidupku, siapa yanga akan menemaniku...? Hi-hi-hi-hi-hi...!"
Kini Dewi Muntari dapat menduga bahwa suara itu tetulah merupakan tangis dan ia merasa kasihan. Alangkah anehnya. Tadi mengamuk dan membunuh Kakek itu, dan sekarang setelah mati ditangisi! Ia lalu melangkah keluar dari balik pohon besar dan gerakan ini dilihat oleh Ni Durgogini. Ia segera menghampiri Dewi Muntari dengan langkah lebar dan berhenti di depannya sambil memandang tajam penuh ancaman.
"Hemm, engkau! Ya, engkaulah yang membuat suamiku mati! Engkau harus menebusnya dengan nyawamu!"
Akan tetapi dalam saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawanya itu timbul keberanian dalam hati Dewi Muntari. Tidak percuma ia menjadi puteri Sang Prabu Jayabaya. Dalam tubuhnya mengalir darah satria linuwih. Dengan berdiri tegak ia menentang pandang mata yang mencorong itu, lalu ia berkata dengan suara tegas penuh ketenangan.
"Ni Durgogini, kalau engkau hendak membunuhku, tentu mudah kau lakukan. Akan tetapi, aku tidak takut karena Kanjeng romo tentu tidak akan mengampunimu kalau engkau menggangu seujung rambutku saja."
"Hi-hi-hi-hik! Babo-babo keparat! Siapa takut kepada Kanjeng romomu? Siapa dia? Akan kubuh sekalian!"
"Datanglah ke Kota Raja Daha kalau engkau berani. Ayah kandungku adalah Kanjeng romo Prabu Jayabaya!"
Sepasang mata yang tadinya mencorong itu terbelalak kepada Dewi Muntari penuh selidik.
"Ni Durgogini, aku mengetahui ketika belasan tahun yang lalu andika menghadap Kanjeng Romo untuk menyerahkan sebatang keris pusaka!"
Kini keraguan nenek aneh itu menghilang dan sikapnya berubah lunak.
"Tobil-tobil...! Jadi andika ini puteri Sang Prabu Jayabaya? Si keparat Kolokrendo, pantas mati sretus kali, berani mengganggu puteri Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi, kenapa andika dapat berada seorang diri di tempat sunyi ini, gusti puteri?"
"Ah, malapetaka telah menimpa keluarga kami, bibi."
Kata Dewi Muntari dan teringat akan suami dan puteri, tak tertahankan lagi ia menangis. Kini sikap Ni Durgogini sama sekali berubah. Dengan gerakan halus ia menghampiri dan mengelus rambut kepala Dewi Muntari.
"Hemm, tenanglah, gusti puteri. Apa yang telah terjadi? Ceritakanlah kepada Nini Durgogini dan akulah yang akan membasmi anjing dan tikus yang berani menggangumu."
Dewi Muntari menahan tangisnya. Lalu ia menceritakan semua peristiwa yang menimpa dirinya, betapa suaminya tewas ketika gerombolan penjahat menyerang mereka. Pasukan pengawal lari kocar-kacir, suaminya tewas dan puterinya mudah-mudahan dapat meloloskan diri.
"Aku sempat memberi perlawanan akan tetapi akhirnya tertangkap. Kemudian mucul... dia itu..."
Ia menuding ke arah jenazah Ki Kolokrendo. Dia membunuh semua gerombolan penjahat yang hendak memaksanya menjadi teman hidupnya. Aku lari sampai ke sini dan andika muncul menyelamatkan aku, bibi."
"Hemm, kalau begitu para penjahat itu sudah tewas semua. Dendammu sudah terbayar lunas. Juga Ki Kolokrendo sudah mampus. Apa yang hendak kau lakukan sekarang, gusti puteri?"
"Bibi, pertama-tama kuharap andika tidak menyebut gusti puteri kepadaku. Kalau boleh, aku akan ikut denganmu, mempelajari ilmu kanuragan dan aji kesaktian. Aku ingin menjadi muridmu, bibi."
"Ehh? ? Hi-hi-hi-hi! Mana aku berani? Sang Prabu Jayabaya akan marah kepadaku kalau aku berani lancang mengambil murid puterinya. Sebaiknya Paduka kuantarkan kembali ke istana gusti."
"Bibi Durgogini, namaku Dewi Muntari. Aku sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke istana. Banyak orang membenciku di sana, dan akupun curiga atas peristiwa yang menimpa keluargaku. Patut dicurigai bahwa yang mengatur semua ini berada di Kota Raja!"
"Hi-hi-hi-hi-hik, begitukah? Biar aku yang menyelidikinya dan membekuk pelakunya!"
"Tidak usah, bibi. Aku sendiri yang akan melakukan, akan tetapi tentu saja kalau bibi mau menerimaku sebagai murid. Kalau Kanjeng romo kelak menegur, biarlah aku yang akan menghadapi dan siap meneriam hukuman!"
Akhirnya Ni Durgogini tak dapat menolak lagi.
"Baiklah, Dewi! Mulai sekarang namamu Dewi saja dan engkau akan kugembleng aji kesaktian. Muridku hanyalah Ki Kolokrendo seorang. Setelah dia kini mampus, engkaulah yamh menjadi penggantinya."
Ia menggandeng tangan Dewi Muntari.
"Mari kita pergi!"
Wanita yang mulai sekarang menggunakan nama Dewi, memandang kearah jenazah Kakek itu dan berkata,
"Akan tetapi, Bibi. Bagaimana dengan jenazah itu? Apakah tidak perlu disempurnkan dulu?"
"Hi-hi-hi-hik, dia sudah mati, mau diapakan lagi? Dia hanyalah sebatang mayat, bukan lagi Kolokrendo. Hayo pergi!"
Sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat dan Dewi merasa betapa tubuhnya terayun seperti dibawa terbang! Ia pasrah. Ia sudah mengambil keputusan bulat. Ia akan mempelajari aji-aji kesaktian dan kelak ia sendiri yang akan melakukan penyelidikan dan membalas dendam kepada mereka yang mengatur jatuhnya malapetaka yang menimpa keluarganya. Tentang nasib puterinya, ia serahkan saja kepada Hyang Widhi. Tekatnya sudah bulat. Kembali ke istana ia sudah tidak mau. Hidup berdua dengan puterinya saja juga berbahaya karena ia tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi dai mereka berdua. Sang waktu melesat dengan cepatnya, melewati segala apa yang terdapat dan terjadi di alam maya pada ini. Tidak ada yang dapat mengalahkan Sang Waktu. Bagaikan Bathara Kalla Sang Waktu mencaplok dan melahap semua yang ada.
Yang tadinya tidak ada menjadi ada, yang muda menjadi tua, yang tua menjadi mati dan demikianlah semua itu terus menerus mengalir melalui Sang Waktu. Kita sudah biasa menjadi permainan waktu, dengan masa lalu yang mengalir pada masa kini untuk menuju masa depan. Kita hidup di dalam waktu, semua tergantung kepada waktu. Sebenarnya, apakah waktu itu? Masa lalu kini dan masa depan, benarkah ada hubungannya? Tentu saja berhubungan kalau hidup ini menjadi ajang dari kenangan dan pikiran. Pikiran adalah aku, maka selalu hendak mempertahankan keadaan dirinya. Dan tanpa waktu, keberadaan dirinya akan terancam musnah. Siapa aku ini tanpa masa lalu, masa kini dan masa depan? Justeru hidup lepas dari pada permainan waktu adalah hidup yang sejati. Hidup dari saat ke saat, tidak terpengaruh oleh masa lalu atau masa depan.
Tidak ada dendam, tidak ada budi dihutang, yang ada hanyalah saat ini dan segala yang terjadi adalah wajar. Segala yang terjadi adalah kenyataan yang tak dapt dipungkiri lagi, lepas dri segala bentuk dendam maupun pamrih. Kalau begitu, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja. Kekuasaan Tuhan mengatur segalanya, melalui segala macam kekuatan yang ada di permukaan bumi ini. Juga melalui tenaga yang ada pada diri manusia. Semua itu menjadi alat Tuhan dan semua akan berjalan sesuai dengan alur dan jalurnya. Kalau orang memperhatikan jalannya waktu, maka akan ternyatalah bahwa waktu berjalan amatlah lambatnya, seperti siput. Kalau diperhatikan, sejam rasanya sehari, sehari rasanya sebulan, dan sebulan rasanya setahun. Akan tetapi kalau diperhatikan, waktu melesat lewat seperti anak panah dilepas sebuah gendawa sakti. Bertahun-tahun lewat seperti beberapa hari saja!
Sepuluh tahun telah lewat sejak Budhidharma hidup sebagai murid Sang Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi. Bocah yang dulu berusia sepuluh tahun itu kini menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun! Seorang pemuda dewasa yang bertubuh tegap dan kuat, dengan dada yang bidang dan kalau berdiri tegak dan kokoh seperti batukarang, kalau berjalan langkahnya gontai namun tegap seperti langkah seekor harimau. Gerak geriknya lembut dan tutur sapanya halus. Dari sikapnya saj tentu orang dapat menduga bahwa dia bukanlah pemuda dusun biasa, lebih mirip seorang pemuda bangsawan dari Kota Raja yang menyamar sebagai seorang pemuda dusun. Juga sikapnya yang rendah hati dan sama sekali tidak congkak ini sama sekali tidak membayangkan bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda yang digdayadan sakti mandraguna! Dia lembut namun bukan berarti pendiam.
Tidak, Budhidharma pandai bicara dan dipun pembawaannya lincah gembira sehingga semua orang di sekitar lereng Gunung Kawi, Yaitu rakyat yang tinggal di dusun-dusun sekitarnya mengenalnya dengan baik dan pergaulan mereka cukup akrab. Terutama sekali para perawan dusun, hampir semua tertarik dan tergila-gila kepada pemuda ini. Budhidharma memang seorang pemuda rupawan. Wajahnya tampan gagah, kulitnya kuning bersih. Rambut di kepalanya hitam panjang dan berombak. Sepasang alisnya berbentuk seperti golok, hitam tebal membayangkan kejantanan. Sepasang matanya begitu lembut akan tetapi kadang dapat mencorong seperti mata naga atau mata harimau di dalam gelap. Hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis, dagunya yang runcing itu agak berlekuk membuat wajah itu nampak jantan.
Kalau dibuat perbandingan dalam tokoh pewayangan, Budhidharma bukan seorang satria tampan halus seperti seorang bambang misalnya Sang Arjuna atau Sang Lesmana, akan tetapi dia seorang satria yang lembut gagah ganteng seperti Sang Gatutkaca. Dalam hal kesaktian pemuda ini sudah digembleng siang malam selama sepuluh tahun oleh Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi. Sebelum pindah ke Gunung Kawi, Bhagawan Tejolelono tinggal di Gunung Kelud dan disana terkenal dengan julukan Sang Mbaurekso Gunung Kelud. Setelah belasan tahun yang lalau orang-orang sakti berdatangan ke Kelud untuk meperebutkan kedudukan sebagai datuk atau yang berkuasa atas Panca Giri (Lima Gunung) yaitu Semeru, Bromo, Kelud, Arjuna Anjasmoro, dia tidak mau terlibat dalam perebutan nama atau kekuasaan itu dan pergi pindah ke Gunung Kawi.
Dia memilih sebuah lereng yang sunyi dan indah pemendangannya, lalau bertapa di tempat itu. Bhagawan Tejolelono yang sudah beberapa tahun tinggal di lereng Kawi, jarang meninggalkan tempat itu, ketika dia meninggalkan pertapaannya, menurutkan getarnya hati, lalu menyelamatkan Budhidharma, di menganggap bahwa sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa bahwa dia harus menjadi guru pemuda itu. Dia ternyata pilihannya yang tidak keliru. Budhidharma membuktikan dirinya menjadi murid yang berbakat dan rajin sekali, akan tetapi bahkan juga menjadi seorang cantrik yang berbakti dan sayang kepadanya. Anak itu bekerja rajin, mencukupi semua kebutuhan hidup sang bhagawan. Dari Bhagawan Tejolelono, Budhidharma menerima gemblengan lahir batin sehingga bukan saja tubuhnya amat kuat dan kebal,
Dan dia mengenal berbagai kesaktian yang menjadikan dia seorang lawan yang sukar dikalahkan, juga dia dituntun dalam hal pengertian hidup sehingga batinnya terbuka dan dia memiliki watak yang baik, pengertian yang mendalam dan waspada. Pada suatu pagi, tidak seperti biasanya, pagi sekali Sang Bhagawan Tejolelono telah dududk bersila di ruangan depan pondoknya lalu berseru halus memanggil muridnya yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan dan minuman untuk gurunya. Dari dapur, Budhidharma menjawab panggilan gurunya dan karena sarapan memang sudah siap, dia lalu membawanya ke ruangan depan di mana gurunya sudah duduk bersial. Budhidarma menghidangkan sarapan itu di atas tikar. Pisang tanduk rebus, air the kental dengan gula kelapa.
"Silakan sarapan dulu, Eyang Bhagawan."
Katanya dengan lembut. Gurunya tersenyum. Anak ini selalu demikian penuh perhatian kepadanya. Bahkan pakaiannyapun diurus oleh Budhidharma.
"Wah, pisang rebus? Hemm, seperti pisang tanduk, ya?"
"Benar, Eyang. Pemberian dari paman Suto..."
"Mari, kau temani aku sarapan, Budhi."
"Baik, Eyang. Eyang tadi memanggil saya?"
"Ya, ada sesuatu yang penting hendak kusampaikan kepadamu, angger. Akan tetapi mari kita sarapan dulu, setelah itu baru kita bicara."
Kakek dan pemuda itu lalu sarapan pisang. Hanya pisang rebus, akan tetapi pisang tanduk yang sudah tua merupakan makanan yang lezat sekali. Juga minuman air teh kental dengan gula kelapa juga nikmat sekali diminum di waktu pagi yang dingin. Setelah kenyang sarapan, Bhagawan Tejolelono membiarkan muridnya menyingkirkan sisa makanan dan membersihkan tikar, barulah dia menceritakan apa yang hendak dibicarakan tadi.
"Begini, angger. Tahukah andika, sudah berapa lama andika tinggal dan belajar ilmu di sini?"
"Kalau tidak salah, sudah kurang lebih sepuluh tahun, Eyang."
"Benar, dahulu usiamu sepuluh tahun dan sekarang engkau telah menjadi seorang pemuda perkasa berusia du puluh tahun."
"Semua ini berkat bimbingan Eyang yang bijaksana dan saya tidak akan menyia-nyiakan semua yang telah Eyang ajarkan kepada saya."
"Bagus, semoga begitu adanya. Ketahuilah bahwa semua ilmu yang kumiliki telah kuajarkan kepadamu, angger. Sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang dapat kuajarkan."
Budhidharma menatap wajah Kakek itu. Dia sudah dapat menduga apa yang dimaksudkan gurunya.
"Akan tetapi, Eyang. Saya masih mempunyai kewajiban yang amat penting, yaitu menemani dan menjaga Eyang sebagai Darmabakti seorang murid kepada gurunya tercinta."
"Darma baktimu sudah cukup untukku, kulup. Darmabaktimu untuk Sang Hyang Tunggal, untuk rakyat dan kemanusiaanlah yang perlu kau lakukan. Oleh karena itu, mulai hari ini engkau harus mengambil jalan hidupmu sendiri kita harus berpisah."
"Ampun Eyang. Akan tetapi, tidak dapatkah saya mengikuti Eyang dan melayani Reyang yang sudah tua? Siapa yang akan mengurus keperluan hidup Eyang sehari-hari..."
"Ha-ha-ha-, aku menjadi seorang yang malas dan manja, Budhi. Aku masih dapat mengurus diriku sendiri dan aku kan pergi merantau, maka tidak mungkin kita pergi bersama. Dan aku mempunyai tugas bagimu yang kuharap dapat kau laksanakan dengan baik karena inipun merupakan tugasmu untuk menentramkan jagat."
Budhidharma menjadi girang sekali. Dia menyembah dan berkata,
"Hamba akan melaksanakan perintah Eyang sebaik-baiknya. Tugas apakah yang harus hamba kerjakan, Eyang?"
"Kisahnya dimulai kurang lebih seratus tahun yang lalu. Seabad yang lalu, ketika Sang Prabu Airlangga sudah merasa sepuh, beliau turun tahta dan hidup sebagi seorang pendeta dan terkenal karena kebijaksanaannya, Sang MahaPrabu Airlangga memakai nama julukan Resi Gentayu. Setelah beliau mengundurkan diri, banyak pusaka keraton yang diboyong ke pertapaan. Dalam keadaan perpindahan pusaka itu, terjadi geger karena hilangnya sebuah pusaka keris yang disebut Sang Tilam Upih! Pusaka ini merupakan keris pusaka yang ampuhnya menggiriskan dan mengandung hawa yang jahat sekali. Kabarnya, jangankan sampai melukai kulit orang baru diacungkan saja, hawa dan pengaruh yang berdaya kuat dari keris pusaka itu dapat membuat tubuh lawan menjadi melepuh seperti disiram air mendidih atau seperti disambar petir."
"Wah bukan main ampuhnya keris pusaka itu, Eyang!"
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seru Budhi dengan kagum.
"Buatan atau ciptaan siapakah pusaka itu, eyang? Saya belum pernah mendengarnya."
"Pusaka itu diciptakan oleh Empu Brobokendali, seorang empu yang terkenal ampuh di jaman negeri Medang Kamulan, delapan ratus tahunyang lalu. Menurut dongeng, ketiak menciptakan keris pusaka Tilam Upih itu, Empu Bromokendali kedatangan seorang perawan cantik dan dia tidak mampu menahan gejolak birahinya. Terjadilah perbuatan susila yang sebetulnya merupakan pantangan bagi Empu Bromokendali di waktu dia sedang membuat sebuah keris pusaka. Setelah kesemuanya terjadi, barulah dia mendapat kenyataan bahwa tubuh perawan itu dipergunakan oleh iblis untuk menggodanya. Dan dia telah melanggar pantangan berat."
"Akan tetapi Eyang dalam hal ini, sama sekali kita tidak boleh menyalahkan iblis yang menggoda. Menurut bimbingan Eyang bukankah sumber segala perbuatan tidak benar terletak di dalam hati akal pikiran sendiri?"
"Memang benar demikian, kulup. Dan iblis yang memang pekerjaannya menggoda manusia, tahu akan kelemahan hati akal pikiran manusia itu. Dia tahu di mana letak kelemahan itu dan dselalu mempergunakan kesempatan untuk menggoda manusia melalui kelemahannya itu. Justeru kelemahan Empu Bromo kendali terletak kepada nafsu birahinya, maka iblis lalu mempergunakan tubuh perawan itu untuk menjatuhkannya."
Budhidharma menganguk-angguk.
"Menurut petunjuk Eyang, manusia tidak mungkin dapat melawan nafsu daya rendah yang menghuni hati akal pikiran kita sendiri. Satu-satunya kekuasaan yang mampu menundukkan daya rendah itu hanyalah kekuasaan Tuhan! Dan setiap orang akan dilindungi oleh kekuasaan Tuhan ini apabila dai dengan sepenuh jiwanya menyerahkan diri dengan penuh keikhlasan, penuh keimanan kepada Hyang Widhi Wasa."
"Tepat sekali, kulup. Akan tetapi sayang, Empu Bromokendali lengah dan setelah semuanya terjadi, ada hawa yang jahat menyusup ke dalam keris pusaka Tilam Upih yang sedang dibuatnya. Setelah keris itu jadi, tahulah sang empu bahwa keris pusaka itu mengandung pengaruh dan hawa yanga amat jahatnya, yang kelak dapat membahayakan kehidupan manusia. Oleh karena itu, sang empu mempergunakan kesaktiannya, membungkus pusaka itu dengan daun pisang kering, lalu melarungkannya (membuang) ke Lautan Kidul."
"Jadi setiap benda buatan manusia itu akan terpengaruh oleh keadaan batin pembuatnya pada saat membuat benda itu, Eyang?"
"Tentu saja! Karena itu, segala macam benda itu merupakan bahaya besar karena mengandung daya pengaruh yang amat kuat. Hanya batin orang yang benar-benar pasrah dan menyerah kepada Tuhan sajalah yang akan dapat terhindar dari pengaruh daya benda. Kembali kepada keris pusaka Sang Tilam Upih. Tentu tidak akan timbul akibat lain setelah keris pusaka itu dibuang ke Lutan Kidul kalau saja di waktu mudanya Sang MahaPrabu Airlangga bersama patihnya yang juga amat sakti dan setia yaitu Raden Narottama tidak melakukan tapabrata di tepi Lautan Kidul. Dalam pertapaan itulah Sang MahaPrabu Airlangga mendapat ilham sehingga beliau mengetahui adanya sebauh keris pusaka ampuh di dasar samudera. Beliau lalu mengutus patihnya untuk mengambil pusaka itu. Raden Narottama yang sakti lalu menyelam dan berhasil mengeluarkan keris Pusaka Tilam Upih itu."
"Wah, hebat sekali ilmu kepandaian patih itu, Eyang."
"Tentu saja. Ki patih Narottama yang sejak mudanya menjadi sahabat Sang MahaPrabu Airlangga memmang seorang yang sakti mandraguna, bahkan seperguruan dengan Prabu Airlangga. Akan tetapi raja yang sakti mandraguna itu melihat betapa keris pusaka itu mengeluarkan hawa pengaruh yang amat jahat, maka beliau lalu memperbaikinya, mengisinya dengan hawa pengaruh yang baik, bahkan mengubah sedikit bentuknya. Setelah diisi pengaruh kebaikan oleh sang Prabu Airlangga, keris pusaka itu kini memiliki daya pengaruh dua macam. Kalau pusaka itu jatuh ketangan seorang yang budiman, maka keris pusaka itu akan amat berguna bagi nusa dan bangsa. Akan tetapi sebaliknya kalau tejatuh ke dalam tangan seorang yang pada dasarnya berwatak kotor, maka keris itu akan mendatangkan malapetaka bagi nusa dan bangsa."
"Wah, gawat kalau begitu, Eyang."
"Ketika Sang Prabu Airlangga mengundurkan diri menjadi pertapa, dalam kesibukan itu, keris pusaka Tilam Upih lenyap. Yang menerima tugas untuk mencari pusaka itu adalah Eyang guruku yang bernama Ki Empu Dewaraga. Akan tetapi Ki Empu Dewaraga gagal menemukan kembali kerena menurut perhitungannya, keris pusaka itu terjatuh ke dalam tangan seorang yang sakti mandraguna dan amat jahat. Keris pusaka itu dijadikan senjata untuk mendirikan sebuah kerajaan di barat, jauh di pesisir Lautan Kidul. Saking sedihnya karena tidak mampu menemukan keris pusaka itu seperti diperintahkan Sang MahaPrabu Airlangga yang telah menjadi Sang Resi Gentayu, Eyang guruku Empu Dewaraga merasa berduka yang mengakibatkan kematiannya."
"Wah, kasihan sekali Eyang Buyut itu! Kata Budhidharma."
Gurunya menghela napas panjang.
"Semua yang terjadi sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang perlu disesalkan. Sang Prabu Jayabaya adalah seorang yang sakti mandraguna bijaksana dan menguasai aji meneropong tirai rahasia alam. Beliau itu weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum terjadi). Beliau mengumumkan perhitungannya dengan pasti bahwa keris pusaka Ki Tilam Upih itu tidak akan muncul kepermukaan bumi, dalam arti kata ditemukan orang, sebelum satu abad lamanya semenjak hilang. Dan sekaranglah tiba saatnya keris pusaka itu akan muncul. Berita tentang ini terdengar oleh seluruh orang gagah, maka orang-orang sakti mandraguna bermunculan untuk berlomba mencari dan menemukan keris pusaka Tilam Upih itu."
"Untuk dihaturkan kembali kepada Sang Prabu Jayabaya, Eyang?"
Kembali Kakek itu menghela napas panjang.
"Hemm, tentu ada yang berpamrih demikian. Akan tetapi akau khawatir bahwa sebagian besar di antara mereka berlomba mencari keris pusaka itu untuk dirinya sendiri, untuk dimilikiny sendiri. Ketahuilah, kulup, bahwa keris pusaka yang ampuh mempunyai pengaruh dan kekuasaan. Dan siapa orangnya yang tidak akan tertarik kalau ada kemungkinan kekuasaan jatuh pada dirinya? Karena itulah, kulup. Andika kuberi tugas, yaitu mewakili aku mencari keris pusaka itu agar dapat kita kembalikan kepada Sang Parbu Jayabaya. Bagaimanapun juga, menjadi tugas kita untuk dapat menemukan pusaka itu, sebagai pemenuhan tugas dahulu yang gagal dilakukan Eyang guruku Empu Dewaraga."
Timbul kegembiraan dalam hati Budhidharma. Dia sebetulnya tidak takut hidup menyendiri, terpisah dari gurunya. Yang membuat dia ragu adalah permulaan dari hidup sendiri itu. Tanpa tujuan, dia harus pergi ke mana? Kini dengan adanya tugas itu, maka perjalanannya mempunyai satu tujuan tertentu dan ini amat menggembirakan hatinya.
"Saya akan melaksanakan perintah eyang! Akan tetapi, saya mohon petunjuk Eyang. Kemanakah saya harus mencari pusaka Tilam Upih itu dan bagaimana pula bentuk dan rupanya agar kelak saya tidak mendapatkan barang yang palsu?"
"Ingat baik-baik, kulup. Keris pusaka Tilam Upih adalah sebatang keris berlekuk tiga, dan setelah diubah bentuknya oleh mendiang MahaPrabu Airlangga maka dapur keris menjadi dapur Mahesa suka, yaitu badan lebar panjang sedang, dengan rincian: Lambe Gajah Lamba, Kembang Kacang, sogokan panjang. Mata keris bagian bawah amatlah tajamnya karena di situ terletak pengaruh jahat itu. Sehelai rambut yang diletakkan di atas mata keris itu lalau ditiup akan putus seperti dijilat apai. Akan tetapi mata keris bagian atas berbeda dengan bagian bawah. Pamor di bagian atas seperti perak mencorong, akan tetapi pamor bagian bawah menghitam seperti angus. Ke mana mencarinya? Kulup, keris pusaka itu dahulunya di Lautan Kidul, di sebelah barat Nusa Barung. Nah, mulailah dari ujung timur, dari Balmbangan sampai ke Teluk Prigi, Kulup."
Demikianlah, setelah menerima banyak wasiat dan wejangan dari gurunya, tiga hari kemudaian berangkatlah Budhidharma meninggalkan Gunung Kawi.
Kalau dahulu, sepuluh tahunyang lalu, dia naik ke Gunung Kawi sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun, kini dia menuruni lereng gunung itu sebagai seorang pemuda dewasa yang gagah dan tampan. Dia menuruni lereng dari sebelah selatan karena dia akan langsung saja melaksanakan perintah gurunya, yaitu menuju pantai selatan untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Tilam Upih itu. Tugasnya yang ke dua adalah pribadinya yang tidak pernah dia lupakan semenjak dia berada di Gunung Kawi. Yaitu, mencari pembunuh Ayah Ibunya, gerombolan Gagak Seto dan terutama sekali ketuanya. Tidak, hatinya tidak diracuni dendam. Dia sudah menerima genblengan batin yang mantap dari gurunya sehingga hatinya tidak cengeng dan selemah itu. Dia maklum bahkan kematian setiap orang sudah ditentuakn oleh kekuasaan Sang Hyang Syiwa, karena itu tidak semestinya kalau dia mendendam.
Pelaku pembunuhan atas Ayah Ibunya itu hanya merupakan alat yang kebetulan dipergunakan oleh Sang Hyang Syiwa untuk mencabut nyawa Ayah Ibunya. Hal itu terjadi karena karma mereka. Dia ingin mencari ketua dan gerombolan Gagak Seto untuk bertanya, apa sebabnya mereka melakukan pembunuhan itu. Hal ini haruslah jelas dan untuk melihat pula bagaimana sesungguhnya keadaan gerombolan Gagak Seto. Kalau memang gerombolan penjahat, dia tidak akan ragu lagi untuk membasminya, dan kalau ketuanya memang jahat, dia tidak akan ragu untuk menumpasnya. Inilah kewajiban seorang satria, bukan membunuh karena balas dendam! Dengan langkah tegap Budhidharma menuruni lereng Gunung Kawi. Kita tinggalkan dulu Budhidhrma yang turun gunung mulai memasuki dunia Ramai, dan marilah kita menengok keadaan lain di Gunung Anjasmoro!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketua Gagak Seto yaitu Ki Sudibyo yang menderita sakit batinnya sehingga tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan, tidak begitu memperhatikan urusan perkumpulan. Untuk perkumpulan Gagak Seto dia serahkan kepada dua orang pembantu utamanya, yaitu Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko. Adapun dia sendiri lebih banyak berada di dalam sanggar pamujan atau di ruangan tertutup di bagian belakang yang menjadi tempat beristirahat dan berlatih silat baginya. Akan tetapi, sejak dia mengangkat Niken Sasi menjadi murid, muridnya itulah yang selalu menemaninya. Niken Sasi bukan hanya menjadi murid tersayang, akan tetapi juga gadis cilik ini melayani segala keperluan gurunya yang dianggapnya sebagai pengganti Ayah Ibunya. Kemudian, dia mendapatkan kenyataan bahwa murid barunya ini ternyata memiliki bakat yang hebat sekali!
Sama sekali sukar dapat dipercaya bahwa dalam tubuh yang mungil dan lemah gemulai, yang luwes itu tersimpan tenaga sakti yang hanya butuh dilatih dan dikembangkan. Kemudian dia teringat bahwa bagaimanapun juga, gadis kecil ini adalah cucu SangPrabu Jayabaya yang sakti mandraguna! Maka, tentu saja Ki Sudibyo girang bukan main dan diapun melatih gadis itu lebih tekun lagi. Bukan hanya semua ilmu dan aji kesaktian diajarkan kepada gadis itu, bahkan aji simpanannya, yaitu Aji Has-Bajra [Tangan Kilat] yang selama ini tidak pernah diajarkan kepada murid lain, kini diajarkan kepada Niken Sasi, setelah gadis itu menjadi seorang gadis dewasa. Hati Ki Sudibyo merasa terhibur. Dia masih merasa hidupnya penuh penderitaan kalau teringat akan penyelewengan dan pengkhianatan isterinya tercinta, kalau dia teringat betapa dia hidup seorang diri tanpa keluarga, tanpa isteri dan tanpa anak.
Akan tetapi kini dalam diri Niken Sasi dia menemukan seorang murid, sekaligus seorang anak yang amat membanggakan dan menyenangkan hatinya. Bukan kehebatan Niken Sasi dalam mewarisi semua aji kesaktiannya saja yang membuat Ki Sudibyo bahagia dan bangga. Akan tetapi keahliannya dalam ilmu lain, terutama sekali kecantikannya. Niken Sasi yang kini telah menjadi seorang gadis yang memiliki kecantikan sebanding dewi-dewi kahyangan! Wajahnya yang bulat telur, rambutnya yang hitam panjang ngandan-andan, alisnya yang hitam kecil melengkung, matanya yang redup jeli kadang mencorong, hidungnya yang kecil mungil dan terutama sekali mulutnya yang menggairahkan, semua itu masih diperindah pula oleh bentuk tubuhnya yang padat ramping dan kulit putih kekuningan. Di samping kecantikannya yang membuat semua pria di Anjasmoro dan sekitarnya terpesona,
Juga gadis ini amat pandai dalam kesenian berjoget, bertembang dan lain kesenian kau m wanita. Jelas sekali nampak trahing kusumo rembesing madu mengalir dalam darah yang lembut berisi ini. Namun, Niken Sasi tetap bersikap sederhana, seperti para perawan dusun pada umumnya. Ia sudah melupakanbahwa dirinya adalah cucu sang Prabu Jayabaya, dan menganggap dirinya seorang perawan dusun murid dan anak anagkat Ki Sudibyo yang amat dihormati dan disayangnya. Biarpun pakaian dan gerak geriknya sederhana tidak ada bedanya dengan para perawan dusun, namun apabila ia berada di antara mereka, semua orang melihat kepandaiannya, seolah seekor merak berada di antara sekumpulan bebek! Pada suatu sore Ki Sudibyo memanggil muridnya ke dalam ruangan belakang yang tertutup. Dia kini telah menjadi seorang laki-laki yang kelihatan tua sekali.
Usianya memang sudah enam puluh tahun, akan tetapi dia nampak jauh lebih tua. Tubuhnya jangkung kurus, rambutnya sudah putih semua, dibiarkan terurai panjang, demikian pula jengkot dan kumisnya yang sudah putih dibiarkan tak terpelihara. Namun dia mesih tetap kelihatan bersih dan anggun. Niken Sasi mengenakkan kain bercorak hitam dan kemben berwarna hijau pupus. Pinggangnya ramping sekali dan ia nampak seperti setangkai mawar. Jambon yang segar dan semerbak mengharum. Mendengar panggilan gurunya, Niken Sasi cepat menghadap dan memberi hormat dengan sembah. Pertama kali disembah oleh puteri bangsawan cucu raja ini, Ki Sudibyo merasa rikuh sekali. Akan tetapi kini dia sudah terbiasa dan dia menerima penghormatan itu dengan tersenyum dan mengamati wajah murid terkasihnya itu sambil mengangguk-angguk.
"Sembahmu sudah kuterima, dan keadaanku sehat-sehat saja hari ini, Niken. Duduklah, aku ingin bercakap-cakap denganmu."
"Perintah dan petunjuk apakah yang akan Bapa Guru berikan kepada saya? Saya siap melaksanakan semua perintah bapa."
Kata Niken Sasi dengan suara merdu dan mantap. Ki Sudibyo mengelus jenggotnya dan tersenyum gembira sekali. Sepasang matanya sejenak bersinar-sinar dan dia mengangguk-angguk.
"Tiada habisnya aku menghaturkan Hyang Agung yang sudah mengaruniaku seorang murid seperti andika ini di hari tuaku, Niken. Hatiku gembira sekali, apalagi ketika pagi tadi aku melihat bahwa latihanmu mempergunakan aji Hasta Bajra telah mencapai titik tertinggi. Nah, sekarang aku ingin melihat aji itu dengan menggunakan tenaga sepenuhnya, seolah engkau sedang berhadapan dan bertanding melawan seorang yang tangguh. Aku sendiri akan mengujimu menggunakan aji itu, Niken."
Niken Sasi nampak khawatir.
"Akan tetapi, Bapa, bertanding dengan aji itu amat berbahaya karena sekali dikeluarkan bagaimana kita dapat mengendalikannya sehingga tidak membahayakan lawan?"
"Memang tidak dapat dikendalikan begitu saja. Bagaikan menyambarnya kilat, akibatnya tergantung dari kuat atau tidaknya lawan menerimanya. Akan tetapi aku bukan hendak mengujimu bertanding aji itu, Niken Sasi. Andika tahu sendiri bahwa tenagaku sudah habis, digerogoti penyakitku. Aku tidak mampu lagi mengerahkan tenaga Hasta Bajra. Karena itu, aku akan menyerangmu dengan lemparan balok-balok kayu yang sudah kupersiapkan ini. Semua lemparan balok-balok ini sambutlah dengan aji Hasta Bajra. Jangan batasi tengamu karena kau ingin melihat sampai di mana tingkatmu dalam aji itu."
"Ah, begitukah, Bapa?"
Kata Niken Sasi dengan hati lega.
"Baiklah, akan kulaksanakan perintah Bapa Guru."
Ia meloncat ke tengah ruangan itu dan memasang kuda-kuda. Tubuhnya memasang kuda-kuda miring menghadapi gurunya, kaki kanan di depan, kaki kiri di belakang agak ditekuk, kedua lengannya di angkat ke atas dengan telapak tangan menghadao ke arah atas seperti sedang menyangga langit. Tubuhnya tegak, matanya memandang tajam ke depan, pernapasannya menjadi lambat dan panjang karena ia mulai menyalurkan tenaga Hasta Bajra ke dalam kedua tangannya.
"Saya sudah siap, Bapa!"
Katanya dengan sikap gagah. Ki Sudibyo memang tidak berani lagi menggunakan aji Hasta-Bajra karena penggunaan tenaga sakti itu terlalu kuat bagi tubuhnya yang sudah ringkih. Maka, dia sejak pagi tadi telah mengumpulkan belasan potongan balok yang cukup besar, dan beberapa bongkah batu gunung. Kini, dia lalu mengangkat balok-balok itu, satu demi satu dan dilontarkan ke arah muridnya dengan sekuat kemampuannya. Biarpu dia sudah berpenyakitan, akan tetapi karena bekas pendekar perkasa, lontarannya itu masih cukup kuat dan potongan balok itu menyambar dahsyat ke arah muridnya.
"Siyyyttt... wirrrrrr...!"
Blok pertama menyambar ke arah kepala Niken Sasi.
"Hyattttt... ahhhhh!"
Gadis jelita ini menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka menghantam ke arah balok itu. Nampaknya tidak terlalu keras ia menghantam, akan tetapi ketika tangannya menyambar batu, terdengar suara keras.
"Brakkkkk...!"
Dan balok itupun berantakan, pecah menjadi beberapa potong dan berhamburan ke dinding ruangan menimbulkan suara gaduh.
Balok ke dua, ke tiga dan ke empat menyusul, cepat sekali. Niken Sasi bergerak, memainkan ilmu silat Hasta Bajra, kedua tangannya seperti sepasang golok menyambar-nyambar ke arah balok dan batu yang datang susul-menyusul. Balok-balok itu pecah dan ketiak batu-batu mulai menyambar, batu-batu itupun porak-poranda terkena hantaman tangan yang berkulit halus itu. Kini dari ruangan itu terdengar suara hiruk-pikuk karena pecahan kayu dan batu menghantam dinding, ditambah lagi menyambarnya hawa pukulan Hasta Bajra yang mengguncangkan seluruh ruangan! Para murid Gagak Seto terkejut bukan main ketika dari ruangan tertutup itu terdengar suara hiruk-pikuk ditambah lagi didnding ruangan itu tergetar seperti dilanda angin badai yang mengamuk. Akan tetapi Klabangkoro dan Mayangmurko yang juga sudah berada di luar ruangan itu saling pandanga dan Klabangkoro berbisik,
"Bagaimana Bapa Guru dapat berlatih sehebat itu? Bukankah dia sakit dan lemah...?"
Setelah suara gaduh itu berhenti, Klabangkoro lalu mengetuk daun pintu ruangan itu sambil berteriak memanggil gurunya,
"Bapa Guru...! Apakah yang terjadi? Harap suka membuka pintu dan mengijinkan kami masuk...!"
Agak lama tidak ada jawaban, kemudian pintu terbuka dari dalam dan yang muncul adalah Niken Sasi, adik seperguruan mereka termuda. Niken Sasi tersenyum melihat Klabangkoro, Mayangmurko dan Gajahpuro, aeorang pemuda tampan dan gagah putera Klabangkoro, dan banyak sekali murid Gagak Seto berada di belakang mereka.
"Haiiii, kalian kenapakah? Membikin kaget kepada Bapa Guru saja.
"Niken Sasi menegur, akan tetapi sambil tersenyum.
"Niken Sasi, apakah yang terjadi di dalam?"
Gajahpuo yang sebaya dengan gadis itu dan hubungan di antara mereka akrab sekali, segera bertanya.
"Ya, apakah yang terjadi, Niken?"
Tanya pula Klabangkoro sambil mencoba untuk menjenguk ke dalam. Dia tebelalak melihat pecahan-pecahan kayu dan batu di ruangan itu, berserakan memnuhi ruangan.
"Ah, tidak ada apa-apa. Hanya Bapa Guru sedang berlatih aji Hasta Bajra, mengguankan kayu dan batu yang harus kulemparkan kepada Bapa Guru."
Kata gadis itu dengan suara wajar. Ia memang seorang gadis yang cerdik. Ia sudah diberitahu oleh gurunya bahwa tidak ada seorangpun boleh mengetahui bahwa dia telah menerima pelajaran aji Hasta Bajra dari gurunya, harus merahasiakan sampai aji itu dikuasainya dengan sempurna. Oelh karena itu, ketika mereka bertanya-tanya, mudah saja ke luar dari bibirnya jawaban itu. Klabangkoro dan Mayangmurko kembali saling pandang dan mata mereka terbelalak.
"Akan tetapi... bukankah... bukankah Bapa Guru sedang sakit...?"
Tanyannya heran. Pada saat itu Ki Sudibyo muncul dari ambang pintu. Wajahnya agak pucat dan napasnya memburu. Dia mengangkat tangan menenangkan muridnya lalau berkata sambil tersenyum lemah
"Kalian semua jangan khawatir. Aku hanya berlatih dan... latihan itu menghabiskan tenagku. Aku... aku ingin beristirahat, jangan mengganguku. Engkaupun beristirahatlah, Niken. Engkau sudah cukup membantuku..."
Ki Sudibyo lalu menutupkan kembali dauan pintu setelah masuk kembali ke dalam ruangan itu.
"Niken, engkau harus menceritakan kepadaku tentang latihan Hasta Bajra itu. Tentu hebat bukan main!"
Tanya Gajahpuro sambil mendekati Niken Sasi. Gadis itu tersenyum, sambil menuruni anak tangga dan melangkah perlahan. Gajahpuro mendampinginya, juga Klabangkoro dan Mayangmurko.
"Bukan hebat lagi, dahsyat!"
Kata gadis itu tersenyum, diam-diam ia girang bukan main karena tadi sehabis latihan, gurunya mengatakan bahwa ia telah mencapai tingkat yang cukup tinggi.
"Niken, andika melihat semua gerakan Bapa Guru ketika berlatih aji Hasta Bajra?"
Benar-benarkah dia memainkan aji itu dengan dahsyatnya?"
"Aku melihatnya sendiri, paman. Semua balok dan batu yang kulemparkan kepadanya dihancurkan oleh kedua tangannya."
Jawab gadis itu. Klabangkoro saling pandang dengan Mayangmurko.
"Akan tetapi dia sedang sakit, tubuhnya lemah, bagaimana..."
"Siapa bilang Bapa Guru sakit dan lemah?"
Niken Sasi membantah.
"Dia sehat dan kuat, buktinya mampu berlatih Hasta Bajra."
"Wah, kalau begitu tentu engkau sudah mempelajarinya pula, Niken?"
Kata Gajahpuro girang, akan tetapi juga suaranya mengandung iri.
"Aji itu terlalu berat dan sukar bagiku, dan Bapa Guru juga tidak mengajarinya kepada siapapu. Sudahlah, aku ingin mandi, hari sudah mulai gelap dan sebentar lagi aku harus mempersiapkan makan malam untuk Bapa Guru."
Gadis itu lalu pergi meninggalkan para murid Gagak Seto yang masih tertegun dan bertanya-tanya itu. Klabangkoro lalu menarik tangan Mayangmurko memasuki pondoknya. Dengan daun pintu dan jendela tertutup mereka berdua lalu bercakap-cakap dengan hati-hati dan setengah berbisik sehingga tidak akan terdengar lain orang.
"Ssstt... Kakang Klabangkoro, apa yang kita dengar tadi? Ternyata Bapa Guru masih sehat dan kuat. Sungguh celaka! Bisa berantakan semua rencana kita yang sudah kita rencanakan bertahun-tahun!"
Kata Mayangmurko. Klabangkoro memukul telapak tangan kiri dengan tinju kanan.
Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo