Ceritasilat Novel Online

Asmara Dibalik Dendam Membara 4


Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Plakkk!"

   Dia berjalan hilir mudik.

   "Pantas saja ketika itu Sepasang Keris Maut dari Nusa barung yang dikirim Jambuka Sakti gagal membunuhnya. Akan tetapi menurut Sepasang Keris Maut, pukulan Bapa Guru tidak begitu kuat lagi sehingga tidak membuat mereka terluka berat. Mungkinkah sekarang telah pulih kembali semua kekuatannya? Rasanya tidak mungkin! Kelihatannya dia berpenyakitan dan lemah, apa lagi usianya menjadi semakin tua."

   "Kakang Klabangkoro, jangan-jangan Niken Sasi..."

   "Hemm, bocahperempuan itu? Mana mungkin ia dapat menguasai Hasta Bajra ayang amat sulit dan membutuhkan landasan tenaga sakti yang kuat. Bocah perempuan itu tidak ada apa-apanya, adi Mayangmurko."

   "Akan tetapi ia dekat dengan Bapa Guru dan ia amat disayang. Aku khawatir Bapa Guru mewariskan aji itu kepadanya, baik dalam bentuk pelajaran atau dalam bentuk kitab agar kelak dapat dipelajarinya. Kurasa jalan terbaik adalah melenyapkan perawan itu, Kakang."

   "Hushh! Lancang ucapanmu, Mayangmurko! Tidak tahukah andika bahwa puteraku si Gajahpuro itu cinta setengah mati kepada Niken Sasi? Tidak, membunuhnya bukan jalan terbaik, pula akan menimbulkan kecurigaan kepada Bapa Guru. Lebih baik kalau perawan itu menjadi isteri puteraku sehingga andaikata benar ia memiliki warisan Hasta Bajra, kelak akan terjatuh ketangan puteraku pula."

   "Akan tetapi bagaimana kalau dia tidak mau menjadi isteri Gajahpuro?"

   Bantah Mayangmurko.

   "Harus diusahakan agar ia mau! Aku ada akal. Rencana ini pertama untuk menguji apakah benar gadis itu memiliki aji Hasta Bajra, dan kedua membuat ia berhutang budi kepada Gajahpuro. Kalau cara ini tetap tidak berhasil, masih ada cara ketiga, yaitu menodainya sehingga terpeksa ia akan menerima Gajah[puro sebagai suaminya untuk mencuci aib."

   Mendengar ini, Mayangmurko mengacungkan Ibu jarinya.

   "Wah, andika memang hebat, Kakang. Mari kita cepat melaksanakan rencana itu agar jangan sampai terlambat!"

   Kedua orang itu lalu meninggalkan ruangan tertutup itu dan menyelinap dalam kegelapan malam yang mulai menyelimuti bumi. Sementara itu, ketika Niken Sasi melayani gurunya makan malam, Ki Sudibyo mengajak muridnya itu makan bersama. Hal ini agak aneh bagi Niken Sasi, karena tidak biasanya gurunya mengajak makan bersama. Melihat pandang mata Niken Sasi yang penuh keheranan dan keraguan itu, Ki Sudibyo berkata lembut.

   "Niken, jangan ragu-ragu. Marilah temani aku makan malam. Siapa tahu, dalam beberapa hari ini merupakan hari-hari terakhir bagi kita untuk berduaan."

   "Eh? Maksud Bapa Guru, bagaimana?"

   Tanya gadis itu dengan mata terbelalak, terkejut.

   "Niken Sasi, engkau kini telah menjadi seorang gadis remaja, bahkan sudah dewasa karena usiamu sudah delapan belas tahun. Ingatlah, engkau berasal dari istana!"

   Niken Sasi memenuhi permintaan gurunya dan makan bersama gurunya, dan sambil makan mereka bercakap-cakap.

   "Saya kira Bapa masih ingat bahwa saya sama sekali tidak mengharapkan untuk kembali ke istana. Saya ingin tinggal saja di sini melayani Bapa Guru."

   Ki Sudibyo tersenyum.

   "Boleh saja engkau melupakan istana dan tidak ingin kembali ke sana. Itu adalah hak pribadimu untuk memilih kehidupan macam apa yang ingin kau tempuh. Akan tetapi, juga tidak mungkin kalau engkau terus tinggal di sini melayaniku. Aku t6idak ingin disebut manusia yang mementingkan dirinya sendiri.

   "Tidak, angger, engkau harus pergi dari sini karena banyak persoalan yang harus kau hadapi di samping engkau harus pula memanfaatkan semua ilmu yang pernah kau pelajari di sini dengan segala jerih payah."

   "Akan tetapi, Bapa. Persoalan apakah yang saya hadapi? Saya tidak mempunyai persoalan."

   "Hemm, benarkah itu? Apakah engkau bicara dari dasar hatimu, ataukah memang engkau sudah lupa bahwa Ayah Ibumu terbunuh orang tanpa kau ketahui dosanya dan siapa pula para pembunuh itu?"

   Mendengar pertanyaan gurunya itu, tiba-tiba saja Niken Sasi menundukkan mukanya untuk menyembunyikan matanya yang tiba-tiba menjadi basah itu. Ia menahan makannya dan melihat ini, Ki Sudibyo tersenyum.

   "Tabahkanlah hatimu dan tidak pantas seorang dara perkasa sepertimu menjadi cengeng. Hayo lanjutkan dulu makan kita, nanti aku ingin bicara denganmu."

   Guru dan murid itu melanjutkan makan mereka. Patut dikagumi gadis itu, yang baru berusia delapan belas tahun akan tetapi demikian kuatnya menahan gejolak hatinya. Tadi, diingatkan tentang kematian Ayahnya dan lenyapnya Ibunya, hatinya seperti ditusuk dan kedua matanya menjadi basah. Nasi di lehernya sukar ditelan. Akan tetapi mendengar ucapan gurunya, ketabahannya timbul dan semangatnya membakar sehingga ia mampu melanjutkan makannya. Setelah selesai makan dan bekas makanan disingkirkan oleh Niken Sasi, tikar di lantai juga sudah dibersihkan Ki Sudibyo bersila di depan muridnya dan suaranya terdengar sungguh-sungguh ketika dia bertanya,

   "Muridku yang baik. Benarkah engkau sudah melupakan apa yang menimpa diri Ayah bundamu?"

   Niken

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   Sasi sekarang telah dapat menguasai hatinya sepenuhnya dan dia mengangkat muka menatap wajah gurunya, kemudian menjawab dengan suara tenang,

   "Bapa Guru, bagaimana saya akan mampu melupakan kematian Ayah yang menyedihkan itu, dan lenyapnya Ibu yang dilarikan penjahat?"

   "Kalau begitu, di dalam hatimu tumbuh dendam kebencian yang membara terhadap mereka yang berbuat jahat terhadap Ayah Ibumu?"

   Niken Sasi menggelengkan kepalanya danmenjawab dengan tegas.

   "Tidak, sama sekali, Bapa. Sudah nampak jelas oleh saya dengan pengertian yang mendalam bahwa mendendam adalah suatu perbuatan yang amat bodoh dan yang akhirnya hanya merugikan diri sendiri saja. Tidak, saya tidak lagi mengandung dendam. Akan tetapi karena kematian Ayah itu dalam penasaran, juga saya harus melihat apakah Ibu saya telah meninggal dunia ataukah masih hidup, maka saya harus melakukan penyelidikan, siapa yang telah melakukan penyerangan terhadap mendiang Ayah, siapa pula dalangnya dan apa pula sebabnya mereka melakukan hal itu terhadap Ayah dan Ibu. Kemudian, kalau Ibu masih hidup, saya harus membebaskan Ibu dari tangan penjahat."

   "Dan bagaimana sikapmu terhadap para penjahat itu sendiri, Niken Sasi?"

   "Hal itu tergantung kepada mereka sendiri, Bapa. Kalau saya mendapatkan bahwa mereka itu adalah orang-orang jahat yang masih mkelakukan kejahatan, sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan itU. Akan tetapi, yang saya tentang bukanlah manusia-manusianya yang berdasarkan dendamj, melainkan perbuatannya. Demi keselamatan dan keamanan orang-orang yang tidak berdosa, kalau mereka jahat akan saya tentang dan basmi!"

   Ki Sudibyo menganguk-angguk senang,

   "Bagus sekali, kuharap saja engkau sudah mengerti benar karena pengertian itulah yang akan menjadi obor bagi semua tindakanmu. Celakalah kalau engkau bertindak karena dorongan dendam. Aku sendiri telah melakukan hal itu, Niken. Dan sampai sekarang aku masih tenggelam dalam penyesalan."

   "Saya aku selalu mengingat semua wejangan Bapa, dan mudah-mjudahan Sang Hyang Wisnu akan selalu memberi bimbingan kepada hamba sehingga akan timbul kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam segala sepak terjang saya."

   "Sekarang ada dua hal yang aku harapkan dengan sangat agar engkau dapat melaksanakannya, Niken. Kalau engkau dapat melaksanakan dua hal ini dengan baik sebagai pesan terakhirku, maka aku akan menghadapi kematian dengan hati tenteram dan mata terpejam mulut tersenyum."

   "Katakanlah, Bapa. Tugas apakah yang harus saya laksanakan? Saya siap untuk menanti perintah Bapa dan melaksanakannya dengan sekuat tenaga saya."

   "Begini, angger. Dari anak buah Gagak Seto aku mendapat aku mendapat berita penting sekali, yaitu bahwa kini semua oran g gagah saling berlomba untuk menemuakan keris pusaka Tilam Upih. Keris pusaka ini milik mendiang Sang Prabu Airlangga yang telah hilang seabad yang lalu. Menurut perhitungan Sang Prabu Jayabaya yang diumumkan, dikabarkan bahwa keris pusaka itu akan mucul pada hari-hari ini. Karena itu, berduyun-duyun orang gagah dari segala penjuru bermunculan untuk berlumba mendapatkan keris pusaka itu. Nah, aku mengharap agar engkaupun tidak ketinggalan, menyumbangkan tenagamu untuk mencari dan mendapatkan pusaka itu, angger."

   "Bapa Guru, bukan sekali-kali saya menolak atau keberatan melakukan perintah Bapa ini. Akan tetapi, Bapa. Kalau semua orang gagah sudah bermunculan, berlumba mendapatkan pusaka itu, masih perlukah saya ikut mencarinya? Pusaka itu pasti akan dapat ditemukan mereka dan dihaturkan kembali kepada Sang Prabu Jayabaya."

   "Ah, kalau benar seperti ucapanmua itu, tentu akupun tidak akan mengutusmu pergi, angger. Akan tetapi kenyataannya bukan begitu. Tidak semua orang berpamrih mencari pusaka itu untuk dikembalikan kepada Sang Prabu Jayabaya. Mereka mencari untuk diri sendiri. Dan berbahayalah kalau sampai pusaka itu jatuh ke dalam tangan seorang penjahat karena pusaka itu ampuhnya menggiriskan. Jadi, engkau harus membantu mereka yang berpamrih baik, mengembalikan pusaka itu kepada yang berhak, yaitu kerajaan Daha.

   "Hemm, begitukah Bapa? Sekarang mengerti saya, dan kalau begitu memang sudah menjadi kewajiban saya untuk ikut mencarinya dan mencegah pusaka itu terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Akan tetapi, kalau saya mulai mencarinya, ke manakah saya harus pergi, Bapa? Tanpa arah petunjuk, bagaimana saya dapat mencarinya?"

   "Sang Tilam Upih itu oleh penciptanya, yaitu mendiang Empu Bromokendali pada jaman negeri Medang Kamulan, sembilan abad yang lalu, dibuang ke Lautan Kidul. Yang menemukannya adalah mendiang Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narrotama. Akan tetapi, pada saat Sang MahaPrabu Airlangga mengundurkan diri dan menjadi Sang Resi Gentayu, pusaka Tilam Upih itu hilang. Karena keris pusaka itu ditemukan di Lautan Kidul, maka timbul dugaan bahwa dia kembali lagi ke Lautan Kidul. Nah, hanya itulah petunjuknya dan dalam usahamu itu, engkau dapat menyusuri lautan itu untuk mencarinya."

   "Baiklah, Bapa. Saya akan berusaha keras untuk dapat menemukannya. Dan andaikata saya berhasil, apa yang harus saya lakukan dengan pusaka itu?"

   Ki Sudibyo tersenyum, girang melihat besarnya semangat muridnya.

   "Kalau engkau berhasil, bawalah ke sini. Kalau aku masih hidup, aku akan menyertaimu menghadap Sang Prabu Jayabaya untuk menghaturkan pusaka itu."

   Gadis itu mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak nyaman mendengar bahwa ia kelak harus menghadap eyangnya, Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi ia tidak membantah dan hanya mengangguk, lalu bertanya,

   "Dan hal yang kedua yang harus saya lakukan itu apakah, Bapa?"

   "Hal pertama ini harus kau lakukan dulu, karena itu merupakan ujian bagimu untuk melaksanakan tugas ke dua. Dalam tugas pertama itu, engkau akan digembleng oleh pengalaman-pengalaman hebat, bertemu dengan orang-orang sakti mandraguna berbagai aliran. Mungkin pula engaku akan menghadapi pertandingan-pertandingan di mana engkau akan mengetrapkan semua ilmu dan aji yang telah kau pelajari dariku. Hanya, pesanku jangan sekali-kali menggunakan aji Hasta Bajra kalau tidak perlu sekali, karena penggunaan aji ini amat berbahaya bagi lawan dan dapat menimbulkan korban. Kalau engkau sudah melaksanakan tugas pertama itu, baik berhasil menemukan keris atau tidak, barulah engkau kembali ke sini dan melaksanakan tugasmu yang ke dua."

   "Apakah tugas itu, Bapa? Saya akan melaksanakan dengan seluruh kemampuan saya."

   "Tugas itu adalah menggantikan kedudukanku sebagi ketua perkumpulan Gagak Seto!"

   Mendengar ucapan gurunya ini, Niken Sasi benar-benar terkejut sehingga ia mengangkat mukanya memandang wajah gurunya dengan penuh perhatian. Akan tetapi gurunya tidak main-main. Wajah gurunya bersunguh-sungguh.

   "Akan tetapi, Bapa...! Bagaimana saya dapat menjadi ketua? Bukankah di sana terdapat Paman Klabangkoro dan Paman Mayangmurko yang lebih memenuhi syarat dan berpengalaman?"

   "Sudah kupertimbangkan baik-baik, Niken Sasi. Perkumpulankita adalah perkumpulan kita adalah perkumpulan orang gagah yang sudah terbiasa dengan tindakan kekerasan. Kalau mereka tidak dipimpin oleh seorang yang benar-benar bijaksana dan berwatak baik, mereka dengan mudah akan dibaw menyeleweng dan berbahayalah kalau terjadi demikian. Dan aku tidak melihat seorangpun di antara para murid yang tepat untuk menjadi ketua, kecuali engkau!"

   "Akan tetapi saya hanyalah seorang wanita, Bapa Guru!"

   Bantah Niken Sasi yang merasa ngeri diserahi tugas menjadi ketua itu.

   "Apa alasan yang Bapa Guru ambil untuk memilih saya, seorang wanita muda, menjadi ketua perkumpulan besar ini?"

   "Untuk menjadi pemimpin pria atau wanita sama saja. Ingat, Dewi Woro Srikandi juga seorang wanita, namun ia telah terkenal sebagi seorang Senopati yang gagah perkasa dan pilih tanding. Alasanku memilihmu, karena engkau merupakan murid yang paling tangguh di antara semua muridku. Terutama sekali karena engkau yang mewarisi aji Hasta Bajra selain itu, hanya engkau yang kupandang memiliki kebijaksanaan walaupu usiamu masih muda. Nah, aku sungguh mengharapkan engkau tidak akan menolak permintaanku ini, Niken Sasi!"

   "Maaf, Bapa. Sama sekali bukan saya keberatan, hanya saya pikir masih banyak murid pria yang saya pandang juga bijaksana dan berwatak baik seperti misalnya Kakang Gajahpuro."

   "Hemm, tidak salah pendapatmu. Gajahpuro memang seorang pemuda yang baik dari pada Ayahnya, Klabangkoro. Akan tetapi, dia kurang berbakat dan tidak cukup tangguh untuk menjadi seorang pemimpin. Ketahuilah, hanya seorang ketua yang menguasai aji Hasta Bajra dan selain aku, hanya engkau yang kini menguasainya. Bahkan aku sendiri sudah tidak mampu mempergunakannya dengan baik, jadi engkau seoranglah yang kini menguasainya dengan sepenuhnya. Karena itu, harap jangan menolak lagi, Niken."

   Gadis itu menghela napas panjang. Sebetulnya, sedikitpun tidak ada keinginan di hatinya untuk menjadi ketua Gagak Seto. Akan tetapi iapun tidak tega untuk menolak begitu saja permintaan gurunya yang demikian sungguh-sungguh.

   "Bapa, biarlah tentang kedudukan ketua itu akan saya pikirkan dulu, karena bukankah sekarang saya harus melaksanakan tugas pertama mencari pusaka itu?"

   "Baiklah, Niken. Maafkan aku yang telah membebani pikiranmu dengan banyak persoalan. Memang sebaiknya engkau menghadapi satu masalah saja dahulu yaitu mencari pusaka Tilam Upih. Mudah-mudahan saja para dewata melindngimu sehingga engkau yang akhirnya menemukan pusaka yang diperebutkan itu."

   "Bapa, kapan saya harus berangkat? Saya harus membuat persiapan untuk perjalanan itu."

   "Tiga hari kemudian merupakan hari yang amat baik bagimu untuk mulai dengan perjalananmu, Niken. Berkemas dan bersiap-siaplah, dan pusakaku Kyai Megantoro ini kuberikan kepadamu. Bawalah untuk pelindung diri. Biarpun tidak sehebat Kyai Tilam Upih, akan tetapi Megantoro ini sudah menemaniku selama puluhan tahun dan sudah amat besar jasanya."

   Kakek itu mengambil kerisnya dan menyerahkan kepada Niken Sasi. Niken Sasi menerima keris itu dengan kedua tangannya. Kyai Megantoro adalah sebatang keris yang bentuknya lurus, juga tidak terlalu panjang sehingga cocok untuk dipergunakan seorang wanita. Pada saat itu, sesosok tubuh meninggalkan daun jendela ruangan itu di mana tadi ia berdiri tanpa bergerak dan menahan napas. Orang itu sempat mendengarkan bagian terakhir dari percakapan antara Niken Sasi dan Ki Sudibyo. Ia seorang wanita muda yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Usianya sekitar dua puluh tahun, seorang gadis yang lumayan cantiknya, dan yang sudah bekerja kepada Ki Sudibyo sejak berusia sepuluh tahun.

   Oleh karena itu Jinten, demikian nama gadis itu, telah dipercaya. Ialah yang dahulu selalu melayani Ki Sudibyo, akan tetapi semenjak Niken Sasi menjadi murid orang tua itu dan Niken Sasi berkeras melayani sendiri gurunya, Jinten hanya membantunya kalau dikehendakinya saja. Sejak ada Niken Sasi, Jinten lebih banyak bekerja di dapur, masak dan mencuci pakaian. Ia seorang gadis yang manis yang lincah dan agak genit. Sudah lebih dari tiga tahun Jintenditarik oleh Klabangkoro menjadi mata-mata untuk selalu mengikuti gerak-gerik Ki Sudibyo. Apa lagi akhir-akhir ini, Jinten dipesan oleh majikannya itu agar selalu mengintai atau mendengarkan kalau Ki Sudibyo bercakap-cakap dengan Niken Sasi. Maka, pada malam hari itu, ketika melihat Ki Sudibyo bercaklap-cakap dengan Niken Sasi, ia cepat menyelinap dekat jendela dan dengan hati-hati mendengarkan percakapan itu.

   Sebelum Niken Sasi yang menerima keris itu bangkit meninggalkan ruangan, Jinten mendahuluinya, pergi dengan berjingkat-jingkat. Kemudian wanita ini berlari ke pondok Klabangkoro. Ketika tiba di sana Klabangkoro sedang bercakap-cakap dengan Gajahpuro, puteranya. Biarpun di situ tidak ada orang lain lagi, Jinten nampak meragu ketiak melihat pemuda itu. Memang ia merasa takut kepada Gajahpuro. Pernah ia bersikap genit dan berusaha merayu Gajahpuro, akan tetapi perjaka ini bukannya tertarik, bahkan menghardik dan memakinya! Sejak saat itu, ia tidak berani lagi mendekati putera tokoh Gagak Seto itu. Melihat Jinten datang berlarian, kemudian meragu sambil memandang kepada puteranya, Klabangkoro berkata kepada Gajahpuro,

   "Anakku, Gajahpuro, engkau tinggalkanlah dulu ruangan ini. Aku perlu bicara berdua dengan Jinten."

   Gajahpuro bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan alis berkerut. Dia tahu bahwa Jinten adalah orang kepercayaan Ayahnya, akan tetapi dia tidak tahu apa tugas Jinten. Dia tidak suka dan muak kepada gadis pelayan yang genit itu. Setelah Gajahpuro pergi, Jinten lalu berkata,

   "Bendoro, saya membawa berita yang teramat penting sekali ini!"

   Kata Jinten dengan wajah gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar.

   "Akan tetapi bagaimana dengan janji Paduka? Telah banyak jasa saya, akan tetapi belum juga Paduka memenuhi janji Paduka kepada saya."

   Kata Jinten dengan sikap jual mahal dan manja.

   "Setan! Kurang banyakkah hadiah yang kuberiakan kepadamu berupa uang dan pakaian?"

   Bentak Ki Klabangkoro dengan mata melotot. Jinten memainkan matanya dengan sikap menarik.

   "Eh, bukan itu yang saya maksudkan. Soal hadiah memang sudah cukup, akan tetapi Paduka pernah berjanji akan mengembil saya sebagai selir."

   Ki Klabangkoro tertawa, tangannya yang besar itu terulur dan di lain saat Jinten sudah didekapnya dan diberiakan ciuman yang kuat, lalu dilepaskannya kembali. Wanita itu sampai terengah-engah karena dipeluk kuat sekali.

   "Ha-ha-ha, bodoh! Kalau engkau menjadi selirku, bagaimana engkau dapat membantuku lagi? Soal menjadi selir itu mudah. Kalau sudah selesai tugasmu dan tercapai cita-citaku menjadi ketua Gagak Seto, tentu engkau akan menjadi selirku yang pertama. Yang pertama, kau dengar? Akan tetapi sekarang belum, tugasmu masih banyak dan tugas itu baru dapat kau laksanakan kalau engkau menjadi pelayan seperti sekarang. Mengerti?"

   Jinten mengangguk-angguk, padahakekatnya, ia memang takut sekali kepada Klabangkoro. Tadinya ia sendiri tergila-gila kepada Gajahpuro akan tetapi karena semua usahanya merayu pemuda itu gagal, ia lalu hendak mengait Ayahnya. Apalagi setelah ia membantu Ki Klabangkoro dan mengetahui bahwa orang itu ingin menjadi ketua Gagak Seto, ia membayangkan betapa akan terhormat dan senangnya kalau ia menjadi selir ketua!

   "Saya... saya mengerti..."

   "Bagus! Nah, sekarang ceritakan apa berita penting itu!"

   Jinten bicara perlahan, setengah berbisik dan mendekati Klabangkoro.

   "Saya mendengar percakapan Ketua dan Niken Sasi. Yang pertama adalah supaya gadis itu pergi mencari keris pusaka Tilam Upih milik kerajaan Daha yang hilang dan ketua telah memberikan keris pusakanya Kyai Megantoro kepada Niken Sasi."

   "Hemmm, apa yang kedua?"

   "Yang kedua penting sekali. Ketua hendak mengangkat Niken Sasi menjadi penggantinya kelak, menjadi ketua Gagak Seto."

   "Keparat! Sudah kuduga! Hemmmm, setan cilik itu...!"

   Ki Klabangkoro mengepal tangannya dan berjalan hilir mudik.

   "Kita harus cepat bertindak! Jinten, cepat kau pergi mengundang adi Mayangmurko ke sini!"

   Perintah itu cepat dilaksanakan. Sebagai seorang pelayan ketua, tentu saja Jinten bebas berkeliaran di perkampungan Gagak Seto itu tanpa ada yang mencurigainya sama sekali. Dan beberapa menit kemudian Klabangkoro dan Mayangmurko sudah berhadapan di dalam bilik tertutp berdua saja.

   "Celaka! Kalau begitu, kita harus cepat turun tangan, Kakang Klabangkoro sebelum terlambat!"

   Kata Mayangmurko ketika mendengar bahwa Niken Sasi akan diangkat menjadi ketua menggantikan Ki Sudibyo.

   "Tenang dan sabarlah, adai. Kita harus mengatur rencana serapi mungkin agar siasat kita jangan sampai gagal. Kebetulan sekali bocah itu mendapat tugas mencari Keris Pusaka Tilam Upih. Bapa Guru tentu mempunyai alasan kuat mengapa dia mempercaya bocah itu untuk mencari pusaka yang diperebutkan semua orang gagah itu. Dan karena itu amat amapuh, sungguh menguntungkan sekali kita bisa mendapatkannya, maka kita pergunakan kesempatan ini untuk keuntungan kita."

   "Wah, memiliki pusaka Tilam Upih sungguh berbahaya, Kakang. Pusaka itu milik kerajaan Daha dan kalau kita mendapatkannya, tentu kita akan berhadapan dengan kerajaan Daha. Berbahaya sekali!"

   "Ha-ha-ha, kalaupusaka itu sudah berada di tangan kita, mudah saja nanti mencari jalan terbaik. Klau mungkin kita miliki, kalau tidak mungkin, kita dapat mengembalikan kepada kerajaan dan memperoleh imbalan jasa besar. Dan semua itu akan kita dapatkan tanpa susah payah. Biarlah Niken Sasi mencarikan dan mendapatkan untuk kita. Ha-ha-ha!"

   "Wah, Kakang Klabangkoro. Itu siasat yang bagus sekali! Jadi kita tidak langsung turun tangan, akan tetapi menanti sampai bocah itu mendapatkan pusaka Tilam Upih?"

   "Untuk itu kita mesti minta bantuan gerombolan Jambuka Sakti. Karena tanpa bantuan mereka, bagaimana mungkin kita dapat membayangi perjalanan Niken Sasi?"

   "Dan bagaimana dengan Bapa Guru?"

   "Kebetulan sekali Niken Sasi akan pergi. Siapa tahu ia memiliki kepandaian tangguh dan ia tentu akan membela gurunya. Nah, kita tunggu sampai ia pergi, lalu kita paksa Bapa Guru untuk menuliskan ilmu Hasta Bajra."

   "Kalau dia menolak?"

   "Hemm, untuk melawanpun dia tidak mampu."

   "Tapi, Kakang. Baru siang tadi dia berlatih Hasta Bajra dengan hebatnya di ruangan itu!"

   Kata Mayangmurko gentar.

   "Jangan percaya! Mungkin dia dan Niken Sasi berlatih. Kalu Bapa Guru sudah menyuruh bocah itu mencari pusaka, hal itu dapat dipastiakn berarti bahwa Niken Sasi telah memiliki kepandaian yang tinggi. Bpa Guru sendiri masih lemah, apakah yang dapat dia lakukan terhadap tekanan kita?"

   "Akan tetapi pekerjaan ini berat dan berbahaya. Sebaiknya kalu kita pergi menemui Ki Brotokeling dan membicarakannya dengan dia. Tanpa bantuan Jambuka Sakti, aku khawatir kita gagal."

   Kata Mayangmurko.

   "Baik, marilah malam ini juga kita berkunjung ke sana."

   Kata Ki Klabangkoro dan kedua orang itu lalu menyusup dalam kegelapan malam. Mereka tidak perlu pergi ke lereng Gunung Bromo tempat asal Jambuka Sakti, karena pada waktu itu ketuanya, Brotokeling sedang berada di sebuah hutan di kaki gunung Anjasmoro.

   Ki Brotokeling mempunyai cita-cita yang besar, yaitu dia ingin menjadi datuk atau penguasa dari Panca Giri (lima Gunung). Kalau cita-citanya berhasil, dengan menundukkan gerombolan-gerombolan yang berkuasa di lima gunung itu, maka dia akan menjadi kepala dari para gerombolan di Gunung Semeru, Bromo, Kelud, Arjuna, dan Anjasmoro! Dan kini dia sedang melakukan penjajagan, maka dia turun dari Bromo dan sementara berada di kakai gunung Anjasmoro. Di sini dia mengadakan sekutu dengan Ki Klabangkoro dan Mayangmurko yang berkeinginan menguasai Gagak Seto. Demikianlah, Ki Klabangkoro dan Ki Myangmurko hanya memerlukan waktu setengah malam saja untuk sampai di tempat kediaman sementara Ki Brotokeling, di kaki gunung Anjasmoro, dalam sebuah hutan lebat.

   Hutan di kaki gunung Anjasmoro yang dijadikan tempat tinggal sementara gerombolan Jembuka Sakti itu kelihatan sepi saja, seolah tidak ada penghuninya. Akan tetapi sesungguhnya di jantung hutan itu terdapat bangunan-bangunan pondok darurat yang merupakan perkampungan kecil. Gerombolan itu terdiri kurang lebih seratus orang, dipimpin sendiri oleh Jambuka Sakti setelah selama beberapa tahun dia menyebar para pembantunya untuk menyelidiki keadaan lima buah gunung yang akan ditaklukannya itu. Andaikata Ki Sudibyo masih kuat dan sehat seperti dahulu dan masih memegang sendiri kendali perkumpulannya, jangan harap bagi Jembuka Sakti untuk bermukim di hutan itu. Seluruh daerah pegunungan Anjasmoro sudah berda di bawah pengawasan dan kekuasaan perkumpualan Gagak Seto.

   Akan tetapi, kini yang berkuasa adalah Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko, dan mereka inilah yang memperkenankan gerombolan Jembuka Sakti tinggal di situ karena memeng mereka bersekutu dengan perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat itu. Ki Brotokeling, ketua Jembuka Sakti, menjanjikan kepada Ki Klabangkoro untuk membantu sehingga Klabangkoro dapat merebut kedudukan ketua Gagak Seto sedangkan sebaliknya Klabangkoro menyatakan dukungannya kepada Jambuka Sakti untuk menjagoi Panca Giri. Setelah tiba di dalam hutan, kedua orang pimpinan Gagak Seto itu, tidak berani lancang melanjutkan perjalanan karena mereka tahu bahwa mereka telah tiba di wilayah tempat persembunyian perkumpulan Jambuka Sakti. Ki Klabangkoro lalu membuka mulutnya dan dari kerongkongannya terdengarlah suara parau seperti suara seekor burung gagak.

   "Kraaaaakkk... kraaaaakkkk... kraaakkk...!"

   Hening sekali mengikuti bunyi suara burung gagak itu. Bahkan kicau burungpun berhenti, seolah semua binatang merasa takut mendengar bunyi parau yang aneh itu. Akan tetapi tidak lama kemudian terdengar suara gonggongan anjing atau srigala.

   "Haunggg... haunnnnggg...!"

   "Hemm, kita telah disambut."

   Kata Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko juga mengangguk. Mereka sudah mengenal pula bunyi srigala itu yang merupakan tanda rahasia para anggota Jambuka Sakti. Tak lama kemudian dari balik semak-semak bermunculan empat orang pria tinggi besar berusia kurang lebih empat puluh tahun dan mereka berempat memegang sebatang golok yang gagangnya berbentuk kepala srigala dengan ronce merah. Agaknya empat orang ini mengenal Ki Klabangkoro dengan baik karena begitu melihat dua orang pimpinan Gagak-seto itu, mereka berempat lalu menyimpan golok mereka di sarung golok yang tergantung di pinggang kiri.

   "Kiranya sampeyan berdua yang datang berkunjung, Ki Klabangkoro!"

   Mereka berkata sambil tertawa.

   "Benar, kawan. Kami ingin bertemu dengan Kakang Brotokeling."

   
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jawab Klabangkoro sambil tertawa.

   "Kalian berdua memang sedang dinanti-nanti. Mari, silakan!"

   Empat orang itu menjadi petunjuk jalan dan dua orang pimpinan Gagak Seto itu lalu mengikuti mereka dari belakang, melalui semak-semak belukar dan pohon-pohon besar. Akhirnya tibalah mereka diperkampungan Jambuka Sakti yang berada di tengah-tengah hutan, di antara pohon-pohon raksasa. Di situ dibangun pondok-pondok darurat.

   Karena ketua Jambuka Sakti memang sedang menanti-nanti kunjungan kedua orang pimpinan Gagak-seto ini, maka mereka berdua segera disambut dan dipersilakan memasuki pondok induk di mana sang ketua telah menanti mereka. Tak lama kemudian. Ki Klabangkoro dan Ki Myangmurko sudah duduk bersila di atas tiakr tebal, berhadapan dengan Ki Brotokeling. ketua Jambuka Sakti ini seorang yang bertubuh jangkung kurus, berusia lima puluh delapan tahun. Biarpun tubuhnya jangkungkurus akan tetapi penampilannya penuh wibawa. Kumis dan jenggot tebal dan membuat dia kelihatan gagah dan menyeramkan. Sebagian mukanya yang kemerahan itu tertutup kumis, jenggot dan cambang sehingga yang nampak hanya hidungnya yang besar dan matanya yang tajam seperti mata burung elang.

   "Bagus kalian datang!"

   Kata Brotokeling.

   "Bagaimana perkembangan di Gagak-seto? Dan bagaimana keadaan Ki Sudibyo sekarang?"

   Tanya ketua Jambuka Sakti itu.

   "Kabar penting yang kami bawa, Kakang Brotokeling. Kami telah melaksanakan semua pesan andika. Perkumpulan Gagak-seto praktis sudah berada di tangan kami. Seluruh anak buah juga sudah tunduk kepada kami. Mereka semua telah ikut makan hasil sepak-terjang dan ikut terlibat sehingga mau tidak mau mereka semua akan setia kepada kami."

   "Bagus! Dan Ki Sudibyo tidak mengetahui semua itu?"

   Tanya Brotokeling.

   "Apakah dia sudah tidak lagi merasa penasaran dengan penyerangan yang dilakukan anak buah kami sepuluh tahun yang lalu?"

   "Ah, urusan itu sudah dia lupakan Brotokeling. Kami sudah melaporkan kepadanya bahwa andika tidak tahu-menahu dengan serangan itu, bahwa penyerangan itu mungkin dilakukan oleh anak buah Jambuka Sakti yang sudah keluar dari perkumpulan dan bertindak liar. Diapun menghabiskan saja urusan sampai di situ. Dan selama ini, dia hanya mengurung diri dalam sanggar pamujan."

   "Ha-ha-ha, tidak kusangka Ki Sudibyo mempunyai hati selemah itu. Kalau dia demikian cinta kepada isterinya, kenapa dia mengutus engkau untuk membunuhnya bersama pacar isterinya itu?"

   "Kami juga merasa heran sekali Kakang. Dia sendiri yang menyuruh membunuh isterinya yang menyeleweng, sekarang dia membenamkan dirinya dalam duka. Akan tetapi hal itu malah kebetulan karena melemahkan semangatnya."

   "Kalau begitu, kenapa kalian belum turun tangan? Sebaiknya menguasai Gagak-seto secara sah, dengan membunuh Ki Sudibyo dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua. Kalau terjadi keributan kami akan membantu kalian menumpas semua penghalang."

   "Itulah kesulitannya, Kakang Brotokeling. Selama sepuluh tahun ini, Bapa Guru hanya sibuk dengan muridnya yang baru, yaitu Niken Sasi. Dan baru kemarin kami mendapat kenyataan yang amat mengejutkan. Di dalam ruangan tertutup yang hanya ditempati Ki Sudibyo dan Niken Sasi, Bapa Guru telah berlatih aji Hasta-Bajra dengan hebat sekali!"

   "Ahh! Dan kau katakan dia telah menjadi lemah, baik badan maupun semangatnya?"

   Teriak Brotokeling penasaran.

   "Memang sesungguhnya demikian, Kakang. Bapa Guru makin hari makin lemah dan setiap hari dia minum jamu. Akan tetapi di ruangan tertutup itu ada yang latihan ilmu pukulan ampuh itu sampai terdengar suara gaduh dan dinding-dinding tergetar."

   "Hemm, benarkah itu, adi Mayangmurko?"

   "Benar, Kakang Brotokeling. Aku juga mendengarnya sendiri dan menurut keterangan Niken Sasi, yang menimbulkan suara gaduh itu adalah Bapa Guru yang berlatih Hasta Bajra."

   "Eh, Ladahlah! Jangan-jangan murid barunya, gadis bernama Niken Sasi itu yang berlatih Hasta Bajra!"

   Kata Brotokeling dengan alis berkerut. Klabangkoro dan Mayangmurko tertawa.

   "Ha-ha-ha, harap jangan khawatir, Kakang Brotokeling. Tadinya kami juga mempunyai dugaan seperti itu. Akan tetapi mana mungkin bocah perempuan berusia delapan belas tahun itu dapat menguasai Hasta Bajra yang membutuhkan tenaga sakti yang besar?"

   Kata Klabangkoro.

   "Pula, andaikata benar demikian, kami sudah merencanakan siasat untuk menaklukannya. Akan tetapi semua rencana kami membutuhkan bantuan Kakang Brotokeling."

   Kata Mayangmurko.

   "Tentu saja, kami akan membantu. Bukankah selama ini kita sudah saling membantu? Nah, sekarang ceritakan, apa rencana siasat kalian itu agar aku dapat melaporkannya kepada Kanjeng Gusti!"

   Ki Klabangkoro mengamati wajah tuan rumah dengan penuh selidik.

   "Kakang Brotokeling, sebelum kami menceritakan rencana kami, lebih dahulu kami mohon sukalah kiranya andika memberitahukan kepada kami, siapa sesungguhnya Kanjeng Gusti itu. Kami sepantasnya mengetahui untuk siapa kami bekerja dan menghambakan diri."

   "Benar sekali, Kakang Brotokeling kami harus tahu kepada siapa kami mengabdi."

   Sambung Mayangmurko. Ki Brotokeling membelalakkan matanya dengan marah.

   "Andika berdua sungguh lancang mulut! Apakah kalian sudah tidak sayang lagi kepada nyawa kalian? Merupakan pantangan besar untuk mencoba mengetahui siapa Kanjeng Gusti. Aku sendiripun belum pernah melihat wajahnya yang sesungguhnya. Sudah kukatakan dahulu bahwa kalau dikehendaki Kanjeng Gusti, beliau akan memperkenalkan diri sendiri kepada kita. Sekarang yang penting, kita tahu bahwa kita menghambakan diri kepada Kanjeng Gusti, menerima upah yang besar, bahkan kelak akan diberi kedudukan tinggi. Akan tetapi siapa mengkhianatinya, biarlah akan lari ke neraka sekalipun tentu akan dapat ditangkap dan dihukum. Cukup kukatakan bahwa kekuasaan Kanjeng Gusti tidak terbatas. Jangan ulangi lagi pertanyaan goblok itu."

   Kalbangkoro dan Mayangmurko beruabh agak pucat wajah mereka mendengar ini.

   "Maafkan kami. Sebetulnya kami bertanya bukan karena curiga ataun tidak percaya, melainkan agar yakin dan menambah besarnya kesetiaan kami. Akan tetapi kalau itu merupakan pantangan besar, biarlah kami mencabut kembali pertanyaan itu. Sekali lagi harap maafkan kami, Kakang Brotokeling."

   "Sudahlah, adi Klabangkoro, jangan singgung lagi persoalan itu. Sekarang lebih baik ceritakan segala yang terjadi dan apa yang kalian rencanakan. Klabangkoro dan Mayangmurko lalu menceritakan semua yang mereka ketahui tentang Ki Sudibyo dan Niken Sasi. Betapa gadis itu diberi tugas oleh Ki Sudibyo untuk mencari pusaka Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Sang Prabu Jayabaya. Kemudian menceritakan pula betapa Niken Sasi akan diangkat menjadi ketua Gagak Seto menggantikan Ki Sudibyo.

   "Walah-walah...! Itu gawat sekali!"

   Kata Ki Brotokeling sambil mengepal tinju.

   "Soal mencari pusaka Tilam Upih, kami sudah mendengar karena Kanjeng Gusti juga memberi perintah kepada kami untuk embantu dan memperebutkannya. Akan tetapi, kalau gadis itu hendak diangkat menjadi ketua Gagak Seto, hal ini berbahaya sekali. Kalian tentu akan kehilangan kekuasaan atas anak buah Gagak Seto. Lalu apa rencana kalian untuk menghadapi semua itu? Memang mencurigakan sekali. Kalu gadis itu hendak dijadikan ketua, bukan mustahil ia sudah menguasai Hasta-Bajra."

   Harap jangan khawatir, Kakang Brotokeling.

   "Kami sudah mengatur rencana siasat begitu. Kalau gadis itu sudah menguasai Hasta Bajra, kami akan berusaha agar ia dapat menjadi jodoh puteraku sehingga aji itu akan dengan mudah kita kuasai kalau ia sudah menjadi mantuku. Kami akan menggunakan siasat agar puteraku berjasa dan ia berhutang budi kepada Gajahpuro, anakku. Andaikata siasat ini gagal, kami masih dapat menggunakan saisat lain, yaitu menodainya agar ia terpaksa mau menjadi isteri Gajahpuro untuk mencuci aib. Langkah kami yang kedua, kami akan membayangi Niken Sasi membiarkan ia mendapatkan Tilam Upih. Baru setelah itu kami merampasnya dari tangannya, Akan tetapi untuk menjamin keberhasilan rencana ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan Kakang Brotokeling, karena untuk membayangi gadis itu, apalagi kalu benar-benar ia menguasai aji Hasta Bajra, tidaklah mudah dan membutuhkan anak buah yang kuat."

   "Hemm, jangan khawatir. Untuk mengatasi gadis itu, serahkan kepada kami. Akan tetapi, bagimana rencana kalian terhadap Ki Sudibyo? Kenapa sampai sekarang dia dibiarkan hidup dan belum juga kalian usahakan agar aji itu jatuh ke tangan kalian?"

   "Untuk menghadapi Ki Sudibyo kamipun sudah mempunyai rencana siasat yang matang, Kakang. Kalau benar seperti yang kami lihat dan duga bahwa Ki Sudibyo itu sudah menjadi seorang Kakek yang lemah, tentu saja hal itu amat mudah. Kami akan memaksanya untuk mengajarkan Hasta Bajra kepada kami dengan membuatkan kitabnya."

   "Hemm, aku sudah lama mengenal Ki Sudibyo dan dia adalah seorang laki-laki yang berhati sekeras baja. Bagaimana mungkin kalian akan dapat memaksanya? Orang macam dia tidak takut mati, dan kalau tidak mau menyerahkan, biar dia sudah menjadi lemah dan kalian ancam, akan sukarlah untuk dapat memaksanya manyerah."

   "Untuk itupun kami sudah merencanakan siasat yang pasti akan berhasil."

   Kata Klabangkoro gembira.

   "Pendeknya, serahkan urusan meminta Ki Sudibyo membuatkan kitab pelajaran aji Hasta Braja itu kepada kami. Adapun mengenai pekerjaan membayangi Niken Sasi, kemudian kelak menguasainya kalau kami gagal dengan pengerahan tenaga, kami harap Kakang Brotokeling membantu kami."

   "Baik, sekarang membagi tugas. Ingat, kalau aji Hasta Braja sudah berhasil dibuatkan kitabnya, kalian harus memberi kesempatan kepadaku untuk mempelajarinya."

   "Wah, Kakang Brotokeling sudah sakti mandraguna, untuk apa lagi mempelajari Hasta Bajra?"

   Klabangkoro mencela. Ki Brotokeling mengelus jenggotnya.

   "Pernah akau mengadu ilmu dengan Ki Sudibyo. Kami setanding dan aku pasti tidak akan kalah olehnya kalau saja dia tidak mempergunakan Hata-Bajra. Karena itu, setelah kalian berhasil memperoleh kitab pelajaran aji itu, aku harus ikut mempelajarinya. Dan kalian tidak boelh menolaknya, atau mungkin andika berdua tidak suka bekerja di bawah kekuasaan Kanjeng Gusti. Dan tidak suka bekerja sama itu berarti menetang!"

   Demikianlah, setelah berbincang-bincang dan mengatur siasat, dua orang pimpinan Gagak Seto itu meninggalkan hutan dan kembali ke lereng Anjasmoro. Perbuatan jahat yang bagaimanapun juga tidak akan tersa jahat bagi pelakunya. Seperti yang dilakukan oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, juga Brotokeling itu, yang mengadakan persekutuan untuk mencelakakan Ki Sudibyo. Bagi mereka, perbuatan mereka itu sama sekali tidak jahat! Demikian pula bagi semua manusia di dunia ini. Mereka semua menganggap bahwa apapun yang mereka lakukan itu adalah benar dan tidak jahat. Mengapa demikian? Karena semua perbuatan itu mereka lakukan dengan pamrih demi kebaikan dan kesenangan diri pribadi!

   Dan melakukan perbuatan untuk menyenangkan diri ini mereka anggap tidak jahat! Mereka anggap sebagai "

   Perbaikan nasib" ! Nafsu daya rendah yang sudah bergelimang dalam hati akal pikiran siap untuk menjadi pokral membela semua perbuatan kita. Ada saja alasan yang mereka kemukakan untuk menutupi kesalahan perbuatan kita, atau setidaknya untuk mengurangai kadar kejahatanya. Seorang maliang dibela hati pikirannya sendiri bahwa dia melakukan pencurian demi membela perut keluarga, demi membiayai hidup mereka, dan sebagainya. Seorang pembunuh dibela hati akal pikirannya bahwa dia membunuh karena yang dibunuh itu jahat sekali sehingga pembunuhan yang dilakukannya itu malah baik! Seorang koruptor dibela hati pikirannya sendiri bahwa korupsi yang dilakukan itu adalah hal yang wajar dan umum,

   Bahwa semua karyawan juga melakukannya, demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, membayar uang sekolah anak-anak mereka yang mahal dan sebagainya. Pendeknya, semua perbuatan akan dibela oleh hati pikirannya sendiri, karena hati akal pikan itu, seperti juga perbuatan, telah dicengkeram oleh nafsu daya rendah yang merebut tahta kerajaan dalam diri dan menyebut diri sendiri sebagai aku yang penting! Nafsu daya rendah sedemikian kuatnya mencengkeram diri lahir batin, dan nafsu itu amatlah julingnya, amat pandai dan bersalin rupa. Tidak ada kekuatan atau kekuasaan lain yang akan mampu mengalahkannya dan menaklukannya kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa! Hanya dengan menyerah kepada kekuasan tuhan sajalah yang akan dapat membersihkan batin sedikit demi sedikit dari cengkeraman nafsu daya rendah.

   Lautan Kidul merupakan samudera yang teramat luas. Dari pantai Jawa dwipa (Pulau Jawa) orang dapat menyaksikan dan mengagumi kebesaran samudar itu yang tidak nampak batasnya ke arah selatan. Dari pantai itu, kalau orang memandang keselatan, dia seolah akan merasa bahwa selebihnya ke arah selatan, dunia itu nampak air belaka. Air laut yang membiru dengan gelombang yang dahsyat memecah di pantai. Gunungkarang yang merupakan tanggul di pantai selatan itu dengan kokohnya menyambut hantaman ombak dahsyat, mengeluarkan suara menggelegar seperti halilintar mengamuk, disusul suara ngese seperti air mendidih. Setiap orang yang berdiri seorang diri di pantai, menyaksikan kebesaran dan kekuasaan alam ini,

   Orang itu akan merasa betapa dirinya kecil tak berarti, sama kecilnya dengan butir-butir pasir di pantai. Dia akan merasa betapa dirinya itu kecil tanpa arti, bahwa dunia tidak akan berubah dan tidak akan kehilangan andaikata saat itu dia melempar diri di antara gelombang dan ditelan air. Dunia akan tetap bekerja seperti biasa, dan diapun akan lenyap dilupakan orang! Alangkah bedanya perasaan seseorang setelah berada seorang diri di antara kebesaran alam dengan ketika dia berada di antara orang-orang lain. Dia akan merasa dirinya besar, penting, dan harus diperhatikan orang lain. Dia akan merasa dirinya paling besar dan paling berarti. Wanita itu duduk di atas batu karang di tepi pantai yang sunyi itu. Pantai itu tidak pernah dikunjungi orang karena memang sukar didatangi, penuh dengan batu karang yang runcing tajam, dan gelombang lautan kadang menutupi semua batu karang dengan dasyatnya.

   Akan tetapi wanita itu sudah mengenal tanda-tanda gerakan gelombang dan tahu benar bahwa saat matahari mengurangi cahayanya dan condong ke barat, gelombang lautan tidak akan mencapai batu karang yang didudukinya. Ia duduk melamun, tidak bergerak seperti sebuah arca. Arca yang indah sekali. Tubuhnya yang hanya mengenakan kain yang menutupi dari dada ke bawah, ramping padat, tubuh seorang wanita yang sudah matang sepenuhnya. Kulit pundak, leher dan lengannya sebetulnya putih kuning mulus, akan tetapi agaknya terik matahari membakar kulit itu sehingga menjadi agak coklat kemerahan. Rambutnya hitam panjang ngandan-andan dibiarkan terurai tidak digelung atau diikat karena rambut itu masih basah setelah mandi keramas tadi. Rambut itu menutupi punggung dan sebagian lagi terurai di depan menutupi bukit dadanya yang nampak di balik kainnya.

   Ia tidak mengenakan perhiasan apapun, akan tetapi kesederhanaan ini tidak mengurangi kejelitaannya, bahkan tidak mengurangi keanggungannya. Ia cantik dan anggun dan orang akan mudah menyangka ia penjelmaan Sang Ratu Kidul sendiri! Helaan napas halus keluar dari sepasang cuping hidung yang tipis itu, dan sepasang mata bintang itu menjadi redup seperti tertutup mendung. Kalau sudah begini, nampaklah bahwa ia bukan lagi wanita remaja, melainkan sudah dewasa sekali. Biarpun demikian, karena ia cantik jelita, maka ia nampak jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Usianya sudah tiga puluh enam tahun, akan tetapi ia kelihatan seperti baru tiga puluh tahun saja. Tiba-tiba ia mengepal tinju kanannya mengacungkannya ke arah gelombang lautan yang mengganas, seolah ia melihat ada orang yang berada di atas gelombang itu.

   "Pangeran Panjiluwih tunggu saja andika akan menerima pembalasanku!"

   Wanita itu adalah Dewi, atau dahulu, delapan tahun yang lalu ia masih bernama Dewi Muntari. Bukan seorang wanita biasa saja, melainkan seorang puteri istana. Puteri Sang Maha Prabu Jayabaya. Hidup berbahagia bersama suaminya yang tercinta, Raden Mas Rangsang, dan puterinya yang tunggal, Niken Sasi. Aakn tetapi, ketika ia sedang melakukan wisata bersama suami dan puterinya di lereng gunung Anjasmoro, keluarga ini diserang gerombolan penjahat. Pasuakn pengawal mereka melarikan diri, Raden Mas Rangsang tewas. Ia berhasil menyuruh puterinya melarikan diri, sedangkan ia sendiri ditawan oleh kepala gerombolan.

   Gerombolan itu bertemu dengan Ki Kolokrendo si tengkorak hidup yang mirip Danyang Durno, yang bahkan lebih keji dan mengerikan dibandingkan para anak buah gerombolan itu. Akhirnya, Ki Kolokrendo yang berniat jahat terhadap dirinya, tewas oleh Ni Durgogini yang sakti mandraguna dan iapun diambil murid oleh nenek tua-renta yang gendut itu. Oleh Ni Durgogini yang menjadi gurunya, ia diajak pergi ke pantai Lautan Kidul, di sebuah bukit kapur yang menjadi tempat tinggal nenek itu. Ternyata Ni Durgogini amat segan dan hormat kepada Sang Prabu Jayabaya, oleh karena itu ketika mendengar bahwa Dewi adalah puteri raja besar itu, ia bersikap baik sekali, bahkan menurunkan semua aji kesaktiannya kepada murid ini. Didorong dendam sakit hati, Dewi mendapatkan semangat yang bernyala-nyala dan ia belajar dengan tekun sekali tanpa mengenal lelah.

   Dan ternyata sebagai keturunan Sang Prabu Jayabaya darah satria mengalir di dalam tubuhnya dan bakatnya unggul sekali. Hal ini membuat Ni Durgogini menjadi semakin gembira mengajarkan ilmu-ilmunya. Tak terasa waktu berjalan dengan amat cepatnya. Delapan tahun telah lewat sejak Dewi mempelajari ajijaya-kawijayan di bawah bimbingan Ni Durgogini. Dan selama waktu delapan tahun itu, Dewi telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Kalau sedang mencurahkan perhatiannya terhadap satu hal, wanita lebih tekun dari pada pria. Dewi mempelajari kanuragan dengan luar biasa tekunnya karena untuk itu ia mempunyai satu cita-cita, yaitu membalas atas kematian suaminya dan lenyapnya puterinya. Memang, gerombolan yang melakukan kejahatan itu terhadap keluarganya sudah tertumpas dan mati semua. Akan tetapi dalangnya, yang mengatur semua itu, masih belum terbalas.

   Dan dalangnya adalah Pangeran Panjiluwih, seperti pengakuan Ki Blendu yang memimpin gerombolan itu. Pada sore hari itu, ketika Dewi duduk di atas batu karang mengamati gelombang dahsyat yang bergulung-gulung, ingin rasanya ia menumpahkan dendamnya kepada ombak samudera itu. Ia melihat seolah ombak yang bergulung-gulung itu merupakan musuh yang mengancamnya. Ia merasa sudah kuat sekarang untuk menghadapi musuh yang manapun. Baru tadi pagi Ni Durgogini menyatakan kepadanya bahwa kini semua ilmu yang dikuasai nenek sakti itu telah diajarkan semuanya kepadanya. Bukan hanya ilmu bela diri silat tangan kosong maupun menggunakan senjata keris telah dipelajarinya dengan tuntas, bahkan juga aji-aji kesaktian telah dikuasainya. Di antaranya yang paling dasyat adalah Aji Trenggiling Wesi yang membuat tubuhnya menjadi kebal, tak dapat terluka oleh senjata lawan.

   Kemudian Aji Jaladi Geni [Ilmu Lautan Api] yang mendatangkan hawa panas seperti api keluar dari kedua telapak tanganya sehingga jarang ada lawan yang mampu bertahan menghadapi aji kesaktian ini. Masih ada lagi aji Jerit Sardulo Krodo [Teriakan Harimau Marah] yang dapat melumpuhkan lawannya seolah-olah lawan itu menghadapi seekor harimau yang sedang mengaum-aum! Setelah udara di barat terbakar cahaya kemerahan, Dewi lalu bangkit berdiri di atas karang, memandang lepas ke laut yang tak terbatas itu, lalu berloncatan dari batu ke batu yang tajam itu. Biarpun telapak kakinya kelihatan putih mulus kemerahan dan halus, namun ternyata telapak kaki itu menginjak batu karang yang runcing tajam itu tanpa mengalami luka atau nyeri sedikitpun. Sungguh, kalau ada yang meliahatnya di saat itu, tentu tidak akan ada yang percaya bahwa ia adalah seorang manusia biasa.

   Cantik jelita, dengan rambut panjang terurai berloncatan seperti itu! Agaknya hanya peri penjaga lautan yang mampu berlompatan seperti itu. Sementara itu, sekitar dua kilometer dari situ, Ni Durgogini sedang duduk di depan guanya yang berada di antara batu-batu karang. Sebuah gua di dinding karang yang tersembunyi di tempat yang sunyi itu. Tiba-tiba telinga nenek tua renta yang masih berpendengaran tajam itu menangkap suara orang bercakap-cakap dan juga langkah kaki mereka menuju ke tempat itu. Ia merasa heran sekali dan juga marah. Siapa orang-orang yang berani lancang mendatangi tempat tinggalnya yang keramat itu? Karena merasa penasaran, Ni Durgogini lalu menyambar sebatang tongkat yang bentuknya seperti ular kering, dan iapun berloncatan dari tempat duduknya tadi ke atas batu-batu karang menuju ke arah datangnya suara orang-orang itu.

   "Hi-hi-hi-hik!"

   Suara tawa yang nyaring dan bergema aneh ini mengejutkan enam orang pria yang sedang melangkah perlahan-lahan di antara batu-batu karang sambil bercakap-cakap. Mereka adalah enam orang pria yang nampaknya gagah perkasa, berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun dan dari bentuk pakaian dan terutama kain kepala dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang dari daerah timur. Mendengar suara tawa yang mengerikan itu, enam orang tadi sudah berloncatan dengan sigapnya, lalu memperhatikan ke arah datangnya suara tawa yang seperti tawa kuntilanak itu. Dan ketika mereka melihat Ni Durgogini mereka segera berhenti melangkah dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, seorang di antara mereka berseru,

   "Ia adalah Ni Durgogini!"

   Enam orang itu nampak terkejut. Akan tetapi pemimpin mereka, seorang laki-laki berusia lima puluh tahu, tidak nampak gentar ketika dia maju menghampiri Ni Durgogini, diikuti oleh lima orang kawannya. Laki-laki yang berkumis sekepal sebelah itu memandang dengan sinar mata penuh selidik.

   "Hi-hi-hi-hik! Kalian pasti orang-orang dari Blambangan! Mau apa datang melanggar wilayah tempat tinggalku ini? Apakah kalian berenam sudah bosan hidup dan arwah kalian ingin menjadi abdi Gunung Kidul? Hi-hi-hi-hik!"

   Laki-laki berkumis tebal itu tanpa rasa takut menghadapi Ni Durgogini, bertolak pinggang lalu berkata dengan sikap angkuh.

   "Ni Durgogini, orang-orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku, datuk dari Teluk Banyubiru, sama sekali tidak gentar menghadapimu. Aku adalah Menak Koncar, bersama teman-teman mengemban perintah Gusti Adipati Blambangan untuk mencari keris pusaka Tilam Upih. Nah, kalau engkau mengetahui di mana adanya keris pusaka itu, katakan kepada kami, Ni Durgogini dan kami akan memberi imbalan berharga kepadamu. Akan tetapi jangan sekali-kali engaku membohongiku karena tidak ada orang yang berani berbohong kepadaku tetap hidup!"

   "Hi-hi-hi-hik! Menak Koncar, andika anjing-anjingBlambangan berani bersuara besar di sini? Biarpun aku sudah tua, akan tetapi belum terlalu berat bagiku untuk membasmi kalian berenam! Andaikata aku mengetahui tentang Tilam Upih pun tidak akan kuberitahukan kepada kalian. Nah, kalian mau apa?"

   "Kakang Menak Koncar, nenek tua renta ini mencurigakan sekali. Ia tinggal di pantai Laut Kidul, dan orang macam ia inilah yang sepantasnya mengetahui di mana adanya keris pusaka Tilam Upih! Kita tangkap dan siksa ia agar mengaku di mana adanya keris pusaka itu!"

   Kata seorang di antara mereka yang bertubuh seperti raksasa kepada Menak Koncar, pemimpin mereka. Menak Koncar memang sudah mencurigai nenek yang mengerikan itu, maka mendengar ucapan pembantunya, dia lalu menudingkan telunjuknya kepada Ni Durgogini sambilmembentak memberi aba-aba kepada anak buahnya.

   "Tangkap nenek ini!"

   Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan melengking nyaring dan terbawa angin dari samudera, terdengar seperti auman seekor harimau yang marah!

   Enam orang Blambangan itu terkejut dan menoleh ke arah lautan dari mana terdengar auman mengerikan itu. Dan mereka semua terbelalak melihat sosok tubuh wanita yang ramping itu, dengan rambut panjang hitam terurai, berlompatan dari batu ke batu seperti seekor kera saja. Semua orang tertegun mengikuti gerakan wanita itu sehingga mereka sejenak melupakan Ni Durgogini. Perjalanan dari tepi lautan mendaki ke tebing di mana terdapat goa tempat tinggal Ni Durgogini itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Selain tebing itu terjal sekali, juga mendaki ke situ harus melallui batu-batu karang yang kasar, runcing tajam. Akan tetapi tubuh wanita itu dengan cepatnya berloncatan dan sebentar saja ia sudah tiba di depan enam orang laki-laki yang kini menjadi semakin terpesona.

   Kalau tadi mereka kagum melihat seorang wanita dapat bergerak selincah itu, kini mereka terpesona melihat wanita itu ternyata cantik jelita bukan main, kecantikan alami yang membuat mereka merasa dalam mimpi bertemu seorang dewi kahyangan! Bahkan orang yang delapan tahun yang lalu sudah mengenal baik Dewi Muntari pun kalau sekarang berhadapan dengan dewi, tentu akan pangling dan tidak menduga sama sekali bahwa wanita berurai rambut ini adalah puteri Raja Daha. Dewi kini tidak pernah merias diri, wajahnya tidak pernah bertemu bedak dan gicu, juga di tubuhnya tidak ada sepotong barang perhiasan yang menempel. Kecantikannya yang sekarang adalah kecantikan yang alami, yang khas, bagaikan kecantikan setangkai mawar hutan liar bermandikan embun.

   "Kanjeng bibi, siapakah mereka ini dan apa kehendak mereka?"

   Tanya Dewi kepada gurunya. Ia memang selalu menyebut bibi kepada gurunya karena Ni Durgogini tidak pernah mau disebut guru. Nenek ini ternyata merasa sungkan dan takut kepada Sang Prabu Jayabaya, maka tidak mau disebut guru oleh puteri raja itu, takut kalau mendapat marah!

   "Hi-hi-hi-hik! Mereka itu adalah anjing-anjing Blambangan yang hendak memaksaku menunjukan kepada mereka di mana adanya keris pusaka Tilam Upih."

   Sebagai puteri raja, tentu saja Dewi pernah mendengar tentang keris pusaka yang pernah dimiliki mendiang Sang Prabu Airlangga itu karena keris pusaka Tilam Upih itu menjadi semacam kisah atau dongeng bagi keluarga istana. Pusaka itu lenyap dan Ayah handanya memang berusaha untuk menumukannya kembali. Sekarang, orang-orang Blambangan mencari keris pusaka itu, bahkan hendak memaksa gurunya menunjukkan di mana adanya. Tentu saja ia menjadi marah sekali.

   "Dan Kanjeng bibi hendak memberi tahu mereka?"

   Tanyanya.

   "Hi-hi-hi-hik, mana mungkin? Andaikata aku mengetahuinya pun, tidak akan kuberitahukan kepada mereka. Akan tetapi mereka hendak memaksa, hendak menangkap aku dan menyiksaku!"

   "Babo-babo, keparat! Lagaknya seperti dapat melangkahi Gunung Semeru! Kanjeng bibi harap menonton saja, biar aku yang akan membasmi gerombolan anjing ini!"

   Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya bergerak, ia telah melayang ke atas dan berjungkir balik beberapa kali. Ketika ia turun, ia sudah berdiri di atas batu karang, berhadapan dengan enam orang itu. Menak Koncar yang memimpin rombongan orang itu dan yang mengaku sebagai datuk Teluk Banyubiru, agaknya baru sadar dari keadaan terpesona tadi. Dia mengelus jenggotnya dengan tangan kiri, menghela napas beberapa kali lalu berkata,

   

Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini