Asmara Dibalik Dendam Membara 6
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Niken Sasi bangkit berdiri dengan mata terbelalak.
"Alanglah kejamnya!"
Bentaknya.
"Tenanglah, Niken. Demikianlah kalau orang sudah dibuat gila oleh cinta asmara yang bukan lain hanya nafsu yang sudah memuncak, dan kematian setiap orang sudah ditentukan oleh para dewata sesuai dengan karma masing-masing. Dan sejak menerima berita bahwa Margono suda terbunuh, akan tetapi bahwa Ni Sawitri juga tewas, KI Sudibyo menjadi semakin rusak hatinya sehingga mempengaruhi kesehatannya. Bertahun-tahun dia tenggelam dalam kedukaan. Mungkin juga timbul penyesalan dalam hatinya."
"Kalau begitu, hal itu adalah salahnya sendiri. Setiap orang sudah pasti akan angunduh wehing pakaryaan (memetik buah perbuatannya)."
"Memang benar, angger. Akan tetapi patut dikasihani Ki Sudibyo. Semua itu dilakukan demi cintanya kepada Ni Sawitri. Dan dia hanya dapat menikmati kebahagian hidup sebagai suami isteri bersama Ni Sawitri selama tiga bulan saja. Karena itulah maka aku merasa iba kepadanya. Yang kukhawatirkan adalah putera dari Ni Sawitri."
Niken Sasi terbelalak memandang Kakek itu.
"Mereka mempunyai putera? Bagaimana dapat lolos dari pembunuhan itu?
"Mereka mempunyai seorang anak laki-laki. Menurut cerita para murid, ketika mereka sudah membunuh Margono dan Ni Sawitri juga tewas membunuh diri, anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun itu mengamuk. Anak itu tentu sudah dapat dibunuh pula kalau tidak muncul seorang Kakek tua renta yang menyelamatkannya. Kakek itu amat sakti dan mengusir Klabangkoro dan kawan-kawannya."
"Bapa Guru juga mendengar tentang nak itu?"
"Tentu saja. Akan tetapi agaknya hatinya sudah luluh dan hancur mendengar kematian Ni Sawitri sehingga dia tidak memperdulikannya lagi. Padahal dia tahu benar bahwa kelak besar kemungkinan anak itu akan membalas dendam kematian orang tuanya."
"Hemm, tentu saja. Dan anak itu kini sudah dewasa, paman? Sepuluh tahun yang lalu dia berusia sepuluh, tentu sekarang sudah berusia dua puluh tahun.
"Benar, karena itulah aku bercerita kepadamu. Aku khawatir anak itu datang membalas dendam dan agaknya engkau yang harus menghadapinya karena engkau akan menjadi ketua."
"Paman kau tidak menyalahkan anak laki-laki itu kalau dia hendak membalas dendam. Akan tetapi karena aku adalah murid Bapa Guru, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membela Bapa Guru. Kalau bocah itu datang dengan niat membunuh Bapa Guru, saya akan menasihatinya agar dia tidak melakukan hal itu, dengan mengingatkan kesalahan yang telah diperbuat orang tuanya terhadap Bapa Guru. Kalau dia nekat, terpaksa akan saya lawan!"
"Memang seharusnya demikian. Akan tetapi ada satu rahasia yang sampai saat ini hanya diketahui olehku seorang dan sekarang rahasia itu akan akan kubuka kepadamu. Ketahuilah, pemuda itu sama sekali tidak boleh membalas dendam, tidak boleh membunuh Ki Sudibyo karena Ki Sudibyo adalah bapak kandungnya."
Niken Sasi yang tadi sudah duduk kembali, kini meloncat lagi dan matanya terbelalak bundar.
"Apa...? Apa maksud paman?"
Katanya bingung.
"Ketika Margono daqn Sawitri bersembunyi, Sawitri yang sudah seperti anakku sendiri, membuat pengakuan kepadaku bahwa ia sudah mengandung selama dua bulan. Jadi, anak itu adalah anak kandung Sudibyo, bukan anak kandung Margono."
"Dan Bapa Guru tahu pula akan hal itu?"
Ki Joyosentiko menggeleng kepala.
"Tidak, tidak kuberitahu karena kenyataan itu tentu akan semakin menghancurkan hatinya. Aku tidak tega Niken."
"Ampun, Gusti...! Kenapa mereka melakukan perbuatan seperti itu? Bapa Guru sudah jelas bersalah karena memperisteri wanita yang sudah mempunyai kekasih, kemudian keasalahannya menjadi semakin berlarut ketika dia menyuruh bunuh Margono sehingga Ni Sawitri ikut pula tewas. Ni Sawitri juga bersalah karena setelah ia menikah dengan Bapa Guru, apalagi sudah mengandung, mengapa ia mengkhianatinya dan minggat bersama kekasihnya? Juga Margono bersalah. Dia merampas isteri orang lain yang sudah mengandung, merusak pagar ayu namanya. Wah, tiga orang berbuat kesalahan dan akibatnya mengerikan.!"
"Akan lebih mengerikan lagi kalau kelak anaknya membalas dendam kepada bapak kandung sendiri!"
Niken Sasi mengangguk-angguk.
"Sekarang saya mengerti mengapa paman menceritakan semua ini kepada saya. Baiklah, paman. Saya berjanji akan menghalangi pembunuhan antara Ayah dan anak kandung ini. Kalau sudah tiba saatnya bertemu dengan anak itu, akan saya beritahu kepadanya perkara yang sebenarnya dan saya akan mencegah dia melakukan pembalasan terhadap Bapa Guru. Juga saya yang akan memberitahu Bapa Guru kelak bahwa pemuda itu adalah putera kandungnya."
"Terima kasih kepada Gusti Yang Maha Agung!"
Ki Joyosentiko memanjatkan puji.
"Hanya andika seorang yang akan mampu menyelamatkan mereka, Niken Sasi. Sekarang legalah hatiku setelah aku menceritakan segalanya kepadamu. Nah, andika boleh melanjutkan perjalanan sekarang."
"Baik, paman dan selamat tinggal."
"Selamat jalan dan semoga para dewata akan melindungimu, angger!"
Niken Sasi meninggalkan gubuk itu dan mengerahkan aji Tapak Srikatan yang membuat larinya seperti seekor burung sedang terbang terbang cepatnya, diikuti pandang mata Ki Joyosentiko yang mengangguk-angguk sambil tersenyum puas.
Niken Sasi sama sekali tidak mengetahui bahwa semua gerak-geriknya semenjak meninggalkan perkampungan Gagak Seto selau diawasi orang. Ke manapun ia pergi, selalu selalusaja ada orang yang
(Lanjut ke Jilid 06)
Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
membayanginya. Ketika ia mengadakan pertemuan dengan Ki Joyosentiko, juga tidak terlepas dari pengamatan orang-orang itu. Akan tetapi Ki Joyosentiko bertindak cerdik, mengajak ia bercakap-cakap disebuah gubuk di tengan sawah sehingga tidak mungkin ada orang dapat mendekati gubuk itu tanpa diketahui. Orang yang membayangi Niken hanya mampu mengintai saja dari jauh, tahu bahwa ia bercakap-cakap dengan Ki Joyosentiko, akan tetapi tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
Dan pertemuan itupun tidak menimbulkan kecurigaan, karena Ki Joyosentiko adalah paman guru Niken Sasi sendiri. Perjalanan Niken Sasi tidak menemui kesulitan. Karena ia bersikap Ramah dan juga membawa bekal uang, maka di mana saja ia diterima penduduk dusun untuk melewatkan malam. Pada suatu hari tibalah ia ditepi Sungai Lesti, di kaki Gunung Kelud. Tempat itu sunyi, jauh dari dusun dan selagi ia melihat-lihat ke kanan kiri untuk mencari perahu penyeberangan, tiba-tiba bermunculan dua belas orang laki-laki yang segera mengepungnya. Melihat pakaian mereka yang ringkas, dada telanjang dan sikap mereka yang kasar, Niken Sasi waspada. Mereka itu jelas bukan petani biasa, lebih pantas menjadi orang-orang yang biasa memaksa kehendak mereka dan tidak pantang melakukan kejahatan.
"Bojleng-bojleng belis laknat!"
Seorang di antara mereka yang mata kirinya terpejam dan hanya mempunyai sebuah mata kanan yang melotot menyeramkan berseru sambil menyeringai sehingga nampak giginya yang besar-besar menguning.
"Ada bidadari dari kahyangan berjalan seorang diri. Siapakah andika, cah ayu, dan hendak pergi kemanakah?"
Sementara itu, se belas orang kawannya juga menyeringai gembira dengan pandang mata seolah hendak menelan bulat-bulat seluruh tubuh Niken Sasi. Bahkan ada yang menjulurkan lidah yang meneteskan air liur bagaikan srigala-srigala kelaparan melihat seekor domba yang lunak dan gemuk gadingnya. Biarpun nada pertanyaan itu tidak sopan, akan tetapi karena orang bertanya, Niken Sasi menjawab juga, dengan suara datar,
"Namaku Niken Sasi dan aku hendak pergi ke Lautan Kidul. Siapakah kalian dan mau apa kalian mengepungku? Biarkan aku lewat!"
"Hoa-ha-aha...!"
Si Mata satu yang tinggi besar seperti raksasa itu tertawa, diikuti anak buahnya yang juga terkekeh-kekeh.
"Ayu manis dan centil! Kawan-kawan, apakah pantas ia menjadi isteri baruku?"
Semua orang tertawa,
"Pantas sekali, Kakang Mamangmurko!"
Kata mereka.
"Wah, jangan-jangan ia ini Kanjeng Ratu Kidul atau hulubalangnya!"
Tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru dan mendengar seruan itu, tiba-tiba saja suara tawa mereka terhenti seperti orang-orang terpijak. Dan semua orang termasuk si mata satu, kini terbelalak mengamati Niken Sasi dengan penuh kecurigaan dan rasa takut. Niken Sasi maklum apa yang berada dalam benak orang-orang tahyul dan kasar itu. Mereka tentu amat takut kalau-kalau ia penjelmaan Kanjeng Ratu Kidul atau hulubalangnya, maka iapun menggunakan kesempatan itu agar jangan terganggu perjalanannya.
"Aku memang seorang Senopati dari Kanjeng Ratu Kidul!"
Katanya lantang sambil bertolak pinggang.
"Aku baru pulang melaksanakan tugasku ke puncak Gunung Kelud dan sekarang hendak kembali ke Lautan Kidul. Hayo cepat kalian sediakan sebuah perahu untuk menyeberangi sungai ini!"
Suaranya terdengar lantang berwibawa, sikapnya gagah dan dua belas orang itu surut ke belakang, lalau berbisik-bisik dengan ketakutan.
"Hayo cepat sediakan perahu!"
Kata si mata satu yang namanya Mamangmurko itu. Dia sudah ketakutan sekali. Siapa yang tidak takut akan kemurkaan Kanjeng Ratu Kidul, Ratu dari Samudera Selatan yang terkenal ganas itu? Dua belas orang itu lalau berlarian, kemudian menyeret keluar enam buah perahu kecil dari balik semak-semak di tepi sungai. Perahu-perahu itu mereka turunkan ke atas air dan Mamangmurko membungkuk di depan Niken Sasi sambil berkat,
"Silakan Den Roro...!"
Niken Sasi mengangguk dan tersenyum. Ia tidak merasa janggal mendengar sebutan Raden Roro itu, karena sesungguhnya ia bahkan berhak mendapat panggilan yang lebih mulia lagi. Bukankah ia cucu Sang Prabu Jayabaya di Daha? Ia lalau melangkah ke dalam sebuah perahu dan perahu-perahu itu meluncur menyeberagi Sungai Lesti. Karena sungai Lesti, anak sungai Brantas itu ketiak tiba disitu masih belum besar benar, sebentar saja perhu-perahu itu telah tiba di sebelah selatan sungai dan para anak buah gerombolan itu berloncatan ke daratan. Demikian pun Niken Sasi melangkah keluar dari dalam perahu, mendarat di atas tepi sungai yang berumput. Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara mereka berseru,
"kawan-kawan, kita tertipu! Kalau nona ini seorang Senopati dari Kerajaan Kidul, mana mungkin ia ikut dengan kita naik perahu? Seorang Senopati dari Kerajaan Kidul tentu tidak takut air, apalagi hanya air sungai! Ia ini bukan Senopati Kidul, melainkan gadis biasa yang telah membohongi kita."
Mendengar ini, Niken Sasi melangkah ke depan dan bertolak pinggang.
"Hemm, siapa berani mengatakan bahwa aku penipu dan berbohong? Siapa yang tidak percaya bahwa aku Senopati Kidul boleh maju dan menguji kesaktianku."
Orang berteriak tadi kini didorong-dorong temannya. Karena dia tadi meneriakkan bahwa gadis itu bukan Senopati Kidul, maka dia pula yang harus mengujinya. Dia seorang pria berusia tiga puluh tahun yang bertubuh kekar, kaki tangannya di lingkari otot-otot seperti tali tambang. Biarpun agak jerih, dia memberanikan diri untuk membuktikan tuduhanya tadi.
"Baik, akau yang akan menguji andika!"
Katanya dan tanpa menanti jawaban lagi, langsung saja dia menubruk ke depan untuk merangkul dan meringkus dara jelita itu.
"Wuuutt... brukkk...!"
Pemuda itu tidak merangkul Niken yang tiba-tiba lenyap dan menubruk tanah. Dia terkejut dan penasaran, melompat bangun, membalikkan tubuhnya dan kembali dia menerjang, kembali ingin memeluk. Kembali Niken Sasi mengelak.
Melihat temannya berusaha menubruk dan merangkul sedangkan gadis itupun hanya mengelak, teman-temannya menjadi iri dan merekapun serentak bergerak mengejar dan menubruk Niken Sasi, seolah sekawanan anak yang bergembira mengejar-ngejar seekor kelinci! Kini Niken Sasi menjadi marah. Melihat dua belas orang itu semua berebutan dan berusaha untuk memeluknya, ia pun tidak hanya mengelak melainkan juga menangkis, menampar dan menendang. Dan terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan tubuh para pengeroyok itu berpelantingan. Mendapat hajaran ini, dua belas orang itu kembali menjadi ketakutan karena kini mereka percaya bahwa dara itu benar-benar sakti. Kalau ia Senopati Kidul, celakalah mereka! Maka dipimpin oleh Mamangmurko, mereka semua brelutut dan menyembah-nyembah kepada Niken Sasi.
"Gusti Puteri Senopati, hamba semua mohon ampun..."
Kata Mamagmurko dengan bibir berdarah karena tadi dia menerima tamparan tangan kiri Niken Sasi. Enak saja, tadi menyerang dengan niat buruk, kini minta ampun, pikir Niken Sasi. Kemudian ia teringat. Bekal uang yang diterimanya dari Ki Sudibyo memang cukup banyak, akan tetapi ia melakukan perjalanan jauh dan tidak diketahui kapan berakhir, maka ia membutuhkan banyak uang untuk biaya perjalanan.
"Hayo keluarkan semua uang yang berada di pakaian kalian. Keluarkan semua dan kumpulkan. Awas, jangan menyembunyikan karena aku akan mengetahui dan siapa menipu akan kuseret nyawanya ke Lautan Kidul!"
Tak seorangpun dari mereka berani membantah atau berani menyembunyikan sesuatu dan keluarlah semua milik mereka dari sabuk dan saku mereka, ditumpuk di atas tanah. Dari barng-barang itu, mudah diduga bahwa gerombolan itu adalah perampok karena bermacam barang perhiasan wanita terdapat dalam tumpukan itu, selain uang dan emas. Niken Sasi lalu membungkus semua harta itu dan memasukkannya ke dalam buntelan pakaiannya.
"Hemm, biarlah sekali ini kalian kuampuni. Akan tetapi mulai sekarang kalian harus menghentikan pekerjaan jahat. Jangan lagi merampok dan mengganggu orang. Awas, kalau kelak kulihat kalian masih berbuat jahat, aku pasti akan mencabut nyawa kalian!"
Setelah berkata demikian, Niken Sasi menggunakan aji Tapak Srikatan dan sekali meloncat ia telah berada di tempat jauh dan segera ia berlari cepat seperti terbang. Dua belas orang itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Akan tetapi, Mamangmurko lalu bangkit brediri, mengepal tinju dan memaki-maki.
"Bojleng-bojleng, jahanam busuk, kita telah tertipu! Bocah setan itu tentu saja bukan Senopati Kidul. Karena kerajaan Kidul terkenal kaya raya dan batu-batunya saja emas, bagaimana mungkin ia merampas uang dan perhiasan kita? Kita telah tertipu!"
Ia menyumpah-nyumpah.
"Akan tetapi harus diakui bahwa ia sakti mandraguna, Kakang Mamagmurko. Kita tidak dapat menandinginya. Gerakannya seperti terbang saja."
"Dan pukulannya juga ampuh, masih terasa panas bekas tangannya!"
Kata yang lain. Mamangmurko menjadi semakin jengkel.
"Dasar kita yang sedang sial, bertemu dengan gadis seperti itu. Habislah semua hasil pekerjaan kita selama berbulan-bulan."
"Akan tetapi kita dapat mencari lagi dan kita tidak perlu takut, karena gadis itu pasti tidak akan mengetahuinya."
Kata yang lain.
"Awas saja dara itu! Kalau sekali lagi lewat di sini, aku akan mengerhkan banyak kawan untuk menagkapnya ancam Mamangmurko dengan geram. Dan gagallah usaha Niken Sasi untuk memaksa kawanan gerombolan itu untk mengubah jalan hidup mereka. Mereka kembali menjadi perampok yang ganas. Sementara itu, Niken Sasi melanjutkan perjalannya menuju selatan setelah melewatkan malam di sebuah dusun kicil, pada keesokan harinya tibalah ia di dusun Lodaya yang cukup banyak penghuninya.
Seperti dalam perjalanannya yang sudah dilaluinya, ketika memasuki dusun Lodaya di siang hari itu, Niken Sasi menjadi perhatian banyak orang. Dandanannya memang tidak banyak berbeda dari gadis-gadis dusun lainnya. Akan tetapi kulitnya yang putih kuning, wajahnya yang cantik jelita, dan keberadaanya seorang diri, menarik perhatian orang. Dara secantik jelita itu, yang dari kulitnya, wajahnya dan gerak-geriknya jelas menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis dusun biasa, berkeliaran seorang diri! Niken Sasi merasa lapar dan ia mencari-cari kedai nasi di dusun itu. Akhirnya ia menemukan beberapa buah warung di dekat pasar yang mulai sunyi dan ia memilih warung terbesar dan memasukinya. Ada beberapa buah bangku panjang di dalam warung, menghadapi meja panjang yang penuh makanan.
Terdapat lima orang tamu di kedai nasi itu dan mereka semua pria. Melihat masuknya seorang dara jelita, lima orang pria yang berusia dari tiga puluh sampai empat puluh tahun itu menengok dan mengikuti gerak-gerik Niken sambil menatap wajah cantik itu penuh kagum. Penjaga warung itu seorang wanita berusia hampir empat puluh tahun, masih membekas kecantikan wajahnya dan pakaiannya bersih, wajahnya dibedaki dengan rambut digulung rapi, sikapnya Ramah dan agak genit. Melihat munculnya Niken, penjaga warung itupun memandang heran. Biasanya, kalau ada tamu wanita yang memasuki warungnya, tentu tamu wanita itu datang bersama suaminya atau keluarga lain. Belum pernah ada dara apalagi demikian ayunya, datang seorang diri. Makanya ia menyambut dengan Ramah dan pandang mata heran.
"Silakan duduk, adik manis. Apa yang dapat kubantu untukmu?"
Niken agak ragu melihat bangku-bangku itu sudah diduduki para tamu pria. Akan tetapi, lima orang tamu itu serentak bangkit berdiri dan dengan suara saur manuk (burung bersautan) mereka merpersilakan Niken duduk.
"Mari, dududk di bangku ini, jeng...!"
Mulut mereka menyeringai dan pandang mata terpesona. Akan tetapi Niken Sasi melihat sebuah bangku panjang di sudut yang masih kosong dan iapun memilih bangku itu untuk menjadi tempat duduknya.
"Terima kasih, mbakyu, saya ingin makan. Apakah mbakyu menjual nasi?"
"Oh, ada! Ada nasi gudangan, nasi tumpang, nasi pecel. Tinggal pilih dik.
""
Kata wanita itu.
"Pilih saja nasi gudangan, jeng. Ditanggung enak. Sayurnya dan kenikir, daun bayam, daun pepaya, dicampur daun singkong, kacang panjang dan kecambah, sedap dan gurih bukan main!"
Kata seorang laki-laki yang kumisnya panjang.
"Ah pilih saja nasi tumpang, jeng!"
Kata yang alin, yang tubuhnya kurus.
"Semua sayur itu disiram sambal tumpang tempe bosok, wah, lezat dan sedap bau jeruk purut, dan selain membuat orang bernafsu besar untuk makan juga melegakan perut!"
"Dan jangan lupa goreng tempenya, jeng!"
Kata orang ketiga sehingga Ramailah keadaan di dalam warung itu.
"Kalau aku pilih nasi pecelnya. Sambelnya kental dan pedasnya cukup, menggoyangkan lidah!"
Kata orang keempat. Niken Sasi tersenyum Ramah kepada empat orang itu, akan tetapi perhatiannya tertuju kepada pria ke lima yang tadi tidak dilihatnya. Pria ini duduknya di sudut menyendiri dan sejak tadi dia tidak ikut bicara, bahkan menengokpun tidak kepadanya! Juga pria ini masih muda sekali, paling banyak dua puluh tahun usianya, masih seperti bocah yang mentah! Agaknya malu-malu untuk memandang seorang gadis. Entah mengapa, melihat ada seorang pria yang acuh saja kepadanya, melirikpun tidak hati Niken terasa panas seolah pria itu memandang rendah padanya!
"Beri aku nasi pecelnya sepincuk mbakyu, minumnya the panas manis secangkir."
Katanya kepada penjaga warung itu dan melihat betapa empat orang laki-laki itu tersenyum-senyum kepadanya, iapun membalas dengan senyuman manis. Akan tetapi kembali senyumnya menghilang ketika ia melihat pemuda itu masih membuang muka dan mengacuhkannya. Tentu saja ia tidak ingin diperhatikan laki-laki, akan tetapi diacuhkan seperti itu sungguh membuat perutnya terasa panas. Justeru kalau ada laki-laki yang memperhatikannya, Niken akan acuh saja. Maka kini melihat ada seorang pemuda sama sekali tidak memperdulikan kehadirannya, hal ini amat menarik hati Niken dan ia bahkan yang memperhatikan pemuda itu melalui kerling matanya. Dia seorang pemuda tampan.
Pakaiannya seperti pemuda dusun biasa, akan tetapi keadaan pakaiannya itu sama sekali tidak mampu menyembunyikan keadaan dirinya yang amat berbeda dibandingkan pemuda dusun biasa. Dia memiliki kepribadian yang lain dan luar biasa. Sikapnya acuh dan pendiam, sinar matanya berbeda jauh dari sinar pemuda biasa yang nampak bodoh dan ingin tahu. Sinar matanya lembut dan dalam, seolah penuh pengertian, dan kadang ada kilatan aneh mencorong dari manik matanya. Dan pemuda ini mempunyai kepribadian yangamat menarik hati Niken Sasi. Anggun dan berwibawa. Agaknya pemuda itupun baru sajamasuk karena di atas meja di depannya hanya nampak secangkir minuman teh panas. Dan memang benar demikian karena setelah melayani pesanan nasi pecel kepada Niken, sepincuk nasi pecel yang kelihatannya enak, wanita tukang warung itu lalu bertanya kepada pemuda itu.
"Bagaimana, den bagus, apakah andika sudah menentukan pilihan? Andika ingin makan nasi apa?"
Dari sebutan den bagus itu, Niken Sasi dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah bukan penduduk Lodaya, dan karena dia pemuda asing dan penampilannya memang mengesankan sebagai seorang yang luar biasa, maka wanita penjaga warung itu menyapanya dengan sebutan den bagus, sebutan yang biasanya ditujukan kepada pemuda putera bangsawan atau setidaknya kepala dusun.
"Aku juga minta nasi pecel sepincuk, mbakyu."
Kata pemuda itu setelah mengerling ke arah pincuk yang dipegang Niken Sasi. Niken Sasi tidak peduli, setelah mencuci tangannya dengan air kendi, iapun mulai makan nasi pecelnya. Dan ternyata memang benar. Nasi pecel itu enak sekali. Nasinya hangat dan pulen, pecelnya juga terasa sedap dan lezat. Pemuda itu minta tambah sepincuk lagi, akan tetapi Niken Sasi merasa cukup. Setelah makan dan minum, Niken Sasi membayar harga makanan dan minuman, lalu meninggalkan warung. ia melihat pemuda itu masih makan, sama sekali tidak menengok kepadanya!
"Huh, pemuda tinggi hati, angkuh dan sombong. kau kira dirimu itu siapa!"
Niken Sasi memaki dalam hatinya dengan hati panas. Biarpun Niken Sasi bukan seorang dara yang haus pujian pria, akan tetapi karena baru sekali ini ia melihat seorang pria yang begitu acuh dan memandang rendah kepadanya, hatinya menjadi panas juga. Beberapa kali ia memandang ke arah pemuda itu sebelum meninggalkan warung itu, akan tetapi pemuda itu tetap saja tidak melirik ke arahnya. Setelah keluar dari warung nasi itu. Niken dengan santai lalu berjalan jalan di dusun itu. Sebuah dusun yang cukup besar dan karena ia sudah semakin mendekati daerah Laut
Kidul, maka ia mulai memperhatikan tempat itu untuk memperhatikan tempat itu untuk melakukan penyelidikan tentang pusaka Tilam Upih yang hilang. Ia mulai mencari tempat untuk bermalam karena ia ingin tinggal di Lodaya selama beberapa hari. Melihat sebuah rumah sederhana berdiri agak menyendiri di sudut dusun itu, Niken Sasi tertarik dan menghampiri. Rumah itu mempunyai perkarangan yang luas dan dipekarangan itu tumbuh empat batang pohon nyiur yang sudah sarat dengan buah kelapa. Melihat buah kelapa muda yang hijau, Niken menelan ludah, membayangkan kesegaran air dawegan hijau yang tentu akan nikmat sekali diminum di waktu hari sepanas itu. Akan tetapi sampai lama ia menanti, tidak juga ada orang yang membuka pintu rumah dan keluar dari dalam rumah itu. Ia menjadi tidak sabar setelah menanti lama, lalu dihampirinya dan diketuknya daun pintu itu.
"Tok-tok-tok... kulonuwon...!"
Setelah bebrapa kali mengetuk pintu dan mengucapkan salam tanpa ada jawaban, Niken menduga bahwa rumah itu agaknya kosong. Dan keinginannya minum dawegan [kelapa muda] hijau sudah begitu mendesak dan membuat kerongkongannya terasa haus sekali. Ia kembali ke pekarangan dan setelah beberapa lamanya berdongak memandangi buah kelapa muda itu, memilih-milih, ia lalu mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan dan sekali membuat gerakan dengan tangannya, batu itu menyambar ke atas dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan mata.
"Wuuuutt... takk!"
Batu itu jatuh lagi bersama sebutir buah kelapa yang dibidik oleh Niken. Batu itu ternyatatepat mengenai gagang kelapa muda itu tanpa mengganggu butiran kelapa yang lain. Dengan gembira Niken mengambil dawegan hijau itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan seorang wanita,
"Siapa berani mencuri dawegan kami?"
Tentu saja Niken terkejut bukan main sehingga hampir saja kelapa muda itu terlepas dari tangannya. Ia menengok ke belakang dan sama terkejutnya dengan wanita itu, yang kini memandangnya dengan mata terbelalak.
"Nimas ayu Niken...!"
"Jinten, andika Jinten...? Bagaimana dapat berada di sini, Jinten?"
Kata Niken yang mengenal pelayan yang biasa membantunya melayani gurunya itu. Mereka saling berpegang tangan.
"Nah, panjang ceritanya, Nimas Ayu. Mari masuk ke dalam rumah dan kita bicara. Ini adalah rumah saya, di mana saya hidup bersama seorang paman saya."
"Baiklah, dan... eh, dawegan ini, maafkan..."
Tentu saja Niken merasa canggung dan malu.
"Bawa saja ke dalam, Nimas Ayu. Andika ingin minum dawegan? Nanti kukupaskan, memang segar sekali minum air dawegan di siang hari begini. Dan dawegan hijau kami manis sekali."
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan Ramah Jinten mengajak Niken memasuki rumahnhya, sebuah rumah sederhana. Mereka lalu duduk di sebuah balai-balai dan Jinten mengupas dawegan itu. Benar saja, air dawegan itu manis dan segar, juga daging dawegannya lezat sekali.
"Nah, ceritakan bagaimana tiba-tiba aku dapat bertemu denganmu di sini, Jinten? Kapan engkau meninggalkan Gagak Seto, dan kenapa engkau pergi dari sana?"
"Nimas ayu, setelah andika pergi, saya merasa kesepian sekali dan menjadi tidak kerasan lagi. Kebetulan paman saya datang berkunjung menengokku, maka saya lalu mengambil keputusan untuk pulang ke dusun, ikut paman saya. Sehari setelah andika pergi, saya pergi dari sana dan saya langsung menuju dusunLodaya ini."
"Ah, pantas saja engkau dapat datang lebih dulu di sini dari pada aku. Aku mengambil jalan berkeliling dan sering berhenti di suatu tempat."
"Nimas ayu, andika hendak pergi ke manakah?"
"Aku hendak pergi ke pantai Lutan Kidul, Jinten."
"Wah, masih jauh sekali, nimas. Dan matahari sudah condong ke barat. Panasnya seperti membakar. Karena kita kebetulan bertemu di sini, saya harap andika suka melewatkan malam di sini dan baru besok pagi-pagi melanjutkan perjalanan."
"Hem, aku hanya akan merepotkanmu saja, jinten."
"Ah, tidak, nimas ayu! Kita telah tinggal serumah selam bertahun-tahundan sekarang tidak mungkin saya melepas andika begitu saja. Tinggallah di sini semalam, Nimas ayu dan nanti saya perkenankan kepada pamanku, Paman Kartiko."
Karena iapun tidak tergesa-gesa, akhirnya Niken merasa tidak enak untuk menolak dan iapuntinggal di rumah Jinten itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang berpakaian seperti petani datang dan Jinten cepat memperkenalkan laki-laki itu kepada Niken sebagai pamannya. Kartiko, paman Jinten itu, bersikap hormat kepada Niken dan tak lama hadir di situ, cepat keluar lagi sehingga Niken merasa enak dan betah karena di rumah itu hanya ada ia dan Jinten. Bahkan ketika Jinten masak-masak, menyembelih ayam kemudian menghidangkan makan malam di ruangan tengah, sang paman tidak juga kelihatan. Untuk basa-basi Niken menanyakan kepada Jinten.
"Ke mana pamanmu, Jinten? Kenapa tidak diminta makan malam bersama?"
"Ah, pamanku adalah seorang dusun yang sederhana dan pemalu, nimas ayu! Silakan makan dulu, biar paman Kartiko tidak mungkin akan mau makan bersama andika. Mari, silakan."
Dengan Ramah dan akrab Jinten melayani Niken makan.
"Jinten, engkau sekarang bukanlah pelayanku lagi. Engkau bahkan kini menjadi nonna rumah dan aku tamunya, karena itu janganlah melayani aku seperti seorang pelayan. Mari kita sama-sama makan. Aku terpaksa menolak kalau engkau tidak mau menemaniku makan bersama."
Jinten menarik napas panjang.
"Ahh, nimas ayu. Sebetulnya ingin sekali saya melayani andika makan, akan tetapi kalu andika memaksa, abiklah saya temani andika makan."
Jinten lalu mengambil nasi dan lauk pauk untuk dirinya sendiri dan setelah melihat Jinten makan, baru legalah hati Niken Sasi. Tentu saja ia percaya kepada Jinten yang sudah bertahun-tahun hidup dengannya di Gagak Seto.
Akan tetapi sekarang mereka bukan berada di perkumpulan itu lagi dan Jinten buak apa-apa. Oleh karena itu, biar tidak menaruh curiga, ia harus waspada. Jinten memang pandai memasak. Hidangan yang disugukan itu lezat dan biarpun Jinten belum merasa lapar benar, Iapun makan agak banyak. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berputar, seluruh ruangan di depannya seperti bergoyang-goyang. Biarpun ia belum pernah keracunan, akan tetapi pernah ia mendengar dari gurunya tentang makanan yang mengandung racun, yang membuat orang terbius dan tak sadarkan diri. Ia terkejut. Apakah Jinten sengaja memberinya makanan beracun? Ia cepat menoleh kepada Jinten, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis pelayan itu sudah terkulai di atas tikar, agaknya tertidur atau pingsan!
"Celaka...!"
Ia cepat bangkit dan meloncat, akan tetapi kepalanya terasa berat sekali dan semakin pusing sehingga ia tetpelanting roboh di atas lantai. Pada saat itu terdengar suara tawa yang lantang dan menyeramkan dan muncul belasan orang laki-laki dalam ruangan itu. Niken Sasi terkejut sekali, juga marah. Tahulah ia bahwa ia telah masuk perangkap. Entah bagimana makanan itu mengandung racun, akan tetapi pasti bukan jinten yang melakukannya karena wanita itupun terkulai pingsan keracunan. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya dan bersiap siaga untuk melakukan perlawanan akan tetapi kepeningan kepalanya tidak dapat ditahan lagi dan iapun terpelanting dan terkulai tak sadarkan diri.
"Cepat, ikat kaki tangannya!"
Terdengar seorang di antara mereka berseru dan nak buahnya lalu mengikat kaki tangan Niken Sasi. Sementara itu Jinten sudah bergerak dan ternyata ia tidak pingsan seperti yang diduga Niken Sasi. Kemudian, lima belas orang laki-laki itu memanggul tubuh Niken Sasi, di bawa pergi meninggalkan dusun Lodaya tanpa ada orang lain mengetahui karena memang rumah itu berdiri terpencil di sudut dusun. Seperti kita ketahui, Jinten telah menjadi tangan kanan Klabangkoro. Ia pula yang memata-matai Ki Sudibyo ketika bercakap-cakap dengan Niken Sasi dan membuka rahasia Ki Sudibyo yang hendak mengangkat Niken Sasi menjadi ketua dan mengutus murid itu mencari pusaka Tilam Upih.
Setelah Klabangkoro dan Mayangmurko menyusun siasat bersama Ki Brotokeling ketua Jambuka Sakti, Jinten lalu mendapatkan tugas penting, yaitu menghadang perjalanan Niken Sasi. Hal ini mudah dilakukan karena memang sejak berangkat dari Anjasmoro, perjalanan dara itu selalu dibayangi oleh orang-orang yang menjadi anak buah Klabangkoro dan juga Brotokeling. Siasat pertama, yaitu menonjolkan Gajahpuro agar dapat mendekati dan menemani Niken Sasi dengan membantu gadis itu dari pengeroyokan segerombolan orang, ternyata telah gagal. Niken Sasi tidak mau ditemani pemuda itu sehingga sukar diharapkan Niken akan jatuh hati kepada Gajahpuro. Apalagi pemuda putera Klabangkoro ini memiliki watak yang berbeda dengan Ayahnya. Pemuda itu pasti akan menolak kalau mengtahui akan siasat yang diatur Ayahnya untuk menjebak Niken Sasi.
Dia memang mencintai Niken, akan tetapi cintanya tulus, bukan cinta nafsu yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh orang yang dicintanya. Setelah siasat pertama gagal kini Klabangkoro melakukan siasat kedua, yait menagkap Niken Sasi. Hal ini dilakukan hati-hati dan dengan jebakan. Jinten disuruh maju untuk menjebak Niken Sasi karena mereka sudah tahu bahwa Niken Sasi benar-benar telah menjadi seorang dara yang sakti mandraguna. Dengan menggunakan racun pembius yang amat kuat, akhirnya Niken Sasi dapat dibuat tak sadarkan diri dan tidak berdaya. Setelah berhasil menjalankan perannya menjebak Niken Sasi yang sudah berhasil dibawa oleh gerombolan Jambuka Sakti seperti direncanakan, Jinten lalu berkata kepada Kartiko yang sebenarnya adalah seorang pembantu, bukan pamannya.
"Paman Kartiko, engkau jagalah di sini. Aku akan pergi melapor kepada Kakang Klabangkoro!"
Gadis yang sudah diangkat menjadi selir oleh Klabangkoro itu lalu pergi meninggalkan rumah yang terpencil itu. Klabangkoro dan anak buahnya juga berada di dusun Lodaya untuk mengatur siasat. Mereka bertempat tinggal di sebuah rumah besar yang mereka sewa untuk keparluan itu. Ketika mendengar laporan Jinten bahwa Niken Sasi tekah dapt ditangkap, Klabangkoro menjadi gembira bukan main. Dia merangkul Jinten dan menciuminya sambil memuji-muji. Setelah itu dia lalu memanggil Gajahpuro yang baru pagi tadi memasuki dusun dan bertemu dengan rombongan Ayahnya. Klabangkoro mengaku kepada puteranya bahwa dia dan rombongannya pergi meninggalkan Anjasmoro untuk tugas yang akan dibicarakannya dengan puteranya kelak kalau sudah berhasil.
"Gajahpuro, sekaranglah saatnya aku memberitahukan kepadamu tugas apa yang sedang kulakukan dan kuharap engkau dapat menyetujuinya dan membantu usaha bapamu."
"Urusan apakah itu, Ayah?"
Tanya pemuda itu yang merasa heran melihat sikap Ayahnya yang bersungguh-sungguh mengajaknya bercakap-cakap berdua saja dalam ruangan itu.
"Begini, sebelumnya aku hendak bertanya kepadamu dan harus kau jawab dengan sejujurnya. Pertama, apakah engkau mencintai Niken Sasi dan engaku akan merasa bahagia sekali kalau dapat menjadi suaminya?"
Wajah pemuda itu berubah kemerahan, akan tetapi dia menjawab tegas,
"Bapa tentu tidak khilaf dan telah mengetahui bahwa sejak dahulu saya amat mencintai Niken Sasi dan tentu saja saya akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menjadi suaminya. Akan tetapi mengapa bapa menanyakan hal ini?"
"Nanti saja penjelasannya. Sekarang pertanyaan kedua : Apakah engkau suka kalau dapat menguasai aji Hasta Bajra yaitu aji yang dikuasai oleh para pimpinan Gagak Seto, kemudian menjadi ketua Gagak Seto menggantikan Bapa Guru Sudibyo?"
Pertanyaan itu hanya mempunyai satu jawaban. Setiap orang murid Gagak seto pasti menginginkannya.
"Tentu saja bapa. Saya akan senang sekali kalau dapt mewarisi aji Hasta Bajra dan dapt menjadi ketua Gagak Seto."
"Nah, sekarang dengarkan baik-baik, Gajahpuro. Semua keinginanmu itu akan terpenuhi kalau saja engkau suka melakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, yaitu membantu siasat yang kami jalankan, kalau engkau menolak, sampai matipun engkau tidak akan mampu memperisteri Niken Sasi dan menjadi ketua Gagak Seto."
Tentu saja Gajahpuro ingin sekali menjadi suami Niken Sasi yang amat dicintainya, dan siapa orangnya tidak mau menjadi ketua Gagak Seto?
"Katakanlah, bapa. Saya akan melaksanakan apa saja untuk dapat memperisteri Niken dan menjadi ketua Gagak Seto."
"Bagus! Ini baru putera bapa! Begini, kulup. Niken Sasi adalah seorang gadis yang berhati keras. Sekali ia tidak mau menjadi isterimu, ia akan menolak dan tidak ada yang akan dapat memaksanya untuk dapat menerima pinanganmu."
"Agaknya bapa benar,"
Kata Gajahpuro dengan wajah sedih.
"Akan tetapi, ia pasti akan menerima pinanganmu kalau kehormatannya sudah ternoda. Untuk mencuci aib itu, ia pasti menerima uluran tanganmu yang akan menikahinya karena hal itu berarti mencuci aib dan noda yang mengotori diri dan namanya."
Gajahpuro memandang wajah Ayahnya dengan mata terbelalak dan penuh selidik.
"Apa... apa yang bapa maksudkan? Saya tidak mengerti."
"Ingat, kalau engkau sudah menjadi suaminya, tentu dengan mudah engkau akan mempelajari aji Hasta Bajar dari isterimu dan engkau kan menjadi ketua Gagak Seto."
"Ya, akan tetapi apa yang bapa maksudkan dengan mencuci aib yang menodai Niken Sasi?"
"Begini, angger. Saat ini Niken Sasi sudah dapat kami tangkap dan ia dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh racun pembius. Nah, ini kesempatan baik bagimu untuk menguasai tubuhnya. Ia tidak tahu karena ia masih pingsan. Setelah engkau menguasai tubuhnya tentu setelah sadar ia tahu bahwa ia telah bukan gadis lagi, telah ternoda aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawa. Kecuali kalau ada yang suka menikahinya, Dalam keadaan binging dan berduka itu, mengaku maju sebagai penolong. Engkau meminangnya dan kau nyatakan kepadanya bahwa engaku tidak perduli apakah ia telah tercemar atau tidak."
Perlahan -lahan wajah Gajahpuro menjadi pucat sekali. Kemudian merah, lalu pucat lagi ketika perlahan-lahan bangkit berdiri, memandang Ayahnya tanpa berkedip. Suakr sekali suara keluar dari mulutnya dan setelah dia bisa bersuara, terdengar suaranya yang penuh kemarahan dan bercampur isak.
"Terkutuk! Terkutuk sekali siasat itu. Tidak, aku tidak sudi melakukannya!"
Suaranya gemetar dan seluruh tubuhnya menggigil. Klabangkoro berkata dingin.
"Bocah goblok! Kalau engkau tidak mau, masih banyak orangyang dengan senang akan melakukan perkosaan itu. Kelak engkau tinggal menjadi penolongnya saja mengawininya."
"Tidak, aku tidak sudi! Aku akan membongkar semua rahasia busuk itu. Akan kuberitahukan kepada Niken Sasi! Akulah yang akan mencegah terjadinya perbuatan terkutuk itu! Aku yang akan menyelamatkan Niken Sasi!"
"Gajahpuro, bocah laknat! Engkau berani melawan Ayahmu?"
"Kalau perlu! aku malu menjadi putera Ayah!"
"Wuuuttt... plak-plak...!"
Gajahpuro terhuyung ketika dua kali dia menangkis tamparan Ayahnya. Akan tetapi Klabangkoro mendesak terus sehingga pemuda itu terkena tamparan yang cukup kuat sehingga dia terpelanting roboh. Di lain saat dia telah dibelenggu kedua tangannya dan Klabangkoro memanggil anak buahn
"Bawa anak durhaka ini pulang ke Anjasmoro dan sekap dia dalam tahanan. Awas, jangan sampai dia melepaskan diri. Layani dengan baik akan tetapi jangan sampai terlepas!"
Dengan sikap masih angkuh Gajahpuro lalu dibawa keluar dari situ, dan Klabangkoro menjatuhkan diri di atas kursi dengan napas terengah-engah saking marahnya. Dia merasa bingung sekali menyaksikan sikap puteranya yang menentangnya, bahkan memusuhinya dan hendak menghalangi rencananya. Kekuasaan memang merupakan nafsu yang amat kuat mencengkeram diri manusia. Demi kekuasaan manusia suka lupa diri dan tidak segan melakukan hal-hal yang tidak manusiawi.
Bahkan siap untuk memusuhi siapapun juga, bahkan anak sendiri, demi mencapai kekuasaan yang diidamkan. Betapa banyaknya tercatat dalam sejarah adanya perebutan kekuasaan di antara saudara kandung, di antara Ayah dan anak, sampai terjadi perang dan mengorbankan nyawa ratusan ribu orang manusia! Demikian pula dengan Klabangkoro. Dia melihat kekuasaan sudah di depan mata, sudah berada di ambang pintu. Dia sudah membayangkan betapa akan senangnya, Betapa akan mulia dan terhormat, apabila dia dapat menjadi ketua Gagak Seto, kemudiandigantikan oleh puteranya. Maka, melihat sikap puteranya yang menentangnya, dia menjadi marah sekali. Dalam pandangannya saat itu, Gajahpuro kelihatan sebagai seorang anak yangdurhaka, yang mengecewakan, yang tidak tahu diri dan penghalang rencananya.
Kalau perlu, mungkin dia akan tega membunuh puteranya itu! Dalam keadaan pingsan, Niken Sasi diangkut belasan orang laki-laki itu memasuki sebuah hutan di tepi selatan Sungai Brantas, di sebelah utara Lodaya. Ternyata di dalam hutan itu terdapat sebuah rumah besar dari kayu dan bambu yang dijadikan tempat markas sementara oleh kelompok Jambuka Sakti yang bekerja sama dengan anak buah Gagak Seto di bawah pimpinan Klabangkoro. Karena sebelumnya Klabangkoro sudah memesan dengan keras, maka tidak ada anak buah Jambuka Sakti yang berani menggangu Niken Sasi. Gadis itu dibawa ke dalam sebuah kamar, dibelenggu kaki tangannya, lalu pintunya ditutup dan penjagaan ketat dilakukan anak buah Jambuka Sakti sambil menanti datangnya Klabangkoro yang akan mengambil keputusan apa yang harus dillakukan dengan gadis tawanan itu.
Senja itu sunyai sekali di dalam hutan di lembah sungai Brantas. Kurang lebih dua puluh orang anak buah Jambuka Sakti berkeliaran di luar rumah. Ada yang membuat api unggun untuk mengusir nyamuk, ada yang menjerang air, bahkan ada yang menanak nasi untuk makan malam. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang melihat sesosok bayangan yang berkelebat dengan cepatnya. Saking cepatnya bayangan itu berkelebat, andaikata ada yang kebetulan melihatnya tentu akan mengira bahwa itu adalah bayangan seekor bintang hutan, atau bayangan kera yang banyak terdapat di sekeliling hutan itu. Aakn tetapi sebetulnya yang berkelebtan itu adalah bayangan seorang manusia, seorang pemuda tampan. Biarpun pakaian pemuda itu seperti pakaian pemuda dusun biasa, namun jelas di abukan pemuda sembarangan.
Wajahnya anggun dan tampan, matanya mencorong dalam kegelapan senja remang, gerakannya trengginas ketika dia menyelinap dari satuke lain btang pohon sambail mengintai keadaan rumah yang terjaga ketat itu. Sinar apai unggun yang dibuiat para anak buah Jambuka Sakti menyinari wajahnya dan ternyata dia adalah pemuda yang pernah dijumpai Niken siang tadi di warung nasi. Pemuda pendiam yang sikapnya acuh itu. Dia mendekamdi balik rumpun semak dan matanya mengerling ke kanan kiri mempelajari keadaan. Dia tahu bahwa kalau dia muncul begitu saja, dia akan berhadapan dengan puluhan orang yang mengepungnya. Biarpun dia tidak takut menghadapi pengeroyokan, akan tetapi dalam keadaan terkepung begitu, bagaimana mungkin dia dapat menyelamatkan gadis yang tertawan itu?
Gadis yang pemberani, akan tetapi sembrono, pikirnya. Mudah percaya kepada orang. Jelas buklan gadis yang berpengalaman, walaupun dia tadi dia melihat betapa gadis itu sekali sambit menjatuhkan sebuah dawegan hijau. Agaknya seorang gadis yang memiliki sedikit kegagahan sehingga menjadi berani kurang perhitungan! Dia tidak akan begitu sembrono. Akan diperhitungkan dulu baik-baik sebelum dia berusaha untuk membebaskan gadis itu dari tangan para penawannya. Selagi dia mengintai dan memperhatikan, tiba-tiba serombongan orang datang memasuki pagar pekarangan rumah di tengah hutan itu. Mereka adalah Ki Klabangkoro dan belasan anak buahnya, karena para anak buah Jambuka Sakti sudah mengenal Ki Klabangkoro maka mereka menyambut dan Klabangkoro lalu memasuki rumah itu. Para ank buahnya menanti di luar, terpencar.
"Sekaranglah saatnya!"
Pemuda yang tadi mengintai berpikir.
"Atau aku mungkin terlambat!"
Dengan cepat ia merangkak di bagian belakang rumah besar itu, cepat pula mengambil sebuah obor yang bernyala di bagian belakang. Ketiak ada beberapa anak buah Jambuka Sakti melangkah datang pemuda itu memegang obor dengan santai saja dan karena pada waktu itu terdapat pula rombongan tamu anak buah Gagak Seto, maka orang-orang Jambuka Sakti mengira bahwa pemuda itupun anak buah tamu.
"Andika anak buah Gagak Seto?"
Tanya seorang anak buah Jambuka Sakti yang menghampiri bersama seorang taman lain.
"Benar sekali, kawan."
Kata pemuda itu.
"Kami harus menjaga keamanan di luar selagi pimpinan kami berada di dalam."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, kawan. Siapa orangnya berani datang mengacau tempat tinggal kami?"
Dua orang itu tertawa-tawa sehingga mereka menjadi lengah. Dalam detik selagi mereka tertawa itu, pemuda yang memgang obor dengan tangan kirinya itu cepat menyerang dengan pukulan tangan miring. Dua kali tangan kanannya menyambar, tepat mengenai leher dua orang itu yang segera roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Setelah merobohkan dua orang itu, pemuda tadi cepat menyelinap mendekati rumah lalu menggunakan obor membakar nagian belakang rumah itu. Sebentar saja api berkobar besar dan pemuda itu lalu berteriak-teriak.
"Kebakaran...! kebakaran...! Tolong...!!"
Dan dia lalu menyelinap memasuki rumah itu! Sebentar saja keadaan menjadi geger. Orang-orang berteriak-teriak dan berusaha memadamkan api yang berkobar melahap bagian belakang rumah di mana disimpan rumput kering makanan kuda sehingga api berkobar dengan cepat. Ki Klabangkoro sedang berada di dalam kamar di mana Niken Sasi rebah telentang dan terbelenggu kaki tangannya. Tokoh Gagak Seto ini masih marah karena penolakan puteranya dan dia mengambil keputusan untuk menggagahi sendiri gadis itu. Kalu dia sendiri yang menggagahi, kelak tidak mengapalah kalau gadis itu menjadi isteri puteranya!
Dia memasuki kamar itu dengan mengenakan topeng yang menutupi seluruh muka kecuali sepasang matanya. Niken Sasi sudah siuman dari pingsannya. Tubuhnya masih merasa lamah akan tetapi ia telah sadar sepenuhnya. Begitu sadar dan ingat akan segalanya, tahulah ia bahwa ia berada dalam bahaya besar. Ia telah terjebak. Bukan oleh Jinten yang juga ia lihat pingsan karena makanan beracun. Entah apa yang terjadi dengan Jinten. Akan tetapi ia sendiri jelas tidak berada di rumah Jinten, entah di rumah siapa. Ia berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya, akan tetapi ikatan itu kuat sekali dan tuibuhnya masih lemah. Ketika mendengar gerakan orang memasuki kamarny, ia cepat menengok dan terkejut meliaht seorang laki-laki bertubuh tinggi besar memakai sebuah kedok menghampirinya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, akan tetapi usahanya sia-sisa belaka.
"Siapa engkau? Mau apa engkau menjebak dan menawanku?"
Niken Sasi membentak. Orang ini tentu tidak ingin dikenal mukanya maka mengenakan topeng pikirnya dan ia memancing agar orang itu membuka mulut karena dari suaranya mungkin ia mengenal orang itu. Akan tetapi orang itu tidak menjawab, bahkan duduk di tepi pembaringan dan tangan kirinya mulai membelai leher Niken yang putih mulus itu. Tentu saja Niken membelalakkan matanya dan dengan muka merah karena marah ia memaki-maki.
"Anjing babi hina dina! Kalau engkau memang jantan, lepaskan aku dan kita bertanding sampai seorang menggeletak tak bernyawa! Pengecut keji kau kucincng tubuhmu kalau aku bebas!"
Akan tetapi laki-laki itu agaknya tidak peduli. Pandang matanya dingin saja dan inilah yang membuat jantung Niken berdebar-debar penuh ketegangan. Orang ini akan berbuat sesuka hatinya dengan darah dingin!
"Kebakaran...!!"
Tiba-tiba terdengar teriakan ini yang disusul keteriakan kebakaran dari banyak mulut dan terdengar orang-orang berlari-lari. Mendengar ini, Ki Klabangkoro tentu saja menjadi kaget dan diapun melompat keluar dari kamar itu untuk melihat sendiri apa yang sedang terjadi. Baru saja Klabangkoro keluar, pemuda itu sudah menyelinap masuk dan cepat dia memondong tubuh Niken Sasi yang masih terbelenggu kaki tangannya. Melihat pemuda itu dari sinar api penerangan dalam kamar, Niken Sasi mengenalnya sebagai pemuda tadi siang yang dijumpainya dalam warung nasi. Hatinya girang sekali dan ia segera berkata.
"Kisanak, cepat bebaskan kaki tanganku dari belenggu ini agar aku dapat membantumu menghadapi jahanam-jahanam laknat itu!"
Pemuda itu tidak berpikir lama. Benar juga, pikirnya. Biarpun dia tidak takut menghadapi pengeroyokan, akan tetapi kalau dia harus memondong tubuh gadis ini, bagaimana dia akan mampu melakukan bela diri dengan baik?
"Baik, akan kubukakan ikatan kaki tanganmu,"
Katanya singkat dan dia segera membuka simpul tali yang mengkat kedua kaki tangan Niken Sasi.
Bukan main lega dan girangnya hati gadis itu setelah kaki tangnnya terbebas dari ikatan. Tubuhnya tidak lemas lagi dan agaknya semua sisapengaruh obat bius telah lenyap sehingga ia merasa kuat. Cepat ia mengambil keris pusaka Megantoro yang tadi oleh penawannya dicabut dari ikat pinggangnya dan ditaruh di atas meja. Dengan keris itu terselip di ikat pinggang, ia merasa semakin kuat dan siap untuk menghajar kawanan penjahat itu. Hayo kita hajar mereka! Kata Niken Sasi penuh semangat dan tanpa menanti jawaban ia sudah mendahului melompat keluar dari dalam rumah itu. Dua orang penjaga yang tadinya ikut memadamkan kebakaran dan kini teringat lagi akan tuigasnya menjaga tawanan, berlari-lari menghampiri rumah itu dan mereka hampir bertabrakan dengan Niken Sasi di pintu depan. Melihat gadis itu telah bebas, dua orang ini terbelalak kaget dan segera berteriak-teriak,
"Tolong...! Tawanan lolos...!"
Sebelum dua buah mulut yang berteriak itu sempat tertutup kembali, tiba-tiba Niken Sasi bergerak dan dua orang penjaga itu terpelanting, tak mampu mengeluarkan suara lagi. Melihat dua orang reken mereka roboh tak bergerak lagi, banyak anak buah gerombolan itu berlari-lari menghampiri sambil berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata.
Setelah melihat gadis tawanan itu terlepas ditemani seorang pemuda tampan, mereka semua dapat menduga bahwa tentu pemuda itu yang membuat kebakaran lalu membebaskan gadis tawanan itu. Sebentar saja, puluhan orang sudah mengepung Niken Sasi dan pemuda itu. Akan tetapi Niken Sasi tidak menjadi khawatir, bahkan kemarahannya berkobar. Ia meloncat ke depan dan menerjang para pengeroyok itu dan dalam segebrakan saja dua oarang telah terpelanting oleh tendangan dan tamparan dara perkasa itu. Gegerlah para aanak buah Jambuka Sakti. Apalagi ketika pemuda tampan itu juga mengamuk dan sebentar saja sudah merobohkan dua orang pengeroyok lain. Ramailah teriakan mereka sambil melakukan pengeroyokan.
Klabangkoro yang masih mengenakan topeng, juga terkejut melihat Niken Sasi telah terlepas dari ikatan dan kini mengamuk bersama seorang pemuda. Karena dia tidak ingin dikenal Niken Sasi, maka dia tidak melepaskan topengnya dan ikut membantu para anak buah Jambuka Saskti. Diapun ingin membuktikan sendiri kesaktian gadis itu, maka begitu menerjang maju, dia mengerahkan tenaga pada pada kedua tangannya dan menghantam ke arah dada gadis itu dengan tenaga dasyat. Tentu saja dia tidak berani mengeluarkan senjata yang ampuh, yaitu Pecut Dahono karena senjata itu tentu akan dikenal oleh Niken Sasi. Nien Sasi mengenal pukulan ampuh ketika laki-laki bertopeng yang tinggi besar itu menyerangnya. Cepat iapun menggerakkan tangan kanannya, memutar dari kiri ke kanan setengah lingkaran menangkis pukulan ke arah dadanya itu.
"Dukkk...!"
Niken Sasi merasa betapa lengannya yang menangkis tergetar hebat, akan tetapi penyerangnya juga terhuyung ke samping. Bukan main kagetnya hati Klabangkoro karena tadi dai telah mengerahkan seluruh tenaganya dan ternyata tangkisan itu membuat dia terpelanting dan terhuyung. Dari pertemuan tenaga itu saja terbukti sudah bahwa dalam hal tenaga sakti, dai masih kalah kuat oleh gadis ini! Percayalah dia kini bahwa gadis itu memang benar telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari gurunya, juga melihat tenaganya, sudah pasti ia telah menguasai Hasta Bajra. Gadis ini berbahaya sekali, pikirnya. Kalau saja dapat dinodai sehingga kelak mau diperisteri Gajahpuro, memang hal yang paling baik dan menguntungkan. Akan tetapi, kalau tetap tidak mau diperisteri puteranya, gadis ini memang sebaiknya dilenyapkan saja, dibunuh. Kalau tidak, tentu akan menjadi penghalang baginya.
"Serbuuuu...! Bunuh...!"
Akhirnya dai mengambil keputusan untuk membunuh saja dara yang berbahaya ini. Kalau para anak buah Jambuka Sakti tadinya masih meragu untuk membunuh gadis tawanan itu karena semula mereka dipesan agar jangan menggangu Niken Sasi, kini mendengar teriakan Ki Klabangkoro, cepat mereka memperketat kepungan dan mulai menggunakan senjata tajam untuk menyerang Niken Sasi dan pemuda itu. Niken Sasi tidak menjadi gentar. Kini ia sudah mengcabut Kyai Megantoro dan mengamuk.
Juga pemuda di sisinya mengamuk dan pemuda itu mengeluarkan sebuah senjata aneh, sebatang suling bambu kuning! Akan tetapi suling ini ternyata hebat sekali. Sekali saja ujung suling menotok dan mengenai tubuh seorang pengeroyok, maka orang itu akan terpelanting dan tidak dapat bangun kembali! Betapapun kuatnya Niken dan pemuda penolongnya, mereka berdua kerepotan juga. Bukan saja orang tinggi besar yang bertopeng hitam itu yang amat hebat kepandaiannya, merupakan lawan yag kuat sekali bagi Niken Sasi, akan tetapi juga beberapa jagoan tingkat atas dari Jambuka Sakti telah pula maju membantu. Mereka berdua telah merobohkan belasan orang pengeroyok, akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah dan mereka terkepung ketet dan mulai terdesak. Niken Sasi sama sekali tidak gentar dan hendak mengamuk terus, akan tetapi pemuda itu berseru kepadanya,
"Mari kita pergi!"
Dan dia menggunakan kesempatan untuk memegang pergelangan tangan kiri Niken lalu mengajaknya lari secepatnya meninggalkan gelanggang pertempuran. Niken Sasi hendak membantah, akan tetapi pemuda itu tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus menariknya dan mengajaknya berlari cepat. Gerombolan itu melakukan pengejaran. Cuaca sudah mulai gelap dan kedua orang yang melarikan diri itu berhasil meninggalkan para pengejarnya dan tak lama kemudian mereka berhenti di tepi sungai yang banyak ditumbuhi rumput ilalang sehingga mereka tersembunyi. Barulah Niken Sasi dapat mengucapkan ketidak senangan hatinya.
"Kenapa andika menarik tanganku dan memaksa aku melarikan diri?"
Sepasang mata bersinar-sinar dalam keremangan cuaca yang diterangi bulan dan bintang-bintang. Malam itu langit bersih sekali. Sinar bulan tigaperempat sudah muncul di timur, dan dibantu bintang-bintang, sinarnya membuat cuaca menjadi remang-remang dan dingin.
"Keadaan lawan terlalu banyak dan terlalu kuat,"
Jawab pemuda itu.
"Aku tidak takut! Bantah Niken Sasi, masih belum hilang kemarahannya.
"Menyelamatkan diri dari pengeroyokan banyak lawan bukan berarti takut. Sebaliknya, nekat melawan pengeroyokan banyak orang dan kemudia tewas dan mati konyol adalah perbuatan orang yang bodoh. Andika tentu tidak mau kalau dikatakan bodoh, bukan?"
Niken Sasi terdiam, menyadari kebenaran omongan pemuda itu dan ia seperti baru teringat bahwa pemuda ini telah menolongnya, melepaskannya dari belenggu. Kalau tidak datang pemuda ini menolongnya, melakukan pembakaran dan melepaskan ikatannya, entah apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia bergidik ngeri kalau memenang kembali belaian jari-jari tangan orang bertopeng tinggi besar itu pada lehernya, seolah-olah sepuluh ekor ular yang merayap-rayap di lehernya.
"Kenpa engkau menolongku?"
Tiba-tiba saja pertanyaan itu diajukan, seperti menodongkan keris di depan dada pemuda itu. Ditanya demikian secara tiba-tiba, pemuda itupun tertegun, akan tetapi pemuda itu tersenyum.
Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo