Ceritasilat Novel Online

Asmara Dibalik Dendam Membara 7


Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Kenapa, ya?"

   Kenapa akau menolongmu? Ah, kenapa tidak? Aku melihat seorang ditawan gerombolan lalu aku mebayangi gerombolan itu dan menolongnya. Bukan itu dan menolongnya. Bukankah itu wajar saja? Apa anehnya?"

   "Hemmm..., eh siapa namamu?"

   "Namaku? Namaku Joko Kolomurti. Dan engkau siapa?"

   "Aku Niken."

   "Niken siapa?"

   "Niken saja."

   "Niken Saja? Baiklah, nimas Niken Saja..."

   "Hushh! Bukan Niken Saja, hanya Niken tanpa tambahan apa-apa!"

   Kata Niken Sasi sambil tersemyum karena merasa lucu.

   "Ahh, maaf!"

   Pemuda yang mengaku bernama Joko Kolomurti itupun tertawa.

   "Boleh aku menyebutmu nimas, Bukan? Nah, sekarang aku bertanya, engkau datang dari mana dan hendak pergi ke manakah, nimas?"

   "Namaku Niken, jangan ditambah nimas segala. Dan akupun akan menyebutmu Joko saja. Aku tidak suka nama lengkapmu itu. Joko, aku datang dari Gunung Ajasmoro dan aku hendak pergi ke pantai Lautan Kidul. Dan engkau sendiri?"

   "Ah, aku tinggal dipegunungan Kidul, yaitu di Girimanik bersama Ayahku dan para pengikut Ayahku. Aku baru saja hendak pulang dari perjalanan merantau yang sering kulakukan. Kebetulan sekali jalan kita menuju ke selatan yang sama. Kalau boleh aku mengetahui, ada keperluan apakah engkau hendak pergi ke pantai Lautan Kidul?"

   "Tidak ada hubungannya denganmu. maka tidak perlu kuceritakan."

   Kata Niken jujur. Pemuda itu tidak menjadi marah dan bangkit berdiri.

   "Niken, tidak enak bicara di sini. Tempat ini banyak nyamuk. Mari kita lanjutkan perjalanan ke selatan. Tak jauh dari sini ada sebuah bukit di mana terdapat banyak goa-goa yang dapat kita tempati untuk melawatkan malam."

   "Baiklah.

   "

   Kata Niken yang juga bangkit berdiri. Daerah ini tidak dikenalnya, maka kalau ada petunjuk jalan, tentu amat baik baginya. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan, dibawah sinar bulan dan bintang-bintang.

   "Kalau aku tidak salah sangka, agaknya aku mengetahui apa yang menjadi tujuan perjalananmu ke pantai Lautan Kidul."

   Kata Joko. Api unggun yang kemerahan dan dia tersenyum lebar.

   "Mudah saja, Niken. Aku adalah orang yang tinggal dekat pantai Laut Selatan, oleh karena itu, apabila terjadi sesuatu yang penting di daerah ini, tentu aku mendengar dan mengetahuinya. Selama berbulan-bulan ini, berbondong-bondong orang gagah, para pendekar dan para petualang, berkeliaran di sepanjang Pantai Laut Kidul. Tujuan mereka semua sama, yaitu untuk mencari keris pusaka Tilam Upih yang kabarnya pada waktu ini akan muncul dari pantai Lautan Kidul. Nah, melihat bahwa engkau juga seorang dara pendekar, apa sukarnya menebak apa yang menjadi tujuanmu datang ke daerah ini?"

   Niken bernapas lega dan duduk kembali. Sejenak mereka saling pandang dari sepasang mata Joko keluar sinar kagum penuh pesona. Ditempa sinar api unggun yang kemerahan, wajah dara itu ampak semakin cantik jelita! Niken juga harus mengakui bahwa pemuda yang duduk di depannya ini adalah seorang yang tampan dan gagah.

   "Ah, begitukah? Maafkan kalau tadi aku menyangaka engkau memata-matai aku. Kiranya banyak oranga yang mencari Tilam Upih? Joko, dugaanmu memang tepat. Aku memang sedang mencarai keris pusaka itu. Daptkah engkau membantuku dan memberi keterangan di mana aku bisa mendapatkan Tilam Upih?"

   "Tentu saja aku dapat membantumu, Niken. Akan tetapi ada syaratnya. Aku tidak berani membantumu kecuali kalau engkau memenuhi syarat itu."

   Niken mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah tampan itu. Kecurigaannya bangkit kembali.

   "Hemm, apa syaratnya?"

   "Ketahuilah, Niken. Yang tahu banyak adalah pamanku sendiri. Karena itu, tanpa perkenan Ayah, bagimana aku berani membuka rahasia pamanku itu? Nah, kalau engkau mau berkunjung kepada kami, bertemu dengan Ayahku, aku akan minta perkenan Ayah untuk menceritakan tentang pamanku itu. Dan agaknya tidak sukar bagimu untuk menemukan dan mendapat keris pusaka itu."

   Bukan main girangnya rasa hati Niken.

   "Itulah syaratmu? Tentu saja aku siap untuk mengunjungi Ayahmu. Kalau hal itu menyangkut rahasia pamanmu, tentu saja syaratmu cukup pantas. Mari kita berangkat ke Girimanik untuk menghadap Ayahmu!"

   Melihat sikap Niken yang begitu bernafsu, Joko tertawa.

   "Ha-ha-ha, engkau seperti anak kecil melihat mainan. Niken! Tidak semudah kita pergi ke Girimanik malam hari begini. Perjalanan itu amat berbahaya kalau dilakukan di waktu malam. Besok pagi barulah kita dapat melanjutkan perjalanan. Malam ini kita beristirahat dulu disini. Tempat ini bersih dan cukup menyenangkan, bukan?"

   Niken terpaksa membenarkan.

   "Baiklah, aku akan tidur di sudut sini,"

   Katanya. Sudut itu memang bersih dan lantainya rata, maka Niken yang sejak melakukan perjalanan sudah terbiasa tidur di mana saja untuk melewatkan malam, lalu

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   merebahkan diri miring. Karena pengalamannya tadi menguras tenaganya, dan sisa pengaruh racun pembius masih terasa sedikit menimbulkan rasa kantuk, sebentar saja ia sudah tidur pulas. Joko memandang sambil tersenyum senang. Setelah menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dinyalakan di mulut goa, diapun merebahkan diri miring menghadapi gadis itu dan tertidur.

   Niken menggeliat. Tiba-tiba telinganya mendengar lengking suara suling ditiup merdu sekali. Segara ia dapat menangkap tembang yang dimainkan dengan suling itu. Sekar Kiananti! Dan amat indahnya tiupan suling itu. Tembangnya meliuk-liuk bagaikan gelombang Lautan. Ia membuka mata lalu bangkit duduk. Ia mengigil. Hawa ternyata dingin sekali dan api unggun sudah padam. Akan tetapi ada sinar matahari pagi menyentu mulut goa. Sudah pagi! Dan iapun terpesona memandang kepada pemuda yang duduk di atas sebuah batu di depan goa. Joko kiranya yang meniup suling itu. Dan ia teringat betapa pemuda itu kemarin mengamuk dengan senjata sebatang seling! Agaknya senjata itu adalah sebatang suling sungguhan yang dapat ditiup dan dimainkan. Perasaan gembira menyelinap dalam dada Niken Sasi dan dengan sendirinya ia lalu menembang, mengikuti suara suling itu.

   "Esok-esok kok wis ngidung tembange sekar kinanti..."

   Pemuda yang masih meniup suling itu menengok dan Niken juga memandang, dan keduanya berhenti menembang dan meniup suling, saling pandang, terpesona.

   "Wah, tiupan sulingmu indah sekali, Joko..."

   Niken memuji.

   "Dan suaramu, bukan main merdu dan indahnya, Niken!"

   Kata Joko pula dengan kagum. Niken melangkah keluar, menghampiro Joko. Melihat wajah pemuda itu segar, agak basah, dan rambutnya juga agak basah, ia berkata sambil tersenyum,

   "Wah, sepagi ini engkau sudah mandi agaknya. Ah, engkau membuat aku jadi merasa malas dan malu. Di mana ada sumber air?"

   Joko menudingkan sulingnya ke bawah.

   "Di sana ada sumber air jernih Niken. Mandilah, aku menatimu di sini, sambil membakar ubi. Engkau suka ubi bakar, bukan?"

   "Ubi bakar? Enak sekali. Di mana kau dapatkan ubi?"

   "Di tegal sawah sana. Pemiliknya kalau mengetahui, tentu tidak keberatan merelakan beberapa buah ubinya kepada kita."

   Kata pemuda itu tersenyum sambil membawa beberapa buah ubi ke dekat api unggun yang masih membara. Niken juga tertawa lal, gadis itu berlari-lari menuruni bukit. Benar saja terdapat sumber air jernih yang mengucur turun dari celah-celah batu. Tanpa curiga lagi karena tempat itu memang sunyi sekali, ia menanggalkan seluruh pakaiannya lalu mandi dengan berjongkok di bawah air mancur. Air menimpa kepala dan tubuhnya, terasa nyaman dan sejuk bukan main, menimbulkan perasaan senang di hati. Tak lama kemudian ia kembali kedepan goa dengan rambut terurai. Rambut itu basah dan agar cepat kering harus dibiarkan terurai. Akan tetapi Joko menyambutnya dengan pujian.

   "Duh Jagat Dewa Bathara yang Maha Agung! Eangkau mengejutkan aku, Niken. Aku tadi mengira ada bidadari turun dari kahyangan! Begitu cantiknya engkau dengan rambutmu seperti itu! Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang seindah engkau...!"

   Niken merasa betapa mukanya panas. Ada perasaan malu, akan tetapi juga girang menyelinap dalam hatinya mendengar pujian Joko. Joko sejak kemarin bersikap sopan dan pujiannaypun sopan sehingga tidak membuat ia marah. Berbeda dengan pujian pria lain terhadap dirinya. Pujian yang selalu mengandung nafsu dan kekurangajaran.

   "Hemm, kiranya selain pandai meniup suling, engkaupun pandai merayu Joko."

   "Sungguh mati aku tidak merayu, melainkan bicara menurut kenyataannya, Niken."

   Niken menghampiri sambil tersenyum manis, dan mengebut-ngebutkan rambutnya agar cepat kering.

   "Sudahlah, sudah matangkah ubinya?"

   "Sudah siap, dan hemm, alangkah sedap baunya! Mari, Niken, silakan."

   Mereka lalu makan ubi. Sesungguhnyalah, lezat tidaknya makanan sebagian besar bergantung kepada keadaan perut. Kesehatan badan dan batin. Kalau nadan sehat, perut lapar dan batin senang, maka makanan sederhana sekalipun akan terasa lezat dan nikmat. Dua orang muda yang sarapan ubi bakar dan hanya minum air sumber itu benar-benar menikmati sarapan mereka sapai kenyang. Setelah itu, mereka meninggalkan goa dan melanjutkan perjalanan menuju ke salatan. Mulailah mereka mendaki banyak bukit-bukit di selatan dan setelah matahari naik tinggi, tibalah mereka di lereng sebuah bukit. Bukit ini tidak seperti bukit lainnya yang banyak terdapat di situ, nampak hijau subur.

   "Itulah Girimanik, tempat tinggal kami, Niken."

   Kata Joko Kolomurti sambil menuding ke arah puncak bukit yng nampak hijau lebat penuh pohon.

   Niken merasa gembira karena ia akan mendapatkan keterangan tentang pusaka yang sedang dicarinya. Tak disangkanya akan sedemikian mudahnya ia memperoleh keterangan. Tadinya ia sudah merasa bingung ke mana harus mencari Tilam Upih, kalau saja pusaka itu meninggalkan jejak. Untung baginya bertemu dengan Joko, yang bukan saja menyelamatkan dari tangan gerombolan penjahat, akan tetapi juga akan dapat memberi keterangan tentang keris pusaka Tilam Upih. Setelah tiba di lereng terakhir dekat pucak, tiba-tiba Niken berhenti melangkah dan memandang dengan mata terbelalk kedepan. Di kanan kiri jalan yang mereka lalui kini terdapat arca-arca yang berbaris kiri kanan. Yang membuat Niken terheran dan terkejut adalah melihat arca-arca sebesar dua kali ukuran manusia itu menggambarkan wajah-wajah menakutkan, wajah-wajah raksasa dan iblis menyeramkan sekali.

   "Apa itu...?"

   Tanya Niken kepada Joko. Pemuda itu tertawa.

   "Ha-ha-ha, jangan katakan kepadaku bahwa seorang gadis perkasa seperti engkau ini takut melihat arca-arca itu, Niken."

   "Bukan takut, melainkan serem. Arca-arca apakah itu?"

   "Ah, itu adalah arca-arca para pengawal dan pengikut Ibu Dewi."

   "Ibu Dewi...?"

   Niken tidak mengerti.

   "Ketahuilah, Niken. Kami di sini adalah pemuja Ibu Dewi. Kebetulan sekali, malam nanti adalah hari purnama sidhi (bulan purnama penuh) dan seperti biasanya setiap bulan purnama, kami mengadakan upacara pujaan kepada Ibu Dewi. Engkau akan menjadi tamu kehormatan kami, Niken. Karena itu, simpan pertanyaanmu, karena malam nanti engkau akan menyaksikan sendiri dan mengerti."

   Melihat sikap pemuda itu demikian gembira, sinar matanya mencorong dan mulutnya tersenyum, Niken juga tersenyum dan mengangguk,

   "Baiklah, aku akan menahan keherananku dan akan melihatnya sendiri malam nanti."

   "Nah, mari kita menghadap Ayahku."

   Mereka berdua mempercepat langkah mereka. Arca-arca itu masih berjajar, terus menuju ke atas dan makin lama, arca-arca yang berdiri di kanan kiri jalan itu semakin indah ukirannya sehingga bagaikan hidup saja. Dan yang terakhir terdapat selosin arca puteri-puteri cantik jelita berdiri seperti menyambut tamu di depan sebuah bangunan yang megah. Dupa harum menyambut hidung Niken ketika ia tiba di depan pintu gapuro besar depan rumah itu. Di kanan kiri dan belakang rumah megah itu terdapat rumah-rumah lain yang biasa saja, tidak seperti rumah induk yang megah dan indah itu, penuh dengan ukiran-ukiran di atapnya.

   Di depan pintu gapuro yang tertutup itu tergantung sebuah kentungan dari bambu yang kecil mungil dan diukir indah. Joko mengembil pemukul kentungan itu lalu memukul kentungan tiga kali, perlahan saja. Terdengar bunyi ketukan yang cukup nyaring dan tak lama kemudian pintu gapuro yang besar itupun dibuka orang dari dalam. Dan Niken terbelalak kagum, kiranya di sebelah gapuro itu menunjukkan kehidupan yang sibuk dan nampaklah rumah itu benar-benar megah seperti Iatana saja. Di depan rumah itu berdiri belasan orang wanita yang berusia antara Lima belas sampai dua puluh tahun, cantik-cantik manis seperti arca-arca selosin puteri di depan gapuro. Wajah mereka semua berseri dan semyum mereka sungguh manis ketika mereka mengenal siapa yang mengetuk kentungan.

   "Ah, kiranya Paduka, Raden Joko..."

   Belasan orang wanita itu menyambutnya dengan gembira dan hormat sekali, bahkan mengebaikan Niken. Gadis ini tertegun. Raden? Mereka menghormati Joko seolah pemuda itu seorang Pangeran saja, atau putera bangsawan tinggi! Agaknya Joko Kolomurti juga menyadari bahwa para dayang atau pelayan itu sama sekali tidak memperhatikan Niken, maka dia berkata lantang.

   "Tenang kalian semua! Cepat laporkan kepada Kanjeng Romo Wiku bahwa aku pulang bersama seorang tamu terhormat, yaitu nona Niken ini."

   Kini belasan orang wanita itu memandang kepada Niken, ada yang menyembah kepada Niken, ada yang mengangguk, akan tetapi pandang mata mereka sama, yaitu mengandung hati yang tidak senang. Hal ini terasa sekali oleh Niken, akan tetapi ia tidak peduli. Ia tidak mempunyai urusan dengan mereka, dan melihat sikap Joko, mereka itu hanylah pelayan-pelayan belaka! Setelah belasan orang itu memberi hormat dengan sembah kepada Joko, mereka lalu masuk ke dalam rumah setengah berlari.

   Langkah mereka kecil-kecil dan ringan, tubuh mereka seperti meluncur saja ke dalam. Hanya bunyi gerakan kain mereka saja yang terdengar karena mereka semua kini membisu dan dengan sikap takut dan hormat. Rumah besar itu nampaknya sunyi dan tenteram setelah para wanita tadi bersikap demikian lincah di depan rumah kini memasuki rumah. Akan tetapi setelah Joko mengajak Niken mendaki anak tangga menuju keserambi depan, ternyata olehnya bahwa rumah ini sama sekali buka sunyi karena tidak ada orangnya. Kini terlihat olehnya bahwa di setiap depan pintu atau lorong berdiri dua orang pria yang bertugas menjaga, dengan tombak di tangan dan sikap mereka tegak seperti perajurit. Ketika Joko lewat, mereka memberi hormat dengan sembah tangan kiri ke depan dahi. Kalau tidak melakukan gerakan itu, tentu Niken mengira bahwa mereka itupun arca-arca!

   "Wah, rumahmu indah sekali, Joko."

   Bisik Niken kepada pemuda itu ketika mereka memasuki lorong yang penuh hiasan ukir-ukiran. Batu dan kayu-kayuan semua diukir halus sekali, dan di semua pintu tentu terukir kepala raksasa yang besar dan pintu itu menjadi mulutnya yang ternganga.

   "Ini adalah istana Girimanik atau juga pertapaan Girimanik tempat tinggal Kanjeng romo. Aku adalah putera tunggal Kanjenga romo dan kami tinggal di sini bersama Ibu Dewi."

   Niken tidak sempat bertanya lagi karena pada saat itu, dengan langkahnya yang kecil-kecil dan tak bersuara, telah muncul dua orang pelayan. Mereka menghaturkan sembah kepada Joko lalu berkata,

   "Kanjeng Gusti mengutus hamba untuk memberi tahu Paduka bahwa beliau menanti Paduka dan tamu di dalam ruangan tamu."

   Niken Sasi yang pernah hidup di istana raja sampai berusia sepuluh tahun, tidak merasa asing dengan sikap para pelayan yang demikian hormat kepada seorang Pangeran saja. Ia menjadi semakin heran dan ingin sekali mengetahui dan mengenal keluarga yang hidupnya sebagai keluarga raja ini.

   "Marilah, Niken. Kanjenga romo telah menanti kita."

   Kata Jojko dan Niken hanya mengangguk dan mengikuti pemuda itu.

   Mereka memasuki sebuah ruangan di depannya di jaga oleh dua orang pria penjaga yang memegang penggada besar dan tubuh merekapun tinggi besar seperti raksasa. Ruangan itu luas dan dipenuhi prabot ukir-ukiran indah, digantungi sutera-sutera beraneka warna. Niken melihat lima orang gadis dayang yang cantik duduk bersimpuh dikiri kanan dan di atas sebuah kursi besar duduklah seorang laki-laki yang usianya sekitar enam puluh tahun, akan tetapi masih nampak sehat dan gagah. Tubuhnya sedang saja, dean mukanya kemerahan, pandang matanya penuh wibawa. Mata itu mencorong ketika dia memandang kepada Niken yang berjalan masuk bersama Joko. Joko menghadap Ayahnya dan menghaturkan sembah, lalu berkata,

   "Kanjeng Romo, ini adalah Niken yang saya undang sebagai tanu untuk menyaksikan pesta pemujaan nanti malam. Niken ini adalah Kanjeng Romo Wiku Syiwakirana."

   Sebagai seorang muda yang mengenal kesusilaan, Niken juga memberi hormat dengan sembah. Lalu berkata.

   "Harap Paman Wiku sudi memafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu."

   "Jagat Dewa Bathara, andika ini seorang dara remaja telah pandai membawa diri dan bersusila. Nini, aku yakin bahwa andika tentu telah memperoleh pelajaran dari seorang guru yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru yang telah menggemblenggumu, karena akupun dapat menduga bahwa selain kesusilaan, andika juga telah memiliki aji kedigdayaan."

   Diam-diam Niken terkejut. Pria ini baru melihat saja sudah dapat menduga bahwa ia memiliki kedigdayaan! Iapun tidak ingin menyembunyikan keadaan dirinya, apa lagi kedatangannya ini untuk minta bantuan, yaitu keterangan tentang Tilam Upih. Mungkin nama perguruannya akan menolong pula.

   "Paman Wiku, saya adalah murid Gagak Seto di Anjasmoro."

   "Demi para dewata! Tidak meleset dugaanku. Kiranya andika adalh murid Ki Sudibyo ketua Gagak Seto yang gagah perkasa? Joko, bagaimana engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan dara perkasa ini?"

   "Kanjeng Romo, pertemuan kami kebetulan saja. Saya membantunya ketika Niken dikeroyok oleh orang-orang Jambuka Sakti dan kamipun berkenalan."

   "Hemm, Jambuka Sakti? Selalu saja gerombolan itu membuat onar. Nini, kenapa nadikasampai dikeroyok orang-orang Jambuka Sakti?"

   Tanya Wiku Syiwakirana dengan pandang mata penuh selidik.

   "Entahlah paman. Saya tidak merasa pernah bermusuhan dengan mereka."

   Kata Niken.

   "Mungkin ada hubungannya dengan perjalananmu mencari Tilam Upih, Niken"

   "Keris pusaka Tilam Upih...? ?"

   Wiku Syiwakirana bertanya dengan mata terbelalak. Jelas bahwa dia terkejut mendengar gadis itu mencari pusaka Tilam Upih.

   "Benar, Kanjeng Romo, dan mendengar ia mencari pusaka itu, saya mengundangnya ke sini karena kalau Kanjenga romo memperkenankan, saya dapat berita tentanhg pusaka itu."

   "Sungguh hebat bukan main! Kalau yang datang seorang pendekar kawakan, seorang jagoan terkenal, mencari Tilam Upih, kami tidak akan merasa aneh, Akan tetapi andika, seorang dara remaja, berani melakukan perjalanan jauh dan berbahaya seorang diri untuk mencari keris pusaka yang diperebutkan itu! Eh, nini, untuk apakah andika mencari pusaka itu?"

   "Sesungguhnya, saya mencari pusaka Tilam Upih bukan untuk saya pribadi, paman. Saya hanya melaksanakan perintah Bapa Guru."

   "Aha, jadi Ki Sudibyo sendiri yang mengutusmu? Kalau pendekar seperti dia mempercayaimu untuk mencari Tilam Upih, tentu ilmu kepandaianmu sudah hebat sekali!"

   "Sesungguhnya, Kanjeng romo. Biarpun Niken ini seorang dara, akan tetapi ia sakti mandraguna. Sudah saya saksikan sendiri ketika ia mengamuk dan merobohkan orang-orang Jambuka Sakti."

   Kata Joko. Wiku Syiwakirana mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, menatap wajah Niken, kemudaian melirik ke arah muka puteranya dan tersenyum. Sekali pandang saja tahulah dia membaca isi hati puteranya yang masih menyembunyikan rasa kagum dan tergila-gila kepada gadis perkasa.

   "Nah, Nini. Setelah andika berda di sini, apa yang ingin andika tanyakan mengenai keris pusaka Tilam Upih?"

   Tanya Wiku Syiwakirana sambil tersenyum.

   "Maaf, paman, saya hanya merepotkan paman saja. Sesungguhnya, Bapa Guru mengutus saya untuk mencari Tilam Upih yang kabarnya akan muncul di pantai Lautan Kidul dan akan dijadikan perebutan para pendekar dan orang-orang gagah. Akan tetapi, Bapa Guru tidak dapat memberi tahu di mana pusaka itu akan muncul. Oleh karena itu, saya menjadi bunging dan apabila paman dapat memberi petunjuk tentang di mana adanya pusaka itu, saya akan berterima kasih dan merasa bersyukur sekali."

   "Ha-ha, tentu saja kami dapat memberi petunjuk kepedamu, Nini. Keris itu sudah beberapa tahun ini berada di tangan adik seperguruanku sendiri."

   Niken terkejut dan heran. Ia merasa heran mengapa Kakek ini mau membuka rahasia kalau pusaka itu berada di tangan adik seperguruan sendiri, dan terkejut karena kalau ia hendak merampas keris pusaka itu dari adik seperguruan sang wiku, berarti iapun akan menjadi musuh sang wiku!

   "Tapi... kalau begitu..."

   Katanya ragu.

   "Ah, ini memang bukan rahasia lagi dan tiadak perlu dirahasiakan. Bahkan semua orang sudah mengetahuinya karena Adi Surodiro sendiri sudah mengumumkan bahwa dia membuat sayembara untuk memperebutkan keris pusaka Tilam Upih."

   "Sayembara? Bagaimana itu, paman?"

   "Begini, Nini. Kebetulan sekali Adi Surodiro, yaitu adik seperguruanku yang menjadi adipati, penguasa di Nusa kambangan, beberapa tahun yang lalu mendapatkan keris pusaka Tilam Upih di pesisir Lautan Kidul. Kabarnya dia mendapatkan keris itu di dalam perut seekor ikan hiu yang besar. Ikan itu tertangkap kail dan ketika dibelah, dalam perutnya ditemukan keris pusaka itu. Bertahun-tahun ia merahasiakan penemuannya ini, sampai kemudian tersiar berita bahwa Tilam Upih akan muncul di pantai Lautan Kidul. Karena maklum bahwa berita iotu tentu akan mendatangkan banyak pendekar dan ketua perguruan, juga bahwa tentu Kerejaan Kediri akan berusah merampasnya, maka Adi Surodiro inginagar pusaka itu diperebutkan secara resmi dengan jalan mendirikan sayembara. Yaitu, mereka yang menghendaki keris pusaka itu agar saling mengadu kepandaian lebih dulu. Siapa yang paling unggul, kemudian harus mampu mengalahkan Adi Surodiro yang memegang Keris Tilam Upih, barulah dia akan memiliki pusaka itu."

   Niken menjadi girang sekali.

   "Ah, ini berita baik sekali. Kalau begiu, saya tidak perlu mencari jauh-jauh. Kapan diadakan sayembara itu dan di mana, paman?"

   
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jangan khawatir, Niken. Aku sendiri yang akan mengantarmu ke tempat tinggal Paman Surodiro. Siapa tahu kalau melihat aku dia akan bersikap lunak kepadamu. Waktunya masih sebulan. Tinggallah dulu di sini sampai tiba waktunya dan aku akan mengantarkan engkau ke sana."

   Kata Joko. Mendengar ini, tentu saja hati Niken menjadi girang bukan main. Sungguh beruntung ia bertemu dengan pemuda yang demikian baiknya. Tentu saja ia menerima tawaran pemuda itu dan menghaturkan terima kasih kepada Wiku Syiwakirana dan Jokokolomurti.

   "Sekarang, harap engkau beristirahat dulu karena aku harus membantu persiapan malam upacara pemujaan malam nanti, Niken."

   Kata Joko yang lalu menoleh kepada dua orang di antara para dayang yang duduk bersimpuh di situ.

   "Kalian antarkan nona ini ke kamar tamu yang paling besar di belakang dan layani baik-baik, sediakan segala keperluannya."

   "Baik, Raden. Mari silakan, Mas Ayu..."

   Kata seorang dayang dengan sikap hormat. Niken lalu membawa buntelan pakaiannya dan mengikuti dua dayang memasuki bagian dalam rumah besar itu. Niken dibawa ke sebuah di antara banyak kamar di belakang rumah itu dan ternyata kamar yang disediakan untuknya adalah sebuah kamar yang lengkap dan cukup luas. Dengan Ramah dan hormat dua orang pelayan itu melayaninya, menghidangkan makan siang yang cukup lengkap. Niken mencoba untuk mencari keterangan dari mereka tentang keadaan perkumpulan yang dipimpin Wiku Syiwakirana, akan tetapi ternyata para pelayan itu biarpun bersikap Ramah dan hormat, amat tertutup.

   "Harap maafkan karena kami dilarang keras untuk bicara tentang perkumpulan kami. Yang berhak memberi keterangan hanya Kanjeng Gusti dan puteranya."

   Demikian kata mereka dan selanjutnya mereka bungkam.

   Niken lalu menyuruh mereka pergi karena setelah makan ia ingin beristirahat dulu. Baru saja Niken tertidur, ia terbangun lagi dikejutkan suara hiruk pikuk diluar kamarnya. Ketika ia turun dan membuka pintu, ia mendengar suara banyak orang dari arah depan rumah itu. Tentu saja ia merasa heran sekali, apalagi melihat banyak penjaga pria berlarian keluar sambil membawa tombak atau golok, bahkan para pelayan wanita berlari keluar sambil membawa pedang atau keris, seolah semua orang siap untuk melawan musuh yang datang menyerbu. Niken membetulkan pakaiannya, menjadi ringkas ringan karena ia ingin sekali melihat apa yang terjadi dan siap membantu pihak tuan rumah kalau ada marabahaya datang. Padahal saat ia hendak pergi keluar, munculah Joko dan wajah pemuda inipun menunjukkan kekhawatiran.

   "Joko, apa yang terjadi? Ada apakah ribut-ribut ini?

   "Ah, pemuda pengacau itu datang lagi mengacau!"

   Kata Joko sambil mengepal tinju.

   "Kami membutuhkan bantuanmu, Niken."

   "Tentu saja aku akan membantu. Akn tetapi ceritakan dulu duduk persoalannya. Siapa pemuda yang kau maksudkan itu?"

   "Sepekan yang lalu muncul seorang pemuda yang menuntut agar kami membebaskan para gadis dusun yang menjadi murid dan pelayan di sini, dengan mengatakan bahwa kami melakukan paksaan kepada mereka. Sudah kami jelaskan bahwa di sini tidak ada paksaan. Para wanita dan pria yang menjadi anggota kami masuk secara suka rela, tanpa paksaan. Setelah dia kami biarkan bertanya sendiri kepada para gadis dusun yang berada di sini, akhirnya kami dapat meyakinkannya bahwa kami tidak melakukan paksaan, dan dia pergi. Akan tetapi sekarang dia muncul lagi diiringkan puluhan orang warga dusun-dusun di sekitar Girimanik, dan sikap mereka mengancam!"

   Hemm, engkau seorang yang sakti, kenapa mendiamkannya saja dan tidak memberi hajaran pada saat pertama dia muncul, Joko?"

   "Terus terang saja, hal itu sudah kulakukan. Akan tetapi dia... dia digdaya sekali, Niken. Agaknya aku bukan lawannya, bahkan Kanjeng romo sendiri menasihati agar membiarkan dia pergi tanpa menggunakan kekerasan."

   "Sekarang, apa maunya datang lagi?"

   "Dia dan puluhan orang warga dusun itu menuntut agar perkumpulan kami dibubarkan dan semua warga dusun yang sudah menjadi anggota kami dibiarkan pulang."

   "Hemm, mana ada aturan macam itu?"

   Mari kita lihat, apa macamnya orang kurang ajar itu!"

   Kata Niken yang lalu berlari keluar bersama Joko.

   Ketika mereka tiba di luar, Niken melihat serombongan warga dusun berdiri di depan pintu gapura yang sudah terbuka lebar. Mereka jelas adalah warga dusun, dapat dikenal dari pakaiannya dan merekapun memeganga senjata yang khas, yaitu arit, golok, linggis, dan sebagainya lagi. Dan jumlah mereka kurang lebih ada lima puluh orang pria. Di depan sendiri berdiri seorang pemuda sederhana. Pakaiannya juga seperti pemuda dusun, namun dia tampan dan berkulit kuning, tubuhnya tegap dan sinar matanya membuat hati Niken berdebar. Agaknya seperti itulah mata seekor naga! Dari sinar matanya ini saja dapat diduga bahwa pemuda ini adalah seorang yang "Berisi" , seorang yang sakti mandraguna dan bukan lawan yang lunak.

   "Hayo pimpinan perkumpulan sesat Durgamantra! Kembalikan anak-anak perempuan kami, kalau tidak kami akan hancurkan perkumpulan sesat ini!"

   Terdengar teriakan mereka. Selagi para warga dusun berteriak-teriak dan para anak buah perkumpulan Durgamantra itu hanya bersiap-siap dan berjaga-jaga, mendadak terdengar aba-aba di bagian belakang dan terkuaklah kelompok anak buah perkumpulan itu. Kurang lebih dua puluh orang gadis dan tiga puluh orang pria muda yang sudah bersiap itu minggir dan muncullah Wiku Syiwakirana dengan langkah tegap, perlahan dan tenang berwibawa. Semua suara terdiam ketiak orang ini muncul dan sejenak dia memandang kedepan, terutama ke arah pemuda yang memimpin warga dusun itu.

   "Orang muda, kembali andika membuat gaduh dan mengacau ketentraman kami. Sebetulnya apakah kemauanmu?"

   Tanya Wiku Syiwakirana dengan sura tenang. Pemuda itu memberi hormat dengan sembah ke dadanya.

   "Oum, sadhu, sadhu...! maafkan kalau saya berani datang lagi. Sang Wiku. Karena saya terdesak oelh para orang tua dusun yang menghendaki anak-anak mereka dibebaskan dan dikeluarkan dari tempat ini."

   "Kenapa mereka menghendaki demikian? Anak-anak mereka itu masuk ke sini atas kehendak mereka sendiri, tidak ada yang memaksa. Kalu mereka hendak keluar sekarang juga, kami tidak akan menahan mereka. Sebaiknya ditanyakan kepeda mereka sendiri. Coba sebutkan nama seoarng murid kami yang diminta orang tuanya!"

   Seorang laki-laki yang berusia empat puluh tahun berteriak,

   "Mana Sariati! Sariati, anakku, keluarlah aku mau bicara!"

   Wiku Syiwakirana menoleh kebelakang memandang kelompok murid wanita dan berseru,

   "Ada yang namanya Sariati? Majulah agar kami semua mendengar suaramu sendiri!"

   Seorang gadis berusia delapan belas tahun melangkah maju dengan sigapnya. Ia bukan seperti seorang gadis dusun yang malu-malu dan jelas bahwa ia telah menguasai ilmu kanuragan yang membuat gerakannya lincah dan ringan.

   "Aku Sariati berada di sini, bapa. Ada apakah bapa memanggilku?"

   Ia berhenti dalam jarak dua meter dari kelompok warga dusun itu. Ayahnya melangkah maju menghadapi anaknya. Sejenak dia seperti tertegun. Hampir dia tidak mengenal lagi anaknya. Sekarang anaknya demikian cantik dan gagah, bukan gadis dusun yang malu-malu dan canggung.

   "Sariati, mari pulang bersamaku, anakku!"

   "Tidak, bapa. Aku tidak mau pulang. Aku sudah senang berada di sini, menjadi murid Durgamantra. Pulanglah, bapa dan jangan membuat ribut!"

   Ayah itu maju dan memgang pergelangan tangan anaknya.

   "Sariati engkau harus pulang! Embokmu menangis terus, kau harus pulang sekarang juga!"

   "Tidak, lepaskan aku!"

   Sekali gadis itu memutar lengannya, pegangan bapanya terlepas bahkan orang tua itu terhuyung ke belakang! Sariati lalu melompat ke belakang dan masuk ke dalam rombongan murid wanita Durgamantra. Beberapa orang Ayah memanggil anaknya, laki-laki maupun perempuan untuk keluar, akan tetapi keadaannya sama saja dengan Sariati tadi, mereka semua tidak mau pulang dan ingin tetap tinggal di situ.

   "Ha-ha-ha!"

   Wiku Syiwakirana tertawa tenang.

   "Kalian semua, melihat dan mendengar sendiri. Orang muda, andika sudah melihat jelas? Mereka itu dengan suka rela ikut menjadi murid kami, sama sekali tidak ada paksaan. Kenapa kalian menuduh kami perkumpulan sesat dan hendak memaksa murid-mrid kami keluar?"

   "Sang Wiku Syiwakirana,"

   Kata pemuda itu sambil melangkah maju sedangkan warga dusun yang tadinya bersemangat sekali, kini nampak lesu setelah melihat betapa anak mereka tidak mau pulang.

   "Memang kami semua telah menyaksikan dan mendengar betapa murid-murid Durgomantra tidak ada yang mau pulang. Akan tetapi harap andika ingat bahwa mereka itu masih mempunyai Ayah dan Ibu dan orang tua mereka berhak menentukan nasib mereka. Andika tidak boleh memisahkan mereka dari orang tua mereka."

   "Akan tetapi mereka itu juga murid-murid kami yang sudah bersumpah setia kepada Sang Betari. Kami juga berhak melindungi mereka dari paksaan siapapun juga untuk meninggalkan tempat ini! Kalau mereka pergi atas kehendak mereka sendiri, kami tidak akan menghalangi, akan tetapi siapapun juga yang hendak memaksa mereka pergi, akan kami tentang!"

   "Mereka telah ditipu!"

   "Mereka telah disihir!"

   Terdengar teriakkan-teriakan para orang tua yang merasa penasaran.

   Niken yang sejak tadi menjadi penonton dan pendengar, tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia mendengar sediri pengakuan para murid wanita yang berada di situ bahwa mereka masuk menjadi murid dan anggota perkumpulan Dorgamantra secara suka rela, Bukan dipaksa. Kini pemuda itu pemimpin para orang tua untuk memaksa anak-anak mereka keluar dari perkumpulan itu. Maka dengan marah ia menggerakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke depan pemuda itu. Pemuda itu terkejut dan heran melihat gerakan dara yang demikian tangkasnya, seperti terbang saja. Niken menentang pandang mata pemuda itu sambil bertolak pinggang, kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu dan berkata dengan suara menegur.

   "Kenapa engkau mengacau dan menghasut para warga dusun itu untuk memaksa anak mereka keluar dari perkumpulan Durgamantra? Aku tidak melihat adanya paksaan dar para pimpinan Durgamantra! Apakah engkau kurang pekerjaan maka mencampuri urusan pribadi orang lain?"

   Pemuda itu memandang penuh selidik, lalu berkata sambil tersenyum mengejek.

   "Engkau tentu murid perguruan Durgamantra, tentu saja engkau membela perguruanmu!"

   "Siapa bilang aku murid Durgamantra? Aku hanya seorang tamu yang tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pribadi orang lain. Para murid itu masuk Durgamantra tidak dipaksa akan tetapi secara sukarela. Kalu orang tua mereka hendak memaksa mereka keluar tentu saja perguruan Durgamantra berhak pula menghalangi."

   Kata Niken. Pemuda itu nampak penasaran.

   "Kalau andika hanya seorang tamu, berdiri saja di luar dan jangan mencampuri urusan kami!"

   "Andika sendiri bukan apa-apa, tidak ada hubungannya dengan warga dusun atau dengan perguruan Durgamantra, sebaiknya pulang saja dan jangan usil di sini. Kalau tidak, terpaksa aku sebagai tamu Durgamantra akan megusirmu dengan kekerasan!"

   Pemuda itu kini mengerutkan alisnya.

   "Bagus! Aku memang ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan perguruan Durgamantra dan semua anteknya! Dia melangkah maju sehingga kini berhadapan dengan Niken dalam jarak dua meter. Wajar Niken berubah merah dan ia membentak.

   "Keparat lancang mulut! Aku bukan antek siapapun! Hayo kau tarik kembali sebutan itu atau aku akan menghajarmu!"

   Bentaknya.

   "Akupun ingin tahu bagaimana engkau akan menghajarku, bocah sombong!"

   Balas pemuda itu. Niken tidak dapat menahan lagi kemrahannya.

   "Bagus, sambutlah seranganku! Haiiittt...!"

   Cepat bagaikan seekor burung sikatan, Niken sudah menerjang ke depan dengan tamparan tangan kirinya dan ke arah muka pemuda itu. Pemuda itu terkejut juga melihat tamparan yang amat cepat dan juga mengandung tenaga dahsyat itu sehingga begitu tangan itu bergerak, dia sudah merasakan sambaran angin pukulan yang panas. Cepat dia mengelak dengan melangkah mundur. Akan tetapi begitu tangan kiri Niken luput mengenai sasaran tangan kananya sudah menyusul dengan serangan pukulan dorongan tangan terbuka ke arah dada pemuda itu. Pukulan ini juga cepat bukan main dan sekali ini, pemuda itu menggerakkan tangan kanan, diputarnya dari kiri ke kanan untuk menangkis.

   "Dukkk!!"

   Pertempuran kedua lengan itu keras sekali dan tubuh Niken terpetar, akan tetapi dalam berputar itu kakinya mencuat dan menyambarlah sebuah tendangan yang dahsyat ke arah pusar pemuda itu.

   "Ehhh...!!"

   Pemuda itu terkejut bukan main akan tetapi ternyata dia meiliki kecepatan yang menganmkan. Dia membuang tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik dua kali. Kembali mereka berdua saling berhadapan, pandanga mata seperti menimbang dan menaksir kedigdayaan lawan, seperti dua ekor ayam jantan sedang saling berhadapan penuh ancaman. Niken merasa penasaran sekali. Rangkaian serangannya tadi dapat dilumpuhkan dan tahulah ia mengapa Joko Kolomurti mengaku kalah oleh pemuda ini.

   Ternyata pemuda ini memang tangkas sekali. Sungguh orang tidak akan menyangkanya. Pemuda ini masih muda sekali, bahkan sikapnya yang sederhana itu menimbulkan kesan seorang pemuda yang bodoh. Niken bertekad untuk memenangkan pertandingan itu. Kalau tidak, betapa akan malunya terhadap keluarga Joko yang dibelanya. Maka, sambil berseru nyaring, tubuhnya yang menggunakan aji Tapak Sikatan sudah menyerang lagi. Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung sikatan dan kaki tangannya bertubi-tubi mengirim serangan susul menyusul. Akan tetapi bukan saja serangannya yang dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu, bahkan sebaliknya pemuda itu juga sempat membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang dahsyat! Maklumlah Niken bahwa lawannya benar-benar tangguh.

   "Hyaaaattt...!"

   Tangannya mencengkeram ke arah muka pemuda itu yang cepat mengelak sambil membuang tubuhnya miring. Akan tetapi Niken menyusulkan tendangannya yang amat kuat ke arah lambung lawan. Pemuda itu sudah siap dan mengerahkan tenaga, lalu menangkis kaki yang menendang itu.

   "Dukkk...!"

   Tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh Niken terdorong keras dan membuat ia hampir kehilangan keseimbangantubuh dan terhuyung. Setelah melompat dan berdiri tegak kembali wajah Niken berubah kemerahan. Biarpun ia belum kalah, akan tetapi tadi ia nyars jatuh. Bangkit kemerahannya. Tadinya ia memang hendak mengalahkan saja pemuda yang dianggapnya lancang dan usil mencampuri urusan orang lain itu. Akan tetapi kini setelah meresakan benar betapa tangguhnya lawannya itu, ia menkadi penasaran. Kalau ia tidak menggunakan Hasta Bajra, agaknya akan sukar baginya untuk keluar sebagai pemenang dalam pertandingan ini. Apalagi melihat wajah tampan yang tersenyum-senyum, dianggapnya pemuda itu mengejeknya.

   "Babo-babo, jangan tertawa dulu keparat. Rasakan aji pukulanku ini!"

   Ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya, kemudian menerjang dengan aji Hasta Bajra! Pemuda itu terkejut bukan main ketika ada hawa panas sekali menyambar ke arahnya. Cepat di merendahkan tubuh setengah berjongkok, merangkap kedua tangan seperti sembah ke depan dada, kemudian dia mendorongkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut dan menangkis pukulan dahsyat dan ampuh dari Niken.

   "Wiiiirrrrrr... desss...!!"

   Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu. Tubuh Niken terlempar kebelakang seperti sehelai daun tertiup angin, akan tetapi pemuda itupun terhuyung-huyung ke belakang! Niken terbelalak dan cepat ia mengatur pernapasannya. Dadanya terasa agak sesak, dan iapun melihat pemuda itu menarik napas panjang berulangkali, tanda bahwa pemuda itupun terguncang isi dadanya. Akan tetapi Niken maklum bahwa pemuda itu mampu menyambut aji Hasta Bajra! Sementara pemuda itupun agaknya maklum bahwa Niken memiliki aji kesaktian yang hebat. Dia lalu memberi hormat kepada Wiku Syiwakirana dan berkata,

   "Sang Wiku, kiranya andika berlindung di belakang seorang dara yang sakti mabdraguna. Karena itu kami tidak ingin bermusuhan dengan orang yang tidak berkepentingan, maka biarlah kami menunda urusan ini sampai lain kali!"

   Dia lalu memutar tubuhnya dan mengajak para warga dusun untuk meninggalkan tempat itu. Para warga dusun itu tidak membantah, namun mereka kelihatan penasaran dan berulangkali mereka menolah untuk memandangi anak-anak mereka yang telah menjadi murid perguruan Durgamantra itu. Setelah pemuda itu dan warga dusun pengikutnya pergi jauh, Wiku Syiwakirana tertawa dan berkata kepada Niken.

   "Nini Niken, bantuanmu sungguh besar sekali bagi kami. Pemuda itu sakti akan tetapi andika telah berhasil mengusirnya. Kami yakin dia dan teman-temannya tidak akan berani lagi mengganggu kami."

   "Kanjeng Romo, kebetulan sekali malam ini kita mengadakan pesta pemujaan, sekalian untuk menyambut nimas Niken."

   "Ha-ha-ha, engkau benar, Joko. Marilah kita bersiap-siap."

   Mereka memasuki kembali rumah itu dan Niken berpamit untuk beristirahat di dalam kamarnya. Setelah tiba di dalam kamarnya, ia menutup pintu dan duduk bersila di atas pembaringannya, mengatur pernapasannya. Ia merasa heran dan kagum, juga penasaran sekali.

   Pemuda itu berani menangkis aji Hasta Bajra dan membuat tubuhnya terlempar. Biarpun pemuda itu juga terhuyung, namun ia dapat mersakan bahwa ia masih kalah tenaga, kalah kuat dibandingkan dengan pemuda itu! Akan tetapi nampaknya pemuda itu mengalah dan mengundurkan diri, agaknya tidak mau bermusuhan dengannya. Ia sendiri harus mengatur pernapasan dan bersemedi untuk memulihkan kembali tenaganya karena siapa tahu, malam nanti pemuda itu akan datang lagi mengganggu. Kalau bertemu dan bertanding lagi, ia harus berhati-hati dan kalau perlu ia akan menggunakan pusaka pemberian gurunya, yaitu keris Megantoro. Di ruangan lain sebelah dalam, Sang Wiku Syiwakirana bercakap-cakap dengan Joko Kolomurti, dengan suara berbisik-bisik, walaupun di situ tidak ada seorangpun murid Durgamantra.

   "Engkau beruntung sekali telah bertemu dengannya dan dan dapat membujuknya datang ke sini. Akan tetapi, sudah yakinkah engaku bahwa pilihanmu itu tepat?"

   Tanya sang Wiku.

   "Sudah kuperhitungkan masak-masak Kanjeng Romo. Selama hidupku, belum pernah aku bertemu seorang dara sehebat Niken! Kecantikannya sempurna, dan Kanjeng Rama sendiri telah menyaksikan betapa digdayanya dara itu. Kalau menjadi isteriku, berarti kita mendapat tambahan tenaga yang boleh diandalkan untuk memperkuat kedudukan perguruan kita."

   Kata Joko Kolomurti dengan suara mengandung kebanggaan dan kegembiraan.

   "Akan tetapi yang membuat hatiku merasa gelisah, melihat Niken seorang dara yang berhati baja. Aku sungguh khawatir ia akan menolak cintaku dan tidak mau menjadi isteriku."

   "Ha-ha-ha, engkau sungguh meremehkan kemampuanmu sendiri, kulup. Engkau seorang pemuda yang cukup tampan dan memiliki kedigdayaan, gadis mana tidak akan merasa senang menjadi isterimu? Pula, ada aku di belakangmu yang tentu akan membantumudan jangan lupa, dengan restu Ibumu Bathari, semua keinginanmu pasti akan tercapai. Percayalah, setelah malam pemujaan nanti, Niken pasti akan menjadi isterimu."

   Joko Kolomurti menganguk dan wajahnya berseri karena hatinya tidak ragu lagi. Malam itu, sejak senjakala lewat bulan mulai muncul di ufuk timur. Sebuah bola kemerahan yang besar bulat muncul dari puncak bukit.

   Dan tak lama kemudian, warna kemerahan telah berganti menjadi warna kuning keemasan yang memandikan permukaan bumi dengan cahaya nya yang lembut dan sejuk. Terdengar gamelan ditabuh. Suara gambang berselang seling dengan lengkingan suling, menjadi gembira penuh semangat oleh suara gendang yang mendetak-detak. Malam indah itu disambut meriah sekali oleh perguruan Durgamantra. Sebuah panggung yang luas didirikan mereka untuk menjadio tempat upacara pemujaan, dihias dengan kain warna-warni dan kembang-kembang. Setelh bulan muncul, semua murid sudah berkumpul dan laki-laki perempuan mengenakan pakaian mereka yang terbaru dan terindah, juga tercium wangi-wangian dari pakaian mereka. Para anggota wanita di sudut panngung sebelah kiri sedangkan para prianya duduk di sudut panggung sebelah kanan.

   Di kepala panggung terdapat tiga tiga kursi yang dihias indah, akan tetapi kursi-kursi itu masih kosong. Penabuh gamelan duduk di bawah panggung dan dua orang pesinden yang tidak cantik namun bersuara emas duduk di antara mereka. Seluruh anggota atau murid perguruan Durgamantra yang berjumlah empat puluh orang lebih itu berkumpul di situ dan menanti dengan sikap hormat dan khidmat. Gamelan di tabuh lirih-lirih, suaranya dibara angin malam, menghanyutkan. Bulan sudah tersenyum di atas kepala, masih condong di timur. Tak lama kemudian, terdengar aba-aba dari dalam rumah di belakang panggung dan gamelan dipukul lebih gencar lagi dengan lagu Kebogiro seperti gamelan yang menyambut datangnya mempelai. Kemudian sebuah iring-iringan muncul dari dalam rumah induk.

   Dan semua murid yang tadi duduk di atas lantai panggung di sudut kiri dan kanan segera menghadap ke arah iring-iringan itu dengan hormat dan menyembah. Yang pertama sekali adalah Sang Wiku Syiwakirana, Berjalan di depan dengan langkah tegap dan sikap gagah. Di belakangnya nampak sebuah joli yang indah dan dirias meriah, dipikul oleh enam orang gadis berpakaian sutera putih yang panjang sampai menutupi kaki. Di belakang joli ini berjalan Joko Kolomurti bersama Niken yang mendapat kehormatan untuk keluar bersama iring-iringan itu sebagai seorang tamu agung. Dan di belakang dua orang muda itu berjalan selosin pemuda yng bertelanjang dada, diikuti oleh selosin gadis bertapih pinjung yang rata-rata masih muda dan cantik. Iring-iringan berhenti di depan tiga buah kursi, dan Joko Kolomurti berkata kepada Ayahnya dengan sikap hormat,

   "Kanjeng Romo, kita lupa menyediakan sebuah kursi untuk diajeng Niken."

   Gadis itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan diajeng itu, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang sungguh-sungguh, iapun mengenggap bahwa perubahan sebutan itu disesuakan dengan upacara yng khidmat itu.

   "Benar, suruh ambil sebuah kursi lagi."

   Kata Sang Wiku dan seorang murid laki-laki yang mengikuti di belakang lalu cepat mengambil sebuah kursi diletakkan di samping kursi paling kiri. Melihat ini, Niken merasa tidak enak sekali. Ia memang berterima kasih kepada keluarga itu,

   Apalagi sudah mendapat keterangan yang berharga tentang Tilam Upih dan kalau malam ini ia menyaksikan malam perayaan upacara pemujaan Bathari Durgo, adalah untuk menyatakan terima kasihnya. Akan tetapi ia merasa sungkan diperlakukan sebagai tamu agung. Bagaimanapun juga, tentu saja ia tidak berani membantah. Kini Sang Wiku sendiri menghampiri joli dan membuka tirai joli. Niken terbelalak kagum. Kiranya di dalm joli itu terdapat sebuah patung emas seorang wanita dalam keadaan duduk. Inikah patung Sang Bathari Durgo? Cantik nian! Padahal, menurut yang pernah didengarnya, Sang Bathara Durgo telah dikutuk dan berupa seorang puteri berwajah raksasa wanita! Sang Wiku sendiri yang memondong patung itu lalu didudukkan di atas kursi paling kanan. Kemudian dia duduk di atas kursi sebelah kiri patung itu. Joko Kolomurti berkata kepada Niken.

   "Diajeng Niken, silakan duduk."

   Dia sendiri duduk di sebelah kiri Ayahnya dan karena kursi yang tersisa tinggal disebelah kirinya, Niken lalu duduk di atas kursi itu. Semua murid melakukan penghormatan dengan menyembah. Akan tetapi sembah mereka itu nampak aneh oleh Niken. Mereka menyembah sampai tubuh atas mereka mennelungkup, tiarap rata dengan lantai panggung dan dari kerongkongan mereka keluar suara memanjang seperti orang mengerang. Sang Wiku Syiwakirana lalu mengangkat tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa pesta pemujaan dimulai. Gamelan masih ditabuh dengan meriah. Dua orang berpakaian sutera putih maju membawa seekor ayam bulu putih mulus, dan seorang pemuda berkain putih bertelanjang dada juga ikut, membawa sebuah bokor emas dan sebuah guci.

   Mereka bertiga berlutut di depan Sang Wiku. Pemuda itu lalu menyerahkan guci kepada sang wiku yang segera membuka tutup guci dan menuangkan isinya kedalam bokor. Nampak cairan berwarna merah dan bau anggur yang harum memenuhi panggung. Niken juga mencium bau anggur ini, bau yang asing baginya, akan tetapi buakn tidak menyenangkan. Setelah bokor itu penuh, pemuda itu menerima lagi guci dan meletakkan di samping patung, kemudian dua orang gadis berpakaian putih mendekatkan ayam bulu putih di depan kaki Sang Wiku. Sang Wiku mencabut sebilah pisau belati dari pinggangnya, kemudian mulutnya membaca mantra yang aneh dan panjang sambil memejamkan kedua matanya. Lalu dia bangkit, mengikuti dua orang gadis yang kini membawa ayam bulu putih di depan patung. Juga pemuda itu membawa bokor dan meletakkannya di depan kaki patung.

   Sang Wiku lalu menggerakkan pisaunya menyembelih leher ayam putih. Ayam itu menggelempar dalam pegangan dua oranga gadis dan darahnya mengucur ke dalam bokor berisi anggur. Karena ayamitu berbulu putih mulus, maka darahnya nampak nyata sekali ketika mengucur sampai menetes-netes ke dalam bokor. Setelah darah itu tuntas, ayam berhenti menggelempar, dua oranga gadis menyembah lalu turun dari panggung membawa bangkai ayam. Pemuda itupun mengikuti mereka, meninggalkan guci dan setumpuk cawan di dekat patung emas. Joko Kolomurti lalu bangkit, menuangkan anggur dari bokor ke dalam secawan dan dengan sikap hormat menyerahkan kepada Ayahnya, Sang Wiku menerimanya, lalu bangkit menghampiri patung emas, membaca mantra lalu mendekatkan cawan kesepasang bibir emasyang indah itu.

   Semua murid memandang tanpa berkedip dan menahan napas. Niken yang tidak mengerti juga memandang dengan hati merasa geli. Bagaimana mungkin sebuah patung disuguhi minuman anggur? Akan tetapi iapun terbelalak ketika anggur di dalam cawan itu dituangkan sampai habis! Secawan anggur habis diminum swebuah patung! Ia hampir tidak percaya dan berkedip-kedip, dan melihat patung itu seolah-olah tersenyum dan menggerakkan biji matanya. Setelah Sang Wiku kembali duduk, Joko Kolomurti kembali menuangkan anggur dari bokor ke dalam sebuah cawan lain, lalu dengan sikap hormat menghaturkan secawan anggur itu kepada Ayahnya. Sang Wiku menerima sambil tersenyum menganguk, dan minum habis anggur dari cawan itu. Kini Joko Kolomurti menghampiri Niken.

   "Diajeng Niken, kami harap andika sudi menerima dan minum secawan anggur untuk menghormati Ibunda Bathari."

   Katanya dengan sikap Ramah dan hormat. Wajah Niken menjadi merah. Ia merasa sungkan untuk menolak, akan tetapi juga ia muak dan tidak sampai hati minum anggur yang sudah dicampuri darah ayam itu.

   "Maaf, Joko... aku... aku tidak dapat minum darah ayam itu..."

   Katanya lirih agar jangan sampai menyinggung keluarga perguruan itu.

   "Kenapa engkau begitu bodoh, Joko?"

   Tentu saja Niken tidak bisa minum anggur ini. Ia bukan anggota kita dan tidak biasa minum anggur ini. Suruh ambil guci anggur kecil dalam kamrku. Itu anggur madu istimewa yanga bik sekali untuk diminum Niken."

   Joko lalu menyuruh seorang gadis yang duduk di sudut untuk mengambilkan guci anggur itu. Setelah guci anggur itu di bawa dan diserahakan kepada Joko, pemuda ini lalu menuangkan isinya ke dalam sebuah cawan. Anggur inipun merah dan berabau harum, dan Joko menyerahkan kepadanya sambil berkata.

   "Aku menyambutmu dengan secawan anggur, diajeng. Harap engkau sudi meminumnya. Tentu saja Niken merasa tidak enak untuk menolak, akan tetapi sebelum ia menerimanya. Sang Wiku cepat berkata,

   "Joko, bawa cawan itu ke sini. Aku akan memberkatinya demi kesehatan dan keselamatan Niken."

   Joko menyerahkan cawan itu kepada Ayahnya yang lalu membaca mantra sambil menatap cawan iyu. Barulah cawan diserahkan kepada Niken. Niken menerimnya dan mencoba dulu mencicipi anggur. Ternyata harum dan manis. Maka ia terus minum anggur yang hanya secawan kecil itu dan selain rasanya enak, juga terasa hangat dan nyaman di perut. Tentu saja minuman itu menghangatkan perut karena sebetulnya itu adalah minuman keras yang terbuat dari tuak dicampur dengan madu.

   "Joko, tuangkan secawan lagi. Aku harus menghormati tamu kita!"

   Kata sang Wiku yang nampak gembira. Joko menuangkan lagi secawan dan menyerahkannya kepada Sang Wiku, yang segera memberikannya kepada Niken sambil berkata,

   "Akupun ingin menghormatimu dengan secawan anggur ini, Niken. Harap engkau tidak keberatan untuk meminumnya."

   Karena ternyata minuman itu tidak merugikannya, dan secawan itu hanya sedikit saja, Niken tidak berani menolak, meneriam cawan itu dan meminumnya. Joko sendiri lalu minum dari bokor, yaitu anggur yang sudah bercampur darah ayam.

   Gamelan ditabuh gencar mengiringai nyanyian para pesinden. Niken mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa gembira bukan main. Tubuhnya terasa ringan seperti hendak melayang-layang dan segala sesuatu di depan dan sekelilingnya nampak indah menggembirakan. Ia merasa berbahagia dan semua wajah di situ nampak tersenyum Ramah kepadanya. Tanpa disadarinya lagi, mendengar tembang yang dinyanyikan para pesinden, iapun bersenandung. Tembang itu dikenalnya dan ia sendiri memang pandai bertembang. Dari sampingnya, Joko meliriknya dan pemuda ini nampak gembira bukan main. Wiku Syiwakirana bertepuk tangan tiga kali. Bunyi gamelan berubah. Kini agak asing karena terdengar aneh bagi telinga Niken, namun harus diakui bahwa gending ini meriah dan gembira sekali, terutama kendangnya yang bertingkah genit.

   Dan para murid yang tadi dudyk di kedua sudut panggung, turun meninggalkan panggung. Akan tetapi dua belas pasang muda mudi yang mengenakan pakaian putih, mulai menari-nari dengan lemah gemulai dan indah! Aneh sekali terjadi pada diri Niken. Ia menonton tari-tarian itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri. Baginya saat itu, tarian itu demikian indahnya, bagaikan selosin dewi sedang menari dengan selosin dewa! Dan bunyi gamelan yang asing itu begitu menghanyutkan dan seolah menyusup ke dalam seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya bergerak-gerak sendiri menurutkan irama kendang. Melihat ini, Joko lalu menuangkan anggur dari guci kecil itu sampai tiga kali lagi dan disuguhkan kepada Niken yang meminumnya dengan gembira.

   Malam semakin larut dan suara gamelan ditabuh semakin gencar. Kini iramanya cepat dan tari-tarian dua belas pasang penari itu menjadi semakin cepat pula. Tanpa disadari oleh Niken, tari-tarian mereka mengarah kepada gerakan-gerakan mesum, tubuh berlenggang lenggok memikat dan pandang mata serta senyum mereka mulai genit. Sang Wiku memberi tanda dan sepasang demi sepasang dari para penari itu menunda tarian mereka untuk minum secawan anggur bercampur darah ayam. Begitu minum anggur itu, pasangan ini menari dengan mesum, berpelukan dan berciuman sambil menari! Sisa anggur itu kemudian dibagi para anggota sehingga semua anggota kebagian minum. Joko bangkit dari duduknya, menghampiri Niken dan memgang tangannya.

   Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Diajeng, mari kita menari!"

   Ia menarik tangan Niken dan gadis ini hanya tertawa kecil, bangkit dan terhuyung-huyung akan tetapi ia mencoba untuk menari. Akan tetapi, ia mulai merasa pening, kepeninagan yang terasa nikmat dan akhirnya, karena terhuyung hampir jatuh, Joko merangkulnya dan menuntunnya masuk kedalam rumah. Wiku Syiwakirana tertawa bergelak melihat betapa puteranya telah berhasil membawa Niken masuk dan iapun melanjutkan pesta pora itu karena biasanya, setiap bulan purnama pesta itu dirayakan semalam suntuk sampai bulan tidak lagi nampak di angkasa. Sambil bertembang lirih, Niken di papah Joko ke dalam kamarnya. Ia membiarkan saja dirinya dirangkul ketat dan dibawa masuk kedalam kamar pemuda itu.

   

Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini