Asmara Dibalik Dendam Membara 8
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Eh... Joko... ini di mana? Kamar indah sekali..."
"Ini kamarku, Niken."
Biarpun kepalanya pening dan ia sudah mabuk, namun Niken masih juga mendengar bahwa ia berada di kamar pemuda itu.
"Kenapa di kamarmu, Joko? Aku... aku ingin tidur, akan tetapi di kamarku sendiri... aku... aku mau keluar saja..."
Akan tetapi Joko merangkulnya kuat-kuat.
"Tidurlah saja di sini, Niken. Kamar ini indah bukan? Dan aku mencintaimu, diajeng. Engkau akan menjadi isteriku..."
Joko merangkul dan hendak menciumnya. Akan tetapi Niken masih dapat meronta. Ia merasa dirinya seperti dibakar dari dalam, karena sesungguhnya ia telah minum ramuan racun perangsang yang sudah dicampur kedalam tuak tadi. Ia merasa senang dalam rangkulan pemuda itu dan ada dorongan gairah dalam dirinya untuk menyerah dalam kenikmatan. Akan tetapi gemblengan batin yang selama ini diterimanya dari gurunya demikian kuatnya, membuat jiwanya meronta.
"Tidak... tidak... aku... aku mengantuk, hendak tidur...!"
Ia terhuyung. Joko menyambar lengannya dan mendorongnya sehingga gadis itu terpelanting jatuh ke atas pembaringan. Begitu rebah, Niken lalu menggumam.
"Ah, senang sekali dapat tidur... nyaman sekali..."
Dan iapun tertidur! Sama sekali Niken tidak pernah mimpi bahwa ia telah terjatuh ke dalam cengkeraman pria yang lebih keji daripada seekor srigala kelaparan. Memang sama sekali tidak akan ada yang menyangka bahwa Joko Kolomurti yang kelihatan demikian tampan gagah dan halus, demikian Ramah dan hormat, hanyalah srigala bertopeng domba.
Kini dia menghampiri pembaringan, matanya seperti mencorong, mulutnya basah dan lidahnya menjilat-jilat bibir seperti seekor srigala kelaparan mencium darah daging kelinci yang lunak dan hangat. Sudah terasa dalam mulutnya betapa nikmat dan lezatnya rasa daging itu. Hampir semua orang di dunia ini tak dapat dinilai dari keadaan luarnya, karena kita semua sudah terbiasa mengenakan topeng di depan muka kita. Dan kitapun mudah sekali terkecoh oleh topeng-topeng yang menutupi wajah-wajah orang lain. Topeng yang menggambarkan keadaan wajah yang sama sekali berbeda, bahkan kadang berlawanan, dengan keadaan batin. Kehidupan manusia sudah bergelimang kepalsuan. Karena itu, tidak mengherankan kalau Niken juga tertipu oleh keadaan lahiriah Joko Kolomurti.
Sebetulnya, perguruan macam apakah Durgomantra itu dan orang-orang macam apakah Sang Wiku Syiwakirana dan puteranya? Wiku Syiwakirana sejak masih muda merupakan seorang penyembah dan pemuja Sang Batari Durgo dan batara Syiwa. Dia pernah memperdalam ilmu-ilmunya ke negeri Cola dan di negeri itulah dia mulai menjadi penyembah Sang Hyang Syiwa dan isterinya, yaitu Batari Durgo. Dia bahkan mengubah namanya menjadi Wiku Syiwakirana dan menganggap dirinya sebagai titisan Batara Syiwa. Dengan sendirinya dia menganggap bahwa isterinya yang sejati adalah Batari Durgo. Karena Batari Durgo tidak atau belum ada titisannya menurut pendapatnya, maka dia membuat sebuah arca Durgo dari tembaga berlapis emas sebesar manusia dan diapun mendirikan perguruan Durgomantra untuk memuja dan menyembah Batari Durgo.
Sebelum menjadi Wiku Syiwakirana, dia telah beristeri dan mempunyai seorang putera. Ketika anaknya terlahir, Wiku Syiwakirana menganggap puteranya itu putera Batari Durgo dan memberi nama Joko Kolomurtisebagai titisan Batara Kolo! Dan untuk melengkapi pemujaannya kepada Batari Durgo, dia secara diam-diam telah meracuni isterinya sendiri, Ibu kandung Joko Kolomurti! Semenjak itu, dia tidak lagi beristeri, akan tetapi dia dapat mengambil gadis-gadis muda sebagai dayang atau selir sambil menanti munculnya "titisan"
Batara Durgo untuk dijadikan isterinya. Kepada puteranya, Joko Kolomurti selalu ditekankan bahwa Ibunya yang sejati adalah Btari Durgo yang patungnya disembah-sembah. Biarpun kepercayaan yang dianut itu membuat Wiku Syiwakirana seperti orang gila sehingga dia membunuh isterinya sendiri, namun dia bukanlah seorang yang lemah.
Dia telah mempelajari berbagai ilmu dari negeri Cola, bahkan dia pandai pula menggunakan ilmu sihir dan racun-racun pembius sampai pembunuh. Dalam bimbingan seorang Ayah tanpa Ibu seperti itu, Joko Kolomurti menjadi besar dalam keadaan seperti tidak waras pula. Dia selau menganggap dirinya Sang Batara Kolo, atau titisannya. Akan tetapi karena diapun mempelajari kebudayaan yang diberikan guru-guru yang dipanggil Ayahnya, dia menjadi seorang pemuda yang nampak lemah lembut dan sopan santun. Justeru keadaannya ini yang membuat dia lebih berbahaya dari Ayahnya, karena pada lahirnya dia nampak sebagai seorang pendekar muda yang baik hati. Selain menguasai kebudayaan Joko Kolomurti juga mewarisi ilmu kedigdayaan dari Ayahnya. Seperti telah dibuktikan dengan peristiwa tadi ketika seorang pemuda memimpin warga dusun yang menuntut dibebaskannya anak-anak mereka,
(Lanjut ke Jilid 08)
Asmara Dibalik Dendam Membara (Judul Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
Terutama anak-anak gadis mereka, biarpun tidak waras, Ayah dari penyembah Batara Daurgo itu ternyata cerdik sekali. Para murid itu sudah berada di bawah kekuasaan mereka. Dengan kekuatan sihir dan racun mereka itu telah menyerahkan segala-galanya kepada Ayah dan anak itu. Bahkan banyak warga dusun yang kaya rela menyumbangkan harta mereka karena percaya bahwa Wiku Syiwakirana dapat menolong mereka dari kesulitan apa saja. Sang Wiku ini terkenal sebagai seorang "Dukun"
Yang serba bisa dan pandai. Karena itu, hampir semua dusun di sekitar daerah itu merasa takut dan taat keppadanya. Kalau puluhan warag dusun itu berani menuntut agar anak-anak gadis mereka dibebaskan, hal itu adalah karena munculnnya seorang pemuda yang memimpin mereka. Niken Sasi bermimpi buruk sekali.
Ia merasa seperti tenggelam dan hanyut ke dalam sungai yang airnya deras sekali. Ia terseret arus sungai itu dan berusah sekuat untuk menggrekkan kaki tangnnya agar tidak sampai tenggelam tiba-tiba seekor buaya menerkamnya. Niken meronta dan berusah melepaskan diri dari terkeman buaya itu namun sia-sia karena tenaganya terasa lemah. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya berada dalam pelukan seorang pemuda tampan. Joko Kolomurti! Ia merasakan sesuatu yang amat luar biasa. Entah mengapa, ia merasa senang sekali berada dalam pelukan pemuda itu. Akan tetapi, biarpun kesadarannya mengambnag dan terasa jauh dan hanya lapat-lapat saja, namun kesadaran itu masih mengingatkan ia bahwa hal ini tidaklah patut, tidaklah benar ia harus mencegah, harus menolak! Ketika merasa betapa gadis yang dipeluknya itu meronta, Joko berbisik di dekat telinga Niken.
"Diajeng, aku cinta padamu..., engkau adalah isteriku tersayang..."
Alangkah merdunya suara dan kata-kata itu, amat menyenangkan hatinya. Akan tetapi biarpun lemah Niken membantah,
"Tidak..., aku tidak mau...! Lepaskan aku...!"
Akan tetapi ia hanya meronta lemah dan agaknya sudah tidak ada kekuatan dan cara baginya untuk menghindarkan diri dari ancaman malapetaka yang dapat menimpa diri seorang gadis. Pada saat yang gawat bagi keselamatan dara yang kehormatannya terancam itu, berkelebat bayangan orang yang tahu-tahu pintu kamar itu terbuka dan masuklah seorang pemuda yang berpakaian sederhana. Melihat Niken yang meronta-ronta dalam rangkulan Joko Kolomurti, pemuda itu membentak,
"Manusia berhati iblis! Lepaskan gadis itu!"
Dan sekali sambar, lengan Joko sudah dipegangnya dan ketika dia menarik, tubuh Joko tertarik dan pelukannya terlepas dari tubuh Niken. Dengan bingung Niken bangkit dengan lemah, membetulkan pakaiannya yang awut-awutan dan rambutnya yang terlepas sanggulnya dan hanya memandang kepada pemuda itu yang kini sudah berhadapan dengan Joko. Ketika Joko merasa dirinya ditarik orang sampai terlepas dari pelukannya, dia marah bukan main. Cepet dia membalik dan ketiak melihat siapa orang yang menariknya, kemarahannya meningkat, akan tetapi juga bercampur perasaan jerih ketika dia mengenal bahwa pemuda itu adalah pemuda sakti yang siang tadi memimpin warga dusun menyerbu Drgomantra. Kemarahan dan rasa takut membuat daia menjadi nekat.
"Tolooooooonnggg...! Maliinggg...!"
Dia berteriak nyaring dan cepat menghunus kerisnya dan menubruk, menyerang ke arah pemuda itu dengan dahsyatnya. Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali pemuda itu dapat menghindar ke kiri dan sekali tangannya menangkis pergelangan tangan Joko yang memegang keris, keris itupun telepas dari pegangan dan Joko mengeluh karena lengannya seperti dipukul sepotong besi. Dan pada saat itu, kaki pemuda itu sudah menyambar. Joko menangkis dengan tangannnya, akan tetapi tetap saja.
Tangan dan tubuhnya menerima tendangan yang amat dahsyat, yang menyebabakan tubuh Joko terpental dan menabrak dinding lalu jatuh pingsan! Demikian hebatnya tendangan pemuda itu yang agaknya sudah marah sekali melihat perbuatan Joko tadi. Akan tetapi pada saat itu, puluhan orang anggota Durgamantra sudah tiba di luar kamar itu dan pintu ditendang dari luar. Muncullah Wiku Syiwakirana sendiri bersama puluhan orang muridnya. Matanya yang besar dan mencorong itu mengamati keadaan dalam kamar puteranya yang diterangi lampu dinding dan melihat puteranya telentang di susdut dalm keadaan pingsan, dia marah bukan main. Kemarahannya memuncak ketika dia mengenal pemuda yang berdiri di dalam kamar itu sebagai pemuda pengacau yang siang tadi memimpin warga dusun.
"Tangkap gadis itu dan bunuh pemuda ini!"
Bentaknya. Para muridnya menyerbu dengan senjata di tangan. Aada yang membawa keris, adapula yang membawa golok atau tombak.
Melihat ini dan mengingat bahwa dara yang ditolongnya itu masih berada dalam keadaan tidak berdaya, pemuda itu lalu menyembar Niken lalu membawanya meloncat. Tubuhnya melayang diatas kepala para penyerbu itu dan tiba di luar pintu. Ketika Wiku Syiwakirana hendak mencegahnya dengan pukulan tangan kanan yang dahsyat, pemuda itu yang kini memondong tubuh Niken dengan lengan kiri menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga dan akibatnya, Wiku Syiwakirana terpental jauh ke belakang. Semua muridnya terkejut dan tertegun, kesempatan ini dipergunakan oleh pemuda itu untuk meloncat dan menghilang dalam kegelapan malam yang diakibatkan oleh mendung yang tiba-tiba menghalangi sinar bulan purnama. Siapakah pemuda yang memiliki kesaktian hebat itu sehingga dengan mudah dia mampu mengalahkan Joko Kolomurti dan Wiku Syiwakirana?
Dia adalah Budhidharma. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah mempelajari ilmu-ilmu dan aji kesaktian dari gurunya, Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi, Budhi disuruh turun gunung oleh gurunya. Dia mendapat tugas untuk mencari Tilam Upih, kemudian baru dia akan mengunjungi Gunung Anjasmoro, mencari perkumpulan Gagak Seto dan menemui ketua Gagak Seto untuk menuntut penjelasan mengapa Gagak Seto membunuh Ayah Ibunya. Ketika melakukan perjalanan ke selatan, dengan tujuan pantai Laut Kidul untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Tilam Upih, tibalah dia di kaki bukit Girimanik. Dan di dusun di kaki bukit itulah dia melihat banyak orang bersedih hati dan ketika dia bertanya, mereka menceritakan bahwa anak-anak mereka,
Terutama gadis-gadis cantik, tidak mau pulang ke rumah dan menjadi anggota perguruan yang dianamakan Durgomantra di Girimanik. Setelah mendapat keterangan dengan jelas, Budhi lalu menghimpun para warga dusunyang memiliki anak-anak yang tidak mau pulang itu beramai-ramai mereka mengunjungi Girimanik. Dan seperti suadah diceritakan di depan di bagian depan, Budhi mengajak para warga dusun itu untuk mendatangi Durgomantra dan menuntut dikembalikannya anak-anak mereka. Akan tetapi, dengan terkejut sekali Budhi dihadapi dan dilawan Niken yang membela pihak Durgomantra! Dia amat terkejut dan heran melihat adanya seorang gadis yang demikian digdaya membela perkumpulan sesat itu. Dari sikap dan kata-kat gadis itu, maklumlah dia bahwa gadis itu telah tertipu dan menganggap perkumpulan Durgomantra sebuah perguruan yang baik.
Inilah yang menyebabkan dia mengajak para warga dusun untuk mundur. Dia sendiri lalu melakukan penyelidikan karena khawatir bahwa gadis perkasa itu di bawah pengaruh pemimpin Durgomantra seperti halnya para gadis puteri warga dusun. Dan kebetulan malam itu diadakan malam pesta pemujaan Sang Bathari Durgo. Budhi mengintai dan melihat pula betapa Niken seperti orang mabok dan digandeng oleh Joko Kolomurti ke dalam rumah. Dia mendapat parasaan tidak enak, maka dengan mempergunakan kepandaiannya, dia menyelinap masuk ke dalam rumah itu dan membayangi Joko Kolomurti. Demikianlah, akhirnya dia dapat menyelamatkan Niken yang nyaris menjadi korban kekjian Joko Kolomurti. Niken mengeluh dan merintih lirih ketika Budhi melepaskannya dari pondongan dan merebahkannya di atas rumput tebal di bawah pohon besar.
"Ahh... badanku panas... ahhh, mengantuk sekali dan lemas..."
Keluh gadis itu dengan gelisah. Budhi maklum bahwa gadis itu terpengaruh oleh minuman yang mengandung racun pembius dan mungkin perangsang, ditambah lagi pengaruh sihir yang membuat pikirannya menjadi gelap dan keasadarannya lenyap. Dia lalu duduk bersial dekat Niken, bersedekap mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir pengaruh sihir yang menguasai pikiran Niken.
Juga dia mengerahkan kekuatan pikirannya untuk mempengaruhi Niken agar tertidur. Dia yakin bahwa pengaruh racun itu akan lenyap dengan sendirinya setelah beberapa waktu dan jalan satu-satunya yang terbaik bagi gadis itu adalah dapat tidur pulas. Usahanya berhasil. Niken dapat tidur pulas di atas rumput yang lunak. Budhi tetap duduk bersila di dekatnya sampai malam itu terlewat. Setelah matahari pagi mulai membakar ufuk timur dengan cahayanya yang kemerahan dan daun-daun pohon mulai nampak, Budhi sadar dari samadhinya. Dia mendengar suara gadis itu mengeluh, lalu membuka matanya. Gadis itu terbelalak seperti orang kaget, lalu bangkit duduk, agak menggigil kedinginan karena tubuhnya sudah basah oleh embun, kemudian ia menoleh ke kiri dan melihat Budhi duduk bersila di dekatnya.
"Ihhhhh...!"
Ia menjerit kecil dan meloncat berdiri bagaikan disengat kalajengking, dan berdiri dalam keadaan siap. Ia mengingat-ingat dan melihat letak pakaiannya dengan khawatir. Masih lengkap, dan ia bernapas lega. Budhi juga bangkit berdiri, mamandang gadis itu dengan tenang. Kini Niken sudah sadar sepenuhnya. Ia teringat bahwa ia ikut merayakan pesta yang meriah. Lalu tidak ingat apa-apa lagi. Kenapa tahu-tahu ia berada di sini, tidur di atas rumput dan pemuda itu berada di dekatnya? Pemuda itu! Tentu saja ia teringat. Pemuda itu adalah pemuda yang memimpin warga dusun menyerbu ke Durgomantra! Dan pemuda itu yang berani dan mampu menahan pukulan aji Hasta Bajra! Tentu pemuda ini telah menculiknya dari perguruan Durgamantra selagi ia tertidur.
"Jahanam! Sungguh jahat engkau!"
Bentaknya dan karena ia maklum bahwa pemuda itu merupakan lawan tangguh serta merta ia menyerang dengan aji Hasta Bajra yang amat ampuh. Kemarahan dan sangkaan buruk membuat ia menyerang dengan dahsyat karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Budhidharma telah siap siaga. Dia memang telah menduga dan memperhitungkan sikap Niken ini yang tidak percaya kepadanya, maka begitu diserang, dia telah dapat berkelebat dan mengelak sehingga pukulan itu hanya mengenai tempat kosong. Sebelum Niken menyerang lagi. Budhidharma melompat ke belakang dan berseru dengan suara berwibawa,
"Tahan dulu! Andika terburu nafsu dan salah sangka. Aku bukanlah musuhmu, bahkan telah membebaskanmu dari cengkeraman iblis yang amat keji! Andika memang seorang dara yang gagah perkasa, akan tetapi jelas kurang pengalaman sehingga mudah saja terpengaruh oleh pimpinan Durgomantra yang menggunakan ilmu sihir dan racun!"
Niken menahan gerakan serangannya dan tertegun.
"Apa kau bilang? Engkaulah yang jahat, menghasut warga dusun untuk minta anak-anak mereka dibebaskan. Padahal, anak-anak mereka yang telah menjadi murid Durgomantra itu hidup bahagia dan mereka menjadi murid atas kehendak sendiri. Jangan kau membohongi aku!"
"Aku sama sekali tidak berbohong. Andika agaknya belum tahu orang-orang macam apakah Wiku Syiwakirana dan puteranya yang bernama Joko Kolomurti itu! Gadis-gadis itu telah disihir dan dibius, dan andika sendiri tadipun dibius dengan minuman keras dan sihir sehingga hampir saja ternoda oleh Joko Kolomurti. Aku datang menghalangi perbuatan terkutuknya. Mereka itu pemuja Bathari Durgo dan mereka tidak pantang melakukan segala perbutan busuk."
Niken mulai ragu. Pemuda ini kelihatan memang tidak jahat, akan tetapi mengapa duduk bersila di dekat ia yang sedang tidur di situ?
"Apa yang kau lakukan tadi? Kenapa engkau membawaku ke sini, dan apa yang terjadi denganku?"
"Andika berada dalam pengaruh obat bius dan sihir. Terpaksa aku merampasmu dan membawamu ke tempat ini setelah melarikan diri. Aku merebahkan andika di sini dan dengan pengerahan tenaga batin aku berhasil membersihkan pengaruh sihir dari pikiran andika. Akan tetapi pengaruh racun pembius itu baru dapat lenyap setelah andika tidur."
Niken mengingat-ingat dan lapat-lapat ia teringat betapa ia tidur di kamar Joko Kolomurti memeluknya dan ia merasa demikian senang dirangkul pemuda itu, akan tetapi ia meronta karena tahu bahwa hal itu tidaklah benar.
"Tidak berbohongkah engkau? Benarkah aku dipengaruhi sihir dan ditipu mereka?"
Akhirnya ia bertanya dengan ragu sambil menatap tajam wajah pemuda yang berdiri di depannya. Wajah itu demikian tampan dan gagah dan baru sekarang Niken menyadarinya. Sepasang mata itu demikian tajam mencorong penuh kekuatan.
"Kata-kata memang kosong dan dapat saja berbohong. Karena itu aku persilakan andika menemui warga dusun. Mereka itu adalah orang-orang dusun yang kehilangan anak mereka. Mereka tidak akan berbohong."
Niken mengangguk-anggik, merasa bahwa pendapat itu memang benar. Orang-orang dusun adalah orang-orang yang sederhana, dan mereka adalah orang-orang yang kehilangan anak mereka. Mengapa mesti berbohong kalau memang anak mereka hidup bahagia diperguruan Durgomantra?
"Baiklah, aku mau ikut denganmu menemui para warga dusun. Akan tetapi siapakah engkau? Engkau meiliki kepandaian tinggi, mampu menandingi pukulanku. Dari perguruan mana engkau datang?"
Budhidharma tersenyum. Senang hatinya bahwa dara ini mulai percaya kepada kepadanya. Kalau dia ditemani seotrang gadis seperti ini, tentu dengan mudah dia akan dapat menundukkan perguruan Durgamantra. Ketika dia kemarin mengajak warga dusun mundur, adalah karena adanya gadis ini di pihak lawan.
"Namaku Budhidharma, bukan dari perguruan manapun. Aku datang dari Gunung Kawi dan kebetulan saja lewat daerah ini dan mendengar keluhan para warga dusun yang yang kehilangan anak mereka, maka aku lalu berusaha turun tangan membantu mereka. Dan andika sendiri, siapakah dan bagaimana dapat berada di tempat seperti itu?"
"Namaku Niken,"
Ia tidak memberi tahu nama lengkapnya karena khawatir dikenal orang sebagi cucu raja.
"Aku sedang melakukan perjalanan merantau dan kebetulan lewat di sini pula. Di sebuah dusun aku terjebak dan tertawan oleh gerombolan penjahat. Akan tetapi aku diselamatkan oleh Joko Kolomurti yang membawaku lari dari sarang gerombolan itu. Karena berterima kasih dan berhutang budi atas pertolongannya yang membebaskan aku dari bencana yang mengerikan, aku lalu memenuhi undangannya untuk berkunjung ke Girimanik. Tentu saja aku menganggap Joko sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan berbudi baik."
Budhidharma mengangguk-angguk. Kini dia mengerti mengapa seorang gadis seperti Niken dapat membantu perguruan Durgomantra. Kiranya gadis ini berhutang budi kepada Joko Kolomurti! Dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya gadis ini terancam kehormatannya ketika terjebak gerombolan penjahat dan kebetulan Joko Kolomurti melihatnya dan pemuda itu tentu saja menolong gadis secantik ini agar tidak menjadi mangsa orang lain, melainkan menjadi mangsanya sendiri! Bagaikan seekor harimau yang menolong seekor kambing dari terkaman srigala, mengusir srigala itu kemudian dia sendiri menerkam kambing yang ditolongnya!
"Sekarang mengertilah aku! Niken, aku tidak menyalahkanmu, dan tentu saja engkau menganggap Joko seorang pemuda yang berbudi baik dan pantas dibela. Akan tetapi, berhati-hatilah. Di dunia ini banyak sekali srigala dan harimau berkeliaran memakai kedok domba. Nanti engkau akan mengetahui sendiri orang macam apa sebenarnya pemuda itu dan Ayahnya."
Mereka lalu menuju kesebuah dusun dan disambut oleh warga dusun. Dari mereka inilah Niken mendengar cerita tentang sepak terjang perguruan Durgomantra. Rahasia perguruan itu, perbutan mereka yang penuh kemesuman, terbongkar ketika gadis-gadis yang tidak cantik tidak dapat diterima menjadi murid, dan ada pula gadis-gadis yang tidak dapat dipengaruhi dan berhasil meloloskan diri pulang ke dusun mereka. Mereka inilah yang menceritakan segala peristiwa yang menyeramkan yang terjadi di Girimanik. Betapa murid-murid wanita diberi minuman dan menjadi liar, kemudia mereka ini harus melayani Wiku Syiwakirana dan Joko Kolomurti sebagai dayang yang bukan lain hanya dijadikan pemuas nafsu biadab mereka.
Betapa pesta pemujaan Bathari Durgo itu pada hakekatnya adalah pesta yang penuh kecabulan, di mana para murid pria dan wanita yang sudah minum anggur darah menjadi hamba-hamba nafsu yang mabok dalam kemesuman. Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngerinya hati Niken mendngar keterangan ini. Bahkan ia masih agak ragu dan tidak percaya sepenuhnya mengingat betapa Joko Kolomurti sudah menolongnya dan bersikap baik dan sopan. Akan tetapi iapun mengerti bahwa agaknya tidak mungkin para warga tani ini berbohong. Kalau memang perguruan Durgomantra merupakan tempat yang baik bagi anak-anak merek, membuat anak-anak mereka hidup berbahagia, untuk apa mereka itu merasa penasaran dan menghendaki kembalinya anak-anak mereka?
"Mari, sekarang juga kita datangi mereka!"
Akhirnya dia berkata penuh semangat.
"Kalau benar seperti apa yang kalian ceritakan, aku akan menghancurkanDurgomantra!"
Sekitar lima puluh orang warga dusun itu berbondong-bondong mengikuti Niken dan Budhi mendaki bukit Girimanik. Hari masih pagi sekali, udara masih amat dingin dan Girimanik masih diliputi kabut.
Karena hatinya dipenuhi rasa penasaran dan ingin cepat-cepat membuktikan sendiri kebenaran cerita warga dusun, Niken berlari cepat dan hanya Budhi saja yang mampu mendampinginya. Warga dusun itu tertinggal jauh. Setelah tidak berhasil menangkap Budhi yang melarikan Niken, para anggota Durgomantra terpaksa kembali dan melanjutkan pesta pora mereka. Mereka sudah mabok nafsu, dan mabok minuman yang membuat mereka lupa diri sehingga pagi itu masih banyak di antara mereka yang belum sadar. Ketika tiba di pintu gerbang perkampungan Durgomantra, Niken dan Budhi melihat bahwa tidak ada seorangpun penjaga yang di situ dan suasananya sunyi sekali, seolah perkampungan itu telah ditinggalkan para penghuninya. Akan tetapi panggung yang didirikan di depan rumah induk itu masih ada.
Dan lampu-lampu gantung masih belum dipadamkan karena kabut membuat cuaca di situ masih gelap remang-remang. Niken masih teringat akan semua yang dialami sebelum ia kehilangan kesadarannya. Panggung inilah yang dijadikan tempat pesta pemujaan patung Bathari Durgo. Akan tetapi sekarang patung itu sudah tidak nampak. Juga Wiku Syiwakirana dan puteranya, Joko Kolomurti sudah tidak berada di panggung itu membuat Niken membuang muka dan bulu tengkuknya meremang. Ngeri rasa hatinya melihat pra murid Durgomantra yang bergelimpangan di situ. Laki-Laki dan perempuan capur aduk tidur malang melintang dengan busana yang tidak karuan, banyak yang hampir telanjang. Ada pula yang masih berpelukan. Pendeknya, jelas nampak bekas-bekas tempat pesta pora penuh kemesuman di panggung itu. Melihat keadaan Niken, Budhi bertanya,
"Andika sudah percaya sekarang, Niken?"
Niken yang wajahnya berubah merah sekali mengangguk.
"Sungguh aku tidak mengira sama sekali, Budhi. Mari kita cari wiku jahanam itu!"
Mereka lalu meloncat memasuki rumah dan Niken yang sudah tahu di mana kamar sang wiku, lalu langsung menuju ke sana. Daun pintu kamar itu masih tertutup dan sekali doring dengan kedua tangannya, daun pintu itu jebol dan mengelurkan suara keras.
Dan apa yang dilihatnya di sebelah dalam kamar itu membuat Niken mundur kembali dengan wajah tersipu dan membuang muka. Sang Wiku Syiwakirana rebah dirubung tujuh orang gadis cantik seperti seekor jangkrik dikerumuni semut-semut! Wiku Syiwakirana yang sudah sadar itu juga kaget bukan main melihat pintu jebol. Apalagi melihat munculnya Niken di depan pintu bersama seorang pemuda yang dikenalnya sebagai pemuda pengacau yang menghasut warga dusun. Dia segera melompat sambil membulkan letak pakaiannya, lalu menyambar sebatang tombak yang berada di sudut kamar. Tombak itu mengeluarkan sinar dan ujungnya menghitam tanda bahwa senjata itu mengendung racun. Para wanita yang tadinya mengerumuni Wiku Syiwakirana dan melayaninya, menjadi ketakutan dan berkumpul di sudut kamar sambil berjongkok dan tubuh mereka menggigil.
"Wiku jahanam!"
Niken membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka ketua Durgomantra itu.
"Kiranya benar kata para warga dusun. Engkau seorang yang hina dan busuk!"
Wiku Syiwakirana yang maklum bahwa kedatangan gadis itu tentu tidak membawa niat baik terhadap dirinya, tidak banyak cakap lagi dan dia sudah menggerakkan tombaknya, menyerang dengan dahsyat dan ganasnya. Tombak yang mengandung racun mematikan itu meluncur cepat ke arah dada Niken. Gadis perkasa ini maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah dan serangan itu merupakan serangan maut. Ia sudah menggerakkan tubuhnya mengelak ke kiri dan tombak itu meluncur lewat, ia cepat memutar lengan kanannya untuk menangkis gagang tombak sambil mengerahkan tenaga Hasta Bajra!
"Wuuuuutttt...!"
Wiku Syiwakirana terkejut, merasakan sambaran angin tangkisan lengan itu, dan dia segera menarik kembali tombaknya dan sekali tombak itu meluncur, kini tombak sudah menyerang lagi ke arah perut Niken! Kini Niken melompat ke luar kamar karena kamar itu tidak cukup luas baginya untuk melawan Wiku Syiwakirana yang bersenjata tombak berganggang panjang. Kesempatan itu dipergunakan Wiku Syiowakirana untuk melompat kesebelah kiri kamar dan tiba-tiba dia lenyap dari dalam itu. Niken terkejut, tak disangkanya ketua Durgomantra itu menggunakan pintu rahasia untuk melarikan diri. Ketika ia hendak memasuki kamar itu kembali, ia mendengar seruan Budhi di belakangnya.
"Niken, awas senjata gelap!"
Akan tetapi Niken cukup waspada. Ia dapat mendengar suara desiran angin pisau-pisau yang meluncur dari dalam kamar ke arahnya itu. Kiranya, tujuh orang gadis dayang atau murid Durgomantra yang tadi melayani sang ketua, telah menggunakan pisau-pisau belati untuk menyerangnya. Dengan berani Niken lalu menggerakkan kedua tangannya dan ia sudah menangkis dan menampari tujuh buah pisau itu sehingga runtuh di atas lantai. Ia tidak lagi memperdulikan tujuh orang gadis yang ia tahu telah terpengaruh sihir ketua Durgomantra dan berlari menuju ke kamar Joko Kolomurti.
"Niken, hati-hati...!"
Dari belakangnya Budhi memperingatkannya. Seperti juga tadi, Niken mendobrak pintu kamar Joko Kolomurti. Dan tidak ada bedanya dengan keadaan dalam kamar Wiku Syiwakirana, ia melihat Joko Kolomurti yang dianggpnya seorang pemuda yang baik dan bijaksana itu dikerumuni lima orang gadis murid perguruan Durgomantra. Joko Kolomurti terkejut bukan main ketika daun pintu kamarnya roboh dan melihat bahwa yang muncul adalah Niken, dia menjadi ketakutan. Dengan pakaian awut-awutan diapun melompat dan menerjang keluar pintu yang sudah jebol itu. Dia sudah memegang sulingnya dan memutar suling itu untuk menyerang siapa saja yang yang berani menghalangi larinya.
"Jahanam busuk!"
Niken yang sudah marah itu tentu saja tidak mau membiarkan Joko lari dan ia sudah manyambut dengan tamparan tangan kirinya. Joko menangkis dengan sulingnya.
"Krakk!"
Suling itu pecah ketika bertemu dengan tangan Niken dan Joko Kolomurti terhuyung ke samping di mana berdiri Budhi. Melihat Budhi, Joko marah bukan main karena dia menganggap pemuda ini yang menggagalkan segala-galanya. Secepat kilat dia mencabut kerisnya dan menubruk ke arah Budhi dengan tikaman maut! Namun, dengan tenang saja Budhi mengelak ke samping dan ketika tubrukan itu luput, kakinya mencuat dan sebuah tendangan mengenai dada Joko Kolomurti, membuat pemuda itu terjengkang. Akan tetapi pada saat itu terdengar Niken berseru,
"Budhi, jangan bunuh dia!"
Budhi memutar tubuhnya menghadapi Niken dan memandang heran, sedangkan Joko Kolomurti bergerak untuk bangkit berdiri. Agaknya dia sudah putus asa dan jerih, maklum bahwa dia tidak akan mampu menadingi kedua orang lawan itu, dan berdiri menyeringai kesakitan.
"Joko Kolomurti, jahanam busuk! Mengingat engkau pernah menolongku satu kali, aku mengampunimu untuk sekali ini. Akan tetapi lain kali kalau aku bertemu dengan engkau dan melihat engkau masih berbuat kejahatan, aku akan membunuhmu! Pergilah!"
Bentak Niken. Joko Kolomurti cepat melompat dan melarikan diri. Melihat ini, diam-diam Budhi merasa kagum. Sikap Niken itu menunjukkan bahwa gadis itu adalah seorang yang mengenal budi. Pada saat itu terdengar suara gaduh dan ternyata para warga dusun sudah diserang oleh para murid Durgomantra yang dipimpin oleh Wiku Syiwakirana sendiri!
"Budhi, kau bantulah warga dusun biar wiku jahanam itu aku yang menghadapi!"
Kata Niken yang cepat berkelebat ke arah pertempuran.
Budhi percaya bahwa dara itu akan mampu manandingi sang wiku. Dia lari ke arah pertempuran dan melihat betapa ada bebrapa warga dusun yang sudah roboh oleh amukan para pemuda dan gadis murid perguruan Durgomantra yang mengamuk seperti kesetanan itu. Dia lalu menggunakan kecepatan gerakannya berkelebat ke sana sini dan setiap kali menampar, tentu ada seorang lawan yang roboh. Sepak terjangnya itu mengacaukan pihak lawan dan kesempatan itu dipergunakan Budhidarma untuk berseru agar para warga dusun berlindung ke belakangnya. Setelah para warga dusun itu berdiri di belakangnya. Budhi lalu melompat ke atas panggung dan berseru kepada para murid Durgomantra yang masih kelihatan penasaran dan hendak menyerang lagi.
"Kalian semua dengarlah! Kalian murid-murid Durgomantra telah dibawa ke jalan sesat oleh Wiku Syowakirana! Kalian telah ditekan oleh kekuatan sihir! Kalian dimabokkan oleh minuman beracun! Ingat, diantara para warga dusun ini terdapat Ayahmu sendiri! Sudah benarkah seorang anak melawan Ayahnya sendiri! Sadarlah, kalian telah dibawa ke jalan sesat!"
Setelah berkata demikian, Budhi lalu mengeluarkan teriakan melengking panjang. Semua orang terkejut mendengar pekik yang melengking-lengking ini. Akan tetapi akibatnya amat hebat. Di antara puluhan orang murid Durgomantra itu, yang tadiinya terpengaruh sihir, mendadak seperi orang disiram air dingin yang membuat mereka sadar! Itulah pekik yang mengendung aji Naga Kroda (Naga Marah). Pekik yang mengandung kekuatan sakti dan mamapu menghancurkan pengaruh sihir. Mereka yang terlepas dari pengaruh sihir itu segera membuang senjata mereka dan berlarian menghampiri orang tua masing-masing.
Terjadilah adegan yang mengharukan ketika para pemuda dan gadis yang telah sadar itu merangkul Ayah masing-masing dengan tangis. Akan tetapi di antara mereka terdapat dua puluh orang lebih murid bawaan Wiku Syiwakirana, dan mereka ini memang orang-orang yang sudah memiliki watak yang buruk dan sesat seperti guru mereka. Mereka tidak lagi dipengaruhi sihir melainkan membantu guru mereka dengan suka rela karena mereka setuju dan cocok sekali dengan jalan hidup yang ditempuh gurunya. Mereka inilah yang menjadi marah dan dengan nekat mereka maju untuk menyerang Budhi. Melihat ini, Budhi melayang turun dari panggung dan menghadapi mereka dengan tamparan danntendangan yang tidak mematikan, namun cukup terasa untuk membuat mereka berpelantingan. Sementara itu, Wiku Syiwakirana sudah berhadapan dengan Niken.
Ketika pintu kamarnya diterjang Niken, dia merasa jerih dan melarikan diri, akan tetapi itu hanya untuk mengumpulkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Betapapun tangguhnya gadis dan pamuda itu, kalau dia maju mengeroyok bersama putera dan para muridnya, tentu mereka berdua akan mampu ditundukkan. Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka ketika dia mendengar Budhi menggunakan aji teriakan melengking yang membuyarkan kekuatan sihirnya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang sakti mandraguna. Setelah sebagian besar muridnya kini tidak lagi mau membelanya dan sudah kembali kepada orang tua masing-masing, dia menjadi jerih dan dia sudah meloncat untuk melarikan diri! Akan tetapi, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Niken telah berdiri didepannya dengan senyum mengejek.
"Wiku jahanam, dukun lepus! Engkau hendak lari ke mana?"
Bentak gadis itu denga marah, tangan kiri betolak pinggang, tangan kanan meraba gagang keris Megantoro, mulutnya tersenyum mengejek dan pandang matanya mencorong menyeramkan hati Wiku Syiwakirana. Karena tidak melihat jalan untuk melarikan diri lagi, ketua perguruan Durgomantra itu mejadi nekat dan marah.
"Bocah setan! Aku akan membunuhmu!"
Bentaknya dan tombak di tangannya sudah meluncur ketika dia menyerang dengan hebatnya. Akan tetapi Niken sudah siap siaga. Sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut keris pusaka Megantoro dan ia miringkan tubuhnya sambil meliuk ke kanan, kemudian ketika tombak lewat di sisi tubuhnya, ia menggerakkan kaki kanan ke depan disusul kerisnya menghujam ke arah lambung kiri Wiku Syiwakirana. Akan tetapi Kakek itupun memiliki gerakan yang gesit. Dia sudah menarik tombaknya dan menggunakan gagang tombak yang diputar untuk melindungi lambungnya.
"Traggg...!"
Keris itu tertangkis gagang tombak yang diputar sedemikian rupa sehingga tombak itu kembali menyambar, sekali ini menyerampang ke dua kai Niken. Gadis inipun tidak menjadi gugup. Ia memang memiliki garakan yang lincah dan ringan sekali. Ketika tombak menyerampang kedua kakinya, ia meloncat ke atas sehingga tombak menyambar bawah kakinya dan dengan tubuhmelompat ke atas itu, Niken dapat menggerakkan kaki kiri langsung menendang dari udara yang menyambar ke arah leher lawan!
"Ahhhh...!"
Wiku Syiwakirana terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan leher dan dagunya disambar kaki kecil mungil namun kuat sekali itu. Dia terpaksa berjungkir balik dan pada saat tubuh Niken sudah turun, tombaknya sudah meluncur lagi menusuk ke arah perut Niken. Ketika gadis itu mengelak, tombaknya menusuk lagi ke arah dada.
"Trang-trang-tranggg...!"
Tiga kali Niken menangkis tusukan-tusukan yang datangnya bertubi-tubi itu. Akan tetapi kali ini agaknya Wiku Syiwakirana sudah mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan jurus Tomara Sewu (Seribu Tombak) sehingga serangannya itu sambung menyambung dan susul menyusul. Tentu saja menghadapi hujan serangan tombak yang panjang itu. Niken yang hanya mempergunakan senjata keris menjadi kewalahan. Terpaksa ia melompat ke belakang, agak jauh tidak terjangkau tombak lawan lalu diam-diam mengerahkan aji Hasta Bajra ke dalam kedua lenganny. Cepat ia menyarungkan kerisnya dab ketika lawan menghambur maju lagi untuk mengirim serangkaian serangan, Niken memukul ke depan dengan dua tangan terbuka mendorong disertai aji Hasta Bajra sambil berteriak nyaring.
"Haiiiiiiiittt...!"
"Dessss...!"
Angin yang amat kuat menyambar dan tubuh Wiku Syiwakirana tidak kuat lagi bertahan, jatuh terjengkang dan bergulingan. Dia merasakan dadanya sesak dan sukar bernapas dan pada saat itu, sekali loncat Niken sudah berada dekat dengannya dan gadis itu menyambar tombak yang terlepas dari tangan pemiliknya. Melihat ini, Wiku Syiwakirana menjadi jerih dan diapun bangkit dan lari menuju ke rumah besar yang menjadi tempat tinggalnya.
"Hendak lari ke mana kau?"
Niken membentak, tangan kanannya bergerak dan tombak rampasan itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya, tak terhindarkan lagi mengenai punggung Wiku Syiwakirana sampai tembus ke dadanya!
Akan tetapi tubuh Kakek itu masih berlari terhuyung memasuki rumah itu dan baru dia jatuh setelah tiba di ruangan dalam, jatuh menelungkup akan tetapi dadanya tidak sampai menyentuh lantai karena terhalang tombak yang tembus dadanya itu. Tewaslah dia seketika. Melihat ketua mereka tertembus tombak, sisa anak buah perguruan Durgomantra menjadi ketakutan dan mereka melempar senjata lalu melarikan diri cerai berai. Mereka yang sudah terlukapun berusaha sedapat mungkin untuk melarikan diri. Budhi dan Niken tidak melakukan pengejaran terhadap mereka. Setelah semua anak buah Durgomantra melarikan diri, Budhi dan Niken saling pandang. Pemuda itu ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang gadis perkasa ini selanjutnya, maka iapun bertanya,
"Niken, apa yang akan andika lakukan sekarang?"
Niken berpikir sejenak, kemudian menjawab tanpa ragu lagi,
"Tempat maksiat dan terkutuk ini harus dibasmi habis, dibumi-hangiskan. Barang-barang berharga yang berada di dalamnya dibagi-bagikan kepada [para warga dusun yng telah bersatu kembali dengan anak-anak mereka, selain untuk menebus kerugian mereka lair batin, juga agar taraf kehidupan mereka meningkat. Bagaimana pendapatmu, Budhi? Apakah engkau memiliki rencana lain?"
Budhi tersenyum dan mengangguk.
"Sebuah pikiran yang amat bagus dan benar, Niken. Akan tetapi patung itu harus dibakar agar tidak dipuja kembali oleh siapapun, karena pemujaan itulah sumber kemaksiatan ini."
Niken setuju dan ia sendiri lalu mengukur pembagian barang-barang berharga yang dikeluarkan dari rumah besar itu kepada para warga dusun dan anak mereka. Kemudian, beramai-ramai mereka membakar rumah besar itu. Patung Bathari Durgo dan jenazah Wiku Syiwakirana ikut terbakar. Ketika warga dusun yang kegirangan itu membawa pulang anak-anak mereka dan barang-barang bagian mereka, Budhi dan Niken telah pergi jauh menurunibukit Girimanik.
Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuruni bukit itu dan agaknya Niken sengaja hendak menguji kepandaian Budhi maka iapun berlari seperti terbang cepatnya. Akan tetapi, Budhi dapat selalu mengimbangi kecepatan larinya sehingga diam-diam Niken merasa kagum juga. Jelas bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan Joko Kolomurti. Hatinya tertarik, kan tetapi pengalamannya dengan Joko masih menggores kalbunya, membuat ia tidak mudah percaya begitu saja kepada laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah. Mereka berdua yang berlari cepat itu sudah tiba di kaki bukit dan Niken berhenti berlari. Lehernya agak basah oleh keringat, akan tetapi ketika ia memandang kepada Budhi, ternyata pemuda ini sama sekali tidak berkerigat dan pernapasannya biasa saja, tidak seperti ia yang agak terengah.
Asmara Di Balik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Budhi, kenapa engkau mengikuti aku?"
Tanya Niken dengan suara mengandung kecurigaan. Setelah pengalamannya dengan Joko Kolomurti, ia tidak dapat percaya kepada Budhi begitu saja. Di todong pertanyaan yangtidak disangkanya itu, Budhi tertegun.
"Eh, kenapa? Aku... tidak mengikutimu, Niken."
Jawab Budhi agak gugup.
"Hemm, kalau tidak mengikuti mengapa engkau mendampingiku ketika aku lari meninggalkan Girimanik? Mau apa sebetulnya engkau ini? Katakan saja terus terang!"
Wajah Budhi menjadi agak kemerahan, akan tetapi hatinya merasa penasaran sekali.
"Niken, kau sangka aku ini mau apa? Kita sudah bekerja sama menetang perguruan sesat Durgomantra, setelah berhasil dan selesai kita turun bukit berdua. Apa salahnya itu? Agaknya engkau tidak percaya dan curiga kepadaku!"
"Setelah apa yang kualami di Durgomantra, aku tidak dapat mempercayai semua pria dan tidak akan terkecoh lagi oleh penampilan yang baik."
"Bagus! Memang seharusnya demikian, Niken. Andika seorang wanita muda yang melakukan perjalanan seorang diri. Kalau tidak berhati-hati menjaga diri, dapat dihadapi banyak bahaya. Memang sudah sepantasnya andika mencurigai dan tidak percaya kepadaku, karena kita baru saja saling jumpa dan berkenalan. Akan tetapi sungguh aku tidak bermaksud untuk mengikutimu. Memang perjalananku menuju ke selatan maka aku menuruni lereng bagian selatan ini."
Niken memandang tajam penuh selidik. Pemuda ini seorang yang digdaya, datang dari Gunung Kawi dan menuju ke selatan! Ke mana lagi tujuan perjalanan nya kalau bkan ke Lautan Kidul, apa lagi yang dicarinya kalau bukan keris pusaka Tilam Upih?
"Hemmm, engkau mencari Tilam Upih?"
Tanyanya dan matanya yang bening itu bersianar tajam menembus seperti hendak menjenguk isi hati dada Budhi. Budhi terkejut, akan tetapi wajahnya tidak menampakkan perubahan apapun. Pemuda ini memang sudah memiliki batin yang kuat sekali sehingga dia dapat mengendalikan perasaannya. Dia hanya tersenyum memandang wajah dara itu.
"Bagaimana engkau dapat mengetahuinya?"
"Karena engkau pernah menolongku, aku mau memberi tahu kepadamu, Budhi. Tidak perlu kau cari ke mana-mana. Tilam Upih sudah berada di tangan Adipati Surodiro di Nusa Kambangan dan kabarnya Surodiro hendak mengadakan sayembara. Siapa yang mampu mengalahkannya, dialah yang berhak memiliki Tilam Upih. Nah, engkau boleh mencari kesana dan selamat tinggal!"
Tanpa menanti jawaban Niken lalu meloncat jauh ke depan dan lari dengan kecepatan terbang. Budhi mengikuti bayangan dara itu dengan pandang matanya dan dia menghela napas panjang beberapa kali. Seorang dara yang bukan main, pikirnya.
Dia harus mengakui bahwa hatinya amat tertarik kepada Niken. Tertarik penuh kekaguman terhadap dara itu. Cantik jelita, gagah perkasa, berani dan baik budi, walaupun terkadang dapat bersikap galak seperti seekor harimau betina. Dia menghela napas beberapa kali lalu melanjutkan perjalanannya. Tilam Upih berada di Nusa Kambangan? Dia percaya bahwa Niken tidak berbohong, maka dipun menujukan langkahnya ke barat karena dia akan berkunjung ke Nusa Kambangan! Sepasang orang muda yang melangkah perlahan menyusup-nyusup hutan itu sungguh merupakan pasangan yang serasi sekali. Yang wanita seorang dara berusia kurang lebih tuju belas tahun, Bertubuh ramping padat berkulit putih kuning. Dari pakaiannya dapat diduga bahwa ia seorabf dara berdarah bangsawan atau setidaknya hartawan dengan pakaian sutera halus dan perhiasan emas menghias tubuhnya.
Wajahnya cantik manis dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup. Bibirnya yang merah basah itui kadang cemberut manja. Rambutnya hitam subur dan panjang sekali, dikelabang dan disanggul sederhana menggantung di tengkuk dan diikat kain sutera. Di pinggangnya terselip sebatang keris dan tangan kirinya memegang sebatang gendawa, tangan kanan memegang anak panah. Seorang dara yang cantik dan gagah sekali. Pemuda itupun mengagumkan. Seorang pemuda berusia dua puluh tahun, wajahnya tampan dan gagah perkasa seperti Raden Gatutkaca. Juga pemudaini menggunakan pakaian yang indah, tidak seperti pemuda dusun. Di pinggangnya tergantung sebatang golok dan tangannya juga memegang busur dan anak panah. Dari sikap dan senjata mereka dapat diduga bahwa kedua orang muda ini sedang berburu binatang hutan.
"Wulan, kenapa hari ini sepi sekali tidak ada binatang buruan...?"
"Ssttt...!"
Dara itu memberi isyarat agar pemuda itu diam dan ia sudah memasang anak panah pada busurnya, lalu berindap menuju ke kiri menyusup di antara semak belukar. Pemuda itu mengikuti dari belakang, lambat dan hati-hati agar kakinya tidak menimbulkan suara gaduh. Diapun melihat gerakan jauh di depan, agaknya ada seekor kijang yang sedang diintai dan diburu gadis itu, kemudian gadis itu melepas anak panah.
"Kena...! Wah, dia lari...!"
Gadis itu lalu meloncat dan lari mengejar. Pemuda itupun mengejar dan melihat gadis itu memasuki daerah hutan yang lebat dan gelap, dia berteriak dari belakang,
"Wulan! Jangan memasuki hutan itu! Berbahaya..."
Akan tetapi dara yang sudah melihat kijang buruannya berlari terhuyung itu tidak memperdulikan teriakan pemuda itu dan terus mengejar. Terpaksa pemuda itupun ikut pula mengejar dengan hati-hati dan waspada. Tiba-tiba dia melihat seekor ular besar bergantung kepada dahan sebatang pohon dengan kepala di bawah. Itulah sikap ular yang kelaparan dan menanti lewatnya calon mangsanya. Dan ular itu besar bukan main, sebesar pahanya!
"Wulan, berhenti...!!"
Teriak pemuda itu. Namun gadis itu yang seluruh perhatiannya tertuju kepada kijang yang sudah terluka, tidak tahu bahwa di atasnya ada bahaya mengencam dan ia terus berlari ke bawah pohon besar itu.
"Wulan, awas...! Ah, celaka...!"
Pemuda itu berteriak namun terlambat. Ular itu sudah menjatuhkan dirinya, tepat di atas gadis yang sedang berlari itu. Gadis itu terkejut bukan main, hendak meloncat, akan tetapi tubuhnya sudah terbelit ular.
Ia meronta, namun belitan itu amat kuat dan ia merasa dirinya tercekik, dadanya terhimpit sampai sukar bernapas. Ketika melihat kepala ular itu dekat dengan mukanya dengan lidah keluar, masuk, ia memandang dengan mata terbelalak dan merasa ngeri. Namun gadis itu ternyata memiliki ketabahan yang luar biasa. Busur di tangannya sudah terhimpit. Akan tetapi dengan pengerahan tenaganya, ia mampu menarik kedua lengannya sehingga lepas dari libatan dan kini ia mengguankan kedua tangannya yang terkepal untuk menghantam ke arah kepala ular! Agaknya pukulan kedua tangan gadis itu cukup keras dan menyakitkan. Ular itu menggerak-gerakkan kepalanya, agaknya merasa jerih juga kalau kena pukulan lagi dan moncongnya siap untuk menggigit. Sementaraitu, pemuda itu sudah melompat dekat dan dia sudah memegang goloknya dan berkilauan saking tajamnya.
"Wulan, tangkap lehernya! Cepat!"
Teriaknya. Wulan menyadari bahwa sekali ia terkena gigitan, akan sukar untuk dapat meloloskan diri, maka ia menerkam dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya yang mungil itu mencengkeram leher ular itu dengan kuatnya. Ular itu meronta dan lehernya yang sebesar betis itu terasa keras sekali,
Keras dan licin sehingga betapapun kuat gadis itu mencengkeramnya, namun tetap saja ia hampir tidak mampu bertahan dengan cengkeramannya. Pada saat itu, pemuda tadi sudah mendekat, tangan kirinya membantu gadis itu mencengkeram leher dan tangan kanan membacokkan goloknya ke arah kepala ular itu berulang kali. Darah bercucuran, ular mengegliat dan libatannya hampir meremukkan tulang-tulang iga gadis itu, akan tetapi setelah gadis itu, akan tetapi setelah gadis itu terkulai lemas dan pingsan. Libatan itu mengendur dan ular itupun mengeliat sekarat dengan kepala hancur. Pemuda itu cepat memondong tubuh gadis yang setengah pingsan itu keluar dari libatan tubuh ular, mambawanya ke bawah pohon menjauhi tempat itu dan merangkulnya. Perlahan dia mengguncang tubuh itu untuk menyadarkannya dan memanggil-manggil.
"Wulan..., Wulansari...! Sadarlah..., engkau tidak apa-apa, bukan?"
Dia merasa khawatir sekali. Akhirnya gadis itu mengeluh dan membuka matanya. Ketika melihat dirinya duduk di atas pangkuan pemuda itu dan tubuhnya dirangkul, ia membelalakkan mata dan meloncat berdiri.
"Kakang Wijaya! Kenapa engkau memangku dan memeluk diriku?"
Dalam suaranya terkandung teguran marah. Pemuda itu nampak gugup.
"Ah, aku... aku khawatir sekali melihat keadaanmu, Wulan. Aku berusaha menyadarkanmu dan aku..."
"Sudahlah! Lain kali aku minta agar engkau tidak melakukan kelancangan seperti itu!"
"Maafkan aku, Wulan."
"Sudahlah, lupakan saja. Mana ular tadi?"
Wulan melihat ular itu di bawah pohon sana, lalu menghampiri. Melihat ular yang perutnya sebesar pinggangnya itu dan pasti ular sebesar itu akan mampu menelan dirinya, ia bergidik.
"Mengerikan sekali!"
Katanya.
"Hutan gelap ini memang merupakan tempat yang berbahaya sekali, penuh binatang liar yang besar dan banyak pula ular berbisa, Wulan. Karena itu, sudahlahjangan kejar kijang yang terluka tadi dan mari kita keluar dari siani."
Kata Wijaya sambil mengembilkan busur dan anak panah gadis itu yang tadi terlepas. Wulansari tidak membantah lagi dan merekapun keluar dari hutan itu. Siapakah sepasang orang muda perkasa ini? Wulansari adalah puteri dan anak tunggal dari Adipati Surodiro yang menguasai Pulau Nusa Kambangan, Pulau itu memang memiliki banyak hutan liar.
Tidak jarang Wulansari melakukan perburuan binatang hutan ditemani Wijaya yng menjadi murid Ayahnya. Wijaya telah diambil murid oleh Adipati Surodiro sejak sang adipati belum menjadi penguasa di pulau itu. Ketika itu Adipati Surodiro masih beranama Koloyitmo, seorang datuk di daerah Laut Kidul. Dia mengambil Wijaya sebagai murid ketika anak itu baru berusia enam tahun, ditnggal mati Ayah bundanya. Anak yatim piatu itu boleh dibilang juga menjadi semacam anak angkatnya, juga murid karena dia mengajarkan semua ilmunya kepada Wijaya. Sang adipati menyayangi murid ini seperti puteranya sendiri. Hal ini adalah karena dia tidak mempunyai putera lain kecuali Wulansari. Akan tetapi setelah mereka dewasa, Adipati Surodiro mempunyai keinginan untuk mejodohkan muridnya itu dengan puterinya.
Wijaya merupakan seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, dan dia dapat menduga dari sikap pemuda itu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Wulansari. Akan tetapi diapun maklum sepenuhnya bahwa Wulansari agaknya tidak mencintai Wijaya, hanya menyayang sebagai seorang kakak seperguruan dan sepermainan. Karena itulah maka Adipati Surodiro masih sangsi dan ragu. Adipati Surodiro yang dulu bernama Koloyitmo adalah seorang bekasdatuk yangsakti mandraguna. Ketika belum lama dia mengangkat diri menjadi Adipati Nusa Kambangan setelah menundukkan semua kepala gerombolan di pulau itu, pada suatu hari dia menemukan keris pusaka Tilam Upih. Peristiwa penemuan itu sendiri amat luar biasa. Pada suatu hari, Adipati Surodiro yang mempunyai kesukaan mengail ikan besar di selat Nusakambangan, mengail di atas perahunya.
Dia sengaja mencari ikan besar, maka diapun mempergunakan umpangading yang msih segar dan besar. Umpannya itu disambar seekor ikan hiu yang besar. Terjadi pergulatan berjam-jam lamanya antara Adipati Surodiro yang memegang tangkai pancing dan ikan itu yang meronta-ronta dan menarik perahunya sampai jauh. Akan tetapi akhirnya adipati yang gagah ini berhasil membunuh ikan hiu itu dan membawanya pulang. Dia melihat keanehan pada ikan itu. Ada sesuatu yang mencorong menembus perutnya. Maka dia lalu membelah perut ikan itu dan dia menemukan sebilah keris di dalam perut ikan. Keris itu bukan lain adalah benda pusaka Tilam Upih. Dengan didapatkannya keris pusaka yangampuhnya menggiriskan itu Adipati Surodiro bagaikan harimau tumbuh sayap. Dia tidak terkalahkan dan kekuasaannya semakin meluas sampai kepesisir selatan.
Akan tetapi dia merahasiakan adanya pusaka itu padanya karena dia maklum bahwa pusaka itu milik raja-raja di kediri dan kalau terdengar raja Kediri bahwa Tilam Upih ada padanya, tentu dia akan ditekan untuk menyerahkannya. Bertahun-tahun rahasia itu terpendam, bahkan puterinya dan muridnya sendiripun tidak mengetahuinya. Ketika tersiar kabar tentang Ramalan Sang Prabu Jayabaya bahwa Tilam Upih akan muncul dari Lautan Kidul, Adipati Surodiro menjadi terkejut sekali. Apalagi dia mendengar dari para penyelidiknya bahwa telah banyak berdatangan orang-orang gagah yang hendak mencari keris pusaka Tilam Upih. Dia khawatir sekali kalau-kalau Pulau Nusakambangan menjadi ajang pertandingan karena perebutan pusaka itu dan karena mereka itu adalah orang-orang gagah perkasa dari segenap penjuru, dia khawatir kalau hal itu akan mengacaukan wilayahnya dan membahayakan kedudukannya.
Oleh karena itu dia lalu mengumumkan sebuah sayembara. Diumumkannya bahwa dialah yang telah menemukan keris pusaka Tilam Upih, dan dia hendak mengadakan sayembara, dimulai bulan depan bahwa barang siapa dapat mengalahkan dia dalam sebuah pertandingan adu kesaktian, pemenang itulah yang berhak mendapatkan Tilam Upih. Sebetulnya dengan mengadakan sayembara ini, Adipati Surodiro mempunyai dua tujuan. Pertama, untuk menjaga agar Nusa Kambangan tidak dijadikantempat perebutan pusaka itu sehingga melemahkan kedudukannya, juga agar dia tidak dimusuhi oleh Sang Prabu Jayabaya sebagai orang yang memiliki pusaka kerajaan Kediri itu. Tentu akan muncul pemuda-pemuda digdaya dalam sayembara itu, dan siapa tahu, di antara para pemuda itu ada yang akan menarik hati puterinya. Demikian keadaan Adipati Surodiro.
Pada hari itu, Wulansari dan Wijaya pergi berburu dan hampir saja gadis itu mengalami kecelakaan di makan ular besar. Menjelang senja, kedua oang muda itu baru kembali ke kadipaten, membawa dua ekor kelinci dan seekor kijang. Dua ekor kelinci itu dibawa oleh Wulansari, sedangkan bangkai kijang itu dipanggul Wijaya. Mereka sengaja melalui hutan di dekat pantai, karena walaupun dengan demikian mereka mengambil jalan memutar yang agak lebih jauh, namun perjalanan melalui hutan itu lebih mudah, tidak naik turun seperti kalau melalui hutan di tengah pulau. Pula, pemandangnnya amat indah kalu mengambil jalan melalui hutan di pantai itu. Taiba-tiba Wulansari yang berjalan di depan berhenti. Wijaya yang berjalan di belakangnya juga berhenti dan pemuda ini merasa heran. Tidak biasanya adik seperguruannya itu mudah merasa lelah dan perlu istirahat.
Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo