Ceritasilat Novel Online

Pecut Sakti Bajrakirana 10


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Resi Limut Manik sebagai ketua Jatikusumo dengan segala kesabarannya berusaha untuk memberi nasihat dan peringatan kepada kakak seperguruannya yang menyeleweng itu. namun semua nasihatnya tidak diturut, bahkan perbuatan jahat Resi Ekomolo semakin nekat dan liar. Ketika Resi Ekomolo memperkosa beberapa orang murid wanita Jatikusumo dan membunuh beberapa orang murid pria, kesabaran Resi Limut Manik sudah di batas kemampuannya. Siapapun yang menjadi penghalang bagi Resi Ekomolo tentu dibunuhnya dan Resi Limut Manik tahu bahwa kalau hal itu dibiarkannya saja, maka akan semakin banyak jatuh korban yang tidak berdosa. Yang paling akhir dari kejahatan Resi Ekomolo dan yang membuat Resi Limut Manik tidak dapat bersabar lagi adalah ketika Resi Ekomolo berusaha menggagahi isteri Resi Limut Manik namun gagal karena wanita itu lebih dulu membunuh diri dengan sebatang keris. Wanita itu memilih mati daripada tubuhnya dijamah Resi Ekomolo.

   "Wah, jahat sekali........!! seru Rahmini ketika mendengar penuturan gurunya itu.

   

   "Sungguh kejam!"

   Kata pula Cangak Awu.

   

   Maheso Seto diam saja dan Priyadi yang mendengarkan ini membayangkan keadaan Resi Ekomolo sekarang, yang sudah menjadi gurunya.

   

   "Memang jahat dan kejam sekali Resi Ekomolo seolah telah merubah menjadi iblis karena merasa tidak ada yang berani menghalangi perbuatannya. Bapa Guru Resi Limut Manik yang kematian isterinya itu lalu bertindak, menegur kakak seperguruannya itu akan tetapi Uwa Resi Ekomolo malah menantangnya. Terjadilah perkelahian yang dahsyat. Keduanya sama sakti mandraguna, bahkan Bapa Guru Resi Limut Manik nyaris kalah karena saktinya Uwa Resi Ekomolo. Mereka bertanding sampai setengah hari dan akhirnya Bapa Guru terdesak. Karena dirinya terancam bahaya maut Bapa Guru lalu mengeluarkan Aji Bajrakirana, menggunakan pecut sakti itu. Dengan aji kesaktian yang amat hebat ini, barulah Uwa Resi Ekomolo dapat dikalahkan. Kedua kakinya terkena lecutan pecut sakti dan menjadi lumpuh. Bapa Guru Resi Limut Manik masih tidak tega untuk membunuhnya, hanya menyingkirkannya dari dunia ramai agar dia tidak membuat ulah yang jahat lagi karena biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, namun dia tetap saja memiliki kesaktian yang tidak sembarang orang mampu menandinginya. Nah, begitulah ceritanya. Karena itu, maka untuk berjaga-jaga, Bapa Guru Limut Manik tidak menurunkan kedua ilmu yang merupakan pusaka itu kepada para muridnya. Bahkan aku sendiri tidak diajari kedua ilmu itu."

   

   Setelah Bhagawan Sindusakti selesai bercerita, suasana menjadi hening sekali. Empat orang murid itu terkesan sekali oleh cerita itu. Tak disangkanya bahwa di perguruan Jatikusumo ada riwayat yang demikian mencemarkan nama besar perguruan mereka.

   

   "Dan sekarang, di mana adanya Uwa Eyang Guru yang bernama Resi Ekomolo itu, Bapa Guru?"

   Tanya Priyadi dengan suara yang wajar.

   

   Sampai lama Bhagawan Sindusakti tidak menjawab, melainkan menghela napas panjang. Akhirnya dia berkata dengan suara datar.

   "Tidak ada yang tahu di mana dia berada, sudah meninggal dunia ataukah masih hidup. Sudahlah, kita tidak perlu memikirkan dia yang sudah menerima hukumannya dan mudah-mudahan cerita ini dapat menjadi contoh bagi kalian agar jangan sampai melakukan tindakan yang menyimpang dari kebenaran dan kebaikan."

   

   Diam-diam Priyadi mencatat bahwa orang lumpuh yang kini menjadi gurunya adalah seorang yang amat jahat, licik dan juga kejam. Dia harus berhati-hati menghadapi orang Seperti itu, walaupun orang itu telah menjadi gurunya dan kini sedang menurunkan ilmu-ilmu simpanannya kepadanya.

   

   Pada saat itu terdengar suara orang-orang bicara di depan pondok dan muncullah seorang murid Jatikusumo melapor kepada Bhagawan Sindusakti.

   "Paman Guru Bhagawan Jaladara datang berkunjung!"

   

   Mendengar laporan ini, Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk dan berkata,

   

   "Kebetulan sekali dia, datang! Silakan masuk!"

   

   Murid Jatikusumo itu lalu keluar dan tak lama kemudian Bhagawan Jaladara muncul. Melihat betapa dia disambut pandang mata yang tajam menyelidik dan alis berkerut dari kakak seperguruan dan para murid keponakannya, Bhagawan Jaladara hanya tersenyum lebar. Mukanya yang hitam itu tidak membayangkan sesuatu dan tubuhnya yang tinggi besar melangkah dengan tegapnya ke dalam ruangan itu.

   

   "Kakang Sindusakti, aku menguapkan salam!"

   Kata Bhagawan Jaladara dengan suara lantang dan ramah.

   

   "Terima kasih, Adi Jaladara. Kebetulan sekali engkau datang. Kami memang sedang membicarakan tentang engkau dan perbuatanmu yang membuat aku sungguh merasa heran dan tidak mengerti."

   

   "Eh? Perbuatanku yang manakah yang membuat engkau merasa heran dan tidak mengerti, Kakang Sindusakti?"

   Tanya Bhagawan Jaladara dengan mata terbelalak dan pandang mata penuh pertanyaan.

   

   "Mengapa engkau begitu tega hati mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik?"

   Tanya Bhagawan Sindusakti dengan sinar mata tajam penuh selidik.

   

   Bhagawan Jaladara terlonjak dari tempat duduknya.

   "Hei! Siapa yang mengatakah hal itu?"

   Teriaknya penasaran.

   

   "Tiga orang muridku ini yang menceritakan kepadaku, yaitu Maheso Seto, Rahmini, dan Cangak Awu."

   

   Bhagawan Jaladara memandang kepada mereka bertiga dan berseru kepada Maheso Seto.

   

   "Maheso Seto. aku selama ini mengenalmu sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Kenapa sekarang engkau menceritakan kebohongan di depan gurumu? Apakah engkau menyaksikan sendiri aku membunuh Bapa Guru Limut Manik?"

   

   "Sesungguhnya kami bertiga tidak melihatnya sendiri, Paman Bhagawan Jaladara. Kami hanya mendengar keterangan dari Sutejo dan diajeng Puteri Wandansari bahwa paman dan tiga orang lain telah mengeroyok Eyang Resi sehingga Eyang Resi terluka dan meninggal dunia."

   

   "Itu fitnah besar! Kakang Sindusakti, sekarang aku mengerti para muridmu hanya mendengar fitnah itu dari Sutejo dan Wandansari. Hal ini tidak aneh karena sebetulnya yang membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik, bukan lain adalah Sutejo dan Wandansari sendiri!"

   

   Ucapan ini tentu saja membuat Bhagawan Sindusakti dan empat orang muridnya menjadi terkejut bukan main. Kalau mendengar Sutejo yang membunuh, hal itu tidaklah amat mengherankan karena pemuda itu bukan langsung murid Jatikusumo. Akan tetapi Puteri Wandansari? Membunuh eyang gurunya sendiri?

   

   "Adi Jaladara! Bagaimana engkau bisa menuduh Wandansari yang melakukan pembunuhan terhadap Bapa Guru? Apa buktinya? Jangan sembarangan menuduh tanpa bukti!"

   Kata Bhagawan Sindusakti yang tentu saja membela muridnya.

   

   "Tenanglah, kakang Sindusakti. Aku bukan hanya sembarangan menuduh tanpa alasan yang kuat. Dengarkan ceritaku. Engkau tentu sudah mendengar betapa Mataram bersikap sewenang-wenang terhadap para adipati dan bupati di daerah timur, di antaranya Wirosobo. Karena itu Wirosobo berusaha untuk membebaskan diri dari cengkeraman Matarama. Sebagai kawula Wirosobo tentu saja aku membela Wirosobo. Aku menghadap Bapa Guru dan engkaupun tahu bahwa Bapa Guru Resi Limut Manik berasal dari daerah Wirosobo, sehingga dia menjadi kawula Wirosobo pula. Maka sudah sepatutnya kalau Bapa Guru juga membela dan berpihak kepada Wirosobo. Beliau menyatakan ini kepadaku, bahkan Bapa Guru menyerahkan Pecut Sakti Bajrakirana untuk disampaikan kepada Kakang Sindusakti sebagai ketua Jatikusumo dan untuk dipergunakan berjuang membela Wirosobo dari penjajah Mataram!"

   Kata-kata Jaladara ini diucapkan penuh semangat.

   

   "Akan tetapi mana pusaka itu? Kenapa engkau tidak jug"

   Menyerahkannya kepadaku?"

   Tuntut Bhagawan Sindusakti.

   

   "Aku memang tidak berani membawanya, Kakang Sindusakti. Aku takut kalau-kalau Sutejo dan Wandansari akan menghadangku dan merampas Pecut Bajrakirana itu. Aku masih menyimpannya di rumahku, akan tetapi sudah pasti akan kuserahkan kepadamu. Sekarang kulanjutkan ceritaku. Ketika untuk kedua kalinya aku datang berkunjung ke padepokan Bapa Guru, aku melihat kedua cantrik Penggik dan Pungguk sudah menggeletak tewas di depan pondok, dan Bapa Guru juga telah tewas di dalam pondok. Dan di situ terdapat Sutejo dan Wandansari! Tidak salah lagi, kedua orang pengkhianat itu yang telah membunuh eyang guru mereka sendiri!"

   

   "Akan tetapi apa sebabnya? Apa alasannya untuk memperkuat tuduhanmu itu?"

   

   "Alasannya mudah dan wajar saja, Kakang Sindusakti. Tentu saja Wandansari membela kerajaan ayahnya dan agaknya Sutejo juga membela Mataram. Keduanya membela Mataram, maka mereka tentu saja memusuhi Bapa Guru yang membela Wirosobo! Itulah sebabnya mengapa mereka membunuh Bapa Guru."

   

   Bhagawan Sindusakti menggeleng-geleng kepala, mengerutkan alis, hatinya masih bimbang ragu. Alasan itu belum kuat. Bagaimanapun juga, Mataram belum berperang secara terbuka melawan Wirosobo, mengapa mereka harus membunuh Bapa Guru yang berpihak kepada Wirosobo?"

   

   "Maaf, Bapa Guru. Saya kira saya menemukan alasan yang amat kuat untuk itu"

   Kata Priyadi tiba-tiba kepada gurunya. Semua orang memandang kepada pemuda ini.

   

   "Alasan apa itu, Priyadi?"

   

   "Bapa Guru, kalau benar Sutejo dan diajeng Wandansari yang membunuh Eyang Resi Limut Manik,

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   tentu alasannya untuk merampas dua pusaka Jatikusumo itu. Bukankah buktinya Pedang Pusaka Kartika Sakti berikut kitabnya sudah berada di tangan diajeng Wandansari, sedangkan kitab Pecut Bajrakirana berada di tangan Sutejo?"

   

   "Tepat sekali perkiraan itu dan aku yakin memang itu juga merupakan alasan yang amat kuat selain sikap permusuhan mereka terhadap Bapa Guru karena Bapa Guru berpihak kepada Wirosobo. Kakang Sindusakti, kita harus merampas kedua kitab pusaka dan Pedang Kartika Sakti itu! Adapun Pecut Sakti Bajrakirana yang sudah berada di tanganku, akan kuserahkan kepadamu dengan pengawalan ketat agar tidak ada yang merampasnya di tengah perjalanan. Akan tetapi karena aku mengemban perintah mendiang Bapa Guru bahwa Pecut Sakti Bajrakirana itu harus dipergunakan untuk membela Wirosobo maka aku minta keyakinan dari Kakang Sindusakti bahwa kakang akan bersedia membantu Wirosobo dan menentang Mataram."

   

   Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk. Mendengar alasan yang dikemukakan Priyadi itu, diapun mulai percaya bahwa Sutejo dan Wandansari yang telah membunuh Resi Limut Manik untuk menguasai dua kitab pusaka itu.

   

   "Baiklah, Adi Jaladara. Aku berjanji akan membantu Wirosobo karena mendiang Bapa Guru telah memerintahkan demikian. Cepat bawa ke sini Pecut Sakti Bajrakirana dan aku akan mengerahkan para muridku untuk merampas kembali pusaka Kartika Sakti dan dua kitab pelajaran itu dari tangan para pengkhianat itu."

   

   Setelah menerima jamuan makan dari kakak seperguruannya, Bhagawan Jaladara lalu berpamit dan meninggalkan perkampungan Jatikusumo di pantai Laut Kidul daerah Pacitan itu.

   

   Bhagawan Sindusakti sudah termakan hasutan Bhagawan Jaladara. Dia mulai percaya akan dugaan Priyadi bahwa yang membunuh Resi Limut Manik adalah Sutejo dan Wandansari, karena agaknya tidak mungkin kalau gurunya itu mewariskan doa pusaka itu kepada cucu muridnya Kalau hendak diwariskan dua aji yang dirahasiakan itu, tentu akan diwariskan kepadanya, bukan kepada Sutejo atau Wandansari. Dia lalu berunding lagi dengan empat orang muridnya.

   

   "Sekarang kalian harus berbagi tugas. Maheso Seto dan Rahmini, kalian kuserahi tugas untuk mengunjungi Puteri Wandansari dan bujuklah ia dengan halus, katakan bahwa aku yang minta agar ia suka menyerahkan Pedang Kartika Sakti dan kitab pelajarannya. Ingatkan ia bahwa ia adalah murid Jatikusumo dan bahwa pusaka itu milik perguruan Jatikusumo, maka baru dikembalikan kepadaku. Dan kalian berdua, Priyadi dan Cangak Awu, kalian kuserahi tugas untuk mencari Sutejo. Kalau dapat, kalian juga bujuk dia agar menyerahkan kitab pelajaran ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku. Kalau menolak, kalian boleh mempergunakan kekerasan untuk menundukkan dia dan merampas kitab itu."

   

   Empat orang murid itu menyatakan kesanggupan mereka dan setelah berkemas membawa bekal perjalanan yang mungkjn memakan waktu lama dan jauh itu, mereka lalu pergi meninggalkan perkampungan Jatikusumo, Maheso Seto dan Rahmini mengambil jalan mereka sendiri karena tujuan mereka sudah pasti, yaitu kerajaan Mataram mengunjungi Puteri Wandansari yang tentu berada di istana Sultan Agung di Mataram.

   

   Priyadi dan Cangak Awu tidak mempunyai tujuan tertentu karena mereka tidak tahu di mana adanya Sutejo. Mereka harus mencarinya.

   

   "Adi Cangak Awu,"

   Kata Priyadi setelah mereka keluar dari perkampungan Jatikusumo.

   "Karena dia berpihak kepada Mataram, maka aku yakin bahwa Sutejo tentu berada di daerah Mataram. Kita mencari dia ke sana, Akan tetapi karena Mataram itu luas. maka kurasa paling baik kalau kita berpencar. Dengan berpencar kita mendapat lebih banyak kemungkinan bertemu dengan Sutejo. Kurasa murid Paman Bhagawan Sidik Paningal itu bukan merupakan lawan yang terlalu kuat untuk kita, Adi Cangak Awu. Kalau engkau atau aku bertemu dengan dia, kita minta baik-baik kitab Bajrakirana, kalau dia tidak mau memberikan jangan takut, serang saja dan rampas kitabnya dari tangannya."

   

   Cangak Awu tidak sependapat dengan kakak seperguruannya. Dia tidak berani memandang ringan kepada Sutejo. Akan tetapi karena tidak ingin dianggap takut oleh Priyadi, diapun setuju saja.

   

   Demikianlah, keduanya berpisah. Sama sekali Cangak Awu tidak pernah menduga bahwa Priyadi sama sekali tidak pergi ke Mataram, melainkan diam-diam dia menuju ke balik bukit di belakang perkampungan Jatikusumo, menemui Resi Ekomolo. Karena dia tahu bahwa Bhagawan Sindusakti tentu mengira dia sedang melakukan perjalanan mencari Sutejo, maka kini dia dapat siang malam berada di guha bersama Resi Ekomolo, berlatih dengan rajin. Dia bercita-cita besar, tidak saja menjadi ketua Jatikusumo, akan tetapi juga kalau ilmu-ilmunya sudah sempurna, dia akan merampas dua buah pusaka Jatikusumo bersama kitab-kitabnya. Dua pusaka berikut ajinya itu yang ditakuti Resi Ekomolo, maka dia harus menguasai kedua pusaka itu agar benar-benar menjadi jagaan nomor satu di seluruh nusantara.

   "Ha-ha-ha-ha! Bagas sekali, Priyadi! Puas sekali hatiku sekarang. Engkaulah yang akan mengangkat kembali nama besar Resi Ekomolo!"

   Kakek lumpuh itu duduk di atas batu dan bertepuk tangan saking gembiranya setelah Priyadi selesai bersilat seperti yang diajarkan selama beberapa bulan ini. Gerakan Priyadi memang tangkas bukan main karena dia sudah menguasai sepenuhnya Aji Tunggang Maruto.

   

   "Coba kerahkan Aji Margopati pada pohon itu, Priyadi. Aku ingin melibat kekuatanmu."

   Kata kakek yang kegirangan itu.

   

   Priyadi lalu melakukan gerakan menyembah ke angkasa, kemudian kedua tangan yang menyembah itu turun dan dari samping kedua tangan terbuka itu mendorong ke depan, mulutnya mengeluarkan teriakan melengking.

   

   "Hyaaaaehhhhh ....... Braaakkkk!"

   Pohon itu tumbang disambar Aji Margopati yang amat dahsyat itu. Kembali Resi Ekomolo bertepuk tangan memuji.

   

   "Bagus! Berlatih tekun sedikit lagi engkau sudah akan mampu mengimbangi kekuatanku, Priyadi. Aku yakin bahwa Aji Pengasihan Mimi Mintuno dan Aji Pengirepan Begonondo juga sudah kau kuasai dengan baik. Sekarang aku ingin menguji Aji Jerit Nogo yang kau kuasai. apakah sudah cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir yang kuat. Nah, bersiaplah!"

   

   Priyadi mempersiapkan diri, diam-diam membaca mantra dan memandang kepada gurunya dengan sinar mata mencorong. Kakek itu mengembangkan kedua lengannya, lalu dengan kedua telapak tangan menghadap Priyadi dia membentak.

   "Priyadi, lihat, aku adalah Sang Bathara Kolo, berlututlah engkau!"

   

   Priyadi terbelalak karena tiba-tiba saja di atas batu itu bukan gurunya yang duduk dengan kaki lumpuh, melainkan seorang raksasa yang besar sekali sedang berdiri dan bersikap hendak menyerangnya. Ketika terdengar suara "berlututlah"

   
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tadi, tiba-tiba saja kedua lututnya menjadi lemas seperti tidak bertulang dan dengan sendirinya kedua lutut itu tertekuk untuk berlutut. Pada saat itulah dia teringat akan Aji Jerit Nogo yang dikuasainya dan yang tadi mantramnya sudah dia baca. Maka dia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba dia mengeluarkan pekik yang menyeramkan.

   

   "Aaaaiiiiiigggghhhh!!"

   Pekik itu menggetarkan seluruh bukit dan tiba-tiba "raksasa"

   Di depannya telah berubah lagi menjadi Resi Ekomolo dan kedua kakinya yang tadinya lemas itu telah pulih kembali. Hal ini berarti bahwa ajinya Jerit Nogo telah berhasil memunahkan sihir yang dikerahkan Resi Ekomolo tadi.

   

   "Ha-ha ha-ha, bagus, bagus sekali! Engkau sudah dapat menolak dan memunahkan sihirku berarti Aji Jerit Nogo yang kau kuasai sudah cukup sempurna. Nah, sekaranglah tiba saatnya untuk engkau menguasai perguruan Jatikusumo. Hayo, Priyadi, hayo kita ke perkampungan Jatikusumo. Dengan bantuanmu, aku akan merampas kedudukan ketua dan kelak engkau yang akan menjadi penggantiku."

   

   "Tapi, eyang......"

   Priyadi hendak menyatakan keberatan hatinya karena kehendak gurunya itu tidak sesuai dengan rencananya. Dia memang bermaksud menjadi ketua Jatikusumo, akan tetapi hal itu baru akan dilakukan setelah Pecut Sakti Bajrakirana berada di tangannya, berikut Pedang Kartika Sakti. Untuk mendapatkan dua pusaka itu, biarlah saudara-saudara seperguruannya yang berusaha mendapatkannya. Setelah semua pusaka berada di perguruan Jatikusumo, barulah dia akan merebut kedudukan ketua. Sementara itu dia akan mematangkan dan menyempurnakan dulu ilmu-ilmu yang baru dipelajarinya dari Resi Ekomolo. Selain itu, dari penuturan Bhagawan Sindusakti dia dapat mengambil kesimpulan bahwa Resi Ekomolo adalah seorang yang amat jahat, licik dan kejam. Kalau kakek itu bersikap baik kepadanya, hal itu karena ada pamrihnya. Kalau dia sudah tidak dibutuhkan lagi, sangat boleh jadi kakek itu akan mendepaknya atau bahkan membunuhnya. Sukar ditebak apa yang berada dalam pikiran yang sudah tidak waras itu. Dan kakek itulah kini satu-satunya orang yang mungkin memiliki kemampuan untuk menandinginya, karena itu patut dilenyapkan agar kelak tidak menjadi penghalang baginya!

   

   "Tidak ada tapi, Priyadi. Mari kita berangkat. Kalau Sindusakti menolak dan banyak ribut, habisi saja dia!"

   Kata Resi Ekomolo sambil melompat turun dari atas batu.

   "Hayo tunjukkan jalannya, aku sudah lupa lagi jalan menuju ke perkampungan Jatikusumo!"

   

   "Baik, marilah, eyang!"

   Akhirnya Priyadi tidak membantah lagi, bahkan ada kemantapan dalam suaranya.

   

   "Mereka berdua lalu meninggalkan guha itu menuju ke puncak. Sekali ini biarpun Resi Ekomolo mengerahkan kekuatannya untuk bergerak cepat dengan cara melompat-lompat seperti seekor katak, Priyadi yang sudah memiliki tenaga sakti yang kuat sekali, menggunakan Aji Tunggang Maruto, mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakek itu.

   Tak lama kemudian mereka berdua sudah tiba di dekat sumur tua yang disebut neraka oleh Resi Ekomolo, tempat di mana dia dipenjara sampai tiga puluh tahun lebih lamanya!

   "Nanti dulu, eyang. Saya ingin menjenguk lagi sumur yang menjadi tempat tinggal eyang selama puluhan tahun itu."

   Kata Priyadi dan dia menghampiri sumur lalu menjenguk ke dalam.

   

   Resi Ekomolo juga tidak dapat menahan keinginannya untuk menjenguk sekali lagi tempat itu, Dengan beberapa lompatan dia sudah tiba di tepi sumur dan menjenguk ke dalamnya. Pada saat itu, tiba-tiba saja Priyadi menggunakan Aji Margapati untuk memukul punggungnya dari belakang! Bukan main kagetnya Resi Ekomolo. Tidak ada kesempatan baginya untuk mengelak karena datangnya pukulan itu demikian mendadak dan tidak terduga-duga. Satu-satunya jalan baginya untuk melindungi dirinya hanyalah dengan menggerakkan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan dengan Aji Margapati yang dahsyat itu.

   

   "Wuuuuuutttt.... desss......!!"

   Hebat sekali pertemuan antara kedua tenaga itu sehingga tubuh Priyadi sampai terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Akan tetapi tubuh kakek itupun terpental dan tanpa dapat dicegah lagi dia terjatuh ke dalam sumur tua! Terdengar jerit panjang dari dalam sumur. Priyadi mengambil pernapasan untuk memulihkan getaran dalam dadanya, lalu dia melompat mendekati sumur. Lapat-lapat dia mendengar suara Resi Ekomolo yang lemah dan lirih, namun mengandung kemarahan dan kebencian yang teramat mendalam.

   

   "Priyadi...... jahanam keparat...... terkutuk engkau....... terkutuk! Matimu lebih mengerikan daripada matiku.......!!"

   

   Priyadi tertawa senang. Dia sudah terbebas dari kakek yang amat berbahaya itu. Sama sekali tidak terdapat penyesalan di dalam hatinya akan apa yang telah diperbuatnya terhadap kakek itu.

   

   Demikianlah perbuatan manusia kalau sudah diperhamba nafsunya sendiri. Segala hal yang dilakukan manusia budak nafsu adalah berdasarkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Demikian hebat kekuasaan nafsu yang telah menguasai diri manusia sehingga nafsu yang sudah mencengkeram hati akal pikiran itu membuat hati akal pikiran bahkan menjadi pembela dari pada perbuatan yang didorong nafsu. Hati akal pikiran membenarkan semua perbuatan itu dengan segala macam alasannya yang dicari-cari. Priyadi tidak merasa berdosa, tidak merasa bersalah walaupun dia telah membalas budi Resi Ekomolo dengan pembunuhan. Dalam hati akal pikirannya hanya ada alasan yang membenarkan tindakannya itu. Dia menganggap kakek itu jahat dan kejam, maka berbahaya sekali bagi dirinya, bahkan menjadi penghalang dari semua cita-citanya, karena itu harus dilenyapkan! Dengan demikian, dia akan tetap dapat menyimpan rahasia bahwa kini kepandaiannya telah meningkat sedemikian tingginya sehingga tidak akan ada orang di Jatikusuma yang akan mampu menandinginya. Dia akan menguasai Jatikusumo berikut pusaka-pusaka dan ajiannya.

   Dengan tenang saja bagaikan tidak pernah terjadi sesuatu, Priyadi melenggang, menuju ke perkampungan Jatikusumo yang telah ditinggalkan selama kurang lebih dua bulan itu. Ketika dia memasuki perkampungan dia mendengar dari para murid di situ bahwa kedua kakak seperguruannya, Maheso Seto dan Rahmini, telah kembali. Demikian pula adik seperguruannya. Cangak Awu sudah tiba kembali. Dengan sikap tenang dan biasa saja dia lalu menghadap Bhagawan Sindusakti dan tiga orang murid yang lain juga sedang menghadap guru mereka itu.

   Setelah menerima sembah dari Priyadi, Bhagawan Sindusakti berkata kepada Priyadi,

   "Nah, ini Priyadi sudah pulang. Bagaimana hasilmu mencari Sutejo?"

   Priyadi menoleh kepada Cangak Awu dan berkata.

   "Maaf, Bapa Guru. Setelah berpisah dari Adi Cangak Awu untuk berpencar mencari Sutejo, Saya telah melakukan perjalanan jauh mencari-cari, akan tetapi tidak menemukan jejak Sutejo, juga tidak dapat bertemu kembali dengan Adi Cangak Awu. Karena itu, saya lalu kembali saja untuk melapor kepada Bapa Guru dan ternyata Adi Cangak Awu telah berada di sini."

   Cangak Awu berkata kepada Priyadi.

   "Ah, kakang Priyadi. Kalau saja kita tidak berpencar, tentu kita berdua sudah dapat menundukkan Sutejo dan mungkin sekali sudah dapat merampas Kitab Bajrakirana yang berada padanya."

   "Ah, benarkah, Adi Cangak Awu? Engkau sudah bertemu dengan dia?"

   Tanya Priyadi.

   "Cangak Awu, ceritakanlah kembali pengalamanmu agar Priyadi mengetahuinya."

   Kata Bhagawan Sindusakti.

   Cangak Awu lalu bercerita, Cangak Awu melakukan perjalanan seorang diri keluar masuk kota dan dusun, naik turun gunung dan keluar masuk hutan. Pemuda perkasa yang bertubuh tinggi besas ini menuju ke daerah Mataram. Di sepanjang perjalanan diapun bertanya-tanya, barangkali ada orang yang pernah melihat atau mengenal Sutejo yang dicarinya. Namun semua usahanya sia-sia belaka.

   telah sebulan lebih dia merantau tanpa hasil. Pada suatu pagi, karena perutnya terasa lapar, ketika melihat sebuah warung nasi di dalam sebuah dusun yang cukup besar dan ramai, diapun masuk ke dalam warung nasi itu, dan memesan nasi pece! dan air minum. Warung itu telah penuh tamu yang duduk berjajar di bangku panjang dan mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya.

   "Memang hebat sekali pemuda, itu. Dengan satu tangan saja dia mampu menahan kuda yang sedang kabur."

   Kata seorang yang bertubuh, kurus.

   "Kalau tidak ada dia, tentu putera Ki Demang itu dapat celaka!"

   Kata yang lain, yang matanya lebar.

   "Hebatnya, dia tidak mau menerima hadiah dari Ki Demang!"

   Kata yang lain lagi.

   "Ya, padahal melihat pakaiannya, dia bukanlah seorang pemuda yang kaya, agaknya seorang pemuda petani biasa saja."

   "Akan tetapi jelas bukan orang daerah ini karena di antara kita tidak ada yang mengenalnya."

   "Katanya dia mengaku namanya kepada Ki Demang. Betulkah? Siapa nama pemuda itu?"

   Tanya seseorang yang agaknya tidak menyaksikan sendiri peristiwa itu.

   "Namanya Sutejo."

   Hampir saja nasi yang tertelan Cangak Awu membuatnya tersedak ketika dia mendengar kalimat, terakhir ini. Sutejo? Dia segera menoleh ke arah orang yang menyebutkan nama itu dan bertanya.

   "Ki Sanak, di manakah terjadinya peristiwa itu?"

   Karena yang bertanya seorang pemuda tinggi besar yang asing bagi mereka, orang itu menjawab dengan gembira. Karena dia menyaksikan peristiwa itu, maka dia merasa bangga untuk bercerita.

   "Terjadi baru saja di luar dusun ini. Putera Ki Demang Gedangan yang usianya baru lima tahun, ketika menunggang kudanya yang besar, tiba-tiba dilarikan kuda itu yang membedal entah mengapa. Kami semua merasa ngeri dan tidak dapat berbuat sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba seorang pemuda meloncat dari samping, menyambar kendali kuda dan dengan sentakan tangan kirinya yang kuat kuda itu dipaksa berhenti dan putera Ki Demang selamat."

   "Dan penolong itu bernama Sutejo?"

   "Demikianlah menurut pengakuannya ketika dia ditanya Ki Demang. Dia tidak mau menerima hadiah apapun."

   "Bagaimana rupa dan perawakannya?"

   Tanya pula Cangak Awu.

   "Dia masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun usianya, wajahnya tampan kulitnya kuning dan perawakannya sedang dan tegap."

   Jawab pencerita itu.

   Cukuplah sudah bagi Cangak Awu. Dia sudah pernah bertemu dan melihat bagaimana rupa dan perawakan Sutejo dan gambaran itu cocok benar dengan apa yang diceritakan orang itu.

   "Ke mana sekarang Sutejo itu pergi?"

   Tanyanya lagi dengan suara sambil lalu seolah tidak ada maksud lain dalam pertanyaannya kecuali tertarik dan ingin tahu.

   "Begitu Ki Demang dan orang-orang datang mengerumuninya, orang itu langsung pergi meninggalkan tempat itu menuju ke barat."

   Cangak Awu lalu membayar harga nasi dan minuman, kemudian keluar dari warung itu. Dengan langkah lebar dan cepat dia lalu Keluar dari dalam dusun dan setelah berada di luar dusun yang sunyi, dia lalu mengerahkan Aji Harina Legawa dan berlari cepat seperti terbang menuju ke barat untuk mengejar orang yang bernama Sutejo seperti diceritakan orang dalam warung nasi tadi.

   Setelah dia tiba di luar sebuah hutan, di atas jalan yang sunyi sepi itu di depan dia melihat seorang pemuda sedang berjalan dengan tenang. Melihat ini, hatinya merasa girang bukan main dan dia mempercepat larinya sehingga sebentar saja dia sudah dapat menyusul pemuda itu. Dia mendahuluinya, menengok dan segera mengenal Sutejo yang pernah dilihatnya ketika dia dan dua orang kakak seperguruannya berkunjung ke padepokan eyang gurunya Resi Limut Manik. Dia lalu berhenti dan menghadang.

   Sutejo tadinya merasa heran ada seorang laki-laki muda tinggi besar menghadang di tengah perjalanannya. Akan tetapi segera dia mengenal pemuda tinggi besar itu. Dia mengenal Cangak Awu yang mendatangkan kesan baik dalam hatinya karena pemuda raksasa itulah yang dulu mencegah Maheso Seto dan Rahmini yang hendak menyerang dia dan Puteri Wandansari.

   "Adi Sutejo! Engkau masih mengenalku?"

   Tanya Cangak Awu dengan suaranya yang lantang.

   Sutejo tersenyum ramah. Dia membungkuk untuk menghormati pemuda tinggi besar itu dan berkata lembut.

   "Tentu saja aku masih mengenalmu, Kakang Cangak Awu. Sungguh kebetulan sekali kita dapat saling bertemu di sini."

   "Bukan kebetulan, Adi Sutejo. Aku memang sengaja mengejarmu. Di dusun belakang sana aku mendengar tentang engkau yang menyelamatkan putera demang. Untung engkau menyebutkan namamu sehingga mereka tahu bahwa yang menolong putera demang adalah seorang pemuda bernama Sutejo. Karena aku memang sedang mencarimu, maka mendengar cerita penduduk dusun itu aku segera mengejar dan menyusulmu."

   "Kakang Cangak Awu, Mengapa engkau mencari aku? Ada kepentingan apakah, kakang? Apa yang dapat kubantu untukmu?"

   "Adi Sutejo. Engkau seorang yang berwatak satria, hal ini terbukti ketika engkau menolong dan menyelamatkan putera demang tanpa mau menerima hadiah. Aku peryaca bahwa engkau seorang yang berbudi baik. Karena itu, engkaupun tentu akan tunduk kepada perintah para pinisepuh. Aku mencarimu karena diutus oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti. Beliau sebagai ketua Jatikusumo memerintahkan aku untuk mencarimu."

   "Ada maksud apakah Paman Bhagawan Sindusakti mencariku, kakang?"

   "Bapa Guru Bhagawan Sindusakti minta agar engkau suka menyerahkan kitab Bajrakirana kepadaku untuk dihaturkan kepadanya."

   "Akan tetapi....."

   "Harap jangan membantah dulu, Adi Sutejo dan dengarkan kata-kataku. Ketahuilah bahwa Pecut Sakti Bajrakirana dan kitab pelajarannya merupakan pusaka perguruan Jatikusumo dan harus berada di perguruan Jatikusumo sebagai pusaka yang dikeramatkan. Juga Pecut Sakti Bajrakirana menjadi lambang kebesaran perguruan Jatikusumo. Karena sekarang yang menjadi ketua Jatikusumo adalah Bapa Guru Sindusakti, maka sudah sewajarnyalah kalau beliau minta agar pusaka itu diserahkan kepadanya. Engkau yang hanya murid tidak berhak memilikinya. Oleh karena itu, Adi Sutejo, aku minta dengan hormat dan sangat atas pengertianmu dan suka menyerahkan kitab itu dengan suka rela hati kepadaku untuk kusampaikan kepada Bapa Guru."

   Melihat sikap dan mendengar ucapan Cangak Awu yang lembut, Sutejo agaknya juga tidak ingin memanaskan suasana dan ingin mengajaknya bicara baik-baik.

   "Marilah kita duduk di bawah pohon itu dan bicara dengan santai bertukar pikiran, Kakang Cangak Awu."

   Cangak Awu mengangguk dan keduanya lalu berjalan menuju ke bawah sebatang pohon waru yang teduh dan duduk di atas batu besar. Setelah duduk berhadapan, Sutejo berkata.

   "Kakang Cangak Awu, aku gembira sekali bertemu denganmu karena sesungguhnya di antara kita masih ada pertalian saudara seperguruan walaupun tidak secara resmi aku menjadi murid aliran Jatikusumo. Apa yang kau katakan tadi benar sekali. Engkau diutus gurumu dan tentu saja engkau harus menaatinya. Memang sebagai seorang murid Jatikusumo, walaupun tidak resmi dari perguruan Jatikusumo, aku harus menghormati dan taat kepada perintah ketua Jatikusumo, yaitu Paman Bhagawan Sindusakti. Kalau saja aku mendapatkan Kitab Bajrakirana dari tangan orang lain, atau menemukannya, maka tentu akan kuserahkan kepada yang berhak, dalam hal ini adalah Paman Bhagawan Sindusakti. Akan tetapi, kakang, coba pertimbangkan baik baik. Aku menerima kitab itu dari tangan mendiang Eyang Resi Limut Manik sendiri. Dia memberikan kitab itu kepadaku, bahkan mengutus aku untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Eyang Resi sendiri yang meninggalkan pesan terakhir sebelum kematiannya bahwa pecut dan kitabnya diberikan kepadaku. Oleh karena itu, maka kitab ini adalah milikku dan menjadi hakku. Kalau kuserahkan kepada orang lain, berarti aku mengingkari pesan terakhir Sang Resi Limut Manik."

   "Jadi tegasnya tidak akan kau berikan kitab Bajrakirana itu kepadaku, Adi Sutejo?"

   Sutejo menggeleng kepalanya.

   "Menyesal, sekali tidak, kakang. Tidak akan kuberikan kepadamu, kepada Paman Bhagawan Sindusakti atau kepada siapapun juga."

   "Hemmm.....!"

   Cangak Awu bangkit berdiri, tubuhnya yang tinggi besar itu berdiri dengan kaki terpentang, tangan kirinya bertolak pinggang, sikapnya gagah sekali, seperti Raden Werkudoro. Sepasang matanya mencorong dan dia berkata dengan suaranya yang lantang.

   "Adi Sutejo! Engkau tentu tahu akan beratnya seorang murid melaksanakan perintah gurunya, suatu kewajiban yang kalau perlu dilaksanakan dengan taruhan nyawa! Bapa Guru telah memberi wewenang kepadaku untuk mempergunakan kekerasan apa bila engkau tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana dengan baik. Dan penolakanmu ini memperkuat dugaan kami bahwa engkau telah bersekutu dengan diajeng Wandansari membunuh Eyang Resi Limut Manik dan mencuri pusaka dan kitab."

   Sutejo melompat berdiri, alisnya berkerut mendengar tuduhan berat itu.

   "Kakang Cangak Awu. apa yang kau tuduhkan ini? Sungguh fitnah keji, aku dan diajeng Wandansari tidak membunuh Eyang Resi Limut Manik!"

   "Membunuh atau tidak, dengan tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana yane menjadi pusaka Jatikusumo, berarti engkau sudah menjadi seorang murid yang khianat! Adi Sutejo, tidak perlu banyak cakap lagi. Kau serahkan kepadaku atau tidak kitab itu?"

   "Tidak, Kakang Cangak Awu." "Berani engkau melawan aku?" "Aku sama sekali tidak bermaksud untuk melawanmu, Kakang Cangak Awu, akan tetapi kalau engkau memaksa, aku harus membela diri."

   "Bagus! Sambut seranganku!"

   Cangak Awu sudah menerjang dan begitu menyerang dia sudah menggunakan Aji Gelap Musti karena dia dapat menduga bahwa Sutejo tentu merupakan lawan yang tidak lemah karena dia telah mempelajari ilmu-ilmu aliran Jatikusumo.

   Menghadapi serangan ini, terpaksa Sutejo melakukan perlawanan. Dia cepat mengelak ke kiri. Akan tetapi celakannya itu disambut dengan tendangan kaki Cangak Awu yang besar dan panjang.

   "Wuuuuuttt.......!"

   Kembali Sutejo mengelak.

   Ketika serangan susulan terus mengejarnya secara bertubi-tubi, dia mengelak sampai lima kali dan ketika kembali Cangak Awu melancarkan pukulan dengan Aji Gelap Musti, diapun menangkis dengan aji yang sama. Akan tetapi karena dia tidak ingin melukai kakak seperguruannya itu, maka Sutejo hanya mengerahkan sebagian saja dari tenaganya.

   "Wuuuutttt.....desss.....! Dua pasang telapak tangan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh kedua orang muda itu terdorong ke belakang sampai lima langkah.

   Diam-diam Cangak Awu terkejut. Kiranya Sutejo telah memiliki tenaga sakti yang mampu menandinginya! Akan tetapi Sutejo yang tidak ingin berkelahi dengan Cangak Awu, melompat jauh ke belakang.

   "Selamat tinggal, Kakang Cangak Awu. Aku tidak ingin bertanding denganmu!"

   Katanya sambil berlari meninggalkan tempat itu.

   "Nanti dulu, Sutejo! Berikan kepadaku dulu kitab Bajrakirana!"

   Cangak Awu mengejar.

   "Kelak pada suatu hari aku akan menerangkan sendiri kepada Paman Bhagawan Sindusakti!"

   Teriak Sutejo dan dia mempercepat larinya. Keduanya berkejaran dan menggunakan Aji Harina Legawa. Akan tetapi, Sutejo telah menghilang ke dalam hutan dan tidak dapat ditemukan Cangak Awu yang terpaksa keluar dari hutan setelah beberapa lamanya dia mencari-cari dalam hutan itu tanpa hasil.

   "Demikianlah, Kakang Priyadi, aku tidak berhasil menangkapnya. Hutan itu lebat sekali dan dia telah menghilang. Aku merasa menyesal sekali. Kalau saja engkau ada bersamaku, tentu kita berdua akan dapat menangkapnya."

   Cangak Awu mengakhiri ceritanya.

   "Akan tetapi andaikata aku ada dan kita berhasil menangkapnya, belum tentu kitab Bajrakirana berada padanya. Mungkin telah dia sembunyikan."

   Kata Priyadi.

   "Biarpun ada kemungkinan demikian, akan tetapi kalau kita sudah menangkapnya, kita dapat mengancam dan memaksanya untuk menunjukkan di mana adanya kitab itu dan menyerahkannya kepada kita."

   Bantah Cangak Awu. Suaranya menunjukkan kekesalan hatinya bahwa karena dia berpencar dari Priyadi, maka dia tidak dapat me"nangkap Sutejo.

   "Maafkan aku, Adi Cangak Awu. Siapa tahu sebelumnya bahwa secara kebetulan engkau dapat bertemu dengan Sutejo. Yang aku herankan, bagaimana dia dapat menandingimu?"

   Kata Priyadi.

   "Kami hanya bertanding selama beberapa jurus saja dan dia sudah keburu larikan diri ke dalam hutan. Aku yakin kalau kami bertanding terus, aku akan mampu mengalahkannya."

   "Sudahlah, hal yang sudah lewat tidak perlu disesalkan lagi. Betapapun juga. Sutejo tidak dapat menghilang begitu saja dan pada suatu waktu kita tentu akan dapat menemukannya dan memaksanya mengembalikan kitab Bajrakirana kepada Jatikusumo."

   Kata Bhagawan Sindusakti.

   "Sekarang, sebaiknya kalau engkau ceritakan lagi pengalamanmu membujuk Puteri Wandansari, Maheso Seto, agar Priyadi juga mengetahuinya."

   "Baiklah. Bapa Guru, sungguhpun menceritakan kembali pengalaman itu sungguh membuat hati kami berdua merasa menyesal sekali. Adi Priyadi, beginilah pengalaman kami di istana Mataram ketika kami menemui diajeng Wandansari."

   Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maheso Seto lalu bercerita.

   Dengan melakukan perjalanan cepat, dalam waktu yang tidak terlalu lama Maheso Seto bersama isterinya. Rahmini, dapat tiba di ibu kota Mataram. Mereka segera menuju ke istana kerajaan dan langsung mengunjungi keputren di mana Puteri Wandansari tinggal.

   Tentu saja mereka berdua dihentikan oleh para pengawal yang berjaga di luar pintu gerbang taman keputren yang menjadi bagian depan dari keputren.

   "Berhenti! Siapakah andika berdua dan ada kepentingan apa datang berkunjung ke keputren yang merupakan daerah larangan bagi orang luar?"

   Bentak kepala jaga sambil melintangkan tombaknya menghalangi suami isteri itu memasuki pintu gapura.

   "Kami adalah, suami isteri Maheso Seto dan Rahmini. Kami masih terhitung kakak-kakak seperguruan dari Puteri Wandansari dan kedatangan kami adalah untuk berkunjung kepada Puteri Wandansari."

   "Hemm, tidak mudah Untuk menghadap Sang Puteri tanpa ijin dari istana Andika berdua pergi saja menghadap para pengawal istana untuk mendapatkan ijin itu yang akan diberikan oleh Kepala Pengawal dengan restu Sang Prabu."

   Rahmini mengerutkan alisnya.

   "Kami adalah kakak-kakak seperguruan diajeng Wandansari. Sebaiknya seorang di antara kalian pergi melapor kepada Sang Puteri dan pasti ia akan suka menerima kami. Kalau nanti Sang Puteri mendengar bahwa kalian menolak kunjungan kami, kalian tentu akan mendapat marah besar dari Sang Puteri."

   Mendengar ucapaan Rahmini itu, kepala jaga memandang ragu dan akhirnya dia berpesan kepada anak buahnya untuk berjaga-jaga.

   "Silakan andika berdua menunggu di sini, aku akan melaporkan kepada Gusti Puteri."

   Katanya kepada Maheso Seto dan Rahmini. Dua orang suami isteri itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

   Kepala jaga itu masuk ke dalam taman, lalu ke belakang di ujung taman. Tak lama kemudian dia muncul dan bergegas keluar menemui Maheso Seto dan Rahmini.

   "Gusti Puteri berkenan menerima andika berdua. Silakan masuk ke dalam taman. Di sana Gusti Puteri telah menunggu."

   Dia menuding ke arah bangunan bertembok putih.

   "Terima kasih."

   Kata Maheso Seto dan bersama Rahmini dia lalu melangkah, memasuki taman yang indah dan luas itu dan pergi ke arah bangunan seperti yang ditunjuk oleh kepala jaga. Dua orang laki-laki yang bekerja sebagai juru taman memandang kepada suami isteri itu dengan heran. Mereka merasa heran mengapa ada seorang pria yang diijinkan masuk, pada hal keputren itu merupakan tempat yang terlarang bagi pria dari luar. Akan tetapi karena pria itu datang bersama seorang wanita dan mereka melihat kepala jaga tadi sudah melapor ke dalam, merekapun tidak dapat berbuat sesuatu dan hanya melanjutkan pekerjaan mereka merawat tanaman bunga-bunga yang memenuhi taman itu.

   Setelah tiba di dekat bangunan, mereka berdua melihat Puteri Wandansari duduk seorang diri di bawah bangunan terbuka yang berada di tepi sebuah kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai dan ikan emas. Puteri Wandansari agaknya sedang memberi makan ikan emas, menaburkan makanan itu ke air dan banyak sekali ikan emas berwarna merah, kuning putih dan hitam berebutan makanan membuat air berkecipak. Sang Puteri segera bangkit berdiri ketika melihat munculnya dua orang itu. Ia menyambut mereka dengan sikap yang tidak terlalu gembira, akan tetapi juga dengan senyum lembut. Agaknya ia belum dapat melupakan betapa ketika berada di pondok Resi Limut Manik, kedua kakak seperguruan ini pernah menyangkanya berbuat yang bukan-bukan dengan Sutejo, dan hendak memaksanya untuk menyerahkan pedang pusaka Kartika Sakti dan kitab pelajarannya.

   "Ah, kiranya Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini yang datang berkunjung! Bagaimana kabarnya dengan keadaan Bapa Guru?"

   Ia bertanya tentang keadaan gurunya, bukan tentang keadaan mereka berdua. Pertanyaan ini saja sudah menunjukkan bahwa hatinya tidak begitu seoang menyambut kunjungan mereka berdua dan tentu saja terasa oleh Maheso Seto dan Rahmini.

   "Keadaan Bapa Guru baik-baik dan sehat saja, diajeng Wandansari."

   Kata Maheso Seto.

   "Bahkan kedatangan kami ini adalah untuk melaksanakan perintah Bapak Guru!"

   Kata Rahmini dengan suara agak ketus karena iapun merasakan sikap Puteri Wandansari yang menyambut mereka dengan tawar itu.

   "Hemm begitukah?"

   Kata Puteri Wandansari tanpa mempersilakan mereka duduk.

   "Apakah perintah Bapa Guru itu ada sangkut pautnya dengan aku?"

   Suara Puteri Wandansari juga terdengar ketus, mengimbangi suara Rahmini. Melihat sikap kedua orang wanita itu sudah mendatangkan suasana panas, Maheso Seto lalu berkata dengan suara tenang dan sikap sabar.

   "Sesungguhnya begini, diajeng Wandansari. Kami berdua hanyalah utusan Bapa Guru untuk menemuimu."

   "Menemuiku? Ada urusan apakah Bapa Guru mengutus kalian untuk menemuiku?"

   "Bukan lain, urusan Pedang Pusaka Kartika Sakti, diajeng. Bapa Guru mengutus kami untuk minta kepadamu agar engkau suka menyerahkan pedang pusaka dan kitab pelajarannya itu kepada kami untuk kami serahkan kepada Bapa Guru. Pusaka itu adalah pusaka perguruan Jatikusumo, diajeng. maka yang berhak menyimpan hanya Bapa Guru sebagai ketua perguruan Jatikusumo."

   "Dan engkau sebagai murid termuda harus mematuhi perintah Bapa Guru!"

   Sambung Rahmini.

   Mereka bicara sambil berdiri saja dan kini puteri Wandansari menegakkan tubuhnya dan matanya mengeluarkan sinar penuh keberanian "Sudah kukatakan saat kita saling bertemu di pondok Eyang Guru Resi Limut Manik dahulu, Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini, bahwa pedang dan kitab Kartika Sakti itu adalah pemberian Eyang Resi kepadaku. Eyang Resi member kan benda pusaka itu sebagai pesan terakhir sebelum meninggal dunia, dengan pesan agar aku memiliki pusaka itu dan mempergunakannya untuk menentang kejahatan dan terutama untuk membela kerajaan Mataram. Aku tidak berani menentang pesan Eyang Resi. Pedang pusaka dan kitabnya itu adalah hakku, diberikan langsung oleh Eyang Resi. Karena itu tentu saja tidak akan kuserahkan kepada siapapun juga!"

   "Akan tetapi andika adalah murid Jatikusumo dan yang minta pusaka itn adalah guru kita. ketua Jatikusumo! Pedang pusaka itu merupakan pusaka perguruan Jatikusumo! Diajeng, ingatlah, apakah andika hendak berkhianat terhadap perguruan sendiri?"

   Kata Maheso Seto yang mulai marah karena seperti yang dia khawatirkan sebelumnya, Puteri Wandansari tidak mau menyerahkan pusaka itu.

   "Aku tidak mengkhianati siapapun juga. Bahkan, kalau kuserahkan pusaka itu kepada seseorang, berarti aku telah mengkhianati Eyang Resi. Tidak, Kakang Maheso Seto, aku tidak memberikan pusaka itu kepadamu."

   "Ah, kalau begitu jelaslah sekarang. Sikapmu ini menunjukkan bahwa engkau memusuhi Jatikusumo, maka ada benarnyalah dugaan bahwa engkau telah bersekongkol dengan Sutejo untuk membunuh Eyang Resi dan mencuri dua pusaka itu, yaitu kitab Bajrakirana dan kitab Kartika Sakti berikut pedangnya!"

   Teriak Rahmini sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Puteri Wandansari.

   Merah sepasang pipi yang halus itu, berkerut sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu dan sepasang mata bintang itu mengeluarkan sinar kemarahan.

   "Mbakyu Rahmini, tutup mulutmu yang lancang itu! Kalau kalian berdua datang hanya untuk membikin ribut, aku usir kalian. Keluarlah dari sini!"

   "Engkau berani mengusir kami, kakak-kakak seperguruanmu yang dulu ikut mengajarmu? Aku tidak akan pergi sebelum membawa pedang dan kitab Kartika Sakti. Kalau perlu akan kuambil dengan kekerasan karena kami telah memperoleh purbawasesa dari Eyang Guru!"

   "Sesukamulah! Kalau engkau menggunakan kekerasan, akan kulawan!"

   Jawab Puteri Wandansari.

   "Wandansari, berani engkau melawan aku?"

   Bentak Rahmini.

   "Engkau yang mulai, mengapa harus takut?"

   "Hemmm, murid murtad! Akulah yang akan mewakili Bapa Guru untuk menghajarmu! Sambut pukulanku!"

   Rahmini sudah menerjang dengan ganasnya. Wanita ini adalah murid kedua dari Bhagawan Sindusakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, hanya sedikit di bawah tingkat kepandaian suaminya yang menjadi murid pertama.

   "Wuuuutttt.....!"

   Akan tetapi pukulan itu dapat dihindarkan dengan mudah oleh Wandansari yang mengelak dengan gerakan ringan sekali. Ketika pukulan kedua menyambar, Wandansari menangkis dengan lengannya.

   "Wuuuutttt..... dukkk!"

   Dua lengan itu bertemu dan akibatnya, Rahmini terdorong mundur beberapa langkah. Hal ini amat mengejutkan Rahmini, Juga Maheso Seto. Tidak mungkin Wandansari yang merupakan murid ke lima itu mampu menandingi tenaga sakti Rahmini! Kedua orang suami isteri ini tidak tahu bahwa dalam kitab Kartika Sakti bukan hanya diajarkan ilmu pedang, melainkan juga ilmu menghimpun tenaga sakti. Setelah berlatih beberapa bulan lamanya, kini tenaga sakti Wandansari bertambah besar dan iapun dapat bergerak dengan cepat.

   Rahmini menjadi penasaran sekali dan juga amat marah. Kalau tadinya ia hanya menyerang untuk menundukkan Wandansari, kini ia menyerang dengan sungguh-sungguh dengan niat untuk merobohkan adik seperguruannya yang dianggapnya murtad dan membandel itu. Ia lalu mengerahkan Aji Gelap Musti, menyerang dengan dorongan kedua tangannya.

   "Haaiiiiitt!"

   Ia melengking nyaring dan dorongan kedua tangannya dengan Aji Gelap Musti itu mengeluarkan angin menderu ke arah Wandansari. Akan tetapi puteri inipun mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan Aji Gelap Musti pula. Ia cepat merendahkan tubuhnya, mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan sambil memekik nyaring.

   "Yaaaaaaattt!"

   "Desss......!"

   Kedua pasang telapak tangan itu bertemu di udara dan kembali tubuh Rahmini terdorong ke belakang! Ternyata dalam hal mengadu Aji Gelap Musti, iapun kalah kuat.

   Maheso Seto yang melihat ini, ikut terkejut. Tadinya dia berniat melarang isterinya menyerang dengan hebat sehingga membahayakan keselamatan nyawa puteri itu. Akan tetapi melihat betapa isterinya bahkan terdorong mundur dan kalah kuat, diapun melompat maju. Rahmini juga sudah siap kembali lalu bersama suaminya melancarkan pukulan Gelap Musti lagi. Akan tetapi kini mereka menggabungkan tenaga dan dalam saat yang bersamaan mereka mendorongkan kedua telapak tangan ke arah Wandansari. Suami isteri yang sudah sehati sepikiran itu menyerang secara berbareng dengan Aji Gelap Musti!

   Tidak ada pilihan lain bagi Puteri Wandansari untuk menghadapi serangan ganda ini kecuali dengan tangkisan. Maka iapun mengerahkan seluruh tenaganya dan menyambut serangan itu dengan Aji Gelap Musti pula.

   "Wuuuuttt...... dessss!"

   Betapapun besarnya kemajuan dalam hal tenaga sakti yang diperoleh Puteri Wandansari setelah ia melatih diri dengan ilmu dari kitab Kartika Sari, namun menghadapi dua tenaga yang digabung dari suami isteri itu, ia masih kalah kuat dan tubuhnya terdorong mundur sampai terhuyung-huyung.

   "Duh Gusti......!"

   Seruan ini muncul dari mulut seorang pria yang sudah berada di situ dan dia melihat Puteri Wandansari terhuyung. Dia lalu menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke depan, menyambut dorongan dua pasang tangan suami isteri itu. Dorongan tangan kiri pria itu sungguh amat dahsyat. Angin bagaikan badai bertiup ke depan menyambut pukulan ganda dengan Aji Gelap Musti dari suami isteri itu dan terjadilah benturan tenaga sakti yang amat dahsyat.

   "Blaaarrrrr........!"

   Akibatnya, Maheso Seto danRahmini terlempar sampai empat meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah. Tidak kuat mereka menahan tenaga dorongan yang keluar dari telapak tangan pria itu. Mereka tidak terluka namun terkejut bukan main. Guru mereka sendiri saja tidak mungkin dapat menyambut tenaga mereka yang dipersatukan dalam Aji Gelap Musti, apa lagi hanya dengan tangan kiri dan menyebabkan mereka terpental sampai jauh! Maklumlah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang amat sakti mandraguna. Mereka merangkak bangun, saling bantu dan keduanya memandang kepada pria itu.

   Dia seorang pria yang berusia sekitar lima puluh tahun, berwajah tampan dan bundar, sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti, gerak geriknya lembut dan pada wajah yang tampan dan halus itu terkandung wibawa yang teramat kuat. Pakaiannya sederhana, namun masih dapat dikenali sebagai pakaian seorang raja. Tahulah Maheso Seto dan Rahmini dengan siapa mereka berhadapan. Pria yang demikian tampan dan berwibawa, memiliki kesaktian yang hebat, tentu bukan lain adalah Sang Prabu Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung Mataram sendiri! Tanpa terasa sepasang kaki mereka gemetar.

   Sultan Agung memandang kepada puterinya dan merasa lega melihat puterinya tidak terluka.

   "Wandansari, siapakah kedua orang ini dan apa yang telah terjadi di sini?"

   Puteri Wandansari bukan seorang dara yang cengeng. Ia tidak ingin mengadukan sikap kedua orang itu kepada ayahandanya. Bagaimanapun juga mereka adalah kakak-kakak seperguruannya dan urusannya dengan mereka adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan ayahnya. Maka ia tidak ingin ayahnya yang menjadi raja yang agung Itu mencampuri urusan pribadinya.

   "Kanjeng Rama, mereka adalah Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini, dua orang kakak seperguruan hamba sendiri. Mereka datang untuk suatu urusan pribadi dan terjadi sengketa di antara kami."

   Sang Prabu yang arif bijaksana itu segera mengetahui bahwa puterinya tidak ingin dia mencampuri urusannya, maka diapun memandang kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara lembut namun penuh wibawa.

   "Mengingat bahwa kalian adalah kakak-kakak seperguruan puteri kami, maka sekali ini kami mengampuni kalian berdua. Pergilah dan jangan kembali lagi! Sekali lagi kami mendapatkan kalian datang ke sini dan membuat kekacauan, kami akan menangkap kalian dan memasukkan kalian dalam penjara! Pergilah!"

   Suami isteri itu membungkuk, menyembah lalu memutar tubuh, meninggalkan taman sari itu dengan kepala ditundukkan dan hati merasa jerih. Keangkuhan yang sudah meujadi watak suami isteri ini tenggelam lenyap ke dalam wibawa yang teramat kuat dari Sultan Agung itu.

   "Demikianlah, Adi Priyadi. Kami berdua terpaksa meninggalkan diajeng Wandansari, tidak kuat menghadapi kesaktian dan wibawa Sang Prabu yang teramat kuat. Terpaksa kami kembali ke sini dengan tangan hampa."

   "Tidak aneh,"

   Sang Bhagawan Sindusakti berkata sambil menarik napas panjang.

   "Tidak mungkin kalian akan mampu menandingi kesaktian Sang Prabu di Mataram. Akan tetapi sudahlah, kalau Pedang Pusaka Kartika Sakti dan kitabnya sudah berada di Mataram, kita boleh relakan saja pedang itu menjadi pusaka Mataram, Akan tetapi yang terpenting adalah Pecut Sakti Bajrakirana dan kitab pelajarannya, Pecut itu merupakan pusaka utama yang harus dihormati dan ditaati oleh seluruh murid Jatikusumo. Adi Bhagawan Jaladara sudah menjanjikan akan menyerahkan pecut itu kepadaku, hanya tinggal merampas kitabnya dari tangan Sutejo. Hal ini harus kita usahakan benar-benar karena pecut pusaka dan kitabnya itu teramat penting bagi perguruan kita."

   "Akan tetapi, Bapa Guru. Kalau benar Sutejo dan diajeng Wandansari telah melakukan pembunuhan terhadap Eyang Resi Limut Manik, apakah kita dapat tinggal diam saja? Perbuatan itu harus dibalas dan pelaku pembunuhan itu harus dihukum!"

   Kata Priyadi.

   "Hemm, kita tidak boleh sembrono. Itu hanya merupakan tuduhan perkiraan Adi Jaladara saja. Dia menuduh kedua orang muda itu yang membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik, akan tetapi sebaliknya Sutejo dan Wandansari mengatakan bahwa Adi Jaladara dan taman-temannya yang membunuh Bapa Resi. Sebelum mendapatkan bukti-buktinya, tidak boleh kita menjatuhkan tuduhan kepada siapapun juga."

   "Akan tetapi bagaimana kita akan mampu mencari buktinya, Bapa Guru? Bukti maupun saksi atas pembunuhan terhadap Eyang Resi Limut Manik dan kedua orang cantriknya itu sama sekali tidak ada dan kedua pihak yang dituduh telah menyangkal melakukan pembunuhan itu. Siapakah di antara kedua pihak itu yang harus kita percaya?"

   Tanya pula Priyadi.

   "Melihat betapa dua buah kitab pusaka dan pedang Kartika Sakti berada di tangan Sutejo dan Wandansari, sudah merupakan bukti bahwa mereka berdua itu yang telah membunuh Eyang Resi!"

   Kata Rahmini yang masih panas hatinya karena dikalahkan oleh Wandansari ketika bertanding satu lawan satu.

   

Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini