Ceritasilat Novel Online

Pecut Sakti Bajrakirana 12


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Maheso Seto juga maklum bahwa lawannya adalah seorang yang sakti mandraguna, oleh karena itu diam-diam dia sudah mengerahkan semua tenaga saktinya, disalurkan lewat kedua tangannya.

   Bhagawan Sindusakti yang melihat kekalahan Cangak Awu dan Rahmini, dapat menduga pula bahwa Maheso Seto sukar untuk mencapai kemenangan melawan Ki Klabangkolo. Akan tetapi dia tidak melarang murid kepala itu maju karena dia sendiri perlu untuk menyaksikan dan meneliti ilmu yang dipergunakan Ki Klabangkolo agar nanti dia dapat menguasai keadaan apa bila dia yang bertanding melawan kakek sombong itu.

   Sementara itu, sejak tadi Sutejo mengamati jalannya pertandingan. Dia melihat bahwa dalam hal ilmu Silat, agaknya Cangak Awu bahkan Rahmini tidak kalah oleh Ki Klabangkolo. Ilmu silat para murid Jatikusumo itu memiliki dasar yang lebih baik dan lebih kuat. Juga dia melihat bahwa baik Cangak Awu maupun Rahmini telah menguasai ilmu-ilmu dari perguruan Jatikusumo seperti Aji Sihung Nila, Harina Legawa, dan Gelap Musti, dengan amat baiknya. Akan tetapi mereka berdua itu masih lemah dalam hal penggunaan tenaga sakti dibandingkan Ki Klabangkolo. Inilah yang membuat mereka kalah. Dia harus mengakui bahwa Ki Klabangkolo agaknya memiliki tenaga sakti yahg amat kuat, juga memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa.

   Maheso Seto adalah seorang murid kepala Jatikusumo yang sudah mencapai tingkat tinggi. Di samping wataknya yang gagah berani dan suka menentang kejahatan, diapun adil dan keras, sayang dia memiliki keangkuhan yang timbul dari kedudukannya sebagai murid kepala. Maka dia maju menghadapi Ki Klabangkolo dengan tangan kosong, karena dia tidak ingin disebut licik kalau meraih kemenangan mempergunakan senjatanya melawan orang yang tidak bersenjata! Biarpun kalah, dia harus kalah dalam keadaan yang gagah! Demikianlah, dia menghadapi Klabangkolo dengan tangan kosong pula.

   Ki Klabangkolo mengerutkan alisnya melihat Maheso Seto maju hendak melawannya.

   "Hemm, engkau pernah mengalahkan aku, akan tetapi dengan pengeroyokan. Sekarang tiba saatnya aku membalas kekalahanmu itu!"

   "Boleh kau coba, Ki Klabangkolo. Akulah lawanmu!"

   "Ha-ha-ha, lebih baik engkau mundur dan suruh gurumu saja yang maju menghadapiku!"

   Kata pula Ki Klabangkolo dengan suara tawa mengejek.

   "Jangan banyak cakap, akulah yang akan menandingimu!"

   Kata Maheso Seto sambil membuat pasangan kuda-kuda Jatikusumo yang amat gagah. Dia mengangkat kaki kanan ke atas, kedua tangan merangkap sebagai sembah ke depan dada dan kepalanya menoleh ke kanan menghadapi lawannya.

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   "Ha-ha-ha, engkau mencari penyakit, orang muda. Majulah!"

   "Sambut seranganku!"

   Maheso Seto menyerang dengan cepat dan kuat sekali, menggunakan tangan kirinya menampar ke arah muka dan tangan kanan menyusulkan pukulan ke arah dada. Gerakannya tangkas, cepat dan bertenaga sehingga pukulan-pukulannya mendatangkan angin yang bersiutan.

   Ki Klabangkolo maklum bahwa lawannya ini tidak dapat disamakan dengan dua orang lawannya yang lalu, maka diapun mengerahkan tenaganya dan cepat menghindar dari kedua serangan itu, membalikkan tubuh ke belakang kemudian dia membalik lagi, kakinya menyambar bagaikan palu godam ke arah muka Maheso Seto.

   "Plakk!"

   Maheso Seto terpaksa menangkis karena untuk mengelak dia sudah tidak sempat lagi, demikian cepatnya kaki lawan itu menyambar ke arah mukanya. Akan tetapi tangkisan itu bertemu dengan kaki yang mengandung tenaga besar sekali sehingga Maheso Seio terpaksa melompat ke belakang untuk mencegah dirinya terhuyung.

   Maheso Seto tidak menjadi jerih dan dia mendahului lawannya lagi, maju menyerang dengan kecepatan kilat. Dalam sedetik saja kedua tangannya sudah melakukan serangan beruntun ke arah dada dan lambung. Biarpun dia memiliki kekebalan tubuh yang hebat, namun Ki Klabangkolo tidak berani menerima serangan lawan itu dengan mengandalkan kekebalannya. Hal itu akan terlalu berbahaya melihat betapa pukulan-pukulan itu mendatangkan angin yang menerpa keras sekali. Maka diapun menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua pukulan Maheso Seto, kemudian membalas pula dengan pukulan tangannya yang ampuh.

   Terdengar dak-duk dak-duk dan plak-plak yang keras dan menggetarkan ketika dua pasang lengan itu seringkah bertemu di udara. Akan tetapi Maheso Seto harus mengakui dalam hatinya bahwa dalam bal tenaga sakti dia masih kalah kuat dibandingkan lawannya. Beberapa kali kalau mereka beradu tenaga sakti, dia terdorong mundur beberapa langkah sedangkan lawannya masih tegar berdiri kokoh di atas kedua kakinya. Lambat laun diapun terdesak mundur dan mundur terus walaupun dia masih mampu menangkis semua pukulan lawan.

   "Mundurlah, Maheso Seto!"

   Bhagawan Sindusakti membentak ketika melihat murid kepala itu tidak mampu menandingi lawan.

   Akan tetapi dasar watak Maheso Seto yang keras dan sukar baginya untuk mundur dan mengaku kalah begitu saja, pada saat itu dia sudah mengumpulkan semua tenaganya dan menyerang lawan dengan pukulan jarak jauh, yaitu Aji Gelap Musti. Lawannya juga merendahkan diri dan menyambut pukulan itu dengan Aji Singorodra.

   Dua pasang tangan saling dorong dan dua tenaga sakti jarak jau.. saling bertumbukan di udara dengan hebatnya.

   "Blarrr......!"

   Semua orang merasakan pertemuan dua tenaga sakti yang membuat tempat itu seolah tergetar. Akibatnya sungguh hebat. Tubuh Maheso Seto terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin, sedangkan Ki Klabangkolo masih berdiri tegak dan hanya napasnya sedikit terengah.

   Rahmini cepat menyambar tangan suaminya 4an membantunya berdiri tegak agar tidak sampai terbanting roboh. Akan tetapi Maheso Seto mengerutkan alisnya dan wajahnya pucat sekali, kemudian dia menjatuhkan diri duduk bersila untuk mengatur pernapasan karena di sebelah dalam dadanya terguncang hebat yang dapat menimbulkan luka parah kalau tidak cepat dip lihkan dengan hawa murni.

   "Ha-ha-ha, cuma sebegitu saja kedigdayaan para murid Jatikusumo?"

   Bhagawan Sindusakti memandang dengan alis berkerut. Tahulah dia bahwa kedatangan dua orang pendeta sesat itu merupakan malapetaka bagi perguruan Jatikusumo. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian murid kepala Maheso Seto sudah mencapai tingkat tinggi. Semua ilmu yang dia kuasai sudah dia ajarkan kepada murid kepala ini dan tingkat kepandaian Maheso Seto sudah sejajar dengan tingkatnya. Kalau Maheso Seto dapat dikalahkan Ki Klabangkolo sedemikian mudahnya, dia tahu bahwa dia sendiripun tidak akan mampu menandingi pendeta sesat itu. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Dia harus maju menandingi Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo untuk mempertahankan nama dan kehormatan perguruan Jatikusumo.

   Akan tetapi ketika dia bergerak ke depan, dengan nekat hendak melawan Ki Klabangkolo, tiba-tiba seseorang melompat dari kelompok para murid yang mengepung tempat itu. Orang ini ternyata adalah Sutejo yang sudah menghadap Bhagawan Sindusakti dan menyembah sambil berdiri membungkuk.

   "Paman, perkenankan saya untuk menghadapi Ki Klabangkolo dan menandinginya !"

   Kata Sutejo.

   Bhagawan Sindusakti mengerutkan alisnya dan memandang ragu. Kalau muridnya yang maju membela nama perguruan Jatikusumo, hal itu adalah sewajarnya. Akan tetapi Sutejo bukan murid langsung Jatikusumo, kalau sampai pemuda ini tewas dalam menandingi Ki Klabangkolo, sungguh dia akan merasa sangat tidak enak. Pemuda ini boleh dianggap sebagai orang luar. Pula, bagaimana mungkin Sutejo mampu menandingi Ki Klabangkolo sedangkan para muridnya juga tidak mampu? Bahkan dia tidak menyalahkan dan tidak mengharapkan Priyadi untuk maju karena selain hal itu percuma, juga membahayakan keselamatan muridnya itu.

   "Sutejo, engkau tidak berhak mencampuri urusan kami perguruan Jatikusumo!"

   Tiba-tiba Rahmini berseru ketus.

   "Lagi pula, apamukah yang kau andalkan untuk menandingi lawan sedangkan kami semua juga telah dikalahkannya? Mundurlah engkau dan jangan mengganggu Bapa Guru!"

   Mendengar ucapan Rahmini itu, melihat sikap para murid Jatikusumo yang agaknya membenarkan ucapan itu dan melihat keraguan dalam pandang mata Bhagawan Sindusakti, Sutejo maklum bahwa kalau dia menanti perkenan dari pihak perguruan Jatikusumo, dia tidak akan pernah dapat menandingi Ki Klabangkolo yang masih berdiri dengan congkaknya.

   "Ki Klabangkolo, melibat kesombonganmu membuat semua orang merasa muak dan aku sendiripun merasa penasaran. Aku bukanlah murid langsung dari Jatikusumo akan tetapi masih ada hubungan dekat karena guruku adalah adik seperguruan Paman Bhagawan Sindusakti. Sekarang aku, atas namaku sendiri, menantangmu untuk bertanding, Kalau aku terluka atau mati dalam pertandingan ini, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan perguruan Jatikusumo dan aku seudiri yang bertanggung jawab. Bagaimana, Ki Klabangkolo apakah engkau berani menyambut tantangan ku?"

   Ki Klabangkolo tertawa bergelak memandang kepada Sutejo.

   "Bocah cilik! Sepantasnya engkau masih menyusu di dada ibumu, tidak keluyuran sampai ke sini dan minta mati di tanganku!"

   "Ki Klabangkolo, tidak perlu mengumbar kesombonganmu melalui mulutmu yang lebar. Katakan saja terus terang kalau engkau tidak berani yang akan menunjukkan bahwa engkau tiada lain hanyalah seorang pengecut hina!"

   Sepasang mata Ki Klabangkolo terbelalak lebar dan mukanya yang penuh brewok itu berubah merah, kumis dan jenggotnya seolah-olah berdiri saking marahnya mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkannya itu.

   "Jahanam Sutejo! Kalau aku tidak mampu merobek mulutmu dan melumatkan kepalamu, jangan panggil aku Ki Klabangkolo lagi!"

   Bentaknya dan dia sudah mengangkat kedua tangannya ke atas dan jari-jari tangan itu membentuk cakar harimau, kemudian dia mengeluarkan gerengan dengan Aji Singanada. Suaranya menggetarkan seluruh tempat itu dan para murid Jatikusumo sampai melangkah mundur, hampir tidak kuat menahan guncangan jantung mereka akibat getaran yang ditimbulkan gerengan Aji Singanada itu. Akan tetapi Sutejo yang diserang langsung, diam-diam mengerahkan tenaga saktinya untuk menolak serangan itu dan dia melambaikan tangan sambil tersenyum dan berkata,

   "Sudahlah, Ki Klabangkolo. Gerenganmu itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Tidak ada gunanya kau perlihatkan di sini, menambah buruk mukamu saja!"

   Diam-diam Bhagawan Sindusakti merasa heran dan terkejut sekali. Dia sendiri merasakan getaran hebat dari gerengan itu dan Sutejo yang diserang langsung masih enak-enak saja malah mengeluarkan kata-kata mengejek lawan. Mulailah dia memandang pemuda itu dengan perhatian penuh dan diam-diam muncul harapan dalam hatinya bahwa pemuda itu akan dapat menghindarkan perguruan Jatikusumo dari kehancuran dua orang kakek itu.

   Ki Klabangkolo juga terkejut melihat pemuda itu tegar dan biasa saja menghadapi serangan pekik saktinya seolah tidak merasakan apa-apa. Hal ini membuatnya menjadi penasaran dan semakin marah.

   "Mampuslah!"

   Bentaknya dan kedua tangan yang diangkat ke atas membentuk cakar itu tiba-tiba menghunjam ke bawah, menerkam ke arah tubuh Sutejo! Bhagawan Sindusakti dan para muridnya memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang karena maklum betapa dahsyatnya Serangan yang dikeluarkan Ki Klabangkolo itu. Akan tetapi tubuh Sutejo bergerak dengan ringan dan cepat sekali sehingga terkaman Ki Klabangkolo itu hanya mengenai tempat kosong belaka karena tubuh pemuda itu sudah menghindar dengan kecepatan kilat. Ki Klabangkolo memutar tubuh dan cepat dia sudah menyerang lagi, kini menggunakan ujung lengan baju kirinya yang menyambar ke arah dada Sutejo dan disusul tangan kanan yang menampar ke arah kepala pemuda itu.

   Akan tetapi, kembali serangannya gagal sama sekali karena kedua serangan itupun hanya mengenai angin saja dan tubuh Sutejo telah menyelinap dengan cepatnya dan tahu-tahu telah berada di belakangnya! Biarpun tubuh Ki Klabangkolo tinggi besar seperti raksasa, namun ternyata dia dapat bergerak dengan gesit pula. Begitu tubuh Sutejo berkelebat dan lenyap, lolos dari dua serangannya, dia sudah dapat menduga bahwa lawannya itu tentu berada di belakangnya maka secepat kilat dia sudah membalikkan tubuh lagi dan menghadapi Sutejo.

   Ki Klabangkolo menyerang lagi secara bertubi-tubi, namun Sutejo tetap mengandalkan keringanan dan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini dan semua serangan berantai itu tidak pernah mengenai sasaran. Melihat gerakan pemuda yang selalu mengelak itu, Ki. Klabangkolo menduga bahwa pemuda yang menjadi lawannya itu hanya memiliki keringanan tubuh yang hebat dan hanya mengandalkan kelincahannya untuk terus mengelak dan menghindar. Dia menganggap bahwa Sutejo tidak memiliki ilmu kepandaian lain kecuali mengelak dengan lincahnya. Karena iiu dia menyerang semakin hebat dan bertubi tubi karena merasa yakin bahwa lambat laun tentu terkamannya akan mengenai sasaran juga dan pemuda itu tentu akan roboh kalau terkena satu kali tamparannya saja.

   Bhagawan Sindusakti dan empat orang murid utamanya mengikuti gerakan Sutejo dan mereka terkagum-kagum. Mereka mengenal gerakan itu sebagai gerakan dasar aliran Jatikusumo dan mengandalkan Aji Harina Legawa yang membuat orang dapat bergerak ringan dan cepat. Akan tetapi, biarpun mereka sendiri telah menguasai aji itu, tak pernah mereka dapat membayangkan betapa Aji Harina Legawa dapat membuat orang bergerak seringan dan secepat itu. Mereka semua tidak tahu bahwa Sutejo telah menerima peralihan tenaga sakti dari tubuh mendiang Resi Limut Manik ke dalam tubuhnya sendiri. Dia seolah kini telah menjadi Resi Limut Manik muda!

   "Keparat! Kalau engkau memang gagah, Jangan hanya lari mengelak saja. Hadapi dan sambutlah serangankut"

   Bentak Ki Klabangkolo yang merasa penasaran dan pening juga setelah semua serangannya hanva mengenai tempat kosong. Hal ini amat melelahkan karena tenaga yang dikeluarkan melalui serangan-serangannya tak pernah mengenai sasaran. Pengerahan tenaga yang mengenai tempat kosong ini amat melelahkan, karena bagaimanapun Juga dia berusaha selalu saja gagal maka dia lalu mengeluarkan makian itu.

   "Kau kira aku takut menyambut seranganmu? Kau lihat saja!"

   Kata Sutejo dan dia mengerahkan tenaga saktinya, disalurkan ke arah kedua lengannya. Pada saat itu tamparan tangan kiri Ki Klabangkolo sudah menyambar lagi ke arah mukanya. Untuk membuktikan ucapannya, Sutejo tidak lagi mengelak dan dia menggerakkan lengan kanannya oan bawah ke atas untuk menangkis tamparan tangan kiri lawan itu.

   "Wuuuttt...... dukkkk!"

   Kedua lengan bertemu dengan kerasnya dan keduanya tergetar hebat, akan tetapi kalau Sutejo hanya melangkah ke belakang satu langkah saja, Ki Klabangkolo terhuyung mun"dur sampai tiga langkah!

   Semua orang terkejut dan heran. Bhagawan Sindusakti hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya, Bagaimana mungkin Sutejo dapat menandingi bahkan melebihi kekuatan tenaga sakti Ki Klabangkolo yang demikian besar? Juga Maheso Seto yang kini sudah bangkit berdiri dan menonton bersama isterinya dan adik-adiknya, dibuat tercengang menyaksikan perlawanan Sutejo kepada Ki Klabangkolo. Rahmini menonton dengan kedua pipi berubah kemerahan. Ia merasa malu kepada diri sendiri kalau teringat betapa tadi ia memandang rendah dan menghina pemuda itu.

   Ki Klabangkolo sendiri terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda yang menjadi lawannya itu bukan hanya memliki. kelincahan yang luar biasa, melainkan juga memilik tenaga yang mampu menandingi bahkan melampaui tenaga saktinya! Dia semakin penasaran Kalau seandainya dia dikalahkan oleh Bhagawan Sindusakti, hal itu masih belum memalukan karena Bhagawan Sindusakti, adalah ketua Jatikusumo dan usianya bahkan sudah jauh lebih tua darinya. Akan tetapi pemuda ini? Patut menjadi anak atau keponakannya, atau muridnya! Maka dia menjadi penasaran dan segera dia mengerahkan tenaganya dan merendahkan tubuhnya, hendak mengeluarkan aji yang paling diandalkan, yaitu Aji Singakroda yang mengandung tenaga dalam yang dapat dipergunakan untuk merobohkan lawan dan jarak jauh!

   "Arrgghhhh......!"

   Dia menggereng dan kedua tangannya dengan telapak tangan menghadap ke depan didorongkan ke arah Sutejo. Pemuda ini sudah maklum akan kedahsyatan serangan jarak jauh itu, maka diapun mengerahkan tenaganya dan menekuk kedua lututnya, mendorong kedua tangannya ke depan dengan Aji Gelap Musti.

   "Wuitttt....... blaarrrr ....!!"

   Dua tenaga sakti bertemu di udara dan sekali ini Ki Klabangkolo benar-benar bertemu tanding. Tubuhnya terjengkang dan dia roboh lalu bergulingan sampai ke dekat kaki Resi wisangkolo. Resi ini menggunakan sebatang tongkat ular hitam yang berada di tangan kanannya untuk menahan tubuh kawannya yang bergulingan itu Ki Klabangkolo bangkit berdiri dengan muka pucat dan dari ujung mulutnya keluar darah, tanda bahwa dia telah terluka di sebelah dalam tubuhnya.

   Sutejo sendiri tetap berdiri kokoh seperti batu karang, hanya napasnya saja yang memburu sedikit karena pengerahan tenaga dalam yang amat besar tadi. Terdengar sorak sorai dari semua murid Jatikusumo yang mengepung tempat itu. Rasa lega dan girang meledak di hati mereka yang sejak tadi amat tegang dan prihatin melihat betapa para murid kepala Jatikusumo berturut-turut mengalami kekalahan. Kini, biarpun Sutejo bukan murid langsung perguruan Jatikusumo namun pemuda itu masih mengaku bahwa dia murid Jatikusumo maka tentu saja para murid itu merasa gembira bukan main melihat betapa Sutejo mampu mengalahkan Ki Klabangkolo. Maheso Seto Rahmini dan Cangak Awu tidak bersorak, akan tetapi wajah mereka juga berseri penuh kegembiraan dan kekaguman. Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk, ikut bangga. Hanya Priyadi yang menyambut kemenangan Sutejo itu dengan wajah dingin, alisnya berkerut sedikit dan dia membuat perbandingan apakah sekiranya Sutejo akan mampu menandinginya yang kini telah memiliki ilmu-ilmu yang ampuh. Akan tetapi dia diam saja dan menanti perkembangan lebih lanjut karena di situ masih terdapat seorang musuh lain yang agaknya lebih tangguh dibandingkan Ki Klabangkolo, yaitu Resi Wisangkolo.

   Resi Wisangkolo menepuk tiga kali tengkuk adik seperguruannya dan dengan jari tangan kiri mengurut punggung Ki Klabangkolo. Setelah itu dia berkata, suaranya kecil tinggi seperti suara wanita.

   "Mundur dan mengasolah, Klabangkolo. Biar aku yang memberi hajaran kepada bocah ini."

   Ki Klabangkolo mundur dan Resi Wisangkolo menancapkan tongkat ular hitamnya di atas tanah, kemudian meninggalkan tempat itu dan melangkah maju menghampiri Sutejo. Wajahnya yang masih halus seperti wajah orang muda itu tersenyum dan mata elangnya bersinar penuh selidik ke arah wajah Sutejo.

   "Sutejo, engkau masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Akan tetapi sayang, hari Ini semua ilmumu akan musnah!"

   "Sang Resi Wisangkolo, bagaimanapun juga, pada akhirnya kesesatan akan kalah melawan kebenaran. Engkau membela kesesatan, karena itu aku berani melawanmu dan siapa yang akan kalah atau menang, kita sama lihat saja nanti!"

   Jawab Sutejo dengan tenang.

   "Sutejo, aku dapat menghilang dari pandang mata orang! Lihat, aku sudah menghilang!"

   Dan kakek itu mengeluarkan suara pekik melengking dan tiba-tiba tubuhnya hilang terbungkus asap hitam yang tebal. Keadaan ini tentu saja amat berbahaya bagi Sutejo karena kalau lawan menyerang dia tidak dapat melihat gerakannya. Bukan Sutejo saja yang melihat kakek itu lenyap terbungkus asap hitam tebal, bahkan Bhagawan Sindusakti dan semua muridnya juga melihat demikian. Mereka terkejut dan merasa khawatir sekali.

   Akan tetapi Sutejo bersikap tenang, mengikatkan sarungnya di pinggang, kemudian dia melolos ikat kepalanya yang lebar dan panjang dan menghantamkan kain ikat kepala itu ke arah asap hitam tebal sambil membentak nyaring.

   "Haiiiittt.....!"

   Kain ikat kepala itu menyambar dengan amat kuatnya mendatangkan angin bersiutan.

   "Wuusssss......!"

   Asap hitam tebal itu seketika membuyar dan tampaklah lagi tubuh Resi Wisangkolo yang tinggi kurus, rambutnya yang putih semua. Senyum yang tadinya menghias wajah Resi Wisangkolo menghilang dan dia membelalakkan matanya memandang kepada Sutejo, seolah masih tidak dapat percaya bahwa pemuda itu dapat memunahkan aji sihirnya sedemikian mudah. Dia lalu menggunakan kedua tangannya untuk melepas ikatan tali pinggangnya dan sekarang tali pinggang itu merupakan kolor bercabang dua yang panjang.

   "Sambutlah kolor pusakaku!"

   Bentaknya dan begitu kedua tangannya bergerak, dua helai kolor itu telah menyambar, sehelai ke arah kepala dan sehelai lagi ke arah dada! Dan dua serangan itu dahsyat bukan main, kuat dan cepat sekali sehingga lenyap bentuk tali kotor, berubah menjadi sinar putih yang menyambar bagaikan kilat ke arah dua bagian tubuh Sutejo.

   Akan tetapi Sutejo tidak pernah lengah. Diapun memaklumi benar bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan, seorang yang sakti mandraguna dan berhati kejam, tidak ragu untuk mempergunakan segala ilmunya untuk membunuhnya. Karena itu, melihat dua sinar putih meluncur ke arahnya, diapun menggerakkan kain pengikat kepalanya dan begitu kain itu diputarnya, saking cepatnya yang tampak hanyalah sinar kelabu yang bergulung-gulung dan membentuk perisai di depan tubuhnya. Ketika dua sinar putih itu bertemu dengan gulungan sinar kelabu yang membentuk perisai, dua sinar putih itu mental kembali karena sudah tertangkis kain ikat kepala. Sutejo tidak berhenti sampai di situ saja.

   Setelah kain pengikat kepalanya berhasil menangkis serangan lawan, dia langsung membalas. Dengan gerakan pergelangan tangannya, ujung kain pengikat kepala itu melejit dan mengeluarkah suara berciutan ketika menyambar ke arah dada Resi Wisangkolo. Biarpun yang dipergunakan untuk menyerang hanya sehelai kain, akan tetapi sama sekali tidak boleh dipandang rendah serangan ini karena ujung kain pengikat kepala itu telah disaluri tenaga sakti yang membuat ujung kain dapat menjadi kaku dan keras seperti baja! Resi Wisangkolo juga mengenal serangan ampuh, maka dia mundur ke belakang menghindarkan diri sehingga ujung kain pengikat kepala itu hanya menyambar angin.

   Dua orang itu bertarung dengan seru sekali. Saling serang dan gerakan mereka sedemikian ringan dan cepatnya sehingga bentuk tubuh mereka tidak dapat tampak jelas lagi. Yang tampak hanyalah dua bayang-bayang berkelebatan di antara gulungan sinar putih dan kelabu. Dan pertarungan mereka itu terasa oleh semua orang karena injakan kaki kedua bayang-bayang itu menggetarkan sekeliling tempat pertempuran sampai belasan meter.

   Bhagawan Sindusakti berkali-kali menghela napas panjang. Dia melihat jelas bahwa semua gerakan ilmu silat yang dilakukan Sutejo adalah ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat murni dari perguruan Jatikusumo. Akan tetapi gerakan itu sedemikian hebat dan sampurnanya sehingga dia seolah melihat mendiang gurunya, Resi Limut Manik sendiri, dalam usia yang masih muda, yang bersilat melawan Resi Wisangkolo! Hal ini membuat alisnya berkerut dan dalam pikirannya terbayang akan cerita Bhagawan Jaladara bahwa Resi Limuk Manik tewas di tangan Sutejo dan Puteri Wandansari. Kalau seperti ini kehebatan ilmu silat Sutejo, sama sekali bukan hal yang mustahil kalau pemuda ini bersama Puteri Wandansari berhasil membunuh kakek guru mereka.

   Akan tetapi, benarkah Sutejo yang membunuhnya? Pemuda yang kini dengan mati-matian mau membela nama dan kehormatan Jatikusumo dari kehancuran? Hal itu tidak boleh dia terima begitu saja tanpa ada bukti-buktinya. Akan tetapi renungannya ini segera tersita oleh pertarungan yang amat hebat itu. Dia segera memperhatikan jalannya pertandingan dengan penuh perhatian dan di dalam hatinya tentu saja dia mengharapkan agar Sutejo keluar sebagai pemenang.

   Pertarungan itu berjalan semakin hebat dan seru. Lecut-melecut dengan cepatnya seperti kilat menyambar, kadang terdengar semacam ledakan dari ujung kolor atau ujung kain pengikat kepala memukul udara, bahkan kadang tampak asap mengepul seolah senjata mereka mengeluarkan api.

   Akan tetapi semua serangan kedua pihak tidak pernah berhasil mengenai sasaran. Kalau tidak dielakkan tentu ditangkis.

   Telah lewat lima puluh jurus mereka saling serang dan keadaan menjadi amat menegangkan, Seolah-olah setiap saat mereka akan melihat seorang di antara kedua orang yang bertarung itu akan roboh dan menggeletak mati. Sutejo menyelinap di antara sinar kelabu, menyuruk ke bawah dan tiba-tiba saja dia mengirim lecutan dengan kain pengikat kepala itu ke arah dada Resi Wisangkolo.

   "Wuuuuttt. .... plak!"

   Resi Wisangkolo sekali ini tidak mengelak maupun menangkis, melainkan menyambut lecutan itu dengan dadanya yang kerempeng. Semua orang melihat ini dan menjadi terkejut karena lecut m ujung kain pengikat kepala itu seolah tidak terasa sama sekali oleh kakek tinggi kurus itu Dadanya seolah berubah menjadi baja yang amat kuat sehingga tidak mempan disambar lecutan kain pengikat kepala yang sudah terisi tenaga sakti itu. Kiranya kakek itu memamerkan kekebalan tubuhnya. Begitu menerima sabetan kain pengikut kepala itu, sehelai di antara dua kolor Resi Wisangkolo sudah menyambar ke arah perut Sutejo.

   "Syuuuuttt...... plakk!"

   Sutejo agaknya tidak mau kalah. Diapun telah mengerahkan Aji kekebalan Kawoco sehingga ketika kolor menghantam perutnya, senjata istimewa yang ampuh itu terpental kembali seolah memukul dinding baja yang tebal dan kokoh.

   Kini terjadilah adu kekebalan. Senjata mereka silih berganti menghantam tubuh lawan, akan tetapi tidak pernah mereka berdua menangkis ataupun mengelak, melainkan menerima semua serangan itu dengan mengandalkan aji kekebalan mereka Baju keduanya sudah terkoyak-koyak oleh serangan itu, namun tidak ada sedikitpun kulit mereka yang lecet apa lagi terluka!

   Agaknya Resi Wisangkolo maklum betul, biar. pun dengan perasaan yang mengandung kekejutan dan penasaran, bahwa di luar dugaannya, pemuda itu dapat menandinginya dan sama sekali dia tidak mampu mendesaknya! Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan lawan semuda ini akan tetapi sesakti ini. Dia menjadi penasaran sekali. Lawannya yang masih muda itu mampu menahan pukulan kolor pusakanya dengan mengandalkan aji kekebalannya, tidak ada gunanya lagi mengandalkan kolornya, pikirnya. Dia lalu melompat ke belakang dan membelitkan dua helai ujung kolor itu di pinggangnya, kemudian dia menyambar tongkat ular hitam yang tadi ditancapkan di atas tanah dan memutar-mutar tongkat itu. Tampak sinar hitam bergulung gulung, terdengar suara anuin berdesir dan bercuitan dan semua orang mencium bau amis yang memuakkan!

   Sutejo terkejut juga. Dia dapat menduga bahwa senjata tongkat kakek itu ampuh dan berbahaya sekali dan agaknya kakek itupun memiliki ilmu tongkat yang hebat. Teringatlah dia akan Aji Bajrakirana yang telah dikuasainya. Akan tetapi Pecut Sakti Bajrakirana tidak berada di tangannya, dan untuk dapat memanfaatkan Aji Bajrakirana, setidaknya dia harus memiliki atau memegang sebatang pecut yang baik!

   Sutejo memandang ke sekelilingnya dan berseru.

   "Siapakah di antara saudara saudara yang memiliki sebatang senjata pecut? Kalau boleh, hendak saya pinjam sebentar untuk melawan Resi Wisangkolo!"

   Tiba-tiba saja Rahmini berseru.

   "Terimalah dan pergunakan pecutku ini!"

   Wanita yang tadinya bersikap galak terhadap Sutejo itu sudah melemparkan pecutnya ke arah Sutejo.

   "Terima kasih!"

   Sutejo berseru sambil menyambar pecut itu dengan tangan kanannya. Pecut itu ujungnya sudah putus tiga kali, ketika Rahmini bertandang melawan Ki Klabangkolo. Akan tetapi setelah memegang dan mencoba memutarnya, Sutejo dengan girang mendapat kenyataan bahwa pecut itu masih cukup baik baginya, untuk dipakai bersilat menurut ilmu pecut Bajrakirana yang telah dipelajari dan dikuasainya. Maka dia lalu menghadapi Resi Wisangkolo kembali dan memutar-mutar pecut itu di atas kepalanya.

   Melihat pemuda itu memegang sebatang pecut, Resi Wisangkolo lalu menerjang dengan tongkat ular hitamnya. Gerakannya dahsyat sekali dan ujung tongkat ular hitam itu seperti seekor ular hidup mematuk ke arah muka Sutejo, diantara kedua matanya. Dahsyat dan berbahaya sekali serangan ini, merupakan serangan maut kalau mengenai sasaran. Akan tetapi, Sutejo sudah siap sedia menghadapi serangan yang paling ampuh sekalipun. Dengan sebatang pecut di tangan kanannya, dia merasa mantap dan tenang. Biarpun pecut itu bukan Pecut Sakti Bajrakirana, akan tetapi pecut itu adalah senjata pegangan Rahmini, tentu saja merupakan senjata yang cukup baik, lebih baik daripada pecut biasa yang suka dipergunakan Sutejo kalau dia berlatih ilmu dari Kitab Bajrakirana. Dia menggerakkan pergelangan tangan kanannya dan pecut itu menyambar ke depan, menangkis ujung tongkat.

   "Tarr......!"

   Ujung cambuk melecut dan meledak, kemudian menyambar ke arah tongkat.

   "Prattt......! Tongkat itu ujungnya terpental ketika tertangkis ujung pecut. Akan tetapi Resi Wisangkolo sudah cepat menggerakkan tongkatnya untuk menyerang lagi. Gerakannya amat cepat sehingga sinar tongkatnya bergulung-gulung dan dari gulungan hitam itu kadang mencuat ujung tongkat untuk menyerang dengan tusukan, totokan atau pukulan. Akan tetapi Sutejo sudah mulai memainkan ilmu silat Bajrakirana. Gerakannya tangkas bukan main.

   Pecutnya juga menciptakan sinar merah yang bergulung-gulung. Pecut itu memang berwarna merah dan ke manapun tongkat itu menyerang, selalu tertangkis oleh pecut dan sebaliknya pecut itu juga menyambar-nyambar ganas dalam serangan balasannya.

   Terjadilah pertandingan yang lebih seru dari pada tadi ketika keduanya mempergunakan kolor dan kain ikat kepala sebagai senjata. Kini mereka berdua mempergunakan senjata yang lebih ampuh dan mereka berdua mengerahkan segala kemampuan untuk mengalahkan lawan, bukan sekadar mengalahkan, bahkan serangan-serangan itu merupakan tangan maut yang menyambar-nyambar hendak merenggut nyawa! Bau amis dari tongkat Resi Wisangkolo itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Namun, gerakan cambuk Sutejo mendatangkan angin yang demikian kuat menyambar ke depan sehingga bau amis itu dapat terusir. Mereka saling serang, saling desak, kadang maju kadang mundur dan pertarungan itu semakin seru dan menegangkan semua orang yang menontonnya.

   Ki Klabangkolo sendiri sudah pulih kembali dan diapun menonton dengan mata terbelalak. Sekarang dia tidak merasa penasaran mengapa dirinya kalah oleh Sutejo. Kiranya pemuda itu sedemikian saktinya sehingga mampu menandingi Resi Wisangkolo! Mulailah hati Ki Klabangkolo menjadi resah.

   Kalau kakak seperguruannya tidak mampu mengalahkan Sutejo, jelas bahwa kedudukan dia dan kakak seperguruannya itu terancam bahaya. Kalau guru dan para murid Jatikusumo serentak maju, bagaimana dia akan mampu menandingi mereka? Mulailah dia menonton dengan hati gelisah.

   Priyadi yang sejak tadi menonton, semakin terkejut kepadi Sutejo. Pemuda itu benar benar merupakan lawan tangguh. Yang amat menarik hatinya adalah ilmu pecut yang dimainkan Sutejo. Bukan main hebatnya ilmu pecut itu dan diapun dapat menduga bahwa tentu itu yang disebut Aji Bajrakirana dan yang menjadi ilmu rahasia dari Jatikusumo yang tidak pernah diajarkan kepada para murid. Bahkan gurunya sendiripun tidak pernah mempelajarinya. Dan kini ilmu itu telah dikuasai Sutejo. Pada hal Sutejo hanya menggunakan pecut milik Rahmini. Kalau dia memegang Pecut Sakti Bajrakirana, tentu akan lebih hebat dan dahsyat lagi permainan pecutnya. Timbul keinginan hatinya untuk dapat menguasai ilmu itu!

   Pertandingan sudah berjalan lebih dari lima puluh jurus dan keadaan mereka berdua masih seimbang. Hanya bedanya kalau keadaan tubuh Sutejo masih segar dan tidak berkurang kegesitannya, Sebaliknya Resi Wisangkolo mulai mandi keringat dan uap putih mengepul di atas ubun-ubunnya, menandakan bahwa kakek itu sudah mulai kelelah

   an. Dalam pertandingan, di mana tenaga maupun tingkat kepandaian mereka seimbang, soal usia memang memegang peran penting. Resi Wisangkolo yang sudah berusia enam puluh tahun itu tentu saja tidak memiliki daya tahan tubuh sekuat Sutejo yang baru berusia dua puluh dua tahun!

   Resi Wisangkolo menjadi penasaran bukan main. Dia akan mendapat malu dan nama besarnya akan runtuh kalau dia tidak mampu keluar sebagai pemenang, mengalahkan lawan yang masih muda ini, Bagaimana mungkin dia sampai kalah oleh seorang murid muda dari perguruan Jatikusumo? Dia mulai merasa lelah, napasnya terengah dan dia sadar bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin kehabisan napas dan kalau sudah begitu, tentu saja dia akan kalah. Karena itu, sebelum teuaganya terkuras, dia akan mempergunakan aji pamungkasnya, yaitu aji terakhir yang merupakan simpanannya dan juga andalannya. Dia melompat ke belakang lalu menancapkan tongkat ular hitamnya ke atas tanah.

   "Heh, Sutejo! Kalau engkau memang digdaya, mari kita hentikan adu senjata ini dan mari kita mengadu tenaga sakti!"

   Melihat sikap dan mendengar ucapan lawan ini, Sutejo maklum bahwa lawan hendak menyimpan tenaga dan hendak mempergunakan aji pamungkas untuk memaksakan kemenangan. Tadi beberapa kali mereka sudah saling mengadu tenaga sakti lewat senjata, maka diapun tidak merasa gentar dan dia lalu menyelipkan gagang pecut itu ke ikat pinggang di bagian punggung.

   "Resi Wisangkolo! Engkau yang datang menantang, aku hanya melayani tantanganmu. Keluarkanlah semua ilmumu akan kulayani!"

   Kata Sutejo, diam-diam siap dengan pengumpulan tenaganya karena dia maklum bahwa dia akan menghadapi benturan tenaga yang amat kuat.

   "Sambut pukulan Aji Guntur Bumi!"

   Kata Resi Wisangkolo sambil merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok dan kedua telapak tangannya terbuka, menempel pada tanah di depannya. Ketika dia mengerahkan tenaga, seolah menyedot tenaga dari bumi, tubuhnya menggigil, wajahnya perlahan-lahan berubah menghitam dan ketika dia mengangkat kedua tangannya untuk didorongkan ke depan, ke arah Sutejo, maka pada saat itu bumi bergoyang seperti terjadi gempa bumi yang amat kuat! Serangkum tenaga yang membawa getaran dahsyat menyergap ke arah Sutejo!

   Pemuda ini dengan tenang, segera mengerahkan Aji Gelap Musti, merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut dan setelah menyembah ke atas, kedua telapak tangannya didorongkan untuk me"nyambut serangan lawan.

   "Wuuuuuttt...... bresssss......!"

   Dua tenaga sakti yang bebat bertemu di udara, di antara mereka. Benturan tenaga ini terasa oleh semua orang yang menonton sehingga mereka terdorong ke belakang dan melangkah sampai tiga empat kali untuk mencegah agar jangan sampai terjengkang. Akan tetapi mata mereka tetap memandang ke arah kedua orang yang mengadu tenaga sakti itu. Sutejo terdorong ke belakang sampai dua depa, akan tetapi kedua kakinya masih memasang kuda-kuda, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Kedua kakinya tak pernah terangkat, akan tetapi dia terdorong ke belakang sehingga dua kakinya membuat guratan yang cukup dalam di atas tanah sepanjang dua depa, Akan tetapi Resi Wisangkolo juga terdorong mundur, bahkan terhuyung sampai lima langkah dan wajahnya menjadi pucat, keringatnya membasahi muka dan leher!

   
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Resi Wisangkolo masib penasaran. Dia masih memiliki sebuah aji kesaktian lagi yang amat ampuh, maka dia lalu melangkah lagi maju lima langkah.

   "Sutejo, ternyata engkau memang pantas menjadi lawanku. Aku masih memiliki sebuah aji simpanan. Beranikah engkau menyambutnya?"

   "Silakan, Resi Wisangkolo. Semua kehendakmu akan kulayani."

   Kata Sutejo dan diapun maju sejauh dua depa sehingga mereka berdua kini berhadapan dalam jarak seperti tadi.

   Kini kakek itu mengangkat kedua tangannya ke atas, dengan telapak tangan menghadap ke atas seolah hendak menyedot hawa sakti dari angkasa, kemudian dia menurunkan kedua tangan itu dan dengan telapak tangannya dia mendorong ke depan, ke arah Sutejo sambil berteriak nyaring.

   "Aji Guntur Geni!!"

   Sutejo masih tenang, akan tetapi sejak tadi dia sudah mengerahkan tenaga saktinya dan menghadapi serangan itu, diapun berseru.

   "Aji Bromo kendali!!"

   Dan diapun mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan. Dua tenaga sakti yang lebih dahsyat dan pada tadi kembali bertumbukan di udara dan sekali ini bahkan mengeluarkan suara ledakan keras.

   "Wuuuuuttt......blarrrr.....!"

   Banyak murid Jatikusumo terpental dan terpelanting seolah ada halilintar menyambar mereka. Demikian dahsyat pertemuan dua tenaga yang berlawanan itu. Akibatnya juga hebat. Sutejo terhuyung ke belakang dan wajahnya menjadi pucat, napasnya memburu, akan tetapi dia masih dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan tetap berdiri tegak. Akan tetapi Resi Wisangkolo terpelanting keras dan terbanting roboh. Lalu dia bergulingan sampai jauh, lalu bangkit duduk bersila dan mengatur, pernapasan karena dia telah menderita luka dalam yang cukup parah!

   Kekalahan Resi Wisangkolo sudah jelas. Ki Klabangkolo sadar akan hal ini dan kekalahan ini menghancurkan keangkuhannya. Tanpa berkata apa-apa dia lalu menghampiri kakak seperguruannya, mengangkat dan memondong tubuh tinggi kurus yang kini tampak lemah itu, lalu dia membawanya pergi tanpa menoleh lagi!

   Suasana hening sejenak, kemudian pecahlah kegembiraan para murid Jatikusumo dan mereka bersorak atas kemenangan Sutejo yang telah berhasil mengusir dua orang' musuh yang sakti mandraguna itu.

   Sutejo menghampiri Rahmini dan menyerahkan kembali pecut itu sambil berkata.

   "Banyak terima kasih, mbakyu Rahmini. Pecut ini amat baik."

   Rahmini menerima pecut dan masih belum dapat mengeluarkan kata-kata seperti halnya suaminya dan yang lain-lain, Bahkan Bhagawan Sindusakti masih berdiri terhenyak saking heran dan kagumnya menyaksikan kemenangan Sutejo menandingi dua orang kakek itu. Ketua Jatikusumo ini merasa serba salah. Di satu pihak dia masih terpengaruh kata-kata Bhagawan Jaladara bahwa Resi Limut Manik dibunuh oleh Sutejo dan Puteri Wandansari, akan tetapi di lain pihak sekarang ternyata bahwa yang menyelamatkan Jatikusumo dari kehancuran adalah Sutejo!

   "Sutejo, engkau telah berhasil mempertahankan kehormatan dan nama besar Jatikusumo. Mari kita bicara di dalam."

   Bhagawan Sindusakti berkata lembut.

   Sutejo mengangguk dan mengikuti paman gurunya itu yang memasuki gapura lalu menuju ke rumah induk sebagai tempat tinggalnya, Maheso Seto, Rahmini, Priyadi, dan Cangak Awu mengikuti dari belakang. Mereka semua memasuki ruangan depan rumah Bhagawan Sindusakti dan mengambil tempat duduk. Bhagawan Sindusakti duduk di atas kursinya dan empat orang murid kepala duduk di kanan kirinya sedangkan Sutejo duduk di atas kursi yang berhadapan dengan ketua itu.

   "Sutejo sebelum kita membicarakan urusan penting lainnya, terlebih dulu aku hendak mengucapkan terima kasih atas bantuanmu sehingga perguruan Jatikusumo terhindar dari penghinaan Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Sungguh kami menghargai sekali bantuanmu itu dan sama sekali kami tidak pernah dapat menyangka bahwa engkau akan mampu menandingi dan mengalahkan mereka berdua."

   "Maafkan aku yang pernah memandang rendah kepadamu, Adi Sutejo."

   Kata pula Cangak Awu yang masih terkagum-kagum melihat sepak terjang Sutejo tadi.

   "Tidak ada vang perlu dimaafkan, Kakangmas Cangak Awu."

   Jawab Sutejo sambil memandang kepada pria tinggi besar itu.

   "Kami juga merasa menyesal dan kecelik telah memandang rendah kepadamu, Adi Sutejo."

   Kata Maheso Seto dengan muka berubah kemerahan, sementara itu Rahmini hanya menundukkan muka.

   "Aku tidak merasa dipandang rendah, Kakangmas Maheso Seto. Sebaiknya urusan yang lalu itu kita lupakan saja. Seperti yang pernah dikatakan Kakang Cangak Awu, bagaimanapun juga di antara kita masih ada ikatan perguruan."

   "Sutejo, tadi engkau mengatakan bahwa kedatanganmu adalah untuk bicara tentang Kitab Bajrakirana dan tentang kematian Bapa Resi Limut Manik. Sungguh kebetulan tekali karena akupun ingin sekali bicara denganmu tentang itu. Dan karena engkau juga menyadari bahwa engkau masih terhitung murid perguruan Jatikusumo, maka aku percaya bahwa engkau tentu akan bicara sejujurnya sebagai seorang murid yang baik."

   "Paman Bhagawan, sesunguhnya saya merasa amat terkejut dan penasaran mendengar tuduhan yang diucapkan Kakang Cangak Awu bahwa saya dan Diajeng Wandansari telah membunuh Eyang Resi Limut Manik. Juga sama sekali saya tidak pernah merampas atau mencuri Kitab Bajrakirana. Semua itu adalah fitnah keji yang dijatuhkan kepada saya dan Diajeng Wandansari, Paman Bhagawan."

   "Sutejo, kami tidak pernah menjatuhkan fitnah, kami hanya mendengar hal itu dan Adi Bhagawan Jaladara. Sebetulnya bagaimanakah? Menurut engkau, siapa yang telah membunuh Bapa Resi Limut Manik?"

   Tanya Bhagawan Sindusakti.

   "Paman Bhagawan, agaknya Paman Jaladara telah memutar-balikkan kenyataan dan perbuatannya itu lebih membuktikan lagi betapa jahatnya Paman Bhagawan Jaladara. Sebelumnya dia telah membunuh Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal."

   "Hemm, apakah engkau melihat sendiri ketika Adi Jaladara membunuh Adi Sidik Paningal?"

   Tanya Bhagawan Sindusakti dengan suara ragu.

   "Kalau benar demikian, apa alasannya maka Adi Jaladara membunuh gurumu?"

   "Begini permulaannya, Paman Bhagawan. Pada suatu malam Bapa Guru dan saya menghadapi serangan orang dengan ilmu Hitam santet. Akan tetapi Bapa Guru telah dapat menolaknya dan kami berdua terbebas dari ancaman bahaya. Pada keesokan harinya, muncul Paman Jaladara bersama dua orang anak buahnya, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, keduanya merupakan jagoan dari Wirosobo. Paman Jaladara hendak memaksa Bapa Guru melakukan dua hal. Pertama agar Bapa Guru membantu gerakan di Wirosobo yang hendak memberontak, dan kedua agar Bapa Guru tidak mempelajari Agama Islam. Tuntutan ini ditolak oleh Bapa Guru sehingga timbul perkelahian karena Paman Jaladara memaksakan kehendaknya. Bapa Guru dapat memukul mundur Paman Jaladara dan dua orang kawannya itu. Akan tetapi tiba-tiba Paman Jaladara mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana dan melibat pecut pusaka itu Bapa Guru tidak berani melawan lagi dan membiarkan dirinya dihajar oleh Paman Jaladara. Ketika saya membela Bapa Guru, sayapun dihajarnya dan Bapa Guru melarang saya melawan karena kami harus menghormati dan tunduk kepada pemegang Pecut Sakti Bajrakirana. Akhirnya setelah puas memukuli Bapa Guru, Paman Jaladara pergi dan meninggalkan pesan bahwa kalau dalam waktu sebulan Bapa Guru tidak memenuhi permintaan permintaannya tadi, dia akan datang kembali untuk membunuh Bapa Guru."

   "Hemm, bagaimana sampai dapat terjadi hal seperti itu?"

   Kata Bhagawan Sindusakti sambil mengerutkan alisnya.

   "Kemudian bagaimanakah, Sutejo?"

   "Bapa Guru menderita luka-luka, akan tetapi dapat pulih kembali. Beliau mengutus sava untuk pergi ke puncak Gunung Semeru menghadap Eyang Resi Limut Manik dan melaporkan tentang perbuatan Paman Jaladara. Setelah menghadap Eyang Resi, saya mendengar dari Eyang Resi bahwa Pecut Sakti Bajrakirana memang dicuri oleh Paman Jaladara dari padepokan Eyang Resi. Mendengar akan perbuatan Paman Jaladara, Eyang Resi menurunkan tenaga saktinya kepada saya dan memerintahkan saya untuk merampas Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Jaladara."

   Bhagawan Sindusakti mengelus-elus jenggotnya yang putih dan mengangguk-angguk.

   "Pantas engkau memiliki tenaga sakti yang demikian kuat, kiranya eyang gurumu telah menurunkan tenaga saktinya kepadamu. Engkau sungguh beruntung, Sutejo. Kemudian bagaimana? Lanjutkan ceritamu ."

   "Setelah meninggalkan padepokan Eyang Resi Limut Manik, dalam perjalanan saya bertemu dengan Paman Jaladara. Kami bertengkar dan berkelahi. Paman Bhagawan Jaladara mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana dan akhirnya saya dapat merampas pecut pusaka itu dari tangannya."

   Sutejo berhenti dan teringat kepada Retno Susilo yang melarikan pecut itu akan tetapi kemudian dapat kembali ke tangannya.

   "Lalu bagaimana, Sutejo? Lanjutkan ceritamu kata Bhagawan Sindusakti dengan hati tertarik.

   "Setelah berhasil mendapatkan Pecut Sakti Bajrakirana, saya cepat kembali ke padepokan Bapa Guru di Lereng Gunung Kawi."

   Dia tidak menceritakan tentang pertemuannya dengan Retno Susilo yang membuat dia terlambat kembali ke padepokan gurunya sehingga dia terlambat pula melindungi gurunya dari serangan Bhagawan Jala"dara dan teman-temannya.

   "Setelah tiba di sana, kiranya Paman Bhagawan Jaladara telah berada di sana pula bersama Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan seorang lagi, Tumenggung Janurmendo, seorang senopati Wirosobo yang sakti. Dalam pertandingan melawan Tumenggung Janurmendo, Bapa Guru terluka parah dan dia masih disiksa oleh Bhagawan Jaladara. Saya segera membantu Bapa Guru dan hendak melawan mereka, akan tetapi Bhagawan Jaladara telah mengancam akan membunuh Bapa Guru yang telah berada dalam cengkeramannya kalau saya tidak menyerahkan Pecut Sakti Bajrakirana kepadanya. Melihat keadaan Bapa Guru yang terancam maut, terpaksa saya menyerahkan pecut pusaka itu dan sebagai penukarannya, Bapa Guru dibebaskan. Setelah Bapa Guru dibebaskan, saya mengamuk dan berusaha untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana, akan tetapi mereka melarikan diri membawa pecut pusaka itu. Demikianlah, Paman Bhagawan Sindusakti. Bapa Guru terluka parah dan meninggal dunia dan memesan kepada saya untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana."

   "Kejam sekali Paman Bhagawan Jaladara!"

   Kata Maheso Seto dengan suara penuh geram.

   "Kejam dan jahat!"

   Kata pula Rahmini.

   "Perbuatan itu tidak boleh didiamkan saja!"

   Kata pula Cangak Awu dengan marah.

   "Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan Adi Cangak Awu, kita hanya mendengar cerita ini dari satu pihak. Harap andika semua tenang dulu. Cerita Paman Jaladara lain lagi dan masih perlu dibuktikan kelak siapa di antara mereka berdua yang bicara benar dan siapa pula pembohong."

   Kata Priyadi dengan suara tenang.

   Bhagawan Sindusakti mengangguk-angguk, agaknya setuju dengan pendapat Priyadi ini. Sambil mengelus jenggotnya dan memandang kepada Sutejo, dia berkata.

   "Sutejo, ceritakanlah bagaimana selanjutnya pengalamanmu, tentang kematian Bapa Resi Limut Manik dan tentang Kitab Bajrakirana."

   "Baik. Paman Bhagawan. Saya akan bercerita sejujurnya dan terserah kepada paman dan para saudara untuk menilai benar tidaknya cerita saya ini. Setelah Bapa Guru meninggal dunia, saya pergi merantau dan pada suatu hari saya naik ke Gunung Semeru untuk menghadap Eyang Resi Limut Manik. Setibanya di sana, saya melihat kedua cantrik Penggik dan Pungguk sudah tewas, Eyang Resi Limut Manik menderita luka-luka parah dan diajeng Wandansari menghadapi pengeroyokan empat orang yang bukan lain adalah Paman Bhagawan Jaladara dan tiga orang rekannya yang juga mengeroyok dan menewaskan Bapa Guru itu. Saya lalu membantu diajeng Wandansari dan kami berdua berhasil mengusir keempat orang jahat itu. Akan tetapi keadaan Eyang Resi Limut Manik sudah payah dan hanya dapat bertahan selama beberapa hari saja. Akan tetapi waktu beberapa hari itu dia pergunakan untuk memberi petunjuk kepada saya untuk mempelajari Kitab Bajrakirana dan diajeng Wandansari mempelajari Kitab Kartika Sakti. Eyang Resi memberikan Kitab Bajrakirana kepada saya dan memberikan pedang pusaka Kartika Sakti dan kitabnya kepada diajeng Wandansari. Juga beliau memesan agar saya merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Demikianlah, Paman Bhagawan, keadaan sebenarnya bagaimana Eyang Resi Limut Manik menemui kematiannya dan bagaimana pula kedua Kitab Pusaka itu diberikan kepada saya dan diajeng Wandansari."

   "Akan tetapi, kurasa Bapa Guru Resi Limut Manik tentu memesan kepadamu untuk menyerahkan Pecut Sakti dan Kitab Bajrakirana kepadaku karena pusaka itu adalah pusaka perguruan Jatikusumo. Kedua pusaka itu sejak dahulu telah dipergunakan untuk membela perguruan Jatikusumo."

   Kata Bhagawan Sindusakti dengan suara lembut.

   "Maafkan kalau saya menyangkal, Paman Bhagawan. Akan tetapi Eyang Resi Limut Manik memesan wanti-wanti kepada kami berdua untuk mempergunakan kedua pusaka itu, pertama untuk membela Mataram yang menghadapi banyak pemberontakan, dan mempergunakan pula untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena itulah maka saya tidak dapat memenuhi kehendak Kakang Cangak Awu ketika dia minta agar pusaka yang berada pada saya, yaitu Kitab Bajrakirana, diserahkan kepadanya untuk dihaturkan kepada paman."

   "Kalau begitu sebagai seorang murid Jatikusumo, engkau hendak mengingkari kewajibanmu untuk berbakti kepada perguruan. Seharusnya kitab Bajrakirana yang ada padamu itu diserahkan kepada Bapa Guru sebagai Ketua perguruan Jatikusumo!"

   Berkata Maheso Seto.

   "Maaf, Kakang Maheso Seto. Karena saya menerima pesan wasiat langsung dari mendiang Eyang Resi, dan saya tidak merupakan murid perguruan Jatikusumo, maka terpaksa saya lebih mengutamakan ketaatan kepada mendiang Eyang Resi daripada yang lain."

   "Sudahlah, urusan Kitab Bajrakirana kita tunda dulu. Yang terpenting kami harus mengetahui dengan jelas siapa yang telah membunuh Bapa Resi Limut Manik dan sesungguhnya kepada siapakah mendiang Bapa Guru menyerahkan Pecut Sakti Bajrakirana, karena buktinya pecut itu berada di tangan Adi Bhagawan Jaladara."

   Kata Bhagawan Sindusakti melerai.

   "Saya akan berusaha untuk merampas kembali pecut pusaka Itu, Paman Bhagawan Sindusakti!"

   Kata Sutejo dengan tegas.

   "Akan tetapi kalau pusaka itu sudah berada di tangan kami, pusaka itu menjadi hak kami dan siapapun juga tidak boleh mengambilnya dari tangan kami."

   Kata Bhagawan Sindusakti.

   "Karena pusaka itu adalah pusaka lambang kejayaan perguruan Jatikusumo."

   "Kita sama lihat saja nanti, paman. Sekarang ijinkan saya mengundurkan diri dan melanjutkan perjalanan saya."

   Bhagawan Sindusakti mengangguk. Hatinya merasa tidak enak. Sebetulnya dia harus menahan Sutejo dan menuntut agar Kitab Bajrakirana diserahkan kepadanya. Akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa? Bagaimanapun juga, baru saja Sutejo telah menyelamatkan nama dan kehormatan perguruan Jatikusumo, dan untuk memaksa pemuda itu menyerahkan kitab, siapa di antara murid Jatikusumo yang akan mampu menandinginya? Diapun mengangguk ketika Sutejo menyembah dan meninggalkan perkampungan Jatikusumo.

   Dua orang penunggang kuda itu melarikan kudanya menerabas hutan yang lebat itu. Dari cara mereka duduk dengan tegak di atas punggung kuda yang berlari cepat itu, dapat diduga bahwa mereka adalah dua orang penunggang kuda yang mahir.

   Yang melarikan kuda di depan adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh sedang dan tegap, wajahnya tampan gagah dan sepasang matanya mencorong penuh wibawa. Kumisnya yang melintang seperti kumis Raden Gatotkaca itu menambah keangkeran dan kegagahan wajahnya. Sebatang keris terselip di pinggangnya, dan dari pakaiannya yang gemerlapan dengan tanda-tanda pangkat, dapat diduga bahwa orang ini adalah seorang ponggawa kerajaan yang berpangkat tinggi. Dugaan ini benar karena pria itu adalah Ki Mertoloyo, seorang senopati besar kerajaan Mataram, seorang di antara para ponggawa yang menjadi kepercayaan Sultan Agung Penunggang kuda kedua yang melarikan kudanya di belakang Ki Mertoloyo lebih mengagumkan lagi.

   Ia adalah seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah cantik manis sekali. Rambutnya yang hitam disanggul agak mawut tertiup angin sehingga sebagian rambutnya terjurai menutupi sebagian mukanya. Matanya lebar dan bersinar tajam, mulutnya yang manis itu menyungging senyuman lembut. Hidungnya yang kecil mancung menambah kemanisan wajahnya. Gadis ini adalah Winarti, puteri Ki Mertoloyo. Dari ayahnya yang gagah perkasa dan sakti mandraguna, gadis ini sejak kecil juga mendapat gemblengan olah kanuragan sehingga kini ia menjadi seorang gadis yang digdaya. Cara ia menunggang kuda juga sudah membayangkan ketangkasannya.

   Sebagai seorang senopati besar, Ki Mertoloyo mendapat tugas dari Sultan Agung untuk mempersiapkan pertahanan di daerah perbatasan, untuk bersiap siaga kalau-kalau ada para pemberontak yang melakukan gerakan menyerbu daerah Mataram. Untuk keperluan itu, Ki Mertoloyo mengadakan perjalanan ke daerah perbatasan, menghubungi kepala-kepala daerah lurah dan demang, untuk menyusun dan memperkuat pertahanan di daerah itu. Untuk melaksanakan tugas berkeliling dan melakukan pemeriksaan ini, senopati yang gagah perkasa itu tidak membawa pasukan pengawal, melainkan hanya ditemani puterinya, Winarti yang gagah perkasa. Berdua dengan puterinya, senopati itu merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi ancaman bahaya dari manapun datangnya. Dan buktinya, selama melakukan pemeriksaan di perbatasan sebulan lebih lamanya, dia dan puterinya tidak pernah menemui halangan yang berarti.

   

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini