Pecut Sakti Bajrakirana 13
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Pada siang hari itu, mereka membalapkan kuda menerobos hutan menuju ke dusun Pamrican, sebuah dusun yang berada di ujung utara daerah perbatasan. Pamrican adalah sebuah dusun kademangan dan yang menjabat demang di situ adalah Ki Demang Sengkali, Senopati Mertoloyo mengenal baik Ki Sengkali, maka kini dia hendak berkunjung ke Pamrican dan membicarakan tentang pertahanan Timur Laut itu dengan Ki Demang, Perjalanan ke Pamrican melalui daerah berhutan yang jaraknya hanya belasan pal dari Pamrican.
Karena matahari telah naik tinggi dan dia tidak ingin terlalu larut tiba di Pamrican maka Senopati Mertoloyo membalapkan kudanya dan Winarti mengikuti dari belakang, Gadis ini sudah mahir sekali menunggang kuda sehingga ia dapat mengikuti ayahnya tanpa kesulitan.
Tiba-tiba mereka berdua melihat kobaran api menghadang di tengah jalan yang mereka lalui.
"Tahan......!"
Kata Ki Mertoloyo sambil menarik kendali kuda dan mengangkat tangan kiri memberi isarat kepada puterinya untuk menahan larinya kuda.
Dua ekor kuda yang ditahan itu meringkik ketika kendali ditarik oleh penunggangnya, juga karena terkejut melihat kobtran api. Setelah dua ekor kuda berhenti berlari, tiba-tiba dari empat penjuru berloncatan dari balik batang pohon dan semak belukar belasan orang yang kelihatan kasar dan bengis. Mereka semua memegang senjata, ada yang membawa golok, pedang atau keris dan mereka segera mengepung ayah dan anak yang menjadi terkejut itu. Ada sebagian orang dari mereka memadamkan api dengan menginjak-injak ranting dan daun kering yang tadi mereka bakar untuk menghentikan larinya dua ekor kuda itu.
Melihat dia dan puterinya dikepung orang-orang bersenjata yang jumlahnya hampir dua puluh orang itu, Ki Mertoloyo lalu melompat turun dari atas punggung kuda, diturut oleh Winarti yang juga melompat turun dari atas kudanya. Dua ekor kuda yang dilepas kendalinya itu mundur-mundur ketakutan melibat banyak orang dan mereka lalu ditangkap oleh dua orang pengepung dan dibawa keluar dari kepungan. Mertoloyo dan Winarti tidak dapat mencegah dirampasnya dua ekor kuda mereka itu karena mereka harus berjaga diri melihat belasan orang itu mengancam mereka.
(Lanjut ke Jilid 14)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
Ki Mertoloyo mengerutkan alisnya, sikapnya tenang dan sama sekali tidak gentar. Dia melangkah maju menghampiri seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin mereka melihat pakaiannya yang berbeda dari yang lain. Pakaiannya agak mewah dan dia membawa sebatang keris yang sarungnya terukir indah terselip di pinggangnya.
"Ki Sanak,"
Tegur Ki Mertoloyo sambil mengamati wajah orang-orang yang berhadapan dengannya.
"Andika sekalian ini siapakah dan apa maksud andika sekalian menghadang perjalanan kami?"
Si muka hitam yang usianya sekitar empat puluh tahun itu mengelebatkan golok di tangannya dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kawan-kawan ! Dia masih bertanya mengapa kita menghadangnya, ha-ha-ha!"
Seorang lain yang mukanya brewok, berusia kurang lebih empat puluh tahun Juga tertawa.
"Ha-ha-ha, mau kenal nama kami? Aku adalah Klabang Lorek, jagoan Wirosobo!"
Dia mengamangkan goloknya.
"Dan aku adalah Klabang Belang, Juara Wirosobo!"
Kata yang bermuka hitam.
Ki Mertoloyo memandang tajam penuh selidik. Melihat sikap kedua orang ini agaknya mereka itu bukan perampok biasa. Mungkin mereka adalah kaki tangan Kadipaten Wirosobo yang sudah mengetahui siapa dia dan sengaja menghadang dan mengganggu.
"Kalian mau apakah menghadang perjalanan kami?"
Tanyanya.
"Tinggalkan gadis ini dan dua ekor kudamu, baru engkau boleh lewat di jalan ini!"
Kata Klabang Belang sambil mengerling ke arah Winarti dan menyeringai.
Wajah Ki Mertoloyo berubah merah, kumisnya tergetar dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan.
"Klabang Belang dan Klabang Lorek, buka lebar-lebar mata dan telingamu! Aku adalah Senopati Mertoloyo dari Mataram! Apakah kalian sudah bosan hidup, berani menghadang dan mengganggu kami ayah dan anak?"
"Senopati Mertoloyo, kalau engkau tidak mau menyerahkan puterimu, kami akan merampasnya dengan paksa dan membunuhmu!"
Setelah berseru demikian, Klabang Belang memberi isarat dengan tangan kirinya yang diangkat ke atas, menyuruh anak buahnya mengeroyok Ki Mertoloyo dan menangkap gadis cantik itu. Para anak buah itu menggerakkan senjata mereka menerjang Ki Mertoloyo, sedangkan Klabang Belang dan Klabang Lorek seperti berlomba hendak menangkap gadis yang cantik manis itu.
Ki Mertoloyo tidak mengkhawatirkan puterinya karena diapun maklum bahwa puterinya sudah memiliki bekal kedigdayaan yang memadai, yang tidak perlu khawatir kalau hanya dikeroyok dua orang kasar seperti Klabang Belang dan Klabang Lorek itu. Apa lagi kedua orang itu tidak berniat membunuhnya, melainkan menangkapnya, maka tentu akan lebih mudah bagi puterinya untuk membela diri. Akan tetapi, enam belas orang anak buan gerombolan itu menerjang dan mengeroyoknya dengan niat membunuh. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka maju menyerang, demikian ganas mereka mempergunakan senjata untuk menyerangnya. Dari empat penjuru mereka datang menyerangnya.
Beberapa batang tombak, pedang, golok dan keris meluncur ke arah tubuhnya dalam serangan maut. Akan tetapi dia tidak menjadi jerih. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Ki Mertoloyo menyambut para pengeroyoknya dengan tendangan dan tamparan kedua kaki tangannya. Dia bahkan tidak menghindarkan tangan dan kakinya bertemu dengan senjata tajam runcing mereka. Ternyata kedua lengan dan kakinya dilindungi Aji Kekebalan yang amat kuat, yang membuat kulit tubuhnya Seperti terbuat dari baja dan semua senjata yang bertemu dengan kaki dan tangannya terpental. Terdengar pekik-pekik kesakitan dan tubuh para pengeroyok itu berpelantingan.
Akan tetapi agaknya mereka mengandalkan jumlah banyak, maka mereka yang jatuh digantikan oleh kawan dan yang tidak terluka parah segera bangkit dan mengeroyok kembali. Ki Mertoloyo mengamuk bagaikan seekor harimau yang dikeroyok segerombolan anjing serigala. Dia adalah seorang senopati yang sudah banyak pengalaman dalam pertempuran, dan dia seorang senopati besar. Dia tidak mau sembarangan membunuh orang, dan hanya membuat para pengeroyok jungkir balik dan berpelantingan, tanpa menggunakan kerisnya atau pukulan mautnya.
Klabang Belang dan Klabang Lorek juga kecelik sekali. Ketika tadi mereka maju menghampiri Winarti, mereka mengira akan dapat segera merangkul dan mendekap gadis yang cantik manis itu. Akan tetapi ketika Klabang Belang menubruk, gadis itu dengan lincahnya mengelak sehingga tubrukan itu mengenai tempat kosong. Ketika Klabang Lorek menyambut dari depan untuta menangkap lengan Winarti, gadis ini menangkis dengan gerakan tangan kiri ke atas. Tangkisannya demikian kuat sehingga tangan kanan Klabang Lorek yang meraih itu terpental dan sebelum Klabang Lorek dapat mengelak, kaki kanan gadis itu mencuat dengan kecepatan kilat.
"Bukkk!"
Perut Klabang Lorek yang agak gendut itu terkena tendangan dan dia terjengkang, walaupun tidak sampai roboh akan tetapi dia terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi perutnya Perutnya terasa mulas sekali, melilit-lilit, mungkin usus buntunya yang terkena tendangan kaki mungil Winarti!
Melihat temannya tertendang. Klabang Belang masih belum menyadari akan kehebatan gadis itu. Dia malah menertawakan Klabang Lorek yang meringis sambil mengelus perutnya.
"Ha-ha ha!"
Dia tertawa dan tiba-tiba saja dia menubruk ke arah Winarti, dengan keyakinan bahwa sekali ini dia tentu akan mampu mendekap gadis yang menggairahkan hatinya itu. Namun kembali dia menubruk angin karena entah bagaimana caranya, gadis itu telah menyelinap dan mengelak dengan lincah sekali dan tahu-tahu gadis itu telah berada di belakangnya. Winarti menggerakkan tangan kirinya menempiling ke arah belakang telinga Klabang Belang "Prattt ...... !"
Wahupun yang menempiling itu hanya sebuah tangan yang kecil dan berkulit halus, namun nyatanya Klabang Belang merasa seolah ada halilintar menyambar kepalanya. Dia terpusing dan jatuh duduk, memegangi kepalanya karena rasanya kepalanya berpusing atau bumi di sekelilingnya berputar aneh.
Sekali ini giliran Klabang Lorek yang menertawakannya. Si brewok gendut yang rasa nyeri di perutnya sudah mereda ini, berdiri sambil tertawa dan telunjuk kirinya menuding ke arah kawannya yang masih terduduk sambil memegangi kepalanya.
"Ha-ha ha-ha!"
Klabang Lorek tertawa, akan tetapi pada saat itu diapun menyadari bahwa gadis yang mereka keroyok berdua itu ternyata adalah seorang gadis yang tangguh dan sakti! Dia menyadari hal ini lalu mengeluarkan senjatanya, sebatang golok besar yang tadi diselipkan di pinggang ketika dia hendak menangkap Winarti dengan kedua tangan kosong.
Klabang Belang juga sudah dapat bangkit berdiri biarpun kepalanya masih sedikit pening. Melihat kawannya mencabut golok, diapun mencabut goloknya dan berseru marah.
"Gadis yang tak tahu disayang orang! Engkau agaknya memilih mati dari pada hidup senang dengan kami!"
Bentak Klabang Belang. Dia lalu menyerang dengan goloknya, disusul terjangan yang dilakukan Klabang Lorek ke arah kepala Winarti. Gadis itu mengelak ke belakang dengan cepat sekali sehingga luput dari sambaran dua batang golok para pengeroyoknya. Sambil melompat mundur itu Winarti mencabut kerisnya.
Pada saat itu, golok di tangan Klabang Belang telah menyambar lagi. Agaknya Si muka hitam ini merasa penasaran sekali ketika serangan pertamanya tadi dapat dielakkan dengan mudahnya oleh gadis jelita itu. Kini dia melompat ke depan sambil mengayun goloknya membacok ke arah kepala Winarti. Pada detik berikutnya, golok di tangan Klabang Lorek yang mukanya brewokan itupun menyambar dengan tusukan ke arah dada gadis itu! Akan tetapi dengan sigapnya Winarti miringkan kepalanya sehingga bacokan Klabang Belang luput dan ia menggerakkan kerisnya dari kiri ke kanan dengan putaran pergelangan tangan sambil menggerakkan tenaganya untuk menangkis tusukan golok ke arah dadanya.
"Wuuuttt...... trangggg....!"
Golok di tangan Klabang Lorek terpental dan hampir terlepas dari tangan pemegangnya. Pada saat itu, kaki kiri Winarti mencuat dan menendang ke arah perut gendut Klabang Lorek.
"Bukk......!"
Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting keras. Pantatnya menghantam tanah sampai mengebulkan debu dan Klabang Lorek meringis, merasa sakit pada perut dan pantatnya.
"Singgg......!"
Golok Klabang Belang menyambar dahsyat. Akan tetapi Winarti yang sudah siap siaga itu mengelak ke belakang dan ketika golok menyambar turun, secepat kilat kerisnya meluncur dan menikam tangan yang menggenggam gagang golok.
"Crott.....!"
Darah mengucur, golok terlepas dan Klabang Belang terhuyung ke belakang sambil memegangi tangan kanan yang terluka itu dengan tangan kirinya. Masih untung baginya bahwa keris di tangan gadis itu tidak mengandung racun sehingga dia hanya merasakan kepedihan karena kulit dagingnya terobek saja.
Melihat dua orang pimpinan mereka roboh, para anak buah lalu maju membantu sehingga di lain saat Winarti sudah dikeroyok banyak orang seperti juga ayahnya. Ayah dan anak ini mengamuk hebat dan para pengeroyok kocar-kacir tidak dapat menahan amukan ayah dan anak yang sakti itu.
"Mundur semua, biar aku yang menghadapinya!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Mendengar suara yang membentak ini, Klabang Lorek dan Klabang Belang berteriak kepada anak buahnya untuk mundur.
Ki Mertoloyo, Senopati Mataram yang sakti itu. bersama puterinya, Winarti, berdiri mengangkat muka memandang orang yang baru datang. Ki Mertoloyo terkejut karena dia mengenal siapa yang datang itu. Bukan lain adalah Tumenggung Janurmendo yang sakti mandraguna! Ki Tumenggung Janurmendo yang tampan dan gagah itu melangkah maju sambil tersenyum.
"Ah, kiranya Ki Senopati Mertoloyo yang mengamuk di sini. Dan ini puterimu ! Sungguh cantik jelita puterimu. Ki Mertoloyo!"
"Tumenggung Janurmendo! Sudah kuduga bahwa gerombolan Ini bukan perampok biasa. Setelah sekarang andika muncul, tahulah aku bahwa mereka adalah orang-orang Wirosobo yang hendak memberontak! Tumenggung Janurmendo, apa maksudmu mengerahkan orang orangmu untuk mengeroyok kami?"
Suara Ki Mertoloyo terdengar lantang dan marah.
Tumenggung Janurmendo tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau berada di perbatasan Wirosobo dan keadaanmu telah terkepung, akan tetapi masih dapat bersuara lantang! Ki Mertoloyo, lebih baik andika menaluk saja, menjadi tawanan kami. Kalau andika mau membantu Wirosobo, tentu andika akan memperoleh kedudukan yang tinggi."
"Janurmendo! Jangan asal dapat membuka mulut! Aku adalah Senopati Mataram yang setia dan aku siap membela Mataram dengan taruhan nyawaku. Biarpun andika telah mempersiapkan anak buah kami tidak akan mundur selangkahpun !"
Tantang Ki Mertoloyo.
"Hemm, Ki Mertoloyo. Kegagahanmu tidak ada artinya. Apakah engkau tega melihat puterimu celaka di tangan kami? Menyerahlah dan kalian berdua akan kami perlakukan dengan baik. kami hadapkan kepada Gusti Adipati di Wirosobo."
"Keparat! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lebih lanjut!"
Bentak Senopati Ki Mertoloyo.
Tumenggung Janurmendo menjadi marah sekali. Dia memberi isarat kepada dua orang pembantunya. Klabang Lorek dan Klabang Belang. Dua orang ini lalu mengerahkan sisa anak buahnya untuk Mengepung ayah dan anak itu.
"Ki Mertoloyo, agaknya andika sudah bosan hidup!"
Kata Tumenggung Janurmendo yang segera menerjang maju dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dan mendatangkan hawa panas sekali karena dia telah menggunakan Aji Wisang Geni.
Ki Mertoloyo adalah senopati Mataram yang sakti. Dia mengenal pukulan ampuh itu, maka dia cepat mengelak dan balas memukul dari samping. Tumenggung Janurmendo juga tidak berani memandang ringan lawannya dan dia sudah melompat ke belakang untuk menghindar, lalu dia mencabut kerisnya. Sinar yang mengandung hawa mengerikan terasa ketika keris pusaka Jalu Sarpo dicabut. Keris pemberian Adipati Wirosobo ini memang merupakan pusaka yang ampuh. Melihat ini, Ki Mertoloyo juga mencabut kerisnya dan ketika lawan menyerang dengan tusukan kerisnya, dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Tringgg......!"
Tampak api berpijar ketika dua batang keris bertemu dan keduanya terdorong mundur. Akan tetapi mereka segera saling terjang lagi dan terjadilah perkelahian antara dua orang senopati itu dengan hebatnya.
Sementara itu, Winarti sudah dikeroyok oleh belasan orang yang dipimpin oleh Klabang Lorek dan Klabang Belang. Gadis itu mengamuk dengan keris di tangannya, akan tetapi pihak lawan terlalu banyak sehingga sebentar saja ia sibuk mengelak dan menangkisi hujan senjata yang menyambar-nyambar tanpa ada kesempatan untuk balas menyerang.
Keadaan Ki Mertoloyo juga tidak lebih baik dari pada puterinya. Sebetulnya, tingkat ilmu kepandaiannya tidak berselisih jauh dibandingkan dengan tingkat Tumenggung Janurmendo. Akan tetapi senjata kerisnya kalah ampuh sehingga dia mulai terdesak. Lawannya tidak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan tusukan tusukan maut yang amat dahsyat.
Kedua orang ayah dan anak itu berada dalam keadaan gawat. Mereka sudah berada di ambang kekalahan. Pada saat itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi tegap, dadanya bidang Pundak dan kedua lengannya kokoh, wajahnya tampan, dengan alis tebal mata lebar bersemangat, hidungnya mancung dan mulutnya seLilu mengandung senyum ramah. Kulitnya putih kemuning. Rambutnya panjang digelung ke atas dan diikat dengan kain kepala berwarna biru. Bajunya berlengan pendek sebatas siku dan celananya hitam setinggi bawah lutut. Sehelai sarung dikalungkan di pundak. Pemuda ini bukan lain adalah Sutejo!
Melihat seorang laki-laki setengah tua bertanding melawan Tumenggung Janurmendo dan seorang gadis muda dikeroyok banyak orang dan keduanya terdesak hebat, mudah saja bagi Sutejo untuk memihak yang mana. Tentu saja dia menentang pihak Tumenggung Janurmendo yang pernah membantu Bhagawan Jaladara untuk menyerang guru yang juga ayah angkatnya, Bhagawan Sidik Paningal, kemudian menyerang pula eyang gurunya. Sang Resi Limut Manik.
"Janurmendo andika selalu berlaku curang dan jahat, mengeroyok orang mengandilkan banyak kawan!"
Bentak Sutejo dan dia segera menerjang maju ke arah Tumenggung Janurmendo.
Diserang Sutejo yang menggunakan Aji Gelap Musti. Janurmendo terkejut bukan main. apa lagi ketika dia mengenal pemuda ilu yang amat sakti ketika pemuda itu bersama Puteri Wandansari membela dan melindungi Sang Resi Limut Manik, Akan tetapi karena ketika itu dia sedang bertanding melawan Ki Mertoloyo yang juga cukup tangguh, dia tidak sempat mengelak lagi dan terpaksa menyambut pukulan Sutejo itu dengan dorongan tangannya sambil mengerahkan Aji Wisang Geni.
"Wuuuuttt......blaarrrr.......!"
Benturan hebat sekali terjadi antara dua kekuatan sakti itu dan akibatnya Tumenggung Janurmendo terjengkang dan terbanting roboh.
Akan tetapi Tumenggung Janurmendo ternyata memiliki kekebalan yang cukup kuat sehingga dia tidak terluka parah. Melihat betapa bantuan Sutejo kepada pihak lawan akan membuat dia terancam bahaya, senopati Wirosobo ini lalu meloncat dan cepat lari meninggalkan tempat itu memasuki hutan dan menyelinap di antara pohon dan semak belukar.
Sutejo melompat untuk mengejar, akan tetapi pada saat itu dia mendengar teriakan Ki Mertoloyo.
"Winarti.....! Di mana engkau.....?"
Sutejo menahan petakannya dan membalik. Dia melihat Ki Mertoloyo berdiri kebingungan, para pengeroyok sudah tidak berada di situ kecuali mereka yang terluka dan tidak mampu lari Akan tetapi gadis yang tadi mengamuk dan dikeroyok itupun sudah tidak tampak lagi.
"Paman, apa yang telah terjadi?"
Tanya Sutejo sambil menghampiri Ki Mertoloyo.
"Entahlah, anakku Winarti menghilang........!
Mungkin dia tertawan dan dilarikan para penjahat."
Kata Ki Mertoloyo dengan wajah gelisah.
Sutejo menoleh dan melibat beberapa orang anak buah gerombolan yang terluka, dia segera menyambar lengan seorang di antara mereka yang terluka pundaknya, menariknya berdiri mencengkeram lengan itu sehingga orang itu menyeringai kesakitan.
"Hayo katakan di mana sarang kalian!"
Bentaknya.
"Kalau tidak mengaku, akan kupecahkan kepalamu!"
"Ampun...... ampun....."
Orang itu meratap.
"Sarang kami di dalam hutan itu....."
Dia menunjuk ke arah hutan lebat ke mana tadi Tumenggung Janurmendo melarikan diri.
"Hayo antarkan aku ke sana!"
Bentak Sutejo dan dia mendorong orang itu untuk menjadi penunjuk jalan. Sambil menyeringai karena pundaknya yang nyeri, orang itu terhuyung-huyung berjalan di depan, diikuti oleh Sutejo. Ki Mertoloyo juga mengikuti di belakang.
Tumenggung janurmendo dan anak buahnya yang tadi melarikan diri ke dalam hutan, tiba di sebuah rumah kayu besar yang berdiri di tengah hutan itu. Winarti berada pula di antara mereka, dipanggul oleh Klabang Lorek. Gadis itu dalam keadaan pingsan. Tadi ketika Sutejo datang membantu ayahnya, gadis itu telah berada dalam keadaan gawat sekali. Munculnya Sutejo bahkan membuat ia lengah karena ia menoleh ke arah pemuda itu dan sebuah hantaman tangan Klabang Lorek yang besar dan kuat itu mengenai batang lehernya. Gadis itu terkulai pingsan tanpa sempat berteriak lagi.
Klabang Lorek cepat menyambar tubuhnya dan memanggulnya. Melihat Tumenggung Janurmendo melarikan diri, Klabang Lorek dan Klabang Belang lalu melompat dan melarikan diri pula, diikuti oleh para anak buah yang tidak terluka. Winarti masih terbawa dan terpanggul oleh Klabang Lorek dalam keadaan pingsan. Janurmendo, Klabang Lorek dan Klabang Belang memasuki rumah di tengah hutan itu sedangkan para anak buahnya tinggal di luar, bergabung dengan beberapa orang anak buah lain yang tidak ikut menghadang Ki Mertoloyo sehingga jumlah mereka kini tidak kurang dari dua puluh orang.
Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda ternyata telah berada di rumah itu, menyambut kedatangan tiga orang itu. Ki Klabang Lorek lalu menurunkan tubuh Winarti dari atas pundaknya, merebahkannya ke atas sebuah dipan bambu dan mengambil tali lalu mengikat kaki tangan gadis itu agar kalau siuman dari pingsannya tidak akan dapat mengamuk.
Melihat kedatangan Janurmendo, Klabang Lorek dan Klabang Belang dalam keadaan tergesa-gesa, napas memburu dan wajah agak pucat itu, Bhagawan Jaladara merasa heran. Akan tetapi melihat bahwa mereka pulang sambil membawa tawanan seorang gadis, dia merasa lega karena hal itu menunjukkan bahwa mereka telah berhasil dalam tugas mereka.
"Bagaimana, Adi Tumenggung, sudah matikah Senopati Mertoloyo?"
Tanyanya kepada Tumeng"gung Janurmendo yang menyambar sebuah kendi dan minum airnya yang segar.
Tumenggung Janurmendo meletakkan kembali kendi itu, lalu memandang kepada Bhagawan Jaladara dan berkata.
"Celaka, Kakang. Bhagawan. Tak tersangka-sangka ketika saya sudah hampir dapat membunuh Ki Mertoloyo, muncul pemuda setan itu!"
Katanya dengan gemas dan penasaran.
"Pemuda setan yang mana?"
Tanya Bhagawan Jaladara.
"Siapa lagi kalau bukan Sutejo murid Bhagawan Sidik Paningal itu? Dia muncul dengan tiba-tiba dan menggagalkan usaha kami untuk membunuh Ki Mertoloyo. Akan tetapi kami berhasil menawan puterinya!"
Kata Tumenggung Janurmendo sambil menuding ke arah gadis yang rebah miring dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya di atas dipan bambu itu.
"Ahh! Dia yang muncul?"
Seru Bhagawan Jaladara terkejut karena dia sendiri sudah beberapa kali bertemu dan bertanding dengan Sutejo dan dia harus mengakui ketangguhan pemuda yang sebetulnya masih murid keponakannya sendiri itu.
"Paman Bhagawan, gadis ini saya yang menangkapnya, Karena itu saya mohon agar diserahkan kepada saya!"
Kata Klabang Lorek sambil menyeringai.
"Klabang Lorek, lancang mulutmu!"
Bentak Ki Warok Petak marah.
"Apa kau ingin kurobek mulutmu yang lebar itu?"
Dibentak demikian oleh Ki Warok Petak yang ditakutinya, Klabang Lorek terdiam dan mukanya menjadi merah.
Bhagawan Jaladara berkata.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak ada yang boleh mengganggu puteri Ki Mertoloyo itu. Ia adalah seorang tawanan penting. Kita dapat mempergunakannya untuk memaksa Ki Mertoloyo taluk kepada kita."
"Akan tetapi, saya kira Ki Mertoloyo dan Sutejo tidak akan tinggal di wn dan akan mengejar kami sampai ke sint untuk membebaskan gadis ini"
Kata Tumenggung Janurmendo yang merasa jerih terhadap Sutejo.
"Biarkan mereka datangi Kita telah siap menyambut mereka. Dengan adanya aku, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang membantu, mustahil kita tidak akan mampu mengalahkan mereka. Sekali ini Sutejo akan dapat kita bunuh! Anak itu merupakan penghalang besar bagi kita."
Kata Bhagawan Jaladara.
"Benar, kita harus atur sekarang juga untuk menghadapi mereka!"
Kata Janurmendo yang timbul semangatnya mengingat bahwa dia kini mempunyai banyak kawan yang membantu. Dengan adanya dia, Bhagawan Jaladara, Warok Petak, Baka Kroda, Klabang Lorek, Klabang Belang dan dua puluhan orang anak buah, kiranya mustahil kalau mereka tidak akan mampu mengalahkan Ki Mertoloyo dan Sutejo!
"Bawa gadis itu ke kamar belakang dan lima orang anak buah harus menjaganya dengan ketat. Kemudian para anak buah yang lain berjaga di bagian depan. Kalau mereka berdua muncul, cepat laporkan agar kita berlima dapat menyambut mereka."
Kata Bhagawan Jaladara yang memimpin rombongan orang Wirosobo itu.
Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang menjadi pembantu-pembantu Bhagawan Jaladara, segera melaksanakan perintah itu. Winarti diangkat dan dibawa ke dalam kamar belakang, kemudian lima orang anak buah menjaga di luar kamar itu dengan senjata siap di tangan. Winarti sudah siuman dari pingsannya akan tetapi setelah ia melihat bahwa ia rebah di atas sebuah dipan dalam kamar dengan kaki tangan terbelenggu sehingga ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, iapun diam saja. Ia membalikkan tubuhnya yang tadinya menghadap ke dinding dan melihat ke arah pintu. Di luar pintu itu terdapat beberapa orang laki-laki yang duduk melakukan penjagaan. Tahulah ia bahwa ia telah tertawan dan dimasukkan dalam sebuah kamar dan dijaga ketat. Ia mengingat-ingat. Teringat ia ketika dikeroyok tadi, ia melihat seorang pemuda muncul membantu ayahnya. Ia menengok untuk memandang pemuda itu dan pada saat ia menengok itu, lehernya terkena pukulan keras dan ia tidak ingat apa-apa lagi. Tahu tahu ia telah berada di dalam kamar ini.
Matahari telah naik tinggi ketika Ki Mertoloyo dan Sutejo yang ditunggu-tunggu oleh gerombolan
orang-orang dari Wirosobo itu tiba di luar pagar rumah itu. Belasan orang anak buah Bhagawan Jaladara menghadang mereka dengan senjata golok di tangan.
"Panggil Tumenggung Janurmendo keluar! Kalau tidak, akan kami obrak abrik tempat ini!"
Bentak Ki Mertoloyo marah teringat akan puterinya yang hilang dan yang dia yakin tentu telah diculik oleh Janurmendo dan anak buahnya, Sutejo lalu mendorong orang tangkapannya yang menjadi penunjuk jalan. Orang itu terdorong jatuh tertelungkup, lalu merangkak berkumpul dengan teman-temannya.
Tiba-tiba terdengar suara lantang dan barisan anak buah yang belasan orang banyaknya itu tersibak dan terbukalah jalan. Dari belakang mereka muncul lima orang itu. Bhagawan Jaladara, Janurmendo, Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda, Klabang Lorek dan Klabang Belang.
Melihat Bhagawan Jaladara yang tertawa-tawa, Sutejo menjadi marah sekali.
"Bhagawan Jaladara, kiranya andika yang berdiri di belakang gerombolan ini!"
Sutejo merasa kecewa karena tidak melihat Bhagawan Jaladara membawa Pecut Sakti Bajrakirana. Kakek itu memegang tongkat hitamnya yang ampuh. Janurmendo juga sudah memegang keris pusaka Jalu Sarpo. Ki Warok Petak memegang goloknya, Ki Baka Kroda memegang kerisnya yang besar dan tiga batang pisau tajam runcing terselip di pinggangnya Klabang Lorek dan Klabang Belang memegang golok masing-masiog. Mereka berlima agaknya sudah siap untuk bertempur dan mengeroyok. Setelah lima orang pimpinan itu muncul, belasan orang anak buah itu cepat bergerak membuat kepungan sehingga Sutejo dan Ki Mertoloyo terkepung ketat Akan tetapi baik Sutejo maupun Ki Mertoloyo tidak merasa gentar. Bahkan Ki Mertoloyo menudingkan telunjuknya ke muka Janurmendo dan membentak marah.
"Tumenggung Janurmendo! Perbuatanmu menunjukkan bahwa andika bukan seorang jantan yang gagah perkara! Engkau menggunakan pengeroyokan dan menculik anakku. Hayo kembalikan anakku Winarti!"
Janurmendo diam saja. Yang menjawab adalah Bhagawan Jaladara.
"Ki Mertoloyo dan engkau Sutejo. Kami memang menawan gadis itu, akan tetapi kami tidak mengganggunya dan kami tentu dengan senang hati akan membebaskannya kembali asalkan kalian berdua suka menaluk kepada Kadipaten Wirosobo dan suka membantu kami. Sutejo,kalau engkau berjanji mau membantu Wirosobo, aku akan memaafkan kesalahanmu yang lalu, bahkan aku akan menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadamu!"
"Bhagawan Jaladara tidak perlu menggunakan lidahmu yang beracun antuk membujuk aku! Engkau telah mencuri pecut Bajrakirana Engkau telah menyebabkan kematian Bapa Guru dan Eyang Guru, dan sekarang engkau membujuk aku untuk menaluk dan membantumu? Hemm, jangan harap. Manusia iblis macam engkau ini sepantasnya kalau menerima hukuman yang berat!"
"Keparat! Kalau begitu engkau akan mampus hari ini di tangan kami! Bagaimana dengan andika, Ki Mertoloyo? Apakah andika tidak sayang kepada puteri andika dan tega melihat ia mati di tangan kami? Kalau andika menaluk dan membantu Wirosobo, kami akan membebaskan puterimu dan andika akan memperoleh kedudukan tinggi di Wirosobo. Akan tetapi kalau andika menolak, terlebih dulu puteri andika akan kami bunuh, kemudian andika juga!"
Dapat dibayangkan betapa gelisah rasa hati Ki Mertoloyo. Sebagai seorang senopati besar, tentu saja dia tidak gentar menghadapi ancaman maut bagi dirinya sendiri. Akan tetapi sebagai seorang ayah yang hanya mempunyai seorang anak yaitu Winarti, mendengar bahwa anaknya itu akan dibunuh dalam keadaan tidak berdaya, tentu saja hatinya menjadi bingung dan gelisah sekali. Akan tetapi menaluk dan membantu Wirosobo? Sampai matipun dia tidak akan sudi melakukannya. Hal itu berarti mengkhianati Mataram! Akan tetapi bagaimana dengan puterinya? Dia tidak mampu menyelamatkannya!
Tiba-tiba tampak cahaya terang dan asap mengepul tebal yang datangnya dari rumah itu bagian belakang. Semua orang terkejut dan menengok ke arah belakang rumah. Kini kelihatan kobaran api yang membubung tinggi.
"Kebakaran! "
Terdengar teriakan para anak buah gerombolan itu. Keadaan menjadi kacau dan tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dari belakang rumah itu.
"Bapa, jangan menyerah kepada mereka!"
Bayangan itu yang ternyata adalah seorang gadis, berseru.
"Winarti!"
Ki Mertoloyo berteriak girang bukan main. Kiranya puterinya telah dapat meloloskan diri, bahkan membuat kebakaran di rumah itu bagian belakang.
Seperti mendapat aba-aba saja. Ki Mertoloyo dan Sutejo sudah menerjang ke depan. Ki Mertoloyo menggunakan kerisnya dan Sutejo mempergunakan kain pengikat rambutnya yang berwarna biru. Dengan kain pengikat kepala biru itu dia bersilat dengan Aji Sihung Nila, menerjang ke arah Janurmendo yang dia anggap paling berbahaya di antara mereka semua. Janurmendo yang memang sudah merasa jerih terhadap Sutejo, mengelak dan melompat ke belakang Bhagawan Jaladara agar kakek itu membantunya. Sutejo mengebutkan kain pengikat kepalanya dan kini dia menyerang ke arah Bhagawan Jaladara yang menghadang antara dia dan Janurmendo. Bhagawan Jaladara melompat ke samping sambil menangkis dengan tongkatnya. Pada saat itu, Janurmendo sudah menerjang dari samping dan Sutejo sudah dikeroyok oleh dua orang itu.
Sementara itu, Ki Mertoloyo mengamuk, dikeroyok oleh Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, Biarpun tingkat kepandaian senopati Mataram ini lebih tinggi dari tingkat kedua orang jagoan Wirosobo itu, akan tetapi karena dikeroyok dua, keadaan mereka menjadi seimbang. Mereka bertanding dengan seru dan beberapa kali senjata mereka beradu menimbulkan percikan bu"nga api.
Winarti sendiri sudah berhasil merobohkan seorang anak buah gerombolan, merampas goloknya dan dengan golok rampasan ini Winarti mengamuk, dikeroyok oleh Klabang Lorek dan Klabang Belang yang dibantu oleh belasan orang anak buahnya. Tiba-tiba muncul seorang yang berpakaian ringkas dan mukanya ditutup sehelai saputangan merah sehingga tidak dapat dikenali karena yang tampak hanya sepasang mata yang mencorong tajam. Orang ini gerakannya gesit dan ringan sekali, bagaikan seekor burung menyambar nyambar dan ke manapun tubuhnya menyambar dan kedua tangannya bergerak, tentu ada dua orang pengeroyok yang roboh dan tidak mampu bangkit kembali! Pukulan kedua tangan orang itu sungguh amat ampuh dan dalam waktu singkat saja dia sudah merobohkan delapan orang!
Klabang Lorek dan Klabang Belang terkejut sekali, dan mereka menjadi gentar sehingga gerakan mereka kurang sigap. Golok di tangan Winarti menyambar dan Klabang Lorek berteriak keras dan roboh terpelanting dengan mandi darah yang mengucur deras dari luka parah di pundaknya yang terbacok golok! Klabang Belang terkejut dan saking jerihnya dia melompat untuk melarikan diri. Akan tetapi sial baginya, dia melompat ke dekat Orang bertopeng merah itu dan sekali orang itu menggerakkan tangan kirinya, Klabang Belang tersungkur dan terbanting ke atas tanah, tidak mampu bangkit lagi!
Sementara itu, pertandingan antara Sutejo yang dikeroyok oleh Bhagawan Jaladara dan Tumenggung Janurmendo berlangsung seru. Akan tetapi, dua orang yang memang sudah gentar itu segera terdesak oleh sambaran sinar kain pengikat rambut biru yang bergulung-gulung itu. Ketika Bhagawan Jaladara dan Janurmendo yang sudah kewalahan itu lalu nekat mengeluarkan aji pukulan mereka yang amat ampuh, yaitu Bhagawan Jaladara menghantam dengan Aji Gelap Musti, sedangkan Janurmendo menggunakan Aji Wisang Geni, Sutejo lalu menyambut pukulan mereka dengan Aji Bromokendali.
"Wuuuutttt......blaarrrr......!!"
Akibatnya, Bhagawan Jaladara dan Janurmendo terpental seperti layang layang putus talinya. Mereka terhuyung ke belakang, kemudian mengerahkan sisa tenaganya dan menahan nyeri di dadanya untuk melompat dan melarikan diri. Melihat ini, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang tadinya masih ramai dan seimbang mengeroyok Ki Mertoloyo, juga cepat meninggalkan lawan dan melarikan diri secepat mungkin!
Sutejo tidak mengejar lawan yang sudah melarikan diri. Juga Ki Mertoloyo tidak mengejar karena puterinya sudah bebas. Dia lalu berlari menghampiri Winarti yang juga ditinggal pergi para pengeroyoknya yang tinggal beberapa orang lagi. Dia mendapatkan puterinya itu memandang ke kanan kiri mencari-cari.
"Di mana dia......? Ah, di mana dia tadi?"
Winarti bicara seorang diri seperti kehilangan.
Ki Mertoloyo memegang lengan puterinya dan menariknya agak menjauhi rumah yang mulai berkobar besar itu, mendekati Sutejo yang juga sudah menjauhi kobaran api yang melahap rumah yang tadinya dijadikan sarang gerombolan orang-orang Wirosobo itu.
"Di mana dia tadi, bapa?"
Winarti masih mencari cari dengan pandang matanya.
Ki Mertoloyo memandang khawatir kepada puterinya, memegang pundak puterinya dan bertanya.
"Winarti, siapkah yang kau cari?"
"Orang bertopeng tadi, bapa!"
Kata Winarti yang membuat Ki Mertoloyo menjadi semakin bingung. Dia tadi repot melayani pengeroyokan Warok Petak dan Baka Kroda sehingga tidak sempat menyaksikan ketika Winarti yang menghadapi pengeroyokan banyak anak buah itu dibantu oleh seorang yang bertopeng merah.
"Paman, tadi aku juga melihat Nimas Winarti dibantu oleh seorang yang bertopeng."
Kata Sutejo yang tadi melihat ketangkasan penolong itu.
"Siapakah dia, Winarti?"
Tanya Ki Mertoloyo heran.
"Dan bagaimana engkau dapat meloloskan diri dan membakar rumah itu?"
"Orang bertopeng itulah yang melakukan, bapa. Tadi aku berada dalam sebuah kamar di bagian belakang rumah itu, terbelenggu kaki tanganku dan rebah di atas sebuah dipan bambu. Aku tidak mampu menggerakkan kaki tanganku. Bahkan aku tidak mampu berteriak karena mereka melibatkan kain penutup di depan mulutku. Aku mendengar akan kedatangan bapa, akan tetapi aku tidak berdaya. Bahkan aku mendengar terjadinya perkelahian di sini. Selagi aku kebingungan, aku melihat keributan di luar kamarku. Lima orang penjaga yang berjaga di luar kamarku berkelahi dengan seseorang. Dalam waktu singkat saja kelimanya roboh dan tidak dapat bergerak lagi, Kemudian muncullah dia, seorang yang mengenakan topeng merah di depan mukanya Hanya tampak sepasang matanya yang mencorong. Tanpa berkata sepatahpun dia melepaskan ikatan kaki tangan dan kain yang membalut mulutku. Kemudian kami keluar dan dia membakar rumah bagian belakang itu. Aku berlari ke sini dan melihat Bapa dan Ki sanak ini dikeroyok maka lalu aku terjun membantu. Aku segera dikepung dan dikeroyok banyak anak buah gerombolan. Akan tetapi dia muncul lagi, mengamuk dan merobohkan banyak penjahat. Ketika para penjahat itu melarikan diri, tahu-tahu diapun sudah menghilang, maka kucari-cari bapa."
Winarti berada di ambang keraguan. Ia mencinta Sutejo akan tetapi ia tidak tahu apakah pemuda itu juga mencintanya. Apakah pemuda itu menyambut cintanya. Ia berada dalam harap-harap cemas. Hatinya penuh harapan untuk dapat hidup bersama sama Sutejo, sebagai pasangan yang saling mencinta, Akan tetapi dalam harapan ini terselip kecemasan kalau-kalau Sutejo akan menolak cintanya sehingga cintanya seperti bertepuk sebelah tangan.
Tiba tiba terdengar suara dan jendela kamarnya terbuka dari luar. Winarti terkejut dan heran, lalu bangkit dari pembaringan, akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan seseorang melompat memasuki kamarnya melalui jendela yang terbuka. Gerakan orang itu sedemikian cepatnya sehingga Winarti tidak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu orang itu telah menodongkan sebatang pedang. Cepat sekali gerakannya dan Winarti merasa betapa kulit lehernya ditempel benda yang dingin. Ia tahu bahwa sekali tangan yang memegang pedang itu bergerak, lehernya akan tertembus atau terpenggal! Ia terbelalak memandang dan menjadi lebih heran lagi melihat bahwa yang menodongnya adalah seorang wanita muda yang amat cantik. Wajah yang jelita dengan mata dan mulut yang indah, akan tetapi sinar matanya dingin dan menyeramkan.
"Siapa engkau? Mau apa engkau?"
Tanya Winarti sambil menenangkan hatinya. Ia memang seorang yang tabah. Biarpun nyawanya berada di ujung pedang lawan, namun ia tidak merana gugup atau gentar. Ia menentang pandang mata gadis itu dengan berani dan penuh selidik.
Gadis itu mengedipkan kepalanya dan bicara dengan suara yang dingin dan ketus,
"Tidak perlu kau tahu siapa aku. Yang perlu kau tahu, aku datang kesini untuk memperingatkan kau. Jangan sekali-kali kamu berani mencoba untuk merayu Sutejo. Jangan coba-coba untuk merebut hati Sutejo! Kalau kamu nekat melakukan itu, pedangku ini akan memenggal lehermu seperti ini!"
Pedang berkelebat mengeluarkan sinar kehijauan.
"Crak-crak-crakk!"
Tiga kali pedang membacok dan meja di dalam kamar itu telah terbelah menjadi empat potong! Ketika potongan-potongan meja itu runtuh, wanita itu berkelebat dan lenyap melalui jendela seperti ketika ia datang.
Winarti sejenak tertegun. Akan tetapi karena pada dasarnya ia seorang gadis pemberani, segera ia dapat memulihkan ketenangannya dan cepat ia pun melompat keluar dari jendela itu sambil berteriak nyaring.
"Ada penjahat! Tangkap!"
Dan iapun berusaha mengejar. Akan tetapi ketika ia tiba di luar kamarnya, bayangan wanita itu tidak tampak lagi. Teriakannya yang nyaring membuat Sutejo dan Ki Mertoloyo terbangun dan cepat kedua orang ini sudah keluar dari kamar mereka.
Winarti yang merasa penasaran melakukan pengejaran keluar dari rumah Ki Demang dan melihat ini. Sutejo juga mengejarnya dengan cepat. Seluruh isi rumah Ki Demang terbangun dan Ki Demang bertanya kepada Ki Mertoloyo apa yang telah terjadi.
"Agaknya ada penjahat memasuki rumah. Sekarang sedang dikejar oleh puteriku dan anak mas Sutejo."
Kata Ki Mertoloyo yang tidak ikut mengejar karena dia yakin bahwa puterinya dan Sutejo cukup untuk menandingi musuh yang bagaimanapun juga tangguhnya.
Akan tetapi Winarti dan Sutejo kehilangan jejak. Mereka tidak dapat menemukan Wanita yang mengganggu Winarti tadi dan terpaksa berhenti di luar dusun itu. Sutejo juga berhenti ketika melihat Winarti tidak melakukan pengejaran lagi.
"Nimas Winarti, apakah sesungguhnya yang terjadi?"
Tanya Sutejo ketika mereka berdiri di luar dusun, di bawah sinar bulan yang cukup terang.
Sinar bulan yang redup tidak dapat memperlihatkan warna merah di wajah Winarti. Gadis ini marah dan mendongkol sekali kepada wanita yang mengancamnya tadi dan ia mendongkol pula kepada Sutejo, dengan perkiraan bahwa tentu wanita itu tadi kekasih Sutejo yang merasa cemburu kepadanya.
"Kakangmas Sutejo, kenapa engkau tidak mengajarkan sopan santun kepada kekasihmu itu?"
Ia menegur dengan marah.
Sutejo tertegun dan memandang bingung.
"Apa maksudmu, nimas? Mengajar sopan santun kepada siapa? Kekasihku? Kekasihku yang mana? Aku tidak mempunyai kekasih, nimas!"
Kemudian dia meninggikan suaranya bertanya.
"Kenapa engkau berkata seperti itu?"
"Tadi ada seorang wanita muda memasuki kamarku, mengancam akan membunuhku kalau aku berani merebut hatimu, kakangmas! Siapa lagi orang yang menaruh cemburu seperti itu kepadaku kalau ia bukan kekasihmu?"
"Sungguh mati! Aku tidak mempunyai kekasih, nimas. Entah siapa wanita yang berbuat seperti itu terhadap dirimu."
"Apakah tidak ada wanita yang kau cinta?"
Sutejo meragu dan wajah Puteri Wandansari dan Retno Susilo berkelebat di dalam benaknya. Akan tetapi tidak mungkin dia membuka rahasia hatinya ini kepada Winarti atau kepada siapapun juga. Dia menggeleng kepalanya tanpa menjawab.
"Biarpun engkau tidak mencinta wanita manapun, akan tetapi aku percaya bahwa ada wanita yang mencintaimu. Wanita yang mengancamku tadi pasti mencintaimu, dan aku ....."
"Engkau, kenapa nimas Winarti?"
Tanya Sutejo melibat Winarti tiba-tiba menundukkan mukanya dan pundaknya berguncang sedikit. Gadis itu menangis!
Sutejo maju selangkah menghampiri gadis itu.
"Nimas, ada apakah?"
Tanyanya.
Winarti menahan isaknya dan sambil tetap menunduk ia berkata.
"Aku........ aku akan malu sekali...... setelah peristiwa malam ini, setelah aku diancam...... kalau aku tidak dapat merebut cintamu, kakangmas. Seolah-olah aku takut terhadap ancaman itu.... aku harus dapat menjadi calon isterimu !"
Sutejo demikian terkejut sampai dia mundur lagi tiga langkah.
"Nimas Winarti...... !"
"Kakangmas Sutejo Tidak pantaskah bagi seorang waaita untuk mengaku cinta? Apakah engkau tidak dapat menerima cintaku? Apakah cinta itu sudah dimiliki wanita yang mengancamku tadi?"
"Nimas, aku masih ingin bebas, belum mau mengikatkan diri dengan perjodohan. Tugasku masih amat banyak karena itu, aku tidak mau bicara tentang cinta dan perjodohan. Akan tetapi, wanita yang mengancammu itu, seperti apakah ia!"
"Orangnya cantik, usianya sebaya dengan aku, matanya ganas dan ia membawa pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan, yang ia pakai untuk menodong dan mengancam aku! Ah, kalau saja aku dapat bertemu kembali dengannya, tentu akan kuajak bertanding sampai seorang di antara kami mati!"
Kata Winarti dengan gemas.
Sutejo terkejut sekali. Retno Susilo! Siapa lagi kalau bukan gadis itu yang menggunakan pedang bersinar hijau! Pedang Pusaka Nogo Wilis tentu saja, milik Retno Susilo.
"Terlalu sekali orang itu! Nimas Winarti. aku akan mencari orang itu! Tolong sampaikan dan pamitkan kepada Paman Mertoloyo!"
Sutejo membalikkan tubuhnya dan hendak lari.
"Kakangmas Sutejo! Engkau hendak ke manakah?"
Winarti mengejar.
"Aku akan melanjutkan perjalanan dan mencari orang tadi. Aku akan mengambil pakaianku dulu!"
Kata pula Sutejo dan diapun lalu mengerahkaa tenaganya, menggunakan Aji Harina Legawa dan berlari seperti kijang cepatnya meninggalkan gadis itu. Dia tidak mendengar lagi betapa beberapa kali Winarti memanggil namanya.
Tanpa diketahui siapapun, Sutejo memasuki kamarnya, mengambil buntalan pakaiannya dan keluar lagi, berlari cepat pergi ke arah larinya gadis yang tadi mengganggu Winarti. Dia hampir yakin bahwa gadis itu tentu Retno Susilo dan ia ingin menyusul dara itu dan menegur perbuatannya terhadap Winarti.
Ki Mertoloyo terheran-heran dan khawatir ketika dia melihat Winarti pulang ke rumah Ki Demang dengan mata basah dan merah. Gadis itu tampak berduka.
"Bagaimana, Winarti? Dapat tersusulkah orang itu ? Dan mana anak mas Sutejo ?"
Tanya Ki Mertoloyo. Akan tetapi yang ditanya tidak menjawab melainkan langsung saja pergi ke kamarnya. Ki Mertoloyo cepat mengikuti puterinya dan ketika dia memasuki kamar puterinya, dia melihat Winarti rebah menelungkup di atas pembaringan dan menangis!
"Nini apakah yang terjadi? Kenapa engkau menangis ?"
Tanya ayah itu dengan heran dan khawatir, lalu duduk di tepi pembaringan. Winarti tidak menjawab melainkan terus menangis sesenggukan. Ki Mertoloyo yang sudah berpengalaman itu membiarkan puterinya menangis karena hanya tangis yang dapat menjadi penyalur kedukaan yang menyesak di dada. Setelah tangis gadis itu mereda, Ki Mertoloyo berkata sambil mengelus kepala anaknya.
"Winarti, katakanlah kepada bapa, apakah yang terjadi dan mengapa engkau menangis. Apakah engkau dan anak mas Sutejo tidak berhasil mengejar penjahat itu?"
Winarti bangkit duduk lalu menghapus air mata yang membasahi pipinya.
"Sebetulnya apa yang tadi terjadi dalam kamarmu ini? Kulihat meja telah terpotong- potong. Siapakah penjahat itu?"
Setelah dapat menenangkan hatinya, Winarti lalu berkata.
"Bapa, tadi aku belum tidur ketika tiba-tiba daun jendela dibuka orang dari luar. Sebelum aku dapat betbuat sesuatu, seorang gadis dengan amat cepatnya melompat masuk dan telah menodongkan pedangnya di leherku sehingga aku tidak berdaya."
"Siapa ia? Apa maunya?"
Ki Mertoloyo bertanya khawatir.
"Apakah ia anak buah orang Wirosobo?"
"Aku tidak tahu, bapa. ia tidak mau mengaku namanya. Akan tetapi ia mengancam kepadaku......"
Gadis itu kembali menghapus air matanya dan berhenti bercerita.
"Mengancam bagaimana?"
"Ia memperingatkan aku agar tidak merebut hati kakangmas Sutejo. Ia mengancam dan dengan pedangnya ia membacoki meja itu, mengatakan bahwa kalau aku tidak menurut, ia akan membunuhku. Kemudian ia melompat keluar dan aku lalu mengejarnya sambil berteriak tadi."
"Dan anak mas Sutejo ikut mengejarnya. Aku tidak ikut mengejar karena aku yakin engkau dan anak mas Sutejo akan mampu menangkapnya. Jadi kalian berdua tidak dapat menangkapnya?"
"Kami kehilangan jejak, bapa. Orang itu menghilang dan kami tidak tahu ke arah mana ia lari."
"Akan tetapi kenapa engkau menangis?"
Winarti tidak menjawab hanya menundukkan mukanya. Tentu saja sukar baginya untuk mengatakan mengapa ia menangis.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan engkau pulang seorang diri. Ke mana anak mas Sutejo?"
"Ia telah pergi.........."
Jawab Winarti lirih dan datar.
"Pergi? Pergi ke mana?"
"Katanya hendak mencari gadis itu dan dia minta disampaikan pamit kepadamu, bapa."
"Pamit? Jadi dia tidak akan kembali ke sini?"
Winarti menggeleng kepalanya.
"Tidak, dia....., katanya akan melanjutkan perjalanannya....."
Ki Mertoloyo mengangguk-angguk, Kiai mengertilah dia. Puterinya menangis sedih karena ditinggalkan Sutejo!
"Nini, engkau mencintai anak mas Sutejo?"
Tanyanya sambil memegang kedua pundak, Winarti menangis lagi di atas dada ayahnya.
Retno Susilo berjalan seorang diri di pagi hari itu, mendaki bukit dengan langkah santai, indah nian suasana dan pemandangan di pagi hari itu, di kala matahari muda memuntahkan sinarnya yang masih lembut kemerahan ke permukaan bumi, mengusir kabut yang membumbung dari tanah yang basah oleh embun. Burung-burung sibuk membuat persiapan untuk bekerja pada hari itu, mendendangkan puja-puji kepada Yang Maha Pencipta dengan kicau mereka yaug saling sahutan. Jauh di depan sana, melalui bentangan sawah yang luas di depan kakinya, Retno Susilo melihat sebuah dusun dan dari dusun itu sudah terdengar suara-suara yang tidak asing bagi telinganya, suara-suara yang mendatangkan rasa damai di hati. Suara ayam berkeruyuk, berkokok dan berkotek, diseling suara kambing mengembik dan suara lembu. Sayup sampai terdengar pula suara kanak-kanak berteriak. Dusun itu agaknya sudah mulai hidup dan sibuk pula menyambut datangnya hari, siap untuk melakukan pekerjaan masing-masing.
Retno Susilo berhenti melangkah dan menggeliat memutar-mutar pinggangnya yang terasa pegal, semalam terpaksa ia harus melewatkan malam di dalam sebuah gubuk bambu di tengah sawah. Ia kemalaman di jalan sebelum dapat sampai ke sebuah dusun, maka ia terpaksa bermalam di gubuk kecil itu. la harus rebah di atas lantai bambu yang kasar sehingga kini pinggangnya terasa pegal. Pemandangan dari lereng bukit Itu sungguh indah. Matahari tampak masih lembut, belum terlalu menyilaukan dau sinarnya juga hangat nyaman, belum menyengat. Hawa udara sejuk segar dan hangat. Pemandangan dan suasana seperti itu mendatangkan rasa damai dan tenteram di hati. Retno Susilo lalu duduk di atas sebuah batu dan melayangkan penglihatannya ke bawah di mana terbentang luas tanah persawahan dan tegalan.
Pemandangan itu membuat hatinya terhibur dan ia telah lupa akan kegelisahan dan kemurungan yaug menggodanya semalam dan membuatnya tidak dapat tidur nyenyak di gubuk itu. Semalam hatinya terasa panas seperti dibakar. Siapa yang tidak akan panas hatinya melihat Sutejo bermesraan berdua dengan seorang gadis dalam taman kademangan itu? Pemuda yang dicari-carinya, dengan penuh kerinduan dan juga penuh penasaran, tahu-tahu telah didapatinya bermesraan dengan seorang gadis lain! Menurutkan panasnya hati sebetulnya ingin ia membunuh gadis itu. Akan tetapi ia masih ragu, belum yakin benar bahwa Sutejo bercinta-cintaan dengan gadis itu, maka setelah berhasil memasuki kamar gadis itu, ia hanya mengancam saja. Kemudian ia melarikan diri dan setelah keluar dari kademangan Wonojati. memasuki hutan dan setelah keluar dari dalam hutan dan tiba di persawahan ia berhenti dan bermalam di sebuah gubuk itu. Hatinya panas dan gelisah sehingga malam itu ia merasa tersiksa lahir batinnya. Gubuk itu merupakan tempat yang sama sekali tidak enak untuk ditiduri dan hatinya demikian panas memikirkan Sutejo.
Akan tetapi ketika ia duduk di atas batu itu, tenggelam ke dalam suasana pennh kedamaian dan ketenteraman yang indah itu, ia sudahi melupakan semuanya itu dan meneguk kenikmatan suasana pagi yang permai itu sepuasnya. Bukit Ular sudah tampak dari situ, sebuah bukit di Pegunungan Anjasmoro. Melihat bukit itu, teringatlah ia akan gurunya dan semua kedamaian dan keindaban itupun lenyap. Pikirannya sudah disibukkan lagi oleh ingatan dan kenangan. Ia telah gagal
(Lanjut ke Jilid 15)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
melaksanakan tugas yang diberikan gurunya itu. Gurunya, Nyi Rukmo Petak, Setelah menurunkan semua ilmu simpanannya kepadanya, menugaskan agar ia membunuh musuh gurunya yang bernama Harjodento dan isterinya bernama Padmosari yang tinggal di daerah Ngawi, di tepi Bengawan Solo. Akan tetapi ia telah gagal! Ia telah menghadapi dan menantang mereka, akan tetapi ia harus mengakui ketangguhan dan keunggulan Harjodento.
Ia telah kalah dan gagal melaksanakan tugas yang diberikan gurunya kepadanya! Bahkan hampir saja ia celaka di tangan suami isteri itu dan anak buah mereka. Untung muncul seorang pemuda yang menolongnya, yaitu Priyadi. Akan tetapi ia merasa tidak suka kepada pemuda yang tampan dan digdaya itu karena ada sesuatu dalam pandang matanya yang mendatangkan rasa tidak suka dan tidak percaya dalam hatinya. Teringat akan semua ini, terutama sekali akan kegagalannya melaksanakan tugas yang diperintahkan gurunya, kedukaan timbul dalam hati gadis itu dan segala keindahan dan kebahagiaan yang tadi menyelimuti perasaannyapun menghilang!
Pikiranlah yang meniadakan kebahagiaan! Kebahagiaan adalah anugerah Tuhan kepada manusia yang mengalir tiada hentinya. Kebahagiaan itu selalu sudah ada dalam batin manusia. Akan tetapi pikiran yang mengingat ingat, mengenangkan masa lalu, membayangkan masa depan, menimbulkan persoalan-persoalan, problem-problema yang meresahkan hati, menimbulkan duka dan kekhawatiran dan kalau semua problema yang didatangkan pikiran itu sudah menguasai batin, maka dengan sendirinya kebahagiaanpun tidak terasa lagi. Bagaikan sinar matahari yang selalu ada, namun tertutup mendung sehingga tidak tampak lagi, pikiran ini selalu menghantui kita.
Bahkan dalam tidur sekalipun, keadaan yang sesungguhnya membuat kita berbahagia, pikiran masih mengulurkan kuku-kukunya berupa mimpi-mimpi yang terkadang buruk sehingga amat mengganggu ketenteraman batin kita. Hati akal pikiran yang telah dicengkeram napsu itu selalu merasa tidak puas, selalu mengejar apa yang kita anggap menyenangkan. Pada akhirnya bahkan menjerumuskan kita ke dalam kedukaan dan kesengsaraan. Hati akal pikiran memang merupakan alat hidup yang mutlak perlu, bahkan membantu sekali kepada kita, karena tanpa hati akal pikiran, kita akan hidup seperti binatang. Namun hati akal pikiran menjadi sarangnya nafsu dan kalau kita tidak waspada dan membiarkannya merajalela, kita akan diperhamba.
Kita tidak akan dapat berdaya sama sekali karena pengaruh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu memang teramat kuat. Satu-satunya jalan untuk membebaskan diri dari pengaruh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu hanyalah dengan penyerahan diri yang sepenuhnya dan tulus ikhlas kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, memohon bimbinganNya. Karena hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu menundukkan kemurkaan nafsu, Tuhan yang memberi nafsu kepada kita, menjadi peserta kita sejak kita lahir. Tuhan yang mengadakan nafsu, maka hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu menundukkan nafsu dan mengembalikan nafsu ke dalam tugasnya semula, yaitu menjadi peserta dan pembantu manusia yang berguna dan mengandung kebaikan, bukan menjadi penggoda yang membuat manusia, mengerjakan kejahatan dan menjerumuskan manusia ke dalam kesengsaraan.
"Diajeng Retno Susilo?"
Retno Susilo tersentak dari lamunannya. Ia melompat turun dari atas batu sambil membalikkan tubuhnya dan ia telah berhadapan dengan Sutejo! Sejenak kedua orang itu berdiri saling berhadapan dalam jarak lima meter dan saling berpandangan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Berbagai macam perasaan bergejolak dalam hati Retno Susilo. Ada perasaan gembira yang luar biasa bertemu dengan pemuda yang amat dirindukannya itu, akan tetapi ada pula perasaan menyesal bahwa pemuda itu meninggalkannya dan tidak mau mengajaknya pergi merantau, ada pula perasaan marah teringat akan gadis dalam taman kademangan Wonojati yang pada malam tadi bercakap-cakap dengan mesra dengan Sutejo. Semua perasaan ini teraduk menjadi satu membuatnya tidak mampu bicara. Sedangkan dalam dada Sutejo juga terjadi pergolakan.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo