Pecut Sakti Bajrakirana 14
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
Dia melihat betapa Retno Susilo menjadi semakin cantik jelita dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Tak dapat disangkal bahwa hatinya bergembira sekali bertemu dengan gadis ini. Akan tetapi juga terdapat perasaan marah kalau dia teringat akan perbuatan gadis ini terhadap Winarti yang tidak berdosa Bagaimanapun juga, di sudut hatinya terdapat kesadaran bahwa apa yang dilakukan Retno Susilo itu adalah akibat dari kecemburuan hatinya vang menandakan bahwa gadis ini amat mencintanya!
"Kau... . kakang Sutejo....!"
Akhirnya Retno Susilo berkata lirih
"Sudah kuduga, tentu engkau orangnya yang mengancam nimas Winarti dan membikin ribut di kademangan Wonojati."
Kata Sutejo sambil tersenyum, memandang gagang pedang yang tersembul di belakang pundak gadis itu.
Mendengar ucapan itu, Retno Susilo mengedikkan kepalanya dan membusungkan dadanya, sikapnya menantang sekali.
"Benar! Aku yang melakukannya! Apakah engkau datang mencariku untuk membalaskan dendam nimasmu yang bernama Winarti itu! Aku tidak takut!"
Melihat gadis itu wajahnya merah dan matanya seperti bernyala karena marahnya dan menantang, Sutejo tersenyum "Sabar dan tenanglah, diajeng Retno Susilo. Aku sama sekali bukan mencarimu untuk membalaskan dendam. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu bahwa apa yang kau lakukan semalam itu sesungguhnya tidak benar. Ketahuilah bahwa engkau mengancam dan membikin kaget seorang gadis yang sama sekali tidak berdosa. Ia tidak bersalah apa-apa."
Dia meragu sebentar lalu melanjutkan,
"Ia tidak bermaksud merebut hatiku......"
"Huh, apa kau kira aku ini sudah buta? Aku telah mengintai ketika kalian berdua bercakap-cakap dalam taman itu. Suaranya ketika bicara kepadamu, tatapan matanya ketika memandang kepadamu, jelas sekali menunjukkan bahwa ia telah jatuh cinta kepadamu!"
"Akan tetapi andaikata benar begitu, kenapa engkau menjadi marah kepadanya dan mengancam hendak membunuhnya?"
Sepasang mata itu mencorong marah.
"Aku membunuh ia atau siapapun juga, engkau perduli apa? Kakang Sutejo, kebetulan sekali engkau datang, karena sesungguhnya telah lama aku mencarimu. Aku hendak menantangmu bertanding, aku ingin membalas kekalahanku darimu tempo lalu!"
Setelah berkata demikian Retno Susilo sudah mencabut pedang Nogo Wilis dari sarung pedangnya di belakang punggungnya. Tampak sinar kehijauan berkelebat ketika ia mencabut pedangnya itu dan gerakannya sedemikian cepatnya sehingga diam-diam Sutejo merasa kagum dan juga terkejut.
"Eh, diajeng. Kenapa begini? Kenapa engkau menantangku bertanding? Di antara kita tidak terdapat permusuhan, bahkan aku bersahabat dengan orang tuamu, bersahabat denganmu."
"Aku menantangmu bertanding untuk melihat siapa di antara kita yang lebih unggul untuk menebus kekalahanku yang lalu, bukan untuk bermusuhan. Hayo, keluarkan senjatamu, kakang Sutejo?"
"Tidak, aku tidak akan bertanding melawanmu, diajeng. Biarlah aku mengaku kalah kepadamu."
"Tidak bisa! Kelakuanmu ini berarti penghinaan bagiku. Aku ingin menguji kepandaianku sendiri yang dengan susah payah kuusuhakan untuk memperoleh kemajuan. Mari, kakang Sutejo, atau aku akan menyerangmu begitu saja!"
Sutejo merasa tertarik. Jadi selama ini Retno Susilo telah memperdalam ilmunya dengan maksud untuk dapat mengalahkannya? Ingin sekali dia melihat sampai di mana kemajuan yang diperoleh gadis berwatak liar penuh Keberanian dan kegagahan ini.
Sambil tersenyum dan timbul kegembiraannya karena Retno Susilo sendiri mengatakan dengan tegas bahwa pertandingan ini hanya untuk menguji Kepandaian, bukan bermusuhan. Sutejo lalu meloloskan kain pengikat rambutnya Dia berdiri di depan gadis itu dan berkata.
"Nah, aku sudah siap untuk bertanding denganmu, saling menguji kemampuan masing-masing, diajeng Retno Susilo!"
Retno Susilo yang sudah siap sejak tadi, bergerak cepat sambil berseru.
"Awas seranganku!"
Dan pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan seperti kilat sehingga yang tampak hanya sinar kehijauan meluncur ke arah leher Sutejo! Pemuda itu kembali terkejut dan kagum. Gerakan ini benar-benar cepat bukan main! Namun dia dapat mengelak dengan merendahkan tubuhnya sehingga pedang menyambar di atas kepalanya. Akan tetapi cepat sekali pedang itu membalik dan menyambar dari kiri ke arah perutnya! Sutejo mengelak lagi dengan langkah mundur sehingga ujung pedang menyambar lewat di depan perutnya. Akan leiapi dengan gerakan yang lincah bukan main pedang itu bagaikan seekor burung sikatan kembali telah meluncur dan kini merupakan serangan tusukan ke arah dadanya!
"Bagus!"
Sutejo memuji karena gerakan ini benar-benar indah dan juga berbahaya sekali bagi lawannya. Demikian cepatnya perubahan serangan itu, tadinya menyambar dan kiri ke kanan berupa bacokan, kini tiba-tiba saja sudah meluncur datang menusuk dadanya. Dia mengerahkan tenaga dan menggunakan kain pengikat kepalanya untuk menangkis. Dengan penyaluran tenaga saktinya, kain yang lemas itu berubah menjadi kaku dan keras, seperti sebatang pedang saja menangkis pedang Nogo Wilis di tangan gadis itu.
"Plakk !"
Pedang di tangan Retno Susilo terpental, akan tetapi Sutejo juga merasa betapa tangannya yang memegang kain pengikat rambut itu tergetar keras, menandakan bahwa tenaga dalam gadis itupun kini menjadi kuat bukan main. Tangkisan Sutejo itu membuat Retno Susilo menjadi penasaran sekali. Ia lalu menggerakkan pedangnya dengan cepat sehingga senjata itu berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung dan dari dalam gulungan sinar pedang itu kadang-kadang mencuat sinar kilat dari serangan pedangnya. Akan tetapi selalu Sutejo dapat menghindarkan diri dengan elakan atau tangkisan kain pengikat rambutnya.
Setelah menyerang selama lima puluh jurus lebih dan tidak pernah satu kalipun serangannya mengenai sasaran, selalu terelakkan atau tertangkis oleh pemuda itu, Retno Susilo menjadi penasaran sekali. Biarpun hanya merupakan sehelai kain pengikat rambut, namun setelah berada di tangan Sutejo benda itu menjadi sebuah senjata yang ampuh bukan main dapat menjaga tubuh pemuda itu melebihi perisai yang terbaik. Sementara itu, biarpun dia tidak pernah membalas, namun diam-diam harus mengakui bahwa kegesitan dan tenaga Retno Susilo telah memperoleh kemajuan pesat dan besar sekali sehingga dia menjadi kagum.
Tiba-tiba Retno Susilo melompat ke belakang dan menyarungkan pedangnya di belakang punggung. Matanya bersinar-sinar menatap wajah Sutejo. Melihat ini, Sutejo juga mengikatkan kain yang dijadikan senjata tadi di kepalanya sambil tersenyum senang karena agaknya Retno Susilo akan mengakhiri pertandingan itu.
"Kakang Sutejo, biarpun senjata pedangku tidak pernah depat menyentuhmu, akan terapi aku belum mengaku kalah Aku tidak akan mau mengaku kalah kalau belum kau robohkan. Sekarang sambutlah ajiku ini!"
Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang, lutut agak ditekuk kedua tangan membuat gerakan seperti menyembah dengan kedua telapak tangan dipertemukan di depan hidung, lalu kedua tangan itu dikembangkan ke kanan kiri, lengannya lurus dengan pundak, kemudian kedua tangan itu dari kanan kiri mendorong atau memukul ke depan dengan telapak tangan menghadap ke depan dan mulutnya mengeluarkan teriakan melengking.
"Aji Gelap Sewu...."
Sutejo terkejut bukan main. Serangan dari jarak jauh itu hebat bukan main. Mendatangkan angin dahsyat dan ada hawa pukulan yang ganas menyambar ke arah dirinya.
"Aji Gelap Musti......!"
Diapun berteriak sambil mengerahkan aji itu, kedua tangannya juga didorongkan ke depan menyambut serangan gadis itu. Dua tenaga sakti bertemu di udara "Wuuuttt...... desss......!!"
Retno Susilo terpental dan untung baginya bahwa Sutejo tidak mengerahkan seluruh tenaganya sehingga gadis itu tidak sampai menderita luka dalam, hanya terpental dan terkejut saja Ia terhuyung ke belakang. Sutejo cepat melangkah maju menghampiri.
"Diajeng Retno Susilo....... engkau tidak apa-apa, bukan?"
"Tidak, aku belum mengaku kalah, kakang Sutejo. Mari kita lanjutkan!"
"Sudahlah, diajeng. untuk apa kita bertanding terus? Tingkat kepandaianmu telah maju pesat dan biarlah aku yang mengaku kalah."
"Tidak! Sekarang coba sambut aji pamungkasku ini!"
Gadis itu merendahkai tubuhnya sampai hampir berjongkok, kedua lengannya membuat gerakan seperti dua ekor ular mengeliat-geliat. Itulah gerakan untuk menghimpun tenaga sakti dari Aji Wiso Sarpo yang baru saja dipelajarinya dari Nyi Rukmo Petak, aji pukulan yang mengandung hawa beracun dari ular-ular berbisa. Setelah menggerakkan kedua lengan menggeliat-geliat seperti ular. kedua tangan itu lalu memukul ke depan.
"Aji Wiso Sarpo......!"
Teriaknya melengking.
Kembali Sutejo terkejut. Ada hawa panas menerpanya dan tercium bau wengur seolah-olah di situ terdapat banyak ular berbisa! Maklumlah dia bahwa pukulan jarak jauh yang dilakukan Retno Susilo itu berbisa dan amat berbahaya. Karena dia harus melindungi tubuhnya dan khawatir kalau-kalau Aji Gelap Musti tidak akan mampu menolak serangan berbisa itu, diapun lalu berseru dengan nyaring.
"Aji Bromokendali!"
Dari kedua tangan yang didorongkan itu mengalir keluar hawa yang panas sekali menyambut hawa pukulan Retno Susilo dan dua tenaga sakti kembali bertemu di udara.
"Wuuuuttt......blaarrrr......!"
Tubuh Retno Susilo terlempar ke belakang dan ia terbanting jatuh ke atas tanah! Sutejo terkejut dan cepat meloncat mendekati gadis itu. Suaranya tergetar ketika dia bicara.
"Diajeng......! Diajeng Retno Susilo.....! Aku..... aku tidak melukaimu, bukan?"
Retno Susilo bangkit duduk, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan ia menangis! Menangis sesenggukan, pundaknya bergoyang-goyang dan air matanya mengalir melalui celah-celah jari tangan yang menutupi mukanya.
Sutejo merasa menyesal sekali telah membuat gadis itu roboh. Mengapa dia tadi tidak mengalah saja dan membiarkan dirinya yang roboh oleh pukulan Retno Susilo?
"Diajeng Retno Susilo, maafkan aku. Aku menyesal sekali, maafkan aku, diajeng"
Katanya lembut, tangannya sudah bergerak hendak menyentuh pundak gadis itu, akan tetapi sebelum menyentuhnya, dia menarik kembali tangannya karena takut kalau-kalau gadis itu akan menjadi semakin marah kalau pundaknya tersentuh tangannya.
Akan tetapi ucapannya itu membuat Retno Susilo menangis semakin sedih sampai terisak-isak. Setelah tangisnya agak reda, ia berkata dengan suara terputus-putus,
"....... bunuh saja aku...... aku tidak mampu membalaskan sakit hati guruku....... dan sekarang aku kalah olehmu....... tidak ada gunanya lagi hidupku di dunia ini..... bunuhlah saja aku.....!!"
Ia menangis lagi sesenggukan seperti seorang anak kecil.
"Diajeng Retno Susilo, kalah olehku bukan berarti habis segala-segalanya. Ilmu kepandaianmu sudah tinggi sekali. Tadi aku hampir saja tidak kuat menahan seranganmu yang terakhir itu. Kedua ajimu, Gelap Sewu dan Wiso Sarpo itu hebat dan dahsyat. Agaknya tidak banyak orang yang akan mampu menandingimu, diajeng."
"Tidak perlu membujuk! Aku sudah kalah bertanding melawan musuh guruku. Aku, tidak akan mampu membalaskan sakit hati guruku. Aku murid yang tidak ada gunanya......!"
Ia menutupi lagi mukanya dan menangis lagi.
"Jangan menangis, diajeng. Siapakah musuh gurumu itu? Kalau memang dia itu jahat, aku pasti mau membantumu untuk menandinginya."
Kata Sutejo menghibur.
Tiba-tiba terdengar suara lantang bersama dengan berkelebatnva sesosok bayangan orang.
"Tentu saja dia jahat! Dia sejahat jahatnya orang, lelaki yang paling jahat dan palsu di dunia ini!"
Sutejo cepat membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua seperti kapas, namun wajah itu masih bebas dari keriput dan dapat dilihat bahwa wanita tua ini dahulunya tentu cantik sekali.
Retno Susilo juga menoleh dan melihat bahwa yang datang adalah Nyi Rukmo Petak, ia lalu menubruk Ke arah kaki nenek itu dan menangis lagi sambil berkata.
"Maafkan saya....... saya tidak dapat memenuhi tugas.... saya telah kalah melawan Harjodento dan isterinya....."
Nyi Rukmo Petak mengangguk-angguk.
"Bangkitlah, Retno. Aku tidak merasa heran kalau engkau telah dikalahkannya pula mereka memang tangguh. Akan tetapi pemuda ini telah menyanggupi untuk membantumu dan kulihat tadi bahwa dia memiliki kemampuan yang cukup untuk menandingi Harjodento dan Padmosari. Dan dia sudah berjanji untuk membantumu, Eh, orang muda yang gagah perkasa, siapakah namamu?"
"Nama saya Sutejo, bibi."
"Nama yang bagus! Aku senang sekali mendengar andika bersedia membantu Retno Susilo untuk menandingi musuh besar kami itu. Benarkah?"
"Saya sudah berjanji dan tentu akan saya pegang teguh janji itu, bibi. Akan tetapi saya mau membantu menghadapi orang-orang itu dengan satu syarat, yaitu kalau orang-orang itu jahat. Saya hanya menentang orang-orang yang jahat, bibi, tidak mau memusuhi orang baik-baik."
"Jahat? Mereka jahat? Ahh, si Harjodento dengan isterinya, Padmosari, bukan hanya jahat. Mereka keji dan kejam! Mereka telah merusak hatiku, merusak kebahagiaanku, merusak kehidupanku!"
Nyi Rukmo Petak berseru dan membanting-banting kaki kanannya seperti orang yang merasa gemas sekali.
"Apakah yang telah mereka perbuat sehingga bibi dapat mengatakan bahwa mereka itu jahat dan kejam?"
Tanya Sutejo yang tidak mau menerima keterangan sepihak begitu saja.
"Apa yang telah mereka perbuat terhadap diriku sehingga aku mendendam dan ingin agar muridku Retno Susilo membalaskan sakit hati ini? Wah, perbuatan Harjodento itu kejam dan keji sekali. Dengar ceritaku. Dua puluh tahun lebih yang lalu, aku dan Harjodento merupakan pasangan yang selalu hidup bersama walaupun kami belum terikat pernikahan yang sah. Di mana ada dia tentu ada aku dan di mana ada aku tentu ada dia. Kami tidak terpisahkan oleh apapun juga. Suka sama dinikmati duka sama ditanggung, setiap tantangan sama ditanggulangi. Kami saling mencinta dan bersumpah untuk hidup bersama sampai mati. Kami telah hidup bersama selama belasan tahun, saling mencinta dan saling setia sampai kami berdua berusia empat puluh tahun lebih. Kami malang melintang membuat nama besar di dunia disegani kawan ditakuti lawan. Akan tetapi pada suatu hari dia bertemu dengan seorang gadis berusia dua puluh tahun lebih bernama Padmosari dan dia tergila-gila. Dia jatuh cinta, bahkan meminang Padmosari lalu menikah dengannya. Ketika aku datang memrotes, Harjodento dibantu oleh Padmosari malah mengusir dan menyerangku. Hampir mati aku dipukuli mereka dan mereka menghinaku dengan kata-kata yang kotor. Mereka mengatakan aku perampas suami orang wanita tak tahu malu dan sebagainya lagi. Sampai berbulan-bulan aku jatuh sakit karena siksaan mereka. Setelah sembuh aku memperdalam ilmu silat dan beberapa kali aku berusaha untuk membalas dendam, akan tetapi aku selalu dikalahkan mereka. Karena aku merasa diri sudah tua dan lemah, maka aku menugaskan muridku Retno Susilo untuk membalaskan sakit hatiku, akan tetapi apa daya, ternyata iapun gagal dan kalah."
Sampai di sini, Nyi Rukmo Petak berhenti dan terisak menangis.
Retno Susilo menghampiri dan memeluk gurunya.
"Nyi Dewi, ampunkan aku muridmu yang tiada guna, telah gagal membalaskan sakit hatimu."
Melihat keadaan mereka, Sutejo merasa iba juga.
"Hemm, agaknya mereka itu sewenang-wenang dan kejam "
Katanya.
Mendengar ucapan Sutejo, Nyi Rukmo Petak mengusap air matanya dan memandang kepada pemuda itu.
"Anak mas Sutejo, aku yakin, kalau andika mau membantu Retno Susilo menghadapi mereka, pasti engkau akan mampu menandingi dan mengalahkan mereka. Aku melihat tadi ilmu kepandaianmu tinggi sekali. Siapakah gurumu, anak mas Sutejo?"
"Guru saya adalah mendiang Bhagawan Sidik Paningal"
"Ah, Bhagawan Sidik Paningal dari Gunung Kawi?"
"Benar, bibi. Apakah bibi sudah mengenalnya?"
Sepasang mata Nyi Rukmo Petak yang masih tajam sinarnya itu mengamati wajah Sutejo penuh perhatian.
"Bhagawan Sidik Paningal? Siapa tidak mengenalnya? Pantas andika digdaya anak mas Sutejo. Kiranya andika adalah muridnya!"
Tiba-tiba suaranya menjadi lembut penuh permohonan.
"Anak mas Sutejo, kalau andika suka membantu kami mengalahkan mereka aku akan selalu berterima kasih kepadamu, takkan kulupakan seumur hidupku. Anak mas Sutejo, andika tentu tidak tega membiarkan seorang wanita tua seperti aku ini tersiksa dan menanggung derita batin yang sudah kutanggung selama puluhan tahun lamanya ini"
Kembali wanita itu menangis terisak-isak. Retno Susilo sendiri sampai menjadi terheran-heran. Selama bertahun-tahun menjadi murid wanita berambut putih itu, belum pernah ia melihat gurunya ini menangis. Gurunya bahkan memperlihatkan kekerasan hati yang luar biasa. Akan tetapi kini gurunya itu menangis terisak-isak seperti anak kecil! Ia merasa iba dan ia menghadapi Sutejo lalu berkata dengan lembut sambil menentang pandang mata pemuda itu.
"Kakangmas Sutejo, maukah engkau membantu Nyi Dewi? Kalau engkau tidak mau membantu guruku, aku yang minta tolong kepadamu. Bantulah aku menghadapi Harjodento dan isterinya, serta anak buah mereka. Apakah sekali ini engkau juga akan menolak permintaanku ini, kakangmas Sutejo?"
Dalam suara gadis itu terkandung kesedihan dan Sutejo merasa iba sekali. Dia pernah mengecewakan gadis ini dengan menolaknya ketika ia minta agar diperbolehkan ikut. Bagaimana kini dia dapat menolak permintaannya, sedangkan tadi dia telah menyatakan kesanggupannya antuk membantu ? Memang dia meragu untuk membantu Nyi Rukmo Petak yang sama sekali tidak dikenalnya dan dia tidak tabu presis bagaimana sebenarnya persoalan antara nenek itu dan keluarga Harjodento. Dia hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Akan tetapi kalau Retno Susilo yang meminta kepadanya untuk membantu, dia tidak dapat menolak.
"Baiklah, diajeng Retno Susilo. Seperti kukatakan tadi, aku akan membantumu menghadapi mereka."
Mendengar ini, Nyi Rukmo Petak kelihatan girang sekali. Wajahnya berseri-seri, matanya bersinar-sinar "Aduh, terima kasih banyak, anak mas Sutejo!"
Serunya dan ia lalu maju merangkul Retno Susilo dan mencium kening gadis itu.
"Retno, terima kasih, aku merasa berbahagia sekali sekarang! Anak mas Sutejo akan menentang dan melawan mereka! Ah, betapa senang dan puas rasa hatiku membayangkan mereka berdua itu kalah dan roboh di tangan anak mas Sutejo!"
Nenek itu kelihatan demikian girang luar biasa sehingga Retno Susilo kembali merasa heran. Biasanya gurunya ini adalah seorang wanita tua yang berhati dingin, tidak mudah tertawa, apa lagi menangis. Pertemuannya dengan Sutejo membuatnya demikian berubah. Akan tetapi iapun ikut bergembira melihat betapa gurunya tampak begitu berbahagia.
"Kalau begitu, kami akan berangkat sekarang juga, Nyi Dewi. Kami mohon pamit."
Kata gadis itu.
"Mari, kakangmas Sutejo, kita berangkat."
"Selamat jalan kalian berdua! Selamat bertugas. Aku mengiringkan dengan doa restuku!"
Kata nenek itu dengan suara gembira.
"Marilah, kakangmas Sutejo!"
Kata Retno Susilo dan suara gadis itupun terdengar amat bergembira karena di dalam hatinya, ia merasa senang sekali karena kini ia mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama pria yang telah menalukkan hatinya, satu-satunya pria yang pernah dicintanya. Sesungguhnya kegirangan hatinya itu bukan karena Sutejo mau membantu gurunya untuk membalaskan sakit hati, melainkan karena pemuda itu mau melakukan perjalanan bersamanya! Karena takut membayangkan bahwa ia baru segera berpisah lagi dari Sutejo, Retno Susilo yang menjadi penunjuk jalan, berjalan dengan santai dan seenaknya. Bahkan ia sengaja mengambil jalan memutar agar perjalanan itu memakan waktu lebih lama sehingga ia dapat lebih lama pula melakukan perjalanan bersama Sutejo!
"Kakangmas Sutejo, itu di depan ada warung, nasi. Kita berhenti dulu dan makan di sana, perutku sudah terasa lapar."
Kata Retno Susilo kepada Sutejo ketika mereka memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Di tepi jalan itu, sebelah kiri, terdapat sebuah kedai nasi dan di waktu senja itu tidak binyak tamu yang berada di warung itu. Hanya ada empat orang saja yang sedang makan. Penjaga kedai nasi itu seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun.
Sutejo dan Retno Susilo memasuki kedai itu, disambut dengan senyuman ramah oleh penjaga kedai. Biarpun Sutejo mengenakan pakaian sederhana, akan tetapi melihat Retno Susilo yang cantik jelita dengan pakaian yang cukup indah, penjaga warung itu menyambut dengan hormat.
"Den mas dan den roro, silakan duduk. Andika berdua hendak makan? Atau banya minum?"
"Kami mau makan,"
Kata Retno Susilo.
"harap hidangkan nasi dua dan air teh dua "
Penjaga warung itu mengangguk dan melangkah masuk ke bagian dalam rumah itu, ke dapur untuk menyediakan pesanan tamunya. Retno Susilo dan Sutejo duduk di atas bangku menghadapi meja.
Di dapur rumah yang bagian depannya dijadikan warung nasi itu duduk seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia adalah anak perempuan pemilik warung nasi itu.
"sarti buatkan air teh untuk dua orang."
Kata ibunya.
"Baik, ibu."
Jawab anak itu sambil turun dari bangku yang tadi didudukinya. Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat masuk dari pintu belakang dan seorang wanita cantik sudah menyambar ke arah anak itu. Tangan kirinya menangkap pundak itu dan begitu tangan kanannya menekan tengkuk, anak itu terkulai pingsan. Pemilik warung terbelalak dan hendak berteriak, akan tetapi wanita cantik itu menghardik dengan suara setengah berbisik.
"Jangan berteriak atau aku akan bunuh anakmu ini!"
Katanya sambil mencabut pedang dan menempelkan pedang yang berkilauan saking tajamnya itu ke leher Sarti, anak perempuan itu. Tentu saja ibunya menjadi ketakutan dan seluruh tubuhnya menggigil.
"Jangan...... jangan bunuh anak saya......"
Ia meratap.
"Aku tidak akan membunuh anakmu asal saja engkau menaati perintahku."
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata wanita cantik itu.
"Baik, saya akan mentati......"
Kata pemilik warung nasi itu dengan suara gemetar.
Wanita cantik itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil, lalu berkata.
"Cepat sediakan dua piring nasi seperti yang dipesan pemuda dan gadis itu!"
Dengan kedua tangan gemetar penjaga warung nasi itu segera menyediakan dua piring nasi dengan lauk pauknya, serta dua gelas air teh. Wanita cantik itu menuangkan isi bungkusan kecil, yaitu bubuk berwarna putih ke dalam sebuah di antara dua piring nasi itu.
"Ingat!"
Katanya mengancam.
"Engkau harus memberikan piring nasi yang ini kepada pemuda itu dan yang lain kepada si gadis. Awas jangan sampai tertukar. Kalau engkau sudah melaksanakan perintahku itu dengan baik dan nasi dalam piring yang ini termakan oleh pemuda itu, baru anakmu akan kubebaskan. Untuk sementara ini aku menahan anakmu di sini. Cepat hidangkan dan awas jangan tertukar, jangan keliru!"
Wanita itu hanya dapat mangangguk-angguk, lalu menggunakan baki untuk membawa hidangan itu keluar. Ia menaruh piring nasi yang sudah diberi bubuk putih itu di sebelah kiri agar tidak sampai tertukar. Setelah ia melirik ke arah anak perempuannya yang masih pingsan lalu membawa hidangan itu keluar.
Wajahnya menjadi agak pucat dan kedua tangannya agak gemetar ketika ia meletakkan dua piring nasi dan dua gelas air teh itu ke atas meja, di depan kedua orang tamunya itu. Keadaannya ini tidak terlepas dari pengamatan kedua orang muda yang digdaya itu.
"Mbakayu, apakah engkau sakit? Wajahmu pucar dan Kedua tanganmu gemetar."
Tegur Retno Susilo sambil mengamati wajah pemilik warung nasi itu.
"Ah. tidak, den roro, saya tidak sakit, hanya mungkin.... masuk angin saja...."
Kata wanita itu sambil melangkah mnsuk lagi ke belakang.
"Mari, kakangms. Kita makan, setelah itu baru kita mencari tempat untuk menginap dan melewatkan malam ini."
Ajak Retno Susilo. Sutejo mengangguk dan kedua orang itu lalu makan. Karena mereka tidak makan sejak pasi tadi dan perut mereka memang lapar, keduanya makan dengan enak walaupun sayur teman nasi yang mereka makan amat sederhana. Sesungguhnyalah. Perut lapar dan hati tenteram merupakan lauk pauk yang amat melezatkan segala macam makanan!
Sehabis makan Retno Susilo segera membayar harga makanan dan cepat mereka meninggalkan warung itu karena mereka tidak ingin kemalaman sebelum mendapatkan tempat untuk menginap. Wanita pemilik warung itu merasa lega bukan main. Anaknya telah dibebaskan, wanita cantik yang mengancamnya itu telah pergi, dan dua orang tamunya tidak apa-apa seperti yang ia khawatirkan.
Ketika Sutejo dan Retno Susilo tiba di jalan di luar warung nasi itu, tiba-tiba Sutejo mengangkat kedua tangannya, memegangi kepalanya dan mengeluh, menghentikan langkahnya.
"Eh, kenapakah engkau, kakangmas Sutejo?"
Tanya Retno Susilo dengan heran dan juga khawatir.
"Kepalaku... tiba-tiba pening sekali...."
Sutejo mengambil napas panjang dan tiba-tiba saja dia menyadari keadaannya.
"Celaka......Aku....... agaknya aku keracunan....."
"Kakangmas.....!"
Retno Susilo terkejut bukan main melihat Sutejo tiba-tiba terhuyung lalu roboh pingsan! Ia cepat melompat untuk menolongnya, akan tetapi pada saat itu muncul empat orang laki-laki yang tinggi besar dan kasar menubruknya seperti empat ekor harimau memperebutkan seekor domba. Jelas bahwa mereka itu menyerang untuk menangkapnya, sambil menyeringai kurang ajar. Retno Susilo cepat melompat ke samping, mengelak dan menghadapi empat orang itu dengan alis berkerut dan mata mencorong.
"Heii! Siapa kalian dan apu yang kalian lakukan ini?"
Bentaknya.
"Ha-ha-ha, manis! Mari ikut saja dengan kami dan engkau tentu akan hidup senang!"
Kata seorang di antara mereka dan dia sudah menubruk lagi Untuk meringkus Retno Susilo diikuti oleh tiga orang kawannya. Agaknya empat orang ini sama sekali belum mengenal siapa Retno Susilo maka mereka berempat memandang rendah dan mengira bahwa mereka akan dapat dengan mudah menangkap gadis itu.
Akan tetapi empat orang itu kecelik karena tubrukan mereka hanya mengenai tempat kosong saja karena Retno Susilo sudah bergerak dengan amat cepatnya mengelak dari terkaman mereka. Sambil melompat ke samping untuk mengelak, Retno Susilo tidak memberi kesempatan kepada mereka, tidak membiarkan mereka menyerang tanpa dibalas. Tangannya menampar, kakinya menendang dan empat orang itu terpelanting ke kanan kiri! Empat orang itu terkejut dan agaknya baru menyadari bahwa gadis cantik jelita itu bukanlah mangsa yang empuk. Mereka sudah mencabut golok yang bergantung di pinggang mereka dan kini mereka menerjang Retno Susilo, tidak lagi bermaksud menangkap, melainkan berniat membunuh! Empat batang golok itu menyambar-nyambar, menghujani tubuh Retno Susilo. Namun tidak ada serangan yang mengenai sasaran semua hanya mengenai udara kosong saja. Tubuh gadis itu berkelebatan amat cepatnya, menyusup di antara gulungan sinar empat batang golok. Empat orang itu merasa seolah-olah mereka berhadapan dengan seekor burung walet yang amat cepat gerakannya sehingga semua serangan mereka sia-sia belaka.
Pada saat itu, tampak sesosok bayangan berkelebat dan Retno Susilo melihat betapa ada seorang wanita cantik menyambar tubuh Sutejo yang pingsan dan membawanya lari cepat meninggalkan tempat itu. Tentu saja ia menjadi terkejut dan marah sekali. Akaa tetapi empat orang pengeroyoknya mengepung dan menyerangnya dengan semakin gencar sehingga terpaksa ia harus mencurahkan perhatiannya kepada mereka yang mengeroyoknya. Karena marah sekali melihat Sutejo yang pingsan diculik orang, Retno Susilo mengamuk. Sebetulnya, dengan ilmu biasa saja yang ia kuasai, ia sudah akan dapat merobohkan empat orang pengeroyoknya. Akan tetapi dalam kemarahannya, Retno Susilo mengerahkan ajinya yang paling ampuh, aji pamungkasnya, yaitu Aji Gelap Sewu.
"Yaaahh!"
Berbareng dengan terlontarnya pekik melengking ini, kedua tangannya mendorong ke depan dan empat orang pengeroyoknya itu terlempar dan terbanting jatuh seperti disambar petir! Tiga orang tewas seketika dan yang seorang lagi masih dapat bergerak dan mencoba untuk bangkit duduk.
Retno Susilo menggerakkan kedua kakinya dan sekali melompat ia sudah tiba dekat orang yang belum tewas itu, menjambak rambutnya dan menghardik.
"Hayo katakan, siapa yang menculik pemuda tadi dan di mana ia berada!"
Orang yang sudah setengah mati itu menjadi ketakutan dan harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya yang masih ada untuk menjawab.
"Ia...... Ia...... Ni Dewi Sekarsih.... ia berada di..... hutan lereng itu...."
Dia menuding.
"Tunjukkan kepadaku di mana tempat itu Hayo!"
Ia menjambak rambut orang itu sehingga bangkit berdiri dan memaksanya untuk berjalan cepat melakukan pengejaran terhadap wanita yang telah menculik Sutejo yang dalam keadaan pingsan.
Biarpun dia telah menderita luka parah akibat pukulan Gelap Sewu yang dilakukan Retno Susilo dan membuat tiga orang rekannya tadi tewas seketika. Orang itu yang kebetulan tidak terkena pukulan secara telak dan menderita luka parah, akan tetapi karena rasa takutnya terhadap Retno Susilo dia memaksa diri menjadi penunjuk jalan. Ternyata dia agaknya hafal benar dengan tempat itu karena biarpun cuaca mulai gelap, dia dapat melangkah maju tanpa ragu menyusup di antara pohon-pohon dan semak belukar.
Wanita cantik yang memaksa pemilik warung nasi untuk menaruh obat bubuk dalam makanan yang dihidangkan kepada Sutejo itu bukan lain adalah Sekarsih, murid atau juga kekasih klabangkolo, tokoh sesat yang sakti mandraguna itu. Sekarsih adalahh seorang wanita yang telah menjadi hamba nafsunya sendiri di antaranya yang mencengkramnya adalah nafsu berahi yang membuatnya menjadi seorang wanita yang mata keranjang.
Dimanapun ia berada, ia mengumbar nafsunya mencari korban di antara pemuda-pemuda yang dirayunya mengandalkan, kecantikannya atau kalau ia mendapatkan pemuda yang menolak rayuannya, ia mempergunakan aji pengasihan dibantu obat-obat yang merupakan racun perangsang. Di samping ilmu kanuragan yang, dikuasainya, wanita inipun seorang ahli dalam mempergunakan racun.
Secara kebetulan saja ia melihat Sutejo dan Retno Susilo memasuki dusun itu. Hatinya segera tertarik oleh ketampanan dan kegagahan Sutejo, maka timbul niatnya untuk mendapatkan pemuda itu. Akan tetapi ia melihat sikap dua orang muda itu seperti orang-orang yang memiliki ilmu maka ia bersikap hati-hati. Ia menghubungi empat orang perampok yang dikenalnya dan yang bersaing di hutan luar dusun itu dan ia menyuruh mereka untuk menguasai Retno Susilo, agar ia dengan mudah dapat menangkan pemuda yang menarik hatinya itu. Setelah empat orang anak buahnya itu siap, ia lalu memaksa pemilik warung nasi untuk menghidangkan nasi yang sudah ditaburi racun kepada pemuda itu dengan mengancam anak pemilik warung nasi.
Semua berjalan mulus seperti yang dikehendakinya, Ketika ia melihat Sutejo roboh pingsan di luar warung nasi, ia segera memberi isarat kepada empat orang anak buahnya untuk menyerbu.
Empat orang itu adalah perampok-perampok keji dan kasar. Melihat Retno Susilo yang cantik jelita, dan mereka sudah mendapat ijin dari Sekarsih untuk menguasai gadis itu, tentu saja mereka bergairah sekali dan segera mereka menyergap hendak menangkap Retno Susilo. Dalam keadaan yang kacau ketika Retno Susilo dikeroyok empat orang perampok itulah Sekarsih bergerak cepat, menyambar tubuh gutejo dan memanggulnya, dibawa lari memasuki hutan yang menjadi sarang keempat orang perampok itu.
Setelah tiba di sebuah pondok di dalam hutan itu, Sekarsih membawa tawanannya memasuki pondok yang terbuat dari kayu dan bambu itu. Ia menyalakan sebuah lampu gantung setelah merebahkan Sutejo di atas sebuah dipan kayu. Wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum senang melibat pemuda calon mangsanya itu menggeletak di situ rebah terlentang dalam keadaan tidak sadar. Akan tetapi ia bersikap hati-hati. Ia tidak ingin nanti dikecewakan oleh penolakan pemuda tampan itu, maka ia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil, memercikkan cairan yang terdapat dalam botol kecil ke muka Sutejo. Itulah racun perangsang yang disebut Tirto Asmoro. Racun perangsang ini kuat sekali. Baru tercium saja sudah cukup membuat seseorang terangsang nafsu teraniaya. Setelah memercikkan racun perangsang ini, Sekarsih lalu mengambil air dan memercikkan air dingin ke muka dan kepala Sutejo. Pemuda itu mengeluh dan membuka matanya. Dia masih agak nanar dan mengejap-ngejapkan matanya mengusir kepeningan.
Sutejo merasa heran dan terkejut sekali ketika melihat dirinya rebah di atas sebuah dipan, dirangkul dan dicumbu oleh seorang wanita cantik. Otomatis dia hendak meronta dan melepaskan diri, akan tetapi pada saat itu, dia merasa betapa ada dorongan kuat sekali dari dalam dirinya yang membuat dia membalas rangkulan wanita itu dan merasakan kenikmatan ketika wanita menciuminya! Sutejo merasa dirinya seperti terayun-ayun di angkasa, seperti dalam mimpi yang mengasyikkan. Tiba-tika saja terdengar suara keras.
"Brakkkkk !!"
Pintu depan pondok itu jebol diterjang Retno Susilo. Gadis ini setelah memaksa tawanannya sampai di depan pondok, lalu mengayun tangannya menampar tawanan itu yang terguling dan tewas seketika. Kemudian ia menerjang daun pintu hingga jebol dan matanya terbelalak melihat Sutejo sedang berangkulan dengan seorang wanita cantik di atas dipan! Wajahnya terasa panas, hatinya juga panas sekali.
"Perempuan iblis yang hina!"
Bentaknya sambil mencabut Pedang Naga Wilis dari punggungnya.
Melihat Retno Susilo. Sekarsih teringat bahwa, ia adalah gadis yang tadi makan bersama Sutejo dan yang ia serahkan kepada empat orang, perampok untuk dibuat sesuka hati mereka Kiranya gadis itu telah menyusul ke sini dan mengancamnya dengan pedang di tangan!
"Dari mana datangnya bocah yang berani menggangguku? Engkau sudah bosan hidup agaknya!"
Bentak Sekarsih dan pada saat itu Sutejo seperti telah menemukan Kesadarannya kembali dan cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan sekarsih dan melompat turun dari pembaringan, Akan tetapi dia terhuyung-huyung karena kepalanya terasa pening. Dia cepat menjatuhkan dirinya duduk bersila di atas lantai dan mencerahkan tenaga sakti Bromokendali untuk mengusir hawa beracun yang menguasainya.
Sekarsih yang merasa terganggu menjadi demikian marahnya sehingga ia sudah melompat dan menerjang dengan sambaran pedangnya, ke arah leher Retno Susilo. Akan tetapi Retno Susilo yang juga marah sekali itu menggerakkan pedangnya menyambut sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Cringggg... !!"
Dua batang pedang itu bertemu di udara dan bunga api berpijar menyilaukan mata, sekilat menerangi kamar atau ruangan pondok yang remang-remang itu. Sekarsih terkejut, bukan main ketika merasa tangan kanannya tergetar hebat, ia melompat ke belakang dan dengan mata terbelalak memandang lawannya. Hampir ia tidak dapat percaya bahwa lawannya yang masih demikian muda memiliki tenaga yang demikian kuatnya. Dan pedang lawannya itu! Mencorong kehijauan dan mengerikan. Biasanya, pedang seorang lawan tentu akan patah-patah kalau bertemu dengan pedangnya yang terbuat dari baja pilihan dan ia gerakkan dengan pengerahan tenaga saktinya. Karena terkejut dan heran, ia menjadi penasaran dan semakin marah.
"Haiiittttt....!!"
Ia berseru melengking dan tubuhnya sudah menerjang maju mengirim serangan kuat yang bertubi-tubi ke arah tubuh Retno Susilo. Akan tetapi gadis ini dapat bergerak dengan tangkas dan cepat bukan main, mengelak ke sana sini dan kadang pedangnya menangkis dengan kekuatan yang besar sehingga beberapa kali pedang di tangan Sekarsih terpental. Dua orang Wanita itu bertanding dengan seru di dalam ruangan pondok itu. Retno Susilo kini tidak hanya bertahan saja, melainkah juga membalas serangan lawan sehingga mereka saling serang dengan tusukan dan bacokan pedang yang dapat mendatangkah maut. Keduanya sama lincahnya dan dalam, hal tenaga sakti, biarpun Retno Susilo lebih kuat, namun selisihnya tidak banyak sehingga pertandingan itu menjadi seru sekali.
Semakin lama, hati Sekasih menjadi semakin tidak enak. Diam-diam ia mengeluh dan merasa kecelik sekali. Sama sekali tidak disangkanya bahwa sekali ini ia bertumbuk dengan batu! Gadis yang menjadi lawannya itu demikian tangguhnya dan tiba-tiba ia teringat kepada pemuda yang tadi dirayunya. Kalau gadis ini demikian tangguhnya, tentu pemuda itn juga bukan orang sembarangan! Ia mulai merasa khawatir, apa lagi setelah ia mengerling dan melihat pemuda itu duduk bersila dan uap putih mengeepul dari atas kepalanya. Tahulah ia bahwa pemuda itu sedang mempergunakan tenaga saktinya untuk mengusir pengaruh hawa beracun dari tubuhnya. Hal ini merupakan tanda bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki kesaktian. Kalau dia sampai pulih kembali dan ikut maju mengeroyoknya, akan celakalah ia!
Karena hatinya mulai gentar, Sekarsih lalu mengerahkan aji andalannya, mengisi tangan kirinya dengan Aji Singarodra. kemudian ia mengeluarkan lengkingan nyaring dan mendorongkan tangan kirinya ke arah Retno Susilo. Akan tetapi gadis ini menyambut serangan pukulan jarak jauh itu dengan Aji Gelap Sewu yang amat dahsyat.
"Wuuuttt...... desss........!"
Tubuh Sekarsih terpental ke arah pintu depan dan ia pun menahan rasa sesak di dadanya, terus melompat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam. Retno Susilo mengejar keluar, akan tetapi kegelapan malam di hutan itu telah menelan lenyap bayangan lawannya. Terpaksa ia masuk kembali ke dalam rumah itu.
Ketika memasuki pondok itu, Retno Susilo melihat Sutejo bangkit dari duduknya dan pemuda itu memandangnya dengan sinar mata membayangkan rasa syukur.
"Terima kasih atas pertolonganmu, diajeng Retno Susilo. Perempuan iblis itu sungguh berbahaya. Tentu ia yang telah menaruh racun ke dalam makananku. Mana sekarang iblis itu? Apakah engkau telah mengusirnya?"
Retno Susilo teringat akan pemandangan yang dilihatnya tadi, ketika Sutejo berpelukan dengan wanita iblis yang oleh perampok yang ditawannya tadi dikatakan bernama Ni Dewi Sekarsih. Kemarahan menyesak di dadanya ketika ia membayangkan penglihatan tadi.
"Engkau...... engkau tidak tahu malu !"
Bentaknya iapun membalikkan tubuh, dengan marah melangkah keluar. Ketika melewati lampu gantung yang bergantung dekat pintu, tangannya meraih dan ia telah mengambil lampu gantung itu dan membawanya keluar.
"Diajeng Retno.....!"
Sutejo mengejarnya keluar.
"Engkau tahu, aku berada dalam keadaan tidak sadar, keracunan.....!"
Akan tetapi Retno Susilo tidak menjawab melainkan melemparkan lampu gantung ke atap pondok .itu. Lampu itu meledak dan api berkobar cepat melahap pondok yang terbuat dari kayu dan bambu itu.
"Ah kenapa engkau lakukan itu, diajeng? Kita memerlukan pondok itu malam ini, untuk melewatkan malam."
Sutejo menegur.
"Aku.....aku benci pondok itu!"
Jawab Retno Susilo sambil memandang ke arah api yang berkobar besar. Sutejo mengamati wajah gadis itu yang tampak jelas di bawah sinar api yang berkobar. Wajah yang cantik jelita dan di bawah sinar api yang berkobar, wajah itu tampak seperti wajah seorang bidadari dari kahyangan!
"Diajeng Retno Susilo, sebenarnya apakah yang telah terjadi? Ketika kita keluar dari warung nasi, tiba-tibu kepalaku pening, pandang mataku gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Apa yang telah terjadi? Begitu sadar aku mendapatkan diriku di dalam pondok bersama perempuan iblis itu. Aku ..... aku sungguh tidak menyadari keadaan dan barulah aku sadar benar setelah aku berhasil meng usir hawa beracun yang menguasai diriku. Ceritakanlah, diajeng, apa yang telah terjadi?"
Mulut yang indah bentuknya itu masih cemberut. Matanya mengerling ke arah Sutejo sejenak, lalu ia membuang muka.
"Engkau marah kepadaku, diajeng? Maafkanlah aku kalau aku telah membuatmu tidak senang dan marah. Aku menyadari apa yang kau lihat tadi, akan tetapi aku berada dalam keadaan tidak sadar, tidak wajar dan terpengaruh racun."
Akhirnya Retno Susilo dapat memaklumi dan ia menghela napas panjang, mencoba untuk mendinginkan hatinya yaug panas, menenteramkan pikirannya yang membayangkan penglihatan yang membuatnya marah tadi.
"Ketika engkau jatuh pingsan, tiba-tiba muncul empat orang laki-laki kasar yang mengeroyok dan hendak menangkap aku. Tentu saja aku menghajar mereka dan selagi aku berkelahi melawan pengeroyokan empat orang itu, aku melibat wanita iblis itu membawamu lari. Aku menjadi marah dan kubunuh tiga oraag pengeroyok, yang seorang lagi kutangkap dan kupaksa menunjukkan ke mana perempuan itu melarikanmu. Dia membawaku ke sini dan aku lalu membunuhnya pula. Ketika aku menjebol pintu pondok, Aku melihat engkau dan perempuan itu....."
Retno Susilo tidak dapat melanjutkan ceritanya, karena hatinya sudah menjadi panas kembali.
"Aku ingat sekarang. Kemunculan dan bentakanmu itu menyadarkan aku, diajeng. Yang mengherankan aku, siapakah perempuan itu? Kulihat tadi ilmu kepandaiannya cukup tinggi."
"Aku sendiri juga tidak mengenalnya. Akan tetapi menurut orang yang kujadikan tawanan dan penunjuk jalan tadi, ia bernama Ni Dewi Sekarsih. Memang ilmu kepandaiannya cukup tinggi, dan beruntung aku dapat mengatasinya."
Karena mereka berada di tengah hutan dan malam itu gelap sekali, mereka tidak mungkin dapat keluar dari hutan tanpa bahaya tersesat. Maka terpaksa mereka melewatkan malam di dalam hutan itu, di dekat pondok yang kini lelah dimakan api.
Akan tetapi Retno Susilo telah menemukan kegembiraannya kembali, kegembiraan dapat melakukan perjalanan bersama Sutejo. Kegembiraan ini tadi sempat terusik oleh perasaan cemburu dan marah melihat Sutejo dibelai Sekarsin. Ia kini menyadari benar bahwa ketika itu Sutejo berada dalam keadaan tidak sadar dua dipengaruhi hawa beracun.
Sutejo membuat api unggun di bawah sebatang pohon yang tumbuh tak jauh dan pondok itu. Retno Susilo mengumpulkan daun kering dan menaruhnya di bawah pohon untuk menjadi semacam tiiam. Ia lalu duduk di atas rumput dan daun kering itu sambil memandang kepada Sutejo yang sedang membuat api unggun. Api yang membakar pondok masih bernyala sehingga menerangi bawah pohon itu.
Retno Susilo duduk bersandar batang pohon. Hatinya merasa senang bukan main. Ia menyadari sepenuhnya bahwa ,ia amat mencinta pemuda itu. Dalam keadaan bagaimanapun juga, kalau bersama Sutejo, ia akan selalu merasa senang dan berbahagia.
Sutejo telah berhasil menyalakan api unggun dan pemuda itupun duduk di atas tumpukan daun kering, berhadapan dengan Retno susilo dalam jarak dua meter. Mereka saling pandang di bawah sinar api unggun dan api yang membakar pondok dan melihat wajah Retno Susilo yang cerah dan mulutnya yang terhias senyum manis, hati Sutejo merasa lega. Gadis itu sudah tidak marah lagi. pikirnya. Dia merasa mukanya panas kalau membayangkan pengalamannya tadi. Biarpun tadi terpengaruh hawa beracun, namun dia lapat-lapat masin teringat betapa tadi dia hanyut dan hampir saja bertekuk lutut menyerah terhadap cengkeraman dan dorongan hasrat yang merangsangnya ketika dia dirangkul dan dicium perempuan bernama Sekarsih itu! Cepat dia mengusir kenangan itu dan mengajak Retno Susilo bercakap-cakap untuk mengalihkan perhatian.
"Diajeng. untung kita tadi telah makan. Kalau tidak, kita bisa kelaparan malam ini di sini."
Akan tetapi, ucapan itu justeru mengingatkan kembali Retno Susilo akan peristiwa vang mereka alami tadi.
"Kakangmas Sutejo mbakyu penjaga warung nasi itu tentu mempunyai hubungan dengan Sekarsih itu! Ia yang meracunimu tadi, Besok aku akan mendatanginya dan membei hajaran kepadanya!"
"Nanti dulu, diajeng. Jangan terburu nafsu. Sebaiknya besok kita selidiki dulu mengenal racun yang dicampurkan ke dalam nasi yang kumakan. Herannya, mengapa hanya dalam nasi yang disuguhkan kepadaku saja yang beracun, sedangkan yang kau makan tidak."
Kata Sutejo, Retno Susilo mengangguk-angguk "Engkau benar. Akupun sangsi apakah penjaga warung itu dapat melakukan kejahatan. Tampaknya ia orang baik-baik. seorang wanita penjaga warung nasi yang sederhana dan ramah."
"Sudahlah, diajeng, Tidak ada gunanya membicarakan peristiwa tadi. Besok kita tentu akan mengetahuinya. Aku ingin engkau bicara dan bercerita tentang musuh besar gurumu itu. Kita akan menghadapi mereka, maka aku ingin mengetahui keadaan mereka "
"Apa yang ingin kau tanyakan,kakangmas?"
"Siapa pula nama musuh besar gurumu itu?"
"Namanya Harjodento dan isterinya bernama Padmosari."
"Bagaimana keadaan orangnya? Berapa usianya."
"Harjodento itu seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, tampaknya gagah perkasa den isterinya yang bernama Padmosari berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, terutama sekali Harjodento itu. Kalau melawan isterinya aku masih mampu menandinginya, akan tetapi menghadapi Harjodento, aku harus mengakui keunggulannya. Dia tangguh sekali, dan memiliki tenaga yang amat kuat."
"Di mana mereka tinggal?"
"Mereka tinggal di tepi Bengawan Solo di daerah Ngawi."
(Lanjut ke Jilid 16)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
"Benarkah mereka itu jahat sekali, diajeng?"
Retno Susilo mengerutkan alisnya.
"Aku tidak tahu, kakangmas. Menurut guruku mereka jahat sekali terhadap guruku Akan tetapi apakah mereka itu orang jahat, aku tidak tahu. Harjodento itu adalah seorang ketua dari sebuah perkumpulan yang bernama Nogo Dento. Ketika aku berhadapan dengan Harjodento aku katakan terus terang bahwa aku ingin membunuhnya untuk membalaskan sakit hati guruku, Nyi Rukmo Petak. Akan tetapi Harjodento menyangkal dan mengatakah bahwa dia tidak mengenal Nyi Rukmo Petak. Aku paksa dia bertanding. Dia hadapi pedangku dengan senjata tombak dan ternyata dia tangguh sekali. Aku terdesak oleh tombaknya yang dahsyat. Dalam keadaan terdesak itu muncul seorang pemuda yang pernah kukenal dalam perjalanan. Dia membantuku menghadapi Harjodento."
"Siapakah pemuda itu, diajeng?"
"Namanya Priyadi......"
"Ahh.....! Orangnya tampan dan gagah, gerak geriknya lembut?"
"Benar. Engkau mengenalnya, kakangmas?"
"Tentu saja. Dia itu murid perguruan Jatikusumo. Gurunya adalah uwa guruku. Lalu bagaimana setelah Kakang Priyadi muncul membantumu?"
"Kami dapat menandingi Harjodento akan tetapi isterinya, Padmosari lalu maju membantu suaminya. Aku menghadapi Padmosari dan Kakangmas Priyadi melawan Harjodento. Keadaan kami seimbang, akan tetapi karena kami dikepung anak buah Nogo Dento yang banyak jumlahnya, Kakangmas Priyadi lalu mengajakku untuk melarikan diri sebelum kami dikeroyok dan dalam bahaya."
"Hemm, agaknya keluarga itu digdaya dan sukar dikalahkan."
Kata Sutejo.
"Apa lapi mereka mempunyai banyak anak buah."
"Kalau sudah tiba di sana, aku akan menantang mereka untuk mengadu ilmu dan bertanding satu lawan satu. Apakah engkau gentar menghadapi mereka, kakangmas Sutejo?"
Sutejo tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Tentu saja tidak, diajeng. Aku hanya meragu, khawatir salah menentang orang-orang yang tidak jahat. Akan tetapi hal itu bagaimana nanti sajalah, kita lihat kalau sudah berhadapan dengan mereka. Yang mengherankan adalah mengapa mereka itu tidak mengenal gurumu, pada hal menurut gurumu, mereka telah membuat gurumu sengsara karena dikhianati cintanya. Bagaimana engkau dapat berkenalan dengan Kakangmas Priyadi diajeng?"
"Kalau kuingat peristiwa yang mengerikan itu, aku masih bergidik Ketika itu, aku menolong dan membebaskan seorang gadis dusun yang hendak dipaksa menikah dan menjadi selir seorang hartawan di Kalurahan Sintren, sebagai selir ke lima. Aku menghajar hartawan mata keranjang itu dan ketika aku dikeroyok para tukang pukulnya, aku mengamuk. Akan tetapi seorang di antara para tamu itu maju menghadapiku. Dan tahukah engkau siapa orang itu, kakangmas? Bukan lain adalah Mahesa Meta, perampok tunggal tokoh Gunung Kelud itu!"
"Ah. yang dulu memusuhi ayahmu itu?"
Tanya Sutejo.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar dia! Agaknya dia masih ingat kepadamu, maka hendak membalas dendam dan dia bersama banyak anak buah hartawan itu berhasil menawanku menggunakan jala. Aku tertawan dan nyaris tertimpa bencana Mendadak muncul seorang kakek yang amat menggiriskan. Dia membunuh Mahesa Meta dan dia membawaku pergi dari rumah hartawam di mana aku ditawan itu dan membawaku ke dalam hutan, ke sebuah guha yang menyeramkan. Kakek itu sungguh menyeramkan dan seperti orang setengah gila yang agaknya mempunyai niat yang buruk terhadap diriku."
"Hemm, siapakah kakek itu?"
"Orangnya menyeramkan, usianya kurang lebih lima puluh tahun, mukanya brewok seperti muka singa, tinggi besar dam pakaiannya seperti pakaian pertapa."
"Ah, dia memiliki sebuah tahi lalat besar di dagunya ?
"Ya, benar"
"Dia itu Ki Klabangkolo, seorang yang sakti mandraguna."
"Memang dia sakti sekali, kakangmas. Aku sudah hampir putus asa karena tidak dapat melepaskan ikatan kaki tanganku ketika aku ditinggalkannya di guha itu dan dia katanya hendak mencari makanan. Untung pada saat dia pergi itu, muncul Kakangmas Priyadi yang membebaskan aku."
"Bagaimana dia dapat berada di hutan itu?"
"Menurut ceritanya, dia melihat ketika aku mengamuk di rumah hartawan itu dan melihat pula aku tertawan, kemudian ketika kakek itu membawaku pergi, dia membayangi sampai ke dalam hutan. Ketika kakek itu meninggalkan aku untuk mencari makan, Kakangmas Priyadi lalu muncul dan membebaskan ikatan kaki tanganku. Untung pedangku Nogo Wilis oleh kakek itu ditinggalkan di situ, maka dapat kupergunakan untuk membela diri."
"Kemudian bagaimana, diajeng ? Ceritamu semakin menarik !"
Kata Sutejo.
"Kakek itu muncul dan aku bersama Kakangmas Priyadi mengeroyoknya. Kalau kami maju satu satu, tentu kami tidak akan mampu menandingi kakek yang amat sakti itu. Akan tetapi dengan maju bersama, kakek itu dapat kami desak dan dia melarikan diri."
"Lalu Kakangmas Priyadi menemanimu pergi menemui Harjodento?"
"Tidak! kami berpisah dan aku meninggalkannya aku lalu pergi seorang diri ke tepi Bengawan Solo dan bertemu dengan Harjodento, menantangnya bertanding. Aku terdesak dan kewalahan, dan tiba-tiba muncul Kakangmas Priyadi tanpa diminta membantuku. Seperti telah kuceritakan tadi, kami terpaksa melarikan diri karena terdesak dan akan terancam bahaya kalau anak buahnya ikut mengeroyok. Setelah itu kami saling berpisah lagi dan melakukan perjalanan hendak menghadap guruku menceritakan kegagalanku ketika aku melihat engkau menoloug gadis itu!"
Suaranya tersendat dan gadis itu tiba-tiba berhenti bicara. Di bawah sinar api unggun yang kemerahan, keadaan tidak begitu terang lagi karena api yang melahap pondok itu sudah hampir padam setelah menghabiskan seluruh bagian pondok, Sutejo melihat betapa mulut gadis itu cemberut dan sepasang mata itu berapi.
Sutejo tersenyum, maklum bahwa lagi-lagi Retno Susilo merasa cemburu kepada gadis itu, yaitu Winarti puteri Senopati Mertoloyo!
"Diajeng Retno, ketahuilah bahwa antara aku dan nimas Winarti tidak ada hubungan apa apa kecuali hubungan persahabatan. Ia adalah puteri Paman Mertoloyo, seorang senopati besar dan Mataram. Kebetulan saja aku melihat Paman Mertoloyo dan puterinya dikeroyok banyak orang Wirosobo sehingga aku turun tangan membantu mereka"
"Aku tidak perduli gadis puteri senopati atau bahkan puteri raja sekalipun, akan tetapi gadis itu demikian memperhatikanmu dan engkau .... engkau begitu baik kepada gadis itu, sedangkan kepadaku engkau tidak perduli sama sekeli!"
"Ini tidak benar, diajeng Retno Susilo. Bukankah sekarang ini kita melakukan perjalanan bersama dan aku akan membantumu menghadapi musuh besar gurumu?"
Retno Susilo menundukkan mukanya dan suasana menjadi lengang. Yang terdengar hanya kerik jangkerik dan nyanyian kutu-kutu walang ataga diseling bunyi letupan ranting kering dimakan api unggun. Agaknya ucapan Sutejo itu menyadarkan Retno Susilo dan meredakan rasa cemburunya.
"Engkau memang bersikap baik sekurang kepadaku, kakangmas Sutejo. Kuharapkan sekali mudah-mudahan engkau melanjutnya akan bersikap baik kepadaku "
Katanya lirih.
"Tentu Saja, diajeng Bukankah sudah lama sekali kita menjadi sahabat? Sudah banyak pula peristiwa penting kita alami bersama. Sekarang mengaso dan tidurlah, diajeng. Biar aku yang menjaga api unggun ini agar tidak sampai padam karena kalau sampai padam tentu banyak nyamuk akan menyerang kita."
"Baik aku akan tidur lebih dulu, kakangmas. Nanti kalau aku terbangun, aku akan menggantikanmu menjaga api unggun dan engkau boleh mengaso."
Kata gadis itu sambil menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan memejamkan matanya. Agaknya gadis itu memang lelah sekali karena sebentar saja pernapasannya menjadi halus dan teratur, tanda bahwa ia telah tertidur.
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo