Pecut Sakti Bajrakirana 16
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
Resi Wisangkolo menghela napas panjang.
"Akupun merasa heran sekali. Adi Klabangkolo. Belum pernah selama hidupku aku bertemu lawan yang demikian tangguh, pada hal dia masih begitu muda. Semua kekuatan sihirku dapat dia punahkan. Ilmu silat simpananku juga dapat dikalahkannya, bahkan ajiku Guntur Bumi dan Guntur Geni dapat dia lawan sehingga aku sampai terluka. Luar biasa sekali dan sukar untuk dipercayai"
"Kurasa dia bukan murid Jatikusumo, Kakang Resi."
"Akan tetapi dia dapat menggunakan Aji Gelap Musti yang merupakan aji aliran Jatikusumo, hanya tenaganya luar biasa kuatnya. Dia tentu murid Jatikusumo."
"Akan tetapi, ketika menghadapi seranganmu yang terakhir, dia menggunakan aji yang disebutnya Aji Bromokendali. Aji ini tentu bukan milik Jatikusumo.
"Siapapun adanya dia, pemuda itu merupakan lawan yang berbahaya sekali. Lain kali kalau kita bertemu dengannya, kita harus maju berdua. Kalau kita maju berdua, aku yakin pasti kita akan mampu membunuhnya."
Kata Resi Wisangkolo dengan penasaran.
"Kakang Resi, aku masih merasa heran dan menduga-duga siapakah orangnya yang hendak diperkenalkan kepada kita oleh Sekarsih. Kata Sekarsih, dia seorang pemuda murid Jatikusumo, akan tetapi mengapa dia mengajak kita untuk bergabung dan bekerja sama membantu Kadipaten Wirosobo?"
"Hemm, kita lihat saja nanti orang macam apa adanya dia. Kita sudah melihat bahwa ke
pandaian para murid Jatikusumo tidak berapa tinggi, akan tetapi mengapa Sekarsih mengatakan bahwa kepandaian orang itu tinggi sekali?"
Tadinya aku mengira dia adalah Sutejo yang pernah mengalahkan kita, akan tetapi ternyata bukan Sekarsih mengatakan bahwa pemuda itu bernama Priyadi dan katanya memiliki kesaktian yang luar biasa."
Percakapan mereka berhenti ketika mereka melihat Sekarsih memasuki pekarangan itu, bersama seorang pemuda yang tampan dan gagah. Karena yana datang adalah Sekarsih, murid Ki Klabangkolo. dan seorang pemuda, maka kedua orang tokoh sakti itu tidak bangkit dari tempat duduknya, hanya memandang dengan sinar mata penuh selidik.
Sekarsih adalah seorang wanita yang aneh dan berwatak liar, Apa lagi karena sebagai sekarang murid, iapun dapat dibilang menjadi kekasih gurunya sendiri, maka ia biasa bersikap terbuka terhadap gurunya, sama sekali tidak bersikap menghormat sebagaimana seharusnya sikap ,seorang murid terhadap gurunya. Bahkan terhadap Resi Wisangkolo yang masih terhitung uwa gurunya ia bersikap biasa-biasa saja. Melihat kedua orang kakek itu duduk menghadapi meja, Sekarsih juga mengajak Priyadi duduk di atas lantai bertilam tikar pandan itu. Priyadi duduk bersila dan Sekarsih duduk bersimpuh.
"Bapa Guru dan Uwa Guru, aku datang untuk memperkenalkan pemuda yang pernah kuceritakan tempo hari. Inilah dia Priyadi, murid perguruan Jatikusumo itu!"
Sekarsih memperkenalkan dengan suara mengandung kebanggaan mengingat bahwa pemuda yang diperkenalkannya itu adalah kekasihnya.
Dua orang kakek itu mengamati wajah Priyadi dan mereka berdua meragukan kebenaran keterangan Sekarsih. Pemuda ini masih muda, paling banyak dua puluh enam tahun usianya. Bagaimana seorang semuda itu mengajak mereka berdua untuk bekerja sama? Apalagi hanya seorang murid perguruan Jatikusumo! Akan tetapi karena dia teringat akan Sutejo, seorang lain yang bahkan lebih muda namun telah dapat mengalahkan dia, Ki Klabangkolo bersikap hati-hati dan bertanya dengan suaranya yang besar.
"Anak mas. engkau ingin bertemu dengan kami, apa yang hendak kau bicarakan?"
Priyadi tersenyum dan sikapnya tenang sekali.
"Mungkin Sekarsih telah menceritakan kepada paman berdua akan maksudku. Aku mengajak paman berdua untuk bekerja sama membantu Kadipaten Wirosobo menggempur Mataram. Kalau usaha kita berhasil, maka kelak kita akan, mendapatkan kedudukan tinggi dan kekuasaan sehingga kita akan hidup penuh kemuliaan, dihormati semua orang."
"Hemm, anak mas Priyadi. Menurut Sekarsih, engkau adalah murid perguruan Jatikusumo. Murid Bhagawan Sindusakti yang kebrapakah engkau?" "Aku murid ke tiga, paman."
Jawab Priyadi sejujurnya.
Mendengar jawaban ini, dua orang kakek itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Priyadi hanya memandang sambil tersenyum, maklum bahwa dua orang kakek itu memandang rendah kepadanya.
"Kenapa paman berdua tertawa? tanyanya tanpa memperlihatkan kemarahan.
"Ha-ha-ha, engkau hanya murid ke tiga dari Bhagawan Sindusakti dan engkau berani mengajak kami berdua untuk bekerja sama? Orang muda, engkau tidak pantas untuk menjadi sekutu kami, bahkan menjadi pembantu kamipun masih harus dilihat dulu sampai di mana kemampuanmu."
"Paman Klabangkolo, aku telah melihat sepak terjang paman berdua di Jatikusumo tempo hari dan menurut penilaianku, kesaktian paman berdua juga terbatas, buktinya dapat dikalahkan oleh pemuda bernama Sutejo itu."
"Hemm, engkau merasa bahwa engkau memiliki kesaktian yang hebat! Kalau begitu, mengapa ketika kami menyerbu Jatikusumo, engkau tidak maju menandingi kami?"
Klabangkolo bertanya, mukanya agak kemerahan karena diingatkan akan kekalahannya terhadap pemuda bernama Sutejo itu.
"Aku memang tidak berniat menandingi paman berdua karena memang pada saat itu telah timbul niatku untuk bekerja sama dengan paman berdua, untuk menjadi kawan bukan menjadi lawan. Dan itu merupakan bukti bahwa aku benar-benar ingin bersekutu dengan paman berdua."
Resi Wisangkolo yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini berkata dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.
"Orang muda, apakah engkau bermaksud mengatakan bahwa engkau mampu menandingi kesaktianku?"
"Kukira aku mampu, Paman Resi Wisangkolo!"
Kata Priyadi dengan tegas. Jawabannya ini tentu saja mengejutkan dan membuat penasaran hati Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo.
"Babo-babo, orang muda. Hal ini perlu dibuktikan dulu. Kalau engkau mampu menahan lima kali Seranganku, baru aku percaya dan barulah engkau pantas untuk bekerja sama dengan kami. Beranikah engkau menghadapi lima kali seranganku, dengan kemungkinan engkau tewas oleh seranganku?"
"Tentu saja aku berani Paman Resi!"
Kata Priyadi dengan gagah.
"Bagus, aku yang menjadi saksi, anak mas Priyadi. Mari kita pergi ke ruangan belakang yang lebih luas."
Kata Ki Klabangkolo dan mereka berempat lalu bangkit dan pergi ke ruangan belakang, didahului oleh Ki Klabangkolo. Hanya Sekarsih yang tampak mengerutkan alisnya karena wanita cantik ini bagaimanapun juga mengkhawatirkan Priyadi. Ia tahu betapa saktinya uwa gurunya dan tentu saja ia khawatir kalau-kalau ia akan kehilangan Priyadi yang merupakan kekasih barunya yang amat menyenangkan hatinya.
Mereka memasuki ruangan belakang yang luas.
"Kalian berdua dapat bertanding di sini!"
Kata Ki Klabangkolo sambil duduk di atas sebuah bangku yang berada di sudut.
Sekarsih tidak dapat menahan kegelisahan hatinya dan iapun berkata kepada Resi Wisangkolo.
"Uwa guru, saya harap uwa guru suka menahan diri untuk tidak mengerahkan seluruh tenaga dan tidak mencelakai Priyadi."
Resi Wisangkolo tertawa mendengar ini.
"Ha-ha-ha, kalau dia tidak berani, dan takut mati, lebih baik pertandingan untuk menguji kesaktian ini dibatalkan saja dan selanjutnya tidak perlu bicara lagi tentang kerja sama!"
"Sekarsih, jangan khawatir. Aku pasti dapat menghadapi dan menahan lima kali Serangan Paman Resi Wisangkolo ini kata Priyadi yang lalu berdiri di tengah ruangan itu dan berkata kepada calon pengujinya.
"Paman Resi, aku sudah siap menyambut seranganmu!"
Terpaksa Sekarsih juga mengambil tempat duduk di sudut ruangan. Kini Resi Wisangkolo sudah berhadapan dengan Priyadi di tengah ruangan. Dua orang ini saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang saling mengamati dan menilai calon lawan. Suasana menjadi hening dan amat menegangkan hati, terutama bagi Sekarsih.
Resi Wisangkolo adalah seorang pertapa yang batinnya tersesat. Dia bertapa dan menguasai ilmu-ilmu tinggi bukan dengan niat untuk mencari jalan ke arah kebaikan dan kesempurnaan, melainkan untuk menjadi sarana mengejar dan mencapai kesenangan, pengumbaran nafsu-nafsunya. Sifat ini membentuk watak yang kejam dan kadang tidak mengenal prikemanusiaan, merasa puas kalau melihat orang lain menderita dan segala tindakannya didasari pamrih untuk menyenangkan dan memuaskan dirinya sendiri. Kini menghadapi Priyadi, dia bukan sekadar untuk menguji, melainkan bermaksud memperlihatkan kesaktiannya, kalau perlu membunuh pemuda itu. Tentu saja kalau pemuda itu sanggup menahan Serangannya, pemuda itu patut menjadi sekutunya karena hal itu akan menguntungkan dirinya.
Karena dia bermaksud untuk menyerang dengan sungguh-sungguh, maka setelah berhadapan dengan Priyadi, diam-diam Resi Wisangkolo sudah mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk melakukan penyerangan pertama dengan ilmu sihirnya!
"Priyadi, sambutlah seranganku yang pertama ini!"
Katanya dengan suaranya yang tinggi dan dia lalu bersedakap melipat kedua lengan di atas dadanya, matanya mencorong memandang kepada Priyadi. Dari dalam dadanya keluar suara gerengan aneh dan tiba-tiba dari kepalanya keluar uap hitam membubung tinggi ke atas dan uap hitam itu bergerak membentuk bayangan seekor harimau hitam yang besar sekali!
Melihat ini. Priyadi juga sudah bersiap-siap. Dia mengerabkan tenaga batinnya nntnk menghadapi serangan pertama yang dilakukan dengan ilmu sihir itu.
"Priyadi. sambutlah!"
Teriak Resi Wisangkolo dan terdengar gerengan seperti seekor harimau. Harimau hitam yang berada diatas udara itu tiba-tiba menubruk ke depan, hendak mencengkeram kepala Priyadi! Melihat ini Sekarsih menjadi pucat wajahnya dan ia menaruh punggung tangan kirinya ke depan mulut untuk mencegah mulutnya yang hendak mengeluarkan jeritan.
Tiba-tiba Priyadi yang berdongak memandang harimau hitam itu mengeluarkan suara melengking. Lengkingan suara ini seolah menggetarkan ruangan itu. Itulah Aji Jerit Nogo yang dipelajarinya dari Sang Resi Ekoroolo, jeritan yang mengandung kekuatan hebat dari tenaga saktinya. Jeritan melengking ini seolah menghantam harimau hitam itu dan bayangan harimau itupun membuyarl Gumpalan uap hitam itu buyar dan kacau seperti asap tertiup angin dan surut kembali memasuki kepala Resi Wisangkolo.
Resi Wisangkolo menggoyang-goyang kepalanya seperti mengusir kepeningan dan kedua lengannya yang tadinya dilipat di atas dada, kini diturunkan. Dia terbelalak memandang kepada Priyadi, seolah tidak percaya bahwa pemuda itu dapat membuyarkan ilmu sihirnya dengan pekik melengking tadi. Betapa mudahnya pemuda itu membuyarkan pengaruh sihirnya.
"Priyadi, sambutlah seranganku yang kedua."
Hentaknya dan tangan kanannya melepaskan kolor yang diikat pinggangnya. Dia memutar-mutar tali kolor yang panjangnya ada satu meter itu dan kolor itu berubah menjadi gulungan sinar yang mengeluarkan angin menderu-deru! Kemudian dia menerjang ke depan, gulungan sinar kolor itu menyambar dengan amat dahsyatnya ke arah Priyadi.
Sekarsih yang tadinya memandang dengan wajah berseri melihat betapa kekasihnya mampu membuyarkan ilmu sihir yang mengerikan itu, kini kembali memandang ke arah Priyadi dengan khawatir ia telah mengetahui kedahsyatan senjata kolor sakti dari uwa guronva Itu. Kolor itu bukan benda biasa, bukan senjata biasa, melainkan benda yang dikeramatkan, ditapai dan di "isi"
Dengan kekuatan sihir. Biarpun hanya merupakan benda terbuat dari pada lawe. akan tetapi kalau kolor itu dipergunakan sebagai senjata oleh Resi Wisangkolo, hebatnya bukan alang kepalang. Batu karang sekalipun akan remuk dihantam kolor sakti itu, apa lagi kepala manusia.
Priyadi sudah mempersiapkan diri sejak tadi. Diapun maklum akan kehebatan kolor sakti itu! Untung baginya bahwa dia pernah melihat kakek Sakti ini bertanding melawan Sutejo sehingga dia sudah pernah melihat kakek itu mengeluarkan semua ajiannya. Kini, melihat kolor sakti itu menyambar dalam bentuk sinar ke arah kepalanya, diapun mengerahkan tenaga sakti ke dalam kedua lengannya, disalurkannya tenaga sakti itu sehingga membuat kedua lengannya kebal dan terisi kekuatan dahsyat. Dia lalu menggerakkan kedua lengan ke atas menyambut hantaman kolor yang menerpa kepalanya itu.
"Blarrrr........!!"
Kolor itu bertemu dua buah lengan yang amat kuatnya. Tampak asap mengepul ketika kolor itu bertemu dengan kedua lengan dan beberapa helai lawe runtuh bertebaran!
Kembali resi Wisangkolo tertegun. Pemuda itu menangkis hantaman kolor saktinya dengan lengan telanjang!
"Bagus.....!"
Sekarsih berseru saking gembiranya dan hal ini membuat Resi Wisangkolo merasa diejek. Wajahnya berubah merah dan dia lalu menyambar tongkatnya yang berbentuk ular hitam dan yang tadi diletakkan di atas sebuah meja. Dia berdiri tegak, memalangkan tongkat ular hitamnya di depan dada lalu berkata.
"Priyadi, engkau telah mampu menyambut dua kali seranganku. Sekarang awas, sambutlah seranganku yang ke tiga!"
Setelah berkata demikian, dia memutar-mutar tongkatnya di atas kepala. Bentuk tongkat lenyap berubah menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dibarengi suara yang bercuitan mengerikan. Untuk ketiga kalinya Sekarsih terbelalak memandang penuh dengan kekhawatiran.
Namun, Priyadi sudah memperhitungkan. Ketika sinar hitam itu menyambar dahsyat ke arah kepalanya, diapun menggunakan tangan kanannya yang terbuka untuk menyambut dengan pukulan dan Karena dia tahu betapa berbahayanya tongkat ular, hitam itu, dia sudah mengerahkan Aji Margopati untuk menyambutnya.
"Darr......!"
Terdengar suara seperti ledakan dan tongkat ular hitam itu terpental, hampir saja terlepas dari pegangan tangan Resi Wisangkolo yang cepat menahan dengan pengerahan tenaga agar tongkat itu tidak sampai terlepas. Akan tetapi dia terhuyung tiga langkah ke belakang.
Melihat tongkatnya terpukul membalik, kakek itu menjadi semakin penasaran. Dia membuang tongkatnya ke samping sehingga jatuh berkerontangan di atas lantai, kemudian dia menggerak-gerakkan kedua tangannya di udara.
"Priyadi, sambut seranganku ke empat ini."
Dia lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah pemuda itu sambil membentak dengan suara nyaring.
"Aji Guntur Bumi.....!"
Ruangan itu bagaikan dilanda gempa bumi ketika Resi Wisangkolo mengerahkan aji ini dan serangkum hawa yang dahsyat dan kuat sekali seperti gelombang menyerang ke arah Priyadi. Akan tetapi pemuda ini telah mempersiapkan diri sejak tadi. Diapun menekuk kedua lututnya dan mendorongkan kedua tangan ke depan menyambut sambil berseru lantang.
"Aji Gelap Musti!"
Dia mengerahkan aji aliran Jatikusumo yang telah dikuasainya dengan baik itu. Bahkan setelah dia digembleng Resi Ekomolo, Aji Gelap Musti yang dikuasainya itu menjadi berlipat ganda kuatnya.
"Desss......!"
Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara. Demikian hebat benturan tenaga sakti itu sehingga terasa benar oleh Sekarsih maupun Ki Klabangkolo. Akibat dari benturan tenaga ini, tubuh Resi Wisangkolo terhuyung ke belakang sampai tiga langkah sedangkan Priyadi yang juga terdorong, dapat mempertahankan diri dan hanya mundur satu langkah!
Resi Wisangkolo terkejut bukan main dan menjadi semakin penasaran. Ajinya Guntur Bumi itu amat hebat, akan tetapi pemuda itu mampu menandingi kekuatannya, bahkan lebih kuat dari padanya. Karena penasaran, dia menjadi marah dan untuk serangan terakhir, dia mengerahkan seluruh kekuatannya pada kedua lengannya.
"Hemm, sekarang sambutlah seranganku yang kelima, yang terakhir!"
Setelah berkata demikian, dia menggereng seperti seekor harimau, kemudian dia melontarkan pukulan melalui kedua telapak tangannya sambil membentak.
"Aji Guntur Geni......!!!"
Dari kedua telapak tangan kakek itu mengepul asap dan hawa di seluruh ruangan itu menjadi panas sekali. Itulah pengaruh aji yang amat dahsyat ini. Hawa yang seolah mengandung api berkobar yang tidak tampak menyerbu ke arah Priyadi. Itulah Aji Guntur Geni yang dapat membakar lawan yang terlanda pukulan aji itu sehingga tubuh lawan akan terbakar sampai hangus dan dapat tewas seketika.
Akan tetapi Priyadi yang pernah melihat Resi Wisangkolo mengeluarkan aji ini ketika menghadapi Sutejo, sudah mengerahkan aji pamungkas yang menjadi andalannya, yaitu Aji Margopati yang hebat.
"Aji Margopati.....!"
Serunya sambil menghantamkan kedua telapak tanganaya ke depan, menyambut serangan lawan.
"Blaarrrr.....!"
Sekali ini pertemuan dua tenaga sakti itu sedemikian hebatnya sehingga meja dan bangku yang berada di ruangan itu terpental seperti dilontarkan orang yang amat kuat. Sekarsih sudah cepat memejamkan kedua matanya dan mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi dirinya agar isi dadanya tidak sampai terguncang oleh benturan tenaga yang demikian dahsyatnya. Juga Ki Klabangkolo memejamkan kedua mata dan mengerahkan tenaga saktinya.
Tubuh Resi Wisangkolo terdorong jauh ke belakang dan terhuyung-huyung. Wajahnya pucat dan napasnya terengah engah. Masih untung baginya bahwa tadi Priyadi hanya menyambut dan menahan serangannya saja. Pemuda itu tidak menggunakan ajiannya untuk menyerang maka dia hanya terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan tidak mengalami luka berat dalam dadanya.
Setelah dapat menguasai dirinya, Resi Wisangkolo mengangkat kedua tangannya ke atas dan memuji.
"Anak mas Priyadi, engkau hebat! Aku harus mengakui bahwa engkau memang pantas untuk menjadi sekutuku dan bekerja sama denganku. Kesaktianmu sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Dengan bekerja sama kita akan mampu menaklukkan apa saja "
"Bagus! Engkau telah lulus ujian kami, anak mas Priyadi. Duduklah dan mari kita bicara baik-baik. Sebenarnya, apakah rencanamu maka engkau mengajak kami untuk bekerja sama? Sekarsih belum menjelaskan segara terperinci kepada kami."
Ki Klabangkolo berkata dan mempersilakan Priyadi Untuk duduk. Mereka membetulkan lagi letak meja dan bangku yang tadi terlempar berserakan dan mereka berempat duduk menghadapi meja.
"Ahak mas Priyadi. Perguruan Jatikusumo bermusuhan dengan kami. Bagaimana mungkin sekarang engkau mengajak kami untuk bekerja sama?"
Tanya Resi Wisangkolo sambil menatap wajah pemuda itu dengan rasa kagum dan hormat.
"Inilah yang akan kubicarakan, Paman Resi dan Paman Klabangkolo. Setelah paman, berdua menerima usulku untuk bekerja sama, maka pertama-tama yang kulakukan adalah merampas kedudukan ketua di Jatikusumo." "Apa? Engkau hendak menentang dan melawan gurumu sendiri, Bhagawan Sindusakti?"
Tanya Ki Klabangkolo dengan kaget dan heran. Biarpun dia tergolong tokoh sesat, akan tetapi mendengar ada murid hendak menentang dan melawan gurunya sendiri, dia merasa heran dan terkejut.
"Aku akan minta secara baik baik agar Bapa Bhagawan Sindusakti mengundurkan diri sebagai ketua Jatikusumo dan menyerahkan kedudukan ketua kepadaku. Kalau dia menolak, apa boleh buat, aku akan mempergunakan kekerasan. Untuk gerakan ini, aku akan mendapat bantuan Paman Bhagawan Jaladara dan para pembantunya dan sekarang, aku mengharapkan paman berdua juga akan suka membantuku. Kalau aku sudah menjadi ketua Jatikusumo, kita bersama memperluas kekuasaan dengan menundukkan perkumpulan-perkumpulan lain sehingga Jatikusumo menjadi sebuah perkumpulan besar yang banyak cabangnya. Dengan demikian kita dapat mengumpulkan banyak anggauta dan kemudian sekali kita kerahkan pasukan Jatikusumo untuk membantu Kadipaten Wirosobo menggempur Mataram. Kalau gerakkan Wirosobo itu berhasil dan Mataram dapat ditalukkan, kita semua tentu akan mendapatkan kedudukan yang tinggi dan mulia sebagai balas jasa."
Dua orang kakek itu mengangguk-angguk. Mereka belum pernah membayangkan kemungkinan itu. Menjadi seorang pembesar yang berkuasa dan mulia! Gambaran ini amat menarik hati mereka.
"Paman berdua tentu ingat akan kemunculan seorang pemuda bernama Sutejo. Sesungguhnya dia masih terhitung saudara seperguruan atau sealiran dengan aku, akan tetapi kemunculannya itu akan merupakan penghalang bagi kita. Paman berdua sudah merasakan betapa sakti mandraguna pemuda itu. Agaknya, yang akan mampu menandinginya hanyalah aku seorang. Kalau paman berdua membantuku, dengan mudah kita akan dapat membunuh Sutejo. Dia adalah seorang yang setia dan mendukung Mataram. Maka akan merupakan penghalang besar dan harus dilenyapkan."
"Kami dapat mengerti dan menghargai niatmu untuk bekerja sama, anak mas Priyadi. Baiklah, kami siap untuk membantumu."
Kata Ki Klabangkolo.
"Terima kasih, paman Klabangkoko. Kalau begitu, marilah kita pergi menghadap Paman Bhagawan Jaladara di Kadipaten Wirosobo agar paman berdua dapat berkenalan dengan dia. Setelah itu, bersama-sama kita akan pergi ke perguruan Jatikusumo dan aku akan merampas kedudukan sebagai ketua."
Dua orang kakek itu menyetujuinya dan berangkatlah mereka berempat menuju ke Kadipaten Wirosobo, Tentu saja kedatangan mereka disambut gembira oleh Bhagawan Jaladara. Dia merasa senang dan beruntung sekali mendapatkan tenaga bantuan yang demikian tangguh seperti empat orang itu. Akan tetapi, dia belum mau menyerahkan Pecut Bajrakirana sebelum Priyadi membuktikan kesanggupannya untuk merampas kedudukan ketua perguruan Jatikusumo. Dia lalu mengajak Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda, dan juga Tumenggung Janurmendo untuk bersama empat orang itu pergi menuju ke perguruan Jatikusumo di tepi daerah Pacitan, di tepi Laut Kidul.
Bhagawan Sindusakti duduk bersila diatas dipan yang berada di ruangan depan rumahnya. Kakek yang usianya sudah enam puluh tujuh tahun dan rambut dan jenggotnya sudah putih semua itu tampak termenung dan murung sehingga dia tampak lebih tua dari pada biasanya. Agaknya ada sesuatu yang diresahkan ketua perguruan Jatikusumo itu.
Seorang pemuda tanggung yang menjadi murid Jatikusumo, juga yang bertugas sebagai pembantu ramah tangga, datang membawa baki terisi poci dan cangkir minuman air teh. Dengan sikap hormat dia menaruh poci dan cangkir itu ke atas meja kecil di dekat dipan.
"Bapa Guru, silakan minum teh."
Katanya dengan hormat.
Bhagawan Sindusakti melambaikan tangan.
"Pergilah mencari kakak-kakakmu Maheso Seto, Rahmini, Priyadi dan Cangak Awu dan beritahukan kepada mereka bahwa aku memanggil mereka untuk menghadap sekarang juga."
"Baik, Bapa Garu."
Kata pemuda remaja itu yang segera keluar dari ruangan itu untuk melaksanakan perintah gurunya.
Tak lama kemudian Maheso Seto, Rahmini, dan Cangak Awu memasuki ruangan itu dan mereka lalu berlutut di depan guru mereka, menyembah dan duduk bersila di atas lantai.
"Bapa Guru memanggil kami?"
Tanya Maheso Seto dengan hormat.
"Perintah apakah yang hendak Bapa Guru berikan kepada kami? Kami siap untuk melaksanakan perintah Bapa Guru."
Kata Cangak Awu yang suaranya lantang.
Bhagawan Sindusakti memandang kepada tiga orang muda itu, lalu bertanya dengan suaranya yang lembut.
"Mana Priyadi? Kenapa aku tidak melihat dia datang menghadap bersama kalian bertiga?"
"Bapa Guru, Kakang Priyadi sudah ada sepakan ini pergi meninggalkan perkampungan kita."
Kata Cangak Awu.
"Hemm, pergi? Ke mana dia pergi? Kenapa dia tidak pamit kepadaku?"
Bhagawan Sindusakti bertanya heran. Priyadi merupakan murid yang disayangnya, dan biasanya pemuda yang lembut wataknya itu amat berbakti, ke manapun dia pergi tentu pamit dan minta ijin dulu darinya.
"Bapa Guru, Adi Priyadi pergi tanpa pamit. Kami semua juga tidak tahu ke mana dia pergi dan mengapa pula sampai sepekan lamanya dia belum juga pulang. Akan tetapi, ada urusan apakah yang hendak Bapa perintahkan kepada kami? Kami bertigapun kiranya sudah cukup untuk dapat melaksanakan perintah bapa."
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Maheso Seto.
Sang Bhagawan menghela napas panjang.
"Aku hanya ingin mengajak kalian untuk bercakap-cakap. Hatiku selalu merasa tidak enak dan resah setelah peristiwa penyerbuan Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo tempo hari. Aku tidak memikirkan mereka berdua yang telah dipukul mundur oleh Sutejo, akan tetapi justeru kemunculan Sutejolah yang membuat hatiku resah. Apa yang diceritakan tentang Adi Bhagawan Jaladara benar-benar membuatku merasa bingung dan khawatir. Cerita Sutejo dan Adi Jaladara saling bertentangan. Lalu siapa di antara mereka itu yang bicara benar?"
"Memang sukar mengambil keputusan mana yang bicara benar, Bapa Guru. Mereka berdua saling menuduh sebagai pembunuh Eyang Resi Limut Manik. Akan tetapi, yang jelas mereka berdua itu berpihak kepada dua kekuasaan yang saling bermusuhan. Adi Sutejo berpihak kepada Mataram dan sebaliknya Paman Bhagawan Jaladara berpihak kepada Kadipaten Wirosobo. Sikap Adi Sutejo yang mati-matian membela Jatikusumo ketika kita diserbu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo membuat hati kami para murid condong mempercayai Adi Sutejo. Akan tetapi tentu saja kami menyerahkan keputusannya kepada Bapa Guru. Bagaimana kalau menurut pendapat Bapa Guru?"
Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang.
"Sejak semula aku memang sudah curiga kepada Adi Bhagawan Jaladara. Aku sukar untuk mempercayai bahwa Nini Puteri Wandansari tega mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik. Pula, aku ingat benar bahwa biarpun Bapa Garu Limut Manik tidak turun tangan sendiri membela Mataram, namun dalam hatinya beliau setia terhadap Mataram. Maka, rasanya tidak mungkin kalau Puteri Wandansari dan Sutejo yang jelas membela Mataram itu membunuhnya. Sebaliknya, Adi Bhagawan Jaladara adalah seorang yang menghambakan dirinya kepada Kadipaten Wirosobo maka lebih masuk akal kalau dia yang melakukan pengeroyokan dan pembunuhan terhadap Bapa Resi Limut Manik."
"Kalau saya lebih condong untuk membenarkan Adi Sutejo, Bapa Guru. Kalaupun dia tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana kepada Bapa, hal itu tentu karena dia menaati pesan terakhir dari Eyang Resi limut Manik, Sutejo sudah membuktikan bahwa dia membela kita, membela Jatikusumo. Kalau dia mempunyai hati yang memusuhi Jatikusumo, tentu dia tidak akan mempertaruhkan nyawa untuk membela Jatikusumo menghadapi Resi Wisangkolo yang demikian sakti mandraguna dan berbahaya."
Kata Cangak Awu.
"Saya juga berpendapat seperti Adi Cangak Awu, Bapa Guru. Rasanya sama sekali, tidak dapat dipercaya kalau Diajeng Puteri Wandansari dan Sutejo mengeroyok dan membunuh Eyang Resi Limut Manik."
Kata Rahmini.
Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang.
"Pendapat kalian memang sejalan dengan apa yang kupikirkan. Akan tetapi kita tidak mempunyai bukti-bukti yang menunjukkan siapa sebetulnya yang telah membunuh Adi Bhagawan Sidik Paningal dan Bapa Resi Limut Manik. Sebaiknya kita tunggu saja untuk membuktikan apakah benar Adi bhagawan Jaladara akan menyerahkan Pecut Sakti Bajrakirana kepadaku,"
Pada saat itu, seorang murid muda tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu dan berkata,
"Bapa Guru, ampunkan kalau saya mengganggu. Akan tetapi saya hendak melaporkan peristiwa yang amat aneh dan membingungkan."
"Cepat katakan, apa yang hendak kaulaporkan?"
Kata Bhagawan Sindusakti dengan lembut walaupun alisnya berkerut mendengar ucapan murid muda itu.
"Kakang Priyadi datang bersama serombongan orang, di antaranya terdapat Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kakek yang tempo hari datang menyerbu ke sini, yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo!"
Bhagawan Sindusakti dan para muridnya terbelalak, berloncatan bangkit dan Bhagawan Sindusakti berkata kepada murid-muridnya.
"Kalian tenanglah, akan tetapi harus waspada dan mari kita bersama keluar untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi."
Dengan sikap tenang Bhagawan Sindusakti melangkah keluar dari ruangan itu, diikuti oleh Maheso Seto, Rahmini, dan Cangak Awu. Karena khawatir akan terjadi hal-hal yang buruk, mereka tidak lupa mempersiapkan senjata masing-masing.
Mereka melihat Priyadi sudah berdiri di pekarangan yang luas itu, berdiri dengan tegak dan dibelakangnya berdiri Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda. Tumenggung Janurmendo, Ki Klabangkolo, Sekarsih dan Resi Wisangkolo! Melihat adik seperguruannya, Bhagawan Sindusakti lalu menegurnya.
"Kiranya Adi Bhagawan Jaladara yang datang. Keperluan apakah gerangan yang andika bawa datang ke sini?"
Sambil bertanya, ketua Jatikusumo itu memandang ke arah Ki Klabangkolo, dan Resi Wisangkolo, akan tetapi kedua kakek itu hanya tersenyum-senyum saja, berdiri di belakang Priyadi, tidak bersikap sebagai pimpinan.
Bhagawan Jaladara tersenyum.
"Kakang Bhagawan Sindusakti. Ketahuilah bahwa kami semua ini datang hanya untuk mengantarkan anak mas Priyadi yang, hendak bicara denganmu."
Mendengar ucapan adik seperguruannya ini tentu saja Bhagawan Sindusakti menjadi heran sekali dan otomatis pandang matanya kini menyambar ke arah muridnya. Akan tetapi Priyadi menyambut tatapan mata gurunya itu dengan berani, dan sinar matanyapun mencorong penuh tantangan, sedikitpun tidak ada sikap menghormat kepada gurunya itu.
"Priyadi! Apa maksudmu? Apa yang hendak kau bicarakan dengan aku dan kalau hendak bicara, kenapa kita tidak bicara di dalam saja?"
Bhagawan Sindusakti masih mengira bahwa mungkin muridnya itu menjadi tawanan rombongan orang itu dan kini dipaksa untuk menghadapnya. Akan tetapi sikap Priyadi bukan seperti seorang tawanan, bahkan dia tersenyum sinis. Pemuda itu bahkan tidak menjawab pertanyaan gurunya, melainkan menoleh kepada Bhagawan Jaladara dan mengulurkan tangan kanannya.
"Paman, kini tiba saatnya paman menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadaku!"
Bhagawan Jaladara juga masih tersenyum dan kini tanpa ragu-ragu dia melolos sebatang pecut yang tadinya dilibatkan melingkari pinggangnya dan menyerahkan pecut itu kepada Priyadi. Itulah Pecut Sakti Bajrakirana! Tentu saja Bhagawan Sindusakti menjadi semakin heran melihat betapa Bhagawan Jaladara menyerahkan pecut pusaka itu kepada Priyadi. Kini Priyadi memegang pecut pusaka itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya. Dia memandang kepada Bhagawan Sindusakti, para muridnya dan semua anggauta Jatikusumo yang telah berdatangan dan berkumpul di situ. Kurang lebih lima puluh orang murid Jatikusumo berdiri di belakang Bhagawan Sindusakti.
"Bhagawan Sindusakti dan kalian semua murid-murid Jatikusumo!"
Terdengar Priyadi yang biasanya bicara lembut itu kini berseru lantang.
"Lihatlah kalian apa yang kupegang ini!"
Akulah kini pemegang dan pemilik Pecut Sakti Bajrakirana dan aku yang berkuasa di Jatikusumo. Sebagai murid-murid Jatikusumo yang taat akan peraturan, aku perintahkan kalian semua berlutut menghormat Pecut Sakti Bajrakirana!"
"Priyadi!"
Suara Bhagawan Sindusakti yang biasanya lembut itu kini terdengar keras membentak penuh kemarahan dan juga keheranan.
"Apakah engkau sudah menjadi gila? Apa yang kau lakukan ini dan apa maksudmu?"
Karena melihat betapa Bhagawan Sindusakti tidak menjatuhkan diri berlutut menaati perintah yang keluar dari mulut Priyadi, maka semua murid Jatikusumo juga tidak ada yang berlutut.
"Maksudku. Bhagawan Sindusakti, bahwa mulai saat ini, akulah sebagai pemegang Pecut Sakti Bajrakirana yang berhak menjadi ketua Jatikusumo. Engkau harus mengundurkan diri dan kalau engkau dan semua murid Jatikusumo suka membantu aku, maka kalian semua akan diampuni dan selanjutnya menaati perintahku. Siapa yang membangkang dan melawan akan mati!"
Kemarahan Bhagawan Sindusakti memuncak.
"Engkau murid murtad, murid durhakn, jahanam keparat yang terkutuk!"
Bentaknya dan dia sudah menerjang kepada muridnya itu dengan maksud untuk marampas Pecut Bajrakjrarja yang berada di tangan Priyadi. Akan tetapi Priyadi menyambut terjangan gurunya itu dengan tendangan kaki kirinya yang mencuat dengan cepat dan kuat sekali menyambar ke arah dada sang bhagawan.
Bhagawan Sindusakti terkejut melihat perlawanan muridnya dan cepat tangan kirinya membuat gerakan memutar untuk menangkis tendangan itu.
"Plakk!"
Tendangan itu dapat tertangkis akan tetapi Bhagawan Sindusakti kaget ketika merasa betapa lengannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga yang terkandung dalam tendangan muridnya yang ketiga itu amat kuatnya. Dia kini yakin bahwa muridnya itu benar-benar hendak melawannya, maka diapun lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang dengan sungguh-sungguh untuk merobohkan murid yang murtad itu. Dia mengerahkan Aji Harina Legawa sehingga tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang cepatnya dan gerakan kedua tangannya mengandung Aji Gelap Musti yang dahsyat dan mematikan!
Maheso Seto. Rahmini dan Cangak Awu hanya menonton melihat guru mereka hendak menghajar Priyadi yang mereka anggap kurang ajar dan murtad itu. Mereka merasa pasti bahwa guru mereka akan segera dapat merobohkan Priyadi dan merampas Pecut Sakti Bajrakirana, dan mereka hanya berjaga-jaga kalau-kalau ada peserta rombongan itu yang akan membantu Priyadi Akan tetapi para peserta rombongan yang datang itu tidak ada yang bergerak membantu Priyadi, bahkan mereka menonton sambil tersenyum menyeringai. Para murid Jatikusumo ini menjadi amat heran dan terkejut ketika melihat betapa Priyadi melawan guru mereka dengan gerakan yang sama, akan tetapi betapa gerakan Priyadi itu amat cepatnya melebihi kecepatan gerakan guru mereka. Juga mereka melihat betapa setiap kali dua lengan mereka yang bertanding itu saling bertemu, mereka melihat Bhagawan Sindusakti terdorong mundur dan terhuyung, tanda yang jelas menyatakan bahwa tenaga sakti Priyadi jauh lebih kuat dari tenaga gurunya!
Yang paling kaget dan merasa penasaran adalah Bhagawan Sindusakti sendiri. Semua ilmu yang dikuasai Priyadi adalah karena gemblengannya. Bagaimana mungkin kini dia kalah cepat dan kalah kuat dibandingkan murid ke tiga itu? Dan dari serangan yang dia lakukan terhadap Priyadi, yang semua dapat dipunahkan pemuda itu dengan elakan atau tangkisan, tahulah dia bahwa muridnya itu. entah secara bagaimana, telah dapat memperoleh kemajuan yssg pesat sekali.
(Lanjut ke Jilid 18)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
"Tar-tar-tar!"
Tiga kali pecut pusaka itu menyambar ke arah kepala Bhagawan Sindusakti dan ketua Jatikusumo ini cepat mengelak secara beruntun, membebaskan diri dari ancaman serangan pecut
yang amat berbahaya itu. Kini tahulah dia bahwa Priyadi bersungguh-sungguh dalam membalas serangannya. Jelas bahwa lecutan dengan pecut itu merupakan serangan maut dan yang dapat mematikan. Karena itu, bangkit amarahnya dan Bhagawan Sindusakti lalu menyerang dengan pukulan ampuhnya, yaitu Aji Gelap Musti!
"Murid durhaka, engkau patut dienyahkan dari muka bumi!"
Bentaknya dan diapun mendorongkan kedua tangannya ke arah dada Priyadi dengan Aji Gelap Musti, dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Akan tetapi, Priyadi menyambut pukulan kedua, tangan gurunya itu dengan tangan kirinya saja, sambil mengerahkan tenaga Aji Margopati.
"Wuuuutttt..... blaarrrr.....Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Bhagawan Sindusakti terjengkang. Sebelum kepala kakek itu terbanting dan membentur tanah, tiba-tiba Priyadi menggerakkan Pecut Bajrakirana.
"Tarrrr..... tarrrr......!"
Dua kali pecut itu menyambar dan ujungnya melecut ke arah kepala Bhagawan Sindusakti yang sedang terjengkang, sekali mengenai ubun-ubun kepalanya dan yang kedua kalinya mengenai tengkuknya. Tubuh sang bhagawan itu terbanting roboh dan dia tidak dapat bergerak lagi karena dua kali lecutan pecut sakti itu telah merenggut nyawanya!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah nya tiga orang murid kepala Jatikusumo. Sekali pandang saja mereka dapat menduga bahwa guru mereka telah tewas oleh Priyadi.
"Murid durhaka!!"
Teriak Mahesa Seto dan dia sudah mencabut pedangnyan dan menyerang Priyadi dengan ganas, penuh dendam dan kemarahan.
"Jahanam busuk!!"
Rahmini juga menjerit dan iapun sudah melolos cambuknya dan terdengar bunyi meledak-ledak ketika cambuknya menyerang Priyadi dengan dahsyat pula.
"Manusia iblis!"
Cangak Awu juga membentak dan orang tinggi besar ini sudah maju sambil menggerakkan tongkatnya menyerang.
Melihat guru mereka tewas dan tiga orang murid kepala itu sudah mulai maju menyerang, kurang lebih lima puluh orang murid atau anggauta perguruan Jatikusumo itu serentak maju dengan bermacam senjata di tangan, menyerang rombongan orang yang datang bersama Priyadi itu.
Resi Wisangkolo yang melihat Priyadi memutar pecut sakti itu untuk menangkis serangan tiga orang murid kepala Jatikusumo, lalu menggerakkan tongkat hitamnya membantu Priyadi. Dia segera berhadapan dengan Maheso Seto yang bersenjata pedang dan mereka sudah bertanding dengan seru. Priyadi dikeroyok dua oleh Rahmini dan Cagak Awu. Akan tetapi Cangak Awu segera di sambut oleh Ki Klabangkolo yang juga membantu Priyadi.
Puluhan orang anak buah Jatikusumo itu diamuk oleh Bhagawan Jaladara yanj dibantu Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda, Tumenggung Janurwendo dan Sekarsih. Lima orang ini adalah orang orang yang memiliki kesaktian, maka puluhan orang anak buah Jatikusumo menjadi kocar kacir diamuk mereka.
Pertandingan antara Maheso Seto yang mela"wan Resi Wisangkolo juga berat sebelah Maheso Seto maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Resi Wisangkolo akan tetapi dia sudah menjadi nekat oleh dendam dan kemarahan melihat gurunya tewas Maka dia melawan sambil mengeluarkan seluruh kemampuannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, bagaimanapun juga, tingkatnya menang kalah jauh dibandingkan tingkat yang dimiliki Resi Wisangkolo, maka setelah nekat melawan selama kurang lebih lima puluh jurus, tongkat ular hitam di tangan Resi Wisangkolo menyambar dahsyat. Maheso Seto mengerahkan tenaga dan menangkis dengan pedangnya.
"Wuuuttt......trakkkk......!"
Pedang itu patah menjadi tiga potong dan selagi tubuh Maheso Seto terhuyung, tongkat ular hitam sudah berubah menjadi sinar hitam yang menyambar ke arah kepala.
"Wuuuuttt...... praakkk....!!"
Tubuh Maheso Seto terguling dan dia tawas seketika dengan kepala pecah.
Ki Klabangkolo juga merupakan lawan yang terlampau kuat bagi Cangak Awu. Ketika Cangak Awu melihat robohnya Maheso Seto, dia maklum bahwa tidak ada harapan bagi pihak perguruan Jatikusumo yang menang. Dia menghantamkan tongkatnya ke arah lawan. Ki Klabangkolo terkekeh, menyambut hantaman tongkat itu dengan lengan kanannya.
"Dukkkk......!"
Tongkat di tangan Cangak Awu terpental dan sebuah tendangan kaki Ki Klabangkolo mengenal perut Cangak Awu yang membuat tubuh pemuda tinggi besar itu terpental jauh. Untung dia masih sempat mengerahkan aji kekebalan Kawoco sehingga di dalam perutnya tidak sampai menderita luka.
"Bukk......!"
Dia terbanting keras dan melihat para murid atau anggauta Jatikusumo banyak yang sudah bergelimpangan tewas, Cangak Awu menjadi putus asa dan diapun segera melarikan diri karena maklum bahwa melawan terus sama dengan bunuh diri.
Rahmini masih melawan Priyadi dengan nekat. Kedua orang saudara seperguruan ini sama-sama mempergunakan cambuk, akan tetapi kalau cambuk, di tangan Rahmini adalah senjata biasa, sebaliknya, di tangan priyadi terpegang pecut sakti Bajrakirana!
Kalau Priyadi menghendaki, kiranya wanita cantik itu tidak akan mampu bertahan terlalu lama. Akan tetapi agaknya Priyadi tidak ingin segera merobohkan Rahmini. Semenjak batinnya menjadi budak nafsu berahi, Priyadi memandang mbakayu seperguruannya ini dengan pandang mata lain! Kalau tadinya ia memandang wanita ini dengan rasa hormat dan sayang sebagai saudara, kini dia melihat kecantikan dan kemolekan yang dimiliki Rahmini, yang menggelitik nafsunya! Karena inilah maka dia tidak ingin membunuh Rahmini, melainkan ingin mempermainkan kakak seperguruan yang cantik ini.
"Mbakayu Rahmini, engkau menyerah sajalah kepadaku dan hidup senang bersamaku!"
Berulang kali Priyadi membujuk dengan kata-kata manis merayu. Akan tetapi dengan air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya katena melihat suaminya telah roboh dan tewas. Rahmini tidak menjawab, melainkan menyerang lebih ganas lagi dan mati-matian, tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri. Yang ada dalam hatinya hanya satu keinginan, yakni membunuh adik seperguruan yang murtad dan jahat sekali itu.
"Tar-tarr......"
Ujung pecut Bajrakirana melecut dengan kecepatan kilat memagut tubuh Rahmini.
"Brett-brettt...."
Pakaian Rahmini di bagian dada dan pinggang terobek oleh lecutan Pecut Bajrakirana sehingga tampaklah kulit di balik robekan kain penutup tubuh itu. Rahmini terkejut sekali, akan tetapi ia tidak memperdulikan bajunya yang cabik-cabik dan menyerang terus semakin ganas. Namun semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis dengan mudahnya oleh Priyadi yang kini makin sering menyerang dengan lecutan ujung pecutnya.
"Tar-tar-tat-tarrr......!"
Kembali ujung pecut itu merobek pakaian Rahmini sehingga kini dadanya tidak terlindung lagi! Rahmini menggunakan tangan kirinya untuk menutupkan robekan kain pada dadanya dan terus melancarkan serangan cambuknya dengan tangan kanan. Namun semua usahanya sia-sia belaka. Ujung pecut Bajrakirana masih menari-nari dan pakaiannya dicabik-cabik sedikit demi sedikit sehingga ia perlahan-lahan ditelanjangi. Kini perutnya juga sudah tidak terlindung lagi dan pahanya juga sudah tampak. Rahmini mulai kebingungan dan merasa terhina sekali. Ia tahu bahwa ia sengaja hendak dipermalukan dan keadaannya akan lebih mengerikan dari pada mati. Ketika lecutan pecut bajrakirana merenggut kain yang terakhir Sebagai penutup tubuhnya, Rahmini melompat ke dekat mayat suaminya, lalu membalikkan gagang cambuknya dan memukul ubun-ubunnya sendiri dengan gagang cambuknya.
"Prakk..."
Ubun-ubun kepalanya pecah dan tubuh yang sudah hampir telanjang bulat itu terkulai roboh menindih mayat Maheso Seto.
Melihat ini, Priyadi sejenak tercengang, akan tetapi dia lalu mengangkat mukanya memandang para murid Jatikusumo yang masih diamuk oleh lima orang rekannya, lalu berseru lantang.
"Para murid Jatikusumo! Siapa menyerah akan diampuni dan yang melawan akan dibunuh!"
Akan tetapi, para anggauta Jatikusumo yang melihat betapa guru dan para murid kepala sudah tewas, tidak ada yang mau bertekuk lutut menyerah. Mereka melarikan diri cerai berai, tidak sudi dijadikan anak buah Priyadi yang durhaka dan kejam. Kurang lebih tiga puluh orang murid Jatikusumo tewas dalam pertempuran ini dan selebihnya melarikan diri cerai berai meninggalkan perkampungan Jatikusumo.
Tertegun juga hati Priyadi melihat kenyataan ini. Dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua perguruan Jatikusumo, akan tetapi di situ tidak ada seorangpun anggauta Jatikusumo! Bagaimana mungkin dia dapat menjadi ketua perkumpulan yang tidak ada anggautanya seorangpun? Ternyata tidak ada seorangpun bekas murid Jatikusumo yang mau menyerah kepadanya. Dia telah menjadi ketua baru Jatikusumo yang memegang Pecut Bajrakirana yang merupakan pusaka perguruan Jatikasumo, akan tetapi tanpa anggauta. Bagaikan seorang raja tanpa seorangpun rakyatnya!
Melihat ini, Bhagawan Jaladara yang mengerti apa yang terkandung dalam hati Priyadi yang berwajah muram, tertawa dan berkata.
"Ha- ha-ha, anak mas Priyadi. Jangan kecewa dan jangan gelisah Ada baiknya kalau seluruh anggauta Jatikusumo pergi dari sini sehingga tidak ada di antara mereka yang mengandung dendam di hati tinggal di sini. Engkau dapat menghimpun anggauta baru yang lebih dapat dipercaya. Jangan khawatir, aku akan mengirim beratus orang-orang muda dari Kadipaten Wirosobo untuk menjadi anggauta Jatikusumo yang baru!"
"Aku juga akan membantumu mengumpulkan anggauta baru, Priyadi. Kita kumpulkan orang-orang muda, laki-laki dan wanita yang kita gembleng dan latih sehingga menjadi pasukan Jatikusumo yang tangguh."
Kata Sekarsih menghibur. Wanita ini merasa girang sekali melibat betapa langkah-langkah pertama yang diambil Priyadi menuju ke tercapainya cita-cita telah berhasil dengan baik.
"Aku juga mempunyai dua puluhan orang pengikut dan aku dapat membawa mereka ke sini untuk menjadi anggauta Jatikusumo, anak mas Priyadi."
Kata pula Ki Klabangkolo yang juga girang melihat keberhasilan Priyadi mengangkat diri menjadi ketua Jatikusumo. Dia merasa senang bekerja sama dengan pemuda yang ternyata sakti mandraguna itu.
Mendengar ucapan para sekutunya itu, tentu saja hati Priyadi menjadi girang sekali.
"Terima kasih, aku akan menerima semua anak buah itu dan akan menggembleng mereka sehingga Jatikusumo memiliki sebuah pasukan istimewa yang dapat diandalkan."
Janji Bhagawan Jaladara, Ki Klabangkolo dan Sekarsis itu segera dipenuhi dan tak lama kemudian, perkampungan Jatikusumo kembali menjadi ramai, bahkan kini memiliki anak buah yang jauh lebih banyak lagi. Kalau dahulu jumlah anak buah Jatikusumo hanya kurang lebih lima puluh orang jumlahnya, kini anak buah yang dipimpin Priyadi berjumlah hampir seratus lima puluh orang ! Mulailah Priyadi membentuk dan menggembleng pasukannya, dibantu dengan setia oleh Sekarsih.
Cangak Awu melarikan diri dengan menahan rasa nyeri. Biarpun tadi dia sudah mengerahkan aji kekebalannya ketika Ki Klabangkolo menendang perutnya, namun tetap saja tendangan yang amat kuatnya itu mengguncangkan isi perutnya dan dia merasa nyeri. Dengan menahan rasa nyeri dia melarikan diri. Akan tetapi hatinya lebih nyeri lagi. Dia melihat tadi betapa gurunya, Bhagawan Sindusakti dan kakak seperguruannya, Maheso Meto, telah tewas. Demikian pula banyak murid Jatikusumo bergelimpangan. Dia terpaksa melarikan diri karena dia tahu benar bahwa kalau dia melawan terus, diapun akan mati.
Bukan sekali-kali dia berjiwa pengecut dan takut mati. Akan tetapi kalau dia mati pu!a, lalu siapa yang akan membalaskan sakit hati itu kelak? Dia harus hidup agar kelak dapat membalas dendam sakit hati yang besar ini kepada Priyadi! Dia melarikan diri terus tanpa hentinya, khawatir kalau-kalau Priyadi dan kawan-kawannya itu akan mengejarnya. Sehari semalam Cangak Awu terus berlari tanpa henti dan pada keesokan harinya, pagi-pagi tibalah dia di tepi sebuah kali yang besar. Dia tidak tahu bahwa dia telah tiba di tepi Bengawan Solo yang airnya penuh karena semalam di daerah hulu sungai turun hujan lebat. Airnya kemerahan bercampur lumpur. Cangak Awu sudah tidak dapat menahan rasa nyeri dan lelahnya lagi.
Dia terkulai lemas di tepi sungai itu, di atas rumput yang tebal dalam keadaan setengah pingsan. Dia rebah menelentangkan dirinya dan mengeluh lirih. Perutnya terasa nyeri dan kepalanya pening. Ketika dia teringat akan peristiwa yang terjadi di perkampungan Jatikusumo, membayangkan gurunya dan kakak seperguruannya, juga saudara-saudara seperguruannya yang banyak jumlahnya bergelimpangan tewas, dia mengeluh lagi dan tak tertahankan lagi dia menangis, merasa hatinya seperti diremas-remas! Dia lalu teringat betapa dia terpaksa harus melarikan diri meninggalkan semua penghuni perkampungan Jatikusumo yang dibantai, tanpa berdaya menolong mereka dan tangisnya membuat dia sesenggukan dan hatinya seperti ditusuk rasanya. Cangak Awu mengeluh dan jatuh pingsan, tidak kuat menahan siksa dalam hatinya.
Cahaya matahari pagi menyinari muka Cangak Awu yang masih pingsan. Muka itu pucat. Tiba-tiba wajah yang disinari matahari pagi itu tertutup bayang-bayang hitam. Seorang wanita menghampirinya dan bayangan wanita inilah yang menutupi wajah Cangak Awu.
Wanita muda itu seorang gadis yang manis sekali dengan kulit tubuh agak kehitaman, hitam manis. Usianya kurang lebih sembilan belas tahun, tubuhnya padat ramping dan gerak geriknya gesit! Ia seorang gadis yang pemberani. Kalau gadis lain melihat seorang pria seperti mati atau tidur di situ tentu akan menjauhkan diri. Akan tetapi gadis ini malah menghampiri dan mengamati wajah laki-laki itu penuh perhatian.
"Matikah dia....?"
Gadis itu menggumam seorang diri. Akan tetapi ia lalu melihat bahwa dada laki-laki itu masih bernapas, walaupun pernapasan itu lemah sekali, dan di atas kedua pipi yang pucat itu masih terdapat butir-butir air mata!
"Tertidurkah dia? Kenapa ada orang tidur di atas rumput basah seperti ini?"
Kembali gadis itu bicara seorang diri. Lalu ia melihat betapa baju dan celana laki-laki itu cabik-cabik.
"Ki sanak, bangunlah. Kenapa engkau tidur di sini?"
Gadis itu menyentuh pundak Cangak Awu dan mengguncang-guncangnya. Pundak dan kepala itu ikut bergoyang-goyang, akan tetapi Cangak Awu yang pingsan tidak dapat terbangun. Setelah mengguncang lebih keras dan tetap saja Cangak Awu tidak terbangun, gadis itu mengerutkan alisnya yang kecil hitam dan panjang melengkung, dan mengamati wajah Cangak Awu dengan seksama.
"Ah, jangan-jangan orang ini pingsan!"
Gumamnya. Jari telunjuk kanannya lalu digerakkan menotok bawah hidung Cangak Awu, di atas bibir bagian atas bagian tengahnya, lalu menepuk tengkuk pemuda itu beberapa kali. Terdengar Cangak Awu mengeluh lirih, pertanda bahwa dia telah siuman dari pingsannya. Gadis itu cepat berdiri dan mundur beberapa langkah.
Cangak Awu membuka kedua matanya dan otomatis dia menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi matanya yang tertimpa sinar matahari pagi sehingga dia menjadi silau. Ketika pandang matanya menyapu ke sekelilingnya, dia melihat seorang gadis yang berdiri tak Jauh dari situ, sedang memandangnya. Cangak Awu terkejut dan segera mengira bahwa wanita ini tentu seorang di antara kawan-kawan Priyadi karena dia melihat ada seorang wanita cantik datang bersama Priyadi ketika rombongan itu datang menyerbu Jatikusumo. Teringat akan ini, sekali bergerak tubuhnya sudah meloncat bangun dan berdiri menghadapi gadis itu. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan siap di pinggang, siap menghadapi serangan dan sepasang matanya menatap tajam wajah gadis hitam manis itu.
Akan tetapi gadis itu tersenyum melihat sikap Cangak Awu yang seperti menghadapi seorang musuh itu.
"Siapakah engkau?"
"Siapakah engkau?"
Pertanyaan yang serupa itu keluar dari dua mulut hampir bersamaan sehingga suasana menjadi lucu. Akan tetapi karena Cangak Awu tetap mengira bahwa wanita itu tentu seorang musuh, dia tidak merasa lucu. Gadis itu yang tertawa, menyembunyikan mulutnya di balik punggung tangannya.
Pada saat itu terdengar gerakan orang di belakangnya. Cangak Awu cepat memutar tubuhnya dan dia melihat belasan orang laki-laki kasar telah berdiri di hadapannya dengan sikap mengancam! Semakin keras dugaannya bahwa wanita hitam manis itu tentulah seorang musuh dan belasan orang ini tentu anak buahnya! Maka dia menjadi marah sekali siap untuk mengamuk.
"Kalian mau apa!"
Bentaknya, ditujukan kepada belasan orang itu, juga kepada wanita hitam manis tadi.
Seorang di antara belasan orang itu, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok, melangkah maju menghadapi Cangak Awu dan tertawa bergelak sambil mencabut golok dari pinggangnya dan mengamangkan golok itu kepada Cangak Awu.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha-ha-ha-ha, orang muda. Kalau engkau menghadiahkan gadis manis ini kepada kami, kami akan mengampunimu dan engkau boleh pergi dari sini tanpa kami ganggu. Nah, pergilah sebelum aku mengubah pikiranku!"
Cangak Awu terkejut. Tahulah dia kini bahwa gadis manis itu sama sekali bukan kawan-kawan belasan orang itu. Dia menoleh dan memandang heran. Gadis itu sama sekali tidak tampak ketakutan, bahkan tersenyum manis! Padahal, biasanya seorang gadis yang melihat belasan orang laki-laki kasar yang jelas mempunyai sifar buruk terhadap dirinya, akan menjadi ketakutan dan menangis!
"Kalau aku tidak mau, kalian mau apa?"
Tantangannya sambil membusungkan dadanya yang bidang.
"Jahanam! Kalau begitu, engkau akan kami bunuh dan gadis ini akan kami rampas!"
Kata si brewok yang agaknya menjadi pimpinan gerombolan itu dan langsung saja dia sudah menerjang maju, mengayun goloknya dan agaknya dia hendak memenggal kepala Cangak awu dengan sekali tebas!
"Wuuuuttt........!"
Golok yang mengkilap saking tajamnya itu menyambar. Cangak Awu mengelak dengan mudah dan golok itu luput tidak mengenai sasarannya.
Si brewok menjadi penasaran dan marah sekali. Dia mengayun balik goloknya yang kini menyambar ke arah pinggang Cangak Awu, agaknya dia hendak membabat putus tubuh pemuda itu menjadi dua potong! Kembali Cangak Awu mengelak, akan tetapi golok itu terus mengejarnya, dengan serangan-serangan mematikan yang cukup dahsyat. Ternyata si brewok itu, memiliki kapandaian lumayan dan goloknya amat berbahaya. Pada saat itu, empat orang anak buah gerombolan itu sudah menerjang dan mengeroyok Cangak Awu dengan golok mereka! Cangak Awu yang dikeroyok lima orang itu melompat dan bergulingan di atas tanah, ketika dia melompat bangkit lagi, tangannya sudah memegang sebatang tongkat dari dahan pohon, yang dia temukan di atas tanah.
Pada saat itu, empat orang anak buah itu sudah menerjangnya lagi dan empat batang golok menyambar ke arah tubah Cangak Awu dari empat jurusan. Cangak Awu tidak menjadi gentar. Menghadapi pengeroyok itu, dia seperti melupakan rasa nyeri dalam perutnya, sudah lupa bahwa dia telah terluka dalam yang cukup parah. Dia memutar tongkat kayunya dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali sehingga bentuk tongkat lenyap menjadi amat panjang yang menangkis empat batang golok itu berturut-turut.
Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo