Pecut Sakti Bajrakirana 17
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
"Trang-trang-trang-trang... ...!!"
Empat batang golok itu terpental dan terlepas dari pegangan empat orang anak buah gerombolan itu. Cangak Awu tidak berhenti sampai di situ saja. Kedua kakinya bergantian mencuat dan menyambar ke arah empat orang pengeroyok itu.
"Des-des-des-dess.....!"
Tubuh empat orang itu berpelantingan terpental dan terbanting ke atas tanah.
Melihat ketangguhan Cangak Awu, belasan orang itu segera menyerbu maju dan mengeroyok. Cangak Awu tidak menjadi gentar. Bagaikan seekor banteng terluka dia mengamuk. Tongkat kayunya diputar menyambar-nyambar dan menghalau semua senjata tajam yang mendekatinya.
Sementara itu, si Brewok yang melihat betapa pemuda tinggi besar yang tangguh itu sudah dikeroyok oleh semua anak buahnya, lalu menghampiri gadis hitam manis sambil menyeringai memperlihatkan deretan gigi besar-besar yang hitam menguning.
"Heh-heh, marilah manis, ikut dengan kakangmas! Engkau akan hidup senang. Marilah kupondong, kutimang dan kuayun ambing! Setelah berkata demikian, si Brewok tiba-tiba menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk merangkul. Kedua tangan itu menyambar dari kanan kiri untuk menangkap pinggang yang kecil ramping dari gadis itu.
"Wuuuuttt.......!"
Si Brewok terkejut sekali karena kedua tangannya banva menangkap angin dan dengan gerakan yang lincah sekali gadis itu telah dapat mengelak dan terhindar dari terkamannya. Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba dari samping gadis itu menggerakkan kakinya yang mencuat dengan cepat sekali menyambar ke arah perut si Brewok yang sama sekali tidak menyangka sehingga perutnya kena disambar tendangan kaki kiri gadis itu.
"Dess......!!"
Walaupun si Brewok sudah mengerahkan kekebalannya untuk melindungi perutnya yang tertendang tadi, namun karena tendangan gadis itu mengandung tenaga dalam yang cukup kuat tetap saja perutnya terasa mulas dan dia terhuyung ke belakang. Bukan main marahnya si Brewok ini. Dia memberi isarat kepada sebagian anak buahnya yang mengeroyok Cangak Awu dan empat di antara mereka lalu membantu dia mengepung gadis itu. Dia sendiri sudah mencabut goloknya dan menyerang kalang kabut.
Gadis itu dengan lincah melompat jauh ke belakang dan iapun melihat betapa Cangak Awn terhuyung dikeroyok banyak orang itu. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang sakit dan memang sesungguhnyalah demikian. Karena, andaikata Cangak Awu tidak sedang menderita sakit di perutnya yang terkena tendangan Ki Klabangkolo, tentu saja dia sudah mengamuk dan semua pengeroyoknya itu sudah dapat dia robohkan.
"Berhenti semua! Kalian berani mati mengganggu Nogo Dento?"
Teriak gadis itu yang meloncat ke atas sebuah batu besar dan berdiri dengan tegak dan wajahnya yang manis itu amat berwibawa.
Mendengar disebutnya Nogo Dento ini, Si Brewok dan anak buahnya terkejut dan mereka menahan gerakan senjata mereka dan semua memandang kepada gadis itu.
"Nona .... kau....... kau siapakah? Apa hubunganmu dengan Nogo Dento?"
Tanya si Brewok dengan gagap.
"Aku adalah Pusposari, murid dan anak angkat dari Ki Harjodento, ketua Nogo Dento!"
Jawab gadis itu.
Mendengar ini, si Brewok lalu merangkapkan kedua tangannya melakukan sembab, lalu berkata,
"Maafkan kami, nona. Kami tidak tahu......."
Dia lalu memberi isarat kepada kawan-kawannya.
"Mari kita pergi!"
Dan mereka semua lalu pergi dengan cepat dari tempat itu, menyusup ke balik pohon-pohon dan semak-semak. Cangak Awu yang tadi mengerahkan seluruh sisa tenaganya, sekarang batu merasakan kenyerian yang hebat pada perutnya. Dia memegangi perutnya lalu terkulai roboh. Pusposari melompat dan menghampirinya, berjongkok di dekat pemuda itu.
"Engkau...... sakitkah?"
Tanyanya. Gadis ini tadi melihat betapa Cangak Awu mengamuk dengan hebatnya biarpun dalam keadaan sakit, maka Pusposari merasa kagum bukan main. Juga melihat betapa pemuda itu berusaha melindunginya dari para penjahat tadi mendatangkan kesan baik dalam hatinya terhadap pemuda itu.
Mendapat pertanyaan itu, Cangak Awu mengangguk dan meringis kesakitan.
"Siapakah engkau, ki sanak? Dan bagaimana engkau sampai terluka?"
Tanya pula Pusposari. Melihat pemuda itu agak meragu untuk menjawab, ia tahu bahwa pemuda itu bersangsi karena belum mengenalnya, maka disambungnya dengan cepat.
"Aku Pusposari, murid dan anak angkat Ki Harjodento ketua perkumpulan Nogo Dento. Engkau tadi telah memaksa diri untuk melindungi aku, maka akupun ingin sekali menolongmu."
"Aku...... bernama Cangak Awu..... aku murid perguruan Jatikusumo......aku....... aku terkena tendangan ampuh sekali dan menderita luka dalam yang parah......"
Dia terbatuk dan muntahkan darah segar.
"Ah, lukamu parah, ki sanak. Mari ikut aku pulang ke tempat tinggal kami. Ayah angkatku tentu akan dapat mengobatimu sampai sembuh. Marilah......!"
Pusposari membantu Cangak Awu untuk berdiri, kemudian tanpa canggung dan rikuh lagi karena menganggap pemuda itu sebagai penolongnya, ia memapah pemuda itu melangkah perlahan-lahan dan tempat itu. Cangak Awu yang berada dalam keadaan tersiksa rasa nyeri dan setengah pingsan itupun tidak ingat lagi betapa dia merangkulkan sebelah lengannya pada pundak gadis itu untuk bertumpu agar tidak sampai terguling jatuh.
Keadaan Cangak Awu parah sekali. WalaupuA sudah dipapah oleh Pusposari, dia harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya dan itupun hanya membuat dia melangkah perlahan-lahan saja. Setelah mereka tiba di depan pintu gerbang perkampungan Nogo Dento, Cangak Awu tidak kuat lagi dan diapun roboh pingsan dan tentu telah terguling roboh kalau tidak dirangkul oleh Pusposari.
Beberapa orang anak buah Nogo Dento datang berlari-lari ketika mereka melihat Pusposari datang bersama seorang pemuda yang agakuya terluka parah.
"Gotong dia masuk, cepat!"
Kata Pusposari.
Empat orang murid Nogo Dento menggotong tubuh Cangak Awu yang berat ke dalam perkampungan Nogo Dento, didahului Pusposari yang menyuruh para murid Nogo Dento membawa tubuh Cangak Awu yang pingsan itu ke dalam rumah.
Harjodento dan isterinya, Padmosari, menyambut kedatangan anak angkut mereka itu dengan heran.
"Pusposari, siapakah pemuda ini?"
Tanya Padmosari heran memandang kepada Cangak Awu yang sudah dibaringkan ke atas sebuah dipan.
"Apa yang telah terjadi?"
Tanya pula Harjodento.
"Bapa dan Ibu, orang ini bernama Caogak Awu. Dia adalah murid perguruan Jatikusumo. Semula saya menemukannya menggeletak pingsan di tepi sungai. Ketika saya menyadarkannya, mendadak muncul belasan orang penjahat yang berusaha untuk menangkap saya. Orang ini yang sedang menderita luka parah di sebelah dalam tubuhnya, membela saya mati-matian dan akhirnya kami berdua dapat mengusir para penjahat setelah saya menyebut nama NogoDento. Setelah semua penjahat pergi, orang ini lalu kuajak pulang ke sini untuk berobat, dan setibanya di luar perkampungan kita, dia jatuh pingsan kembali. Bapa, karena dia telah menolong saya dari ancaman para penjahat, maka saya membawanya ke sini agar Bapa suka mengobatinya. Salahkah tindakan saya itu, Bapa?"
Harjodento mengangguk-angguk.
"Engkau tidak salah, Sari. Memang sudah semestinya kalau engkau membalas budi kebaikan orang yang diberikan kepadamu. Kau bilang tadi dia murid Jatikusumo?"
"Benar, Bapa. Demikianlah menurut pengakuannya."
Harjodento lalu membuka baju Cangak Awu dan mulai memeriksa keadaan tubuh pemuda itu. Dia kagum melibat tubuh yang kokoh kuat itu, dada yang bidang dan lengan serta kaki yang berotot. Akan tetapi setelah memeriksa keadaan perut pemuda itu, dia mengerutkan alisnya.
"Hemm, dia telah terkena pukulan yang kuat sekali pada perutnya. Masih untung bahwa agaknya dia memiliki kekebalan maka isi perut itu tidak sampai hancur, hanya terguncang bebat. Dia memerlukan perawatan selama beberapa hari."
Harjodento lain membuatkan racikan jamu-jamu untuk diminumkan pada Cangak Awu, juga untuk dilumurkan pada bagian perut yang kulitnya ada tanda menghitam bekas tendangan.
Tanpa diminta atau disuruh, Pusposari turun tangan sendiri merawat Cangak Awu. Pemuda itu siuman akan tetapi keadaannya amat lemah sehingga dia harus tetap beristirahat. Dia merasa rikuh dan juga terharu sekali melihat betapa Pusposari merawatnya, bahkan ketika dia masih belum kuat duduk, gadis itu yang menyuapinya untuk minum jamu atau makan bubur yang dimasak sendiri oleh tangan Pusposari.
Jamu yang diberikan olah Harjodento sungguh ampuh. Tiga hari kemudian Cangak Awu sudah sembuh dan tenaganya pulih kembali. Dia lalu bangkit duduk dan melihat Pusposari berada di dalam kamar itu, duduk di atas sebuah kursi, Cangak Awu lalu turun dari pembaringan,
"Eh, kakang Cangak Awu, engkau harus ber istirahat dulu."
Pusposari berkata sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Aku telah sembuh dan sudah pulih kembali, nimas Pusposari. Aku sungguh berterima kasih sekali kepada keluargamu, terutama kepadamu yang telah begitu baik hati untuk mengurus dan merawatku sewaktu aku sakit Kalau aku tidak sempat membalas kebaikan hatimu, semoga Gusti Yang Mahao Asih yang akan membalasmu dengan berkah yang berlimpahan."
"Ah, kakang Cangak Awu, mengapa bicara seperti itu? Kalau mau bicara tentang budi, engakaulah yang lebih dulu melepas budi kepadaku, ketika engkau menolongku dari pengeroyokan gerombolan penjahat itu. Tanpa sengaja kita telah saling berjumpa dan saling menolong sehingga pertolongan itu sudah bukan merupakan pertolongan lagi melainkan merupakan kewajiban antara sesama hidup antara sahabat. Bukankah begitu?"
Cangak Awu memandang dengan kagum. Bukan main gadis ini. Masih begini muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, cantik manis, digdaya dan memiliki pandangan yang demikian bijaksana.
"Terima kasih, nimas. Aku merasa berbahagia sekali mendapatkan seorang sahabat sepertimu."
Pada saat itu, Harjodento dan Padmosari memasuki ruangan itu. Melihat mereka, Cangak Awu segera memberi hormat dengan sembah sambil berdiri.
"Paman dan bibi, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan paman dan bibi yang telah menampung dan menyembuhkan saya. Paman dan bibi telah menyelamatkan nyawa saya."
"Tidak perlu berterima kasih, anak mas Cangak Awu. Engkau juga telah menolong dan menyelamatkan puteri kami Pusposari. Duduklah dan ceritakan bagaimana engkau sampai pingsan di tepi sungai itu. Ketahuilah bahwa antara Nogo Dento dan Jatikusumo pernah ada hubungan persahabatan yaitu antara aku dan gurumu Bhagawan Sindusakti ketua Jatikusumo."
Mendengar pertanyaan itu, teringatlah Cangak Awu akan semua yang telah terjadi dan terbayanglah kembali semua peristiwa pembantaian terhadap guru dan saudara-saudaranya di Jatikusumo. Ingin dia berteriak penuh penasaran, kedua tangannya mengepal tinju dan giginya berkerot matanya bersinar-sinar, mukanya kemerahan penuh kemarahan sehingga dia tidak mampu menjawab pertanyaan itu.
"Tenangkanlah hatimu, anak mas. Jangan biarkan hatimu dikuasai nafsu amarah, karena hal itu amat tidak baik untuk kesehatanmu lahir batin. Sebutlah Nama Tuban untuk memperkuat hatimu."
Mendengar ucapan yang tenang dan tegas ini Cangak Awu tersadar dan dia lalu mengusap mukanya dengan kedua telapak tangan sambil menghela napas panjang dan keadaannya sudah tenang kembali.
"Paman, malapetaka besar telah menimpa perguruan kami. Malapetaka besar telah terjadi dan menewaskan guru saya dan kakak seperguruan saya, bahkan mungkin semua murid Jatikusumo menjadi bantaian!"
Cangak Awu menahan isaknya, menahan tangis yang hendak membanjir keluar karena dia teringat akan guru dan kakak-kakaknya.
Mendengar ucapan ini, Harjodento, Padmosari dan Pusposari menjadi terkejut bukan main.
"Jagad Dewa Bathara......!"
Harjodento menyebut sambil berdongak, lalu memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik.
"Apa yang telah terjadi di Jatikusumo, anak mas Cangak Awu?"
Setelah menghela napas tiga kali untuk merendahkan badai kemarahan yang bergolak di dadanya, Cangak Awu berkata "Seorang kakak seperguruan saya telah murtad. Jahanam yang durhaka itu bergabung dengan paman guru Bhagawan Jaladara, merampas kedudukan, ketua Jatikusumo. Bersama Bhagawan Jaladara dan para jagoan Wirosobo, mereka menyerang dan kami semua mengadakan perlawanan mati-matian. Saya melihat betapa Bapa Guru Bhagawan Sindusakti, Kakang Mabeso Seto dan banyak murid Jatikusumo tewas dibantai orang-orang jahat itu. Melihat robohnya Bapa Guru dan Kakang Maheso Seto, maklumlah saya bahwa akan sia-sia saja kalau saya melawan terus. Saya tentu akan mati pula, oleh karena itu setelah terkena tendangan Ki kiabangkolo, saya lalu menguatkan diri dan melarikan diri. Harap paman jangan salah mengerti. Saya lari bukan karena saya takut mati, sama sekali bukan! Saya rela mati membela Jatikusumo, akan tetapi pada waktu itu saya pikir bahwa kalau saya mati, lalu siapa lagi yang akan membalaskan dendam setinggi langit ini? Saya harus hidup agar kelak dapat membalaskan kematian Bapa Guru!"
Cangak Awu aangepal kedua tinjunya.
"Ahhh, bagaimana sampai ada murid yang demikian murtad dan jahat?"
Seru Harjodento.
"Siapakah orang itu dan mengapa pula dia memberontak dan membunuh guru dan kakak-kakak seperguruannya sendiri?"
Cangak Awu menarik napas panjang.
"Saya sendiri sungguh masih merasa heran, bingung dan tidak mengerti. Dia adalah Kakang Pnyadi dan biasanya dia adalah seorang murid yang amat dikasihi Bapa Guru, seorang pemuda yang bersikap lembut dan baik. Saya tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia berubah seperti iblis, Dia membunuh Bapa Guru bersama teman-temannya karena dia. menghendaki kedudukan ketua Jatikusumo." "Akan tetapi mengapa pula Bhagawan Jaladara yang menjadi adik seperguruan Bhagawan Sindusakti bahkan membantu murid keponakannya itu?"
Tanya pula Harjodento yang merasa penasaran sekali mendengar terjadinya peristiwa itu.
"Paman Bhagawan Jaladara adalah seorang pejabat tinggi dari Kadipaten Wirosobo. Tadinya dia membujuk Bapa Guru untuk membantu gerakan Kadipaten Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram, akan tetapi Bapa Guru masih ragu-ragu dan sangsi."
Tiba-tiba Pusposari yang sejak tadi mendengarkan saja penuh perhatian, kini bertanya,
"Kakang Cangak Awu. Gurumu itu, Paman Bhagawan Sindusakti adalah ketua Jatikusumo, tentu seorang yang sakti mandraguna. Bagaimana dia sampai kalah, dan dapat terbunuh oleh muridnya dan adik seperguruannya sendiri?"
"Akupun tadi ingin mengajukan pertanyaan seperti itu."
Kata Padmosari.
"Tentu tingkat kepandaian Bhagawan Sindusakti lebih tinggi dibandingkan adik seperguruan dan muridnya, bagaimana dia sampai dapat terbunuh? Dan bukankah di sana terdapat banyak murid Jatikusumo yang dapat membela guru mereka?"
"Priyadi yang murtad itu datang dengan banyak kawannya yang kesemuanya memiliki kesaktian. Selain Paman Guru Bhagawan Jaladara, ikut pula dalam rombongan iblis itu Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo, seorang wanita yang juga digdaya sekali. Ki Janurmendo, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, kesemuanya jagoan-jagoan dari Wirosobo. Terutama sekali Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo itu amat sakti sehingga tidak dapat terlawan oleh Bapa Guru. Juga si jahanam keparat Priyadi itu .ternyata diam-diam telah menguasai aji-aji yang amat dahsyat, entah dari mana dia mendapatkan semua aji itu."
"Ah, sekarang aku ingat. Anak mas Cangak Awu, belum lama ini kami kedatangan seorang gadis yang berusaha membunuh kami. Ia ditemani seorang pemuda yang juga menyerang kami dan dari pukulannya aku mengenal Aji Gelap Musti, maka aku menduga bahwa pemuda itu tentu seorang murid Jatikusumo. Siapakah gerangan pemuda itu?"
Cangak Awu memandang Harjodento dan bertanya.
"Paman, seperti apakah wajah pemuda itu?"
"Dia berwajah tampan gagah dengan tubuh sedang dan ada tahi lalat di dagunya."
Cangak Awu mengepal tinjunya.
"Itulah dia! Si laknat Priyadi, murid yang murtad itu!"
"Akan tetapi....... ketika beberapa bulan yang lalu dia membantu gadis itu datang menyerang kami, tingkat kepandaiannya tidak begitu bebat, walaupun sudah cukup tinggi sehingga merepotkan kami. Akan tetapi kami masih dapat memukul mundur mereka. Bagaimana mungkin pemuda itu mampu menandingi gurunya sendiri?"
"Entahlah, paman. Mungkin setelah itu dia menemukan ilmu-ilmu yang dahsyat. Saya sendiri juga tidak mengerti. Akan tetapi akibat ulahnya itu, guru saya dan mungkin semua murid Jatikusumo telah dibunuhnya!"
Suasana menjadi hening, keheningan yang membuat Cangak Awu tenggelam ke dalam kesedihan. Kemudian terdengar pertanyaan Pusposari dengan suara lirih dan penuh haru dau rasa iba kepada pemuda tinggi besar itu.
"Sekarang, apa yang kau lakukan, Kakang Cangak Awu? Kemana engkau hendak pergi?"
Ditanya begini, Cangak Awu menghela napas, panjang.
"Aku tidak tahu, nimas Pusposari. Aku masih bingung, malapetaka yang menimpa Jatikusumo itu telah menghancurkan hatiku membuat aku seperti kehilangan akal d"n tidak tahu apa yang harus kulakukan....."
Jawaban pemuda tinggi besar dan kokoh kuat itu demikian lemas dan menyedihkan.
Padmosari menjadi kasihan kepada pemuda itu.
"Anak mas Cangak Awu, di manakah orang tuamu tinggal? Tentu engkau akan pulang ke sana, bukan?"
Pertanyaan itu bagaikan pisau yang menikam hati yang telah luka itu Cangak Awu menundukkan mukanya dan suaranya demikian lirih sampai hampir tidak dapat didengar.
"......ayah bunda saya telah tiada. Sejak kecil saya sudah sebatang kara tiada sanak keluarga. Saya diambil murid oleh mendiang Bapa Guru dan beliau yang menjadi pengganti orang tua saya. Dan sekarang beliau telah tiada pula...... saya...... saya kehilangan segala-galanya......"
Kembali suasana menjadi hening dan Harjodento yang berpemandangan tajam itu melihat betapa anak angkatnya, Pusposari, menjadi merah kedua matanya seperti menahan tangisnya. Dan tiba-tiba pada saat itu sebuah gagasan timbul dalam pikirannya. Mengapa tidak? Cangak Awu adalah seorang murid Jatikusumo dan jelas bahwa dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan amat baik. Tidak akan mengecewakan kalau pemuda seperti ini menjadi suami Pusposari!
"Anak mas Cangak Awu......"
Katanya, akan tetapi hatinya diliputi keraguan dan kesungkanan sehingga kata-katanya tertahan.
Cangak Awu mengangkat mukanya menatap wajah pendekar besar yang menjadi ketua Nogo Dento itu dan sinar matanya memandang penuh selidik.
"Ada apakah, paman?"
"Anak mas, kalau boleh kami mengetahui, apakah rencanamu selanjutnya? Apakah yang ingin kau lakukan sekarang?"
"Rencana dan keinginan saya hanya satu, paman, yaitu pergi berkelana mencari guru yang pandai untuk memperdalam ilmu kepandaian saya, kemudian saya akan kembali ke Jatikusumo untuk membalas dendam kepada si jahanam Priyadi!"
"Kalau begitu, anak mas Cangak Awu. kenapa engkau tidak tinggal saja bersama kami di sini? Di sini engkau dapat memperdalam ilmu kepandaianmu dan kami akan membantumu sedapat mungkin."
Kata Harjodento dan orang tua ini melihat betapa wejah puteri angkatnya sejenak bersinar dan berseri.
"Paman, saya hanya akan mendatangkan kerepotan kepada paman sekeluarga."
Kata Cangak Awu.
"Sama sekali tidak!"
Kata Padmosari.
"Anak mas Cangak Awu, apa yang dikatakan suamiku tadi benar, Engkau dapat tinggal di sini dan memperdalam ilmu kepandaianmu. Biarpun ilmu aliran Nogo Dento tidak terlalu tinggi, akan tetapi kalau digabung dengan aliran Jatikusumo tentu akan menjadi, ilmu. yang cukup kuat. Dan sama sekali tidak membuat kami repot kalau engkau tinggal di sini."
Cangak Awu menjadi bimbang dan diapun menoleh kepada Pusposari. Biarpun ayah dan ibu gadis itu setuju kalau dia tinggal di situ, akan tetapi bagaimana kalau gadis itu merasa keberatan? Agaknya dalam pandang matanya mengandung pertanyaan ini yang terasa oleh Pusposari. Gadis inipun dengan sikap agak tersipu berkata lirih.
"Akupun akan senang kalau engkau mau tinggal di sini, Kakang Cangak Awu."
Seluruh keluarga itu telah setuju. Perasaan lega menyusup dalam bati Cangak Awu. akan tetapi sebelum dia menjawab, dua orang murid Nogo Dento memasuki ruangan itu dengan sikap gugup dan tegang.
"Maafkan kami kalau mengganggu, Bapa Guru ......"
Kata mereka gugup.
Harjodento mengerutkan alisny.
"Hemm. apakah yang telah terjadi? Kalian hendak melaporkan apa? Katakanlah!"
"Bapa Guru, wanita yang dulu itu...... ia datang lagi......!"
"Wanita yang mana?"
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang dulu menyerbu ke sini......!"
Harjodento tampak terkejut. Demikian pula Padmosari sudah melompat bangkit dari tempat duduknya.
"Hemm, tentu orang yang mengaku murid Nyi Rukmo Petak dan yang hendak membunuh kita itu. katanya kepada isterinya.
"Mari kita jumpai ia 1"
Suami isteri itu berlari keluar. Padmosari dan Cangak Awu tanpa diminta juga mengikuti mereka keluar, Setelah tiba di luar perkampungan Nogo Dento, mereka berempat melihat Retno Susilo dan Sutejo telah berdiri di situ, Cangak Awu terheran melihat Sutejo berada di dekat seorang gadis yang menurut Harjodento pernah datang hendak membunuh Harjodento dan isterinya. Akan tetapi bukankah gadis itu kabarnya ditemani oleh Priyadi? Kenapa sekarang yang menemaninya ternyata Sutejo? Di lain pihak, Sutejo juga terkejut dan heran melihat Cangak Awu berada di antara keluarga yang dimusuhi oleh Retno Susilo dan gurunya itu.
"Adi Sutejo, mau apa engkau datang ke sini?"
Tegur Cangak Awu.
"Kakang Cangak Awu, kenapa engkau berada di situ?"
Tanya pula Sutejo dengan heran.
"Hemm, engkau mengenai mereka? Katakan, engkau hendak memihak aku atau mereka?"
Retno Susilo menoleh kepada Sutejo dan mengajukan pertanyaan itu dengan suara kaku.
"Eh, tentu saja aku berpihak padamu."
Kata Sutejo walaupun hatinya menjadi bimbang melihat kehadiran Cangak Awu di situ.
Kini Retno Susilo menghadapi Harjodento dan suaranya terdengar nyaring ketika ia berkata,
"Nah, Harjodento. Sekarang aku bersama kawanku ini telah datang berhadapan denganmu, Aku tantang engkau untuk neelakukan pertandingan satu lawan satu! Jangan main keroyokan kalau engkau memang seorang gagah!"
Harjodento tersenyum memandang wajah Retno Susilo yang cantik jelita dan sinar matanya yang mencorong tajam itu. Diam-diam pendekar ini harus mengakui bahwa gadis itu selain cantik jelita, juga gugah berani, patut menjadi seorang pendekar wanita. Akan tetapi mengapa gadis itu diutus oleh seseorang yang tidak dikenalnya untuk membunuh dia dan isterinya?
"Nona, kami sungguh tidak tahu mengapa engkau menantang kami untuk mengadu kepandaian. Akan tetapi kalau engkau menantang, tentu saja kami tidak dapat menolaknya. Kami bersedia melayani tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu tanpa pengeroyokan. Akan tetapi katakan lebih dulu, mengapa sebenarnya gurumu mengutus engkau untuk membunuh kami?"
"Tidak perlu kau tanyakan. Pendeknya, aku harus membunuh kalian berdua dan itu merupakan tugasku sebagai seorang murid terhadap gurunya. Mari kita mulai. Siapa di antara kalian yang akan maju? Aku akan maju menandinginya, dan kalau aku kalah, masih ada temanku ini yang akan maju sebagai penggantiku!"
"Bapa, biar aku yang menandinginya!"
Tiba-tiba Pusposari berseru dan ia sudah melompat ke depan Retno Susilo. Karena gadis itu sudah maju, Harjodento tidak dapat mencegahnya karena mencegahnya menunjukkan kelemahan di pihaknya, maka ia dan isterinya hanya memandang dengan khawatir. Sutejo yang teringat bahwa Retno Susilo memiliki aji pukulan yang ampuh dan mematikan, berkata lirih kepadanya.
"Diajeng Retno, harap jangan mudah membunuh orang."
Retno Susilo tidak menjawab, hanya memandang calon lawannya dengan alis berkerut. Dua orang gadis yang sama centil dan menariknya ini sudah saling berhadapan dan sinar mata mereka mencorong, bagaikan dua ekor singa betina yang hendak berlaga.
"Sebutkan dulu siapa namamu agar engkau tidak roboh tanpa nama!"
Kata Retno Susilo.
Pusposari cemberut.
"Engkau yang datang mengacau, katakan dulu siapa namamu baru engkau boleh mengenal aku!"
Retno Susilo tersenyum mengejek.
"Aku Retno Susilo dan sebaiknya engkau ini anak kecil jangan ikut ikutan, Aku datang hanya uutuk membunuh Harjodento dan Padmosari!"
"Hemm, ketahuilah bahwa aku Pusposari yang siap membela ayah ibuku dengan taruhan nyawa!"
"Bagus! Kalau begitu aku akan menghajarmu! Jagalah!"
"Aku sudah siap!"
Jawab Pusposari gagah.
"Hyaaaattt... !"
Retno susilo sudah menerjang dengan dahsyatnya. Pusposari mengelak dan tamparan yang amat kuat itu dan dari samping iapun membalas dengan pukulan tangan kanannya.
"Dukk!"
Retno Susilo menepis dan lengan Pusposari tertangkis, membuat gadis manis ini hampir terpelanting. Pusposari terkejut, akan tetapi ia tidak takut dau menyerang lagi dengan kuat dan cepatnya. Retno susilo menyambutnya dan dua orang gadis ini sudah saling serang dengan seru. Akan tetapi segera dapat dinilai bahwa tingkat kepandaian Retno susilo masih jauh lebih unggul.
"Haaaiiiit !"
Tiba-tiba tangan Retno Susilo menyambar ke arah kepala Pusposari dan ketika gadis Nogo Dento ini mengelak dengan merendahkan tubuhnya, tiba-tiba kaki kiri Retno Susilo menyambar dan samping dan menyerampang, mengenai kaki Pusposari sehingga gadis ini terpelanting dan tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya lagi. Pada saat itu, Cangak Awu sudah melompat maju menghadapi Retno Susilo sehingga gadis ini tidak dapat mengejar atau mendesak Pusposari yang sudah terpelanting.
"Gadis jahat! Mengapa engkau hendak membunuh orang-orang yang tidak berdosa ?"
Bentak Cangak Awu dengan sikap keren.
"Hemm, siapa kau?"
Tanya Retno Susilo sambil menatap wajah pemuda tinggi besar itu.
"Namaku Cangak Awu dan aku adalah murid Jatikusumo!"
Jawab pemuda itu.
Retno Susilo mengerling ke arah Sutejo, akan tetapi pemuda ini hanya menonton saja dau tidak bereaksi apa-apa, maka iapun membentak.
"Engkau murid Jatikusumo, mengapa mencampuri urusanku dengan orang-orang Nogo Dento?"
"Aku adalah tamu dan. sahabat mereka, tentu saja tidak kubiarkan engkau berbuat sewenang-wenang di sini!"
Kata Cangak Awu sambil memandang ke arah Sutejo dengan sinar mata mengandung penasaran.
"Kalau begitu, engkaupun perlu kuhajar !"
Teriak Retno Susilo dengan marah.
"Engkau yang pantas dihajar !"
Kata Cangak Awu.
"Keparat, terimalah ini!"
Bentak Retno Susilo dan gadis ini sudah menerjang maju dengan tamparan ke arah kepala.
Melihat betapa tamparan itu cukup hebat, Cangak Awu lalu mempergunakan Aji Harina Legawa untuk mengelak. Ilmu meringankan tubah ini membuat dia dapat bergerak dengan cepat dan diapun membalas dongan pukulan tangannya yang kokoh kuat. Akan tetapi, Retno Susilo dapat pula menghindarkan diri dengan mudah dari Serangan balasan Cangak Awu. Mereka saling serang dengan seru, akan tetapi Sutejo dapat melihat bahwa murid Jatikusumo yang tinggi besar itupun tidak dapat menandingi ketangguhan Retno Susilo. Gadis Itu telah memperoleh kemajuan ang luar biasa. Akan tetapi dia terkejut ketika melihat Cangak Awu yang agaknya penasaran itu kini mempergunakan Aji Gelap Musti untuk menyerang Retno Susilo. Dia melihat betapa dengan berani gadis itupun menyambut pukulan jarak jauh dengan dorongan te"lapak tangannya pula. Retno Susilo mengerahkan Aji Gelap Sewu untuk memapaki serangan lawannya.
"Wuuuuttt......desss !!"
Akibat dua tenaga sakti yang saling berbenturan di udara itu, tubuh Cangak Awu terdorong dan terpelanting roboh! Pemuda ini tidak menderita luka dalam, akan tetapi tentu saja dia menjadi terkejut bukan main Pada saat Itu, Padmosari sudah meloncat ke depan.
"Anak mas Cangak Awu, mundurlah. Ia ingin membunuhku, biar aku yang menghadapinya!"
Bentak wanita perkasa ini.
"Bagus, Padmosari! Memang kedatanganku ini untuk menghadapi engkau dan suamimu!"
Kata Retno Susilo.
(Lanjut ke Jilid 19)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
"Diajeng Retno, harap jangan membunuh orang!"
Kembali Sutejo mengingatkan gadis itu.
Akan tetapi sebelum Retno Susilo menjawab, Padmosari yang sudah menjadi marah melihat anak angkatnya dan Cangak Awu kalah sudah maju menerjang sambil berseru.
"Sambut seranganku!"
Serangan itu cepat dan kuat sekali, bahkan lebih cepat dari lebih kuat daripada serangan yang tadi dilakukan Cangak Awu. Maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang amat berbahaya, Retno Susilo juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dengan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya berkelebat cepat menghindar dari serangan lawan, kemudian dengan cepat sekali Ia membalas dengan tendangan menyamping. Kakinya mencuat dan menyambar ke arah dada lawan. Akan tetapi Padmosari yang memiliki dasar ilmu silat tinggi dan banyak pengalamannya itupun dapat menghindar dengan cepat lalu menyerang lagi. Saling serang terjadi dan pertandingan sekali ini amat seru karena tingkat kepandaian mereka seimbang. Akan tetapi Sutejo melihat bahwa wanita cantik isteri ketua Nogo Dento itupun masih tidak akan mampu mengungguli kedigdayaan Retno Susilo. Dia hanya khawatir kalau Retno Susilo sampai membunuh wanita itu seperti yang dipesankan gurunya.
Harjodento juga memandang dengan hati khawatir. Gerakan kedua orang wanita itu cepat dan mereka tampak seimbang, akan tetapi dia juga melihat betapa cepatnva gerakan gadis penyerang itu sehingga dia khawatir bahwa isterinya akan tidak mampu menandinginya pula. Untuk maju menggantikan isterinya, dia merasa malu. Isterinya belum kalah, bagaimana mungkin menggantikannya? Tentu pihak lawan akan menganggapnya sebagal penakut. Maka diapun mengeraskan hatinya dan hanya menonton.
Tiba-tiba Padmosari yang merasa kewalahan dan penasaran karena semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis, sedangkan serangan lawan membuat ia repot sekali, melakukan penyerangan dengan dorongan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan tenaga saktinya, Itulah Aji pukulan Nogo Dento vang merupakan aji yang khas dari perguruan Nogo Dento. Aji ini belum dimiliki oleh para murid. Hanya Harjodento, Padmosari dan Pusposari saja yang sudah menguasai. Itupun baru dikuasai Pusposari sekitar setengah bagian saja. sedangkan Padmosari sudah memiliki tiga perempat bagian. Maka, pukulannya itu mendatangkan angin yang kuat menyambar ke arah Retno Susilo.
Akan tetapi Retno Susilo tidak menjadi gentar dan gadis ini segera menyambutnya dengan Aji Gelap Sewu, mendorongkan telapak tangannya menyambut serangan lawannya.
"Wuuuuttt.......desss......!"
Dua tenaga sakti bertemu di udara dan kedua orang wanita itu sama-sama terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung Ternyata tenaga mereka seimbang dan hal ini membuat keduanya meniadi semakin penasaran. Padmosari hampir tidak dapat percaya betapa seorang gadis muda seperti itu mampu menandingi tenaga saktinya. Ia melompat lagi ke depan dan kini ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang lagi dengan Aji Nogo Dento dengan keyakinan bahwa sekali ini ia tentu ak"n dapat merobohkan gadis itu. Akan tetapi Retno Susilo yang sudah tahu akan kekuatan serangan lawan, sekali ini menyambutnya dengan Aji Wiso Sarpo yang hebat! Hawa sakti yang mengandung racun ular itu keluar dari telapak tangannya menyambut pukulan lawan.
"Wuuuttt....... bresss.....!!"
Sekali ini Retno Susilo hanya mundur tiga langkah, akan tetapi tubuh Padmosari terjengkang dan roboh terguling-guling!
Harjodento, terkejut sekali dan dia cepat melompat ke depan. Maksudnya, untuk mencegah agar Retno Susilo tidak menyusulkan serangan kepada isterinya yang sudah roboh. Akan tetapi gadis itu salah mengerti. Ia mengira bahwa Harjodento akan menyerangnya, maka iapun mendahuluinya dengan serangan Aji Wiso Sarpo sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya karena ia maklum betapa digdaya musuh gurunya ini. Menghadapi serangan ini, Harjodento tidak ada pilihan lain kecuali menyambutnya, Diapun mengerahkan Aji Nogo Dento yang sudah dikuasai sepenuhnya untuk menyambut pukulan Retno Susilo.
"Wuuuutttt.....blarrr...!"
Pertemuan dua tenaga sakti sekali ini demikian bebatnya sehingga getarannya terasa oleh semua orang yang berada di sekeliling tempat itu. Retno Susilo terjengkang dan roboh terguling-guling sedangkan Harjodento hanya mundur dua langkah.
Sutejo cepat menangkap lengan Retno Susilo dan membantunya bangkit. Wajah gadis itu pucat dan napasnya terengah-engah. Sutejo menepuk punggungnya dan berkata.
"Engkau cepat bersila dan mengatur pemapasan, diajeng."
Retno Susilo yang maklum bahwa ia telah terluka karena pukulannya tadi membalik ketika berbenturan dengan hawa pukulan lawan, menurut. Ia duduk bersila di atas tanah dan mengatur pernapasannya.
"Kakangmas Sutejo, sekarang engkau majulah."
Katanya lirih, lalu ia memejamkan kedua matanya untuk mencurahkan perhatiannya kepada usahanya mengobati luka dalam yang dideritanya.
Sutejo mengangkat muka dan melihat bahwa Harjodento juga telah mengurut punggung isterinya dan kini Padmosari juga sedang duduk bersila di alas tanah. Kini Harjodento juga sudah bangkit berdiri dan memandang ke arah Sutejo yang melangkah menghampirinya. Mereka sudah saling berhadapan. Melibat mereka berhadapan, Cangak Awu segera berseru kepada Sutejo.
"Adi Sutejo, harap jangan berkelahi. Paman Harjodento tidak bersalah!"
"Kakang Cangak Awu, aku sudah berjanji untuk membantu diajeng Retno Susilo!"
Jawab Sutejo, lalu disambungnya.
"Seperti engkau juga telah membantu mereka!"
"Biarlah, anak mas Cangak Awu. Seorang gagah tidak akan mundur menghadapi setiap tantangan. Orang muda, sekarang tinggal kita berdua untuk bertanding satu lawan satu. Majulah, aku telah siap!"
Kata Harjodento sambil menatap wajah Sutejo, pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya akan tetapi yang sikapnya mendatangkan rasa suka dalam hatinya.
"Andika sebagai golongan lebih tua, silakan mulai, paman!"
Kata Sutejo yang tidak dapat merasa benci kepada orang tua yang sikapnya gagah ini. Dia tidak percaya bahwa orang seperti ini dapat melakukan perbuatan jahat. Akan tetapi karena dia sudah berjanji kepada Retno Susilo, tentu saja dia tidak dapat mundur dan harus menghadapi lawan ini, Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan dalam hatinya untuk tidak mengerahkan seluruh tenaganya menghadapinya agar tidak membahayakan keselamatan Harjodento.
"Orang muda, biarpun engkau masih muda, akan tetapi engkau datang Sebagai penantang. Maka jangan sungkan lagi, mulailah!"
Kata Harjodento.
Sutejo terpaksa mulai dengan pertandingan itu.
"Awas seranganku!"
Bentaknya dan dia sudah menerjang maju sambil memukul dengan telapak tangan kanannya ke arah dada Harjodento. Ketua Nogo Dento ini mundur selangkah sambil memiringkan tubuh dan tangan kanannya membuat gerakan memutar untuk menangkis pukulan itu.
"Plaakkk......!"
Lengan Sutejo tertangkis dan Harjodento membalas dengan serangan tangan kirinya yang menampar ke arah kepala Sutejo dari samping. Serangannya datang dengan cepat dan kuatnya, Sutejo mengerti bahwa lawannya memang tangguh, Hal ini dapat dilihatnya tadi betapa sekali mengadu tenaga saja Retno Susilo telah dapat dirobohkan, pada hal gadis itu memiliki pukulan yang mengandung hawa beracun. Kini melihat betapa tangkas dan cepatnya dan lawan membalas Serangannya, diapun mengelak ke kiri. Diapun menyerang lagi. Harjodento menangkisnya dan membalas. Dua orang itu segera bertanding dengan hebatnya. Gerakan mereka demikian mantap dan kuat. Makin lama gerakan mereka menjadi cepat sehingga yang tampak hanya dua bayangan yang berkelebatan.
Diam-diam Hariodento terkejut bukan main. Ternyata pemuda ini jauh lebih sakti dibandingkan murid Jatikusumo yang pernah membantu Retno Susilo ketika gadis itu pertama kali datang menantangnya. Karena pemuda itu jelas datang untuk membantu Retno Susilo yang bermaksud membunuh dia dan isterinya. maka Harjodento lalu mengerahkan seluruh tenaga dan menguras semua ilmunya untuk menangkan pertandingan itu.
Pertandingan itu memang hebat sekali. Cangak Awu kagum menyaksikan pertandingan itu dan diam-diam dia membandingkan Sutejo dengan Priyadi. Siapakah yang lebih tangguh di antara kedua orang muda itu? Seperti juga Sutejo. Priyadi telah memperoleh ilmu-ilmu yang membuatnya sakti mandraguna. Kini melihat pertandingan itu, diapun khawatir kalau-kalau Harjodento kalah. Mungkin Sutejo tidak akan membunuh ketua Nogo Dento itu. akan tetapi bagaimana dengan gadis yang tampak garang dan galak itu? Apakah ia tidak akan membunuh suami isteri itu kalau mereka sudah kalah dan tidak berdaya? Bagaimanapun juga, kalau ada orang hendak membunuh suami isteri itu, dia akan mencegah dan membela mereka dengan taruhan nyawanya!
Setelah merasa betapa guncangan dalam dadanya sudah membaik dan rasanya tidak begitu nyeri lagi. Retno Susilo membuka matanya untuk mengikuti jalannya pertandingan itu. Iapun kagum bukan main. Ia tahu betapa saktinya orang yang harus dibunuhnya itu. Harjodento merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi kini orang itu mendapat lawan yang seimbang! Pertandingan yang amat seru. Setiap kali kedua lengan mereka saling bertemu, seolah Retno Susilo dapat merasakan getaran hebat yang ditimbulkan karena pertemuan dua buah lengan itu. Saling tampar, saling jotos, saling tendang. Akan tetapi selalu dapat dihindarkan lawan dengan tangkisan atau elakan, kemudian dibalas dengan tidak kalah hebatnya.
Mereka semua menonton dengan hati tegang. Padmosari, Pusposari, Retno Susilo, Cangak Awu dan para murid Nogo Dento. Pandang mata mereka kabur ketika dua orang itu mengerahkan aji meringankan tubuh dan berkelebatan seperti dua ekor burung walet sedang berkelahi.
Harjodento menjadi semakin kaget dan khawatir. Dia merasa bahwa agaknya dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda itu. Dan kalau dia sampai kalah, tentu nyawa dia dan isterinya akan terancam di tangan gadis yang hendak membalaskan sakit hati gurunya itu. Dia harus mendapatkan kemenangan, karena hanya dengan itulah dia akan dapat menyelamatkan nyawa keluarganya. Akan tetapi pemuda ini demikian digdaya! Bahkan beberapa kali tamparannya menyentuh dada pemuda itu seolah tidak terasa, menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki aji kekebalan yang amat kuat. Terpaksa dia harus mengeluarkan aji pamungkasnya, yaitu Aji Nogo Dento seperti yang telah dipergunakannya terhadap Retno Susilo dan yang telah merobohkan gadis itu tadi. Tadi, ketika dia menggunakan aji itu untuk menyambut pukulan gadis itu, dia hanya mengerahkan sebagian tenaganya saja. Akan tetapi, menghadapi pemuda yang luar biasa tangguhnya ini, dia harus mengerahkan tenaga aji itu sepenuhnya kalau dia ingin keluar sebagai pemenang.
Setelah memperhitungkannya Harjodento lalu melangkah ke belakang, memasang kuda-kuda dan mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan Aji Nogo Dento mendorong ke depan sambil membentak nyaring.
"Aji Nogo Dento......!!!"
Sutejo terkejut dan maklum betapa hebatnya tenaga ini. Tadipun Retno Susilo roboh oleh tenaga sakti ini, maka diapun cepat mengeluarkan ajinya yang diandalkan, mendorongkan kedua tangan ke depan sambil membentak.
"Aji Bromokendali!!"
Akan tetapi Sutejo tidak ingin mencelakai lawannya, maka dia membatasi tenaganya dan hanya dipergunakan untuk bertahan saja.
"Wuuuuttt......blaarrrrrr.....!!"
Dua tenaga sakti raksasa bertemu di udara dan akibatnya, kedua orang itu terlempar ke belakang dan terbanting keras ke atas tanah! Baik Harjodento maupun Sutejo, keduanya muntah darah! Sutejo yang tidak mempergunakan seluruh tenaganya terguncang dadanya dan muntah darah, sedangkan Harjodento terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik demikian kerasnya sehingga dia juga muntah darah, akan tetapi keadaannya jauh lebih parah dibandingkan Sutejo. Keduanya tidak mampu segera bangkit hanya mendeprok dan menekan dada sendiri.
"Kakangmas Sutejo.....!"
Biarpun ia sendiri terluka, Retno Susilo bangkit dan lari menghampiri Sutejo yang sudah bergerak bangkit dengan lemah, duduk bersila lalu mengatur pernapasannya.
"Bapa.....!"
Pusposari dan juga Padmosari juga berlari dan bersimpuh di dekat Harjodento yang masih setengah rebah, belum mampu bangkit. Cangak Awu juga berjongkok dekat ketua Nogo Dento ini.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh nyaring, suara tawa seorang wanita dan di situ telah muncul Nyi Rukmo Petak!
"Heh-heh-heh-heh-heh! Harjodento dan Padmosari, sekarang mampuslah kalian! Heh-heh-hi-hi-hik, Harjodento! Engkau masih dapat mendengar suaraku?"
Harjodento dan Padmosari menoleh dan semua orang juga memandang kepada nenek itu.
"Ken Lasmi.........!! teriak Harjodento dan Padmosari berbareng.
"Heh-heh-heh, kalian masih mengenal aku? Dan kau lihat siapa yang telah merobohkanmu, Harjodento? Siapa yang mewakili aku mengalahkanmu dan melukaimu? Siapa pemuda yang kini terluka hampir mati karena tanganmu? Heh-heh-heh! Engkau saling bunuh dengan anakmu sendiri. Harjodento! Sekarang puaslah hatiku telah menghancurkan hati kalian berdua, membuat kalian berkelahi mati-matian melawan anakmu sendiri. Nah, sekarang bersiaplah kalian untuk mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian, sambil tersenyum mengerikan wanita berambut putih ini melompat mendekati Harjodento dan Padmosari yang sudah tidak berdaya karena menderita luka dan kedua tangannya membentuk cakar untuk membunuh suami isteri itu dengan cengkeraman maut.
Akan tetapi Pusposari dan Cangak Awu yang tidak terluka berat, cepat melompat berdiri dan kedua orang ini seperti dikomando saja sudah menerjang Nyi Rukmo Petak. Bahkan Pusposari telah mencabut kerisnya dan Cangak Awu mendapatkan sepotong kayu yang dipergunakan Sebagai senjata tongkat.
Akan tetapi, Nyi Rukmo Petak bergerak dengan cepat dan kuat sekali. Tusukan keris yang dilakukan Pusposari dapat ditangkis dengan kuatnya. Jari-jari tangan yang hanya tulang terbungkus kulit itu amat kerasnya mengetuk pergelangan tangan Pusposari yang memegang keris sehingga keris itu terlepas dan terpental dari tangannya. Sebelum Pusposari dapat menghindar, kaki kiri Nyi Rukmo Petak menyambar dan menendang pahanya, membuat gadis itu terpelanting jauh. Pada saat itu, tongkat di tangan Cangak Awu menyambar ke arah kepala Nyi Rukmo Petak. Akan tetapi nenek ini dengan beraninya mengulurkan tangan menyambut tongkat itu. direnggutnya terlepas dari tangan Cangak Awu dan sekali ia membalikkan tongkat, bahu kanan Cangak Awu sudah dihajar keras sekali dengan tongkat itu sehingga tubuh raksasa muda inipun terpental dan terbanting keras.
Empat orang murid Noeo Dento bergerak maju, akan tetapi Sebelum mereka sempat menyerang, baru mendekat saja kedua lengan Nyi Rukmo Petak sudah bergerak dan empat orang itupun terpelanting keras. Melihat ini, Sutejo yang tadinya masih duduk bersila, lalu bangkit berdiri dan berseru nyaring, ditujukan kepada semua murid Nogo Dento yang sudah bergerak hendak maju mengeroyok wanita berambut putih itu.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semua mundur! Biarkan aku menghadapinya!"
Biarpun dengan agak terhuyung, Sutejo menghampiri dan menghadapi Nyi Rukmo Petak. Pada saat itu, Retno Susilo juga bangkit dan berdiri disamping Sutejo. Gadis ini marah bukan main. Alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan sinar seperti bercahaya ketika ia memandang kepada gurunya. Ia kini tahu bahwa Nyi Rukmo Petak adalah Ken Lasmi, wanita yang menculik Sutejo ketika pemuda itu masih kecil, berusia tiga tahun. Kemudian, Nyi Rukmo Petak dapat menduga bahwa Sutejo adalah anak yang diculiknya ketika Sutejo memberitahu bahwa dia adalah murid Sang Bhagawan Sidik Paningal yang dulu merampas Sutejo dari tangan Ken Lasmi. Karena itulah maka gurunya itu berkeras membujuk agar Sutejo membantunya menghadapi Harjodento dan Padmosari. Gurunya itu berhati keji, sengaja mengadu antara anak dan orang tuanya. Kini ia dapat menduga bahwa permusuhan antara gurunya dan ketua Nogo Dento itu, tentu kesalahannya berada di pihak gurunya.
Melihat Sutejo menghampirinya dengan mata mengandung kemarahan, Nyi Rukmo Petak tertawa.
"Heh heh-heh apa yang akan kau lakukan, Sutejo? Engkaupun akan mampus di tanganku, apakah engkau hendak mendahului orang tuamu?"
"Akulah yang akan menghadapimu!"
Tiba-tiba Retno Susilo membentak nyaring- Nyi Rukmo Petak terbelalak memandang muridnya.
"Apa katamu? Retno Susilo, lupakah engkau dengan siapa engkau berhadapan?"
"Aku tidak lupa! Aku berhadapan dengan seorang iblis betina yang amat jahat! Nyi Dewi, mengingat akan budi kebaikan yang pernah kaulimpahkan kepadaku, kunasehatkan engkau, pergilah dari sini dan jangan menganggu orang yang tidak bersalah. Kalau engkau nekat, terpaksa aku melupakan budimu dan akan melawanmu mati-matian
"Heh-heh-heh engkau hendak melawanku pula? Kalau begitu, engkaupun akan mampus. Kalian semua sudah terluka. Aku akan membunuh kalian semua dengan mudah. Hari ini aku akan membasmi Nogo Dento, membunuh semua orang termasuk mereka yang berada di sini dan yang membelanya."
"Keparat, wanita berhati iblis! Jadi engkau kiranya Ken lasmi yang telah menculikku dan memisahkan aku dari orang tuaku, bahkan kini mengelabui aku sehingga aku bertanding melawan orang tuaku sendiri! Iblis macam engkau ini sudah sepatutnya dienyahkan dari permukaan bumi!"
Bentak Sutejo.
"Engkaulah yang akan mampus lebih dulu!"
Nyi Rukmo Petak berteriak dan ia sudah menerjang ke arah Sutejo sambil menyerang dengan menggunakan Aji Wiso Sarpo yang ganas dan dahsyat. Tampak uap hitam yang berbau amis keluar dari kedua telapak tangannya ketika ia menyerang kepada Sutejo. Pemuda ini juga mengerahkan Aji Bromokendali menyambut serangan itu.
"Wuuuuttt......dessss!!"
Biarpun tubuh Ny Rukmo Petak terpental ke belakang sampai lima langkah, namun karena Sutejo yang telah terluka itu hanya dapat mengerahkan tenaganya sebagian saja, maka dia sendiripun terpental ke belakang dan terhuyung-huyung. Dari mulutnya mengalir darah segar lagi karena lukanya yang tadi belum sembuh.
Retno Susilo membentak nyaring.
"Hyaaaatt........!"
Dan sinar kehijauan menyambar ke arah dada Nyi Rukmo Petak. Itulah pedang Nogo Wilis yang telah dicabut oleh gadis itu dan dipergunakan untuk menyerang setelah nenek itu bersama Sutejo masing-masing terpental ke belakang.
Namun Nyi Rukmo Petak yang tadi telah mengintai dan tahu bahwa muridnya itupun telah menderita luka ketika mengadu tenaga sakti melawan Harjodento, dapat mengelak dengan mudah dan menyerang muridnya dengan Aji Wiso Sarpo. Retno Susilo tidak berani menerima pukulan ampuh itu. Ia melompat ke kiri untuk menghindar, Nyi Rukmo Petak mengejar dan kembali mengirim pukulan dengan Aji Wiso Sarpo. Ia tidak perduli akan rasa nyeri di dadanya Sebagai akibat dari pertemuan tenaganya dengan Sutejo tadi. Akan tetapi tiba-tiba Sutejo yang sudah bersiap kembali maju dan menyambut pukulan yang ditujukan kepada Retno Susilo itu dengan Aji Bromokendali pula.
"Wuuuttt..... desss.... !"
Kembali Sutejo terjengkang dan terguling-guling di atas tanah. Akan tetapi Nyi Rukmo Petak juga terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu, puluhan orang murid Nogo Dento dipimpin oleh Pusposari dan Cangak Awu dengan senjata di tangan, telah maju untuk mengepung dan mengeroyok Nyi Rukmo Petak.
Nenek ini merasa kecewa sekali. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Sutejo dan Retne Susilo yang sudah terluka parah itu masih mampu menandinginya, bahkan benturan tenaga sakti Sutejo membuat ia terluka di sebelah dalam dadanya. Kini tidak mungkin lagi ia membunuh Harjodento dan Padmosari Demikian banyaknya orang yang mengeroyoknya, di antaranya Retno Susilo dan Sutejo yang merupakan lawan berat. Kini bahkan puluhan orang murid Nogo Dento siap untuk mengeroyoknya. Maklumlah Nyi Rukmo Petak bahwa kaiau ia nekat, tentu ia yang akan tewas di situ. Ia lalu menggunakan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dan kepungan para murid Nogo Dento dan ia sudah melarikan diri. Hanya suara tawanya saja yang terdengar semakin jauh, suara tawa yang seperti juga suara tangis.
Setelah wanita itu pergi, Sutejo yang menderita luka berat itu masih berdiri tubuhnya bergoyang-goyang dan dia memandang kepada Harjodento dan Padmosari. Suami isteri itu juga berdiri, menguatkan diri karena merekapun menderita luka dalam yang cukup parah, memandang kepada pemuda itu dengan wajah diliputi penuh ketegangan, keraguan dan harapan. Sepasang mata Padmosari sudah menitikkan air mata, sedangkan Harjodento memandang pemuda itu seperti orang berada dalam mimpi.
Padmosari menghampiri Sutejo dengan langkah kaki yang gemetar, ia memandang pemuda itu melalui genangan air matanya dan suaranya terdengar lirih gemetar.
"Engkau......engkau....... benarkah kata Ken Lasmi tadi...... bahwa....... bahwa engkau adalah anakku.......?"
Sutejo juga merasa betapa sesuatu mengganjal kerongkongnya. Keharuan membuat dia hampir tidak mampu mengeluarkan suara dia sudah yakin bahwa dia berhadapan dengan ayah dan ibunya. Kini terasa olehnya betapa wajah wanita di depannya ini demikian akrab di hatinya, sama sekali tidak asing. Dia tidak mampu bicara dan perlahan-lahan, sambil mengerahkan sisa tenaga untuk melawan rasa nyeri di dalam dadanya, kedua tangannya lalu membuka bajunya, Kedua tangan itu gemetar dan sepasang mata Sutejo juga sudah basah. Dia memandang Harjodento yang terhuyung-huyung menghampiri pula, lalu berpegang pada lengan isterinya agar tidak terkulai jatuh. Suami isteri ini memandang Sutejo yang kini sudah menanggalkan bajunya dan melepaskan baju itu ke atas tanah.
"Andika berdua......kenal ini......?"
Katanya lirih dengan suara gemetar, lalu membalikkan tubuh memperlihatkan punggungnya, di mana terdapat sebuah noda tembong kebiruan selebar tiga jari tangan. Kemudian dia memutar tubuhnya menghadapi suami isteri itu kembali dan memperlihatkan kalung dengan bandul ukiran naga putih yang tergantung di lehernya.
Harjodento dan Padmosari terbelalak memandang ke tanda tembong di punggung Sutejo kemudian mata mereka melekat pada kalung dengan bandul naga putih itu. Otomatis tangan Harjodento yang gemetar itu meraba lehernya dan mengeluarkan bandul kalung yang tergantung di lehernya, bandul yang presis sama dengan yang tergantung di leher Sutejo.
"Tejomanik anakku.....!!"
Suami isteri itu menjerit dan menubruk.
"Bapa......ibuuu......!!"
Sutejo juga menubruk dan mereka bertiga berangkulan di antara isak tangis memilukan. Ketika berangkulan itu, tiba-tiba tubuh Sutejo dan Harjodento terkulai dan kedua orang laki-laki yang menderita luka parah ini roboh pingsan.
Retno Susilo lari menghampiri dan memapah Sutejo.
"Kakangmas Sutejo......!"
Ia memanggil dengan hati teharu dan kedua matanya mengeluarkan air mata.
Pusposari dan Cangak Awu juga mendekat dan membantu Padrnosau untuk memapah Harjodento.
"Bawa mereka masuk ke dalam."
Perintah Padmosari yang teluh mampu menekan keharuan hatinya dan kini ia merasa khawatir sekali akan keselamatan suami dan puteranya. Beberapa orang murid Nogo Dento datang membantu dan tubuh ayah dan anak itu lalu digotong masuk ke dalam perkampungan, langsung kerumah induk, tempat tinggal keluarga Harjodento.
Dengan cekatan sekali Padmosari lalu menyiapkan rempa-rempa untuk membuatkan jamu dan mengobati suami dan anaknya. Ternyata selain ilmu kanuragan, wanita inipun seorang ahli pengobatan, ia juga membuatkan jamu untuk diri sendiri, untuk Pusposari dan Canguk Awu.
Retno Susilo membantu Padmosari merawat Sutejo. Kehadiran gadis ini diterima dengan baik oleh keluarga Nogo Dento. Biarpun tadinya Retno Susilo melakukan tugas yang diperintahkan gurunya memusuhi dan ingin membunuh Harjodento dan Padmosari, akan tetapi semua itu ia lakukan karena ia dibohongi gurunya. Ia melakukan perintah itu hanya untuk menanti gurunya dan setelah ia menyadari akan kejahatan gurunya, gadis ini membalik, bahkan melawan gurunya mati-matian dan hampir saja ia sendiri tewas di tangan gurunya. Bahkan Pusposari yang tadinya amat membenci Retno Susilo, dapat memaafkannya dan Retno Susilo diterima sebagai seorang sahabat baik, dan terutama sekali sebagai sahabat Sutejo.
Mereka semua duduk menghadapi meja besar, mengelilingi meja itu. Pagi hari itu Harjodento dan Sutejo sudah sembuh dan kesehatan mereka telah pulih kembali. Juga Padmosari, Pusposari dan Cangak Awu yang menderita luka ringan, sudah sembuh sama sekali. Kini mereka semua, untuk pertama kalinya setelah sepekan mereka yang terluka dirawat, duduk bersama di sekeliling meja untuk bercakap-cakap, Sutejo duduk diapit ayah ibunya, Padmosari tampak rindu sekali kepada puteranya yang baru saja ditemukan setelah menjadi seorang perjaka dewasa itu. Pusposari duduk di sebelah ibunya. Retno Susilo duduk berhadapan dengan Sutejo dan Cangak Awu duduk di sebelah Pusposari. Pagi yang cerah itu tampak semakin cerah karena hati mereka semua bergembira.
"Nah. sekarang ceritakanlah, anakku. Apa yang kau alami selama engkau diculik dari kami ketika engkau berusia tiga tahun itu."
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo