Pecut Sakti Bajrakirana 18
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Kata Padmosari kepada Sutejo.
"Ibu saya sendiri sudah tidak ingat apa-apa karena ketika itu saya masih terlalu kecil. Seingat saya hanya bahwa saya adalah murid mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal yang juga menjadi pengganti ayah ibu karena beliau yang merawat dan mendidik saya. Kemudian, setelah Bapa Guru terluka parah dan menghadap kematiannya, barulah beliau nenceritakan kepada saya tentang keadaan diri saya, ketika beliau temukan. Menurut cerita Bapa Guru itu, saya dirampas oleh Bapa Guru dari tangan seorang wanita bernama Ken Lasmi setelah melalui perkelahian sengit. Akhirnya Ken Lasmi melarikan diri dan saya dibawa pulang Bapa Guru Sidik Paningal. Menurut beliau, ketika itu saya mengaku bernama Tejo, maka Bapa Guru menamakan saya Sutejo dan tanda-tanda yang ada pada diri saya adalah tembong di punggung dan seuntai kalung naga putih ini."
"Angger, namamu sebenarnya adalah Tejomanik!"
Kata Padmosari terharu.
"Lalu bagaimana Tejo?"
Tanya Harjodento "Lanjutkan ceritamu."
"Karena mendiang Bapa Guru sendiri tidak tahu siapa orang tua saya, maka saya harus dapat menemukan Ken Lasmi karena ialah sumber satu-satunya yang dapat memberitahu kepada saya siapa orang tua saya yang sebenarnya Akan tetapi, Ken Lasmi tidak pernah dapat saya temukan. Bahkan setelah saya bertemu dengan diajeng Retno Susilo dan berhadapan dengan Ken Lasmi. saya tidak tahu bahwa sebenarnya Nyi Rukmo Petak guru diajeng Retno Susilo itu adalah Ken Lasmi."
"Bahkan saya sendiripun tidak pernah tahu bahwa ia adalah Ken Lasmi."
Kata Retno Susilo.
Harjodento menghela napas panjang.
"Tidak pernah kusangka bahwa yang menolong anakku adalah Sang Bhagawan Sidik Paningal yang telah kukenal dengan baik! Kalau saja aku tahu, tentu sudah sejak dahulu kami dapat menemukan engkau kembali! Ah, akan tetapi agaknya memang Gusti menghendaki demikian. Aku percaya bahwa pendidikan yang kau terima dari mendiang Bhagawan Sidik Paningal tentu membuat engkau menjadi seorang pendekar berjiwa ksatria. Akan tetapi mengapa engkau dapat membantu Ken Lasmi yang kejam dan ganas itu?"
Sutejo atau yang nama aselinya Tejomanik itu mengerling ke arah Retno Susilo, tidak mau menyalahkan gadis itu. Sebetulnya bukan Ken Lasmi atau Nyi Rukmo Petak yang dibantunya, melainkan Retno Susilo.
"Sebetulnya semua itu salahku. Paman Harjodento!"
Kata Retno Susilo dengan lantang.
"Aku menaati guruku yang memberi tugas kepadaku untuk membunuh paman berdua. Usaha itu telah kulakukan akan tetapi aku gagal ketika untuk pertama kali aku dalang ke sini. Kemudian aku bertemu dengan Kakangmas Sutejo dan aku minta bantuannya. Kakangmas Sutejo membantu aku untuk menghauapi paman sekalian, bukan membantu guruku."
"Bapa dan ibu, dalam hal ini, diajeng Retno Susilo hanya bertindak karena ia berhutang budi kepada gurunya dan hendak membalas budi dengan menaati pesannya. Ia tidak tahu sama sekali bahwa gurunya itu jahat. Bahkau ketika saya bertemu dengan Ken Lasmi sayapun tidak menduga bahwa ia yang jahat melainkan mengira bahwa ia menjadi korban kejahatan seperti yang ia ceritakan kepada kami."
Sutejo membela Retno susilo.
"Kami dapat menduga akan hal itu."
Kata Harjodento.
"Kami tidak menyalahkan nak Retno yang ternyata kemudian setelah ia mengetahui akan kejahatan gurunya, ia malah membela dan membantu kami. Akan tetapi apakah yang diceritakan oleh Ken Lasmi kepada kalian sehingga kalian mau membantunya untuk membunuh kami?"
"Diajeng Retno Susilo, engkau saja yang memberitahu ayah dan ibuku tentaug apa yang diceritakan Ken Lasmi kepada kita tempo hari."
Kata Sutejo yang merasa tidak enak terhadap gadis itu. Retno Susilo mengangguk, menghela napas dan berkata.
"Sesungguhnya berat rasa hatiku untuk membeberkan kebusukan seorang yang telah melimpahkan budi kebaikan kepada diriku. Akan tetapi, demi kebenaran, apa boleh buat. Beginilah cerita guruku itu kepada kami Paman Harjodento dan Bibi. Menurut guruku, ketika masih muda terjalin pertalian cinta kasih antara Ken Lasmi dan Paman Harjodento. Akan tetapi katanya, Paman Harjodento mengkhianati cintanya dan menikah dengan bibi Padmosari. Ketika Ken Lasmi mendatangi paman berdua untuk menuntut, katanya paman berdua malah memukul dan mengusirnya. Ken Lasmi merasa sakit hati dan memperdalam ilmunya, akan tetapi berkali-kali ia selalu dapat dikalahkan oleh paman berdua. Nah, demikianlah ceritanya mengapa ia mendendam kepada paman berdua. Sama sekali ia tidak pernah bercerita bahwan telah menculik putera paman berdua."
"Memang demikianlah yaug diceritakan Ken Lasmi atau Nyi Rukmo Petak kepada kami berdua, bapa."
Kata Sutejo membenarkan keterangan Retno Susilo.
"Hemm, ia telah memutar balikkan kenyataan. Tidak aneh, karena memang sejak muda ia memiliki watak yang curang, ganas dan keji. Sesungguhnya beginilah ceritanya. Memang ketika kami masih muda, aku bertemu dan berkenalan dengan Ken Lasmi. Dengan terus terang ia menyatakan cinta kepadaku dan mengharapkan untuk menjadi isteriku. Akan tetapi biarpun pada waktu itu ia adalah seorang wanita yang cantik jelita dan gagah perkasa menarik hati, namun ia memiliki watak yang kejam, culas dan ganas. Karena itulah, maka aku tidak dapat membalas cintanya dan aku menikah dengan wanita pilihan hatiku, yaitu Padmosari. Pada malam pengantin, malam-malam ia datang sebagai pencuri dan berusaha untuk membunuh Padmosari. Akan tetapi kami berdua dapat mencegahnya dan mengusirnya. Setelah itu, berulang kali dalam waktu tiga tahun ia berusaha untuk membunuh kami namun selalu dapat kami gagalkan. Nah, ketika itu kami telah mempunyai seorang putera, yaitu Tejomanik atau yang sekarang disebut Sutejo. Pada suatu hari, anak kami itu hilang dan kami tahu bahwa penculiknya bukan lain tentulah Ken Lasmi. Kami sudah berusaha mencarinya. Bertahun-tahun kami mencari, akan tetapi Ken Lasmi seperti lenyap ditelan bumi. Tidak ada kabar ceritanya lagi sampai sekarang. Tidak tahunya ia telah mengubah namanya menjadi Nyi Rukmo Petak. Itulah sebabnya, ketika nak Retno yang datang menyerang kami mengatakan bahwa ia disuruh oleh gurunya yang bernama Nyi Rukmo Petak, kami menjadi bingung karena merasa tidak pernah mendengar nama itu, apalagi bermusuhan. Baru setelah ia sendiri muncul tempo hari. kami mengenalnya sebagai Ken Lasmi. Gusti masih melindungi kita semua sehingga ia kembali gagal membunuh kita berkat ketangkasan nak Retno Susilo dan engkau sendiri, Tejo."
Sutejo menghela napas panjang "Kita semua sepatutnya bersukur kepada Gusti Yang Maha Kasih yang telah melindungi kita semua, terutama saya amat bersukur dan berterima kasih karena sudah dipertemukan kembali dengan orang tua saya. Selesailah sudah satu di antara beberapa buah tugas yang barus saya lakukan dan penuhi dalam hidup ini, sesuai dengan petunjuk mendiang bapa Guru."
"Tugas lain apa lagi yang barus kau laksanakan, Tejo?' tanya Harjodento.
"Pertama, saya harus merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan pencurinya dan kedua saya harus mempergunakan pusaka itu untuk berjuang membantu dan membela Mataram dalam menghadapi para pemberontak"
Jawab Sutejo,
Ayahnya mengangguk-angguk.
"Tentang membela Mataram itu aku setuju sepenuhnya, katena memang sudah menjadi kewajiban setiap orang kawula Mataram untuk membela negaranya dari ancaman para pemberontak. Akan tetapi tentang Pecut Sakti Bajrakirana itu, aku tidak mengerti. Pusaka apakah itu dan siapa pencurinya?"
"Ceritanya panjang, Bapa. Pecut Sakti Bajrakirana adalah sebuah pusaka yang dikeramatkan dan dijunjung tinggi oleh para murid Jatikusumo, perguruan yang dahulu didirikan oleh Eyang Guru Resi Limut Manik. Pusaka itu tadinya disimpan oleh Eyang Resi, akan tetapi pada suatu hari, Paman Guru Bhagawan Jaladara telah mencurinya dari Padepokan Eyang Resi."
"Kalau begitu Bhagawan Jaladara itu adalah saudara dari mendiang gurumu, Bhagawan Sidik Paningal?"
Tanya Harjodento.
"Benar, Bapa. Eyang Guru Resi Limut Manik mempunyai tiga orang murid. Yang pertama adalah Uwa Guru Bhagawan Sindusakti yang menjadi ketua perguruan Jatikusumo menggantikan Eyang Resi, dan Kakang Cangak Awu ini adalah murid beliau. Yang kedua adalah mendiang Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal yang merawat dan mendidik saya, kemudian yang ketiga adalah Paman Bhagawan Jaladara itulah."
Ayahnya mengangguk-angguk.
"Lalu, bagaimana kelanjutannya ?"
"Setelah mencuri Pusaka Bajrakirana, Paman Bhagawan Jaladara yang menjadi ponggawa Kadipaten Wirosobo itu mengajak teman-temannya dari Wirosobo mendatangi mendiang Bapa Guru. Dia membujuk Bapa Guru untuk membantu Kadipaten Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram- Bapa Guru menolak dan Paman Bhagawan Jaladara lalu mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana untuk menyerang Bapa Guru. Melihat pecut yang menjadi pusaka perguruannya itu, Bapa Guru tidak berani melawan dan membiarkan dirinya disiksa oleh Paman Bhagawan Jaladara yang juga menyiksa saya yang mencoba untuk membela Bapa Guru. Kemudian dia pergi Setelah mengancam bahwa kalau selama satu bulan Bapa Guru belum Juga mau tunduk dan menuruti kehendaknya, dia akan kembali dan membunuh kami."
"Kenapa ada bhagawan yang begitu jahat?"
Seru Pusposari penasaran.
"Baik buruknya seseorang tidak dapat diukur dari Jubahnya atau kedudukannya. Banyak pendeta palsu di dunia ini, diajeng Pusposari."
Kata Retno Susilo.
"Hemm, dia tentu mempunyai pandangan sendiri dan berdasarkan pandangannya itu, dia tentu merasa bahwa dirinya baik dan benar."
Kata Harjodento.
"Teruskan ceritamu, Tejo."
"Bapa Guru mengutus saya menghadap Eyang Guru Resi Limut Manik. Dari beliau saya tahu bahwa pecut pusaka itu dicuri oleh Paman Jaladara. Setelah mendengar laporan saya, Eyang Resi lalu memindahkan tenaga saktinya kepada saya dan memerintahkan saya untuk merampas kembali pusaka itu untuk dipergunakan membantu Mataram. Akhirnya saya berhasil bertemu dengan Paman Jaladara dan merampas pecut pusaka itu dari tangannya. Pada waktu itulah saya bertemu dan berkenalan dengan diajeng Retno Susilo."
"Dan selanjutnya kami menjadi sahabat baik."
Sambung Retno Susilo yang takut kalau-kalau pemuda itu akan menceritakan tentang kenakalannya sebagai seorang "pemuda". Akan tetapi tentu saja Sutejo tidak mau menceritakan peristiwa itu.
"Dengan membawa Pecut Bajrakirana saya pulang ke lereng Kawi, ke padepokan Bapa Guru. Akan tetapi setelah tiba di sana saya melibat Bapa Guru sudah terluka parah. Paman Jaladara mengancam akan membunuh Bapa Guru kalau saya tidak menyerahkan pecut pusaka itu, terpaksa untuk menyelamatkan Bapa Guru saya menyerahkan pecut pusaka kepadanya dan mereka melepaskan Bapa Guru. Saya lalu mengamuk dan mereka melarikan diri. membawa pecut pusaka itu bersama mereka."
"Hemm, sayang sekali pecut pusaka itu terjatuh lagi ke tangan mereka."
Kata Harjodento.
"Kemudian bagaimana?"
Dia merasa tertarik sekali akan cerita puteranya itu.
"Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal akhirnya tewas karena luka-lukanya. Saya lalu pergi ke puncak Semeru untuk menghadap Eyang Guru Resi Limut Manik akan tetapi setibanya di sana saya melihat Eyang Resi telah terluka parah dikeroyok Paman Jaladara dan tiga orang kawannya, dan agaknya Eyang Resi Juga tidak melawan karena Bhagawan Jaladara memegang Pecut Sakti Bajrakirana yang dikeramatkan. Akan tetapi saya melihat ada seorang pemuda perkasa yang membela Eyang Resi sehingga Eyang Resi belum terbunuh. Pemuda Itu ternyata adalah Sang Puteri Wandansari yang Juga merupakan murid termuda dari Jatikusumo."
"Diajeng Wandansari memang adik seperguruan saya."
Kata Cangak Awu yang juga mendengarkan semua cerita Sutejo dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Kini semakin yakinlah dia bahwa Sutejo sama sekali tidak membunuh Eyang Resi Limut Manik seperti yang dituduhkan Bhagawan Jaladara, melainkan paman gurunya itu sendirilah yang jahat dan licik.
"Saya segera membantu pemuda itu dan akhirnya kami dapat memukul mundur mereka yang melarikan diri. Dua orang cantrik padepokan terbunuh oleh Bhagawan Jaladara dan Eyang Resi terluka parah sekali, Akun tetapi Eyang Resi dapat menahan diri sampai dua pekan lamanya dan selama dua pekan itu Eyang Resi melatih saya dengan ilmu pecut Bajrakirana dan melatih Sang Puteri Wandansari dengan ilmu pedang Kartika Sakti. Eyang Resi juga menyerahkan pedang Kartika Sakti kepada Sang Puteri, dan menyerahkan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana kepada saya. Eyang Resi berpesan kepada saya agar saya merampas kembali Pecut Barjakirana dan mempergunakannya untuk membela Mataram. Demikianlah kisahnya, Bapa. Dan dalam perjalanan saya untuk mencari Paman Jaladara untuk merampas kembali pecut pusaka, saya bertemu dengan diajeng Retno Susilo yang minta agar saya suka membantunya menghadapi musuh-musuh gurunya. Untung saya memenuhi permintaannya itu sehingga dengan jalan itu saya dapat bertemu kembali dengan Bapa dan Ibu."
Harjodento menghela napas panjang.
"Hemm, semua itu gara-gara Kadipaten Wirosobo yang hendak memberontak. Kalau saja Bhagawan Jaladara tidak menjadi pejabat di Wirosobo dan kadipaten itu tidak memberontak, agaknya tidak akan terjadi semua peristiwa menyedihkan ini. Bahkan Bhagawan Jaladara tega untuk menghancurkan Jatikusumo."
"Apa maksud Bapa ? Menghancurkan Jatikusumo ?"
Tanya Sutejo heran.
"Biarlah anak mas Cangak Awu yang akan menceritakan peristiwa itu yang menyebabkan anak mas Cangak Awu sekarang berada di sini."
Kata Harjodento.
"Kakang Cangak Awu, apakah yang telah terjadi dengan Jatikusumo ?"
Tanya Sutejo.
"Adi Sutejo, malapetaka besar telah menimpa Jatikusumo sehingga mengakibatkan tewasnya Bapa Guru Sindusakti, Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini dan mungkin semua murid Jatikusumo yang berada di perguruan itu mati semua."
Kata Cangak Awu dan wajahnya berubah merah sekali, kedua matanya sayu dan seperti orang yang hendak manangis.
Saking kagetnya Sutejo sampai melompat berdiri dengan mata terbelalak.
"Apa.......? Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?"
"Duduklah, Adi Sutejo. Urusan ini memang dapat membuat orang mati penasaran. Kakang Priyadi telah murtad. Dia menuntut agar kedudukan ketua Jatikusumo diserahkan kepadanya. Dia datang dibantu oleh Paman Jaladara yang datang bersama kawan-kawannya para Jagoan Wirosobo itu. Juga dibantu oleh dua orang datuk sesat yang bernama Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Si jahanam murtad Priyadi itu membunuh Bapa Guru, Juga Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini tewas oleh kawan-kawannya yang amat sakti."
"Tapi.......tapi bagaimana mungkin Priyadi mampu membunuh Uwa Guru Bhagawan Sindusakti? Aku pernah melihat ketika dia melawan wanita iblis bernama Sekarsih itu, ilmu kepandaiannya tidak sangat tinggi."
"Memang demikian, akan tetapi entah bagaimana. Ketika dia datang menyetbu, dia bukanlah Priyadi yang biasa. Kepandaiannya hebat sekali seperti iblis, dan dia telah dapat pula menarik Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo dan wanita iblis itu menjadi sekutunya. Juga Pecut Bajrakirana telah berada di tangannya. Aku Juga melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi aku terkena tendangan Ki Klabangkolo sehingga terluka berat. Lalu aku melarikan diri karena tekadku, aku harus hidup untuk dapat membalaskan semua sakit hati itu, Adi Sutejo! Kalau aku terus melawan, tentu aku akan mati pula. dan kalau aku mati, siapa yang kelak akan membalaskan dendam ini?"
Sutejo mengangguk.
"Aku mengerti pendirianmu itn, Kakang Cangak Awu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat datang ke sini? Sungguh merupakan suatu hal yang kebetulan sekali!"
"Aku jatuh pingsan di tepi bengawan dan diajeng Pusposari yang menolongku, membawaku ke sini dan di sini aku diobati sampai sembuh. Aku berhutang nyawa kepada keluarga pimpinan Nogo Dento yang ternyata adalah keluargamu juga. Aku merasa girang sekali engkau telah bertemu dengan ayah bunda dan adikmu."
"Adikku.....?"
Sutejo memandang kepada ayah dan ibunya dan wajahnya berseri.
"Pusposari ini adalah anak angkat kami, akan tetapi sudah kami anggap sebagai anak kandung sendiri. Dialah adikmu, Tejo."
Kata Padmosari.
Sutejo memandang kepada Pusposari dan wajahnya berseri gembira.
"Wah, untung sekali aku! Tahu-tahu telah mempunyai seorang adik yang sudah begini besar dan cantik manis!"
"Aaahh, Kakang Tejo, kata-katamu membuat aku menjadi malu!"
Kata Pusposari sambil menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya terhias senyuman senang. Hati gadis mana yang tidak akan menjadi bangga dan senang kalau menerima pujian bahwa ia can"tik manis?
"Sekarang kita telah mendengarkan semua pengalaman dan mengetahui keadaan masing-masing. Bahkan kami telah mengetahui keadaan anak mas Cangak Awu yang sudah sebatang kara. Akan tetapi kami belum mengetahui tentang keluarga nak Retno Susilo. Siapakah keluargamu, nak Retno dan di mana mereka berada?"
"Ayah ibuku masih hidup dan mereka tinggal di kaki Gunung Kelud dalam Hutan Kebojambe. Ayahku bernama Ki Mundingsosro dan dia adalah Ketua perkumpulan Sardulo Cemeng."
Retno Susilo menerangkan dengan singkat.
"Bapa, diajeng Retno Susilo adalah puteri Paman Mundingsosro yane gagah perkasa. Perkumpulan Sardulo Cemeng adalah perkumpulan yang menampung para pelarian dari tanah timur yang tidak mau tunduk terhadap para pemberontak"
Sutejo menjelaskan.
"Bagus sekali. Sekarang kita semua sudah mengetahui keadaan masing-masing Kita berada di antara keluarga sendiri Biarpun anak mas Cangak Awu dan Retno Susilo merupakan orang luar, namun sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri. Aku ingin membicarakan masalah yang serius dan terus terang."
Kata Padmosari dengan wajah serius dan ia memandangi wajah orang-orang muda itu satu demi satu dengan sepasang matanya yang bersinar tajam.
Sutejo, memandang kepada ibunya sambil tersenyum. Hatinya dipenuhi kemesraan dan kekaguman, kasih sayang yang mendalam terhadap wanita yang dikenal sebagai, ibu kandungnya ini dan dia merasa bangga memiliki ibu yang demikian anggun dan cantik.
"Wah, Ibu agaknya hendak berteka teki. Ada rahasia apakah gerangan yang hendak ibu sampaikan kepada kami?"
"Aku adalah seorang tua, tidak main-main dan juga tidak berteka-teki. melainkan mengharapkan kejujuran kalian orang-orang muda. Pertama kuajukan pertanyaanku kepada puteraku sendiri, engkau, Tejo. Semua pertanyaan yang akan kuajukan kepada kalian ini sudah kurundingkan dengan suamiku dengan matang. Nah, Tejo, jawablah. Apakah sejauh ini engkau telah mengikatkan dirimu dengan seorang wanita? Maksudku, apakah engkau telah memiliki pilihan seorang wanita untuk menjadi isterimu?"
Ditanya seperti itu, Tejo merasa seolah seperti ditodong ujung keris sehingga dia gelagapan juga. Dan sepasang mata ibunya mencorong Seperti hendak menembus dadanya dan menjenguk isi hatinya. Segera terbayang sebuah wajah yang cantik jelita dengan sepasang mata yang bersinar tajam berwibawa, wajah yang anggun dan agung, wajah Puteri Wandansari! Dia memandang kosong ke depan dan wajah elok itu tersenyum kepadanya. Barulah dia menyadari bahwa wajah Puteri Wandansari itu telah berubah menjadi wajah Retno Susilo yang memandangnya dengan senyum simpul karena gadis itu duduk berhadapan dengan dia sehingga kini pandang mata mereka bertemu!
Seketika itu teringatlah dia bahwa tidak pantas bagi seorang pemuda biasa seperti dia mencinta seorang dara bangsawan tinggi, puteri sang prabu Pandan Cokrokusumo atau Sultan Agung di Mataram. Bagaimana mungkin seekor burung gagak merindukan seekor burung cenderawasih? Dia cepat melupakan Puteri Wandansari dan sebagai gantinya, Seluruh hati akal pikirannya tertuju kepada Retno Susilo. Hanya gadis inilah, sesudah Puteri Wandansari, yang menyentuh perasaan cintanya. Dan dia tabu benar bahwa Retno Susilo mencintanya, mencintanya dengan tulus dan murni seperti yang telah dia rasakan benar dan terlihat dalam gerak-geriknya, tutur sapanya dan pandang matanya.
"Bagaimana, Tejo?"
Ibunya mendesak melihat puteranya seperti orang melamun. Pertanyaan ini menarik Sutejo kembali ke alam sadar dan dia menjawab gugup.
"Ah, apa ibu.... ah, saya belum memikirkan soal itu?"
"Jadi engkau belum mempunyai pasangan atau kekasih hati?"
Tanya ibunya.
Dengan wajah kemerahan Sutejo menggeleng kepala tanpa menjawab, lalu menundukkan mukanya.
"Bagus, itu yang kuharapkan!"
Seru Padmosari gembira.
"Sekarang aku memindahkan pertanyaan kepada nak Retno Susilo.
"Maafkan, ya nak Retno, aku memang hendak bicara blak-blakan dalam suasana kekeluargaan dan mengharapkan jawaban yang blak-blakan dan jujur pula. Nah, aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sampai sekarang engkau belum terikat oleh seorang pria? Ataukah sudah ada pasangan atau pilihan hatimu? Barangkali oleh orang tuamu engkau sudah ditunangkan dengan seorang pemuda?"
"Ihh, bibi ini!"
Jawab Retno Susilo dan kedua pipinya kemerahan, akan tetapi matanya mengerling kepada Sutejo.
"Aku..... aku belum bertunangan...."
"Tapi sudah mempunyai pilihan hati?"
Kejar Padmosari.
Retno Susilo tersipu dan menunduk akan tetapi matanya mengerling berkali-kali ke arah Sutejo yang duduk di depannya, lalu ia menggeleng kepala dan menjawab lirih.
"Aku tidak tahu....."
Padmosari dan suaminya, Harjodento, memandang kepada putera mereka dan kepada Retno Susilo bergantian dan mereka tersenyum maklum melihat kedua orang muda itu menundukkan muka.
"Baik sekali kalau begitu, nak Retno. Sekarang aku ingin menyatakan rencana kami. Kami menghendaki agar kalian berdua dapat berjodoh. Bagaimana pendapatmu, Tejo? Engkau tentu setuju kalau kami menjodobkanmu dengan Retno Susilo, bukan?"
Sutejo memandang kepada Retno Susilo yang masih menundukkan mukanya dan dia menghela napas panjang.
"Hal perjodohan saya serabkan saja kepada kebijaksanaan bapa dan ibu. Akan tetapi saya sama sekali belum berpikir tentang pernikahan. Seperti telah saya katakan tadi, Saya masih mengemban tugas-tugas yang teramat penting. Saya harus merampas kembali Pecut Bajrakirana, dan saya juga tidak boleh tinggal diam saja membiarkan Kakang Priyadi berbuat sewenang wenang mengkhianati Jatikusumo. Saya harus membalas atas kematian Bapa Guru bhagawan Sidik Paningal, kematian Eyang Guru Resi Limut Manik, kematian Uwa Guru Bhagawan Sindusakti. Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini. Saya harus menghukum orang-orang jahat seperti Bhagawan Jaladara dan Priyadi. Kemudian saya harus membela Mataram menghadapi Kadipaten Wirosobo dan para bupati dan adipati yang memberontak. Sebelum semua kewajiban itu terlaksana, bagaimana saya dapat mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan, ibu?"
"Tentu saja semua tugas mulia itu harus dilaksanakan dan dipenuhi, anakku. Pelaksanaan pernikahan dapat diadakan kemudian, akan tetapi yang penting engkau sudah menyetujui ikatan perjodohan ini. Bagaimana ?"
Sutejo menundukkan mukanya.
"terserah kepada bapa dan ibu, saya akan menaatinya."
Padmosari tersenyum senang dan ia lalu memandang kepada Retno Susilo.
"Nak Retno Susilo. Kami sebagai orang tua dapat melihat betapa hubungan persahabatanmu dengan anak kami Tejo amatlah akrabnya, karena itu kami ingin mengikat dan mengekalkan hubungan antara kalian, dari sahabat menjadi suami isteri. Bagaimana kalau kami berkunjung ke rumah orang tuamu dan mengajukan pinangan atas dirimu untuk menjadi jodoh anak kami Tejomanik? Engkau setuju, bukan?"
Retno Susilo sudah dapat mengatasi rasa malunya. Ia tidak akan menyembuyikan perasaannya terhadap Sutejo. Ia memang mencinta pemuda itu, mencinta mati-matian sejak pertama kali berjumpa dengan Sutejo. Orang tuanya memang mempunyai niat untuk menjodohkan ia dengan Sutejo. Kalau dilamar, tentu orang tuanya akan menerimanya dengan menang hati.
"Paman dan bibi, aku adalah seorang anak perempuan. Dalam soal perjodohan tentu saja aku hanya menurut apa yang dikehendaki orang tuaku. Maka hal itu aku serahkan saja untuk diselesaikan antara paman berdua dan orang tuaku. Untuk sekarang ini, keinginanku hanya satu, yaitu, membantu kakangmas Sutejo untuk menunaikan tugas-tugasnya."
"Hal itu bagus sekali!"
Puji Harjodento.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengan tingkat kepandaianmu yang sudah tinggi, engkau akan merupakan bantuan yang amat berharga dan boleh diandalkan bagi Sutejo Kalau kalian berdua maju bersama, kukira segala persoalan akan dapat diselesaikan."
Retno Sasilo mengangguk dan memandang kepada Sutejo. Kebetulan pemuda itupun sedang memandangnya sehingga dua pasang mata bertemu pandang, penuh pengertian, akan tetapi keduanya membungkam. Di dalam hatinya, Retno Susilo merasa berbahagia sekali. Selama ini ia sudah menyatakan perasaan cintanya terhadap Sutejo, akan tetapi pemuda itu bersikap biasa biasa saja, menganggapnya sebagai seorang sahabat biasa. Dan kini, oraog tua pemuda itu sudah menyatakan hendak menjodohkan mereka dan Sutejo tidak menolak! Tentu saja ia merasa berbahagia sekali! Akan tetapi, dalam hati Sutejo terdapat keraguan atas perasaan hatinya sendiri. Dia tahu bahwa dia mencinta Puteri Wandansari. Kalau saja tidak ada sang puteri itu, tentu akan mudah sekali baginya untuk jatuh cinta kepada Retno Susilo yang juga amat disukainya dan yang membuatnya merasa kagum dan tertarik. Akan tetapi, dia melihat bahwa tidak mungkin bagi dia untuk mempersunting sang puteri. Karena itulah maka dia tidak menolak usul Orang tuanya untuk berjodoh dengan Retno Susilo yang dia tahu amat mencintainya.
"Hatiku senang sekali karena kalian berdua, Tejo dan Retno Susilo, telah menyetujui ikatan perjodohan ini. Kami tinggal pergi berkunjung ke perkampungan Sardulo Cemeng untuk mengajukan pinangau kepada orang tua Retno Susilo, sekarang kami hendak membicarakan hal lain. Sekali ini kami hendak membicarakan ikatan perjodohan lagi. Anak mas Cangak Awu, kami sudah tahu bahwa
(Lanjut ke Jilid 20)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
andika sekarang sudah yatim piatu dan hidup sebatang kara, oleh karena itu keputusannya terletak di tangan andika sendiri. Anak mas Cangak Awu, kami hendak bicara blak-blakan saja. Bagaimana tanggapan andika kalau kami mengusulkan ikatan perjodohan antara andika dan puteri kami Pusposari?"
Cangak Awu adalah seorang laki laki yang jantan dan jujur, tidak suka memukai banyak tata krama. Mendengar pertanyaan dari Padmosari itu, dia menoleh dan memandang sebentar kepada Pusposari, kemudian memandang kepada Harjodento dan Padmosari, lalu berucap dengan nada suara lantang terbuka.
"Paman Harjodento sekeluarga telah menolong dan menyelamatkan saya. Budi itu teramat besar dan sekarang paman berdua bahkan hendak memberi penghormatan yang besar sekali kepada saya dengan menjodohkan saya dengan Nimas Pusposari. Bagaimana saya berani menolaknya? Saya hanya dapat mengucap syukur dan menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, bahwa saya seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan papa, telah mendapatkan kehormatan dan kemuliaan yang demikian besar."
"Ah, anak mas Cangak Awu. bukan itu yang kami kehendaki. Kami tidak ingin kalau andika menyetujui ikatan pernikahan ini sebagai balas budi terhadap kami. Kami hanya menghendaki Ikatan perjodohan ini terjadi karena rasa cinta kedua pihak. Sekarang katakan terus terang, anak mas Cangak Awu. Apakah engkau setuju menjadi calon suami Pusposari karena andika mencintanya?"
Tanya Harjodento dengan blak-blakan. Sutejo, yang mendengarkan semua ini, merasa kagum dan bangsa sekali kepada ayah ibunya. Sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan bijaksana sekali, yang bicara secara jujur dan blak-blakan demi kebaikan mereka semua!
Mendengar pertanyaan yang langsung dari Harjodento, Cangak Awu tentu saja merasa rikuh. Akan tetapi pemuda ini lalu membusungkan dada menegakkan kepalanya dan menjawab dengan tegas.
"Ya benar, saya mencintanya, paman!"
"Bagus, kami menghargai kejujuranmu, anak mas Cangak Awu!"
Kata Padmosari yang kemudian menoleh kepada puterinya.
"Nah, Pusposari, bagaimana pendapatmu tentang usul ikatan perjodohanmu dengan anak mas Cangak Awu?"
Sebagai seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun, tentu saja Pusposari tersipu malu mendengar pertanyaan blak-blakan tentang perjodohan itu. Ia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara lirih seperti berbisik.
"Ibu, saya hanya menurut dan menaati kehendak bapa dan ibu dalam urusan Ini. Terserah kepada bapa dan ibu saja."
Harjodento tersenyum dan berkata.
"Pusposari, kami tidak menghendaki jawaban seperti itu. Kami tidak menghendaki kelak dikatakan memaksakan kehendak kami sendiri kepada anak. Kami telah melihat sikap dan gerak gerik kalian berdua, karena itu kami menghendaki agar engkau menjawab dengan tegas Ya atau tidak engkau mencinta anak mas Cangak Awu?"
Muka Pusposari menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia menghilang agar terbebas dari perasaan rikuh dan malu seperti itu. Mau tidak mau ia harus menjawab. Ingin rasanya ia menutupi rasa malunya dengan jawaban tidak, namun hal itu akan bertentangan dengan suara hatinya. Maka, ia lalu mengangguk dan kepalanya semakin menunduk!
"Bagus! Cukuplah jawaban itu! Jadi kalian berdua sudah sama menyetujui! Tinggal menanti saat peresmiannya."
Kata Harjodento dengan gembira.
"Nah, kalau semua persoalan dibicarakan dari hati ke bati, dengan jujur dan blak-blakan, lebih enak, bukan? Kita mempunyai hak dan kewajiban masing-masing, hak menentukan pendapat dan kewajiban untuk memenuhi apa yang telah kita utarakan."
"Ah, senang hatiku!"
Kata Padmosari.
"Bukan saja aku mendapatkan kembali puteraku yang hilang, akan tetapi sekaligus aku mendapatkan dua orang mantu!"
Semua orang tersenyum dan Sutejo berkata kepada Cangak Awu dengan hati geli.
"Lalu bagaimana hubunganku dengan Kakang Cangak Awu? Dia terhitung kakak seperguruanku dan lebih tua dariku, akan tetapi dia akan menjadi adik iparku. Aku harus menyebutmu kakang atau adi?"
"Karena Cangak Awu akan menjadi adik iparmu, tentu saja engkau menjadi kakaknya."
Kata Harjodento dengan gembira.
"Paman dan bibi, ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada paman dan bibi, yaitu bahwa di dalam hati saya telah mengambil keputusan untuk membalas si jahanam Priyadi dan orang-orang yang telah membunuh Bapa Guru dan saudara-saudara seperguruan saya. Karena itu, saya ingin membantu Kakangmas Sutejo lebih dulu sebelum......sebelum dilangsungkan pernikahan."
"Adimas Cangak Awu,"
Kata Sutejo dengan suara serius.
"Aku mempunyai pendapat lain. Engkau bahkan lebih dibutuhkan di sini untuk menjaga keselamatan orang tuaku. Siapa tahu Ken Lasmi masih belum berhenti dan kalau ia datang menyerang lagi, engkau dapat membantu keluarga di sini untuk menghadapinya. Biarlah aku yang akan membereskan jahanam Priyadi itu, bersama diajeng Retno Susilo."
"Apa yang dikatakan kakangmas Tejo itu benar sekali. Kakang Cangak Awu. Kalau engkau hendak membantu Kakangmas Tejo dan Mbakayu Retno Susilo, akupun ingin membantu mereka. Lalu siapa yang akan membantu bapa dan ibu kalau iblis wanita itu datang lagi ?"
Kata Pusposari yang kini sudah tidak lagi merasa canggung dan malu.
Harjodento dan Padmosari saling pandang, kemudian Harjodento berkata.
"Sebetulnya kami berdua tidak berhak menghalangi niat, kalian semua untuk menentang orang-orang jahat itu dan mendapatkan kembali pecut pusaka yang dirampas orang, walaupun dalam penunaian tugas itu kalian akan menghadapi lawan-lawan yang tangguh dan membahayakan keselamatan kalian. Seorang pendekar harus berani menghadapi bahaya demi memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dan mengenai kami berdua di sini, tidak perlu kalian khawatirkan, Kami berdua dapat menjaga diri, andaikata Ken Lasmi berani datang lagi mengacau. Kiranya kami berdua masih sanggup untuk menandingi Ken Lasmi. Pula, menurut keterangan anak mas Cangak Awu, Priyadi yang telah menguasai Jatikusumo itu bergabung dengan orang-orang sakti dari Wirosobo, bahkan dibantu datuk sesat Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo dengan Sekarsih yang kesemuanya merupakan lawan yang amat tangguh. Bagaimana kalian berdua saja, atau bahkan berempat akan mampu menandingi mereka? Belum lagi diperhitungkan anak buah mereka yang banyak. Kami harap engkau akan bertindak bijaksana dan cerdik, angger Tejo dan jangan sembrono. Tidak boleh nekat mengandalkan keberanian belaka melawan pihak musuh yang jauh lebih kuat keadaannya. Kenekatan tanpa perhitungan seperti itu bukan merupakan perbuatan yang gagah berani, melainkan merupakan sebuah kebodohan, angger."
"Lalu, apa yang harus saya lakukan, bapa?" "Engkau harus memperkuat keadaanmu. Biarlah anak mas Cangak Awu dan adikmu Pusposari membantu engkau dan Retno Susilo, dengan berempat keadaanmu akan lebih kuat lagi. Dan bukan hanya itu. Untuk menghadapi anak buah mereka, biarlah para murid Nogo Dento mengi kutimu. Ada lima puluh orang murid Nogo Dento yang dapat dikerahkan untuk membantumu.
"Kakangmas Sutejo, apa yang dikatakan ayahmu memang benar. Kita harus memperkuat diri, dan akupun akan minta bantuan para murid Sardulo Cemeng. Aku dapat mengerahkan sedikitnya lima puluh orang untuk memperkuat pasukan kita."
"Dan aku akan pergi ke Mataram melaporkan tentang pemberontakan Priyadi dan hancurnya Jatikusumo kepada diajeng Puteri Wandansari. Ia tentu tidak akan tinggal diam begitu saja mendengar akan kematian Bapa Guru dan kehancuran Jatikusumo"
Harjodento mengangguk angguk.
"Bagus sekali kalau begitu kau melakukan tugas masing-masing. Jangan tergesa-gesa pergi ke Jatikusumo, Tejo. Kita menanti sampai bala bantuan itu datang berkumpul di sini Baru kita berangkat dan mengerahkan semua kekuatan untuk menghancurkan Priyadi dan sekutunya itu."
"Kita.....?"
Padmosari bertanya, memandang kepada suaminya dengan wajah berseri.
"Ya, kita. Termasuk engkau dan aku! Bagaimana mungkin kita berdiam diri saja dan membiarkan anak-anak sendiri menanggulangi kejahatan orang-orang yang hendak memberontak terhadap Mataram itu?"
"Baik, paman. Akan tetapi, sebelum kita melakukan penyerbuan ke sana, kupikir lebih baik kalau Kakangmas Sutejo dan aku pergi melakukan penyelidikan terlebih dulu."
Kata Retno susilo.
"Apa yang dikatakan diajeng Retno itu benar, bapa Kami akan menyelidiki lebih dulu. melihat keadaan pihak musuh dan kalau mungkin saya akan berusaha untuk merampas Pecut Bajrakirana."
"Akan tetapi kalian berdua harus berhati-hati sekali dan Jangan nekat melawan pengeroyokan mereka."
Pesan Harjodento.
"Kami akan berhati-hati, bapa."
Mereka semua membuat persiapan. Dan pada keesokan bannya, Sutejo dan Retno Susilo berangkat untuk melakukan penyelidikan ke Jatikusumo dan juga mereka hendak singgah ke tempat tinggal Ki Mundingsosro untuk minta bantuan pengerahan para anggauta Sardulo Cemeng. Cangak Awu sendiri pergi ke kota raja Mataram untuk menemui Puteri Wandansari dan melaporkan tentang pengkhianatan Priyadi. betapa saudara seperguruan itu bersekongkol dengan orang-orang Wirosobo, Harjodento dan Padmosari bersama puteri merekapun mengadakan persiapan di perkampungan Nogo Dento dan mempersiapkan pasukan yang dilatih untuk menghadapi pertempuran.
Seorang pemuda berjalan menyusuri sungai itu bersama seorang kakek yang berusia enam puluh lima tahun. Pemuda itu adalah Priyadi dan kakek itu bukan lain adalah Resi Wisangkolo yang sudah menjadi sekutu pemuda itu. Kini, pakaian kedua orang itu mewah, seperti pakaian bangsawan saja layaknya. Mereka berdua itu baru saja datang dari sebuah hutan di lereng Gunung Wilis. Hanya berdua saja mereka menghadapi gerombolan Gagak Abang, sebuah gerombolan penjahat yang berjumlah tiga puluh orang lebih dan mereka menalukkan gerombolan itu sehingga ketua gerombolan menyatakan tunduk dan takluk berjanji untuk membantu perguruan Jatikusumo yang dipimpin Priyadi. Dua orang ini terlalu tangguh bagi gerombolan Gagak Abang.
Pribadi memang mengajak Resi Wisangkolo, sekutunya yang paling boleh diandalkan karena sakti mandraguna, dan mereka berdua mendatangi perkumpulan-perkumpulan dan gerombolan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk mencari kekuasaan dan menaklukkan mereka. Dengan cara demikian Priyadi dapat memperoleh banyak sekutu yang siap membantunya memperkuat pasukan Wirosobo kalau waktunya sudan tiba bagi Kadipaten Wirosobo untuk bergerak dan berperang melawan Mataram.
Melihat kekuatan yang dihimpun Priyadi, bekas murid keponakannya yang kini memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu, Bhagawan Jaladara merasa senang sekali. Priyadi dan para sekutunya merupakan kekuatan besar yang akan berguna sekali bagi Wirosobo. Karena itu, Bhagawan Jaladara dengan senang hati menyerahkan Pecut Bajrakirana kepada Priyadi, ditambah lagi harta benda yang diberikan oleh Sang Adipati Wirosobo kepada pemuda itu.
Priyadi telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua Jatikusumo. Akan tetapi tidak ada seorangpun murid Jatikusumo yang lama. Para murid Jatikusumo itu sebagian besar telah terbunuh ketika Priyadi dan kawan kawannya menyerbu dan sisanya melarikan diri cerai berai. Kini Jatikusumo memang memiliki anak buah baru, akan tetapi kesemuanya adalah anak buah yang sama sekali baru. yaitu anak buah yang diberikan oleh Bhagawan Jaladara, yaitu pasukan dari Wirosobo, bercampur dengan anak buah Sekarsih dan Ki Klabangkolo. Jumlah anak buah Jatikusumo yang baru ada seratus lima puluh orang, di antaranya ada belasan orang wanita bekas anak buah Sekarsih. Seratus lima puluh orang ini merupakan orang-orang gemblengan yang sudah terlatih, rata-rata memiliki kedigdayaan. Dan Priyadi sudah menggembleng mereka semua dengan mengajar kan Aji Gelap Musti yang menjadi ciri khas aji pukulan Jatikusumo.
Kini Priyadi bersama Resi Wisangkolo sedang berjalan untuk kembali ke Pantai Selatan yang menjadi perkampungan Jatikusumo setelah selama berpekan-pekan mereka berdua pergi menalukkan banyak perkumpulan dan gerombolan penjahat, menarik mereka menjadi sekutu mereka. Priyadi tampak gagah dan tampan dengan pakaiannya sebagai seorang bangsawan muda. Resi Wisangkolo juga berpakaian mewah. Kakek yang sudah enam puluh lima tahun usianya ini, yang bertubuh tinggi kurus, berambut putih dan mukanya seperti muka orang muda tampak pesolek, jauh berbeda dengan sebelum dia bergabung dengan Priyadi. Akan tetapi dia masih tetap memegang tongkat andalannya, yaitu tongkat ular hitam.
Ketika mereka tiba di luar dusun Jaten, di tepi sungai, Priyadi berhenti melangkah. Dia memandang ke arah sungai itu dan melayangkan pandang matanya ke arah beberapa buah batu hitam yang tersembul di permukaan sungai, di bagian pinggirnya. Dia termenung seperti ada yang dipikirkan. Melihat sikap pemuda ini, Resi Wisangkolo menjadi heran.
"Anak mas Priyadi, kenapa andika berhenti dan termenung? Apa yang andika pikirkan?"
Resi Wisangkolo adalah seorang yang sakti mandraguna.
Akan tetapi terhadap pemuda itu dia bersikap hormat karena dia tahu benar bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kedigdayaan yang mampu menandingi bahkan mengatasinya.
Priyadi sadar dari lamunannya dan menoleh, memandang wajah kakek itu dan menghela napas panjang.
"Paman Resi Wisangkolo, begitu tiba di tempat ini teringatlah aku akan pengalamanku dahulu, beberapa bulan yang lalu, Aku teringat akaa seorang gadis yang denok ayu bernama Sumarni...."
Resi Wisangkolo terkekeh.
"Heh-heh-heh, tentu gadis itu hebat sekali maka andika sampai tidak dapat melupakannya."
Priyadi tersenyum.
"Ia memang manis sekali, paman. Andika sendiri tentu akan kagum kalau melihatnya."
"Wah, kalau sampai aku dapat menjadi kagum, itu berarti bahwa gadis itu tentu menarik sekali. Tidak banyak wanita di dunia ini yang dapat menimbulkan kekaguman dalam hatiku."
"Kalau begitu, mari kita mencarinya paman. Aku yakin pamanpun akan terpesona melihat gadis itu!"
Kata Priyadi penuh semangat dan mereka berdua lalu memasuki dusun Jaten yang terletak di dekat sungai itu.
Tidak sukar bagi Priyadi untuk mendapatkan keterangan dari penduduk dusun Jaten di mana rumah gadis bernama Sumarni. Dua orang itu segera menuju ke rumah yang ditunjukkan orang. Kebetulan sekali pada pagi hari itu Sumarni sedang menyapu pekarangan depan. Gadis ini berpakaian sederhana sekali, rambutnya juga tidak tersisir rapi, akan tetapi kesederhanaannya itu bahkan lebih menonjolkan kecantikannya yang aseli. Sumarni memang seorang gadis yang denok dan ayu, tubuhnya sedang tumbuh bagaikan setangkai bunga sedang mekar dan wajahnya yang manis itu amat menarik. Biarpun ia seotang dusun namun kulitnya putih kuning mulus, rambutnya ngandan-andan, matanya bening dan terutama sekali, mulutnya berbibir indah sekali, kemerahan berbentuk gendewa. Resi Wisangkolo sendiri menelan ludah bagaikan seekor srigala melihat sepotong daging kelinci yang segar.
Sumarni yang sedang menyapu itu mendengar kedatangan dua orang itu. Ia menghentikan pekerjaannya dan mengangkat muka memandang Semula ia mengerutkan alis karena heran melihat ada dua orang asing berpakaian seperti bangsawan memasuki pekarangannya. Akan tetapi ketika ia melihat wajah Priyadi, sepasang mata yang jeli dan bening itu terbelalak, mulut yang mungil itupun terbuka dan sapu itu terlepas dari tangannya. Ia meragu akan tetapi mulutnya mengeluarkan seruan yang hampir berupa bisikan penuh harap
"......kakangmas.....Permadi......??"
Priyadi tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.
"Sumarni, manisku, andika masih ingat kepadaku?"
"......paduka......kakangmas.....Permadi.....?"
Kembali gadis itu berseru, kini suaranya lebih nyaring dan ia melangkah maju.
"Benar, aku kekasihmu Permadi!"
Kata Priyadi.
"Ahh....., kakangmas Permadi......akhirnya paduka datang juga......!"
Sumarni lari menghampirinya, menubruk dan tenggelam ke dalam dekapan Priyadi. Gadis itu menangis terisak-isak, menyembunyikan mukanya di atas dada pemuda itu.
"......kakangmas Permadi......berbulan-bulan saya menunggu, kenapa paduka tidak kunjung datang....?"
Sumarni mengusap air matanya.
"..... katanya paduka hendak meminang saya.....?"
Priyadi merangkul lebih erat.
"Sekarang aku sudah datang untuk menjemputmu, sayang. Mari engkau ikut denganku, sekarang juga."
Setelah berkata demikian, Priyadi melepaskan rangkulannya dan menggandeng tangan gadis itu, menariknya untuk diajak pergi dari situ Akan tetapi Sumarni menahan diri dengan ragu.
"Akan tetapi, kakangmas, saya harus memberi tahu bapa ibu lebih dulu......!"
"Tidak usah ! Engkau mau ikut denganku atau tidak?"
Priyadi mendesak "Saya mau..... saya mau.... akan tetapi Ayah ibu....."
Priyadi menarik tangan Sumarni.
"Sudahlah, jangan pikirkan ayah ibumu. Mari ikut denganku dan engkau akan hidup mulia di sampingku."
Dia setengah memaksa gadis itu mengikutinya dengan menggandeng tangannya.
"Sumarni, engkau hendak pergi ke mana?"
Tiba-tiba terdengar seruan suara Wanita dau muncullah seorang wanita setengah baya, berusia kurang lebih empat puluh tahun, keluar dari pintu rumah itu. Di belakangnya keluar pula seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih. Mereka bergegas keluar menghampiri Sumarni yang digandeng seorang pemuda tampan berpakaian mewah.
"Bapak! simbog! Aku mau pergi, diajak oleh kakangmas Permadi ini"
Sumarni berseru.
"Hai...., berhenti dulu! ayah Sumarni membentak sambil mengejar. Ketika Priyadi berhennti dan memutar tubuh menghadapinya, petani itu menegur.
"Orang muda, Siapakah andika dan andika tidak boleh membawa anak kami pergi begitu saja!"
"Bapak, jangan halangi kami. Dia ini adalah Kakangmas Permadi. Dia adalah Dewa penjaga Sungai dan sudah menjadi suamiku"
Kata Sumarni.
"Tidak, engkau tidak boleh dibawa pergi begitu saja!"
Ayah gadis itu berkeras dan melangkah ke depan untuk memegang lengan puterinya dan hendak merenggutnya dan gandengan Priyadi. Melihat ini, Resi Wisangkolo menggerakkan tangan ke depan mendorong. Angin yang kuat menyambar dan membuat suami isteri itu terdorong ke belakang dan roboh.
"Apa kalian sudah bosan hidup!"
Bentak kakek itu.
Suami isteri itu terkejut dan ketakutan. Priyadi memberi isarat agar Resi Wisangkolo tidak menyerang lagi. Dia mengeluarkan sekantung uang dan melemparkan ke atas tanah di depan suami isteri yang mencoba untuk merangkak bangun itu.
"Terimalah ini Sebagai pengganti anak kalian !"
Setelah berkata demikian Priyadi menyambar tubuh Sumarni dan memondongnya lalu membawanya lari dengan mengerahkan ilmunya sehingga dia dapat berlari secepat terbang. Resi Wisangkolo mengikutinya sambi tertawa-tawa. Suami isteri itu hanya bengong memandang dua orang yang berkelebatan demikian cepat, sebentar saja sudah lenyap dari situ. Bahkan mereka berdua masin tetap berlutut dengan mata terbelalak. Mereka mulai percaya bahwa pemuda tampan yang membawa Sumarni adalah seorang dewa, bukan manusia biasa seperti yang dikatakan anak mereka tadi. Apa yang mampu mereka lakukan terhadap seorang Dewa? Suami isteri yang sederhana dan bodoh itu tidak mampu berbuat apapun kecuali menangis karena kehilangan anak mereka yang dibawa "dewa"
Entah kemana. Sekantung uang yang ditinggalkan dewa memang cukup banyak bagi ukuran keluarga dusun seperti mereka, namun pemberian itu tidak dapat melenyapkan kesedihan mereka kehilangan anak yang mereka sayang.
Dua orang itu melangkah perlahan-lahan dengan sikap waspada. Matahari telah naik tinggi dan hari itu amatlah teriknya. Retno Susilo berhenti melangkah ketika mereka tiba di bawah sebatang pohon asem,yang besar.
"Kita berhenti dulu"
Katanya kepada Sutejo.
"Panasnya bukan main dan di sisi teduh dan sejuk."
Ia mengusap keringatnya yang membasahi leher.
Sutejo tersenyum.
"Baiklah, kita mengaso di sini sebentar. Akan tetapi tidak boleh terlalu lama. Kita sudah dekat dengan perkampungan Jatikusumo. Kalau sampai kita ketahuan, tentu kita akan dikepung dan dikeroyok."
"Hemm, aku tidak takut!"
Kata Retno Susilo yang berwatak keras dan pemberani.
Sutejo tersenyum menatap wajah yang ayu itu.
"Akupun tidak takut, diajeng Retno, Akan tetapi Ingat, kini belum waktunya bagi kita untuk menyerbu. Kita hanya bertugas melakukan penyelidikan untuk mengetahui kekuatan mereka. Pula, kalau kita nekat menghadapi pengeroyokan mereka, bagaimana mungkin kita akan dapat menang?"
Angin semilir mengipasi tubuh mereka. Nyaman memang setelah tadi terbakar teriknya matahari siang, kini berada di tempat yang teduh dihembus angin semilir. Membuat mata menjadi mengantuk. Mereka duduk di atas batu yang berada di bawah pohon.
Sutejo dan Retno Susilo tiba di luar perkampungan Jatikusumo itu setelah mereka lebih dulu singgah di Hutan Kebojambe di kaki Gunung Kelud untuk menghadap Ki Mundingsosro ketua perkumpulan Sardulo Cemeng. Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo menyambut kedatangan mereka dengan gembira dan keluarga Itu mengadakan sebuah pesta keluarga untuk menyambut Sutejo dan Retno Susilo. Apa lagi ketika mendengar bahwa Sutejo sudah bertemu dengan orang tuanya, malah orang tua pemuda itu akan datang untuk meminang Retno Susilo, Ki Mudingsosro yang memang sudah berhasrat untuk bermenantukan Sutejo, menjadi girang bukan main.
Setelah kedua orang muda itu menceritakan tentang keinginan mereka uniuk menyerbu Jatikusumo di mana si murid durhaka Priyadi menjadi ketua dan bersekongkol dengan orang-orang Wirosobo, segera Ki Mundingsosro menyatakan kesediaannya untuk mengerahkan seluruh anggauta Sardula Cemeng untuk membantu. Retno Susilo minta kepada ayahnya untuk mempersiapkan pasukan Sardula Cemeng itu agar sewaktu-waktu dapat diperbantukan. Setelah tinggal selama tiga hari di Hutan Kebojambe untuk melepas rindu, kedua orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan dan pada siang hari itu tibalah mereka di luar daerah perkampungan Jatikusumo.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, kalau saja aku bertemu sendiri dengan jahanam Priyadi itu, aku ingin menandinginya satu lawan satu dan akan menghajar jahanam itu!"
Kata Retno Susilo yang merasa gemas dan benci sekali kepada pemuda yang pernah membantunya menghadapi Harjodento, bahkan yang pernah mengaku cinta kepadanya!
"Kalau dia muncul seerang diri, tanpa keroyokan, akulah yang akan menandinginya, diajeng. Aku ingin membalas kematian Uwa Guru Bhagawan Sindusakti, Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini serta para murid Jatikusumo. Juga aku ingin menandingi Bhagawan Jaladara untuk membalaskan kematian Bapa Guru dan Eyang Guru!"
"Aku heran sekali, ketika dia dulu membantu melawan ayah ibumu, tingkat kepandaian Priyadi itu masih belum terlalu tinggi, tidak akan melebihi tingkatku sendiri. Akan tetapi bagaimana dia tiba-tiba dapat demikian sakti sehingga mampu mengalahkan dan membunuh ketua Jatikusumo yang menjadi gurunya sendiri?"
"Tentu ada rahasianya, diajeng. Kita tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Perubahan tiba-tiba mungkin saja terjadi pada diri seseorang. Contohnya aku sendiri. Tanpa kusangka-sangka, aku menerima aji kesaktian dari mendiang Eyang Guru Resi Limut Manik. Seperti juga engkau yang tadinya hanya menerima pelajaran dari ayahmu, lalu bertemu dengan Nyi Rukmo Petak yang memberi gemblengan kepadamu sehingga engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi"
"Mungkin saja begitu. Apa lagi sekarang dia memiliki Pecut Bajrakirana, tentu dia menjadi semakin tangguh. Kalau saja dia berani melawan satu sama satu, aku berani menghadapinya!"
"Sudahlah, diajeng Retno Susilo. Kalau terjadi pertempuran, engkau boleh menghadapi yang lain, akan tetapi yang satu ini. Priyadi, harus kau serahkan kepadaku untuk menandinginya. Mari kita lanjutkan perjalanan. Kita mengambil jalan mengitari daerah perkampungan Jatikusumo ini untuk melihat bagian mana yang lemah dan dapat diserbu kelak"
Mereka lalu turun dari atas batu dan melanjutkan perjalanan mereka. Mereka melakukan perjalanan dengan hati-hati dan waspada, setiap kali bertemu orang mereka lalu bersembunyi di balik semak-semak atau batang pohon dan batu besar. Mereka melihat betapa perkampungan Jatikusumo terjaga ketat oleh puluhan orang yang rata rata tampak kuat. Juga perkampungan itu dikitari dinding dan kayu yang ujungnya dibikin runcing seperti tombak, tingginva tidak kurang dari dua setengah meter. Di pintu gerbang, terdapat kurang lebih tiga puluh orang penjaga dan juga di pintu belakang perkampungan itu terdapat belasan orang penjaga. Sering ada empat orang penjaga melakukan perondaan mengelilingi bagian luar dinding itu.
Hari sudah menjelang sore ketika Sutejo dan Retno Susilo akhirnya menghentikan perjalanan mereka melakukan penyelidikan dan mereka berada di pantai berpasir, tak jauh dari perkampungan Jatikusumo yang memang terletak di pantai Laut Kidul itu.
"Ke mana kita sekarang, kakangmas?"
"Sudah cukup kita menyelidiki. Akan tetapi aku masih ingin. mengetahui siapa saja yang berada di perkampungan Jatikusumo itu. Siapa yang membantu Priyadi untuk memperkuat perkumpulannya dan sejauh mana hubungannya dengan Wirosobo."
"Akan tetapi bagaimana caranya? Engkaukan tidak akan menyelundup masuk ke perkampungan itu?"
"Ah, tidak. Semua tentu sudah mengenalku dan tentu atean ketahuan. Kita harus menangkap seorang anggauta mereka. Kita tangkap dan kita paksa dia untuk menceritakan semua keadaan di perkampungan Jatikusumo itu."
"Ah, bagus sekali akal itu, kakangmas! Aku tahu! peronda-peronda itu. Mereka setiap kali mengitari perkampungan dengan berempat. Kalau malam telah tiba dan mereka berempat melakukan perondaan, kita dapat menyergap mereka dan menangkap seorang di antaranya. Begitu, bukan?"
"Tepat! Engkau cerdik, diajeng Nah, mari kita siap untuk melakukan penyergapan itu begitu malam tiba dan cuaca menjadi gelap."
"Akan tetapi malam ini terang bulan. Kalau tidak salah, malam ini bahkan bulan purnama akan muncul."
"Kita jangan menanti sampai bulan menjadi terang betul. Lewat senja nanti keadaan tentu masih gelap dan kita bergerak...... ssstt..... itu ada orang!"
Tiba-tiba Sutejo menarik tangan Retno Susilo dan rnengajak gadis itu melompat dan bersembunyi di balik sebuah batu besar yang berada di atas pantai berpasir itu. Mereka lalu mengintai dari balik batu itu. Dua orang sedang berjalan menuju ke tempat itu. Mereka berjalan menyusuri pantai sambil bercakap-cakap.
"Itu dia......Priyadi bersama Ki Wisangkolo......!"
Seru Retno Susilo lirih sambil memegang lengan Sutejo dongan tegang. Sutejo juga sudah melihat dan mengenal mereka. Hatinya juga merasa tegang dan berdebar. Inilah Kesempatan baik sekali. Mereka itu hanya berdua, tidak sempat untuk melakukan pengeroyokan. Apa lagi, seorang yang telah berani mengangkat diri menjadi ketua Jatikusumo seperti Priyadi, tentu memiliki keangkuhan dan akan menerima kalau dia tantang untuk bertanding satu lawan satu. Setelah mengambil keputusan tetap, dia lalu mengajak Retno Susilo untuk keluar dari persembunyian mereka dan melompat ke depan dua orang yang sedang berjalan seenaknya di tepi laut itu Priyadi dan Ki Klabangkolo juga terkejut sekali setelah mengenal siapa orangnya yang melompat dan menghadang di depan mereka. Akan tetapi begitu melihat Retno Susilo, Priyadi merasa lega dan tersenyum. Dalam pandangannya, gadis itu tampak semakin ayu saja sehingga jantungnya berdebar penuh kerinduan dan gairah. Dia tidak memperdulikan Sutejo dan melangkah maju menghampiri Retno Susilo.
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo