Pecut Sakti Bajrakirana 19
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Nimas Retno Susilo.....! Ah, betapa sudah lama sekali aku mengharapkan pertemuan ini be tapa setengah mati aku merindukanmu nimas! Engkau tentu datang untuk mengunjungi aku, bukan? Engkau tentu belum melupakan aku yang pernah menolong dan membantumu, bukan?"
Kata pemuda itu dan dia menatap wajah Retno Susilo dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kerinduan!
Akan tetapi gadis itu melangkah mundur dua tindak menjauhi pemuda itu dan matanya mencorong marah. Melihat ini, Priyadi menjadi kecewa dan heran.
"Nimas Retno Susilo, apakah engkau lupa kepadaku? Aku Priyadi yang dulu membantumu dan menolongmu ketika engkau ditawan Ki Klabangkolo! Inilah dia orangnya yang dulu menawanmu, nimas. Lupakah engkau? Sekarang Ki Klabangkolo telah menjadi seorang pembantuku. Ingatkah engkau ketika dahulu aku membantumu lari menyelamatkan diri dari perkampungan Nogo Dento? Aku Priyadi!"
"Aku tahu siapa engkau! Seorang manusia berhati iblis yang telah membunuh guru sendiri dan saudara-saudara seperguruan sendiri. Aku tidak sudi menjadi sahabatmu!"
"Akan tetapi, nimas Retno Susilo......! Aku... aku cinta padamu.......!"
Priyadi melangkah maju.
Akan tetapi Sutejo sudah, maju ke depan dan menghadapinya.
"Priyadi!"
Bentak Sutejo.
"Aku sengaja menghadang di sini dan aku ingin bicara denganmu!"
Kini seolah baru sekarang Priyadi melihat Sutejo dan dia memandang kerada pemuda itu dengan alis berkerut dan mata mencorong marah.
"Engkaukan Sutejo, murid Paman Bhagawan Sidik Paningal itu? Mau apa engkau? Minggirlah dan jangan mengganggu aku bicara dengan nimas Retno Susilo, Engkau anak kecil tahu apa!"
"Priyadi! Dahulu engkau memang terhitung kakak seperguruanku. Akan tetapi sekarang aku tidak sudi mengakui engkau sebagai saudara seperguruan lagi. Engkau murid murtad, manusia jahanam yang berkhianat, telah membunuh guru dan saudara seperguruan sendiri. Aku tantang engkau untuk bertanding satu lawan satu kalau memang engkau seorang laki-laki!"
Marahlah Priyadi.
"Babo-babo keparat Sutejo! aetelah memiliki sedikit kepandaian, engkau menjadi sombong! Kau kira aku takut kepadamu? Agaknya engkau sudah bosan hidup. Kalau engkau hendak menyusul Bhagawan Sindusakti dan para muridnya yang telah tewas, biar aku mengantarmu!"
"Kakangmas Sutejo, jangan takut dikeroyok! Kalau celeng (babi hutan) brewok tua bangka itu hendak maju mengeroyok, biar aku yang membunuhnya!"
Bentak Retno Susilo yang masih merasa marah sekali kepada Ki Klabangkolo yang pernah menawannya dengan niat keji terhadap dirinya.
"Keparat Sutejo! Hari ini engkau akan mampus di tanganku dan engkau nimas Retaa Susilo, mau tidak mau engkau harus ikut aku dan hidup mulia bersamaku di perkampungan Jatikusumo!"
"Sudahlah, Priyadi! Seorang jantan tidak perlu banyak bicara. Kalau memang engkau berani, mari kita tentukan siapa di antara kita yang akan mendapatkan perlindungan Sang Hyang Widhi Wasa!"
Tantang Sutejo.
Mendengar tantangan ini. Priyadi marah sekali.
"Paman Klabangkolo, jangan ikut-ikut Andika menjadi saksi saja dan lihat bagaimana aku akan menghukum bocah banyak tingkah ini!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya menggeliat dan kedua lengannya terulur ke atas lalu melengkung ke depan dan dari mulutnya terdengar suara yang amat dahsyat. Suara itu menggeram dan membuat keadaan di pantai itu seperti tergetar.
"Aauuurrrgghhh........!"
Itulah Aji Jerit Nogo yang amat dahsyat. Aji yang mengeluarkan suara yang mengandung tenaga sakti sepenuhnya ini bukan saja dapat menangkis semua kekuatan sihir, namun juga memiliki daya serang membuat lawan terguncang jantungnya dan dapat membuat lawan lumpuh.
Sutejo sudah waspada dan diapun tahu akan kedahsyatan aji yang dikeluarkan oleh Priyadi. Maka diapun segera mengerahkan tenaga saktinya yang dia dapatkan dari mendiang Resi Limut Manik sebingga aji kekebalan Kawoco yang melindungi seluruh tubuhnya menjadi berlipat ganda kuatnya. Gelombang pekik sakti yang dikeluarkan Priyadi itu bagaikan gelombang lautan yang menerpa batu karang yang kokoh kuat sehingga gelombang itu terpecah dan batu karang itu tidak bergeming sedikitpun!
Melihat ini, Priyadi menjadi terkejut dan juga penasaran yang membuatnya menjadi semakin marah.
Dia menyilangkan kedua lengannya, membuat gerakan aneh lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Sutejo sambil mengeluarkan bentakan nyaring.
"Aji Margopati....!!"
"Aji Bromokendali .......!"
Sutejo juga mendorongkan kedua telapak tangannya seolah membuat gerakan menyembah ke atas.
"Wuuuuttt.......! blaarrrr.........!!"
Dua tenaga sakti yang amat dahsyat bertemu di udara dan kedua orang muda yang sakti mandraguna itu terpental ke belakang dan napas mereka agak memburu saking kuatnya tenaga mereka sendiri yang terpental dan membalik. Keduanya maklum bahwa mereka memiliki tenaga sakti yang sama kuatnya dan menghamburkan tenaga sakti ini sungguh membahayakan diri sendiri kalau tidak berhasil merobohkan lawan. Maka Priyadi lalu melompat dan menerkam, mengirim pukulan dengan kedua tangannya bertubi-tubi ke arah bagian tubuh Sutejo yang berbahaya. Namun Sutejo telah siap dan diapun mengelak dan menangkis lalu membalas sehingga dua orang jagoan muda itu sudah saling serang dengan hebatnya. Mereka saling pukul, saling tangkis, saling tendang, dorong mendorong bagaikan dua ekor singa muda bergumul dan berkelahi mati-matian. Keadaan di sekeliling mereka tergetar, pasir berhamburan dan angin menyambar-nyambar dari pukulan mereka.
Ki Klabangkolo dan Retno Susilo yang menjadi penonton, memandang dengan mata terbelalak. Hampir gadis itu tidak pernah berkedip. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Kagum, tegang dan juga khawatir. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya. Dia semakin kagum kepada Sutejo. Baru sekarang dia menyaksikan kesaktian Sutejo yang dikeluarkan semua. Akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah ketika dia melihat betapa Priyadi juga tangkas sekali, dan juga kebal Mereka itu saling memukul dan kadang-kadang pukulan mereka mengenai sasaran, akan tetapi tubuh lawan yang terpukul seperti terbuat dari karet dan pukulan itu terpental! Mereka itu hanya saling mengelak kalau pukulan mengarah bagian tubuh yang lemah dan berbahaya, atau menangkis.
Suara lengan mereka yang beradu berulang kali itu mengeluarkan suara dak-duk dak-duk yang menggetarkan, seolah bukan tulang daging kulit yang diadu, melainkan dua baja yang amat kuat.
"Keparat, ambrol dadamu!"
Priyadi membentak dan tubuhnya melayang dengan kedua kaki terlebih dulu. Dua batang kaki itu mengandung tenaga dahsyat menghantam ke arah dada Sutejo. Serangan itu demikian cepatnya sehingga Sutejo tidak sempat mengelak atau menangkis, terpaksa menyambut dengan dadanya sambil mengerahkan aji kekebalan Kawoco.
"Wuuuuttt.....desss .... !"
Sutejo tidak terluka karena dadanya dilindungi aji kekebalan, akan tetapi saking kuatnya tendangan terbang itu, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling sampai beberapa meter!
"Ha-ha-ha!"
Priyadi yang sudah hinggap di atas tanah menertawakannya, akan tetapi tiba-tiba tubuh Sutejo yang tadinya bergulingan, sudah melompat dan meluncur ke depan, kedua tangannya menerkam ke arah tubuh Priyadi! Priyadi terkejut, akan tetapi pinggangnya sudah dapat dicengkeram, tubuhnya diangkat oleh Sutejo lalu dibanting.
"Desss......!"
Tubuh Priyadi terbanting dan dia terguling-guling sampai beberapa meter, akan tetapi diapun sudah melompat berdiri lagi dengan mata bersinar penuh kemarahan. Tak disangkanya bahwa Sutejo dapat bergerak secepat dan sekuat itu. Pertandingan itu sudah berlangsung hampir satu jam dan mereka baru satu kali saling menjatuhkan, akan tetapi tidak dapat saling melukai.
"Srattt.....!"
Tampak sinar berkilat ketika Priyadi mencabut sebatang keris dari pinggangnya. Itulah keris pusaka liat Nogo. pemberian Adipati Wirosobo sebagai tanda bahwa Priyadi telah menjadi seorang senopati Wirosobo! Keris pusaka yang ampuh karena liat Nogo berarti Lidah Naga. Tentu saja ujung keris itu mengandung racun yang panas dan dapat membuat kulit lawan melepuh kalau sampai tergores sedikit saja!
"Hemm, Priyadi. Belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mengeluarkan pusaka!"
Kata Sutejo mencela.
"Pusaka liat Nogo ini yang akan mengantarmu ke alam baka!"
Bentak Priyadi sambil mengacungkan kerisnya yang berluk sembilan berbentuk lidah naga yang rupanya kemerahan.
Sutejo melolos kain pengikat rambut kepalanya dan menggerakkan kain itu. dengan tangan kanan, kain itu yang tadinya lemas berubah menjadi kaku seperti terbuat dari logam yang kuat.
"Majulah kau dengan kerismu itu, Priyadi. Aku sama sekali tidak gentar menghadapinya!"
Sahut Sutejo dengan sikap tenang namun penuh kewaspadaan, berbeda dengan sikap Priyadi yang dipenuhi kemarahan.
"Mampus kau.......!!"
Priyadi mulai menyerang dengan kerisnya.
Gerakannya amat cepat dan juga mengandung tenaga yang amat kuat. Sutejo maklum akan bahayanya serangan itu. Selain cepat dan mengandung tenaga sakti yang amat kuat. juga keris itu sendiri merupakan senjata yang amat ampuh. Dia tidak berani mengandalkan aji kekebalannya untuk menerima tikaman keris pusaka itu. Dengan gerakan ringan dia melompat ke samping sebingga tusukan keris itu luput dan dan samping kain ikat kepalanya menyambar ke arah pelipis kiri Priyadi. Priyadi juga tidak berani memandang rendah serangan dengan keris itu karena dia tahu bahwa lawannya mempergunakan Aji Sihung Nila, dan agaknya aji-aji dari perguruan Jatikusumo yang dikuasai Sutejo sudah sampai ke tingkat paling atas. Dari sambaran angin serangan itu saja maklumlah dia bahwa dia tidak boleh mengandalkan aji kekebalan untuk menghadapi sambaran kain itu. Diapun cepat menundukkan kepala mengelak, lalu melangkah satu tindak ke belakang dan kembali kerisnya menghunjam ke arah perut Sutejo.
Sutejo menangkis dengan sabetan tangan kirinya ke arah lengan Priyadi.
"Plakk........!"
Tangan Priyadi yang memegang keris terpental dan saat itu, Sutejo melecutkan ujung kain kepalanya ke arah muka Priyadi, mengancam mata!
"Plakk!"
Priyadi membalas dengan tangkisan tangan kirinya sehingga kain itu terpental. Keduanya melangkah mundur untuk mengambil pasangan kuda-kuda lalu saling menyerang lagi dengan cepat dan ganasnya.
Retno Susilo hampir tak pernah berkedip. Pertandingan itu hebat bukan main. Gerakan kedua orang itu sangat cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata dan ia tidak tahu pihak manakah yang unggul atau pihak mana yang terdesak. Agaknya mereka saling serang bergantian, kadang dari jarak dekat sekali dan terkadang dari jarak agak jauh.
Lebih setengah jam mereka bertanding mempergunakan keris dan ikat kepala dan tanpa terasa cuaca menjadi semakin gelap sehingga kedua orang yang bertanding itu lebih banyak mengandalkan ketajaman pendengaran mereka dari pada ketajaman penglihatan mereka. Dari sambaran angin serangan, mereka dapat mengetahui dari arah mana serangan datang menyambar. Sementara itu, Retno Susilo yang menonton menjadi semakin tegang dan gelisah, mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya.
"Anakmas Priyadi, kenapa tidak mempergunakan Pecut Sakti Bajrakirana?"
Tiba-tiba Ki Klabangkolo berseru nyaring. Agaknya Priyadi baru teringat akan senjata pusaka keramat ini. Dia melompat ke belakang, menyarungkan kerisnya dan melolos pecut sakti itu yang tadinya dilibatkan di pinggangnya. Pecut yang panjang itu digerakkan ke atas dan terdengar bunyi meledak-ledak seperti halilintar menyambar-nyambar.
Sutejo terkejut sekali. Hatinya menjadi terguncang dan dia merasa agak gentar karena dia tahu benar keampuhan pecut sakti itu.
"Sutejo! Kau melihat pusaka ini? Berlututlah karena setiap orang murid Jatikusumo harus menaati pemegang pecut pusaka ini"
Bentak Priyadi.
"Hemm, Priyadi. Pecut pusaka itu sesungguhnya telah menjadi milikku, diberikan oleh mendiang Resi Limut Manik. Bhagawan Jaladara secara licik telah mencuri kemudian merebut pecut pusaka itu dari tanganku, kemudian dia memberikannya kepadamu. Pecut itu adalah milikku. Penghormatan bukan dilakukan terhadap pecut pusaka, melainkan terhadap pemegangnya. Dan engkau adalah seorang durjana yang tidak patut untuk dihormati. Kembalikan pecut Bajrakirana itu kepadaku?"
"Mampuslah engkau!"
Priyadi membentak dan menggerakkan cambuk itu yang melecut-lecut ke arah kepala Sutejo.
"Tar-tar-tar-tarrrr.......!"
Sutejo terpaksa harus berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri. Lecutan Pecut Bajrakirana itu berbahaya sekali dan kalau mengenai kepalanya, mungkin dia akan roboh tewas. Dia lalu menggerakkan kain pengikat kepalanya, memainkannya dengan Aji Bajrakirana. Akan tetapi karena yang dimainkan hanya sehelai kain sedangkan aji itu harus dimainkan dengan sebatang pecut dan pecut itupun harus Pecut Bajrakirana, maka permainannya tidaklah begitu hebat. Sedangkan penyerangan Priyadi bertubi-tubi, pecut menyambar-nyambar. Terpaksa Sutejo harus mengerahkan seluruh ilmunya untuk meringankan tubuhnya yaitu Aji Harina Legawa. Tubuhnya bergerak seperti seekor burung srikatan, dan sudah cepat menghindar sebelum ujuug cambuk menyentuh tubuhnya.
Dua kali dia mencoba untuk menangkis dengan kain pengikat kepalanya, akan tetapi setiap kali bertemu ujung pecut, kain pengikat kepalanya itu terobek ujungnya! Setelah dua kali senjatanya yang istimewa itu hancur ujungnya bertemu dengan Pecut Sakti Bajrakirana, Sutejo tidak berani menangkis lagi dan hanya mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri. Dia berusaha membalas serangan-serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya itu dengan kain itu yang sudah remuk pinggirnya dan memang ilmu silat pecut Bajrakirana yang dimainkannya sempat membuat Priyadi terkejut dan memutar pecutnya melindungi diri. Akan tetapi kain pengikat kepala itu bukan pecut. Kurang panjang dan tidak ada gagangnya. Tentu saja gerakan Sutejo menjadi terbatas dan ilmu yang hebat itu tidak dapat dimainkan sepenuhnya.
Malam telah tiba. Cuaca amat gelapnya. Tiba-tiba Priyadi yaag tadinya sempat dikejutkan oleh permainan silat Sutejo yang aneh, melompat ke belakang.
"Tahan dulu!"
Serunya lantang.
"Sutejo! Malam telah tiba. Cuaca terlalu gelap bagi kita untuk melanjutkan pertandingan. Kalau engkau memang jantan, aku menantangmu untuk melanjutkan pertandingan besok pagi setelah matahari muncul, tempatnya di sini juga. Kalau engkau tidak datang, maka itu berarti bahwa engkau adalah seorang pengecut dan penakut yang hina dan rendah!"
"Priyadi!"
Bentak Sutejo.
"Siapa takut kepadamu? Sekarang ataupun besok pagi, aku selalu siap menghadapimu! Besok pagi aku akan datang ke sini memenuhi tantanganmu karena sudah menjadi kewajibanku untuk membasmi seorang manusia berhati iblis seperti kamu!"
"Hati-hati, kakangmas Sutejo. Manusia iblis macam dia tentu tidak segan bertindak curang!"
Kata Retno Susilo.
"Nimas Retno Susilo, ingatlah bahwa hatiku masih tetap terbuka untukmu. Nah, sampai besok pagi kita berjumpa lagi. Mari, paman klabangkolo!"
Priyadi lalu meninggalkan tempat itu bersama Ki Klabangkolo, meninggalkan Sutejo dan Retno Susilo.
"Bagaimana, kakangmas? Apakah kiranya engkau mampu menandinginya? Aku tadi bingung, tidak tahu siapa yang lebih unggul antara kalian berdua,"
Kata Retno Susilo sambil menghampiri Sutejo.
Sutejo menghela napas panjang dan mengikatkan kembali kain yang tadi dipergunakan sebagai senjata di kepalanya.
"Wah, dia memang hebat sekali. Akan tetapi aku masih dapat mengimbanginya. Hanya setelah dia mempergunakan Pecut Bajrakirana, aku merasa kewalahan. Pusaka itu ampuh sekali sebingga kain pengikat kepalaku menjadi remuk ujungnya. Ah. kalau saja pecut itu dapat kurampas dan berada di tanganku, aku yakin akan mampu mengalahkan dan merobohkannya!"
Sutejo merasa yakin sekali karena kalau pecut itu berada di tangannya dan dia memainkannya dengan Aji Bajrakirana, agaknya Priyadi tidak akan mampu menandinginya.
"Akan tetapi, bagaimana jadinya besok pagi kalau dia mempergunakan pecut itu? Apakah....... tidak berbahaya bagimu, kakangmas?"
Tanya Retno Susilo dengan suara mengandung kekhawatiran.
"Jangan khawatir, diajeng. Dia tidak akan mudah untuk mengalahkan aku! Aku akan menggunakan segala daya untuk menandinginya."
"Kakangmas, aku merasa khawatir sekali. Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja dari sini? Kelak, kalau kita sudah siap dan melakukan penyerbuan ke sini, baru engkau hadapi lagi dia."
"Ah, bagaimana mungkin aku dapat melakukan hal itu, diajeng? Tentu Priyadi akan menganggap aku pengecut dan penakut. Tidak, aku harus menyambut tantangannya. Kurasa aku masih sanggup untuk menandinginya, walaupun dia mempergunakan Pecut Bajrakirana. Nah, sekarang kita harus mencari tempat untuk beristirahat dan melewatkan malam ini, diajeng. Aku harus menghimpun tenaga untuk menghadapi Priyadi besok pagi."
Retno Susilo tidak mau membantah lagi dan mereka lalu menyusuri pantai itu. Akhirnya mereka menemukan sebuah guha di antara batu-batu karang di pantai itu dan mereka lalu memasuki guha dengan mempergunakan seikat kayu yang dibakar sebagai penerangan. Guha itu cukup lebar dan lantainyapun rata. Sutejo lalu membuat api unggun di mulut guha dan merekapun beristirahat.
"Engkau tidurlah, kakangmas. Engkau perlu beristirahat untuk memulihkan tenagamu agar besok pagi engkau dapat menghadapi musuh dalam keadaan segar. Biar aku yang melakukan penjagaan agar api unggun tidak sampai padam."
Sutejopun tidak sungkan-sungkan lagi.
"Baiklah, diajeng, dan terima kasih."
Dia lalu memasuki guha dan merebahkan dirinya di sudut guha, tidur telentang dan mengendurkan seluruh urat syarafnya untuk beristirahat.
Bulan purnama muncul dengan cahayanya yang lembut dan terang menciptakan pemandangan yang amat indah penuh rahasia di sepanjang pantai Laut Selatan yang luas itu. Deru dan desis air yang menipis di pantai pasir, debur ombak yang menggelegar menghantam dinding karang, menambah aneh suasana di malam hari itu.
Tiba-tiba Retno Susilo memandang ke arah pantai berpasir dengan mata terbelalak.
"Kakangmas Sutejo.... !"
Ia memanggil dengan suara tertahan. Sutejo yang belum pulas karena baru saja merebahkan diri, bangkit duduk.
"Ada apakah, diajeng ?"
"Ada orang di sana, kakangmas. Mencurigakan sekali!"
Sutejo menghampiri Retno Susilo di mulut guha dan diapun kini melihat ada sosok tubuh seseorang terbungkuk bungkuk menuju ke air.
"Celaka, agaknya orang itu hendak membunuh diri kata Sutejo dan diapun melompat bangun lalu berlari, diikuti Retno susilo, Mereka menghampiri orang yang kini sudah masuk ke dalam air dan sudah berada di bagian yang sepinggang dalamnya! Agaknya ia hendak terus ke tengah!
Sutejo cepat berloncatan dalam air dan akhirnya ia dapat meraih pinggang orang itu dan menariknya ke daratan kembali. Dia merasa heran sekali mendapatkan kenyataan bahwa yang hendak membunuh diri itu adalah seorang wanita. Seorang wanita muda yang cantik manis walaupun rambutnya awut-awutan. Dan di bawah sinar bulan purnama, dia dapat melihat wajah itu dengan jelas. Sutejo tertegun ketika dia mengenal wajah gadis itu.
"Sumarni......! Kau.....kau........Sumarni?"
Retno Susilo sudah berada pula di sampingnya dan gadis ini tentu saja juga terheran mendengar betapa Sutejo agaknya telah mengenal gadis yang hendak membunuh diri. Gadis itu memang Sumarni. Tadinya ia meronta dalam rangkulan Sutejo, akan tetapi ketika ia mendengar Sutejo menyebut namanya, iapun segera mengenal pemuda itu dan iapun menjatuhkan dirinya berlutut di atas pasir dan menangis tersedu-sedu dengan sedih sekali.
"Kakangmas Sutejo, siapakah gadis ini?"
Retno Susilo bertanya dengan alis berkerut.
"Ia Sumarni. Pernah aku menolongnya dari tangan orang-orang jahat. Sumarni, mengapa engkau berada di sini dan apa yang hendak kaulakukan tadi?"
Ditanya begini, Sumarni menangis semakin sedih.
"Sumarni, lupakah engkau kepadaku? Tidak percayakah engkau kepadaku?"
Tanya Sutejo.
Di antara isak tangisnya, Sumarni berkata.
"Saya mengenal andika, denmas Sutejo. Akan tetapi mengapa denmas menolong saya? Biarkan saya tenggelam dan mati saja........"
(Lanjut ke Jilid 21)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
"Akan tetapi kenapa? Apa yang terjadi?"
Tanya Sutejo.
"Denmas ingat cerita saya dahulu tentang pemuda bernama Permadi itu?"
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, yang meninggalkanmu begitu saja?"
"Benar, denmas, Akhirnya dia datang dan dengan paksa dia membawa saya ke sini. Ternyata dia bukan dewa penjaga sungai, melainkan seorang ketua perkumpulan yang bernama Priyadi. Tadinya saya rela mengikutinya, saya cinta padanya, akan tetapi......ahhhh......."
Retno Susilo tertarik ketika mendengar bahwa yang diceritakan gadis itu adalah mengenai Priyadi "Akan tetapi apakah? Apa yang dia lakukan terhadap dirimu?"
Retno Susilo membantu Sumarni untuk bangkit. Gadis dusun Jaten itu mengusap pipinya dengan kedua tangan.
"Ternyata dia seorang yang kejam dan jahat sekali, denmas Sutejo. Dia hanya menganggap aku sebagai barang permainan belaka dan yang lebih menghancurkan hatiku, dia......dia.......menyuguhkan dan menyerahkan aku kepada Ki Klabangkolo......."
"Keparat jahanam!"
Sutejo mengepal tangannya dengan marah Dia dapat membayangkan bagaimana hancur dan sengsara rasa hati gadis itu yang dipaksa untuk melayani Ki Kiabangkolo, disuguhkan sendiri oleh Priyadi yang dicintanya!
"Aku cinta padanya, denmas. akan tetapi aku juga benci padanya.....kalau saja aku dapat,
aku ingin membunuhnya......akan tetapi tidak mungkin, dia berkuasa dan sakti. Lebih baik aku mati tenggelam saja......."
Gadis itu menangis lagi.
Sutejo tidak dapat berkata apa-apa. Dia menjadi bingung, harus menghibur bagaimana kepada gadis dusun yang bernasib malang itu.
"Kakangmas Sutejo, engkau kembalilah ke dalam guha dan beristirahatlah. Biarkan aku yang bicara dengan mbakayu ini"
Aku tahu bagaimana harus manghiburnya."
Kata Retno Susilo. Sutejo memandang kepadanya lalu kepada Sumarni yang masih menangis. Kemudian dia mengangguk. Biarlah Retno Susilo yang menghiburnya. Dia sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Dia mengangguk lalu meninggalkan dua orang wanita itu, kembali ke dalam guha, menambahkan kayu pada api unggun, lalu tertidur.
"Mbakayu Sumarni, aku Retno Susilo, aku kasihan kepadamu dan aku ingin memberi jalan kepadamu untuk melampiaskan dendam sakit hatimu. Bukankah engkau amat membenci Priyadi yang telah menyuguhkan dirimu kepada Ki Klabangkolo?"
"Aku......aku tadinya amat cinta kepadanya, den roro, akan tetapi sekarang aku amat benci kepadanya. Perbuatan itu amat menyakitkan hatiku."
"Engkau ingin membalas dendam dan melihat dia mati?"
"Akan tetapi bagaimana mungkin saya dapat membunuhnya? Dia digdaya sekali dan berkuasa di perkampungan Jatikusumo, mempunyai banyak pembantu pula."
"Mbakayu Sumarni Sebelum aku memberi jalan kepadamu untuk membalas dendam, lebih dulu ceritakanlah kepadaku tentang keadaan di Jatikusumo Kami memerlukan keterangan itu. Jawab saja pertanyaanku. Berapa banyak kira-kira Jumlah anak buah Jatikusumo?"
"Banyak sekali, den roro. Tidak kurang dari seratus Lima puluh orang dan setiap hari mereka berlatih kanuragan dan perang-perangan."
"Selain Ki Klabangkolo, ada siapa lagi yang membantu Priyadi di sana?"
"Banyak, den roro. Ada Resi Wisangkolo yang menyeramkan itu dan ada pula perempuan yang agaknya menjadi kekasih pula dari Priyadi. Wanita itu bernama Sekarsih, cantik dan genit sekali. Dan pernah pula datang empat orang tamu dari Wirosobo, akan tetapi mereka sekarang telah pergi."
"Bagus, keteranganmu ini amat berguna bagi kami. Ketahuilah, mbakayu Sumarni, kami berdua juga merupakan musuh besar Priyadi. Kami berusaha untuk membunuhnya karena dia adalah seorang jahat sekali. Dan kalau engkau mendendam kepadanya dan ingin Priyadi mati, engkau dapat membantu kami, malam ini juga."
"Den roro, saya adalah seorang gadis dusun yang bodoh dan lemah. Bagaimana saya dapat membantu andika berdua? Tentu saja saya bersedia membantu denmas Sutejo karena saya berhutang budi kepada ksatria yang budiman itu."
"Bagus sekali. Engkau memang harus menolong kakangmas Sutejo, karena kalau tidak kau tolong, mungkin besok pagi dia akan tewas di tangan si jahanam Priyadi."
"Ahh...!"
Sumarni terkejut.
"Saya akan bantu, akan tetapi bagaimana?"
"Begini, mbakayu Sumarni. Besok pagi setelah matahari terbit, Priyadi akan datang ke sini dan akan bertanding melawan kakangmas Sutejo. Sebetulnya kakangmas Sutejo dapat menandingi dan mengalahkan Priyadi. Akan tetapi Priyadi mempunyai sebatang pecut yang sebetulnya milik kakangmas Sutejo. Priyadi mendapatkan pecut itu secara curang. Nah, pecut itulah yang kalau dipergunakan Priyadi mungkin akan mengalahkan kakangmas Sutejo dan bisa jadi akan membunuhnya. Maka, kalau engkau benar-benar hendak membalas kejahatan Priyadi terhadap dirimu dan hendak membalas budi kebaikan kakangmas Sutejo kepadamu usahakanlah agar engkau dapat mencuri Pecut Bajrakirana itu dan membawanya ke sini malam ini juga Hanya dengan begitulah maka Priyadi akan dapat dihukum, bahkan juga Ki Klabangkolo yang membantunya. Kalau engkau tidak bersedia melakukannya, sakit hatimu tidak akan terbalas, engkau tetap menjadi barang permainan Priyadi dan Ki Klabangkolo yang terhina dan engkau tidak akan dapat membalas budi kebaikan kakangmas Sutejo kepadamu. Bahkan mungkin kakangmas Sutejo akan tewas di tangan Priyadi. Nah, sekarang terserah kepadamu untuk memilih dan bertindak."
Sumarni sudah tidak menangis lagi. Ia termenung.
"Hemm...... begitukah? Baik sekali, saya mendapat kesempatan untuk membalas terhadap jahanam-jahanam itu dan membalas budi kepada denmas Sutejo. Akan kulakukan itu, den roro. Akan kuusahakan. Saya tahu apa yang harus saya lakukan! Akan saya rayu dia malam ini sampai dia terlena dan kalau dia sudah tertidur pulas, akan saya curi pecut itu dan saya bawa ke sini."
Retno Susilo menjadi girang sekali. Melihat Sumarni hendak beranjak dari situ, ia berkata.
"Tunggu dulu, Sumarni. Kalau engkau sudah berhasil membawa pecut ke sini dan menyerahkannya kepadaku, engkau harus segera meninggalkan tempat ini dan jangan sampai tertangkap oleh mereka. Sebaiknya engkau jangan pulang ke dusunmu karena mungkin mereka akan mencarimu ke sana. Lebih baik engkau pergi ke daerah Ngawi, di tepi bengawan sana terdapat perkampungan Nogo Dento, yaitu tempat tinggal kami. Engkau pergilah ke sana dan engkau akan terlindung di sana. Tak seorangpun akan dapat mengganggumu lagi."
"Baik, den roro. Nah, saya pergi. Doakan saja usaha saya akan berhasil. Kalau saya berhasil, malam ini juga saya akan mengantarkan pusaka itu kesini, akan tetapi kalau saya tidak datang, berarti saya tidak berhasil dan mungkin sudah terbunuh."
"Selamat jalan dan selamat berjuang, mbakayu Sumarni. Sampai pagi aku akan menunggumu di sini,"
Kata Retno Susilo dengan hati girang dan penuh harapan.
Mereka duduk di sekeliling meja besar di ruangan belakang rumah induk Jatikusumo itu Sebuah ruangan yang luas dan tiga buah lampu gantung menerangi ruangan itu sehingga menjadi terang. Priyadi duduk di kepala meja dan di hadapannya, mengelilingi meja duduk Ki Klabangkolo Resi Wisangkolo. Sekarsih, dan tiga orang pembantu utamanya, yaitu yang merupakan perwira-perwira dari pasukan sebanyak seratus orang yang dikirim oleh Bhagawan Jaladara dari Wirosobo.
"Aku yakin akan dapat menang melawan Sutejo. Besok pagi. Pecut Bajrakirana tentu akan memecahkan kepalanya. Tadipun, kalau tidak keburu gelap, tentu aku sudah merobohkannya karena dia sudah terdesak."
Kata Priyadi.
"Memang andika tidak kalah"
Kata Ki Klabangkolo "akan tetapi menurut penglihatanku andika juga tidak akan mudah merobohkannya, Anak mas Priyadi. Si Sutejo itu benar-benar tangguh sekali, gerakannya luar biasa cepatnya sehingga ia mampu menghindar dari setiap sambaran pecut pusaka andika."
"Kurasa, lebih baik jangan main-main menghadapi orang berbahaya seperti dia,"
Kata Sekarsih.
"Untuk apa menunda-nunda lagi? Sebaiknya besok pagi, secara sembunyi kita semua mendatangi tempat itu. mengepung lalu menangkapnya."
"Hem. aku sendiri sudah merasakan ketangguhan Sutejo. Lebih baik memang begitu. Kita sergap dan kita bunuh dia agar lain waktu tidak akan mengganggu kita lagi,"
Kata Resi Wisangkolo.
"Jangan kalian bergerak lebih dulu."
Kata Priyadi.
"Kalian boleh datang mengepung tempat itu dan biarkan aku lebih dulu menandinginya. Hal ini menyangkut nama dan kehormatan, menyangkut harga diriku. Kalau ternyata memang sukar bagiku untuk mengalahkannya, barulah kalian boleh menyergap Akan tetapi hati-hati, jangan sampai melukai atau membunuh Retno Susilo. Aku sudah mengambil keputusan antuk menjadikan gadis itu sebagai isteriku, mendampingiku dalam memimpin Jatikusumo!"
"Aku akan menjaga agar ia tidak sampai terluka atau terbunuh, akan tetapi kuharap, setelah ada yang baru, yang lama agar Jangan dilupakan!"
Kata Sekarsih dengan sikap genit dan tanpa malu-malu lagi. Priyadi tersenyum lalu bangkit berdiri.
"Jangan khawatir, aku tidak akan melupakan kawan-kawan semua yang telah membuat jasa. Sekarang aku harus mengaso dan tidur untuk menghadapi pertandingan besok, Kalau tidak ada hal yang teramat penting, jangan ada yang mengganggu tidurku."
Setelah berkata demikian, Priyadi meninggalkan ruangan besar itu dan menuju ke kamarnya yang berada di sebelah dalam.
Baru saja dia tiba di depan kamarnya, Sumarni sudah menyongsongnya. Gadis itu mendekat dan Priyadi melihat betapa gadis itu tampak segar kedua pipinya kemerahan, matanya redup dan senyumnya manis sekali, juga keharuman bunga menerpa hidungnya.
"Kakangmas Priyadi...!"
Ucap gadis itu dengan suara merdu merayu.
Priyadi tertegun. Sejak kemarin Sumarni tampak lesu dan seperti marah kepadanya setelah kemarin dulu dia menyerahkan gadis itu ke dalam pelukan Ki Klabangkolo dan memaksanya melayani Ki Klabangkolo semalam suntuk. Hal ini dilakukannya untuk menyenangkan hati pembantu itu yang tampaknya tergila-gila kepada Sumarni.
"Engkau, Sumarni? Mau apa engkau menemuiku?"
"Kakangmas....... saya......saya rindu kepadamu, kalau boleh...... malam ini saya ingin menemani dan melayanimu. Bukanlah kakangmas habis bertanding seperti yang kudengar dari para anggauta? Biarlah saya memijiti tubuh kakangmas agar hilang semua kelelahan......"
Priyadi tersenyum. Perempuan ini masih belum membuatnya bosan, masih memiliki daya tarik yang kuat untuk menggairahkannya.
"Engkau tidak marah lagi setelah kusuruh melayani Ki Klabangkolo tempo hari?"
"Bagaimana saya dapat marah kepadamu, kakangmas? Saya amat mencintamu, apa lagi baru diperintahkan seperti itu, biar kakangmas memerintahkan saya terjun ke lautan api sekalipun, akan saya lakukan dengan senang hati."
Tergerak hati Priyadi dan dia lalu merangkul leher Sumarni dan diciumuya bibir yang menantang itu. Sumarni membalas dengan gairah yang sama. Priyadi lalu menggandengnya masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamar dari dalam.
Orang yang sedang dibuai nafsu berahi kehilangan kewaspadaannya. Priyadi menjadi terlena dan lengah. Padahal kalau saja dia tidak mabok oleh nafsunya sendiri, dia akan melihat perubahan yang luar biasa pada sikap Sumarni. Belum pernah Sumarni memperlihatkan gairah yang demikian besar dan berlebihan, memperlihatkan kemesraan yang membuat dia mabok. Kalau dia waspada, tentu saja hal ini akan mendatangkan kecurigaan.
Namun, Priyadi tenggelam ke dalam gelombang nafsu dan lupa segala. Akhirnya Priyadi tertidur karena kepuasan dan kelelahan. Sumarni pura-pura tertidur sambil merangkulnya, akan tetapi diam-diam sepasang mata wanita ini melirik ke arah Pecut Bajrakirana yang diletakkan di tepi bantal, di dekat dinding oleh Priyadi.
Lewat tengah malam, setelah merasa yakin bahwa Priyadi telah benar-benar pulas, tertandai oleh dengkurnya yang dalam. Sumarni lalu bergerak perlahan dan hati-hati. Tangannya dijulurkan meraih pecut sakti itu. Dilibatkan ujung pecut yang panjang itu kepada batang pecut dan Ia lalu turun perlahan-lahan. Dibetulkan letak pakaiannya dan tanpa memperdulikan lagi akan pakaiannya yang kusut dan rambutnya yang terlepas dan terurai panjang, iapun berjingkat ke arah pintu kamar, membuka pintu kamar lalu melangkah menuju ke pintu belakang. Keadaan rumah itu telah sunyi, semua orang agaknya telah tertidur pulas, merasa aman karena perkampungan itu terjaga ketat.
Sumarni telah mempelajari keadaan perkampungan itu. Ia tahu bagian dinding mana yang dapat diterobosnya untuk keluar tanpa diketahui para penjaga. Untuk itu ia harus memanjat pagar kayu yang tinggi. Ia membelit dan mengikatkan pecut itu di pinggangnya, mengikatkan ujung kain di pinggang dan memanjat pagar itu. Akhirnya, dengan susah payah dan hati hati ia berhasil meninggalkan perkampungan Jatikusumo tanpa terlihat oleh penjaga, Larilah wanita ini menuju ke pantai. Untung baginya bahwa bulan purnama cukup terang sehingga dia dapat melihat jalan. Ia berlari menuju ke pantai berpasir di mana tadi ia hendak membunuh diri dan bertemu dengan Sutejo dan Retno Susilo.
Retno susilo sudah kembali ke mulut guha dan menjaga api unggun supaya tidak sampai padam. Ia duduk di depan api unggun asan tetapi matanya selalu dilayangkan ke arah pantai pasir penuh harap, menanti kemunculan orang yang ditunggu-tunggu, yaitu Sumarni. Maka, begitu melihat bayangan Sumarni berian ke pantai pasir itu. Retno Susilo cepat bangkit berdiri, melompat dan berlari cepat sekali menghampiri Sumarni yang sudah berhenti di pantai dan memandang ke sekeliling.
"Mbakayu Sumarni......!"
Retno Susilo memanggil dau dengan cepat ia telah berhadapan dengan wanita itu.
"Ahh, engkau sudah datang, den roro!"
Kata Sumarni dengan lega. Napasnya masih terengah-engah karena ia tadi berlari terus, pakaiannya kusut dan rambutnya terurai. Tanpa bicara lagi ia melepaskan libatan Pecut Bajrakirana dan menyerahkannya kepada Retno Susilo.
Retno Susilo menerima pecut itu. mengamatinya sejenak dan ia mengenal pecut pusaka yang pernah dimilikinya untuk beberapa hari dahulu. Dengan hati girang sekali ia memeluk Sumarni dan mencium kedua pipi wanita itu.
"Mbakayu Sumarni! Terima kasih, mbakayu, engkau telah menyelamatkan nyawa kakangmas Sutejo. Terima kasih, engkau baik sekali!"
Sumarni sesenggukan dalam rangkulan Retno Susilo. Wanita ini merasa nelangsa sekali. Ia telah mengorbankan perasaannya, menahan rasa benci dan muaknya terhadap Priyadi yang telah menghancurkan hatinya, dengan bersikap mesra dan penuh cinta kasih. Akan tetapi ia juga merasa bersedih karena ia harus mengkhianati orang yang sesungguhnya ia cinta. Tak disangkanya cintanya yang demikian tulus dan murni terhadap Priyadi telah dihancurkan pemuda itu dengan perbuatan keji, menyerahkan ia untuk diperkosa oleh Ki Klabangkolo!
"Den roro, semoga engkau hidup berbahagia dengan denmas Sutejo........"
Katanya lirih.
Retno Susilo melepaskan rangkaiannya dan ia mengeluarkan sekantung uang yang tadi telah dipersiapkannya.
"Terimalah ini, mbakayu, untuk bekalmu dalam perjalanan. Sekarang, cepat pergilah dari sini dan lakukan perjalanan, terus saja menuju ke utara dan pergilah ke daerah Ngawi, tanayakan perkampungan Nogo Dento yang berada di tepi bengawan. Pergilah engkau ke sana. katakan kepada Ki Harjodento yang menjadi ketua di sana bahwa engkau datang karena aku yang menyuruhmu dan ceritakan semua kepada mereka. Engkau akan diterima dengan baik dan engkau akan aman di sana. Cepat pergilah!"
Sumarni menoleh ke arah utara, lalu mengangguk.
"Selamat tinggal, den roro!"
Katanya terisak.
"Selamat jalan, mbakayu!"
Sumarni lalu melangkah pergi, menuju ke utara dan lenyap di balik batu-batu karang. Dengan gembira sekali Retno Susilo memainkan pecut itu lalu berlari kembali ke dalam guha ia melihat Sutejo masih tidur pulas. Hatinya merasa khawatir. Bagaimana kalau Priyadi sudah tahu bahwa Pecut Bajrakirana telah dicuri oleh Sumarni? Tentu dia akan datang mencari ke sini dengan membawa para pembantunya. Gawat kalau begitu! Malam telah larut dan Sutejo telah tidur cukup. Dia harus dibangunkan untuk diberitahu akan kenyataan yang menggembirakan itu dan untuk berjaga-jaga kalau Priyadi dan kawan-kawannya datang mencari pecutnya.
"Kakangmas Sutejo.....!"
Ia mengguncang pundak pemuda itu.
Sutejo tidur dalam keadaan siap, maka begitu terguncang pundaknya, dia segera bangkit duduk dan memandang Retno Susilo.
"Diajeng Retno! Ada apakah, sudah pagi?"
"Belum, kakangmas. Akan tetapi sudah lewat lengah malam. Bangunlah, kakangmas, ada suatu kabar gembira untukmu!"
Sutejo tersenyum. Gadis aneh, membangunkannya hanya untuk memberi kabar gembira. Mana ada kabar gembira di situ?
"Kabar apakah, diajeng?"
Katanya sambil bangkit berdiri dan mengambil tempat duduk di depan api unggun, dekat Retno Susilo.
"Lihat ini.......!"
Kata Retno Susilo sambil mengambil pecut yang tadi disembunyikan di belakang tubuhnya dan dia mengangkat pecut itu tinggi-tinggi sehingga terkena cahaya api unggun,
Sutejo terbelalak, mengejap-ngejapkan matanya seolah tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
"Bajrakirana.......???"
Dia berseru, kaget dan heran, juga penuh keraguan.
"Yang aseli dan murni!"
Kata Retno Susilo gembira sambil menyerahkan pecut itu.
"Kalau tidak percaya, periksalah sendiri, kakangmas."
Sutejo mengambil pecut itu dari tangan Retno Susilo dan mengamati pecut itu. Matanya terbelalak, wajahnya berseri dan jantungnya berdebar penuh rasa gembira luar biasa. Dia tidak ragu lagi. Ini memang Pecut Sakti Bajrakirana yang asali. Dia mencium pecut itu dan menjunjung tinggi di atas kepalanya, lalu memandang kepada Retno Susilo.
"Diajeng, mujijat apakah yang telah kau lakukan ini? Bagaimana mungkin pecut pusaka yang kemarin sore masih dipergunakan oleh Priyadi, kini dapat berada di tanganmu? Apakah yang telah kau lakukan? Apa yang telah terjadi?"
"Kecerdikan, kakangmas. Kalau kekuatan sudah tidak berdaya, maka kecerdikan dapat menolong. Dengan menggunakan akal aku dapat memperoleh Pecut Bajrakirana dari tangan si jahanam Priyadi."
"Bagaimana caranya, Diajeng?"
Tanya Sutejo kagum.
"Apakah engkau tadi berkunjung kesana? berbahaya sekali!"
"Kalau aku sendiri berkunjung ke sana dan. menggunakan kekerasan, itu berarti perbuatan nekat dan bodoh. Tidak, aku tetap ada di sini, hanya menanti, kakangmas. Yang melakukan bukan aku, melainkan Sumarni."
"Sumarni?"
Sutejo terbelalak.
"Akan tetapi bagaimana.....?"
"Engkau tentu tahu bahwa Sumarni mengandung dendam sakit hati yang besar sekali terhadap Priyadi, kakangmas. Ia demikian bersedih sehingga hampir saja ia membunuh diri kalau tidak tertolong olehmu. Nah, aku menggunakan dendamnya itu, memberi jalan kepadanya untuk membalas dendam dengan mencuri pecut pusaka ini untukku dan untukmu. Ia hendak membalas dendamnya kepada Priyadi dan membalas budimu dengan mencuri pecut pusaka ini untukmu, dan ia berhasil."
"Ahh.....! Itu berbahaya sekali! Dan di mana Sumarni sekarang?"
"Aku telah memberinya bekal cukup dan menyuruh ia pergi ke perkampungan Nogo Dento. Ia akan aman di sana. Baru saja ia telah pergi sehingga tidak mungkin akan tertangkap oleh Priyadi yang tentu tidak tahu ke mana ia melarikan diri."
"Bagus, mudah-mudahan ia dapat tiba di sana dengan selamat. Akan tetapi, diajeng, perbuatan ini...... mencuri Pecut Bajrakirana...... merupakan perbuatan yang curang......!"
Retno Susilo mengerutkan alisnya dan menatap wajah pemuda itu dengan marah.
"Kakangmas Sutejo! Menghadapi seorang jahanam busuk seperti Priyadi itu, engkau masih hendak menggunakan kejujuran? Ingat, engkau sendiri yang bercerita tentang Pecut Sakti Bajrakirana, Bukankah pecut itu tadinya dicuri oleh Bhagawan Jaladara dari padepokan Resi Limut Manik? Kemudian engkau berhasil merampasnya. Kemudian Bhagawan Jaladara menggunakan kecurangan lagi, memaksamu mengembalikan pecut itu kepadanya dengan mengancam akan membunuh gurumu. Dua kali Bhagawan Jaladara menguasai pecut itu dengan kecurangan dan kejahatan, dan dia menyerahkan pecut kepada Priyadi. Kalau sekarang aku menggunakan akal, ingat aku dan bukan engkau yang menggunakan akal mencuri pecut itu dari tangan Priyadi, bukankah hal itu sudah sewajarnya? Aku yang mencuri, kakangmas, bukan engkau. Dan aku memberikan pecut itu kepadamu, seperti Bhagawan Jaladara memberikannya kepada Priyadi!"
Melihat gadis itu marah-marah dan mendengar ucapannya yang mengandung kebenaran, Sutejo tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Terima kasih, diajeng. Aku menerima pemberianmu dan sekarang aku melihat bahwa memang sudah sewajarnya dan sepantasnya kalau Pecut Bajrakirana ini kembali ke tanganku karena memang aku yang berhak."
Setelah berkata demikian. Sutejo lalu berlatih silat, memainkan pecut itu dengan ilmu pecut Aji Bajrakirana. Semenjak dia menguasai aji itu, baru sekali ini dia berlatih menggunakan pecut aslinya. Terasa cocok dan enak sekali bersilat dengan aji itu menggunakan Pecut Bajrakirana, sudah pas dan tepat sekali. Pecut meledak-ledak dan tampak bunga api berpilar ketika ujung pecut mematuk udara. Ledakan diselingi sinar bunga api sehingga cocok benar dengan nama pecut itu Bajrakirana (Sinar Kilat).
Retno Susilo menonton dengan takjub dan kagum sekali. Sungguh luar biasa sekali ilmu silat yang dimainkan kekasihnya itu dan ia merasa yakin bahwa Sutejo pasti akan mampu mengalahkan Priyadi kalau dia menggunakan Pecut Bajrakirana.
Akan tetapi padu saat itu terdengar suara nyaring.
"Sutejo, pencuri hina. manusia curang. Kembalikan Bajrakirana kepadaku!"
Itu adalah teriakan Priyadi yang dilakukan dari jarak jauh dan tampaklah banyak obor dibawa banyak orang yang berlari-larian menuju ke guha itu. Melihat ini, Sutejo juga mengerahkan tenaga saktinya dan berteriak lantang.
"Priyadi, ini adalah pecut pusaka milikku! Engkaulah yang mencurinya dariku melalui tangan Bhagawan Jaladara!"
Akan tetapi Retno Susilo sudah menyambar tangan kiri Sutejo dan ditariknya pemuda itu, diajaknya lari dari situ.
"Kakangmas Sutejo, mari kita lari!"
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak. aku hendak menghajar Priyadi!" "Kakangmas! Aku sudah mendengar dari mbakayu Sumarni bahwa Priyadi dibantu baayak orang.
Ada Resi Wisangkolo, Ki Klabangkolo, Sekarsih dan tiga orang perwira Wirosobo. Belum lagi diperhitungkan anak buahnya yang seratus lima puluh lebih banyaknya. Bagaimana kita mampu melawan mereka? Belum waktunya sekarang untuk membasmi mereka. Marilah kita lari!"
Retno Susilo menarik lagi tangan Sutejo untuk diajak melarikan diri. Kini Sutejo juga tidak membantah lagi karena dia menyadari bahwa seorang diri, bahkan dibantu oleh Retno Susilo sekalipun, melawan demikian banyaknya orang, sama saja dengan membunuh diri. Perbuatan nekat yang tidak dapat perhitungkan dan bodoh.
"Mari!"
Katanya dan kedua orang itu lalu melompat keluar dari guha dan melarikan diri.
Para pengejar dapat melihat bayangan dua orang yang melarikan diri ini. Mereka berteriak-teriak dan dipimpin oleh Priyadi dan Resi Wisangkolo, mereka melakukan pengejaran. Akan tetapi Sutejo menggunakan Aji Harina Legawa yang sudah mencapai tingkat tertinggi sehingga tubuhnya meluncur Seperti terbang cepatnya. Retno Susilo juga tidak mau kalah. Dengan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya juga berlari cepat bukan main. Sebentar saja bayangan dua orang ini sudah lenyap dan para pengejar kehilangan jejak.
"Jahanam keparat!"
Priyadi membanting-banting kaki dengan marah, kemudian dia teringat akan Sumarni. Bangkit kemarahannya karena dia menyadari bahwa tentu Sumarni yang telah melakukan pencurian terhadap pecut pusaka itu dan entah bagaimana wanita itu agaknya telah menyerahkan pecut pusaka itu kepada Sutejo.
"Cari Sumarni!"
Teriaknya sehingga terdengar oleh semua anak buahnya.
"Cari perempuan khianat itu sampai ketemu, hidup atau mati!!"
Karena sudah tidak mungkin mengejar kedua orang muda yang telah lenyap dan tidak diketahui lari ke arah mana itu, anak buah Priyadi kini melaksanakan perintah pimpinan mereka. Mereka mengira bahwa mencari Sumarni tentu lebih mudah karena Sumarni adalah seorang wanita lemah dan tentu belum lari jauh.
"Cari ia! Kalau perlu susul dan cari sampai ke desanya, di Jaten!"
Teriak pula Priyadi. Dia sendiri lalu ikut mencari dengan dada yang rasanya seperti mau meledak saking marahnya. Namun, semua pencari itu salah arah. Tidak ada yang mengira bahwa Sumarni sejak malam tadi sudah melarikan diri dan arahnya ke utara.
Pemuda gagah perkasa tinggi besar itu melangkah tanpa ragu menuju pintu gerbang keputren. yang berada di bagian belakang istana kerajaan Mataram. Dia memanggul sebatang tongkat dan sikapnya santai saja ketika dia menghampiri belasan orang perajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang keputren itu. Daerah keputren ini merupakan daerah terlarang bagi orang luar, terutama pria untuk memasukinya dan kalau ada yang mempunyai keperluan penting dengan keputren, dia harus mempunyai surat ijin dari pejabat pengawas keamanan istana.
Pemuda itu adalah Cangak Awu. Seperti kita ketahui, dia datang ke kota raja untuk menemui adik seperguruannya, yaitu Puteri Wandansari untuk melaporkan tentang keadaan Jatikusumo yang telah dibasmi oleh Priyadi.
"Berhenti!!"
Bentak kepala jaga ketika melihat Cangak Awu menghampiri pintu gerbang dengan sikap santai dan melangkah seenaknya Cangak Awu berhenti melangkah dan menghadapi belasan orang penjaga yang menghadangnya dengan pandang mata galak penuh curiga.
"Heii, siapa engkau dan mau apa engkau berani mendekati pintu gerbang keputren?"
Menghadapi teguran yang galak itu Cangak Awu bersikap tenang saja. Dia memang belum pernah berkunjung ke tempat tinggal Puteri Wandansari dan tidak tahu tentang peraturan di tempat itu. Berbeda dengan mendiang Maheso Seto dan Rahmini yang tempo hari datang berkunjung. Mereka tidak mau repot-repot dan memasuki keputren dengan cara menyelundup, mempergunakan kepandaian mereka untuk melompati pagar tembok yang mengelilingi keputren dan langsung menemui Puteri Wandansari di dalam. Cangak Awu adalah seorang yang kasar dan jujur, dia tidak mempunyai akal untuk melakukan bal seperti itu, melainkan langsung saja hendak masuk melalui pintu gerbang seperti memasuki perkampungan sendiri saja.
"Namaku Cangak Awu dan aku ingin memasuki pintu gerbang ini untuk bertemu dan bicara dengan Diajeng Wandansari"
Kata Cangak Awu dengan nada suara biasa saja.
Belasan orang perajurit itu saling pandang dengan kaget dan heran. Kepala jaga menjadi marah sekali.
"Manusia kurang ajar! Berani engkau menyebut Gusti Puteri Wandansari dengan diajeng" "Sudah gilakah engkau? Hayo cepat minggat dari sini atau kami akan menangkapmu dengan tuduhan mempunyai niat buruk yang mencurigakan!" "Saudara-saudara, aku bicara sebenarnya. Diajeng Wandansari adalah adik seperguruanku dan ingin bertemu dan bicara kepadanya karena, ada urusan penting sekali. Biarkanlah aku masuk dan mencarinya!"
Setelah berkata demikian, Cangak Awu sudah menggerakkan kakinya lagi untuk melangkah maju hendak memasuki pintu gerbang. Akan tetapi empat batang tombak dipalangkan menghadang di depan dadanya. Kepala para perajurit pengawal itu menjadi marah sekali.
"Orang gila! Tangkap dia!"
Belasan orang perajurit pengawal yang berjaga di situ segera mengepung Cangak Awu dan empat orang yang berada paling depan sudah menubruk dan meringkus kaki tangan Cangak Awu. Diperlakukan demikian, Cangak Awu menjadi marah.
"Haaaaiiittt......!"
Dia mengeluarkan teriakkan nyaring dan tubuhnya bergerak mengguncang. Empat orang yang meringkusnya itu terpental berpelantingan dan roboh terbanting! Melihat ini, para perajurit menjadi marah dan mereka segera mempergunakan tombak dan golok untuk menyerang Cangak Awu yang mereka, kira mengamuk.
Cangak Awu menggerakkan tongkatnya melakukan perlawanan. Gerakannya hebat sekali. Tombak dan golok yang bertemu tongkatnya tentu terpental dan pemegangnya terhuyung. Diam-diam seorang di antara para perajurit itu lari memasuki keputren untuk melaporkan amukan pemuda itu kepada Sang Puteri Wandansari.
Perkelahian yang terjadi di depan pintu gerbang keputren itu menarik perhatian banyak orang. Banyak orang datang menonton Cangak Awu mengamuk dengan tongkatnya. Perajurit yang berani menyerang dan mendekatinya tentu akan terpental dan terlempar. Akan tetapi pemuda ini tidak berwatak kejam. Dia tahu bahwa para perajurit itu adalah pengawal-pengawal Puteri Wandansari, bukan musuh. Maka diapun membatasi tenaganya dan hanya membuat mereka berpelantingan tanpa melukai mereka dengan parah.
Para penjaga yang mengandalkan banyak kawan, masih terus mengeroyok. Yang roboh bangkit lagi dan hujan senjata menyerang tubuh Cangak Awu. Akan tetapi pemuda itu memutar tongkatnya. Terdengar suara berdentangan dan banyak senjata golok dan tombak beterbangan, terlepas dari pemegangnya.
"Berhenti semua!"
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan mendengar suara bentakan ini, para perajurit segera berlompatan ke belakang, menghentikan pengeroyokan mereka.
Cangak Awu memanggul tongkatnya dan memutar tubuh menghadapi orang yang mengeluarkan suara bentakan tadi. Wajahnya berseri ketika melihat bahwa yang datang adalah Puteri Wandansari sendiri. Sang Puteri mendengar pelaporan perajurit dan segera ia berlari keluar karena ia tahu bahwa kakak seperguruannya, Cangak Awu, adalah seorang yang berwatak kasar dan jujur sehingga mungkin akan terjadi keributan dengan para penjaga. Benar saja, ketika ia tiba di pintu gerbang, ia melihat kakak seperguruannya itu mengamuk dengan tongkatnya. Akan tetapi iapun dapat melihat betapa Cangak Awu tidak bermaksud mencederai para pengeroyok, maka ia membentak para perajurit itu untuk mundur.
"Diajeng Wandansari......!"
Cangak Awu berseru dengan girang.
"Kiranya engkau, Kakang Cangak Awu!"
Kata Sang Puteri dan para perajurit pengawal saling pandang dan tertegun. Kiranya pengakuan pemuda kasar itu benar. Gusti Puteri mereka mengenal baik dan menyebut kakang kepada pemuda itu!
"Maafkan kalau kedatanganku ini membuat kekacauan. Habis, mereka tidak memperkenankan aku masuk menemuimu, diajeng."
Kata Cangak Awu sambil memandang kepada belasan orang perajurit yang berkumpul di depan gardu penjagaan.
"Maafkan mereka, Kakang Cangak Awu. Mereka hanya melaksanakan tugas menjaga keamanan dan keselamatan keputren. Mari, masuklah. Tentu ada keperluan penting sekali maka engkau datang menemuiku."
"Memang aku membawa berita yang teramat penting, diajeng."
Kata Cangak Awu yang melangkah masuk dan keduanya segera melangkah memasuki taman keputren yang luas. Sang Puteri Wandansari mengajak Cangak Awu untuk pergi ke tengah taman di mana terdapat sebuah anjungan, ruangan terbuka yang terlindung atap yang biasanya dipergunakan untuk duduk bersantai menikmati keindahan dalam taman.
"Duduklah, Kakang Cangak Awu dan ceritakan apa urusan penting yang hendak kau sampaikan kepadaku."
Kata Puteri Wandansari dengan sikap ramah Cangak Awu lalu duduk di atas bangku, beihadapan dengan puteri itu. Dia sudah biasa berhubungan dengan dara bangsawan yang cantik jelita itu sebagai saudara seperguruan, maka dia tidak merasa canggung dan, menganggap sang puteri itu seperti adiknya sendiri.
"Diajeng Wandansari. Berita yang kubawa ini teramat penting, akan tetapi juga amat menyedihkan. Hatiku masih seperti diremas-remas rasanya kalau teringat akan semua peristiwa itu."
Wandansari mengerutkan alisnya. Ia mengenal baik pemuda tinggi besar yang gagah perkasa ini. Cangak Awu adalah seorang pemuda yang keras, kasar dan jujur, tabah dan tidak cengeng. Maka kalau sekarang demikian bersedih dan merasa hatinya seperti diremas-remas, tentu telah terjadi sesuatu yang hebat sekali.
"Kakang Cangak Awu, berita apakah itu, cepat katakan kepadaku!"
Wandansari mendesak, ingin sekali mendengar apa yang telah terjadi.
"Dunia terasa kiamat, geger teluh terjadi malapetaka hebat menimpa Jatikusumo, diajeng. Hampir semua murid Jatikusumo terbantai, Kakang Maheso Seto, Mbakayu Rahmini, bahkan Bapa Sindusakti teiah tewas"
Cangak Awu tidak dapat melanjutkan ceritanya karena lehernya seperti tercekik kesedihan dan keharuan.
Sepasang mata yang tajam indah itu terbelalak, wajah itu menjadi pucat dan Puteri Wandansari bangkit berdiri, mengepal kedua tangan.
"Ya Tuhan......! Siapa yang melakukan semua pembunuhan itu?"
Tanyanya setengah berteriak.
"Kakang Priyadi manusia murtad yang durhaka itu!"
"Kakang Priyadi? Akan tetapi bagaimana mungkin! Kakang Priyadi adalah seorang murid yang baik dan berbakti, bahkan kita semua tahu bahwa dia adalah murid terkasih dari Bapa Guru!"
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo