Pecut Sakti Bajrakirana 22
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
Priyadi kini mulai terdesak hebat oleh Sutejo. Priyadi sudah mengerahkan seluruh tenega dan mengeluarkan seluruh ilmunya, namun semua ilmunya dapat dipunahkan oleh kehebatan Pecut Sakti Bajrakirana yang menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda Beberapa kali hampir saja kepala Priyadi dapat dipatuk ujung pecut, membuat dia terkejut dan terhuyung ke belakang. Priyadi juga melihat bahwa kawan-kawannya juga agaknya kerepotan menghadapi lawan masing-masing. Bahkan Resi Wisangkolo yang dia andalkan itu belum juga mampu mengalahkan Puteri Wandansari. Mulai patah semangat Priyadi. Tiba-tiba kembali pecut lawannya menyambar dan meledak di atas kepalanya.
"Tar-tar-tar...... !!"
Priyadi menjadi marah sekali. Pecut Bajrakirana itu sungguh membuat dia kewalahan. Tiga kali dia menggerakkan kecil pusaka Liat Nogo untuk menangkis, kemudian secepat kilat tangan kirinya menghantam dengan pengerahan Aji Margopati. Melihat ini, Sutejo cepat menyambut pukulan itu dengan Aji Bromokendali yang amat dahsyat.
"Blarrrr......!!"
Demikian hebatnya pertemuan dua tenaga sakti itu dan akibatnya, tubuh Priyadi terhuyung dan pada saat itu, Pecut Bajrakirana telah menyambar lagi ke arah kepalanya, Priyadi cepat mengelak.
"Tarr......!!"
Ujung pecut itu luput mengenai kepalanya, akan tetapi masih melecut punggungnya dan merobek bajunya. Juga kulit punggungnya lecet berdarah Priyadi terkejut, cepat menjatuhkan tubuhnya ke samping lalu bergulingan menjauh. Ketika dia melompat bangun, dia berteriak kepada anak buahnya.
"Serbuuu...!!"
Teriakan ini amat nyaring dan begitu besar pengaruhnya karena pada saat itu, seluruh anak buahnya yang terdiri dari dua ratus orang lebih sudah bersorak dan menyerbu keluar!
Perwira Mataram yang telah mendapat tugas dari Puteri Wandansari untuk memimpin pasukan, sudah dipesan oleh sang puteri bahwa pasokannya baru boleh bergerak kalau anak buah Jatikusumo mulai menyerang. Kini melihat anak buah Jatikusumo keluar sambil berteriak-teriak dan meng acung-acungkan senjata, diapun memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyambut serbuan itu.
Terjadilah pertempuran hebat di pagi hari itu. Para anak buah pasukan mendapatkan lawan masing-masing dan tidak berani mencampuri para pimpinan yang sedang bertanding. Sutejo kehilangan Priyadi yang menghilang ke dalam perkampungan Jatikusumo. Dia merasa penasaran dan cepat melakukan pengejaran, menyelinap ke dalam perkampungan yang sudah ditinggalkan oleh semua anak buah Jatikusumo yang kini telah bertempur di luar perkampungan. Sutejo memasuki bangunan induk dan mencari Priyadi. Akan tetapi yang ada hanya dua orang gadis yang tampak ketakutan dan saling rangkul di ruangan belakang. Tidak tampak seorangpun pelayan, agaknya mereka semua telah menyembunyikan diri. Ketika melihat Sutejo kedua orang gadis itu tampak semakin ketakutan.
"Katakan, di mana adanya si jahanam Priyadi?"
Tanya Sutejo kepada mereka, Ketika melihat sikap Sutejo yang menyebut jahanam kepada Priyadi, dua orang gadis itu hilang rasa takutnya, Mereka adalah dua orang gadis dusun yang semalam dipaksa melayani Priyadi dan mereka amat membenci laki-laki itu.
"Ke sana...... dia lari ke sana......!"
Gadis tertua menunjuk ke pintu yang menembus ke bagian belakang rumah itu. Melihat ini, Sutejo lalu melompat dan melakukan pengejaran.
Ketika Sutejo tiba di luar rumah bagian belakang, dia masih dapat melihat sesosok bayangan berlari cepat menuju ke kebun belakang, ke arah perbukitan yarg berada di belakang kebun itu. Dia segera mengerahkan Aji Harina Legawa dan melompat dengan cepatnya, lalu berlari seperti terbang melakukan pengejaran.
Dia mendaki perbukitan di bagian belakang perkampungan Jatikusumo akan tetapi kehilangan jejak Priyadi. Melihat sebuah sumur tua, Sutejo menghampiri sumur itu. Dia berdiri di tepi sumur, yang letaknya agak meninggi, lalu memandang ke sekeliling. Tidak tampak bayangan Priyadi. Kemudian dia mendapat sebuah pikiran. Jangan-jangan Priyadi bersembunyi di dalam sumur ini! Lalu dia menjenguk ke dalam sumur. Tidak tampak sesuatu, hanya hitam gelap. Kalau memang benar Priyadi bersembunyi di dalam sumur tua itu, berbahaya sekali untuk mengejarnya. Di dalam demikian gelap dan dia tidak tahu apa yang terdapat di dasar semur. Suara pertempuran masih terdengar dari situ. Ramai terdengar teriakan-teriakan mereka yang bertempur mati-matian, Dia teringat akan ayah ibu, Puteri Wandansari, Retno Susilo dan yang lain-lain. Mereka mungkin membutuhkan bantuannya. Lebih baik dia kembali ke sana.
Tiba-tiba saja, pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
"Hyaaaaattt!!"
Pukulan itu datangnya dahsyat bukan main, disertai angin pukulan yang amat kuat. Itulah Aji Margopati yang dipergunakan oleh Priyadi yang memukul dari belakang. Kiranya tadi dia bersembunyi di balik batu besar di dekat sumur itu dan selagi Sutejo menjenguk ke dalam sumur dan membelakanginya, dia memukul dengan Aji Margopati sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya.
Sutejo tidak dapat mengelak sepenuhnya, maka dia dapat memutar tubuh mengangkat tangan untuk menangkis sambil mengerahan aji kekebalannya.
"Desss.......!!"
Karena kedudukannya yang tidak menguntungkan itu, sedang berjongkok di tepi sumur sambil membalikkan tubah menangkis, pertemuan dua tenaga sakti itu sedemikian hebat"nya membuat tubuh Sutejo terjungkal ke dalam sumur tua itu!
"Ha ha ha-ha, mampus engkau, Sutejo!"
Priyadi tertawa-tawa sambil berjongkok dan menjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi alangkah kagetnya hati Priyadi ketika pada saat itu, tubuh Sutejo melayang naik dari dalam sumur! Kiranya Sutejo ketika terjungkal tadi, tangannya meraih dan kebetulan sekali tangan kirinya dapat menangkap sebuah batu besar yang menonjol di dinding sumur. Dia mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan sekali mengenjot tubuhnya bertumpu pada batu itu, tubuhnya melayang naik ke atas, melewati tubuh Priyadi yang sedang berjongkok. Setelah tiba di atas. karena tidak ingin didahului lawan yang pasti akan menyerangnya lagi, Sutejo berjungkir balik seperti seekor burung srikatan dan pergelangan tangan kanannya bergerak.
"Tar-tarrr......cuiiiittt.....!!"
Ujung pecut Bajrakirana menyambar ke arah mata dan ubun-ubun kepala Priyadi dengan kecepatan kilat Ternyata dalam keadaan melayang jungkir balik dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, Sutejo mampu melakukan serangan yang amat hebat, Priyadi tidak sempat mengelak terhadap sambaran kedua yang mengarah ubun-ubun kepalanya. Maka dia lalu menggunakan tangan kirinya untuk menangkap ujung pecut yang menyambar ke arah ubun-ubunnya. Akan tetapi pada saat itu, secepat kilat Sutejo menyusulkan pukulan Bromokendali dari
(Lanjut ke Jilid 24 - Tamat)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 24 (Tamat)
atas, Hebat bukan main pukulan jarak jauh ini, mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Priyadi masih berusaha untuk miringkan tubuh, namun pundaknya terdorong keras dan tak dapat dihindarkan lagi tubuhnya terjengkang masuk ke dalam sumur tua!
Sutejo turun di tepi sumur, berdiri dan siap sedia untuk bertanding lagi kalau Priyadi dapat keluar dari sumur. Dia mendengar suara gedebukan di bawah sana, lalu terdengar suara tawa yang membuat bulu tengkuknya meremang karena suara tawa itu menyeramkan sekali, bukan seperti tawa manusia, melainkan suara iblis yang tertawa! Kemudian, terdengar jeritan melengking berkali-kali, jeritan mengandung rintihan kesakitan yang makin lama semakin mengerikan seolah olah peneriaknya itu menderita kesakitan yang amat hebat.
"Auuurrrggghhh.........ah-ah-auurrhh........!!"
"Hua-ha-ha-ha ha-ha!"
Suara tawa iblis itu terdengar menyelingi pekik kesakitan. Pekik itu makin melemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Sunyi di bawah sana. Sutejo tertegun, masih tegang oleh pekik melengking dan tawa mengerikan tadi. Dia tidak dapat menduga apa yang telah terjadi di bawah, di dasar sumur itu dan diapun tidak ingin menuruni sumur dan melihatnya, dapat menduga bahwa di dalam sumur itu terdapat bahaya yang menakutkan. Ketika dia mendengar teriak-terakan mereka yang bertempur, Sutejo lalu melompat dan berlari cepat menuruni bukit itu menuju ke depan perkampungan Jatikusumo yang telah menjadi medan pertempuran.
Kalau Sutejo dapat melihat ke dalam sumur, dia akan menyakitkan penglihatan yang mendirikan bulu roma karena amat menyeramkan. Ternyata ketika Priyadi terjatuh ke dalam sumur, di dasar sumur telah menanti Resi Ekomolo yang lumpuh kedua kakinya. Kakek menyeramkan seperti Jerangkong itu tadi mendengar keributan di luar sumur, maka dia lalu berlompatan ke dasar sumur, mengharapkan akan ada yang mau menolongnya keluar dari sumur itu. Akan tetapi tiba-tiba ada orang melayang ke dalam sumur. Sepasang mata kakek itu yang sudah terbiasa di tempat gelap, segera dapat mengenal Priyadi! Amarah dan dendam yang meluap-luap timbul dalam hatinya ketika dia melihat Priyadi. Juga dia merasa girang sekali karena mendapat kesempatan untuk membalas dendam, maka dia mengeluarkan suara tawa seperti iblis, lalu bagaikan seekor binatang buas dia telah menerkam ke arah tubuh Priyadi yang terjatuh. Priyadi telah terluka pundaknya oleh pukulan Aji Bromokendali yang amat kuat, maka ketika terjatuh ke dalam sumur, dia tidak mampu mengatur keseimbangannya dan terbanting ke atas dasar sumur. Dia masih dalam keadaan nanar dan pundaknya seperti remuk rasanya ketika Resi Ekomolo menyerangnya. Tentu saja dia tidak dapat menghindar dan kedua tangan Resi Ekomolo yang jari-jarinya berkuku runcing seperti cakar setan itu telah mencengkeram lehernya dari kanan kiri dan tubuh kakek lumpuh itu telah menempel bagaikan seekor lintah di punggung Priyadi!
Cengkeraman yang mencekik leher itu luar biasa kuatnya sampai kuku-kuku sepuluh jari tangan itu menghunjam dan merobek kulit daging leher. Rasa nyeri yang amat hebat membuat Priyadi mengeluarkan pekik melengking kesakitan yang terdengar oleh Sutejo, diseling suara tawa Resi Ekomolo. Darah mengucur dari kanan kiri leher yang dicengkeram kedua tangan dan melihat darah, Resi Ekomolo yang bagaikan sudah menjadi gila karena terlalu lama tinggal di sumur neraka itu dan karena marah dan dendam, lalu menempelkan mulutnya ke leher yang berdarah dan menghisap darah mengacar keluar dari luka dileher Priyadi! Priyadi merasa tidak mampu membebaskan diri dari cengkeraman yang mencekik leher itu dan dia merasa betapa rasa nyeri berdenyut-denyut menyiksa seluruh tubuhnya, terutama di bagian kepalanya. Rasa nyeri yang membuatnya hampir gila. Juga dia merasa semakin lemah karena terlalu banyak darah yang mengucur keluar dan terus mengucur karena dihisap oleh kakek gila itu.
Rasa nyeri yang amat sangat dan rasa diri semakin lemah menyadarkan Priyadi bahwa diri nya terancam maut, nyawanya sudah berada dalam cengkeraman maut. Maka, dia lalu menjadi nekat. Digenggamnya gagang keris pusaka liat Nogo, kemudian dengan sisa tenaganya yang masih ada, dia menusukkan keris itu ke belakang punggungnya.
"Capppp.....!"
Keris itn menembus kulit daging, memasuki rongga dada Resi Ekomolo dan langsung menusuk jantung!
"Auuuggghhhh.....!!"
Resi Ekomolo menjerit, akan tetapi cengkeraman kedua tangan pada leher Priyadi tidak dapat terlepas lagi karena sepuluh jari tangannya sudah menancap dalam-dalam ke leher itu Priyadi roboh dan tubuh Resi Ekomolo terbawa roboh. Kedua orang itu tewas dalam saat yang hampir berbareng, keduanya mati dengan mata terbelalak! Roh mereka menjadi roh penasaran yang gentayangan dan menghantui sumur tua di bukit belakang perkampungan Jatikusumo itu!
Sutejo berlari cepat, kembali ke medan pertempuran. Setibanya di tempat itu, pertempuran masih berlangsung dengan seru dan hebatnya. Kini menjadi pertempuran besar karena semua orang di kedua pihak ikut bertempur. Darah tercecer di mana-mana. Tubuh-tubuh manusia yang terluka berat atau sudah tidak bernyawa lagi malang melintang dan tumpang tindih di sekitar tempat itu. Yang pertama-tama diperhatikan oleh Sutejo adalah Puteri Wandansari dan Retno Susilo. Retno Susilo ternyata mampu mendesak Bhagawan Jaladara, bukan saja pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar kehijauan itu mengurung dan mendesak Bhagawan Jaladara, bahkan agaknya pukulan Wiso Sarpo yang dipergunakan Retno Susilo telah mengejutkan pendeta itu karena ketika ditangkis, tangan kirinya terasa panas yang menembus ke tulang lengan sehingga dia dapat menduga bahwa ada bawa beracun yang amat kuat telah memasuki lengan kirinya. Bhagawan Jaladara mulai menjadi panik, apa lagi ketika dia melihat betapa rekan-rekannya juga! banyak yang terdesak, bahkan anak buah Jatikusumo tampaknya tidak kuat melanda penyerbuan pasukan yang dipimpin Puteri Wandansari itu. Melihat keadaan Retno Susilo sekilas tahulah Bntejo bahwa gadis itu tidak membutuhkan bantuannya dan perhatiannya dialihkan kepada Puteri Wandansari.
Berbeda dengan keadaan Retno Susilo, sang puteri ini tampaknya mengalami kesukaran untuk mengalahkan Resi Wisangkolo. Bahkan ia tampak terdesak oleh gerakan kakek itu yang amat menggiriskan. Tongkat ular hitam itu dapat ditahan oleh ilmu pedang Kartika Sakti, akan tetapi kakek itu menyelingi gerakan tongkatnya dengan pukulan-pukulan jarak jauh dengan Aji Guntur Geni. Menghadapi pukulan sakti inilah sang puteri tampak kewalahan. Hanya karena ilmu pedangnya Kartika Sakti yang ampuh itu saja yang membuat sang puteri masih mampu bertahan, namun ia mulai terdesak mundur terus. Melihat ini, Sutejo segera melompat mendekati.
"Wisangkolo, resi sesat! Tibalah saatnya engkau menebus dosa-dosamu!"
Bentak Sutejo sambil menggerakkan Pecut Sakti Bajrakirana di tangannya.
"Tar-tar-tarrr....!"
Sang Resi terkejut bukan main. Bukan hanya oleh sambaran ujung pecut yang menyerangnya bagaikan halilintar itu, melainkan juga karena munculnya Sutejo ini berarti bahwa Priyadi telah dikalahkan oleh pemuda ini. Dugaan ini membuatnya gentar, apa lagi dia pernah mengadu kesaktian melawan pemuda ini dan dia telah kalah. Kini melihat cambuk yang meledak-ledak di atas kepalanya itu, dia menangkis dengan tongkat hitamnya. Bertemunya tongkat hitam dengan ujung pecut membuat tangannya tergetar hebat dan diapun terhuyung ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Puteri Wandansari untuk menggerakkan pedang pusaka Kartika Sakti yang menyambar ke arah leher Resi Wisangkolo dengan dahsyat sekali. Sang resi terkejut
dan cepat mengelak. Ujung pedang bersinar hijau itu luput dari sasaran, tidak mengenai leher akan tetapi mengenai pundak kanan Resi wisangkolo.
"Singgg......crattt.....!"
Baju dan pangkal lengan dekat pundak terobek dan darah membasahi baju sang resi. Rasa perih dan nyeri pada pundaknya membuatnya menjadi marah dan nekat. Dia menubruk ke arah Sutejo sambil mengayunkan tongkat ular hitamnya, menyerang ke arah kepala peiuuda itu. Namun Sutejo telah siap siaga. Cambuknya meledak dan ujung cambuk membelit tongkat lalu sekali tarik dengan pengerahan tenaga saktinya, tongkatnya terlepas dari pegangan tangan kanan Resi Wisangkolo. Kakek ini terkejut dan semakin marah. Tangan kirinya dihantamkan dengan Aji Guntur Geni. Hawa berapi keluar dari telapak tangan kiri itu menerjang ke arah Sutejo.
"Aji Bromokendali !"
Sutejo berseru sambil menyambut pukulan itu dengan pukulannya yang merupakan aji pamungkas.
"Blarrr.....!"
Dua tenaga sakti yang amat kuat saling bertumbukan di udara dan akibatnya tubuh Resi Wisangkolo terjengkang dan roboh. Sebelum dia dapat bangkit berdiri, baru merangkak, sinar hijau berkelebat.
"Singgg......ceppp......!"
Ujung pedang Kartika Sakti telah masuk menancap di lambungnya. Resi Wisangkolo yang sedang merangkak hendak bangkit itu roboh lagi dan tewas dalam genangan darahnya sendiri.
Setelah melihat betapa sang resi yang sakti itu tewas, Sutejo lalu melompat mendekati Retno Susilo yang sudah mendesak Bhagawan Jaladara.
"Jaladara! Saatnya tiba bagimu untuk menghadap dan mempertanggung-jawabkan kejahatannnya kepada Eyang Resi Limut Manik!"
Teriak Sutejo dan Pecut Bajrakirana meledak-ledak di atas kepala Bhagawan Jaladara, Sang bhagawan ini terkejut sekali. Melawan Retno Susilo saja dia sudah kewalahan, apa lagi sekarang ditambah Sutejo yang sudah dia ketahui kesaktiannya. Maka ketika Pecut Sakti Bajrakirana meledak-ledak di atas kepalanya. Bhagawan Jaladara cepat membuang dirinya ke belakang, terus bergulingan untuk menjauhkan diri, kemudian dia meloncat dan hendak melarikan diri di antara banyak orang yang sedang bertempur.
"Jahanam, jangan lari kau!"
Bentak Retno Susilo dan dara ini menggerakkan tangan kanan yang memegang gagang pedang Nogo Wilis. Dengan pengerahan tenaganya, ia melontarkan pedang itu ke depan. Sinar kehijauan meluncur dan menyambar ke arah tubuh Bhagawan Jaladara yang sudah mulai melarikan diri.
"Singggg.......cappp.......auugghhrrr.........!"
Tubuh Bhagawan Jaladara terjungkal ke depan dan roboh menelungkup, tidak bergerak lagi karena pedang Nogo Wilis sudah memasuki dadanya menembus jantung.
Dengan sekali lompatan Retno Susilo sudah berada di dekat mayat bhagawan itu dan mencabut pedangnya, lalu membersihkan pedang yang berlepotan darah itu pada pakaian sang bhagawan.
Sutejo sudah berdiri di sampingnya dan pemuda ini menghela napas panjang, memandang kepada tubuh yang menelungkup tak bernyawa lagi itu.
"Hemm. Paman Bhagawan Jaladara, ada jalan yang bersih, mengapa memilih jalan yang kotor?"
"Kakangmas Sutejo, mari kita bantu yang lain-lain! Lihat ayahmu juga belum dapat merobohkan Ki Klabangkolo!"
Kata Retno Susilo kepada pemuda yang termenung itu.
Sutejo sadar kembali dan memutar tubuhnya. Benar saja, dia melihat pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Dia melihat ayahnya sudah mendesak Klabangkolo akan tetapi belum dapat merobohkannya, bahkan ada dua orang anak buah Klabangkolo yang membantu datuk itu mengeroyok Harjodento. Juga ibunya, Padmosari, sudah mendesak Sekarsih yang dibantu dua orang anak buah, akan tetapi belum dapat merobobkannya.
"Kau bantulah ibuku, diajeng Aku akan membantu ayah!"
Katanya.
Pada saat itu, Puteri Wandansari sudah tiba di dekat mereka dan puteri itu berkata.
"Biarkan aku yang membantu Paman Harjodento dan Bibi Padmosari, kakangmas Sutejo."
Melihat sang puteri bicara kepada Sutejo, Retno Susilo memandang dengan alis berkerut.
"Saya yang akan membantu mereka! Mereka adalah calon ayah dan ibu mertuaku!"
Kata Retno Susilo dengan suara ketus.
"Diajeng Retno!"
Sutejo menegur, akan tetapi Retno Susilo sudah lari membawa pedangnya dan membantu Padmosari sehingga Sekarsih menjadi gentar. Dua orang pembantunya dalam beberapa gebrakan saja sudah roboh dan tewas oleh pedang bersinar hijau di tangan Retno Susilo itu.
"Maafkan diajeng Retno Susilo........Gusti Puteri......"
Kata Sutejo kepada sang puteri.
Puteri Wandansari tersenyum sehingga tampak lesung pipit di pipi kirinya dan ketika bibirnya terbelah, tampak kilatan gigi yang rapi dan putih seperti mutiara.
"Mengapa engkau begini sungkan dan menyebutku gusti puteri, Kakang Sutejo? Jadi, Retno Susilo itu tunanganmu? Ah, ia sungguh gagah dan cantik, juga amat mencintamu, kakang. Aku mengucapkan selamat. Nah, bantulah ayahmu, aku akan membantu Kakang Cangak Awu dan yang lain-lain! Setelah berkata demikian, Puteri Wandansari melompat dan membantu Cangak Awu dan Pusposari yang belum juga mampu mendesak Tumenggung Janurmendo yang tangguh. Sutejo juga berlari menghampiri ayannya yang masin bertanding melawan Klabangkolo yang dibantu dua orang anak buahnya.
Setelah Retno Susilo membantu Padmosari, Sekarsih menjadi panik, karena dua orang yang membantunya sudah roboh dan kini sinar hijau bergulung-gulung menyerangnya dari segala penjuru, seolah ia dikurung oleh sinar hijau itu. Ia melawan mati-matian karena tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri. Namun, melawan Padmofari seorang saja ia tadi sudah kewalahan dan harus dibantu dua orang anak buah, apa lagi sekarang seorang diri ia harus melawan Padmosari yang dibantu oleh Retno Susilo yang bahkan lebih tangguh dan ganas dibandingkan isteri ketua Nogo Dento itu! Pedang bersinar hijau itu menyambar-nyambar dan ketika Sekarsih menangkis dengan pedangnya, ia terdorong dan terhuyung ke belakang dan hampir seja pedang di tangannya terlepas! Selagi tubuhnya terhuyung ke belakang, keris di tangan Padmosari menyambar ke arah perutnya. Sekarsih yang sedang terhuyung tidak dapat mengelak dan terpaksa menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kirinya bertemu ujung keris dan terluka. Pada saat itu, angin menyambar keras ke arahnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi tangan kiri Retno Susilo telah menghantam dadanya dengan Aji Wiso Sarpo!
"Desss......!!"
Tubuh Sekarsih terjengkang dan ia tewas seketika karena pukulan Wiso Sarpo itu mengandung hawa beracun dari ular-ular yang paling ganas!
Harjodento masih bertanding ramai sekali menghadapi Ki Klabangkolo. Ki Klabangkolo hanya mengandalkan kaki tangannya dalam bertanding, namun kaki tangannya ini tidak kalah ampuh dibandingkan senjata tajam. Pukulan kedua tangannya mengandung angin pukulan yang bergelombang seperti badai! Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan Ki Harjodento dan ketua Nogo Dento ini adalab seorang pendekar gagah perkasa yang sudah berpengalaman dalam bertanding melawan orang-orang tangguh. Apa lagi dalam pertandingan ini dia mempergunakan senjata tombak panjang sehingga akhirnya Ki Klabangkolo merasa kewalahan juga.
"Klabangkolo manusia iblis! Bersiaplah engkau untuk menebus dosa-dosamu!"
Teriak Sutejo dan dia sudah menerjang dengan senjata pecutnya.
"Tar-tar-tarrr......!"
Pecut itu meledak-ledak dan menari-nari di atas kepala Ki Klabangkolo seperti kilat yang menyambar-nyambar. Ki Klabangkolo terkejut bukan main. Dia melempar tubuh ke kiri dan terus bergulingan di atas tanah. Ketika tombak di tangan Ki Harjodento meluncur, dia cepat menangkis dengan lengan kanannya sambil melompat bangun kembali. Akan tetapi pada saat itu ada angin dahsyat menyambar, membawa gelombang panas sekali.
"Aji Bromokendali!"
Sutejo berseru dan melancarkan pukulan ampuh itu. Ki Klabangkolo terpaksa menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya karena tidak sempat mengelak lagi.
"Bllarrr.....!"
Tubuh, Ki Klabangkolo terjengkang dan selagi dia terhuyung dengan muka pucat dan kedua tangan menekan dada karena dia sudah terluka dalam, tiba-tiba Harjodento menyerang dengan tombaknya. Tombak meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Demikian cepatnya tombak itu menyambar sehingga Ki Klabangkolo yang sudah nanar itu tidak sempat lagi mengelak atau menangkis.
"Blesss.......!"
Tombak memasuki dadanya sampai hampir tembus. Ki Harjodento cepat mencabut kembali tombaknya dan tubuh Ki Klabangkolo roboh terjungkal dan tewas seketika.
Sementara itu. Puteri Wandansari cepat membantu Cangak Awu dan Pusposari yang telah mendesak Janurmendo. Biarpun dikeroyok dua dan didesak. Janurmendo yang tangguh itu masih mampu mempertahankan diri.
"Janurmendo engkau telah ikut membunuh Eyang Resi Limut Manik! Rasakan sekarang pembalasanku!"
Teriak sang puteri dan ia sudah menyerang dengan pusaka Kartika Sakti, serangan Puteri Wandansari ini hebat bukan main, dahsyat sekali mengandung tenaga sakti yang amat kuat dan cepat laksana halilintar. Tumenggung Janurmendo terkejut dan berusaha menangkis dengan kerisnya Jalu Sarpo.
"Trangg.......!"
Keris itu patah ujungnya bertemu dengan pedang pusaka Kartika Sakti dan pedang itu terus meluncur ke arah leber Janurmendo. Tumenggung yang digdaya ini masih sempat miringkan tubuhnya sehingga bukan lehernya yang terpenggal, melainkah ujung pundak yang robek terluka. Dia mengeluh dan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cangak Awu untuk menghantamkan tongkatnya yang berat ke arah tubuh lawan.
"Bukk!!"
Lambung Janurmendo terhantam tongkat itu, keras sekali sehingga tubuhnya terlempar dan diapun roboh terbanting. Pedang Kartika Sari di tangan Puteri Wandansari bergerak cepat menusuk dada tumenggung itu dan habislah riwayat Tumenggung Janurmendo yang tewas seketika.
Pada saat itu, Maheso Kroda dikeroyok oleh Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo, dua orang pimpinan Sardulo Cemeng, juga telah roboh dan tewas di tangan kakak beradik ini. Robohnya semua pimpinan persekutuan Jatikusumo dan para tokoh Wirosobo ini membuat para anak buahnya menjadi gentar. Apa lagi di antara mereka sudah banyak yang roboh dan tewas. Melihat bahwa mereka tidak mempunyai pimpinan lagi, maka berserabutanlah sisa mereka melarikan diri. Gerombolan itu dapat dibasmi.
Para orang gagah yang membantu penumpasan gerombolan itu, termasuk Retno Suailo, merasa kagum sekali melihat betapa Puteri Wandansari memimpin pasukannya membagi-bagi perintah dengan tegas, seperti seorang senopati yang gagah perkasa dan berpengalaman. Sang puteri memerintahkan semua anggauta keluarga gerombolan yang tertinggi di perkampungan Jatikusumo untuk berkumpul. Ia melarang pasukannya mengganggu para wanita dan kanak-kanak itu, bahkan lalu membagi-bagi harta yang tertinggal di situ kepada mereka, barulah menyuruh mereka meninggalkan perkampungan Jatikusumo. Juga ia membebaskan para wanita yang menjadi tawanan di tempat itu. Diapun memerintahkan pasukannya untuk menguburkan semua mayat dari korban pertempuran itu, baik mayat para musuh maupun mayat anggauta pasukannya sendiri, kemudian membersihkan perkampungan itu.
Setelah tempat itu dibersihkan, Sang puteri mengumpulkan semua orang gagah yang telah membantunya dalam ruangan yang luas di mana, biasanya para murid Jatikusumo berlatih silat. Setelah mempersilakan semua orang duduk, ia bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,
"Saya merasa gembira sekali melihat kenyataan bahwa tidak ada seorangpun di antara para saudara yang telah membantu kami mengalami cedera atau tewas. Atas nama Kerajaan Mataram kami mengucapkan terima kasih atas bantuan saudara sekalian sehingga gerombolan pemberontak yang telah menguasai Jatikusumo dan bersekutu dengan Wirosobo dapat dibasmi. Kami mengharapkan dengan sungguh-sungguh agar para saudara yang gagah perkasa suka membantu Mataram jika waktunya tiba untuk menundukkan para kadipaten yang memberontak terhadap Mataram. Sanggupkah saudara sekalian membantu kami?"
"Sunggup.......!"
Terdengar jawaban dari banyak mulut.
"Atas nama Kanjeng Rama Sultan Agung, kami mengucapkan terima kasih! Dan sekarang, mengingat bahwa perguruan Jatikusumo adalah perguruan orang-orang gagah yang telah dicemarkan oleh perbuatan Priyadi yang murtad dan berkhianat, maka sekarang perlu dibangkitkan kembali. Untuk itu, kami minta agar Kakang Cangak Awu suka memimpin Jatikusumo dan mengumpulkan kembali para murid lama yang melarikan diri, mengangkat murid-murid baru yang baik agar Jatikusumo berdiri sebagai perkumpulan yang gagah. Kami harap Kakang Cangak Awu tidak menolak untuk melaksanakan tugas yang mulia ini."
Cangak Awu merasa terharu dan dia mengangguk-angguk.
"Saya akan menaati perintah Gusti Puteri Wandansari!"
Katanya dengan lantang sehingga terdengar oleh semua orang. Biarpun Sang puteri adalah adik seperguruannya sendiri, akan tetapi dalam keadaan seperti itu di mana banyak orang lain hadir, dia lebih suka menganggap sang puteri sebagai jujungannya dari pada sebagai adik seperguruan.
"Karena murid pertama dan kedua, yaitu Kakang Maheso Seto dan Mbakayu Rahmini telah tewas, dan murid ketiga si jahanam Priyadi juga sudah tewas menurut keterangan..... saudara Sutejo, maka saya sebagai murid keempat berkewajiban untuk membangun kembali perguruan Jatikusumo!"
Dia agak canggung untuk menyebut Sutejo. Mau menyebut adimas, nyatanya dia akan berjodoh dengan Pusposari, adik Sutejo. Kadang menyebut kakangmas nyatanya dia lebih tua dibandingkan Sutejo. Maka agar aman, dia menyebut saja saudara!
Setelah mengatur kesemuanya sehingga keadaan di Jatikusumo beres, Puteri Wandansari lalu kembali ke kota raja memimpin pasukan Pasopati yang telah memperoleh kemenangan itu. Juga para pembantunya telah bubaran meninggalkan Jatikusumo.
Retno Susilo sengaja mengajak Sutejo untuk memisahkan diri dari yang lain ketika melakukan perjalanan kembali ke perkampungan Nogo Dento. Mereka menunggang kuda dan dua ekor kuda itu berjalan perlahan lahan meninggalkan perguruan Jatikusumo. Di sebuah lereng yang teduh, di mana terdapat sebuah hutan cemara yang indah, Retno Susilo menghentikan kudanya dan turun dari atas kuda, lalu duduk ke atas batu besar. Sutejo terpaksa turun pula dan duduk di sebelahnya.
"Kakangmas, Puteri Wandansari itu sungguh hebat, ya?"
Sutejo tersenyum dan memandang wajah yang cantik jelita itu dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. Dia tahu bahwa tunangannya ini pernah merasa cemburu kepada sang puteri itu.
"Memang ia seorang puteri yang hebat diajeng."
"Hemm, engkau tentu kagum sekali kepadanya, bukan?"
Retno Susilo kini menatap wajah kekasih hatinya penuh selidik.
Sutejo masih tetap tersenyum, lalu mengangguk. Dia harus jujur dan tidak perlu berpura-pura.
"Memang sesungguhnyalah, aku kagum sekali kepadanya. Siapakah orangnya yang tidak kagum kepada Sang Puteri Wandansari? Ia seorang dara cantik jelita, puteri seorang reja besar, sakti mandraguna, bijaksana pula. Semua orang tentu kagum kepadanya!"
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi........engkau.......engkau tidak cinta padanya, bukan?"
Kini pandang mata itu mengandung kekhawatiran dan keraguan, memandang tajam seakan hendak menembus jantung dan menjenguk isi bati Sutejo.
Sutejo menundukkan mukanya sejenak, lalu mengangkatnya kembali dan memandang wajah Retno Susilo sambil tersenyum.
"Engkau ini ada-ada saja, diajeng. Aku ini siapa? Berani jatuh cinta kepada puteri raja! Seperti seekor burung gagak merindukan seekor burung cendrawasih. Hanya bisa menjadi bahan ejekan dan tertawaan!"
"Ah, jangan merendahkan diri seperti itu, kakangmas. Bagiku, engkau cukup berharga untuk bersanding dengan seorang dewi kahyangan sekalipun!"
"Hemm, begitukah?"
"Akan tetapi, semua dewi dari kahyangan akan kumusuhi, kahyangan akan kuobrak-abrik kalau ada dewi yang hendak merebutmu dari hatiku!"
"Wah, cemburu, ya?"
Sutejo menggoda.
"Tentu saja!"
Retno Susilo mendekat dan mereka berangkulan.
Setelah terjadinya peristiwa penghancuran gerombolan di Jatikusumo itu, Sultan Agung yang mendengar akan semua pelaporan puterinya, lalu mengutus Senopati Suroantani untuk memimpin pasukan untuk melakukan ekspedisi ke Jawa Timur, untuk membujuk para Adipati dan Bupati agar mau bersatu dan tunduk kepada Mataram. Akan tetapi, usaha ini tidak ada hasilnya, bahkan beberapa kali pasukan yang dipimpin Senopati Suroantani mendapat serangan dari mereka. Akhirnya Senopati Suroantani membawa pasukannya kembali ke Mataram dan melaporkan kegagalannya.
Dalam tahun 1615, di bawah pimpinan Adipati Surabaya dan dengan Sunan Giri sebagai juru nasihat, bersatulah para bupati Lasem. Tuban, Japan, Wirosobo, Pasuruan. Ansbaya (di Madura) dan sumenep menyerang ke Mataram! Akan tetapi penyerangan besar-besaran ini gagal dan persekutuan ini dikalahkan oleh tentara Sultan Agung. Hal ini terutama sekali kerena tentara gabungan dari Jawa Timur yang memberontak kepada Mataram itu tidak memperoleh dukungan rakyat pedesaan sehingga mereka kekurangan makanan dalam perjalanan. Sejak dahulu tercatat dalam sejarah bahwa perjuangan hanya dapat berhasil kalau didukung oleh rakyat jelata.
Pada tahun-tahun berikutnya, Sultan Agung mengerahk"nn pasukannya menyerbu ke Jawa Timur dan berhasil menalukkan Wirosobo, Lasem dan Tuban. Dalam penyerbuan ini ikut pula para pendekar yang pernah membantu Puteri Wandansari ketika menyerbu Jatikusumo, termasuk pasangan Sutejo dan Retno Susilo, juga pasangan Cangak Awu dan Pusposari yang telah melangsungkan pernikahan kembar di perguruan Sardulo Cemeng.
Dalam tahun 1624, pasukan besar Mataram dipimpin oleh Senopati Kyai Sujono Puro menyerang Madura. Dalam penyerangan ini, Kyai Sujono Puro tewas dalam pertempuran. Lalu datang bala bantuan dari Mataram yang dipimpin oleh Senopati Kyai luru Kiting. Pasukan Mataram yang besar Jumlahnya ini menyerbu dan pasukan-pasukan Madura dikalahkan. Arisbaya, Pamekasin, Sumenep, Sampang dan Balega ditaklukkan. Dalam kemenangannya ini Sultan Agung melakukan taktik yang amat bijaksana untuk menghilangkan rasa dendam dari daerah yang ditalukkannya, yaitu dengan jalan mengangkat Praseno, keponakan dari Bupati Arisbaya, menjadi Adipati yang menguasai seluruh Pulau Madura dengan gelar Pangeran Cakraningrat. Berkedudukan di Sampang. Tindakan yang bijaksana ini membuat Pangeran Cakraningrat selalu setia terhadap Sultan Agung.
Sultan Agung melanjutkan usahanya untuk menguasai seluruh jajaran Jawa Timur dengan maksud mempersatukan seluruh kekuatan untuk menghadapi kompeni Belanda. Setahun kemudian setelah Madura ditalukkan, dia memimpin pasukan menyerbu Kadipaten Surabaya. Jatuhlah Kadipaten Surabaya ke tangan Sultan Agung! Akan tetapi kembali Sultan Agung menunjukkan kebijaksanaannya Pangeran Pekik, Adipati Surabaya, tidak dihukum, bahkan dikawinkan dengan Puteri Wandansari dan diijinkan memerintahkan terus di Surabaya! Sungguh merupakan suatu kebijaksanaan yang membuktikan bahwa Sultan Agung bukan bermaksud menaklukkan semua daerah timur itu untuk meluaskan kekuasaannya, melainkan untuk mengajak mereka bersatu padu menentang kompeni Belanda.
Akan tetapi masih ada ganjalan bagi Sultan Agung, yaitu Sunan Giri yang belum juga mau tunduk. Dia memerintahkan kepada Adipati Surabaya untuk menundukkan Sunan Giri. Akan tetapi pasukan Surabaya itu dikalahkan oleh pasukan Sunan Giri. Akhirnya, Ratu Wandansari, yaitu puteri, Sultan Agung yang sudah menjadi isteri Adipati Surabaya atau Pangeran Pekik, memimpin sendiri pasukan yang istimewa dan kuat. Sang puteri yang gagah perkasa ini menggunakan pakaian seorang Senopati dan memimpin serangan yang kedua. Pasukan Sunan Giri dapat dihancurkan dan Sunan Giri ditawan lalu dibawa ke Mataram. Akan tetapi kembali Sultan Agung memperlihatkan kebijaksanaannya, Sunan Giri dimaafkan, bahkan diangkat kembali menjadi pemimpin, hanya saja gelar yang boleh dipakai adalah Panembahan saja.
Kekuasaan Mataram menjadi semakin luas, Bahkan Cirebon dan Priangan mengakui kekuasaan Sultan Agung di Mataram. Pangeran Sumedang, yaitu Dipati Kusuma Dinata, diangkat menjadi wakil Sultan Agung di daerah Jawa Barat. Memang maksud Sultan Agung menundukkan semua daerah itu adalah untuk mencegah agar Kompeni Belanda tidak bisa mendapatkan kekuasaan memperluas pengaruhnya.
Mulailah Sultan Agung mengalihkan perhatiannya kepada Kompeni Belanda setelah daerah-daerah itu dapat dipersatukan dan mulailah perjuangannya menentang Kompeni Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta).
Sampai di sini selesailah sudah Kisah Pecut Sakti Bajrakirana dengan harapan pengarang semoga ada manfaatnya bagi para pembacanya.
TAMAT
Lereng Lawu, medio Maret 1989
ansari, http://indozone.net/literatures/literature/293
30 April 2008 jam 4:48pm
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo