Pecut Sakti Bajrakirana 5
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Tarrr........! Tarrr.....!!"
Dua tubuh remaja itu terpelanting dan roboh, tak bergerak lagi, kepala mereka retak retak, darah merah dan otak putih berceceran di atas tanah!
"Duh Jagad Dewa Bathara !"
Tiba - tiba terdengar seruan halus dan Resi Limut Manik telah berdiri di ambang pintu, matanya memandang ke arah tubuh dua orang cantriknya dengan mata sayu. Kemudian mata itu menyambar ke arah Bhagawan Jaladara dan dia menegur.
"Jaladara, apa yang kau perbuat ini? Andika telah melanggar pantangan, menggunakan Pecut Sakti Bajrakirana untuk membunuh!"
"Bapa Resi, tidak perlu banyak cakap lagi. Lihat kenyataan bahwa akulah pemegang Pecut Bajrakirana, maka andika harus menuruti semua perintahku! Cepat serahkan kitab Aji Bajrakirana dan keris pusaka Kartika Sakti berikut kitab Pelajaran ilmu keris itu!
Kami membutuhkan untuk memperkuat perguruan Jatikusumo yang akan kami dirikan kembali."
"Aku menghormati Pecut Bajrakirana karena pusaka itu dahulu adalah pusaka peninggalan guruku, karenanya aku tidak akan melawan. Akan tetapi untuk menyerahkan kitab kitab dan pusaka yang kau minta, hal itu jelas tidak dapat kulakukan. Jaladara Andika telah membunuh dua orang, cantrik yang tidak berdosa, semoga Hyang Widhi mengampunimu, sekarang sebaiknya kalian pergi dari sini jangan menggangguku lagi."
"Bapa Resi, kalau tidak andika berikan barang-barang yang kuminta, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!"
Bentak Bhagawan Jaladara, Bukan saja dia mengandalkan Pecut Bajrakirana, akan tetapi juga dia mengandalkan bantuan teman-temannya untuk menghadapi Resi Limut Manik yang sudah tua renta itu terutama mengandalkan Tumenggung Janurmendo yang sakti mandraguna.
"Hemm, kekerasan yang bagaimana kau maksudkan, Jaladara?"
Tanya Sang Resi dengan tenang dan sabar.
"Membunuhmu dan merampas kitab-kitab dan pedang pusaka itu!"
Bentak Bhagawan Jaladara. Resi Limut Manik tersenyum dan melipat kedua lengan di depan dada.
"Mati dan hidupku berada di Tangan Hyang Widhi, Jaladara. Aku tetap tidak akan memberikan semua itu kepadamu karena engkau tidak berhak memilikinya."
Bhagawan Jaladara menjadi marah sekali. Dia memberi isarat kepada tiga orang rekannya. Tiga itu maklum akan isarat yang diberikan maka mereka bertigapun mencabut senjata masing-masing.
"Serang......! Bunuh...!!"
Teriak Bhagawan! Jaladara dan dia sendiri sudah menggerakan Pecut Bajrakirana.
"Tar-tar-tarrr.....!"
Tiga kali pecut itu meledak dan menyambar ke arah kepala dan tubuh Sang Resi. Ujung pecut itu dengan tepat mengenai sasaran. Terdengar kain robek dan tampak wajah dan dada Sang Resi mengeluarkan darah dari guratan memanjang bekas lecutan pecut. Tongkat hitam di tangan kiri Bhagawan Jaladara menyusul dan menusuk ke arah dadanya.
"Dess......!"
Tongkat itu tepat mengenai ulu hati. Golok besar di tangan Ki Warok Petak juga menyambar dan mengenai pundak Sang Resi, disusul keris di tangan Ki Baka Kroda menusuk perutnya dan keris pusaka di tangan Tumenggung Janurmendo juga menyambar dan menusuk lambungnya. Tubuh Sang Resi penuh luka, akan tetapi kakek itu masih berdiri tegak dan tidak roboh, bahkan senyumnya tidak pernah menghilang dari mukanya. Melihat ini, Bhagawan Jaladara terbelalak, ,demikian pula tiga orang rekannya sehingga mereka menahan senjata dan hanya memandang dengan heran dan jerih.
"Manusia-manusia berhati iblis yang keji!"
Tiba - tiba terdengar bentakan suara yang halus dan nyaring dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang bangsawan, usianya sekitar dua puluh tahun dan pemuda ini sudah mencabut Sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, Kemudian sekali menggerakkan kakinya pemuda itu sudah melompat dan melindungi Resi Limut Manik yang masih berdiri bersedekap dengan wajah dan tubuh mandi darah dan pakaian robek-robek!
Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang melindungi Resi Limut Manik, Bhagawan Jaladara menjadi marah. Dia menyimpan Pecut bajrakirana dan menyerang dengan tongkatnya yang menyambar amat dahsyatnya ke arah kepala pemuda tampan itu.
"Bocah lancang berani engkau mencampuri urusan kami!"
Melihat sambaran tongkat hitam itu si pemuda sudah waspada itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya. Dia mengelebatkan pedangnya menangkis.
"Trangggg.....!"
Pedang dan tongkat bertemu dan Bhagawan Jaladara terkejut sekali karena tongkatnya tergetar hebat, membuktikan bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi pada saat itu, Tumenggung Janurmendo sudah turun tangan. Keris pusaka Jalu Sarpo menyambar dan menusuk ke arah dada pemuda itu. Namun si pemuda tampan juga dapat bergerak dengan gesit dan mantap. Dia menggeser kakinya dan tubuhnya sudah miring, mengelak dari tusukan keris dan dari samping pedangnya membabat ke arah leher Tumenggung Janurmendo! Serangan balasan inipun dapat dielakkan oleh tumenggung yang digdaya itu. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda tidak mau tinggal diam dan mereka juga sudah menerjang dan menyerang dengan senjata masing-masing.
Ternyata pemuda itu memang tangguh Biarpun dikeroyok empat orang yang kesemuanya merupakan jagoan-jagoan yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, dia tidak menjadi gentar. Dia memutar pedangnya sedemikian cepat dan kuatnya sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyambar ke sana sini. Namun, karena dia dikepung dari empat jurusan, akhirnya diapun hanya dapat menangkis dan tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan empat orang pengeroyoknya!
Bhagawan Jaladara yang merasa penasaran sekali, menjadi marah. Kalau mereka berempat tidak mampu mengalahkan Resi Limut Manik, itu tidaklah aneh dan tidak akan membuat menjadi penasaran. Nyatanya Resi Limut Manik tidak melakukan perlawanan berkat adanya Pecut Sakti Bajrakirana. Akan tetapi sekarang mereka berempat tidak mampu segera merobohkan seorang pemuda remaja yang mereka keroyok, hal ini sungguh membuat dia menjadi penasaran bukan main.
Diam-diam dia mengerahkan Aji Gelap Musti di tangan kirinya dan setelah mengambil ancang-ancang, dia berseru nyaring dan mendorong dengan pukulan Aji Gelap Musti.
"Makanlah Aji Gelap Musti!"
Teriaknya dan ketika tangan kirinya memukul, dari tangan kiri itu keluar, angin pukulan yang amat dahsyat bagaikan kilat menyambar.
Akan tetapi, pemuda itupun menekuk"
Lututnya menyambut pukulan itu dengan pukulan yang sama!
"Wuuuuttt......Desss.......!!n Dua tenaga sakti Aji Gelap Musti bertemu di udara dan keduanya terdorong ke belakang. Bhagawan Jaladara menjadi terkejut setengah mati mendapat kenyataan betapa pemuda itu menyambut pukulannya dengan aji yang sama.
"Siapa andika....?"
Tanyanya dan tiga orang juga menghentikan penyerangan mereka.
"Siapa adanya aku tidak penting kau ketahui!"
Jawab pemuda itu sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Yang jelas siapa adanya aku, aku akan tetapi menentangmu. Andika seorang berpakaian pendeta, akan tetapi sepak terjangmu seperti penjahat yang melakukan pembunuhan terhadap dua orang ini dan mengeroyok seorang tua renta yang mengalah dan tidak mau melawan kalian!"
"Keparat, engkau pun bosan hidup!"
Bhagawan Jaladara membentak lalu memberi isarat kepada tiga orang rekannya untuk menyerang lagi. Pemuda itu memutar pedangnya dan menyambut serangan mereka dengan berani walapun dia segera terkepung dan terdesak.
Pada saat itu tampak sesosok bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri seorang pemuda lain. Pemuda itu adalah Sutejo yang baru datang. Melihat betapa eyang gurunya berdiri bersedakap dan mandi darah, dua orang cantrik menggeletak tak bernyawa dan seorang pemuda berpedang, sedang dikeroyok dan didesak oleh Bhagawan Jaladara dengan tiga orang rekannya, Sutejo menjadi marah. Tanpa bertanyapun dia dapat menduga bahwa empat orang itu tentu datang mengacau di padepokan Resi Limut Manik, maka diapun segera melolos kain ikat kepalanya dan melompat ke tengah pertempuran.
"Bhagawan Jaladara, di mana-mana engkau mendatangkan kekacauan!"
Serunya dan kain ikat kepala berwarna biru itu berubah menjadi gulungan tangan sinar biru ketika dia menggerakkannya. Sinar biru itu menyerang ke arah kepala Bhagawan Jaladara.
Bhagawan Jaladara terkejut sekali ketika dia melihat bahwa penyerangnya adalah Sutejo, pemuda yang sakti mandraguna itu. Dia cepat mengelak sambil melompat mundur. Baru menghadapi tampan itu saja dia dan tiga orang rekannya belum dapat menang, apa lagi kini muncul Sutejo. Pada hal, Resi Limut Manik juga belum tewas. Kini keadaan pihaknya yang terancam bahaya, maka dia lalu berseru memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk mundur. Mereka berloncatan dan di lain saat mereka telah melompat ke atas punggung kuda masing-masing dan melarikan diri meninggalkan puncak itu. Sutejo sudah melompat untuk melakukan pengejaraan akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Resi Limut Manik.
"Sutejo, tidak perlu mengejar mereka"
Sutejo menahan langkahnya dan membalikkan memandang eyang gurunya. Dia melihat tubuh kakek itu terkulai dan bagaikan dua orang berlomba, dia dan pemuda yang tampan itu cepat sekali sudah meloncat ke depan dan menyambut tubuh kakek yang terkulai itu sehingga tidak sampai terjatuh.
"Mari kita bawa eyang masuk ke pondok,"
Kata pemuda itu. Sutejo merasa heran sekali. Pemuda itu bersuara lembut namun di balik kelembutannnya terkandung wibawa yang kuat seolah-olah pemuda itu sudah biasa memerintah, tanpa berkata sesuatu diapun membantu pemuda itu memondong tubuh Resi Limut Manik dan membawanya masuk ke dalam pondok, merebahkan tubuh yang lunglai itu ke atas dipan.
Melihat luka-luka di wajah dan tubuh Resi Limut Manik, pemuda itu kembali memerintah kepada Sutejo.
"Ki sanak, cepat carilah buah pace, kulit pohon dan akarnya, juga Widoro Upas dan Biji Jarak untuk mengobati luka-luka yang diderita eyang guru!"
Kembali Sutejo merasa heran. Pemuda tampan ini menyebut eyang guru kepada Resi Limut Manik! Dan dia diperintah begitu saja, anehnya dia tidak ingin membantah karena maklum bahwa apa yang diperintahkan itu benar dan perlu sekali.
Akan tetapi Resi Limut Manik menggerakkan tangan kirinya.
"Tidak perlu tergesa-gesa mengobati aku. Yang penting, angkatlah jenazah kedua orang cantrik itu dan uruslah mereka baik-baik. Cucunda Puteri, andika bantulah dia mempersiapkan pemakaman kedua orang cantrik, aku ingin mereka dikubur di belakang pondok."
Sutejo terbelalak memandang kepada pemuda itu Cucunda Puteri? Jadi pemuda itu adalah seorang gadis? Seorang puteri malah? Pantas ketampannya luar biasa! Melihat keheranan Sutejo, Resi Limut Manik bangkit duduk dibantu dua orang pemuda itu dan setelah duduk bersila dia bekata,
"Kalian belum saling mengenal? Sutejo, dara yang menyamar pria ini adalah Gusti Puteri Wandasari, puteri dari Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram dan ia adalah murid perguruan Jatikusumo, murid dari Bhagawan Sindusakti di pantai Laut Kidal. Cucunda Puteri, pemuda ini adalah Sutejo, murid dari Bhagawan Sidik Paningal yang bertapa di Gunung Kawi."
Puteri Wandansari dan Sutejo saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dengan penuh perhatian kemudian keduanya saling memberi hormat dengan membungkuk. Akan tetapi Puteri Wandasari lalu mencurahkan perhatiannya lagi kepada Resi Limut Manik.
"Akan tetapi, Eyang. Eyang telah menderita luka-luka parah yang harus segera dirawat! Biarlah...... kakang Sutejo yang mengurus dua jenazah itu dan aku sendiri akan mencarikan daun-daun obat untuk Eyang agar tidak terlambat....."
Resi Limut Manik menggoyang tangannya.
"Memang sudah terlambat, cucunda Puteri. Aku sudah merasa bahwa luka-lukaku tidak dapat disembuhkan lagi. Pecut Sakti Bajrakirana telah menghantam kepala dan dadaku, Masih baik aku dapat bertahan, tidak tewas seketika. Sekarang, jangan kalian ragu dan lakukan saja apa yang kuperintahkan. Kalian berdua cepat urus pengu-buran dua jenazah cantrik itu, setelah itu kalian datanglah menghadap ke sini karena ada sesuatu yang amat penting hendak kubicarakan dengan kalian."
Suara itu lemah dan lembut, namun mengandung pesan yang tidak dapat dibantah lagi. Dua orang muda itu saling pandang, lalu mengangguk dan keduanya segera keluar untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Resi Limut Manik.
Dua orang itu bekerja keras. Diam diam Sutejo merasa heran dan juga kagum. Puteri itu ternyata cekatan dan biarpun ia seorang wanita, namun ia membantunya menggali lubang. Pada hal ia bukan wanita biasa melainkan seorang puteri keturunan raja besar! Mereka bekerja tanpa kata-kata sehingga tugas itu dapat mereka selesaikan dengan cepat.
Matahari telah condong ke barat ketika mereka kembali menghadap Resi Limut Manik. Mereka mendapatkan kakek itu masih tetap duduk bersila seperti tadi ketika mereka tinggalkan. Puteri Wandasari tadi telah menyelinap ke dapur dan membuatkan bubur untuk eyang gurunya, dan membawa bubur dalam mangkok itu ketika ia menghadap bersama Sutejo.
Resi Limut Manik membuka matanya ketika dua orang muda itu datang menghadap.
"Eyang, silakan eyang dahar bubur ini dulu agar tubuh eyang menjadi kuat."
Kata sang puteri sambil menyerahkan semangkok bubur itu.
Resi Limut Manik tersenyum memandang semangkok bubur yang masih mengepul panas itu! "Terima kasih, puteri. Andika memang seorang gadis yang baik sekali, terima kasih."
Dia lalu makan bubur itu dengan perlahan dan bertanya.
"Bagaimana dengan tugas kalian?"
"Kami berdua telah mengubur dua jenazah itu sebagaimana mestinya, eyang."
Kata Sutejo.
"Bagus. Aku girang mendengar itu. Dan sekarang ceritakan apa yang mendorong kalian datang kesini. Engkau lebih dulu, Sutejo. Ceritakan mengapa engkau datang ke sini."
"Eyang, setelah dulu saya meninggalkan eyang, saya bertemu dengan Paman Bhagawan Jaladara dan setelah bertanding, akhirnya saya berhasil merampas Pecut Sakti Bajrakirana. Kemudian pecut itu saya bawa pulang ke Gunung Kawi dan disana saya melihat Bapa Guru sudah ditodong oleh Paman Bhagawan Jaladara yang datang bersama tiga orang temannya tadi. Dia mengancam untuk membunuh Bapa Guru kalau saya tidak menyerahkan pecut pusaka itu. Karena melihat Bapa Guru terancam, terpaksa saya menyerahkan pecut itu. Mereka pergi membawa pecut dan meninggalkan Bapa Guru dalam keadaan terluka berat. Akhirnya Bapa Guru meninggal dunia karena luka-lukanya. Setelah mengurus penguburannya, saya lalu pergi ke sini untuk melaporkan semua itu kepada Eyang dan mendapatkan Eyang terluka parah, kedua cantrik tewas dan...... Gusti Puteri ini dikeroyok mereka berempat."
"Kakang Sutejo, Jangan menyebut aku Gusti Puteri. Bagaimanapun juga kita ini masih kakak beradik seperguruan. Cukup menyebutku adik atau diajeng saja."
"Baiklah dan terima kasih atas kehormatan itu, diajeng Wandansari,"
"Sadhu-Sadhu-Sadhu.....!"
Resi Limut Manik berucap sambil menghela napas panjang.
"Memang kebaikan dan keburukan saling menimpali dan saling mendorong, tidak akan ada kebaikan kalau tidak ada keburukan, tidak akan ada kebajikan kalau tidak ada kejahatan. Akan tetapi di perguruan Jatikusumo muncul Jaladara, sungguh akan membuat suram dan ternoda nama perguruan kita. Apa pesan Sidik Paningal kepadamu, Sutejo?"
"Bapa Guru meninggalkan pesan dan tugas kepada saya, Eyang. Pertama saya harus mencari dan merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana, dan kedua saya harus mempergunakan pecut itu untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, lalu saya harus berbakti kepada Nusa Bangsa dengan menghambakan diri kepada Mataram."
"Bagus, semoga Hyang Widhi memberi bimbingan kepadamu sehingga engkau dapat melaksanakan semua tugas itu dengan baik. Sekarang giliranmu Cucunda Puteri. Bagaimana andika dapat kebetulan datang ke sini pada saat Jaladara mengacau? Apa yang mendorong andika datang berkunjung ke sini?" "Pertama-tama saya datang berkunjung untuk menengok keadaan Eyang Resi karena sudah lama saya tidak datang menghadap, Kedua kalinya, saya diutus Kanjeng Romo untuk datang berkunjung,"
"Hmmmm, Kanjeng Romomu mengutus andika datang ke sini? Apakah yang beliau kehendaki dariku Puteri?"
"Pertama-tama Kanjeng Romo mengirim salam dan hormat untuk dihaturkan kepada Eyang Resi."
"Jagad Dewa Bathara....! Salam itu kuterima dengan senang hati, dan sebaliknya kalau andika pulang sampaikan doa restuku untuk Kanjeng Romomu Dan pesan selanjutnya?"
"Eyang Resi, sekarang ini timbul gejala gejala pemberontakkan, terutama dari kadipaten dan kabupaten di bagian timur dan utara seperti Kabupaten Lasem, Tuban, Jipang, Wirosobo, Pasuruan, Arisbaya dan Sumenep di Madura, dipimpin oleh Sang Adipati di Surabaya dengan penasihat Sunan Giri. Karena adanya gejala yang tidak sehat ini, Mataram harus memperkuat diri dan untuk usaha ke arah itu, Kanjeng Romo telah mengundang para satria dan orang gagah untuk menjadi perwira dan perajurit, dan para pertapa dan pendeta yang arif bijaksana untuk menjadi penasihat. Mengingat bahwa Eyang Resi adalah seorang yang sakti mandraguna lagi arif bijaksana, maka Kanjeng Romo mengutus saya untuk mohon kepada Eyang agar melimpahkan pangestu dan dukungan terhadap Mataram"
Resi Limut Manik mengangguk-angguk.
"Sudah semestinya begitu, Puteri. Akan tetapi aku sudah terlalu tua sekarang untuk melibatkan diri dalam perang. Apa lagi keadaanku yang terluka parah dan maut sewaktu-waktu akan datang menjemput. Aku hanya dapat mengirim doa restu yang tiada putusnya dan aku yakin bahwa Mataram akan jaya karena dikendalikan oleh romomu, seorang Raja yang Bijaksana!"
"Terima kasih, Eyang. Akan saya sampaikan kepada Kanjeng Romo."
Kata dara perkasa itu.
"Sekarang dengarkan baik - baik. Aku akan meninggalkan pesan penting untuk kalian berdua. Agaknya memang sudah ditentukan oleh para dewata bahwa kalian datang pada saatnya yang tepat. Sutejo, ambilkan peti kecil di balik dipan itu."
Sutejo bangkit dan mencari di tempat yang ditunjukkan Sang Resi. Ditemukan sebuah peti berukir yang panjangnya satu meter dan lebarnya tiga puluh senti berwarna hitam, terbuat dari kayu jati yang tua. Dibawanya peti itu kepada Resi Limut Manik. Resi Limut Manik yang tampak semakin lemah menggunakan kedua tangannya yang agak gemetar untuk membuka tutup peti dan dikeluarkan tiga buah benda dari dalam peti, yaitu sebatang pedang dan dua buah kitab. Ketika dia mencabut pedang itu dari sarungnya, tampak sinar berkilat menyilaukan mata. Lalu dimasukkankan kembali pedang itu ke dalam sarung pedang.
"Cucunda Puteri, pedang ini disebut Pedang Kartiko Sakti, merupakan pedang pusaka, perguruan Jatikusumo di samping Pecut Bajrakirana. Terimalah aku memberikan pedang pusaka ini kepadamu agar dapat kau pergunakan untuk membela Mataram. Dan ini adalah kitab pelajaran ilmu pedang Kartiko Sakti, sebuah ilmu pedang yang tidak pernah kuajarkan kepada murid yang manapun juga. Pelajarilah ilmu ini dengan Pedang Kartiko Sakti."
Dengan sikap hormat Puteri Wandansari menerima pedang dan kitab kuno itu.
"Banyak terima kasih Eyang Resi. Saya akan mempelajarinya dengan tekun."
"Bagus. Dasar-dasar ilmu pedang ini akan kuberi petunjuk kepadamu selagi aku masih mampu. Dan sekarang engkau, Sutejo. Terimalah kitab ini. Ini adalah kitab pelajaran ilmu Pecut Bajrakirana. Ilmu ini memang khas untuk dimainkan dengan Pecut Bajrakirana dan seperti juga Ilmu pedang Kartiko Sakti, ilmu Bajrakirana ini tidak pernah kuajarkan kepada murid yang manapun juga. Karena engkau bertugas untuk merampas Pecut Bajrakirana, maka setelah berhasil, pecut itu kuserahkan kepadamu berikut ilmunya ini agar dapat engkau pergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, juga untuk dipergunakan membela Mataram."
Sutejo menerima kitab itu dan menghaturkan terima kasih.
"Mulai hari ini, selagi aku masih mampu, aku akan memberi petunjuk kepada kalian tentang ke dua ilmu itu, yaitu mengenai dasar-dasarnya. Sutejo, carilah pecut milik Pungguk dan Penggik di belakang pondok. Engkau dapat mempergunakan pecut biasa itu untuk berlatih."
Sutejo mencari pecut itu di kandang kerbau yang berada di belakang pondok dan menemukannya Biarpun keadaan tubuh Resi Limut Manik lemah sekali, akan tetapi dia memaksakan diri untuk memberi petunjuk kepada Sutejo dan Puteri Wandansari dalam mempelajari kedua ilmu itu. Puteri Wandansari menggunakan pedang pusaka itu untuk berlatih Ilmu Pedang Kartiko Sakti sedangkan Sutejo menggunakan pecut panjang itu untuk berlatih ilmu Pecut Bajrakirana. Karena keduanya memang amat berbakat dan telah memiliki dasar-dasar ilmu silat perguruan Jatikusumo maka dalam waktu dua pekan saja mereka telah dapat menguasai dasar-dasarnya, tinggal mematangkan ilmu itu dengan latihan-latihan yang dapat mereka lakukan sendiri dengan petunjuk kitab masing-masing.
Setelah lewat dua pekan, dua orang muda itu telah menguasai dasar ilmu masing-masing, akan tetapi Resi Limut Manik yang selama itu mengerahkan seluruh sisa tenaganya tidak kuat dan ambruk, jatuh pingsan dalam rangkulan Sutejo dan Puteri Wandansari.
Mereka memondong tubuh sang resi ke dalam pondok dan merebahkannya di atas pembaringan Napas kakek itu tinggal satu-satu ketika akhirnya dia membuka matanya dan melihat Sutejo dan Putera Wandansari duduk di tepi dipan bambu, dia memandang dan tersenyum!
"Eyang Resi,"
Kata Puteri Wandansari.
"Eyang terlalu lelah. Ah, kami yang berdosa telah membuat Eyang, terlalu lelah memberi petunjuk kami."
"Tidak, Puteri. Hatiku sudah puas sekarang. Aku yakin bahwa andika berdua yang kelak akan mengangkat nama perguruan Jatikusumo dan memanfaatkan dua ilmu warisan dari nenek moyangku. Sekaraag aku siap menghadapi kematian dengan hati tenteram..."
Dia terengah-engah.
"Eyang Resi.......!"
Hampir berbareng Sutejo Wandansari berseru, Kakek itu menggeleng kepalanya.
"Sudah terlalu lama aku memperkuat diri menangguhkan datangnya kematian, sudah terlalu lama kedua cantrikku menanti......, kalau ajalku tiba, kuburkanlah aku di antara kuburan mereka berdua...... mereka itu setia sampai mati......"
Keadaan Resi Limut Manik menjadi semakin lemah dan malam harinya kakek itupun menghembuskan napas terakhir di depan Sutejo dan Puteri Wandansari. Sutejo dan Puteri Wandansari merasa berduka, akan tetapi Sutejo mendapat kenyataan bahwa puteri itu memiliki ketabahan dan kekuatan, tidak menangis sedih seperti sebagaian besar wanita kalau merasa berduka. Puteri itu hanya duduk bersimpuh di dekat pembaringan sambil menundukkan mukanya.
Seorang dara yang luar biasa, pikir Sutejo. Dia sendiri melihat tadi betapa puteri ini sanggup menghadapi pengeroyokan Bhagawan Jaladara dan tiga orang kawannya yang sakti. Walaupun puteri ini terdesak, namun berani dan mampu menghadapi pengeroyokan mereka sudah merupakkan hal yang luar biasa sekali. Seorang dara yang luar biasa cantiknya hal ini mudah dilihat walaupun ia berpakaian pria, dan seorang dara yang memiliki kedigdayaan. Bahkan dibandingkan dengan Retno Susilo, Puteri Wandansari ini lebih hebat kepandaiannya! Apa lagi ia memperoleh Pedang Kartiko Sakti berikut ilmu pedangnya! Dan selain memiliki kelebihan itu, kecantikan dan kesaktian sang puteri ini juga puteri seorang raja, anggun berwibawa, dan sama sekali tidak cengeng. Diapun memandang dengan hati kagum sekali.
"Diajeng Wandansari"
Katanya lirih karena panggilan ini baginya masih terasa membuat hatinya risih dan canggung terlalu lancang. Akan tetapi karena panggilan itu atas permintaan sang puteri sendiri, maka dia memberanikan diri memanggil diajeng.
"Hari sudah malam, sebaiknya andika mengaso di kamar sebelah. Biarlah aku yang akan menunggu jenazah Eyang Resi di sini."
Ucapan ini keluar dari hati yang jujur. Dia merasa kasian kepada dara itu yang telah membantunya ketika mengubur jenazah kedua orang cantrik dan selama belasan hari ini setiap hari tekun berlatih ilmu pedang yang baru secara rajin sekali. Puteri itu tentu merasa lelah dan perlu beristirahat.
Akan tetapi puteri Wandansari menggeleng kepalanya.
"Aku memang lelah, akan tetapi untuk menjaga jenazah Eyang Resi, biarpun lelah harus kulakukan. Apakah artinya sedikit kelelahan ini kalau dibandingkan dengan budi kebaikan dan pengorbanan diri Eyang Resi kepada kita? Dalam keadaan terluka parah dan sakit berat Eyang Resi telah memaksa dirinya membimbing kita selama dua pekan sampai raganya tidak kuat lagi bertahan. Apalah artinya bergadang semalam suntuk untuk menjaga jenazahnya?"
Sutejo merasa terpukul oleh ucapan itu. Betapa tepatnya dan tidak mungkin dapat dibantah lagi. Diapun hanya menundukkan mukanya dan berkata lirih,
"Diajeng Wandansari, andika adalah seorang puteri yang arif bijaksana."
Hening mengikuti percakapan yang terhenti itu. Malam itu hawa udaranya amat dingin sampai rasanya hawa dingin itu menyusup ke tulang sumsum. Dingin dan sunyi menembus dinding menguasai kamar di mana jenazah Resi Limut Manik, terbaring dengan tenangnya. Wajah itu tampak seperti sedang tidur saja, mulut dibalik kumis itu tersenyum. Sutejo merasa kesepian. Biarpun di situ ada Puteri Wandansari, namun sang puteri itu duduk bersimpuh tak bergerak dan diam saja tidak pernah mengeluarkan sepatahpun kata. Kesunyian mencekam dan seolah mencekiknya.
"Diajeng....."
Ucapnya lirih sambil menatap tajam wajah yang elok itu.
Puteri Wandansari mengangkat sepasang mata bintangnya dan balas memandang.
"Ada apakah, kakang Sutejo?"
"Bolehkah aku mengajak andika bercakap-cakap dalam keadaan seperti ini?"
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bercakap-cakap? Mengapa tidak boleh? Apa yang hendak kau katakan, kakang?"
Lega rasa hati Sutejo. Tadinya dia khawatir kalau-kalau sang puteri akan marah diajak bercakap-cakap, maka terlebih dulu dia minta persetujuannya.
"Aku mendapatkan kenyataan yang amat membanggakan hatiku bahwa di antara kita masih terdapat pertalian persaudaraan seperguruan. Karena adanya tali persaudaraan itu, kurasa sudah sepatutnyalah kalau kita saling mengenal dan mengetahui keadaan diri masing-masing lebih baik, Bagaimana pendapatmu, diajeng?"
Puteri Wandansari tersenyum kecil.
"Bukankah kita sudah saling mengenal, kakang? Andika adalah murid mendiang Bhagawan Sidik Paningal, paman guruku, dan andika tahu bahwa aku adalah puteri Kanjeng Romo Sultan Agung di Mataram, dan murid Bapa Guru Bhagawan Sindusakti, ketua perguruan Jatikusumo di pantai laut Kidul."
"Maksudku, riwayat kita masing-masing, diajeng. Seperti, bagaimana seorang puteri Gusti Sultan seperti andika ini dapat menjadi murid Jatikusumo dan lain-lain. Biarlah aku bercerita tentang diriku lebih dulu."
"Berceritalah, kakang, aku siap mendengarkan."
"Aku adalah seorang yang tidak mengenal ayah ibunya sendiri. Sejak aku berusia tiga tahun, aku diselamatkan oleh mendiang Bapa Guru dari tangan seorang wanita sakti yang agaknya telah menculikku, dan oleh Bapa Guru aku diberi nama Sutejo. Sampai sekarang aku belum tahu siapa ayah bundaku."
"Ah, untuk menyelidiki hal itu tidaklah amat sukar, kakang, Kalau engkau tahu siapa wanita yang menculikmu itu, dapat kau tanyakan kepadanya!"
"Baru menjelang wafatnya Bapa Guru menceritakan kepadaku akan riwayatku itu dan menurut Bapa Guru, wanita itu bernama Ken Lasmi, Aku memang sedang berusaha mencari wanita bernama Ken
(Lanjut ke Jilid 06)
Pecut Sakti Bajrakirana (Seri ke 01 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Lasmi itu karena ia tentu mengetahui siapa adanya ayah bundaku."
Sutejo berhenti sebentar dan menghela napas panjang, merasa sedih karena teringat akan kematian gurunya yang amat disayangnya.
"Lalu bagaimana, kakang? Teruskan ceritamu yang amat menarik hati itu."
"Oleh mendiang Bapa Guru, aku digembleng ilmu kanuragan yang kiranya tidak banyak bedanya dari yang kau pelajari, karena datang dari satu sumber. Kemudian, beberapa bulan yang lalu padepokan Bapa Guru didatangi Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya, yaitu Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang keduanya kemudian kuketahui adalah jagoan-jagoan dari Wirosobo. Agaknya Paman Bhagawan Jaladara juga telah menjadi utusan Adipati Wirosobo. Dia datang dan hendak memaksa mendiang Bapa Guru untuk membantu kadipaten Wirosobo dan agar Bapa Guru tidak mempelajari Agama Islam. Tentu saja Bapa Guru menolak dan terjadilah perkelahian. Sebetulnya Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya itu tidak mampu menandingi Bapa Guru, akan tetapi dia lalu mengeluarkan Pecut Bajrakirana! Melihat pecut pusaka itu, Bapa Guru tidak berani melawan dan akupun dilarang melawan. Kami berdua dipukuli oleh Paman Bhagawan Jaladara dan dua orang kawannya yang kemudian pergi sambil mengancam kalau selama satu bulan Bapa Guru belum mau menghadap ke Wirosobo, kami akan dibunuh."
"Hemm, tidak kusangka sedemikian jauhnya Paman Bhagawan Jaladara menyeleweng dan tega terhadap kakak seperguruan sendiri."
Kata Puteri Wandansari dengan nada suara mengandung kemarahan.
"Setelah sembuh dari siksaan Paman Jaladara dan kawan-kawannya, aku diutus Bapa Guru untuk pergi menghadap Eyang Resi di sini dan menceritakan tentang perbuatan Paman Bhagawan Jaladara. Mendengar laporanku, Eyang Resi mengatakan bahwa Pecut Bajrakirana itu telah dicuri oleh Paman Bhagawan Jaladara. Eyang Resi lalu memberi kekuatan dan menyalurkan tenaga sakti kepadaku kemudian beliau mengutus aku untuk merampas kembali Pecut Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara. Aku lalu berangkat ke Wirosobo dan sampai di perbatasan Wirosobo, secara kebetulan sekali aku bertemu dengan Paman Bhagawan Jaladara."
"Ah, dan berhasilkah andika merampas Pecut Bajrakirana, kakang Sutejo?"
Sutejo menghela napas panjang. Dia teringat akan Retno Susilo dan dia tidak ingin bercerita tentang gadis itu. Maka jawabnya.
"Aku berhasil merampas pecut itu."
"Akan tetapi mengapa pecut itu kini berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara kembali?"
"Dia bertindak curang, diajeng. Setelah mendapatkan Pecut Bajrakiraaa, aku pergi ke Gunung Kawi menghadap Bapa Guru. Akan tetapi di sana aku melihat Bapa Guru telah tertawan oleh Paman Jaladara yang datang bersama tiga orang kawannya, yaitu Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda dan seorang lagi yang sakti mandraguna, yaitu Tumenggung Janurmendo yang merupakan senopati yang tangguh dari kadipaten Wirosobo. Paman Bhagawan Jaladara mengancam hendak membunuh Bapa Guru yang sudah ditawan kalau aku tidak menyerahkan kembali Pecut Bajrakirana kepadanya. Melihat keselamatan Bapa Guru terancam, terpaksa aku menyerahkan pecut pusaka itu dan mereka melepaskan Bapa Guru. Aku lalu mengamuk dan menyerang mereka. Akan tetapi mereka melarikan diri sambil membawa Pecut Bajrakirana. Aku tidak mengejar karena harus menolong Bapa Guru yang terluka parah. Akhirnya, karena luka-lukanya, Bapa Guru meninggal dunia."
Sutejo berhenti dan tampak berduka sekali, teringat akan kematian gurunya.
"Jahat! Jahat sekali mereka itu!"
Kata Puteri Wandansari.
"Aku dapat menebak kelanjutan ceritamu. Engkau datang ke sini hendak menceritakan kepada Eyang Resi akan semua kejadian itu dan melihat aku dikeroyok mereka lalu membantuku."
"Benar sekali, diajeng. Nah, demikianlah riwayatku, riwayat seorang yang sejak kecil dirundung malang. Bagaimana kalau sekarang andika yang ganti bercerita?"
"Riwayatku memang tidak sesedih riwayatmu, kakang Sutejo. Akan tetapi tidak ada peristiwa yang aneh dalam hidupku selama ini, kecuali peristiwa yang terakhir di tempat ini. Biarpun aku terlahir sebagai seorang wanita, namun Kanjeng Romo mengutamakan pendidikan kanuragan untukku dan aku memang senang mempelajarinya. Para senopati di Mataram membimbingku, akan tetapi aku masih merasa tidak puas. Akhirnya mendengar akan nama besar perguruan Jatikusumo di pantai Laut Selatan daerah Pacitan, aku lalu ber guru ke sana, dengan surat pengantar dari Kanjeng Romo. Aku diterima dengan baik dan jadilah aku murid perguruan Jatikusumo, dibimbing Sendiri oleh Bapa Guru Sindusakti yang menjadi kakak seperguruan dari mendiang gurumu dan Paman Bhagawan Jaladara. Setelah dinyatakan tamat belajar, aku kembali ke istana Mataram, sampai hari ini aku diutus oleh Kanjeng Romo untuk minta dukungan Eyang Resi dengan adanya keresahan karena banyak kadipaten dan kabupaten yang memperlihatkan sikap memberontak terhadap Mataram. Kanjeng Romo mengharapkan bantuan Eyang Resi Limut Manik. Maka datanglah aku ke sini. Ketika aku datang, aku melihat Eyang Resi tanpa melawan diserang dan dipukuli oleh empat orang itu. Tentu saja aku tidak dapat berpeluk tangan saja. Aku lalu menerjang mereka dan biarpun mereka berempat merupakan lawan berat, aku nekat melawan mereka mati-matian. Untung pada saat aku sudah kewalahan sekali muncul andika, kakang Sutejo sehingga akhirnya kita berdua dapat mengusir mereka."
"Andika memang hebat, diajeng. Aku kagum sekali kepadamu. Seorang diri andika berani menentang mereka"
"Tentu saja! Untuk membela Eyang Resi, aku tidak takut untuk mempertaruhkan nyawa!"
Kata Puteri Wandansari dengan sikap gagah.
"Tak dapat aku membayangkan semula bahwa seorang puteri istana dapat bersikap seperti andika. Tentu perguruan Jatikusumo itu sebuah perguruan yang hebat sekali dan agaknya Bhagawan Sindusakti yang masih uwa guruku itu telah menggembleng para muridnya secara hebat sekali. Selain andika, diajeng, siapa saja murid perguruan Jatikusumo? Aku ingin sekali mengetahui tentang mereka karena bagaimanapun juga mereka adalah saudara-saudara seperguruanku."
"Perguruan yang dipimpin oleh Bapa Guru Bhagawan Sindusakti mempunyai banyak murid, tidak kurang dari seratus orang. Akan tetapi mereka adalah murid-murid tingkat rendahan dan mereka itu dibimbing oleh para murid Bapa Guru. Sedangkan murid-murid yang digembleng oleh BapaGuru Bhagawan Sindusakti sendiri hanya ada lima orang termasuk aku yang merupakan murid termuda. Murid tertua bernama Maheso Seto, berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan kedua adalah Mbakyu Rahmini yang sekarang menjadi isteri kakang Maheso Seto. Murid ketiga bernama Priyadi, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, sedangkah murid keempat bernama Cangak Awu yang berusia kurang lebih dua puluh empat tahun. Nah, mereka berempat itulah kakak-kakak seperguruanku, kakang Sutejo."
"Wah, melihat kedigdayaanmu. tentu para kakak seperguranmu itu memiliki kesaktian yang hebat, diajeng Wandansari."
"Memang begitulah, kakang Sutejo. Tingkat kepandaian mereka tentu saja melebihi tingkatku, Terutama sekali kakang Maheso Seto dan mbakyu Rahmini, mereka telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam ilmu kanuragan, Kakang Maheso Seto terkenal dengan permainan pedangnya, mbakyu Rahmini terkenal dengan cambuknya, kakang Priyadi amat cerdik dan pandai bersilat keris dan kakang Cangak Awu yang keras, kasar dan jujur itu amat tangguh dengan senjata tongkatny. Aku hanya murid bungsu, paling kecil dari Bapa Guru Sindusakti."
"Akan tetapi setelah andika menerima pedang dan ilmu pedang Kartika Sakti, aku yakin bahwa tentu lebih tangguh dari pada mereka, kata Sutejo.
"Apakah Ilmu Pedang Kartiko Sakti dan Ilmu Pecut Bajrakirana tidak diajarkan di perguruan Jatikusumo sana, diajeng?" "Setahuku tidak, kakang Sutejo. Kami para murid hanya mendengar dari Bapa Guru, bahwa perguruan Jatikusumo mempunyai dua buah pusaka dan ilmu simpanan yang hanya dikuasai oleh Eyang Resi."
Waktu berlalu amat cepatnya kalau tidak diperhatikan. Karena bercakap-cakap dengan asiknya, kedua orang muda itu tidak merasa lagi betapa cepatnya sang waktu melayang dan tahu-tahu mereka telah mendengar ayam jantan berkokok, tanda bahwa fajar telah menyingsing. Setelah terang tanah, mereka lalu menggali kuburan di antara dua makam Cantrik Pungguk dan cantrik Penggik, kemudian dengan sedehana namun khidmat mereka menguburkan jenazah Resi Limut Manik. Setelah selesai penguburan itu barulah keduanya beristirahat, Sutejo di ruangan depan sedangkan Puteri Wandansari di ruangan dalam. Mereka tidur sebentar untuk menghilangkan lelah dan kantuk dan memulihkan tenaga mereka.
Tiga orang mendaki puncak Semeru. Tiga orang muda, seorang wanita dan dua orang pria itu bergerak dengan cepat dan tangkas ketika mendaki puncak, menunjukkan bahwa mereka Bertiga bukanlah orang-orang muda biasa, melainkan orang-orang muda yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi.
Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun namun masih nampak muda seperti seorang gadis remaja, pakaiannya ringkas dan cukup mewah. Wajahnya cantik, matanya bersinar tajam dan di balik kecantikan wajahnya itu terkandung kekerasan yang menyinar keluar melalui pandang matanya. Sebatang cambuk hitam dililitkan di pinggang yang ramping itu. Mulutnya yang berbentuk manis itu membayangkan keangkuhan karena sadar akan kemampuan dirinya.
Di sampingnya berjalan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, wajahnya genteng dengan kumis melintang. Sebuah tahi lalat sebesar kedele menghias dagunya. Sepasang matanya juga mengeluarkan sinar tajam dan keras, dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Orang ke tiga adalah seorang laki-laki yang lebih tinggi besar lagi, seperti raksasa muda, usianya sekitar dua puluh empat tahan. Wajahnya tidak buruk, akan tetapi wajah ini membayangkan kekasaran dan kejujuran. Matanya yang lebar itu memandang dengan terbuka dan mendatangkan kesan bodoh.
Siapakah mereka yang mendaki puncak mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi itu. Mereka itu bukan lain adalah tiga orang murid perguruan Jatikusumo! Wanita itu bernama Rahmini, murid kedua dari Sang Bhagawan Sindusakti. Yang berjalan di sebelahnya adalah suaminya bernama Maheso Seto, murid pertama dari Bhagawan Sindusakti dan orang ketiga adalah Canggak Awu, murid keempat yang bertubuh seperti raksasa.
Dengan cepat mereka bertiga tiba di depan pondok tempat tinggal mendiang Resi Limut Manik. Mereka bertiga memandang ke kanan kiri dan ketiganya merasa heran melihat keadaan di situ demikian sunyi, tidak ada suara dan tidak, tampak seorangpun cantrik, sedangkan pintu pondok itu, tertutup. Padahal, matahari telah naik cukup tinggi sehingga agaknya tidak mungkin kalau penghuni pondok masih tidur.
"Kulonuwun........!"
Maheso Seto berseru. Mereka bertiga memandang ke arah pintu pondok, namun tidak ada jawaban, juga pintu pondok tidak dibuka dari dalam.
"Sungguh aneh! Mereka semua pergi ke mana?"
Kata Rahmini sambil menghampiri pintu pondok dan menggunakan jari tangannya untuk mengetuk pintu.
"Tok-tok-tok-tok!"
Beberapa kali ia mengulang ketukannya namun tetap saja tidak ada jawaban.
Rahmini menjadi jengkel dan ia mengerahkan tenaga dalamnya lalu berseru, suaranya tinggi melengking nyaring menggetarkan seluruh pondok.
"Kulonuwuuuunnn......!"
Suara yang melengking nyaring ini menggugah Sutejo dan Puteri Wandansari dari tidurnya. Sutejo yang terbangun lebih dulu dan dia meloncat bangun, berdiri lalu menuju ke pintu depan pondok sambil menjawab.
"Monggoooo......!"
Pintu dibuka Sutejo dari dalam dan dengan rambut masih agak awut-awutan dia melangkah keluar, memandang kepada tiga orang itu dengan mata bertanya karena dia tidak mengenal tiga orang itu.
Tiga orang itupun menatap, wajah Sutejo dengan heran. Maheso Seto segera menegur Sutejo dengan alis berkerut,
"Kisanak, siapa andika dan mengapa andika berada di sini? Di mana para cantrik dan di mana pula Eyang Resi Limut Manik?"
Sutejo juga mengerutkan alisnya. Dia merasa curiga. Jangan-jangan tiga orang ini adalah orang-orangnya Adipati Wirosobo juga, pikirnya.
"Siapakah andika bertiga dan ada keperluan apakah andika mencari Eyang Resi Limut Manik?"
Canggak Ayu yang berwatak kasar dan jujur itu segera membentak.
"Kisanak, kami adalah cucu-cucu murid Eyang Resi Limut Manik! Hayo katakan siapa andika dan di mana adanya Eyang Resi!"
Sutejo terkejut dan dia cepat dapat menduga siapa adanya tiga orang ini. Orang tinggi besar seperti raksasa yang memegang sebatang tongkat ini tentu adalah murid perguruan Jatikusumo yang bernama Cangak Awu, dan pria dan wanita itu tentulah pasangan Maheso Seto dan Rahmini! Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, dari dalam keluarlah Puteri Wandansari.
"Kakang Mahesa Seto! Mbakayu Rahmini dan Kakang Cangak Awu!"
Teriaknya girang melihat tiga orang itu.
Akan tetapi Rahmini mengerutkan alisnya ketika melihat Puteri Wandansari keluar dengan rambut awut-awutan dan jelas sekali seperti orang baru bangun tidur. Juga rambutnya yang terlepas itu membuktikan bahwa ia seorang wanita, tidak seperti dandanannya sebagai seorang pria, sehingga pemuda tampan itu tentu sudah tahu bahwa Puteri Wandansari adalah seorang wanita.
"Diajeng Wandansari!"
Bentak Rahmini dengan suara lantang.
"Apa yang kau lakukan di dalam pondok bersama pemuda itu!?"
Wajah puteri Wandansari berubah merah mendengar teguran yang mengandung nada menuduh dan mencela ini.
"Mbakyu Rahmini, sebelum aku memberi penjelasan, perkenalkan dulu, ini adalah Kakang Sutejo, murid dari Paman Bhagawan Sidik Paningal di Gunung Kawi, yang sekarang telah meninggal dunia. Kebetulan saja kami, berdua datang pada saat berbareng di sini dan kami berdua melihat dua orang cantrik telah terbunuh dan Eyang Resi Limut Manis dikeroyok empat orang. Kami berdua segera turun tangan membantu sehingga empat orang itu terusir pergi, akan tetapi Kanjeng Eyang Resi mengalami luka-luka parah sehingga akhirnya meninggal dunia."
"Eyang Resi meninggal dunia?"
Terdengar suara Cangak Awu menggeledek.
"Siapa empat orang jahat itu?"
"Kakang, Cangak Awu, para penyerang itu bukan lain adalah Paman Bhagawan Jaladara bersama tiga orang kawannya,"
Kata puteri Wandansari.
"Paman Jaladara? Akan tetapi bagaimana mungkin Paman Bhagawan Jaladara dapat menyerang dan melukai Eyang Resi?"
Tanya Maheso Seto terheran-heran.
"Paman Bhagawan Jaladara memegaag Pecut Pecut Bajrakirana dan agaknya Eyang Resi tidak melakukan perlawanan."
Jawab Puteri Wandansari.
"Lanjutkan ceritamu, lalu bagaimana engkau sampai berdua saja dengan orang muda ini?"
Rahmini mendesak, alisnya tetap berkerut.
"Mbakyu, kami berdua merawat dan Menunggu sampai Eyang Resi meninggal dunia. Kemarin dan tadi malam kami tidak tidur, menjagai jenazah Eyang Resi, dia pagi-pagi tadi kami lalu menguburnya seperti yang beliau pesan. Karena kelelahan, maka kami mengaso dan tidur."
"Hemmm, sungguh tidak pantas! Sungguh melanggar kesusilaan! Seorang gadis tidur berdua dalam sebuah pondok kosong!"
Rahmini mencela dan pandang matanya kepada Sutejo dan Puteri Wandansari jelas membayangkan prasangka bahwa kedua orang muda itu tentu telah melakukan hal yang tidak senonoh.
"Mbakyu Rahmini! kami tidur terpiasah, dia di ruangan depan, aku di ruangan dalam!"
Bantah Puteri Wandansari. Suaranya meninggi.
"Akan tetapi, tetap saja tidak patut seorang gadis berdua saja dengan seorang pria di dalam, sebuah pondok kosong! Seorang murid Jatikusumo haras tahu aturan dan tidak melanggar pantangan!"
Kembali Rahmini menyerang dengan galaknya.
Puteri Wandansari memandang dengan mata bersinar seperti mengeluarkan api karena marah. Kalau yang bicara itu bukan kakak seperguruannya, tentu telah dimaki dan diserangnya karena ucapannya itu sungguh merupakan dugaan yang keji dan kotor.
"Mbakyu Rahmini! Tahan sedikit ucapaknmu yang menuduh itu. Aku bukan saja murid Jatikusumo akan tetapi juga puteri Kanjeng Romo Sultan yang dapat menjaga martabat dan kesusilaan! Dan kakang Sutejo bukan orang lain, melainkan murid Paman Bhagawan Sidik Paningal, jadi terhitung masih kakak seperguruanku sendiri. Kami tidak pernah melakukan hal-hal yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Mbakyu Rahmini patut mengetahui hal itu!"
Rahmini masih cemberut.
"Akan tetapi....." "Sudahlah, untuk apa ribut-ribut? Aku percaya bahwa diajeng Wandansari dapat menjaga kehormatan dan diri. Sekarang Eyang Resi telah meninggal dunia, perlu kita selidiki tentang pusaka-pusaka itu!"
Kata Maheso Seto mencegah isterinya bicara lagi memanaskan suasana. Sambil memandang ke arah Puteri Wandansari, Maheso Seto melanjutkan,
"Diajeng Wandansari, sebelum Eyang Resi meninggal dunia, tentu beliau meninggalkan pesan kepadamu, terutama mengenai dua buah pusaka milik beliau, yaitu Pecut Sakti Bajrakirana dan Pedang Sakti Kartika Sakti,"
"Kakang Maheso Seto, seperti telah kuceritakan tadi, Pecut Bajrakirananya berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara dan dibawanya lari pergi,"
Kata Puteri Wandansari.
"Dan kitabnya? Kitab pelajaran Ilmu Cabuk Bajrakirana?"
Tanya Maheso Seto.
Puteri Wandansari tidak menjawab melainkan menoleh dan memandang kepada Sutejo. Dengan sikap tenang Sutejo berkata kepada Maheso Seto,
"Eyang Guru Resi Limut Manik telah berkenan memberikan kitab pelajaran ilmu pecut Bajrakirana kepadaku dan menugaskan aku untuk merampas kembali Pecut Sakti Bajrakirana dari tangan Paman Bhagawan Jaladara."
"Pedang Pusaka Kartika Sakti dan kitab pelajarannya?" "Pedang Kartiko Sakti dan kitab pelajarannya telah diberikan kepadaku oleh mendiang Eyang Resi, Kakang Maheso Seto."
Kata Puteri Wandansari.
"Serahkan semua itu kepada kami!"
Bentak Rahmini dengan galak.
"Sutejo, engkau harus menyerahkan kitab pelajaran ilmu pecut sakti bajrakirana itu kepada kami!"
Kata Maheso Seto kepada Sutejo.
"Mendiang Eyang Resi telah menyerahkannya kepadaku, kenapa harus kuserahkan kepada andika? tanya Sutejo ragu.
"Karena kitab itu harus diserahkan kepada Bapa Guru Sindusakti. Kitab itu adalah benda pusaka perguruan Jatikusumo. Dan engkau juga, diajeng Wandasari. Pedang pusaka Kartiko Sakti dan kitab pelajarannya itu harus kau serahkan kepada kami untuk dihaturkan kepada Bapa, Guru. Kami bertiga memang datang ke sini diutus oleh Bapa Guru untuk minta dua buah pusaka dan kitab-kitanya itu dari Eyang Guru."
Puteri Wandaasari mengerutkan alisnya dan otomatis tangan kanannya meraba gagang pedang Kartiko Sakti yang tergantung di punggungnya.
"Maaf, kakang Maheso Seto. Pedang pusaka ini oleh mendiang Eyang Resi telah diberikan kepadaku, maka terpaksa aku menolak permintaanmu, biarlah, kelak aku sendiri yang akan melaporkan kepada Bapa Guru dan beliau tentu dapat mengerti."
"Diajeng Wandansari! Berani engkau menentang kakak-kakak seperguruanmu?"
"Aku tidak berani menentang, akan tetapi pedang pusaka ini adalah hakku, mbakyu Rahmini. Eyang Resi telah memberikan, kepadaku berikut. kitab pelajarannya dan tidak akan kuserahkan kepada siapapun."
"Kalau bagiku, aku akan merampasnya dari tanganmu!"
Bentak Rahmini dan dia sudah melangkah maju, membuka pasangan untuk menyerang adik seperguruannya itu.
"Sutejo, serahkan kitab pelajaran Ilmu Pecut Bajrakirana kepadaku!"
Seru Mahesa Seto sambil menghampiri Sutejo dan diapun sudah siap untuk menyerang pemuda itu.
"Atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!"
Pada saat itu Cangak Awu maju ke depan dan berkata.
"Kakang Maheso Seto, mbakayu Rahmini, harap mundur dan ingatlah. Kita adalah saudara-saudara seperguruan sendiri. Adimas Sutejo sebagai murid Paman Bhagawan Sidik Paningal adalah juga saudara seperguruan kita. Tidak baik menggunakan kekerasan di antara saudara sendiri. Akan ditertawai orang bahwa perguruan Jatikusumo mempunyai murid-murid yang tidak dapat hidup rukun! Biarlah urusan ini kita laporkan saja kepada Bapa Guru dan biar beliau yang memutuskan."
Ucapan Cangak Awu itu menyadarkan Maheso Seto.
"Hemm. kalau tidak ada adimas Cangak Awu yang mengingatkanku, tentu aku sudah menghajarmu, Sutejo!"
Dia menoleh kepada isterinya dan berkata.
"Sudahlah, adimas Cangak Awu benar, kita laporkan saja kepada Bapa Guru. Mari kita pergi!"
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rahmini mengerutkan alisnya dan sejenak menatap wajah Puteri Wandansari dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi ia lalu membalikkan tubuh dan mengikuti suaminya yang sudah melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Cagak Awu memandang kepada Puteri Wandansari.
"Diajeng Wandansari, aku pamit."
"Silakan, kakang Cangak Awu, dan selamat jalan. Sampaikan, saja sembah hormatku kepada Bapa Guru."
Jawab Puteri Wandansari. Orang tinggi besar itu mengangguk dan dia lalu membalikkan tubuh dan melangkah lebar mengejar kedua orang kakak seperguruannya.
Setelah bayangan tiga orang itu menghilang di tikungan. Sutejo memandang Puteri Wandansari dan berkata.
"Jadi itukah kakak-kakak seperguruanmu, murid-murid Jatikusumo."
Puteri Wandansari juga memandang wajah Sutejo dan ia menghela napas.
"Sebetulnya mereka adalah orang-orang gagah perkasa, akan tetapi memang Kakang Maheso Seto, terutama sekali Mbakayu Rahmini memiliki watak yang keras."
"Tadi andaikata mereka benar-benar menyerang kita, lalu apa yang akan kau lakukan, diajeng Wandansari?"
"Hemm, tentu saja aku akan melawannya semampuku. Mungkin aku tidak akan menang melawan Mbakayu Rahmini, akan tetapi, aku harus melawan karena aku mempertahankan hakku dan aku tidak merasa bersalah. Dan bagaimana dengan andika, kakang Sutejo?"
"Aku? Aku tidak tahu, Aku masih bingung. Tentu akupun tidak akan mampu menandingi Kakang Maheso Seto. Sebagai murid pertama dari Uwa Guru Sindusakti, tentu tingkat ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali."
"Jadi andika akan menyerahkan kitab Bajrakirana begitu saja kepada kakang Maheso Seto?" "Entahlah, akan tetapi peristiwa tadi sungguh membuat hatiku merasa tidak enak, diajeng Wandansari. Bagaimanapun juga aku bukanlah murid perguruan Jatikusumo sungguhpun guruku adalah adik seperguruan ketua perguruan Jatikusumo Aku merasa seperti orang luar, tidak seperti andika yang berurusan dengan keluarga seperguruan sendiri. Bisa saja mereka menganggap aku tidak berhak memiliki Bajrakirana,
"Tidak! Aku yang menjadi saksi, kakang Sutejo! Aku yang menyaksikan ketika mendiang Sang Resi menyerahkah kitab Bajrakirana kepadamu dan aku akan menerangkan kepada siapapun juga, termasuk kepada Bapa Guru, Bajrakirana, juga pecutnya, telah diberikan kepadamu dan andika berhak memilikinya!" "Sekarang apa yang akan andika lakukan, diajeng?"
"Aku akan pulang ke kota raja, kakang Sutejo. Aku akan melapor kepada Kanjeng Romo tentang wafatnya Eyang Resi, dan aku akan tekun melatih diri dengan Ilmu Pedang Kartika Sakti. Dan andika sendiri, kakang Sutejo?"
"Kalau saja Pecut Bajrakirana sudah terampas olehku, akupun akau pergi ke Mataram karena aku ingin menghambakan diri kepada Kanjeng Gusti Sultan. Akan tetapi karena pecut pusaka itu masih berada di tangan Paman Bhagawan Jaladara, maka aku harus mencari dan merampas dulu pecut itu, Setelah pusaka itu berada di tanganku, baru aku akan pergi ke Mataram dan menghambakan diriku."
"Baik, kakang Sutejo. Kanjeng Romo tentu akan senang sekali menerimamu dan memberimu kedudukan yang sesuai dengan kemampuanmu. Aku akan menerangkan kepada Kanjeng Romo bahwa engkau terhitung masih kakak seperguruanku dan pantas untuk menjadi seorang senopati."
"Senopati? Ah, andika bergurau, diajeng! Orang seperti aku ini mana pantas menjadi seorang senopati?"
"Mengapa tidak, kakang Sutejo? Aku tahu bahwa andika kini memiliki tingkat ilmu kanuragan yang cukup hebat. Andika hanya perlu untuk mempelajari ilmu perang, yaitu cara memimpin pasukan untuk maju perang. Kalau andika sudah mempelajari ilmu perang, andika akan menjadi seorang senopati yang boleh diandalkan."
Sutejo tersipu, merasa matu dan merasa akan kekurangan pada dirinya, akan tetapi hatinya gembira sekali mendengar ucapan puteri itu.
"Nah sekarang aku pergi, kakang. Selamat tinggal dan mudah-mudahan andika akan cepat berhasil merampas kembali Pecut Bajrakirana."
"Selamat jalan dan selamat berpisah, diajeng. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali."
Gadis itu lalu melangkah pergi, kemudian mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Sutejo. Setelah bayangan itu lenyap, Sutejo menarik napas panjang, pikirannya menggerayangi hati sendiri lalu dia mencela diri sendiri.
"Bodoh kau! Engkau ibarat katak merindukan bulan. Sadarlah siapa engkau dan siapa dia!"
Dia lalu mengusir semua gagasan dan bayangan itu, kemudian pergi ke kandang di belakang pondok, mengeluarkan tiga ekor kerbau milik mendiang Resi Limut Manik dan dituntunnya tiga ekor kerbau itu turun dari puncak, Di pondok itu kini tidak ada siapapun juga. Kalau kerbau-kerbau itu dia tinggalkan, tentu akan mati kelaparan atau diambil orang yang tidak berhak. Dari pada begitu, lebih baik dia bawa turun puncak dan dia berikan kepada para petani miskin yang membutuhkannya.
Ketika tiba di dusun pertama di lereng Semeru, Sutejo lalu menyerahkan tiga ekor kerbau itu kepada keluarga miskin yang menerimanya dengan gembira sekali. Setelah itu, Sutejo melanjutkan perjalanan menuju ke Wirosobo karena dia tahu bahwa untuk mencari Bhagawan Jaladara, dia harus pergi ke kadipaten itu.
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo