Seruling Gading 17
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
"Mana.... mana anakku... Tejo....?"
Retno Susilo menoleh ke arah suaminya dan berseru.
"Kakangmas! Ibu memanggilmu!"
Sutejo menurunkan tubuh ayahnya dengan lembut ke atas tanah, lalu dia bangkit dan menghampiri isterinya yang masih merangkul tubuh ibunya. Dia mengantikan Retno Susilo memeluk dan menahan tubuh atas ibunya. Dengan hati terasa hancur pria perkasa inipun melihat kenyataan betapa keadaan ibunya parah sekali, tidak ada harapan untuk dapat ditolong seperti halnya ayahnya tadi karena orang tua ini telah terkena pukulan maut yang dahsyat sekali sehingga dari mulut, hidung dan telinganya keluar darah.
"Ibu"". !"
Sutejo memanggil lirih dan mendekap tubuh Padmosari yang lunglai. Wanita itu membuka mata memandang.
"Tejo... di mana bapakmu?"
Tanya wanita itu dengan suara berbisik. Jantung dalam dada Sutejo seperti ditusuk oleh pertanyaan ini. Ayahnya telah mati, baru saja hal itu terjadi dan kini ibunya yang terluka parah menanyakannya. Bagaimana dia tega untuk memberi tahu bahwa ayahnya telah meninggal?
"Bapak". bapak berada di sana, bu...."
Katanya sambil menggerakkan kepalanya ke arah di mana ayahnya rebah tak bernyawa lagi.
"Bawa aku dekat". bawa aku kepadanya...."
Kata wanita itu.
Sutejo tak dapat berkata apa-apa lagi dan juga tidak ingin membantah. Dia memondong tubuh ibunya dan membawanya menghampiri jenazah ayahnya, diikuti oleh Retno Susilo yang mengerutkan alis dan menahan hatinya agar jangan menangis karena matanya sudah terasa panas dan bibirnya gemetar.
Dengan lembut Sutejo merebahkan tubuh ibunya di samping jenazah ayahnya. Padmosari menoleh ke kiri dan menggerakkan tangan kirinya, perlahan tangan kirinya mencari sampai bertemu dengan tangan kanan Ki Harjodento lalu digenggamnya tangan itu dan ia tersenyum.
".... aku... aku tak ingin... berpisah". darinya".."
Ia memandang wajah suami isteri yang berlutut di dekatnya itu, lalu dengan napas terengah-engah ia menguati diri dan berkata.
"Tejo". Retno"
Jaga"..cucuku Bagus Sujiwo""baik-baik....."
Tubuh wanita itu terkulai dan ia menghembuskan napas terakhir, mati dengan tangan masih menggenggam tangan suaminya.
"Ibuuu".. bapaaak"". ?"
Sutejo menjerit dan menangis. Retno Susilo juga menangis tersedu-sedu, akan tetapi ia masih berusaha untuk menghibur suaminya yang seperti anak kecil merangkul jenazah kedua orang itu bergantian sambil memanggil-manggil mereka.
"Kakangmas, ingatlah".. sebutlah nama Gusti Allah..."
Kata Retno Susilo sambil merangkul pundak suaminya dan air matanya membanjiri kedua pipinya.
Sutejo menahan tangisnya.
"Duh Gusti"
Mohon kekuatan, Gusti ""!"
Keluhnya lirih dan dia merangkul isterinya. Suami isteri itu berangkulan dan menangis. Hati mereka seperti diremas-remas rasanya, apalagi pesan terakhir Padmosari tadi mengingatkan mereka akan putera mereka yang lenyap. Mereka berdua kehilangan anak tunggal mereka dan mereka dating ke Nogodento hendak melapor dan bersambat kepada orang tua, mengadukan nasib mereka dan minta pertolongan. Akan tetapi setibanya di Nogodento mereka malah dihadapkan dengan kematian ayah ibu mereka!
Tiba-tiba Retno Susilo yang tak dapat menahan kemarahannya, bangkit dan mengacungkan tangan yang terkepal di udara.
"Aku bersumpah akan membalaskan kematian bapak dan ibu, membalaskan sakit hati ini! Aku akan mencari mereka!"
Sutejo juga bangkit dan merangkul isterinya.
"Sabar dan tenanglah, diajeng. Aku telah mengetahui siapa kakek tadi. Kita bicarakan hal itu nanti saja. Sekarang, yang terpenting adalah mengubur jenazah bapak dan ibu."
Mereka lalu mengumpulkan sisa anak buah Nogodento. Masih ada dua belas orang murid yang hidup. Dengan dibantu para murid, Sutejo dan Retno Susilo mengubur jenazah Ki Harjodento dan Nyi Padmosari dengan baik, juga jenazah para murid Nogodento yang menjadi korban dalam pertempuran itu. Bahkan pasangan pendekar perkasa ini rnenyuruh para murid Nogodento untuk mengubur pula jenazah para anak buah Klabang Wilis sebagaimana mestinya.
Setelah semua penguburan selesai, dari para murid Nogodento sepasang suami isteri pendekar itu mendengar akan penyerbuan gerombolan Klabang Wilis itu. Juga mereka mendengar akan pesan Ki Harjodento kepada para murid agar pergi dan membantu Mataram dengan menjadi perajurit sukarela.
"Mendiang bapak benar,"
Kata Sutejo kepada para murid itu.
"Kalian harus mempergunakan semua ilmu yang dengan susah payah kalian pelajari untuk melakukan hal-hal yang benar. Sekarang ini Mataram sedang membutuhkan bantuan para pemuda seperti kalian, maka sudah sepantasnyalah kalau kalian membantu seperti yang dipesan mendiang bapak. Sekarang bagi-bagilah di antara kalian semua barang berharga yang ditinggalkan orang tuaku, untuk bekal kalian dalam perjalanan. Juga jangan lupa, dalam perjalanan kalian, bantulah kami dengan membuka mata dan telinga, melihat dan mendengar kalau-kalau kalian dapat menemukan jejak putera kami Bagus Sujiwo, yang diculik orang seperti telah ka ceritakan kepada kalian tadi. Nah, laksanakan perintah kami itu dan segera berangkatlah. Kami akan pergi lebih dulu."
Setelah meninggalkan pesan dan banyak nasihat kepada para murid Nogodento, Sutejo dan Retno Susilo meninggalkan tempat itu dan melakukan perjalanan ke timur.
"Kakangmas, kita sekarang melakukan pengejaran terhadap Wiku Menak Koncar yang telah membunuh ayah dan ibu? Kita harus membalas dendam itu secepatnya, kakangmas!"
Kata Retno Susilo setelah mereka keluar dari perkampungan Nogodento.
Sutejo menghentikan langkahnya dan mengajak isterinya duduk di atas batu-batu di tepi sungai. Bengawan Solo yang mulai mengalir ke utara di bagian itu cukup lebar dan banyak airnya karena telah bertemu dan bersatu dengan Kali Madiun yang mengalir dari selatan.
"Diajeng, kita tidak akan mengejar Wiku Menak Koncar."
Wanita itu memandang wajah suaminya dengan heran.
"Apa? Kakek jahat itu telah membunuh bapak dan ibu, dan engkau tidak akan membalas dendam?"
"Diajeng, Wiku Menak Koncar menyerang mendiang bapak juga karena hendak membalas dendam atas kematian saudaranya, yaitu Ki Klabangkolo yang roboh oleh mendiang bapak. Tidak, diajeng, kitia tidak akan membalas dendarn karena kalau begitu, tiada bedanya antara dia dan kita, sama-sama diracuni dendam. Ada urusan yang jauh lebih penting bagi kita, yaitu pertama, kita harus membantu usaha Mataram menundukkan Madura dan Surabaya seperti yang dipesankan mendiang bapak kepada para muridnya. Dan kedua, kita masih harus mencari anak kita. Tentang Wiku Menak Koncar, kita akan menentangnya mati-matian kalau dia melakukan kejahatan, bukan karena dendam."
Retno Susilo menghela napas panjang. Dulu, sebelum menjadi isteri Sutejo, dia adalah seorang gadis perkasa yang berhati sekeras baja, galak dan selalu bersikap keras dan membenci orang yang dianggapnya jahat. Ia tidak mengenal ampun kepada mereka. Akan tetapi setelah ia menjadi isteri Sutejo, ia berubah banyak. Ia mulai dapat melihat bahwa menuruti kekerasan hati adalah menuruti nafs sendiri yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri. Ia mulai dapat meliha kebijaksanaan suaminya dan semenjak menjadi isteri Sutejo, ia selalu mentaatinya.
Kini, diingatkan tentang puteranya yang hilang, Retno Susilo menjadi sedih sekali, sedih dan gelisah.
"Duh, kakangmas.... bagaimana dengan Bagus? Siapakah yang menculiknya dan kenapa? Di mana dia sekarang, kakangmas dan bagaimana keadaannya? Aku khawatir sekali...."
Sutejo merangkul isterinya.
"Tenanglah, diajeng. Yang jelas, kita yakin bahwa Bagus masih hidup. Kalau penculiknya ingin membunuhnya, tentu hal itu sudah dilakukannya dan tidak perlu dia bersusah payah membawa anak itu, pergi."
"Akan tetapi siapa yang begitu kejam menculik anak kita? Sudah setahun anak kita hilang dan belum juga kita dapat menemukan jejaknya"."
Suara wanita itu gemetar.
"Ingatlah bahwa aku sendiri ketika masih kecil diculik dari ayah ibu dan baru dapat berjumpa kembali dengan mereka setelah aku dewasa. Aku yakin bahwa penculikan anak kita ini dilandasi dendam kepada kita. Engkau sendiri tahu hahwa kita berdua dahulu telah menentang banyak orang jahat, apalagi sehubungan dengan pemberontakan mereka terhadap Mataram. Oleh karena itu, aku herpendapat bahwa yang menculik anak kita tentulah seorang di antara mereka yang pernah bermusuhan dengan kita seperti halnya Wiku Menak Koncar mendendam kepada mendiang bapak."
"Lalu apa yang harus kita lakukan, kakangmas? Ke mana kita harus mencarinya?"
"Tenanglah, diajeng. Menghadapi kehilangan Bagus ini, hanya ada dua hal yang dapat kita lakukan. Pertama, kita menyerahkan Bagus kepada Gusti Allah dan selalu berdoa dan percaya bahwa Gusti Allah pasti akan melindunginya. Kedua, kita harus berusaha mencari terus, akan tetapi karena kita belum tahu harus mencari ke mana, maka kita harus mendahulukan urusan yang sudah jelas yaitu membantu Mataram. Kita membantu Mataram sambil memasang mata dan telinga kalau-kalau dapat menemukan jejak anak kita itu."
Retno Susilo hanya dapat menyetujui dan mengangguk. Suami isteri itu lalu melanjutkan perjalanan rnereka, menyusuri Bengawan Solo.
Rombongan yang berjurnlah tiga puluh orang lebih itu, yang tadinya lari ceral berai meninggalkan perkampungan Nogodento, akhirnya berkumpul dan melakukan perjalanan yang sunyi menuju kembali ke Gunung Wilis. Mereka telah menderita kekalahan besar ketika menyerbu Nogodento. Sama sekali di luar dugaan Wiku Menak Koncar dan Wiroboyo yang memimpin lima puluh orang lebih anak buah itu bahwa setelah mendapatkan kemenangan dan hampir dapat membasmi semua murid Nogodento, tiba-tiba muncul Sutejo dan Retno Susilo yang membuat mereka semua lari cerai-berai meninggalkan dua puluh lebih kawan yang tewas dalam penyerbuan itu.
Wiku Menak Koncar berjalan di depan rombongan bersama Wiroboyo. Wajah kakek ini tampak cerah, sebaliknya wajah Wiroboyo tampak muram. Hal ini tidaklah aneh karena Wiku Menak Koncar merasa puas bahwa dia telah berhasil membunuh musuh besarnya Ki Harjodento bersama isterinya. Sebaliknya, Wiroboyo merasa rugi karena kehilangan banyak sekali anak buah.
"Sudahlah, anakmas Wiroboyo, tidak perlu bermuram durja. Setelah kita tiba di Gunung Wilis nanti, kita dapat menyusun lagi kekuatan dan menambah anggauta Klabang Wilis agar menjadi kuat kembali."
Wiku Menak Konear menghibur.
"Akan tetapi saya merasa penasaran sekali, Bapa Wiku. Sebagian besar anak buah saya terbunuh oleh wanita itu dan saya merasa penasaran karena tidak dapat membunuhnya. Perempuan itu begitu ganas seperti iblis!"
Kata Wiroboyo sambil mengepal tangan kanan dengan gemas.
"Hemm, jangan penasaran, anakmas. Andika tidak tahu siapa mereka. Yang laki-laki itu lebih sakti lagi dan setelah dia mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana, baru aku ingat dan tahu siapa dia. Dia adalah seorang pendekar yang sakti mandraguna, murid mendiang Resi Limut Manik. Dialah yang dahulu membela Mataram dan mengalahkan banyak orang digdaya yang memusuhi Mataram. Untung Ki Harjodento dan isterinya sudah kurobohkan lebih dulu. Kalau kita terlambat sedikit saja, belum tentu kita berdua dapat meloloskan diri! Masih untung kita dapat selamat dan lebih untung lagi aku berhasil membunuh musuh besarku dan isterinya."
Pada saat itu, terdengar bentakan suara wanita nyaring.
"Jahanam keparat Wiroboyo. Sekarang saatnya engkau mampus di tanganku!"
Dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan Wiroboyo dan Wiku Menak Koncar telah berdiri Muryani dan Satyabrata.
Mula-mula kelua orang itu terkejut karena mengira bahwa yang muncul itu adalah Sutejo dan Retno Susilo. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang muncul di depannya itu adalah Muryani dan seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya, Wiroboya menjadi riang. Setelah sekian lamanya, dia masih tetap tergila-gila kepada gadis itu dan kini Wiku Menak Koncar berada di depannya, maka tentu saja dia tidak merasa takut sama sekali.
"Bapa Wiku, tolong tangkapkan gadis ni untuk saya. Sudah lama saya mengnginkan ia menjadi isteri
(Lanjut ke Jilid 17)
Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
saya,"
Kata wiroboyo.
Mendengar permintaan muridnya itu, Wiku Menak Koncar tertawa. Dia tahu bahwa muridnya itu sebagai ketua Klabang Wilis merasa kecewa karena kehilangan lebih dari dua puluh orang anak buah, maka dia ingin menyenangkan atau menghibur hati muridnya itu dengan memenuhi permintaannya. Memang gadis yang menghadang mereka itu cukup cantik jelita sehingga tidaklah mengherankan kalau Wiroboyo tergila-gila kepadanya.
"Heh-heh-hik-hik!"
Dia terkekeh seperti seorang nenek-nenek.
"Cah ayu dhenok dhebleng! Mari-mari, menurutlah andika menjadi isteri anakmas Wiroboyo!"
"Tua bangka hitam elek sinting, rnampuslah!"
Muryani yang sudah marah sekali melihat Wiroboyo, menjadi semakin marah melihat sikap dan mendengar ucapan Wiku Menak Koncar itu. Ia sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berkulit hitam arang itu dengan pukulan Gelap Sewu yang dahsyat mematikan!
"Uh-uhhh galak juga"" "
Seru Sang Wiku Menak Koncar kaget dan cepat dia pun menyambut pukulan sakti itu dengan mendorongkan kedua telapak tangannya sambil mengerahkan tenaga Bayu Bajra.
"Wuuuuttt ".desss"". !!"
Tubuh Wiku Menak Koncar tergetar hebat, akan tetapi tubuh Muryani terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa gadis itu masih kalah kuat dibandingkan lawannya. Wiku Menak Koncar tertawa terkekeh dan sudah cepat menerjang ke depan dengan niat untuk menangkap gadis yang terhuyung itu. Akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan Satyabrata sudah menjulurkan tangan menahannya. Melihat pemuda itu berani menghalanginya, Wiku Menak Koncar cepat memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah dada pemuda itu. Satyabrata menyambut dengan telapak tangannya.
"Wuuuttt"..desss"".!!"
Keduanya saia-sama terdorong ke belakang. Tentu saja Wiku Menak Koncar terkejut bukan main karena mendapat kenyataan bahwa pemuda itu ternyata memiliki tenaga sakti yang tidak kalah kuat. Satyabrata menatap penuh perhatian. Dia pernah mendengar tentang datuk Blambangan yang berkulit hitam arang dan suaranya seperti wanita ini. Terkenal sebagai datuk yang selalu menentang Mataram. Dari logat bicaranya saja dia sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentu orang Blambangan dan melihat kulitnya, mudah diduga bahwa dia tentu Wiku Menak Koncar. Segera otaknya yang memiliki kecerdikan luar biasa itu bekerja dan dia berkata kepada kakek itu dengan nada mengejek.
"Hemm, kakek muka hitam. Tidak tahu malu andika menyerang seorang wanita. Kalau memang andika berani dan bukan pengecut, hayo lawanlah aku!"
Wiku Menak Koncar adalah seorant datuk besar. Tentu saja tantangan itu memanaskan perutnya.
"Siapa takut padamu, bocah kemarin sore?"
Bentaknya dan dia sudah menerjang dan menyerang dengan pukulan Aji Nandaka Kroda yang amat dahsyat dan mematikan. Namun, dengan gerakan vang lincah sekali Satyabrata melompat ke belakang menghindar sambil mengejek.
"Luput, kek! Gerakanmu lambat seperti keong (siput) dan lunak seperti gudir! Hayo keluarkan semua aji-ajimu dan tandingi aku kalau memang andika berani dan bukan pengecut!"
Wiku Menak Koncar marah sekali. Dia mengejar dan menyerang lagi dengan lebih dahsyat, ingin membunuh pemuda yang berani mengejek dan menghinanya itu dengan sekali pukul.
"Hyaaaatttt"".. ahhhh....!"
Satyabrata mengelak lagi dengan lompatan yang lebih jauh ke belakang.
"Luput lagi, kek. Apakah tubuhmu sudah buyutan dan andika tidak mampu bergerak lebih cepat lagi?"
Dia mengejek sambi menjauh dan Wiku Menak Koncar terus mengejar, tidak tahu bahwa dia memang sengaja dipancing oleh pemuda itu.
Sementara itu, melihat kakek yang sakti itu kini sudah bertanding melawan Satyabrata, Muryani segera melompat ke depan Wiroboyo. Kemarahannya sudah berkobar lagi, teringat akan kematian ayahnya. Walaupun ia sudah berhasil membunuh, atau setidaknya merobohkan dan membuat Darsikun, pembunuh ayahnya itu membunuh diri, namun ia tahu bahwa Darsikun hanyalah suruhan dan yang menyuruh bunuh ayahnya adalah Wiroboyini ini.
"Wiroboyo jahanam busuk, aku bersumpah untuk membunuhmu!"
Teriaknya marah. Akan tetapi Wiroboyo masih rnemandang rendah gadis itu. Kini setelah dia mempelajari aji kesaktian dari Wiku Menak Koncar, tentu saja dia tidak takut kepada Muryani.
"Heh-heh, manis. Sekarang engkau pasti akan tunduk dan menjadi milikku!"
Wiroboyo sama sekali tidak tahu bahwa gadis itu telah mendapat gemblengan hebat dari Nyi Rukmo Petak. .
"Haiiiiittt".!"
Muryani menerjang dengan aji pukulan Gelap Sewu. Dari kedua tangannya meluncur hawa pukulan yang amat dahsyat. Wiroboyo yang masih memandang rendah, sambil tersenyum menyambut pukulan itu dengan dua tangan, siap untuk menangkap apabila gadis itu terhuyung oleh tenaganya yang tentu jauh lebih kuat.
"Wuuuttt".. bresss ""..!"
Senyum itu lenyap dari muka Wiroboyo yang berubah pucat. Pertemuan tenaga itu membuat ia terhuyung ke belakang, bahkan nyaris dia terjengkang kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik ke belakang. Melihat pemimpin mereka terhuyung, empat orang anak buah Klabang Wilis menyerbu dengan golok mereka, membacok ke arah gadis itu dari empat jurusan.
"HYAAAAHHH !"
Muryani bergerak dengan Aji Kluwung Sakti. Tubuhnya berlelebatan sedemikian cepatnya bagaikan berubah menjadi bayang-bayang, kaki tangannya menyambar dan empat orang itu berteriak kesakitan dan roboh terpelanting, tak mampu bangkit lagi! Melihat ini, sisa anak buah Klabang Wilis menjadi gentar dan giris hatinya. Ternyata gadis itu tidak kalah ganasnya disbanding Retno Susilo! Mereka. hanya memandang terbelalak dengan muka pucat, tidak berani mengeroyok lagi.
Wiroboyo juga terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangkanya bahwa kini Muryani memiliki kesaktian yang demikian hebat, mengingatkan dia akan wanita cantik yang mengamuk bersama suaminya di perguruan Nogodento. Dia tidak tahu bahwa antara Muryani dan Retno Susilo memang ada hubungan tunggal guru, walaupun mereka tidak pernah saling jumpa. Yang menggembleng kedua orang wanita itu adalah mendiang Nyi Rukmo Petak.
Melihat empat orang anak buahnya roboh dan yang lain tampak gentar, Wiroboyo cepat berteriak.
"Maju semua! Serbu! Keroyok!"
Dua puluh orang lebih itu timbul kembali semangat mereka setelah mendengar perintah Wiroboyo. Dengan senjata golok mereka lalu menyerbu Muryani dari segala jurusan, menghujani gadis itu dengziri bacokan golok. Namun, Muryani sudah siap siaga. Ia bergerak dengan Aji Kluwung Sakti sehingga tubuhnya seperti lenyap berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara puluhan batang golok itu. Sambil berkelebat menghindarkan diri, kaki tangannya bergerak. Berturut-turut para anak buah itu berteriak mengaduh dan roboh. Dalam waktu beberapa detik saja lima orang sudah terjungkal.
Wiroboyo terbelalak dan maklum betapa bahayanya gadis perkasa itu. Dia lalu melompat jauh dan melarikan diri, tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang diamuk Muryani, juga tidak memperdulikan Wiku Menak Koncar yang tadi bertanding melawan Satyabrata dan kini tidak tampak lagi.
"Keparat busuk, hendak lari ke mana kau?"
Tampak bayangan berkelebat di samping Wiroboyo dan angin menyambar dahsyat menyerangnya. Wiroboyo cepat mengelak dan menggerakkan kedua tangan untuk menangkis pukulan yang dahsyat dari gadis itu.
"Wuuuuttt.... desss...!"
Wiroboyo kembali terdorong dan terhuyung ketika lengannya bertemu dengan tangan gadis itu. Akan tetapi ketika Muryani hendak mengejar dan rpengirim serangan susulan, anak buah Klabang Wilis sudah datang lagi dan mengeroyoknya. Wiroboyo menggunakan kesempatan itu untuk mengeroyok pula, dengan maksud untuk dapat merobohkan gadis perkasa itu dengan mengandalkan banyak orang. Muryani mengamuk, mulutnya mengeluarkan bentakan melengking-lengking dan setiap kali tangan atau kakinya menyambar, tentu ada seorang anak buah
gerombolan itu yang roboh terpelanting.
Sementara itu, Satyabrata berhasil memancing Wiku Menak Koncar untuk terus mengejar dan menyerangnya. Kini mereka berdua telah berada agak jauh dari Muryani yang dikeroyok banyak orang. Wiku Menak Koncar merasa penasaran sekali karena untuk kesekian kalinya, serangannya selalu dapat dielakkan lawan.
"Hyaaaattt"".ahhh!"
Dia menyerang lagi dengan aji pukulan Nandaka Kroda yang amat dahsyat. Sekali lagi, Satyabrata tidak mengelak melainkan menyambut pukulan itu dengan aji pukulan Margopati. Dia sengaja memapaki pukulan lawan dan hendak mengadu tenaga sakti mereka.
"Wuuuuttt.... plakkk!"
Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya, Wiku Menak Koncar terhuyung ke belakang dan napasnya memburu karena terasa sesak.
"Tahan...!"
Seru kakek itu dan memandang tajam.
"Orang muda, siapakah andika?"
Satyabrata tersenyum.
"Andika tentulah Sang Wiku Menak Koncar, datuk besar Blambangan itu, bukan? Katakan dulu, paman Wiku, apakah engkau sekarang masih tetap menentang dan memusuhi Mataram?"
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja Wiku Menak Koncar terbelalak heran mendengar pertanyaan itu. Dia memandang penuh selidik, akan tetapi tidak merasa kenal dengan pemuda ini, seorang pemuda aneh yang sakti mandraguna, yang bola matanya berwarna aneh pula, agak kebiruan.
"Sebelum aku menjawab, katakan dulu siapa andika!"
Katanya.
Satyabrata menoleh ke kanan kiri. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, dia mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggangnya. Benda itu adalah sebunh dinar emas, uang logam terbuat dari emus murni yang dia dapatkan dari Willem Van Huisen ayah angkatnya dan benda itu juga menjadi tanda rahasia bagi seorang wakil Kumpeni Belanda yang tinggi ke-"
Dudukannya. Satyabrata menunjukkan uang logam emas itu kepada Wiku Menak Koncar dan bertanya.
"Andika tentu mengenal ini, bukan?"
Wiku Menak Koncar semakin heran. Tentu saja dia mengenal baik tanda itu walaupun dia belum pernah menjadi antek Kumpeni. Setidaknya dia pernah berhubungan dengan pihak Kumpeni dan mengenal tanda-tanda para wakil kumpeni yang bertugas mengadakan hubungan dengan para pejabat di pedalaman, terutama mereka yang menentang Mataram.
"Ah, andika petugas Kumpeni?"
Tanyanya.
"Benar, namaku Satyabrata, dari Cirebon. Andika belum menjawab pertanyaanku tadi, paman Wiku Menak Koncar."
"Tentu saja aku memusuhi Mataram. Selamanya aku akan memusuhi dan menentang Mataram!"
"Bagus! Kalau begitu kita sepaham dan segolongan. Karena itu, tidak perlu kita melibatkan diri dengan pertikaian pribadi antara Muryani dan Wiroboyo itu, paman Wiku. Tak perlu kita bertanding lagi. Kewajiban kita adalah menentang Mataram demi kepentingan Kumpeni dan juga Blambangan. Atau paman akan nekat melanjutkan perkelahian? Ingat, paman, kalau aku menghendaki, sudah sejak tadi aku dapat membunuhmu dengan ini!"
Satyabrata menyingkap bajunya, memperlihatkan sebuah pistol yang terselip di ikat pinggangnya.
"Peluru emas pistol ini tentu takkan dapat ditahan kekebalan paman. Juga aku memiliki banyak aji kesaktian yang cukup untuk menandingi kesaktianmu."
Wiku Menak Koncar memandang ragu. Dia maklum bahwa pemuda itu memang digdaya sekali, belum tentu dia akan mampu mengalahkan pemuda itu, apalagi dia memiliki senjata api yang berbahaya. Selain itu, tidak perlu pula dia harus bermusuhan dengan seorang petugas Kumpeni.
"Lalu apa kehendakmu sekarang, anakmas Satyabrata?"
"Begini, paman Wiku Menak Koncar. Tentu andika mengetahui bahwa sekarang Mataram sedang mengancam untuk menyerang Madura dan Surabaya. Karena itu, kita harus membantu Madura untuk, menentang Mataram. Kumpeni juga secara diam-diam akan membantu Madura. Maka, saya harap paman suka meninggalkan pertempuran ini dan pergi ke Madura, membantu Kadipaten Arisbaya dan kadipaten-kadipaten lain di Madura. Saya sendiri juga akan segera menyusul ke sana. Percayalah, Kumpeni pasti akan menghargai sekali bantuan paman, dan saya akan melaporkan ke atasan di Batavia. Atau kalau paman menolak, paman melanjutkan pertempuran ini dan akan berhadapan dengan saya!"
Wiku Menak Koncar masih ragu.
"Akan tetapi bagaimana dengan Wiroboyo? Dia sudah menjadi muridku....
"
"Aahh, paman. Mengapa memusingkan urusan kecil itu kalau urusan yang jauh lebih besar menunggu bantuan paman?"
Akhirnya Wiku Menak Koncar setuju. Memang diam-diam kakek ini sudah mempunyai keinginan untuk membantu Madura melawan Mataram atas permintaan sahabatnya, yaitu Ki Harya Baka Wulung yang sudah mengirim utusan menemuinya.
"Baiklah, anakmas Satyabrata. Aku berangkat sekarang juga dan kuharap akan dapat segera bertemu dan bekerja sama denganmu di Madura."
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu, tidak perduli lagi akan pasib Ki Wiroboyo dan sisa anak buah Klabang Wilis.
Satyabrata mengikuti bayangan Wiku Menak Koncar sambil tersenyum. Dia merasa girang sekali dan senyumnya membuat wajahnya tampak tampan sekali. Dia merasa telah mendapatkan dua keuntungan. Pertama, dia dapat membantu Muryani, dan kedua, dia berhasil membujuk. Wiku Monak Koncar untuk segera pergi ke Madura membantu perlawanan terhadap Mataram, sesuai dengan politik Kumpeni Belanda. Dia diam-diam sudah bertemu dengan para pimpinan telik sandi Kumpeni dan mempelajari keadaan politik waktu itu karena telah terjadi perubahan-perubahan selama dia mempelajari, ilmu-ilmu di sumur tua perguruan Jatikusumo. Sambil tersenyum-senyum dia lalu berlari, kembali ke tempat pertempuran tadi dengan niat mencegah Muryani membunuh Wiroboyo. Pria itu adalah murid Wiku Menak Koncar, maka sudah sepatutnya kalau diselamatkan karena dia dapat diharapkan untuk menjadi sekutu menentang nentang Mataram.
Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, Satyabrata melihat bahwa sudah terlambat baginya untuk menyelamatkan Wiroboyo. Dia melihat betapa Muryani mengamuk dan sudah merobohkan banyak sekali anak buah Klabang Wilis dan kini Wiroboyo sudah terdesak hebat. Tak mungkin lagi dia mencampuri perkelahian itu untuk menyelamatkan Wiroboyo tanpa menyinggung perasaan Muryani. Kalau dia menolong Wiroboyo, dia harus menggunakan kekerasan melindunginya dan hal ini tentu akan membuat Muryani marah kepadarrya. Tentu saja dia tidak mau kehilangan Muryani hanya untuk menyelamatkan Wiroboyo.
Pada saat itu, memang Muryani sudah mendesak hebat kepada musuhnya. Tidak kurang dari sepuluh orang anak buah Klabang Wilis yang berani mencoba untuk membantu Wiroboyo dan mengeroyoknya telah ia robohkan dan kini sisa para anak buah itu tidak berani lagi mendekat walaupun berulang kali Wiroboyo memerintahkan mereka untuk membantunya. Terpaksa dia sendiri yang melawan, akan tetapi dia hanya dapat mengelak dan menangkis sambil terdesak mundur terus, tanpa dapat membalas sama sekali. Tiba-tiba Muryani bergerak cepat, tubuhnya berkelebat ke depan, tangan kirinya menyambar ke arah muka Wiroboyo. Wiroboyo terkejut sekali, hidungnya mencium bau harum-harum amis keluar dari kukukuku tangan gadis itu. Dia mengelak dengan menarik mukanya ke belakang.
"Heiiiittt....!"
Muryani membentak, tangannya meraih dan kuku-kuku jari tangannya mencengkerarn ke leher lawan. Darah muncrat dan tubuh Wiroboyo terhuyung ke belakang. Kaki kanan Muryani menyusul dan tubuh Wiroboyo terpental oleh tendangan kaki. Dia roboh dan bergulingan, berkelojotan. Rasa nyeri menghentak-hentak ke dalam kepalanya. Dia telah terkena cengkeraman Wiso Sarpo yang amat berbisa, sebuah aji pukulan yang dahsyat dan ganas sekali yang merupakan aji pamungkas dari mendiang Nyi Rukmo Petak. Saking keji dan ganasnya pukulan ini, Muryani yang telah menguasainya hampir tidak pernah mempergunakannya. Sekarang saking sakit hati dan, bencinya kepada Wiroboyo, ia menggunakan aji itu dan memandang musuhnya yang kini berkelojotan dan mukanya berubah kehitaman mengerikan!
Anak buah Klabang Wilis yang tinggal belasan orang itu lari kocar-kacir melihat pemimpin mereka roboh. Muryani tetap berdiri memandang musuh besarnya sampai Wiroboyo tidak bergerak lagi, tewas dalam keadaan yang mengerikan. Setelah musuhnya tewas, baru Muryani mendengar langkah Satyabrata yang menghampirinya. Ia memutar tubuh, siap menghadapi lawan baru. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang menghampirinya adalah Satyabrata, ia menghela napas panjang dan memandang kepada mayat Wiroboyo yang menggeletak telentang dengan seluruh muka berubah hitam.
"Aku telah berhasil membunuhnya Berhasil membunuh jahanam ini yang menyebabkan kematian ayahku,"
Katanya suaranya gemetar penuh keharuan, teringat akan ayahnya.
Satyabrata mengangkat tangan kanannya dan menyentuh pundak gadis itu dengan lembut dan mesra.
"Syukurlah, dia jeng, aku ikut merasa gembira engkau telah dapat membalas sakit hatimu."
Muryani merasa girang. Ia menganggap pemuda itu amat baik dan bersikap lembut dan sopan kepadanya. Sentuhan, tangan pemuda itu di pundaknya mendatangkan getaran dan ia membiarkan saja tangan itu hinggap di pundaknya. Ia teringat akan lawan pemuda itu, kakek bermuka hitam arang yang sakti mandraguna tadi.
"Kakangmas Satyabrata, bagaimana dengan lawanmu, kakek yang mengerikan tadi?"
Satyabrata melepaskan tangannya dan mengerutkan alis, menggelengkan kepalanya.
"Dia sungguh sakti dan licik, diajeng. Dia berhasil lolos dari tanganku dan melarikan diri. Aku tidak berani mengejarnya karena khawatir engkau akan mengalami celaka kalau kutinggalkan, maka aku terpaksa membiarkan dia lari."
"Tidak mengapa, kakangmas. Aku tidak mempunyai urusan dengan kakek itu. Wiroboyo inilah yang kucari dan sekarang , aku berhasil membunuhnya. Semua ini berkat pertolonganmu, kakangmas. Kalau tidak ada engkau yang membantuku, mungkin bukan dia, melainkan aku yang menggeletak tak bernyawa di sini karena kakek muka hitam itu sakti sekali. Sekali lagi aku amat berterima kasih kepadamu, kakangmas. Berulang kali engkau telah menyelamatkan dan menolong aku. Aku berhutang budi dan nyawa kepadamu."
Satyabrata tersenyum dan merasa senang sekali. Akan tetapi dia menahan gelora hatinya yang membuat dia ingin sekali merangkul dan mencumbu gadis itu Dia ingat bahwa saat itu dia harus menjadi seorang pemuda yang baik hati, lembut dan sopan di mata Muryani.
"Aah, diajeng, kenapa engkau berkata begitu? Aku senang sekali dapat membantumu, bahkan aku akan rela mengorbankan nyawaku demi menyelamatkandan membantumu, diajeng."
Suaranya mengandung getaran perasaan yang membuat Muryani terguncang hatinya dan ia memandang wajah pemuda itu yang tampan ganteng dan penuh daya tarik. Detak jantungnya membuat wajah gadis itu menjadi kemerahan karena perkataan pemuda itu jelas mengandung isyarat bahwa pemuda itu mencintanya dengan tulus dan murni sehingga rela mengorbankan nyawa untuknya! Akan tetapi ia masih belum puas, dengan isyarat itu, ingin mengetahui mengetahui lebih jelas. Ia berdiri menghadapi pemuda itu dalam jarak hanya satu meter dan menatap tajam wajah itu.
"Kakangmas Satyabrata""."
"Hemmm? Ada apakah, diajeng Muryani?"
Kata pemuda itu dengan suara lembut sekali.
"Aku merasa heran, kakangmas. Kenapa engkau begini baik kepadaku? Tidak ada hubungan apapun antara kita, dan kitapun baru saja saling bertemu dan berkenalan, akan tetapi mengapa engkau begini baik kepadaku sehingga engkau mengatakan akan rela mengorbankan nyawamu untukku? Kenapa, kakangmas?"
Satyabrata menjulurkan kedua tangannya dan menangkap kedua tangan yang mungil dan berkulit hangat dan lembut itu. Dia mengangkat kedua tangan itu dan ditempelkan pada dadanya sendiri. Suaranya mengandung penuh getaran hati yang tidak dibuat-buat ketika dia berkata lirih seperti berbisik.
"Diajeng Muryani, bolehkah aku berkata terus terang. Tidak marahkah kalau engkau mendengar pengakuan yang tulus keluar dari hati sanubariku? Engkau belar-benar tidak akan marah?"
Dua pasang mata itu saling pandang, sinar mata itu bertaut dan seolah saling nelekat. Muryani merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan iapun menggeleng kepala sambil berkata lirih pula.
"Tidak, kakangmas, aku tidak akan marah, apapun yang akan kaukatakan."
"Kalau begitu, perkenankan aku menyatakan isi hatiku kepadamu, diajeng. Semenjak pertemuan kita pertama kali, aku"
Aku telah jatuh cinta kepadamu, diajeng, aku"
Cinta padamu dengan segenap jiwa ragaku. Nah, lega sudah hatiku setelah menyatakan perasaan ini kepadamu, mudah-mudahan engkau dapat menerima dan membalas cintaku, diajeng."
Sejenak Muryani merasa begitu nyaman dan bahagia. Jantungnya berdebar. Alangkah senangnya mendengar pemuda yang tampan gagah, dan demikian baik hati kepadanya, yang berkali-kali menolongnya itu menyatakan cinta kepadanya! Merasa betapa kedua tangannya yang ditekan pada dada pemuda itu dapat mengenal debar jantung dalam dada itu, debar jantung penuh gairah cinta! Akan tetapi tiba-tiba wajah seorang pemuda lain terbayang di depan matanya. Seorang pemuda remaja, berusia delapan belas tahun berdekapan dengan ia yang ketika itu berusia enam belas tahun sambil bertangisan karena akan berpisah. Masih teringat betapa ia memberikan sebuah patrem (keris kecil) kepada Parmadi, pemuda itu dan pemberiannya itu selama ini ia anggap sebagai tanda cintanya, waIaupun mereka berdua belum pernah menyatakan cinta melalui kata-kata. Betapapun juga, begitu wajah Parmadi terhayang ia lalu dengan lembut menarik kedua tangannya terlepas dari pegangan Satyabrata dan ia melepaskan pula pandang matanya dengan menundukkan mukanya. Kedua pipinya merah dan ia memaksa diri tersenyum agar tidak mengecewakan hati pemuda yang sesungguhnya telah mulai membakar gairah cintanya itu.
"Kakangmas Satyabrata, terima kasih atas perasaanmu yang murni terhadap diriku. Akan tetapi maafkanlah aku, kakangmas, sesungguhnya saat ini aku sama sekali belum memikirkan tentang hal itu. Aku masih belum siap untuk sebuah pernikahan."
"Diajeng, engkau pernah mengatakan bahwa usiamu kini sudah dua puluh satu tahun dan aku sendiri kini sudah berusia dua puluh enam tahun. Kita berdua sudah cukup dewasa, diajeng. Dan akupun tidak tergesa-gesa mengajakmu menikah. Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau saja engkau dapat menerima cintaku dan membalasnya. Tentang pernikahan, kita dapat bicarakan kelak kalau saatnya sudah tiba."
"Maafkan aku, kakangmas, aku benar-benar belum siap. Sebaiknya kalau kita tidak membicarakan urusan itu lebih dulu. Aku masih bingung melihat kenyataan diriku. Aku telah kehilangan ayah dan ibu, juga nenekku telah tiada, kemudian guruku yang kedua dan yang amat menyayangku, telah meninggal dunia pula. Aku masih bingung menghadapi kenyataan ini, karena itu, harap engkau suka maafkan aku dan tidak membicarakan urusan itu yang hanya akan menambah kebingungan hatiku."
Satyabrata menghela napas panjang. '"Kasihan engkau, diajeng. Baiklah, akupun sebetulnya ingin sekali menjadi pengganti semua orang yang kaucinta dan yang telah tiada itu. Akan tetapi kalau engkau belum siap, akupun tidak berani nengganggumu lagi. Sekarang, bagaimaia, diajeng? Ke mana engkau hendak pergi? Aku akan selalu menemanimu, tentu saja kalau engkau tidak keberatan."
"Aku hanya akan mengganggu saja, cakangmas Satyabrata. Silakan engkau melaksanakan tugas kewajibanmu sendiri, dan jangan pusingkan urusanku."
"Tidak, diajeng. Kebetulan akupun tidak mempunyai urusan penting. Bagaiman engkau dapat mengatakan bahwa aku jangan memusingkan, urusanmu? Urusanmu bagiku berarti urusanku juga, bahkan lebih penting. Karena itu, biarpun engkau belum dapat menerima cintaku, janganlah menolak kalau aku ingin menyertaimu dalam perjalananmu dan membantumu dalam segala urusan."
Muryani merasa tidak enak untuk menolak lagi. Pula, di lubuk hatinya ia memang sudah terpikat oleh semua ucapan yang merayu dan amat manis terdengarnya itu sehingga sesungguhnya iapun merasa berat untuk berpisah dari Satyabrata dan ingin terus didampingi pemuda yang tampan dan gagah perkasa itu.
"Baiklah kalau begitu, kakangmas Satyabrata. Seperti kukatakan tadi, kini aku hidup sebatangkara di dunia ini. Akan tetapi masih ada seorang yang dapat kuanggap sebagai pengganti orang tuaku yaitu guruku...."
"Eh, bukankah tadi kaukatakan bahwa gurumu juga sudah meninggal dunia?"
Potong Satyabrata.
"Oh, yang telah meninggal dunia itu adalah guruku yang kedua, yaitu Nyi Rukmo Petak. Guruku yang pertama adalah Ki Ageng Branjang, ketua perguruan Bromo Dadali yang berada di Gunung Muria kakangmas."
"Hemm, begitukah? Jadi sekarang engkau hendak pergi ke Gunung Muria?"
"Begitulah."
"Baik, mari kita berangkat. Aku akan menemanimu pergi berkunjung ke rumah gurumu itu."
Dua orang muda itu lalu berangkat menuju ke Gunung Muria. Dalam perjalanan itu, Satyabrata selalu bersikap lembut, manis, dan sopan, bahkan sama sekali tidak menyinggung lagi tentang perasaan cintanya terhadap Muryani sehingga gadis itu merasa senang dan semakin tertarik. Biarpun ia seorang gadis yang sakti mandraguna, namun Muryani masih hijau dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga mudah ia terpesona oleh rayuan manis seorang pemuda yang memang tampan dan gagah seperti Satyabrata. Tak terhitung banyaknya wanita yang jatuh terjerumus karena rayuan ini karena memang telah menjadi kelemahan wanita pada umumnya untuk menjadi lunak dan tertarik hatinya apabila menghadapi pria yang pandai merayu. Bahkan banyak wanita yang jatuh oleh rayuan maut pria yang tidak tampan sekalipun. Apalagi rayuan seorang pemuda seperti Satyabrata, tentu saja daya tariknya amat besar dan kuat.
Karena mendapat keterangan dari para mata-mata bahwa Mataram sudah bersiap-siap untuk menyerbu Madura lebih dulu dalam usahanya menyerang Surabaya, maka Harya Baka Wulung tiada henti-hentinya berusaha untuk membujuk para adipati untuk membantu Madura dan memberontak kepada Mataram. Bahkan puteranya sendiri, Raden Dibyasakti, dijadikan utusan istimewa untuk menghubungi dan membujuk seluruh kadipaten di Madura dan pemuda tinggi besar dan gagah itu berhasil dengan baik sehingga, semua adipati di daerah Pulau Madura telah berjanji untuk bersama-sama melawan Mataram kalau Mataram mengadakan penyerbuan ke Madura.
Ki Harya Baka Wulung yang menjadi sesepuh dan penasihat di Kadipaten Arisbaya masih belum puas dengan bersatunya Madura. Dia bahkan mengutus Raden Dibyasakti untuk menyeberang ke Jawa Timur di sepanjang pesisir utara, menghubungi siapa saja yang memiliki kecenderungan mendendam dan memusuhi Mataram dan yang mau untuk membantu Madura. Bukan hanya para adipati yang dibujuk, melainkan juga perkumpulan-perkumpulan yang dianggap kuat.Tentu saja tidak semua adipati atau ketua perkumpulan dapat dibujuk untuk mendukung Madura, akan tetapi setidaknya Raden Dibyasakti sudah berusaha untuk mempengaruhi mereka, menanamkan kebencian dan sikap memberontak kepada Mataram. Bahkan Kadipaten Tuban yang baru saja ditundukkan Mataram juga tidak lepas dari bujukan Raden Dibyasakti walaupun tidak berhasil.
Usaha Raden Dibyasakti bahkan membuat dia pada sua:u pagi tiba di Gunung Muria karena dia nendengar bahwa di situ terdapat sebuah perguruan silat yang terkenal, yaitu perguruan Bromo Dadali yang diketuai oleh Ki Ageng Branjang. Perguruan ini mempunyai kurang lebih seratus orang murid, laki-laki dan wanita yang tinggal di situ sehingga merupakan sebuah perkumpulan yang memiliki perkampungan cukup besar. Ada pula murid-murid Bromo Dadali yang sudah berkeluarga dan mempu.yai anak-anak yang masih kecil. Baru sekitar lima tahun para murid itu menikah dan kini anak-anak mereka yang paling besar berusia sekitar empat tahun. Dengan adanya keluarga ini, maka perguruan Bromo Dadali kini berubah menjadi sebuah perkampungan.
Mereka bekerja sebagai petani, mengerjakan tanah Pegunungan Muria yang subur. Kehidupan, mereka tenteram dan damai dan perguruan ini dikenal baik oleh penduduk sekitar Gunung Muria. Bahkan Bromo Dadali menjadi sumber pertolongan bagi para penduduk dusun-dusun itu kalau terjadi penindasan oleh orang-orang yang mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Dengan adanya Bromo Dadali, maka para gerombolan perampok dan pencuri tidak berani beraksi. Kalau mereka beraksi maka tentu orang-orang gagah yang menjadi para murid Bromo Dadali akan bertindak menumpas mereka.
Pagi itu udara cerah sekali. Matahari telah agak lama muncul di balik puncak gunung sebelah timur dan kini sinarnya yang tadi kemerahan sudah berubah terang, putih kekuningan menghiduprkan segala yang tampak di permukaan bumi. Embun-embun yang bergantungan di ujung-ujung daun bagaikan mutiara mulai berjatuhan. Tanah dan daun-daun pohon yang semalam disiram hujan, kini tertimpa sinar matahari, menguapkan hawa yang membawa bau sedap, bau sehat dari tanah dan tumbuh-tumbuhan. Burung-burung yang berloncatan dari ranting ke ranting, meruntuhkan sisa air embun yang agaknya enggan meninggalkan pucuk daun-daun. Beberapa ekor bajing berloncatan di antara buah-buah kelapa, berkejaran dengan riang gembira. Beberapa orang murid Bromo Dadali yang bertubuh sehat kokoh, laki-laki berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, bertelanjang dada, hanya mengenakan celana hitam sebatas bawah lutut, memanggul pacul dan memakai caping lebar, berjalan beriringan seperti baris di atas tanggul sawah. Di belakang mereka tampak tiga orang laki-laki lain menggiring sembilan ekor kerbau dan dua ekor sapi, berjalan di tepi sawah ladang, agaknya sedang digiring ke lereng di mana tumbuh rumput hijau yang lebat. Sebelas ekor hewan peliharaan itu tampak gemuk dan sehat.
Dari jauh tampak beberapa orang murid lain sedang mencangkul tanah dan seorang di antara mereka bertembang. Lagu yang ditembangkan Sekar Pangkur dan beberapa orang lain menyelinginya dengan senggaan, ada pula yang menirukan suara kendang dan kenong. Para murid Bromo Dadali itu bekerja dengan hati gembira sehingga tubuh yang sehat dan yang sudah bersimbah peluh itu tidak terasa lelah. Pada saat seperti itu, kita memandang kesemuanya itu tanpa adanya pikiran yang melayang-layang dan kita melihat kenyataan betapa semua itu, awan putih, sinar mentari, daun-daun pohon yang masih bawah, burung-burung, binatang peliharaan, tupaitupai, dan orang-orang itu, mereka semua merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, seperti dilindungi oleh puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi menghadang awan.
Selagi para murid Bromo Dadali itu memusatkan seluruh perhatian mereka pada kaki tangan mereka yang sibuk bekerja, dengan pikiran terpusat, hening dan tenggelam ke dalam kebahagiaan tanpa keinginan apapun, pada saat orang yang bertembang itu berhenti, tiba-tiba terdengar suara wanita bertembang, menyelingi penembang tadi, dengan tembang Sekar Pangkur yang menghanyutkan.
"Hardaninq kang pancadria
Pan kuwasa amagreh kanang diri
Angrubeda mrih tan tulus
Saged rumesep ing tyas
Amiluta ing dria amrih kepencut
Anilepken kawaspadan
Lir tiyang ningali ringgit."
Semua murid Bromo Dadali yang berada di sawah ladang itu, juga yang sedang menggiring kerbau dan sapi, hanyut oleh suara tembang ini. Ketika suara itu berhenti dan wanita yang menembang muncul dekat, mereka semua menghentikan pekerjaan mereka dan memandang dengan heran dan kagum. Ternyata yang muncul itu seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita. Karena suara tembang tadi jelas suara wanita, maka semua orang maklum bahwa gadis cantik, itulah tentu yang tadi bertembang. Dan semua murid Bromo Dadali mengenal betul tembang itu. Tembang Pangkur yang seringkali ditembangkan Ki Ageng Branjang. Guru mereka, ketua perguruan Bromo Dadali adalah seorang yang mengagumi kisah Arjuna Wiwaha yang diceritakan dalam tembang itu. Bahkan Ki Ageng Branjang mengajarkan filsafat dari tembangtembang itu kepada para muridnya. Karena itu, mereka terkejut dan heran melihat ada seorang gadis kini menyanyikannya dengan suara yang teramat merdu. Tembang itu mempunyai kandungan filsafat yang tinggi, yang sudah pernah mereka dengar uraiannya dari Ki Ageng Branjang seperti berikut.
Rangsangan panca-indera
berkuasa memerintah diri pribadi
menghalangi agar cita luhur gagal
dapat meresap ke dalam hati sanubari
mempengaruhi indera agar terpikat
menqhilanqkan kewaspadaan
seperti orang nonton wayang.
Tiba-tiba seorang murid Bromo Dadali, seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun yang hitam manis sedang memetik daun semanggi yang tumbuh di sekitar sawah, berseru girang.
"Adi Muryani....!!"
Mendengar seruan ini, para murid lain segera mengenal gadis cantik jelita yang meninggalkan perguruan selama lima tahun lebih yang lalu. Mereka segera berlari-lari menghampiri dan berseru memanggil nama gadis itu.
"Muryani".! Muryani....!"
Mereka berteriak-teriak sambil melambaikan caping atau tangan dan berlari menghampiri. Muryani berdiri melambaikan tangan dan tersenyum lebar penuh kegembiraan. Setelah mereka dekat, baru ia mengenal mereka satu demi satu walaupun sudah lima tahun ia berpisah dari mereka. Gadis hitam manis yang pertama kali memanggilnya tiba lebih dulu dan dua orang gadis ini segera berangkulan.
"Adi Muryani, bertahun-tahun kita tidak berjumpa! Sekarang engkau bertambah cantik saja! Ini.... dia ini... suami?"
Muryani tersenyum, mukanya beruba merah dan ia mencubit lengan gadis hitam mania itu.
"Ih, mbakayu Markonah, jangan ngaco kau! Ini adalah kakangmas Satyabrata, seorang sahabat."
"Ooo, sahabat?"
Ulang Markonah yang centil itu sambil tertawa dan menata wajah Satyabrata dengan sikap lucu dan lugu. Satyabrata membungkuk member hormat dan berkata lembut.
"Perkenalkan, saya bernama Satyabrata, dari Cirebon."
Markonah balas membungkuk dan berkata riang.
"Saya senang berkenalan dengan andika, karena andika sahabat adi Muryani. Nama saya Markonah, seorang murid perguruan Bromo Dadali."
Para murid lain berdatangan dan mereka merubung Muryani yang menjad gembira sekali. Satyabrata juga berkenalan dengan para murid Bromo Dadali. Karena saling merasa kangen, maka para murid itu menghujani Muryani dengan pertanyaan dan memaksanya untuk bercakap-cakap di tepi sawah itu. Mereka duduk di bawah sebatang pohon yang rinang dan saling bertanya-jawab tiada hentinya. Satyabrata yang tahu diri membiarkan Muryani melepas rasa kangennya dan hanya mendengarkan saja sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, semua kepala menengok ke arah selatan. Mereka semua mendengar derap kaki banyak kuda dan segera tampak debu mengebul dan serombongan orang menunggang kuda lewat di jalan dekat tepi sawah di mana mereka uduk bercakap-cakap. Dua puluh orang lebih murid Bromo Dadali itu dengan heran melihat seorang pemuda tinggi besar dan gagah perkasa memimpin sekitar dua lusin orang laki-laki yang kesemuanya bertubuh kokoh kuat melarikan kuda menuju ke atas melalui jalan tanjakan itu.
Muryani mengerutkan alisnya.
"Siapakah dia itu?"
Akan tetapi tak seorangpun di antara para murid Bromo Dadali mengenalnya.
"Kami tidak mengenalnya,"
Kata seorang murid pria.
"Agaknya dia dan rombongannya itu hendak berkunjung ke perguruan kita. Mungkin dia kenalan bapa guru."
"Hemm, andaikata dia itu kenalan bapa guru, kukira dia bukan kenalan baik,"
Kata Muryani.
"Sikapnya begitu angkuh. Dia tahu berada di daerah orang, akan tetapi sama sekali tidak memperdulikan kita!"
"Mungkin dia tidak tahu kita ini murid perguruan Bromo Dadali dan mengira kita petanipetani pegunungan ini, adi Muryani,"
Kata Markonah.
"Mengapa merasa penasaran?"
"He, itu siapa yang datang berlari-lari?"
Tanya seseorang. Semua memandang ke utara. Benar saja, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun datang berlari-lari.
"Kakang Sanuri!"
Muryani menyambut dengan gembira mengenal kakak seperguruan yang menjadi satu di antara murid-murid kepala yang kepandaiannya setingkat lebih tinggi dari padanya dalam perguruan itu. Sanuri ini dulu sering mewakili bapa guru mereka untuk melatihnya.
"Eh, kiranya engkau, Muryani? Ke mana saja engkau selama ini?"
Tanya Sanuri dengan napas agak terengah karena dia berlari-lari tadi.
"Nanti dulu, kakang. Engkau tampaknya tegang, berlari-larian. Ada apakah?"
Tanya Muryani. Yang lain juga bertanya demikian sehingga perhatian Sanuri kepada Muryani segera beralih ke hal yang dianggapnya lebih penting.
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kalian tadi tidak melihat rombongan penunggang kuda yang tentu lewat di sini?"
Tanya Sanuri sambil memandangi adik-adik seperguruannya yang berkumpul di situ.
"Kami melihat mereka!"
Serentak para murid Bromo Dadali menjawab seperti sekumpulan burung.
"Siapakah mereka itu, kakang Sanuri? Tampaknya mereka itu sombong sekali!"
Tanya Muryani.
"Ya, siapakah mereka, kakang Sanuri?"
Hanyak murid bertanya.
"Agaknya kalian belum mengenal pemimpin rombongan tadi. Dia adalah seorang senopati muda dari Kadipaten Arisbaya dan dia adalah seorang yang berwatak keras dan memiliki kesaktian yang hebat. Pada kunjungannya pertama kali, tidak banyak yang mengetahui dan ketika itu, lima hari yang lalu, kebetulan bapa guru tidak berada di rumah. Kunjungan senopati muda bernama Raden Dibyasakti itu tanpa membawa pengikut dan kebetulan yang menemuinya aku sendiri bersama empat saudara yang lain. Ketika dia diberi tahu bahwa bapa guru tidak ada, dia dengan sikapnya yang keras menuntut kami agar mencari dan memanggil bapa guru agar pulang. Tentu saja kami tidak mau dan terjadi keributan antara kami berlima dan dia sehingga terjadi perkelahian. Akan tetapi, biarpun kami maju berlima, kami tidak mampu menandinginya dan kami berlima kalah. Lalu dia pergi meninggalkan pesan bahwa lima hari lagi dia akan datang. Kami sudah melapor kepada bapa guru yang memesan agar kami tidak memberitakan peristiwa itu kepada para murid lain. Akan tetapi hari ini Raden Dibyasakti itu datang membawa pengikut yang besar jumlahnya."
"Kami melihat ada dua losin orang pengikut!"
Kata beberapa orang murid.
"Hemm, kedengarannya buruk! Siapa tahu senopati itu mempunyai niat buruk terhadap bapa guru. Mari kita ke sana untuk melindungi keselamatan bapa guru!"
Kata Muryani penuh semangat. Akan tetapi dua puluh orang lebih murid Bromo Dadali yang berkumpul di situ tampaknya enggan berdiri.
Melihat ini, Muryani mengerutkan alisnya.
"Mengapa kalian ini? Mungkin bapa guru dalam bahaya! Hayo cepat kita ke sana!"
"Ah, adi Muryani. Apa yang akan dapat kita lakukan? Kalau kakang Sanuri dan empat orang murid lain maju mengeroyok senopati Madura itu dan mereka kalah, apa yang dapat kita lakukan? Kalau kita melawan senopati itu, sama saja dengan bunuh diri!"
Kata Markonah dan para murid lain mengangguk membenarkan. Mereka semua tampak ketakutan.
Melihat sikap mereka, Muryani menjadi marah dan kecewa sekali.
"Kalian tidak patut menjadi murid Bromo Dadali! Melihat bapa guru terancam kalian tidak berani menolong. Kalau kalian tidak berani, biar aku yang akan membela bapa guru! Kalian yang pengecut ini memang lebih pantas berlumur lumpur di sawah ini! Mari, kakangmas Satyabrata, kita pergi!"
Setelah berkata demikian, Muryani mengajak Satyabrata berlari menuju ke perkampungan Bromo Dadali mengejar rombongan berkuda tadi.
Setelah Muryani dan Satyabrata pergi, Sanuri bangkit memandang semua adik seperguruannya.
"Kalian memang memalukan sekali. Betapa saktipun musuh, kalau bapa guru terancam bahaya apakah kita pantas tinggal diam saja? Mereka yang tidak mau menjadi pengecut, marilah ikut aku mengejar!"
Setelah berkata demikian, Sanuri berlari mengejar dan satu demi satu para murid Bromo Dadall juga bangkit dan lari mengejar, menuju pulang ke perkampungan mereka.
Mereka terutama mengkhawatirkan keselamatan keluarga mereka yang berada di perkampungan. Sementara itu, rombongan berkuda tadi adalah pasukan pengawal dari Kadipaten Arisbaya di Madura yang diajak Raden Dibyasakti untuk berkunjung ke Bromo Dadali. Seperti yang tadi diceritakan Sanuri kepada para murid Bromo Dadali yang lain, lima hari yang lalu dia dating seorang diri ke perkampungan perguruan itu dengan niat bertemu ketuanya, yaitu Ki Ageng Branjang. Akan tetapi dia tidak dapat bertemu dengan ketua itu yang sedang pergi dan sebaliknya bertemu dengan Sanuri dan empat orang murid lain.
Karena sikap Dibyasakti yang kasar dan memandang rendah, terjadi percekcokan yang berlanjut menjadi perkelahian. Akan tetapi biarpun dikeroyok lima, akhirnya Dibyasakti dapat merobohkan mereka semua. Karena 'maksudnya adalah untuk mengajak perguruan itu bekerja sama memusuhi Mataram, maka dia tidak membunuh lima orang itu, hanya merobohkan mereka karena maksudnya hanya untuk meninggalkan kesan bahwa dia seorang yang sakti mandraguna. Dia lalu meninggalkan pesan bahwa lima hari kemudian dia akan datang lagi menemui Ki Ageng Branjang. Pada hari itu, datanglah dia bersama dua losin anak buahnya untuk menambah wibawa dan membuat gentar ketua perguruan itu sehingga tidak akan menolak rayuan dan ajakannya untuk memusuhi Mataram.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo