Ceritasilat Novel Online

Seruling Gading 6


Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Sampai lama Ki Tejo Budi duduk bersila di atas bale bambu yang berada di ruangan tengah. Setelah cuaca mulai terang dia turun dari bale-bale menuju ke bilik mandi. Ketika melewati kamar Ki Tejo Langit, kamar itu telah kosong. Ki Tejo Langit telah pergi. Ki Tejo Budi sama sekali tidak khawatir kalau kakak seperguruannya itu melarikan diri. Dia mengenal siapa kakak seperguruannya itu dan dia merasa yakin bahwa kakak sepergurutnnya itu pasti akan menemui dia di pasir putih Karang Kemukus itu. Dia membersihkan diri, berganti pakaian lalu berangkat meninggalkan rumah. Dia tidak membawa senjata apapun. Gurunya, guru mereka bertiga memang mengajarkan ilmu bela diri tanpa senjata, hanya menggunakan anggauta badan, dan kalau perlu, segala macam benda bisa saja menjadi senjata yang ampuh bagi mereka. Dengan hati mantap dan langkah tegap Ki Tejo Budi meninggalkan dusun Cihara menuju ke seatan, ke tepi Laut Kidul. Kemudian, setelah tiba di pantai, dia menyusuri tee laut menuju ke timur, ke Karang Kemuk di mana terdapat pantai berpasir puti yang indah dan tempat ini tak pernah dikunjungi nelayan karena ombak di pantai ini terlalu besar sehingga tidak mungkin berperahu dan mencari ikan di daerah itu.

   Matahari telah muncul dari balik buku karang di timur dan sinar matahari pagi yang lembut membuat air laut menyilangkan karena air memantulkan cahaya matahari. Ketika Ki Tejo Budi sudah tiba situ dia melihat Ki Tejo Langit sudah duduk di atas sebuah batu karang. Ketika melihat adik seperguruannya datang, dia pun bangkit dan menyambut dan kini keduanya berdiri berhadapan di atas pantai pasir putih. Tidak ada orang lain di situ. Hanya gelombang laut yang bergulung-gulung menjadi saksi pertemuan yang menegangkan ini.

   "Nah, adi Tejo Budi. Sekarang kita sudah saling berhadapan, jantan sama jantan. Seperti kukatakan tadi, aku siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku semalam!"

   Kata Ki Tejo Langit.

   "Kakang Tejo Langit. Apa isi pertanggungan jawabmu itu?"

   Tanya Ki Tejo Budi, suaranya tenang saja tidak mengandung kemarahan. Biarpun marah dan penasaran namun dia dapat menyimpannya dalam hari dan tidak tampak pada muka dan sikapnya.

   "Terserah kepadamu, adi Tejo Budi. Apapun yang kaukehendaki, aku siap. Kalau Engkau hendak melepas Lasmini, aku akan menjadikan ia isteriku dan Sudrajat menjadi anakku. Aku akan membawa mereka pergi dari Cihara. Akan tetapi kalau engkau menghendaki lain, membuat perhitungan dengan mengadu nyawa, akupun siap. Terserah apa yang kaukehendaki sekarang. halus boleh, kasarpun tidak akan kuhindari!"

   "Engkau hendak menjadikan Lasmini sebagai isterimu? Hemm, apa engkau yakin bahwa ia akan mau menjadi isterimu?"

   "Aku yakin ia pasti mau karena yang terjadi semalam membuktikan bahwa kami saling mencinta."

   "Saling mencinta?"

   Ki Tejo Budi mendengus.

   "Engkau licik dan curang, kakang Tejo Langit. Engkau semalam telah mempergunakan aji pelet pengasihan sehingga Lasmini tidak berdaya. Apa kaukira aku tidak tahu?"

   "Tidak kusangkal! Memang aku menggunakan Aji Pengasihan Sambung Sih! Dan engkaupun mengenal aji itu karena kita pernah sama-sama mempelajarinya! Engkau tahu benar bahwa aji itu tidak akan mempan terhadap seorang wanita kalau wanit itu tidak mempunyai perasaan suka atau tidak tertarik kepada kita! Aji itu hanya sebagai penyambung kasih yang terpendam, membuka rasa kasih itu sehingga wanita itu berani menuruti dorongan kasihnya. Nah, kalau aku berhasil dengan Aji Pengasihan Sambung Sih terhadap Lasmini berarti bahwa diam-diam Lasmini mencintaku!"

   "Hemm, aku yakin ia tidak akan sudi menuruti kehendakmu yang mesum dan kotor itu kalau engkau tidak mempergunakan aji pengasihan itu. Kakang Tejo Langit! Engkau telah menodai isteriku, berarti engkau telah menghinaku, menginjak-injak kehormatanku. Sudah tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja!"

   ''Hemm, begitukah? Lalu apa kehendakmu sekarang?"

   "Kita selesaikan secara jantan. Engkau atau aku yang akan menggeletak tanpa nyawa di pesisir ini!"

   Kata Ki Tejo Budi.

   Mendengar ini, Ki Tejo Langit segera cancut tali wondo, mengikatkan ujung sarungnya, menggulung lengan bajunya, bersiap-siap untuk bertanding.

   "Babo-babo, adi Tejo Budi! Kalau itu yang kaukehendaki, silakan! Kita sama-sama murid Kyai Sapujagad, mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih banyak menyerap ilmu dari guru kita. Silakan mulai!"

   Kedua orang pendekar itu lalu siap untuk saling serang. Mereka membuat gerakan pembukaan yang sama, keduanya menekuk kaki dan tangan dengan sikap seperti seekor kera atau monyet besar sedang berlaga. Ternyata keduanya telah siap untuk bergerak dengan ilmu silat Wanara Sakti (Kera Sakti) yang merupakan ilmu pencak aliran gurunya. Tiba-tiba Ki Tejo Budi mengeluarkan pekik yang dahsyat. Akan tetapi Ki Tejo Langit mengeluarkan pekik yang sama. Dua suara gemuruh itu menjadi satu dan menggetarkan pesisir itu.

   Itulah Aji Guruh Bumi, aji kedigdayaan dahsyat yang terkandung dalam pekik itu. Teriakan ini saja sudah merupakan serangan dahsyat dan lawan yang kurang kuat, akan dapat digetarkan jantungnya sehingga roboh hanya oleh teriakan ini saja! Keduanya terhuyung ke belakang beberapa langkah ketika saling menerima serangan getaran suara itu. Ternyata kekuatan tenaga sakti mereka yang terkandung dalam pekik dahsyat itu berimbang.

   Melihat bahwa dengan Aji Guruh Bumi dia tidak dapat mengalahkan kakak seperguruannya, Ki Tejo Budi lalu menyerang dengan pukulan dan tendangan dalam ilmu silat Wanara Sakti. Ki Tejo Langit menyambut dengan ilmu silat yang sama sehingga terjadilah perkelahian yang seru. Akan tetapi karena keduanya sudah menguasai ilmu silat yang sama itu dengan hampir sempurna, maka dengan jurus apapun mereka diserang, masing-masing dapat menghindar dengan baik. Keduanya mengerahkan tenaga dan kecepatan gerakan sehingga bentuk tubuh kedua orang itu lenyap. Yang tampak hanya dua bayangan saja yang saling desak, saling serang dan saling belit.

   Akan tetapi, bagi mereka perkelahian itu seperti latihan saja karena keduanya sudah hafal benar akan gerakan lawan.

   "Hyaaattt....!"

   Ki Tejo Langit menyerang dengan dahsyat. Kedua tangannya menyambar dari atas ke arah kedua pelipis lawan. Namun Ki Tejo Budi sudah siap.

   "Haiiittt !"

   Diapun berseru dan menggerakkan kedua tangan sambil mengerahkan tenaga sakti untuk menangkis.

   "Dessss....!"

   Dua pasang lengan untuk kesekian kalinya beradu, akan tetapi pertemuan sekali ini amat kuatnya sehingga keduanya terdorong mundur dan keduanya agak meringis karena merasa betapa kedua lengan mereka nyeri sekali. Seluruh lengan mereka, dari jari sampai ke siku, sudah gosong-gosong karena seringnya beradu. Perkelahian itu berjalan seimbang dan seru sekali. Saling terjang, saling tampar, saling jotos dan saling cengkeram, diseling mencuatnya kaki yang saling tendang. Akan tetapi semua serangan kedua pihak dapat dihindarkan lawan. Hampir dua jam mereka sudah bertanding. Tubuh mereka sudah basah oleh keringat, napas mereka mulai terengah-engah, akan tetapi belum terlihat siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

   Keduanya sudah marah dan penasaran sekali. Kedua orang kakak beradik itu masih mempunyai sebuah aji pamungkas. Nama ilmu ini adalah Aji Margo Pati (Jalan Maut), sebuah aji pukulan jarak jauh yang amat dahsyat. Siapapun yang menjadi lawan, kalau dia tidak memiliki tenaga sakti yang jauh lebih kuat daripada si penyerang, tentu akan tewas dihantam Aji Margo Pati ini! Akan tetapi aji ini pun amat berbahaya bagi si penyerang sendiri. Kalau lawan yang diserang memiliki tenaga yang lebih besar, maka tenaga pukulannya akan membalik dan besar sekali kemungkirannya si penyerang akan tewas sendiri!

   Mereka berdua memiliki kekuatan tenaga sakti yang berimbang. Kalau mereka mengeluarkan aji pamungkas itu, besar bahayanya keduanya akan tewas sampyuh! Akan tetapi agaknya kedua orang itu sudah nekat dalam nafsu mereka untuk saling bunuh. Setelah kedua lengan mereka kembali beradu yang mengakibatkan mereka terhuyung mundur sehingga mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak empat meter, keduanya lalu membuat gerakan menyembah, lalu mengembangkan kedua lengan ke atas, diturunkan perlahan dalam bentuk sembah lagi, kemudian kedua tangan turun ke depan pusar dengan jari tangan terbuka. Inilah gerakan pembukaan dari Aji Margo Pati yang agaknya akan mereka pergunakan untuk saling menyerang! Kemudian dengan gerakan lambat, kedua tangan yang terbuka itu dari depan pusar mendorong ke depan dan dari mulut dua orang itu terlontar teriakan nyaring.

   "Aji Margo Pati.... !!"

   "Jagad Dewa Bathara....!"

   Pada saat itu berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Ki Tejo Wening yang berpakaian serba putih itu sudah berdiri di antara kedua orang yang mengadu Aji Margo Pati itu! Ki Tejo Wening mengembangkan kedua lengannya, yang kiri menyambut pukulan Kk Tejo Budi, yang kanan menyambut pukulan. Ki Tejo Langit, kedua telapak tangannya terbuka.

   "Blarrrrr....!"

   Hebat sekali pertemuan tenaga sakti yang disambut oleh Ki Tejo Wening itu. Ki Tejo Budi dan Ki Tejo Langit merasa tenaga pukulan mereka seperti bertemu dengan air dan melihat bahwa kakak seperguruan pertama mereka yang berdiri di antara mereka dan menyambut kedua pukulan, mereka cepat melompat ke samping dan memandang dengan mata terbelalak. Dua orang itu terhindar dari malapetaka karena tenaga sakti Margo Pati mereka bertemu dengan tenaga sakti lunak yang dikuasai Tejo Wening sehingga seolah tenaga pukulan mereka tenggelam, Akan tetapi mereka melihat kakak seperguruan pertama mereka berdiri limbung dan akan roboh.

   Cepat kedua orang itu melompat dan merangkul tubuh Ki Tejo Wening. Mereka berdua membantu Ki Tejo Wening untuk duduk bersila di atas pusir. Tanpa diminta Ka Tejo Budi duduk bersila menghadap Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Langit duduk bersila di belakang kakak seperguruannya itu. Kedua orang ini lalu menempelkan telapak tangan mereka ke dada dan punggung Ki Tejo Wening dan keduanya mengerahkan tenaga sakti, disalurkan ke tubuh kakak seperguruan itu untuk membantunya memulihkan keadaan dalam tubuh yang tadi terguncang hebat. Hlawa yang hangat mengalir lewat telapak tangan kedua orang itu, memasuki tubuh Ki Tejo Wening. Perlahan-lahan, pernapasannya yang tadinya sesak menjadi lega, wajahnya yang pucat menjadi kemerahan lagi.

   "Sudah cukup,"

   Katanya dan kedua orang adik seperguruannya itu melepaskan tempelan tangan mereka dari dada dan punggung. Mereka bertiga duduk bersila di atas pasir putih, berhadapan dan saling pandang. Ki Tejo Wening, biarpun hanya kakak seperguruan, namun memiliki tingkat kepandaian yang paling tinggi dan wataknya yang bijaksana mendatangkan wibawa yang kuat dan kedua adik seperguruannya itu menganggapnya sebagai pengganti guru mereka dan keduanya merasa segan dan hormat sekali kepadanya. Kini mereka berdua duduk sambil menundukkan muka, maklum bahwa mereka tentu akan mendapat teguran dari kakak seperguruan mereka itu.

   "Adi Tejo Langit dan Tejo Budi, roh-roh sesat apakah yang memasuki batin kalian sehingga kalian berkelahi dan berusaha keras untuk saling membunuh? Lupakah kalian bahwa kalian adalah kakak beradik seperguruan yang seharusnya saling membela dan melindungi, bukan saling bunuh?"

   Kedua orang itu saling pandang, lalu menunduk kembali. Tejo Budi menghela napas panjang lalu berkata.

   "Kakang Tejo Weriing, kalau aku menceritakan persoalan antara kakang Tejo Langit dan aku, bukan berarti bahwa aku akan mengadu dan tumbak-cucukan (suka mengadukan keburukan orang lain)."

   "Tidak, adi Tejo Budi, asal yang kauceritakan itu yang sebenarnya. Ataukah engkau yang akan bercerita lebih dulu, adi Tejo Langit?"

   Tanya Ki Tejo Wening sambil memandang kepada adik seperguruannya itu.

   Ki Tejo Langit tetap menundukkan mukanya dan berkata.

   "Biarlah adi Tejo Budi yang bercerita lebih dulu."

   "Nah, adi Tejo Budi. Sekarang berceritalah dengan sejujurnya agar aku dapat mempertimbangkan urusan di antara kalian, jangan ragu karena bukankah kita bertiga adalah saudarasaudara sendiri?"

   Ki Tejo Budi menghela napas panjang lalu berkata.

   "Begini, kakang Tejo Wening. Tiga hari yang lalu kakang Tejo Langit datang berkunjung dan menjadi tamu kami sekeluarga. Aku, isteriku Lasmini dan anak kami Sudrajat menerimanya dengan hati dan tangan terbuka. Dia kami beri sebuah kamar untuk tidur selama dia menjadi tamu kami. Akan tetapi malam tadi"."

   Ki Tejo Budi meragu, merasa sukar untuk melanjutkan ceritanya yang amat menyinggung kehormatannya itu.

   "Tadi malam ada apa, adi Tejo Budi?"

   "Malam tadi.... kakang Tejo Langit mempergunakan pelet aji pengasihan, mengguna-gunai Lasmini dan menjinai isteriku itu dalam kamarnya....

   "

   Ki Tejo Wening mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Ki Tejo Langit.

   "Adi Tejo Langit! Benarkah apa yang diceritakan oleh adi Tejo Budi itu?"

   Ki Tejo Langit mengangkat mukanya dan memandang kepada kakak seperguruannya dengan tabah.

   "Hanya benar sebagian kakang."

   "Benar sebagian bagaimana? Hayo ceritakan apa yang sebenarnya terjadi!"

   "Begini, kakang Tejo Wening. Memang benar aku menjadi tamu adi Tejo Budi, dan tinggal di rumahnya selama tiga hari. Selama itu aku melihat betapa pandang mata Lasmini, isterinya, yang ditujukan kepadaku mengandung bunga api asmara. Terus terang saja, aku sendiri baru sekali ini jatuh hati kepada seorang wanita. Aku mencinta Lasmini. Karena itu aku malam tadi menggunakan Aji Pengasihan Sambung Sih, untuk menguji benar tidaknya sangkaanku terhadap Lasmini itu. Kalau dia tidak mencintaku, tentu ajiku itu tidak akan mempan. Engkau juga tahu akan hal itu, kakang. Nah, aku dan Lasmini memang melakukan hubungan, akan tetapi atas dasar saling mencinta. Aku mengakui hal ini terus terang kepada adi Tejo Budi. Kalau dia mau melepaskan Lasmini, aku akan mengambilnya sebagai isteriku dan Sudrajat akan kujadikan anakku. Akan tetapi adi Tejo Budi memilih mengadu nyawa denganku seperti yang kau lihat tadi."

   Ki Tejo Wening menoleh kepada Ki Tejo Budi.

   "Adi Tejo Budi, benarkah yang diceritakan adi Tejo Langit tadi?"

   "Benar, kakang. Akan tetapi aku merasa harga diriku diinjak-injak dan kehormatanku dihina oleh kakang Tejo Langit. Oleh karena itu aku menantangnya untuk menyelesaikan urusan ini dengan mengadu nyawa."

   Ki Tejo Wening menarik napas panjang dan memandang kepada kedua orang adik seperguruannya itu bergantian. Kemudian dia berkata, suaranya lembut namun berwibawa.

   "Adikku berdua, sekarang dengarlah baik-baik. Adi Tejo Langit, engkau telah merusak pagar ayu. Engkau bersalah karena engkau tidak mampu menguasai nafsumu sendiri sehingga engkau tega mengganggu adik iparmu sendiri!"

   Ki Tejo Langit menunduk dan berkata lirih.

   "Aku telah khilaf, kakang."

   "Betapapun juga, hal itu telah terjadf Adi Tejo Budi, bagaimanapun, kesalahan itu bukan dilakukan oleh adi Tejo Langit sendiri. Isterimu Lasmini itu juga bersalah. Kesetiaannya kepadamu goyah karena dia tertarik kepada pria lain. Seandainya tidak goyah, tentu dia tidak akan mempan dipengaruhi Aji Pengasihan Sambung Sih. Dan engkau sendiri telah bersikap terburu nafsu, mengajak adi Tejo Langit untu bersabung nyawa."

   "Aku terlalu menuruti perasaan marah kakang."

   Ki Tejo Budi mengaku.

   "Adi Tejo Budi, andaikata engkau menang dalam adu nyawa dan adi Tejo Langit tewas, apakah hal itu akan dapat mendamaikan. hatimu? Apakah hubunganmu dengan Lasmini akan dapat pulih kembali seperti sebelumnya? Ingat, perjodohan hanya akan terlaksana dengan baik kalau kedua pihak menghendakinya, kalau kedua pihak mempunyai rasa cinta satu sama lain. Isterimu sudah tertarik kepada adi Tejo Langit, berarti cintanya kepadamu sudah mulai luntur. Engkau tidak akan dapat memaksanya untuk mencintaimu. Yang tertinggal hanya ketidakcocokan dengannya dan penyesalan bahwa engkau telah membunuh adi Tejo Langit."

   "Sekarang aku baru menyadari hal itu, kakang."

   "Dan engkau, adi Tejo Langit. Bayangkan, kalau engkau berhasil membunuh adikmu Tejo Budi, apa kaukira akan dapat hidup berbahagia dengan Lasmini? Mungkin ia berbalik membencimu, dan anaknyapun akan membencimu karena engkau membunuh ayahnya. Dan akhirnya engkau akan hidup menderita dan merasa menyesal bahwa engkau telah membunuh adik seperguruanmu dan merampas isterinya. Karena kalau engkau membunuhnya, berarti engkau telah menggunakan kekerasan untuk merampas isteri orang lain dengan membunuh suaminya. Apakah engkau yang mengaku seorang pendekar, akan melakukan perbuatan sekeji dan sejahat itu?"

   "Maafkan aku, kakang Tejo Wening. Sekarang aku menyadari kesalahanku dan aku akan menurut apa yang akan kauputuskan."

   "Bukan aku yang memutuskan. Aku hanya menjadi juru pemisah, pendamai dan penengah. Yang berhak memutuskan adalah adi Tejo Budi, karena dalam hal in dialah yang merasa disakiti hatinya. Nah adi Tejo Budi, sekarang bagaimana pendapat dan keputusanmu menghadapi urusan ini?"

   Sampai lama Ki Tejo Budi diam saja kedua matanya terpejam, lalu dia bergumam lirih.

   ""..ikatan.... ikatan kedaginan""ikatan duniawi, semua itu hanya membawa duka nestapa...."

   Ki Tejo Wening mengangguk-angguk.

   "Syukurlah kalau engkau akhirnya dapat merasakan akan hal itu, adi Tejo Budi. Mudah-mudahan engkau akan dapat mengambil keputusan yang bijaksana."

   Ki Tejo Budi membuka kedua matanya menoleh kepada Ki Tejo Langit dan bertanya, suaranya tenang.

   "Kakang Tejo Langit, maukah engkau berjanji dengan sunguh hati bahwa engkau akan mengambil Lasmini menjadi isterimu dan kelak tidak akan menyia-nyiakannya?"

   "Aku berjanji akan memperisteri Lasmini dan tidak akan menyia-nyiakannya!"

   Kata Ki Tejo Langit dengan suara lantang dan mantap.

   "Dan bagaimana dengan puteramu, adi Tejo Budi?"

   Tanya Ki Tejo Wening.

   "Mengenai Sudrajat, karena dia anak kami berdua, maka aku akan membicarakan dengan ibunya,"

   Jawab Ki Tejo Budi.

   "Bagus! Memang demikianlah sebaiknya. Nah, kurasa urusan di antara kalian telah dapat diselesaikan dengan baik, dan kuharap kalian tidak saling mendendam. Marilah kita ke rumahmu, adi Tejo Budi, untuk menyelesaikan urusan ini sampai tuntas."

   Tiga orang kakak beradik seperguruan itu lalu berjalan menuju dusun Cihara. Ketika mereka memasuki rumah, mereka mendapatkan Lasmini duduk di. atas bale-bale di ruangan dalam sambil memangku dan merangkul Sudrajat yang berusia empat tahun. Wanita ini tampak pucat, pakaiannya kusut, rambutnya terurai. Ketika melihat suaminya masuk bersama dua orang kakak seperguruan suaminya, ia memandang seperti seekor kelinci bertemu harimau dan ia merangkul puteranya lebih ketat lagi, seolah khawatir kalau-kalau orang akan mengambil anaknya.

   Dengan isyarat tangannya Ki Tejo Budi mempersilakan dua orang kakak seperguruannya duduk dan mereka bertiga duduk di atas bangku dalam ruangan itu. K Tejo Budi memandang kepada Lasmin yang tampak ketakutan. Diam-diam dalam hatinya dia merasa iba kepada wanita itu. Bagaimana dia dapat menyalahkan kalau isterinya tertarik kepada seorang pria segagah Ki Tejo Langit? Semua wanita tentu akan tertarik dan kagum. Dan dia yakin bahwa isterinya, betapapun kagumnya tidak akan melakukan penyelewengan kalau saja tidak terdorong oleh pengaruh Aji Pengasihan Sambung Sih.

   "Lasmini,"

   Katanya lirih penuh kesabaran.

   "Kami telah membicarakan tentang peristiwa semalam dan kami mengambil keputusan yang dirasa baik bagi semua pihak. Mulai hari ini, engkau akan hidup bersama kakang Tejo Langit dan menjadi isterinya."

   Mendengar ucapan suaminya itu, Lasmini yang matanya masih terbelalak ketakutan memandang kepada suaminya, lalu kepada Ki Tejo Langit dan ia tidak mengeluarkan sepatah katapun karena ia tidak tahu harus bicara apa. Rasa menyesal dan malu membuat ia seolah merasa ingin amblas ke dalam bumi agar jangan bertemu dengan siapapun.

   "Lasmini, aku sudah rela sepenuhnya dan semoga engkau akan hidup berbahagia bersama kakang Tejo Langit. Biarlah aku yang akan merawat dan mendidik Sudrajat,"

   Kata pula Ki Tejo Budi, sambil memandang kepada bocah itu yang mendengarkan percakapan mereka dengan muka tidak mengerti apa yang terjadi dan apa yang sedang dibicarakan.

   Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Lasmini mendekap anaknya semakin erat, matanya terbelalak memandang kepada Ki TeJo Budi dan ia berkata.

   "Tidak...! Tidak...! Kalau anakku hendak diambil dariku, bunuh dulu aku!"

   Ki Tejo Budi tertegun dan dia menoleh kepada Ki Tejo Wening, seolah minta pendapatnya.

   "Semoga Hyang Widhi Wasa mengampuni kita semua....!"

   Ki Tejo Wening berucap lirih.

   "Seorang bijaksana mendahulukan kepentingan orang lain dan menahan keinginan hati sendiri."

   Ki Tejo Budi mengangguk perlahan, lalu menoleh kepada Ki Tejo Langit dan berkata,

   "Kakang Tejo Langit, maukah engkau berjanji sekali lagi bahwa engkau akan merawat dan mendidik Sudrajat seperti kepada anakmu sendiri?"

   Wajah Ki Tejo Langit berseri dan dia segera bangkit dari bangku, menghampiri Lasmini dan dengan lembut dia mengambil anak itu dari pangkuan wanita itu mengangkatnya ke atas lalu memondongnya.

   "Sudrajat, engkau akan kudidik agar kelak menjadi seorang pendekar!"

   Anak itu yang tadinya agak ketakutan didekap ketat ibunya, kini tertawa karena tadi diangkat

   tinggi, lalu berkata.

   "Aku suka menjadi pendekar!"

   Ki Tejo Langit tertawa lalu berkata kepada Ki Tejo Budi.

   "Adi Tejo Budi, aku berjanji akan mendidik Ajat seperti anakku sendiri. Biarlah kakang Tejo Wening yang menjadi saksinya!"

   Ki Tejo Budi lalu bangkit berdiri dati menarik napas panjang.

   "Semuanya sudah beres sekarang. Bebas sudah Tejo Budi dari semua ikatan. Kakang Tejo Langit, mulai hari ini Lasmini menjadi isterimu, Ajat menjadi puteramu, dan rumah ini seisinya menjadi milikmu. Semoga Gusti Yang Maha Suci memberkahi engkau sekeluarga!"

   Terkejut dan heran juga hati Ki Tejo Langit mendengar ini.

   "Eh, adi Tejo Budi! Lalu engkau hendak pergi ke mana?"

   Ki Tejo Budi tersenyum, senyum tenang, tidak membayangkan kedukaan karena hatinya memang sudah rela melepaskan itu semua. Dia menoleh kepada Ki Tejo Wening.

   "Kakang Tejo Wening, maukah engkau membawaku dan membuka mataku untuk melihat kenyataan dalam segala kepalsuan yang terdapat dalam dunia ini?"

   Ki Tejo Wening bangkit berdiri.

   "Marilah, adi Tejo Budi, marilah kita memasuki Alam, belajar dari Alam, bersatu dengan Alam dan mempelajari hakekat kehidupan ini."

   Dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu meninggalkan ruangan itu, terus keluar dari rumah, berjalan seenaknya d dengan tenang sekali. Setelah berjalan puluhan langkah, terdengar isak tangis di belakang mereka diselingi suara memelas.

   "AMPUNI aku"...Ahh".. hu-hu-huu.... ampuni aku"".!"

   Mendengar ini, Ki Tejo Budi menahan langkahnya, memutar tubuhnya dan dia melihat Lasmini berlutut di luar pintu rumah, menangis dan menyembah-nyembah ke arahnya. Ki Tejo Langit yang memondong Sudrajat berdiri menghibur wanita itu. Ki Tejo Budi mengangkat kedua tangannya seperti memberi berkah, seperti menyatakan ketulusan hatinya bahwa dia sudah sejak tadi memaafkan bekas isterinya, rela kehilangan mereka semua, isterinya, anaknya, rumah dan tegal sawahnya. Kemudian dia memutar tubuhnya dan melangkah cepat untuk menyusul Ki Tejo Wening yang sudah berjalan terus. Ki Tejo Langit dan Lasmini mengikuti bayangan dua orang itu sampai lenyap di sebuah tikungan. Kemudian Ki Tejo Langit mengangkat Lasmini bangun dan memapahnya masuk ke dalam rumah.

   Semenjak saat itu, selama bertahun-tahun Ki Tejo Budi memperdalam ilmu-ilmunya di bawah bimbingan kakak seperguruannya itu. Bukan hanya ilmu kanuragan bahkan lebih dari itu, ilmu-ilmu tentang kehidupan, terutama sekali tentang kejiwaan yang disebut Aji Tirta Bantala, mengalir seperti tirta (air) dan pasrah menyeret seperti bantala (bumi), bersatu dengan kekuasaan Sumber segala sumber, sangkan paraning dumadi, mengawali yang terawal dan mengakhiri yang terakhir, bahkan berada di luar jangkauan pengaruh awal dan akhir. Menyerah dan pasrah kepada kekuasaan Yang Tak Terbayangkan, Yang Tak Tergambarkan, Tak Terukur, melampaui Kekekalan dan Keabadian.

   Ki Tejo Wening sendiri makin jelas melihat bahwa sumber segala kesengsaraan dunia adalah nafsu-nafsu daya rendah yang menguasai badan dan hati akal pikiran, menciptakan si-aku. Si-aku ini mengikatkan diri dengan segala kenikmatan dan kesenangan kedagingan dan duniawi sehingga nenjadi semakin besar. Makin besar kesenangan yang dikejar si-aku, semakin besar pula kedukaan yang dideritanya. Karena menyadari akan semua ini, setelah selama beberapa tahun membimbing Ki Tejo Budi, akhirnya kedua orang kakak beradik seperguruan ini mengambil jalan sendiri-sendiri dan hidup sebagai pengembara yang berkelana.

   Duapuluh lima tahun sejak peristiwa itu, dalam usianya yang ke tujuhpuluh tahun, Ki Tejo Wening yang berkelana sampai di puncak Argadumilah di Gunung Lawu, bertemu dengan tokoh-tokoh yang menentang Mataram seperti yang diceritakan di bagian pertama kisah ini. Kemudian dia bertemu pemuda yang berjodoh menjadi muridnya dan bersama Parmadi, pemuda itu, kemudian menetap di puncak Argadumilah di mana dia menggembleng Parmadi dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya. Demikianlah sedikit riwayat kakek sakti mandraguna Ki Tejo Wening yang kini menjadi guru Parmadi dan bersama pemuda itu tinggal di puncak Argadumilah di Gunung Lawu.

   Waktu atau kala itu digambarkan sebagai Sang Bathara Kala, dewa berujud raksasa besar sekali mengerikan dalam kisah pewayangan. Dan sesungguhnyalah, seperti dewa raksasa Sang Bethoro Kolo, sang waktu melahap segala apa yang berada di dunia ini. Segala sesuatu akhirnya lenyap dicaplok sang waktu. Yang tadinya kecil tak berdaya tumbuh menjadi besar kuat bersama waktu. Kemudian yang besar kuat ini berubah kembali menjadi tua ringkih tak berdaya. Yang terakhir Sang Waktu akan mencaploknya sama sekali sehingga lenyap.

   Segala macam kesenangan akan lenyap ditelan waktu, demikian pula tiada duka cita yang tanpa akhir, karena akhirnya akan habis pula dicaplok waktu. Anehnya, kalau diperhatikan, waktu merayap seperti siput tua, akan tetapi sekali kita lengah, sang waktu akan menyambar secepat kilat sehingga waktu bertahun-tahun tampak baru beberapa hari saja!

   
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian pula dengan keadaan di puncak Argadumilah di mana guru dan murid itu hidup. Tanpa terasa lima tahun telah lewat sejak mereka tiba di puncak itu. Parmadi telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia duapuluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi tegap. Wajahnya tampan gagah namun gerak-geriknya lemah lembut. Bibirnya selalu tersenyum ramah dan sabar penuh pengertian. Sepasang matanya bersinar lembut namun terkadang mencorong penuh wibawa. Ki Tejo Wening atau Resi Tejo Wening masih tampak seperti lima tahun yang lalu. Tidak tampak lebih tua atau lemah walaupun usianya kini sudah tujuhpuluh lima tahun. Pada suatu pagi, Resi Tejo Wening tampak duduk bersila di atas bale-bale yang berada di luar pondoknya. Parmadi duduk bersila di atas tanah beralaskan sepotong papan.

   "Parmadi, aku memanggilmu untuk memberi tahu bahwa hari ini tiba saatnya kita harus saling berpisah dan engkau harus turun gunung untuk mulai berdarma bakti kepada manusia dan dunia pada umumnya kepada bangsa dan nusa pada khususnya memanfaatkan segala macam ilmu yang telah kaupelajari selama lima tahun di sini. Engkau tentu masih ingat akan semua wejangan yang pernah kuberikan kepadamu tahu bahwa segala macam ilmu dan kepandaian itu tiada gunanya tanpa dipraktekkan dalam tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Apa artinya segala pengetahuan tentang kebaikan kalau kebaikan itu sendiri tidak mewarnai tindak-tandukmu? Semua itu telah kauketahui dan engkau masih ingat semuanya, bukan?"

   "Saya masih ingat, eyang dan semoga saya tidak akan pernah melupakan semua ajaran dan wejangan yang selama ini eyang berikan kepada saya."

   "Ada satu hal yang aku ingin engkau selalu ingat dan menyadari kenyataan bahwa dalam kehidupan di dunia ini, perbuatan manusia itu hanya dapat disebut baik atau buruk menurut penilaian orang, dan penilaian ini selalu didasari keadaan hati dan kepentingan si penilai. Karena itu tidak ada kebaikan atau keburukan mutlak. Dalam kebaikan terdapat keburukan dan dalam keburukan terdapat kebaikan."

   Parmadi mengangguk-angguk.

   "Lalu, apakah kebaikan mutlak itu, eyang."

   "Yang mutlak baik dan sempurna hanyalah Gusti Yang Maha Baik dan Maha Sempurna. Akan tetapi ada suatu kebenaran hakiki, yaitu Kasih! Apa bila ada Kasih hidup di dalam hati sanubarimu, Kasih sejati, Kasih murni, Kasih yang merupakan karunia Tuhan, maka apapun yang kauperbuat, pasti benar dan baik adanya! Tuhan Maha Kasih, maka apabila ada Kasih bernyala dalam hatimu, Kuasa Tuhan akan selalu membimbingmu. Karena itu, berdoalah selalu supaya Tuhan memberi kemampuan kepadamu untuk membuka pintu hatimu, agar sinar kasih-Nya yang suci dapat masuk dan manunggal dengan jiwamu."

   Parmadi menyembah.

   "Akan saya teringat pesan eyang."

   "Nah, sekarang engkau berangkatlah, Parmadi. Pergilah berkelana dan jangan melupakan tugas yang dipesankan oleh mendiang ayahmu. Ayahmu itu tentu seorang yang setia kepada Mataram, maka sebaga puteranya, engkau berkewajiban untuk melanjutkan pengabdiannya kepada Kerajaan Mataram itu. Pergilah engkau ke Mataram dan belalah nusa dan bangsamu. Akan tetapi ingat, pengabdianmu harus tulus ikhlas bukan dengan pamrih meraih kedudukan tinggi dan kemuliaan bagi dirimu sendiri. Kalau demikian halnya, maka pengabdianmu itu palsu, dinodai oleh kepentingan diri pribadi yang hanya mempergunakan pengabdian dan pengorbanan sebagai kedok dan sarana untuk mendapatkan keinginan pribadi."

   "Akan tetapi, eyang. Maafkan pertanyaan saya. Eyang sendiri hendak pergi ke manakah?"

   Resi Tejo Wening tersenyum.

   "Aku sudah tua dan ringkih tubuhku, hendak pergi ke mana lagi?"

   Parmadi memandang penuh harapan.

   "Kalau saya mempunyai kesempatan dan merasa kangen kepada eyang, bolehkah saya datang menghadap eyang di sini? Eyang tentu masih berada di sini, bukan?"

   "Aku tidak tahu apakah aku berada di sini atau di mana. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu yang akan menentukannya. Akan tetapi tentu saja engkau boleh datang ke puncak ini sewaktu-waktu dan kalau memang ada jodoh tentu saja kita dapat saling berjumpa."

   Biarpun ucapan gurunya itu kurang meyakinkan, namun membuat hati Parmadi lega. Dia lalu berkemas, tidak lupa membawa Seruling Gading, pusaka pemberian gurunya itu, diselipkan di ikat pinggangnya, dan membawa sedikit pakaian yang dipunyainya dalam buntalan. Setelah itu kembali dia berlutut menyembah kepada gurunya dan berpamit.

   "Ya, berangkatlah dan selalu ingat dan waspadalah seperti yang sudah kauketahui. O Ya, aku pernah menceritakan tentang kedua adik seperguruanku, Ki Tejo Langit dan Ki Tejo Budi kepadamu. Kalau engkau kebetulan bertemu dengan mereka, sampaikanlah salamku."

   "Baiklah, eyang dan selamat tinggal, eyang, harap eyang menjaga diri baik-baik."

   "Pergilah,"

   Kata kakek itu singkat.

   Parmadi lalu menuruni puncak Argadumilah, tidak ragu atau menengok lagi. Gemblengan batin dari gurunya sudah matang tumbuh dalam hatinya sehingga dia tidak merasa kehilangan karena memang dia tidak terikat. Dia menyadari sepenuhnya bahwa segala apapun yang dekat dengannya, bahkan yang dipunyainya, pada hakekatnya bukanlah MILIKnya. Bahkan tubuhnya sendiripun bukan miliknya, hanya dipinjamkan kepadanya agar dia dapat hidup sebagai manusia di dunia ini. Segala apapun di alam mayapada ini, yang tampak dan yang tidak tampak, adalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa!

   Biarpun dia tahu bahwa dia hanya seorang manusia biasa, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, segala kelemahan dan kekuatannya, disertai nafsu-nafsunya namun keyakinan bahwa dia tidak memilik apa-apa dan bahwa segala sesuatu adalah milik Tuhan Yang Maha Kasih, membuat hatinya ringan dari tekanan dan bebas dari ikatan.

   Setelah menuruni puncak Lawu, tentu saja pertama-tama Parmadi menujukan langkahnya ke dusun Pakis. Selama lima tahun dia meninggalkan dusun ini dan selama lima tahun belajar ilmu dari Resi Tejo Wening, seringkali dia terkenang kepada dusun ini. Tidak, kalau dia mau jujur harus diakui bahwa yang membuat dia terkenang adalah diri Muryani! Dia merasa rindu kepada gadis yang sudah dikenalnya Pertama kurang lebih setengah tahun itu, bahkan sudah akrab dengannya, sudah seperti kakak dan adik sendiri saja. Dan kalau dia mengenangkan saat perpisahan di luar dusun itu, ada getaran aneh dalam hatinya dan dia merasa bahwa hubungan di antara mereka bahkan lebih akrab dari pada sekedar kakak dan adik!

   Pertama dia rindu kepada Muryani, dan kedua diapun ingin sekali bertemu dengan Ki Ronggo Bangak. setelah berpisah lama, seringkali dia baru menyadari betapa besar budi dan jasa orang tua itu kepadanya. Ki Ronggo Bangak itulah gurunya yang pertama, orang yang pertama kali membuka pikirannya, memberikan pengetahuannya melalui bacaannya itulah yang membuat dia bukan seperti pemuda dusun kebanyakan. Dia pandai membaca menulis, pandai bertembang dan menari, pandai meniup suling dan mengerti akan tata susila.

   Setelah tiba di luar pintu gerbang dusun Pakis, dia berhenti melangkah da memandang ke arah dusun itu, di mana dia dulu hidup sejak berusia sepuluh tahun sampai delapanbelas tahun. Tadipun ketika dia melewati padang rumput di mana dia biasa menyabit rumput, semua kenangan terbayang. Kini dia memandang dusun itu dan melihat bahwa dusun itu sama seka tidak berubah! Pohon cemara di kanan kiri, pintu dusun, cemara pecut yang kecil tinggi dan runcing seperti pecut itu, masih tetap di sana dan tidak berubah. Sepasang pohon cemara itu agaknya sudah terlalu tua untuk tumbuh semakin tinggi sehingga tampak masih sama seperti lima tahun yang lalu.

   Hari telah siang dan dia melihat kesibukan di dusun itu masih seperti dulu. Ketika memasuki dusun lewat pintu gapura dusun itu dia melihat para penduduk yang bertemu dengan dia memandang kepadanya, akan tetapi agaknya tidak ada yang mengenalnya. Dia sendiri mengenal beperapa orang di antara mereka. Akan tetapi karena mereka itu seperti pangling kepadanya, diapun diam saja dan langsung dia menuju ke rumah Muryani. Rumah itupun masih seperti dulu. Pekarangannya yang bersih terhias tumbuh-tumbuhan kembang yang indah. Kembang mawar merah kesukaan Muryani masih tumbuh dan banyak kembangnya menghias pohon kembang itu. Pintu dan dinding kayu berhias ukir-ukiran indah itu masih sama dan terpelihara baik-baik. Berdebar Jantung di dada Parmadi membayangkan pertemuannya dengan Muryani dan ayah gadis itu. Akan tetapi yang tampak di situ hanya seorang pria setengah tua yang sama sekali bukan Ki Ronggo Bangak, melainkan seorang yang tidak dikenalnya. Pria ini bertelanjang dada dan sedang mencangkul di taman pekarangan itu, membersihkan rumput-rumput liar. Dadanya yang kerempeng itu basah oleh keringat.

   Parmadi cepat menghampiri dan pria itu menghentikan pekerjaannya ketika melihat ada seorang pemuda memasuki pekarangan. Dia memandang kepada Parmadi dengan heran.

   "Maaf, paman kalau aku mengganggu Aku hendak bertemu dengan paman Ronggo Bangak dan adi Muryani. Apakah mereka berada di rumah?"

   Orang itu memandangnya dengan mata heran dan bodoh, lalu menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak mengenal mereka."

   Tentu saja Parmadi terkejut dan heran mendengar ucapan itu.

   "Kalau begitu, rumah siapakah ini? Siapa penghuninya?"

   Kembali laki-laki itu menggeleng kepala "Tidak ada penghuninya. Rumah ini kosong dan saya bertugas untuk menjaga dan merawat rumah ini."

   "Siapa yang menugaskanmu, paman?"

   Tanya Parmadi semakin heran sambil mengamati wajah orang itu. Sebuah wajah yang sama sekali tidak dikenalnya, berarti orang ini belum ada di dusun Pakis ketika dia pergi.

   "Yang menugaskan tentu saja pemilik rumah ini!"

   Jawab orang itu dan nada suaranya membayangkan kejengkelan.

   "Lho! Pemilik rumah ini kan paman Ronggo Bangak dan adi Muryani? Engkau tentu mengenal mereka, paman!"

   "Bukan! Dan aku tidak mengenal mereka. Baru setahun aku datang dan belum mengenal mereka."

   "Ah, begitukah? Dan tolong jawab, siapa nama pemilik rumah ini dan di mana dia tinggal?"

   "Pemiliknya adalah Ki Demang Pakis dan kalau engkau ingin bertanya tentang rumah ini, tanyalah kepadanya karena aku tidak tahu apa-apa!"

   Setelah berkata demikian, orang itu melanjutkan pekerjaanya mencangkul dan tidak mengacuhkan lagi kepada Parmadi. Parmadi tertegun. Dia memandang ke arah pintu rumah, seolah mengharapkan pintu itu terbuka dan Muryani atau ayahnya muncul. Dia merasa seperti dalam mimpi. Apa yang telah terjadi dengan mereka? Dan siapa Ki Demang Pakis itu? Tiba-tiba dia tersentak kaget ketika pikirannya membayangkan, jangan-jangan Ki Demang Wiroboyo telah kembali dan menggunakan kekerasan untuk memegang jabatannya kembali! Teringat akan kemungkinan ini, dia segera berkata kepada penjaga itu.

   "Terima kasih, paman!"

   Setelah berkata demikian, dia cepat meninggalkan karangan itu dan bergegas pergi ke rumah gedung yang dulu menjadi tempat tinggal Ki Demang Wiroboyo!

   Gedung itupun masih kelihatan luas. Di pekarangan yang amat dikenalnya itu tidak tampak orang. Parmadi segera memasuki pekarangan dan setelah tiba di depan pendopo, dia melihat dua orang pemuda duduk di atas bangku penjagaan. Agaknya dua orang pemuda itu yang yang bertugas jaga. Dia segera mengenal wajah mereka. Dua orang pemuda dusun yang dulu amat dikenalnya.

   "Manto dan Dikun! Kalian menjaga sini? Siapakah yang sekarang menjadi demang?"

   Dua orang pemuda itu memandang heran, mengamati wajah Parmadi. Agaknya selama lima tahun ini wajah Parmadi telah banyak berubah. Mungkin pada sinar, matanya yang mencorong itulah yang membuat dua orang itu pangling. Akan tetapi kemudian pemuda yang bernama Dikun berteriak,

   "Parmadi....! Engkaukah ini?"

   "Parmadi? Ah, benar, dia Parmadi!"

   Kata pemuda yang kedua.

   Mereka menjabat tangan dan menepuk-epuk pundak Parmadi dengan gembira.

   "Ke mana saja engkau selama ini?"

   Mereka menghujaninya dengan pertanyaan. Akan tetapi Parmadi menggeleng kepala dan berkata,

   "Aku berkelana, akan tetapi hal itu tidak penting. Yang penting, sekarang kalian ceritakan apa yang terjadi di dusun kita ini, ke mana perginya Ki Ronggo Bangak dan Muryani, dan siapa pula yang sekarang menjadi demang di sini?"

   "Akulah yang menjadi demang di sini, orang muda!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang menjawab. Parmadi cepat menoleh dan melihat seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, tubuhnya tinggi bespar dan mukanya merah, keluar dari pendopo kademangan.

   "Siapakah andika, orang muda, dan apa maksudmu datang berkunjung ke sini?"

   Manto dan Dikun memberi hormat dan Dikun berkata.

   "Paman Demang, inilah yang bernama Parmadi, yang dulu menjadi perawat kuda milik Ki Demang Wiroboyo."

   Laki-laki tinggi besar itu

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   memandang penuh perhatian.

   "Ah, kiranya andika ini yang bernama Parmadi? Parmadi, mari masuklah, agaknya banyak hal yang ingin kau ketahui. Mari kita bicara di dalam."

   Parmadi melihat laki-laki tinggi besar itu sikapnya kasar namun pandang matanya membayangkan kejujuran dan senyum mulutnya wajar dan ramah. Juga pembawaannya seperti seorang yang "berisi", yaitu orang yang berilmu. Ketika memandang kepada dua orang pemuda itu, dia melihat mereka tersenyum dan mengangguk-angguk seperti hendak mengisyaratkan bahwa baik sekali kalau dia menuruti permintaan demang baru itu. Maka diapun lalu melangkah memasuki pendopo. Orang tinggi besar itu mengajaknya duduk di ruangan sebelah kiri yang biasanya dahulu juga menjadi ruangan di mana demang menerima tamunya. Mereka lalu duduk berhadapan di kursi - kursi yang dulu juga.

   Setelah duduk berhadapan, demang itu berkata.

   "Aku sudah mendengar bahwa andika dulu menjadi pembantu Ki Wiroboyo juga bahwa andika adalah murid Ki Ronggo Bangak. Tentu andika mengenal baik puteri Ki Ronggo Bangak yang bernama Muryani itu, bukan?"

   "Benar sekali apa yang paman katakan itu. Akan tetapi, apakah yang telah terjadi didusun ini selama lima tahun ini. Dan ketika saya mengunjungi rumah paman Ronggo, rumah itu kosong. Ke mana perginya Ki Ronggo Bangak dan Muryani?"

   Orang itu menghela napas panjang.

   "Agaknya andika sama sekali belum mendengar tentang apa yang terjadi di dusun ini, Parmadi. Ki Ronggo Bangak telah meninggal dunia, tewas terbunuh "

   Parmadi terbelalak mendengar ini.

   "Terbunuh ? Dan adi Muryani....?"

   "Sabarlah, Parmadi. Sebaiknya kuceritakan dari permulaan agar engkau mengetahui dengan jelas apa yang terjadi di dusun ini."

   Orang tinggi besar itu lalu bercerita. Ketika laporan tentang dusun Pakis itu sampai di Mataram, Sultan Agung menyerahkan tugas kepada Tumenggung Wiroguno, seorang senopati Mataram, untuk menenteramkan dan membereskan keadaan di kademangan itu. Tumenggung Wiroguno datang ke dusun itu dan mendengar laporan Ki Ronggo Bangak tentang Ki Demang Wiroboyo yang diusir oleh penduduk dusun karena perbuatannya yang dianggap menyimpang dari kebenaran. Tumenggung Wiroguno lalu mengangkat Ki Warutomo sebagai demang baru di Pakis. Ki Warutomo yang tinggi besar berusia limapuluh tahun itu tadinya adalah seorang perwira dalam pasukan Mataram, seorang yang terkenal gagah berani jujur dan setia kepada Mataram.

   Adapun Ki Ronggo Bangak diangkat sebagai penasihat Ki Demang Warutomo. Berkat pimpinan yang tegas dan adil dari Ki Demang Warutomo, keadaan di dusun Pakis menjadi tenteram kembali. Ki Demang Warutomo memboyong keluarganya yang terdiri dari dua orang isteri dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil ke dusun Pakis. Hubungannya dengan Ki Ronggo Bangak baik sekali, demikian pula dengan akrab dengan Muryani, apalagi setelah mengetahui bahwa Muryani adalah seorang gadis yang memiliki kedigdayaan. Ki Demang Warutomo menghormati gadis itu setelah dia mengetahui bahwa Muryani adalah seorang murid perguruan Bromo Dadali yang terkenal itu.

   Akan tetapi pada suatu malam, kurang lebih setahun setelah dia menjadi demang di Pakis, terjadilah peristiwa yang menggegerkan Kademangan Pakis. Malam itu hujan turun dengan derasnya, kilat menyambar-nyambar. Hujan turun hampir sepanjang malarn. Para penghuni dusun Pakis tidak ada yang ke luar rumah. Para perondapun hanya berkumpul dalam gardu, Ki Demang Warutomo sendiri hanya tinggal di rumah, tidak menyangka sama sekali akan terjadi peristiwa yang menggegerkan dusun yang dipimpinnya.

   Pada keesokan harinya, barulah orang tahu akan peristiwa itu. Seorang wanita tetangga yang biasa membantu Muryani dalam pekerjaan mencuci pakaian dan membersihkan halaman dan dalam rumah, ketika memasuki rumah itu, mendapatkan pintu belakang rumah sudah terbuka dan ketika ia masuk ke dalam ia menemukan Ki Ronggo Bangak dan Muryani sudah menggeletak di atas lantai ruangan dalam.

   "Begitulah, Parmadi,"

   Kata Ki Demang Warutomo.

   "Setelah mendengar laporan itu dan aku datang ke sana memeriksa, ternyata Ki Ronggo Bangak telah tewas dan nini Muryani menderita luka dalam yang cukup parah."

   "Mereka terluka senjata, paman Warutomo?"

   "Tidak, mereka terluka oleh pukulan tangan kosong yang ampuh. Setelah diusahakan pengobatannya, akhirnya nini Muryani sembuh sebulan kemudian. Menurut ceritanya, malam itu ia mendengar suara keras di bagian belakang rumah. Ketika ia dan ayahnya keluar dari kamar, di ruangan dalam itu telah terdapat seorang yang bertubuh tinggi kurus. Karena ruangan itu gelap maka Muryani tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas. Orang tinggi kurus itu. Langsung menyerang Ki Ronggo Bangak dan ternyata dia seorang yang sakti mandraguna. Sekali pukul saja pada dada Ki Ronggo Bangak membuat ayah Muryani itu roboh dan tak bergerak lagi. Muryani menjadi marah dan ia menyerang orang tinggi kurus itu. Mereka berkelahi dalam ruangan yang gelap. Menurut cerita Muryani, gadis itu sebetulnya mampu menandingi lawannya. Akan tetapi karena ruangan itu gelap dan lawan itu memilik pukulan jarak jauh yang ampuh, akhirnya Muryani terkena pukulannya dan roboh pingsan. Demikianlah menurut cerita Muryani."

   "Kalau begitu, penyerang itu tidak diketahui siapa orangnya, paman?"

   Tanya Parmadi.

   "Begitulah, Parmadi. Agaknya penyerang itu mengira bahwa Muryani juga tewas oleh pukulannya. Dia menghilang tanpa meninggalkan jejak. Melihat bahwa tidak ada sesuatu yang hilang dari rumah itu, maka jelas bahwa orang tinggi kurus itu tidak bermaksud mencuri atau merampok. Mungkin ada unsur balas dendam atau permusuhan dengan keluarga Ki Ronggo Bangak, kata Ki Warutomo.

   "Kami telah melakukan penyelidikan, akan tetapi karena orang itu tidak meninggalkan jejak atau tanda apapun, sukar bagi kami untuk dapat menduga siapa penyerang itu."

   Parmadi teringat akan Ki Wiroboyo. Kalau ada yang mendendam kepada Ki Ronggo Bangak, tentu dialah orangnya! Akan tetapi, tentu bukan dia penyerang itu. Ki Wiroboyo bertubuh tinggi besar, tidak tinggi kurus. Selain itu, tidak mungkin Ki Wiroboyo mampu mengalahkan Muryani yang digdaya. Tentu orang lain, akan tetapi Parmadi tetap curiga dan menduga bahwa penyerangan yang mengakibatkan kematian Ki Ronggo Bangak itu tentu ada hubungannya dengan dendam Ki Wiroboyo. Akan tetapi dia tidak berkata apapun kepada Ki Demang Warutomo tentang dugaannya itu.

   "Paman, di mana adanya adi Muryani sekarang?"

   "Setelah sembuh, ia berpamit pergi tanpa memberi tahu ke mana. Bahkan ketika kami bertanya, ia tetap tidak mau mengatakan ke mana ia akan pergi. Ia hanya menitipkan rumahnya kepada kami dan sampai sekarang kami menyuruh orang menjaga rumah itu dan merawatnya baik-baik."

   "Saya ikut berterima kasih kepada paman atas kebaikan hati paman terhadap mendiang paman Ronggo Bangak. Sudah berapa lamakah Muryani pergi meninggalkan dusun Pakis ini, paman? Dan apakah selama ini ia tidak pernah pulang atau mengirim berita?"

   "Sudah kurang lebih tiga setengah tahun gadis itu pergi dan selama ini kami tidak pernah mendengar kabar tentang ia, juga ia tidak pernah pulang."

   Di dalam hatinya, Parmadi mengambil keputusan untuk mencari Muryani dalam perantauannya. Kasihan sekali adi Muryani pikirnya. Sudah tidak mempunyai ibu, dan tinggal ayah dan mondok pada neneknya, neneknya itu sakit dan mati sehingga ikut dengan ayahnya tinggal di dusun Pakis. Akan tetapi belum lama tinggal di Pakis ayahnya dibunuh orang dan sekarang gadis itu berada di dunia seorang diri, sebatangkara tiada sanak tiada kadang. Sama seperti dirinya! Akan tetapi dia seorang laki-laki, sedangkan Muryani seorang gadis yang cantik jelita, tentu akan menemui banyak gangguan. Ia membayangkan wajah gadis itu dan teringat bahwa kini usia Muryani ini tentu sudah duapuluh satu tahun. Ketika mereka berpisah, ketika dia ikut gurunya dan meninggalkan Pakis, Muryani berusia enambelas tahun. Kini, lima tahun telah lewat. Gadis itu tentu sudah menjadi seorang gadis dewasa berusia duapuluh satu tahun.

   "Hei, Parmadi, engkau melamun, sejak tadi diam saja,"

   Ki Demang Warutomo menegurnya sambil tersenyum lebar.

   Parmadi terkejut dan sadar. Dia memandang orang tua gagah itu dan berkata.

   "Saya termenung mengingat akan malapetaka yang menimpa keluarga paman Ronggo Bangak. Mengapa orang sebaik itu dapat tertimpa malapetaka?"

   Kata pemuda itu perlahan seperti bertanya kepada diri sendiri.

   "Wah, siapa yang mampu menjawab pertanyaan itu, Parmadi? Setiap manusia boleh berbuat sekuat kemampuan mereka dengan hati akal pikiran dan kekuatan badan mereka, namun keputusan hasil terakhir berada di tangan Gusti Allah. Karena itu, kurasa pertanyaanmu itu hanya dapat dijawab oleh Dia yang menentukan keputusan terakhir itu."

   Parmadi menghela napas panjang.

   "Paman benar. Sekarang ijinkan saya mohon diri, paman. Saya hendak melanjutkan perjalanan saya."

   "Selamat jalan, orang muda. Dan seandainya andika dapat bertemu dengan Muryani, sampaikan pesan kami kepadanya bahwa kami di Pakis mengharapkan dan menanti-nanti kembalinya ke sini."

   "Baik, paman."

   Parmadi memberi hormat lalu meninggalkan kademangan itu dan melanjutkan perjalanannya. Sebelum meninggalkan daerah Gunung Lawu, ingin dia sekali lagi mengunjungi dusun Pancot tempat tinggal mendiang ayah ibu kandungnya, di mana dia dibesarkan. Dia tidak ingat sejak kapan dia tinggal di rumah ayah ibunya di Pancot.

   Menurut cerita ibunya, mereka datang dari Kadipaten Pasuruan dan pindah tinggal di dusun itu sejak dia berusia dua tahun. Dia tinggal di dusun itu sampai berusia sepuluh tahun, yaitu ketika pada suatu malam ayah bundanya dibunuh orang tanpa ada yang mengetahui siapa yang membunuhnya. Dan sejak itu Demang Wiroboyo yang menjadi sahabat mendiang ayahnya, menaruh iba kepadanya dan membawanya ke Pakis, memberinya pekerjaan dan menampungnya di Kademangan Pakis.

   Biarpun Parmadi hanya melewatkan masa kanak-kanaknya di dusun Pancot, namun ketika ia mengenangnya sambil berjalan menuju ke dusun itu, ada suatu perasaan haru menyelinap dalam hatinya, teringat akan kedua orang tuanya.

   Berbeda dengan keadaan Pakis yang baginya masih same saja keadaannya sejak ditinggalkan selama lima tahun, ketika dia memasuki dusun Pancot, dia merasa asing. Dia sudah banyak lupa tentang Pancot. Pasti tidak ada seorangpun penduduk dusun itu yang mengenalnya atau dikenalnya. Dia meninggalkan dusun itu selagi berusia sepuluh tahun dan sekarang dia sudah berusia duapuluh tiga tahun! Akan dia masih ingat bahwa Ki Demang Wiroboyo menyerahkan peninggalan ayahnya yang tidak banyak itu, hanya sebuah rumah tua dan tanah sebau, kepada seorang tetangga miskin yang namanya, seingatnya dipanggil Pak Jambi. Tentu orang itu telah tua sekarang akan tetapi Parmadi yakin bahwa dia akan dapat mengenal orang yang satu ini. Pak Jambi itu mempunyai sebuah ciri yang jarang dimiliki orang lain. Mata kirinya rusak, hanya tampak putihnya saja dan mata kiri itu kabarnya tidak dapat melihat. Dia masih ingat bahwa karena matanya yang sebelum rusak dan buta itu, Pak Jambi mendapat sebutan Jambi Pece.

   Jantung dalam dada Parmadi berdebar juga ketika dia melangkahkan kaki memasuki dusun itu. Pancot merupakan dusun yang tidak terlalu besar, tidak sebesar dan seramai Pakis. Akan tetapi dusun itu terkenal memiliki sesuatu yang khas, yang tidak dimiliki dusun-dusun di seluruh daerah Gunung Lawu, yaitu banyaknya perawan ayu yang dilahirkan di dusun Pancot!

   Kebanyakan perawan Pancot berkulit kuning bersih, wajahnya ayu manis sehingga banyak pemuda dari dusun lain ingin memiliki isteri dari Pancot. Menurut dongeng dari mulut ke mulut, menek moyang yang tinggal di dusun itu dahulu keturunan priayi, masih bangsawan istana Mataram. Dan pula dongeng mengatakan bahwa nenek moyang Pancot dahulu ada yang menikah dengan dewi kahyangan sehingga keturunannya, terutama yang wanita, ayu manis. Biarpun ketika memasuki dusun itu dia merasa seperti masuk ke sebuah dusun asing, namun samar-samar Parmadi masih ingat akan letak rumah orang tuanya di mana dia tinggal tigabelas tahun yang lalu. Dia masih ingat betapa di pekarangan rumah yang sederhana dan tua itu berdiri megah sebatang pohon beringin yang ditanam ayahnya ketika ayahnya datang dan tinggal di dusun ini. Beringin itu sudah besar ketika dia meninggalkan Pancot dan sekarang tentu sudah lebih besar lagi. Dia mempercepat langkahnya, diam-diam heran dan kagum melihat beberapa gadis yang berpapasan dengannya. Mereka semua tampak putih dan manis, tidak seperti perawan-perawan dusun Pakis. Melihat mereka Parmadi otomatis teringat kepada Muryani.

   Ketika dia tiba di sebuah jalan tikungan, jantungnya berdebar. Dari situ dia sudah dapat melihat pohon beringin yang besar sekali itu. Besar dan lebar, bentuknya seperti sebuah payung. Dia mempercepat langkahnya. Setelah tiba di luar pekarangan rumah tua yang masih sama tuanya seperti dulu walaupun agaknya bilik bambu itu sudah diganti, dia tercengang melihat betapa pohon beringin besar di depan pekarangan rumah itu dikelilingi pagar kayu! Tanah di bawah pohon, di sebelah dalam lingkaran pagar itu, tampak terawat dan bersih sekali. Dan di bagian depan terdapat pintu pagar. Makin besar keheranannya ketika ia melihat tumpukan bekas pembakaran kemenyan dan kembang berada di bawah pohon. Pohon ini dikeramatkan orang, disembah orang! Dia segera dapat mengetahuinya karena dia tahu akan kebiasaan orang-orang di sekitar daerah Gunung Lawu yang masih suka memuja-muja pohon-pohon besar yang dikeramatkan. Pohon beringin tanaman ayahnya itu, kini dikeramatkan orang!

   

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini