Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 22


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Dari Kotaraja. Sambil membongkok-bongkok tuan rumah ini menyambut Joko wanengpati. Tanpa malu atau sungkan sedikitpun, Jokowanengpati bekata,

   "Maaf, paman. Aku adalah seorang pelancong dari Kotaraja. Kudaku sakit dan mati di luar kampung. Terpaksa aku mengganggu dan datang ke sini."

   "Wah, malah kebetulan sekali, raden. Kami sedang mengadakan pesta perkawinan anak kami. Silahkan..., raden."

   "Aku hanya mengganggu saja."

   "Tidak, sama sekali tidak. Malah kami merasa terhormat sekali dapat rnenyambut andika sebagai tamu kehormatan! Silahkan..."

   Sambil mengangkat dada Jokowanengpati mendapat tempat kehormatan, dekat pengantin! Dan tentu saja ia mendapat hidangan yang istimewa sehingga sebentar saja kenyanglah perutnya. Mulai terasa olehnya keletihan tubuh akibat pertempuran dan perjalanan jauh. Tanpa segan-segan lagi ia beberapa kali menguap sambil menutup mulut dengan kepalan tangan. Telinganya yang tajam menangkap suara ketawa wanita, ketawa ditahan, akan tetapi sangat merdu dalam pendengaran Jokowanengpati.

   Ia melirik dan tahu bahwa yang menahan tawa itu tadi adalah si pengantin wanita! Puteri bapak lurah. Hemm, baru sekarang ia menaruh perhatian. Bentuk tubuh yang padat ramping. Kulit yang agak hitam, akan tetapi bersih dan halus. la melirik ke bawah. Dari bawah kain itu tampak tumit yang halus dan indah bentuknya, mata kaki dan ujung betis yang merit dengan lengkung sempurna. Kembali ia melirik ke atas. Sayang, pengantin wanita itu mukanya tertutup, tak dapat dilihat. Akan tetapi seorang wanita dengan perawakan seperti Itu tak mungkin buruk rupa. Apalagi puteri pak lurah yang wajahnya tampan. Suara ketawa pengantin wanita itu menambah lamunan Jokowanengpati yang sudah mulai terpengaruh minuman tuwak (arak).

   Setelah sepasang pengantin diiring masuk kekamar, Jokowanengpati juga minta kcpada tuan rumah agar supaya malam itu ia diberi tempat untuk mengaso. Bapak lurah menyambut permintaan ini dengan penuh hormat dan gembira. Maka diantarnyalah Jokowanengpati ke dalam sebuah kamar di ruang belakang kelurahan. Pesta berlangsung terus karena menjelang tengah malam dimulai pesta tayuban, di mana para tamu yang sudah agak mabok itu ikut pula menari bersama para penari yang cantik-cantik. Gamelan dipukul makin keras, suasana makin meriah. Suasana yang riuh dan meriah di ruangan depan di mana pesta berlangsung inilah yang membuat semua orang tidak tahu betapa lewat tengah malam itu terdengar suara gaduh di dalam kamar pengantin.

   Tidak ada yang mendengar jerit tangis pengantin wanita, dan tidak ada yang tahu pula betapa sesaat kemudian pengantin pria terlempar dari pintu kamar, jatuh di atas lantai depan pintu tak bergerak lagi. Baik fihak tuan rumah maupun fihak tamu semua telah minum tuwak terlalu banyak. Di ruangan depan, orang-orang bersenang dan bergembira melewati batas, tertawa, bersorak, menggoda penari yang kadang-kadang menjerit manja menyeling suara gamelan yang tak kunjung henti. Sedangkan di ruangan dalam, di kamar pengantin yang menyendiri dan sunyi, maut merajalela! Dapat dibayangkan betapa kaget tuan rumah sekeluarga ketika pada pagi harinya mereka mendapatkan pengantin pria menggeletak di luar kamar pengantin dalam keadaan mengerikan, kepala pecah dan tak bernyawa lagi!

   Bapak lurah dan keluarganya menyerbu ke dalam kamar pengantin dan terbelalak memandang puterinya yang malam tadi menjadi pengantin, kini dalam keadaan teianjang bulat mati pula menggantung diri di dalam kamar pengantin! Jerit tangis melengking dan Ibu lurah serta beberapa orang lain roboh pingsan. Gegerlah keadaan dalam kalurahan, kacau-balau dan panik. Bapak lurah dengan mata jelalatan melompat keluar dari kamar pengantin lalu lari ke belakang, menuju kamar tamu di mana malam tadi ia mengantar tamunya, priyayi dari Kotaraja. Pintu kamar itu masih tertutup, akan tetapi bapak lurah segera menyerbu masuk dan mendorong pintu kamar. Daun pintu terbuka dan... tidak ada seorangpun dalam kamar itu!.

   "Si keparat...! Manusia iblis...!!"

   Bapak lurah makin beringas, lari menyambar tombaknya dari kamar dan ia jelilatan mencari-cari keluar masuk kelurahan. Namun bayangan tamunya itu tidak kelihatan lagi. Akhirnya ia menangisi jenasah puterinya yang sudah diturunkan orang. Jokowanengpati berjalan secnaknya menuju ke selatan. Mulutnya tersenyum-scnyum, hatinya gembira. Ia bebas dari musuh-musuh besarnya yang berkumpul di Kotaraja... Tiada satupun yang ia takuti di daerah pantai selatan ini. Puteri pak lurah itu benar manis tepat seperti dugaannya. Sungguh baik nasibnya. Kudanya mati di luar kampung, kebetulan kepala kampung mengadakan pesta sehingga ia mendapat hidangan sampai kenyang, mendapat tempat penginapan tanpa bayar, bahkan mendapat kawan puteri pak lurah yang manis!.

   Teringat akan ini, ia tertawa menyeringai. Terpaksa ia membunuh pengantin pria yang hendak melawan. Dan tadi ia meninggalkan pengantin wanita, pengantinnya yang manis, dalam keadaan banjir air mata. Jokowanengpati berjalan tidak tergesa-gesa. Perduli apa orang-orang kampung itu. Kalau ada yang mengejarnyapun ia tidak takut. Masa depannya cerah. Ia akan bersembunyi di daerah pantai ini, mengunjungi dusun-dusun yang kaya akan gadis-gadis dusun yang manis-manis. Ia akan bersembunyi sambil menanti sampai keadaan di Kotaraja beres, sampai tiba saatnya dan terbuka kesempatan baginya untuk mengabdi kepada Pangeran Anom sehingga keselamatannya terlindung. Kalau sudah bosan di daerah sunyi, kalau sudah tidak ada perawan dusun yang menarik perhatiannya, ia akan menyusuri pantai ke timur, mencari Ni Nogogini.

   Tuhan Maha Adil. Maha Kuasa. Kuasa memberkahi, kuasa pula menghukum. Perbuatan terkutuk yang dilakukan Jokowanengpati di dusun, berarti penundaan pelariannya sejak senja sampai pagi. Hal ini berarti pula bahwa pelariannya terlambat sehingga memberi kesempatan kepada para pengejarnya untuk menebus kekalahan waktu. Andaikata Jokowanengpati tidak berhenti di dusun dan terus melanjutkan larinya dengan aji lari cepat, terus menyusuri pantai ke timur, tentu para pengejarnya akan kehilangan jejak dan takkan dapat menyusulnya. Akan tetapi, iblis telah menyelewengkannya ke dalam dusun itu, di mana ia melakukan perbuatan keji dan terkutuk terhadap pengantin wanita sehingga mengakibatkan tewasnya pengantin pria dan matinya pengantin wanita karena bunuh diri.

   Tidak seperti Jokowanengpati yang terus menekan dan memaksa kudanya sehingga mati kelelahan di luar dusun, Kartikosari dan Roro Luhito yang melakukan pengejaran, selalu berhenti memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk mengaso, makan rumput atau minum air. Karena inilah maka mereka ketinggalan jauh oleh Jokowanengpati. Akan tetapi dua orang wanita ini hanya berhenti untuk memberi kesempatan kuda mereka mengaso saja, dan mereka menggunakan kesempatan ini pula untuk melepas lelah sebentar. Setelah itu mereka berangkat lagi, tidak perduli panas terik siang hari dan dingin gelap malam hari. Inilah sebabnya maka ketika Jokowanengpati membuang waktu semalam untuk melakukan perbuatan terkutuk di kelurahan dusun itu, dua orang wanita pengejar ini telah dapat menebus kekalahan waktu ketinggalan.

   Pada pagi itu, ketika kelurahan geger karena peristiwa terkutuk akibat perbuatan Jokowanengpati, Kartikosari dan Roro Luhito memasuki dusun itu. Mereka berdua memasuki dusun dan berdebar hati mereka melihat bangkai kuda di luar dusun. Besar dugaan mereka bahwa itulah kuda tunggangan Jokowanengpati, yang mati karena kelelahan di luar dusun. Kalau begitu, agaknya si keparat itu berada dalam dusun ini! Akan tetapi mereka melihat keadaan yang geger dan kacau.

   Orang-orang dusun itu lari ke sana ke mari seperti orang mencari-cari, dengan mata jelilatan dan semua orang yang berada di jalan membawa senjata. Dua orang wanita ini terus menjalankan kuda ke arah pusat keributan, yaitu di depan rumah yang besar dan yang terhias seperti ada perayaan di situ, dihias janur-janur kuning dan daun-daun waringin. Kartikosari dan Roro Luhito ialu melompat turun dari atas kuda masing-masing, siap hendak bertanya apa gerangan yang nerjadi, dan terutama sekali bertanya kalau-kalau penduduk di situ ada yang melihat seorang laki-laki asing, yaitu Jokowanengpati. Akan tetapi beium juga mereka membuka suara, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua berlari keluar dari dalam rumah, tangannya memegang sebatang tombak. Begitu melihat dua orang wanita ini, laki-laki setengah tua itu segera membentak,

   "Ini dia! Ini tentu teman-teman si keparat dari Kotaraja! Mereka tentu bukan orang baik-baik!"

   Setelah membentak demikian, serta-merta ia menerjang dengan tombaknya. Karena Kartikosari berada di depan, maka wanita inilah yang langsung mendapat serangan bapak lurah, laki-laki setengah tua itu.

   "Eh-eh, saber dulu, paman. Apakah yang terjadi?"

   Seru Kartikosari sambil mengelak. Akan tetapi, melihat betapa wanita itu dengan mudah mengelak serangan tombaknya, bapak lurah makin curiga dan segera berseru,

   "Saudara-saudara, kepung mereka berdua inil Tentu mereka ini teman-teman si keparat itul"

   Mendapat komando ini, orang-orang kampung segera mengepung dengan sikap mengancam. Melihat keadaan yang tidak baik ini, Roro Luhito yang cerdik berlaku sigap. Ia sudah meloncat maju ke arah bapak lurah yang kembali sudah menusukkan tombaknya. Roro Luhito tidak mengelak seperti Kartikosari tadi, melainkan ia miringkan tubuh sambil menyambar gagang tombak dan sekali betot ia sudah merampas tombak, mematahkannya menjadi dua kemudian sekali tangannya menjambak, ia sudah mencengkeram pundak bapak lurah. Pak lurah meringis kesakitan. Pundaknya seperti dicengkeram kaitan baja Serasa akan remuk tulang pundaknya.

   "Jangan main gila!"

   Bentak Roro Luhito.

   "Hayo semua mundur, kalau tidak, aku akan menggunakan orang tua ini sebagai senjata melawan kalian!"

   Berkata demikian, begitu kedua tangannya bergerak, benar saja, tubuh pak lurah sudah ia putar-putar di atas kepala seperti kitiran angin! Tentu saja pak lurah menjadi ketakutan dan berkaok-kaok, dan semua penduduk kampung melangkah mundur dengan muka jerih. Roro Luhito menurunkan lagi pak lurah yang ketakutan itu, lalu menghardik,

   "Hayo katakan! Apa artinya semua ini? Kami berdua adalah orang baik-baik, mengapa baru saja datang hendak kalian keroyok dan bunuh?"

   Saking takutnya, pak lurah sampai sukar mengeluarkan kata-kata. Ia tetap menduga bahwa dua orang wanita yang sakti ini tentulah sahabat laki-laki keji yang telah menyebar maut di rumahnya. Bagaimana ia dapat menuturkan peristiwa itu dan memburukkan nama laki-laki keparat itu?. Namun Kartikosari sudah tertarik akan perintah-perintah pak lurah tadi. la melangkah maju dan bertanya, suaranya tidak segalak Roro Luhito.

   "Paman, kau tadi bilang bahwa kami tentu teman-teman si keparat. Siapakah si keparat itu? Apakah ia seorang laki-laki berusia tiga puluh enam tahun, pakaiannya seperti perwira Kerajaan, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, datangnya ke kampung ini menunggang kuda?"

   Makin jerih muka pak lurah.

   "Beb... betul sekali...!"

   Kartikosari dan Roro Luhito terkejut dan girang sekali.

   "Bagus! Kami datang untuk mencarinya, memang. Akan tetapi sama sekali bukan teman, bahkan musuh. Kami mengejar dan hendak membunuhnya. Apa yang terjadi di slni? Di mana dia sekarang?"

   Mendengar ini, pak lurah tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, menyembah dan menangis! Juga para penduduk lenyap sikapnya bermusuhan, kini mendengar dan duduk di atas tanah mengelilingi mereka. Roro Luhito dan Kartikosari saling pandang, mengerutkan kening. Perbuatan laknat apa lagi yang dilakukan Jokowanengpati di sini?

   "Sudahlah, jangan menangis seperti anak kecil!"

   Roro Luhito membentak, habis kesabarannya."Lebih baik lekas ceritakan!"

   Dengan suara terputus-putus pak lurah bereerita tentang peristiwa semalam sambil menangis. Tentu saja dua orang wanita itu menjadi marah bukan main, dan makin besar nafsu untuk dapat segera bectemu muka dan membalas dendam kepada laki-laki jahat dan keji itu.

   "Di mana dia sekarang, paman? Mana keparat itu?"

   Bentak Roro Luhito, suaranya nyaring, sikapnya mengancam, giginya berkerot.

   "Dia sudah lari... pagi tadi, entah ke mana...!!"

   Begitu mendengar jawaban ini, seperti diberi komando saja, Kartikosari dan Roro Luhito lari dan melompat ke atas kuda mereka, lalu membalapkan kuda keluar dari dusun itu, melakukan pengejaran. Mereka tadi memasuki kampung dari utara, maka agaknya si keparat Jokowanengpati itu tentu lari terus ke selatan, melanjutkan pelariannya, pikir mereka. Membalapkan kuda mereka keluar dari dusun ke jurusan selatan. Jokowanengpati yang berjalan seenaknya, telah tiba di pantai Laut Selatan.

   Ia merasa aman dan gembira. Merasa tubuhnya lelah dan alangkah nikmatnya melepas lelah di pantai yang berpasir, menghadap ke selatan melihat ombak mengganas memecah di pantai. Angin laut sejuk bersih. Dadanya masih terasa sakit, bekas pukulan Wisangjiwo. Namun ia pereaya akan segera sembuh setelah ia beristirahat satu dua bulan. apalagi kalau kelak ia bertemu dengan Ni Nogogini, guru ilmu pukulan yang dipakai Wisangjiwo melukainya, tentu wanita sakti itu akan mampu menyembuhkannya dengan segera. Dan penyembuhan dengan cara bagaimana! Jokowanengpati tertawa sendiri, tertawa bergelak mengingat akan hal itu. Betapapun juga, Ni Nogogini hanya umurnya saja yang tua, tubuh dan wajahnya sama sekali tidak tua! Bagaikan iblis, atau seorang yang miring otaknya, ia tertawa bergelak di antara suara ombak menderu.

   "Iblis laknat! Tertawalah. sepuasmu selagi masih ada kesempatan terakhir!"

   "Si keparat Jokowanengpati! Bersiaplah mampus di tanganku!"

   Hampir Jokowanengpati tidak percaya akan pendengarannya sendiri.

   Suara setankah itu yang terbawa angin bersama suara ombak menderu? Perlahan ia bangkit berdiri dan memutar tubuh. Ia menahan rasa terkejut dan cemas yang mencengkeram jantungnya ketika melihat dua orang wanita itu! Deru ombak yang tiada berkeputusan telah memenuhi telinganya sehingga ia tadi tidak mendengar kedatangan mereka. Kini Kartikosari, cantik jelita, dengan sikap tenang dan mata penuh benci, memandang kepadanya. Di sampingnya berdiri Roro Luhito, denok ayu, sikap"nya mengancam, matanya yang jeli seperti memancarkan api yang hendak membakarnya. Angin laut membuat ujung kain dan rambut mereka berkibar-kibar, membuat mereka kelihatan seperti dua orang dewi laut yang cantik menarik rnenggirahkan.

   Akan tetapi pada saat itu, sama sekali tidak timbui gairah dalam hati Jokowanengpati. Ia maklum sedalamnya betapa kedua orang wanita ini membencinya, membenci sampai ke tulang sumsum, dan bahwa kedua wanita ini datang dengan hanya satu hasrat, yaitu membalas dendam dan membunuhnya! Namun, Jokowanengpati bukah seorang penakut, bukan pula bodoh. Biarpun ia tahu bahwa dua orang ini adalah wanita-wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia telah tahu pula bahwa setelah menjadi murid si Raja kera Resi Telomoyo kini ilmu kepandaian Roro Luhito sama sekali tidak boleh dipandang ringan, namun ia tidak memperlihatkan sikap takut. Malah ia segera tersenyum manis sambil memandang mereka,

   "Duhai! Dewata Agung! Baru saja aku melamun, betapa akan senangnya di tempat seindah ini bertemu dengan orang-orang terkasih. Dan tanpa kusang-kusangka, kalian muncul di sini. Diajeng Kartikosari, engkau makin cantik jelita. Roro Luhito, kau makin manis merak ati!"

   "Jananam keji, tutup mulutmu yang busuk!!"

   Bentak Roro Luhito marah.

   "Jokowanengpati, dosamu sudah bertumpuk. Kini tiba waktunya engkau menebus dosamu dengan nyawa!"

   Kartikosari mengancam sambil menghunus keris, demikian pula Roro Luhito. Kedua orang wanita ini sudah siap menerjang, setiap urat dalam tubuh sudah menegang, nafsu membunuh membayang di mata. Namun Jokowanengpati masih tertawa. Setidaknya, aku harus membuat mereka ini gila oleh kemarahan lebih dulu, pikirnya. Dalam kemarahan meluap, gerakan akan menjadi kurang sempurna dan tenaga sakti akan banyak terbuang sia-sia.

   "Ha-ha-ha, kedua adik yang manis. Mengapa mengancam? Mengapa kita harus bertempur? Kalian tidak akan menang. Sayang kalau sampai aku melukai kulit yang halus lunak itu, apalagi sampai membikin cacad wajah yang cantik. Aku amat sayang kepada kalian. Bukankah sudah kubuktikan kasih sayangku di dalam Guha Silurnan dahulu, diajeng Kartikosari? Dan engkau, Roro Luhito, lupakah akan kasih sayangku di dalam kamarmu dahulu? Marilah kita berdamai saja, mari kalian ikut bersamaku, hidup mulia di dalam keraton Pangeran Anom, menjadi isteriku yang tercinta dan..."

   "Keparat busuk!"

   "Iblis laknat!"

   Dua orang wanita itu sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan mereka sudah menerjang maju.

   Jokowanengpati sudah memperhitungkan hal ini. Cepat ia mengelak dan membalas dengan pukulan dan tendangan, kemudian iapun mencabut kerisnya ketika melihat betapa sepak terjang kedua orang lawannya itu amat hebat. Ketika melihat keris Kartikosari meluncur cepat menuju lambung, ia menggeser tubuh ke kanan lalu membalas dari samping dengan luncuran kerisnya mengarah leher kiri Kartikosari. Wanita perkasa ini menggunakan tangan kirinya menyabet dengan cengkeraman ke arah siku kanan lawan sambil mengelak dan sambaran kaki Jokowanengpati yang menendang sebagai lanjutan serangannya ia elakkan dengan loncatan menyamping. Pada saat itu, Roro Luhito dengan gerakan secepat kilat sudah pula datang menyerang dengan tusukan keris diarahkan ke dada lawan.

   Ketika Jokowanengpati menangkis dengan kerisnya pula, dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, Roro Luhito menarik kembaii kerisnya dengan gerakan yang sedemikian cepat dan tak tersangka-sangka, kini dengan tangan kirinya menarnpar dari samping dan kaki kanannya menendang ke arah pusar. Benar-benar serangan yang hebat dan cepat tak tersangkasangka! Apalagi pada saat itu Kartikosari sudah menerjang lagi dengan tusukan keris dari belakang disusul dengan hantaman tangan kiri dengan pukulan Gelap Musti yang ampuh. Jokowanengpati benar-benar terdesak. Ia sudah menangkis Kartikosari dan mengelak dari terjangan lain, namun dia kurang cepat dan sambaran tangan kiri Roro Luhito masih berhasil menyerempet pundak kanannya, membuat ia terhuyung-huyung ke belakang.

   Tamparan Roro Luhito memang tidaklah begitu hebat bagi tubuhnya yang kebal, akan tetapi karena dadanya masih menderita luka dalam, tamparan itu terasa juga. Baiknya ia cepat menggerakkan kerisnya dengan Ilmu Jonggring Saloko sehingga ujung keris di tangannya berubah menjadi belasan banyaknya, membuat dua orang lawannya tidak berani sembrono menerjang terlalu dekat. Pertandingan itu makin lama makin seru dan mati-matian. Namun makin lama makin berat terasa oleh Jokowanengpati. Kartikosari hebat bukan main. Tiap kali keris mereka beradu, biarpun ia telah mengerahkan segenap tenaganya, tetap saja ia merasa betapa tangannya tergetar saking hebatnya pertemuan itu, tanda bahwa Kartikosari kini memiliki tenaga dalam yang hebat!

   Roro Luhito tidaklah memiliki tenaga dalam yang terlalu besar, akan tetapi wanita ini cerdik bukan main dan memiliki gerakan yang tangkas dan aneh. Tak pernah Roro Luhito mau mengadu senjata dan selalu menarik kerisnya tiap kali ditangkis, untuk disusul dengan terjangan-terjangan yang aneh dan cepat. Ketika merasa bahwa dadanya makin lama makin sakit karena ia harus mengerahkan tenaga dalam, Jokowanengpati maklum bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, akhirnya ia tentu roboh. Maka mulailah ia mencari kesempatan untuk lari. Ia mulai melakukan perlawanan sambil menjauhkan diri. Setiap kali ada kesempatan, ia meloncat jauh, akan tetapi celaka baginya, kedua wanita itu dalam hal kecepatan, tidak kalah olehnya.

   Andaikata ia tidak terluka di dalam dadanya, tentu ia dapat menggunakan Aji Bayu Sakti yang sampai saat itu merupakan aji keringanan tubuh yang tak terkalahkan, untuk melarikan diri. Akan tetapi, dengan luka dalam di dadanya, ia tidak mampu menggunakan Aji Bayu Sakti sepenuhnya, dan karena kedua wanita itupun memiliki aji meringankan tubuh yang hebat, terutama sekali Roro Luhito, sukar baginya untuk dapat melarikan diri daripada kepungan mereka.

   "a"a yang dipergunakan Jokowanengpati untuk bertanding sambil berlompatan menjauh ini membuat tempat pertandingan berpindah-pindah. Makin lama karena loncatan-loncatan untuk berusaha lari ini, mereka bertempur tidak di atas pasir di pantai lagi melainkan berloncatan ke atas batu karang, makin lama makin tinggi sehingga akhirnya mereka bertanding di tebing karang yang curam!

   (Lanjut ke Jilid 22)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22

   Jokowanengpati yang makin terdesak itu tiba-tiba menjadi nekat. la menggunakan kesempatan ketika Kartikosari terhuyung ke belakang oleh tangkisan kerisnya yang kuat, menggunakan kecepatan menerjang Roro Luhito yang lebih lemah kalau dibandingkan Kartikosari.

   "Heeeiiit! Mampuslah!"

   La membentak, kerisnya menusuk dada, tangan kiri menggempur kepala!

   Roro Luhito tidak menjadi gentar. Setelah ia menguasai ilmu Kapi Dibyo, ia memiliki gerakan otomatis yang amat gesit. Menghadapi terjangan ini, ia dapat membuang tubuh kebelakang, berjungkir balik cepat sekali dan di lain saat ia malah menyerang lawan dari kiri dengan tusukan cepat. Girang hati Roro Luhito melihat bahwa dalam keadaan posisi tubuh miring, Jokowanengpati kurang cepat bergerak sehingga keris yang ditusukkannya itu agaknya akan berhasil kali ini!. Akan tetapi, siapa kira, kelambatan Jokowanengpati itu adalah pancingan belaka. Memang harus diakui bahwa dalam hal pertandingan, Jokowanengpati jauh lebih berpengalaman dan merripunyai banyak siasat licik. Bcgitu keris sudah dekat perutnya, tiba-tiba Jokowanengpati menggerakkan kerisnya dari atas ke bawah, menangkis disertai tenaga dalam sekuatnya.

   "Cringgg...!!"

   "Aiiihhh!"

   Roro Luhito menjerit kaget ketika merasa tangannya sakit dan lumpuh sehingga keris yang dipegangnya terlepas, terlempar ke bawah tebing, masuk laut! Cepat ia menjatuhkan diri dan bergulingan menjauhi lawan. Pada saat itu, melihat keadaan Roro Luhito, Kartikosari marah sekali. la menerjang dengan cepat dan dahsyat. Padahal saat itu, Jokowanengpati baru saja menangkis keris Roro Luhito dan tubuhnya masih setengah berputar. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis tusukan hebat itu dengan pengerahan tenaga dalam tanpa memperdulikan dadanya yang terasa sakit sekali.

   "Trakkkl!"

   Dua batang keris yang bertemu dengan tenaga dalam yang dahsyat itu menjadi patah! Dua batang keris itu adalah keris pusaka yang terbuat dari wesi aji (besi mulia) pilihan; Namun karena digetarkan oleh tenaga sakti, tidak dapat menahan dan patah-patah. Jokowanengpati menyumpah dan melempar gagang kerisnya. Juga Kartikosari membuang gagang kerisnya. Pertandingan dilanjutkan dengan tangan kosong.

   "Kucekik lehermui"

   Jokowanengpati mendesis marah, matanya sudah merah dan mukanya penuh keringat, bukan hanya keringat lelah, melainkan lebih banyak keringat menahan sakit pada dadanya.

   "Maut sudah di depan mata masih banyak lagak!"

   Roro Luhito berseru dan tiba-tiba wanita ini menerjang maju dengan kedua kaki tangan bergerak sekaligus! Serangan ini adalah bagian dari Aji Sosro Satwo, mirip dengan serangan seekor garuda yang menggunakan sepasang kaki. Kartikosari juga tidak mau ketinggalan, menyerbu dengan dahsyat didorong kebencian yang mendalam. Jokowanengpati berusaha mengelak, namun tetap saja pundaknya terkena hantaman tungkak kaki Roro Luhito. Tungkak yang berkulit halus berwarna kemerahan, lunak dan hangat. Akan tetapi karena dipergunakan untuk mendugang dan disertai tenaga keras, membuat tulang pundak serasa remuk! Jokowanengpati menggulingkan tubuhnya, akan tetapi begitu ia meloncat bangun, ia sudah menghadapi serbuan yang lebih hebat lagi!.

   Diam-diam ia mengeluh. Dua orang wanita ini tanpa senjata malah lebih hebat! la sudah berusaha membalas dengan pukulan yang tidak kepalang tanggung, yaitu dengan Aji Siyung Warak yang apabila mengenai sasaran tentu akan meremukkan kepala memecahkan rongga dada. Namun kedua lawannya amat gesit dan saling bantu, sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya. Ia dapat membayangkan betapa sangat ngeri nasibnya apabila roboh di tangan kedua wanita ini. Masih lebih ringan jatuh ke tangan dua ekor harimau betina daripada terjatuh ke tangan dua orang wanita yang mabok dendam sakit hati! Apalagi ketika ia mendengar seruan-seruan mereka yang agaknya sudah membayangkan kemenangan, jantungnya serasa beku.

   "Tangkap hidup-hidup, jeng! Akan kubeset kulitnya, kuminum darahnya!"

   Teriak Kartikosari.

   "Baik, mbok ayu! Akupun hendak melihat bagaimana macam jantungnya!"

   Teriak pula Roro Luhito. Jokowanengpati merasa serem dan hal ini membuat. gerakannya agak lamban sehingga sebuah pukulan Kartikosari berhasil"masuk"

   Dan menghantam perutnya.

   "Ngekkk!"

   Pukulan yang keras sekali dan biarpun Jokowanengpati sudah mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, tetap saja ia merasa seakan-akan isi perutnya berantakan di dalam dan dadanya terasa nyeri dan napasnya sesak.

   "Aduh, mati aku...!"

   Teriaknya.

   Untung ia masih sempat menghindarkan tendangan kaki Roro Luhito yang menyambar ke arah pusarnya, lalu menangkis pukulan ke dua Kartikosari yang melayang ke arah dadanya. Kalau tendangan atau pukulan ini mengenai sasaran, tentu ia akan roboh. Sepasang mata Jokowanengpati jelilatan. Ia sudah putus harapan untuk melawan lebih lama lagi. Sudah tidak kuat. Matanya mencari-cari, akan tetapi sudah tidak ada batu atau senjata lain di atas karang itu. Ia melirik ke belakang. Tebing tinggi dan laut bergelombang. Laut! Jalan keluar satu-satunya dari ancaman maut mengerikan di tangan dua orang musuhnya. Tiba-tiba, sebelum dua orang lawannya sempat mencegah, ia sudah meloncat ke belakang dan dengan tiga kali berjungkir balik terus ke belakang, akhirnya tubuhnya melayang ke bawah tebing batu karang besar dan...

   "Byuuurrr...!"

   Tidak berapa tinggi air muncrat ketika tubuhnya terbanting ke air, karena ombak Laut Selatan yang mulai membesar itu telah mulai menelannya. Kartikosari dan Roro Luhito cepat lari ke pinggir tebing batu karang dan mencari-cari dengan pandang mata mereka. Hati mereka kecewa sekali.

   "Ahh, celaka, dia berhasil lolos..."

   Kartikosari membanting-banting kakinya dengan penuh sesal.

   "Tidak mungkin! Biar kita ikuti dia, kemanapun dia mendarat, kita akan siap memberi hajaran. Binatang itu kali ini harus mampus di tangan kita!"

   Kata Roro Luhito. Mereka mencari terus dengan pandang mata mereka. Ombak yang memecah di batu karang, berbeda dengan ombak yang menepis di pantai pasir. Air laut dipukul-pukulkan pada batu karang menciptakan busa membuih putih sehingga menyilaukan mata dan agak sukar mencari tubuh Jokowanengpati di antara buih putih menyilaukan. Sinar matahari yang terik membuat air laut berkilauan seperti kaca.

   "Itu dia...!!"

   Tiba-tiba Roro Luhito bersorak dan menudingkan telunjuknya ke laut. Kartikosari cepat memandang dan benar saja, ia melihat Jokowanengpati menggerak-gerakkan tangannya, berenang agak tengah, sudah lewat ombak. Jelas tampak Jokowanengpati melambai-larnbaikan tangannya dengan sikap mengejek, bahkan terdengar suara ketawanya menggema terbawa angin!.

   "Binatang! la dapat berenang ke tengah. Celaka sekali, kalau ia menyelam, sukar mencegat dia mendarat!"

   Kartikosari berkata dengan suara menyesal sekali.

   "Tempat ini tinggi, tentu akan kelihatan ke mana dia mendarat. Kurasa ia takkan kuat bertahan sampai malam nanti di tengah laut."

   "Belum tentu! Dia tentu saja tidaklah begitu bodoh, diajeng. Bagaimana kalau dia tidak mau mendarat sebelum hari menjadi gelap? Aku akan mengejarnyal Di lautpun aku tidak takut, dia harus mati di tanganku!"

   Berkata demikian, Kartikosari melangkah ke bagian yang paling rendah untuk melompat ke laut dan mengejar musuh besarnya.

   "Mbok ayu..., jangan...!"

   Roro Luhito memegang lengan Kartikosari, wajahnya tampak ketakutan. Kartikosari menoleh kepadanya dan mengerutkan kening.

   "Kau kenapakah, jeng? Takutkah engkau??"

   Suaranya penuh ketidak percayaan. Akan tetapi Roro Luhito mengangguk!

   "Aku... aku takut, aku... aku selamanya tidak pernah berenang, apalagi di laut...!"

   Kartikosari mengangguk-angguk. Tentu saja, ia sampai lupa. Dia sendiri adalah seorang wanita yang tidak asing dengan laut, bahkan semenjak kecil ia tinggal di tepi laut, pandai berenang dan selama bersembunyi di Karang Racuk ia telah memperdalam ilmunya, termasuk ilmu bermain dalam air laut. Akan tetapi bagi Roro Luhito yang berenangpun tidak pandai, tentu saja tak mungkin dapat mengejar Jokowanengpati.

   "Engkau lihatlah saja dari sini, diajeng. Biar aku sendiri yang mengejarnya dan menyeretnya ke darat. Dia agaknya sudah terluka."

   "Jangan..., berbahaya sekali. Andaikata kali ini tidak berhasil kita menewaskannya, masih banyak waktu dan kita selalu akan mencari dan mengejarnya, mbok ayu. Lihat, dia masih segar-bugar dan nampaknya ia pandai sekali bermain di air. Kalau engkau mengejar kemudian kalah dan bahkan tewas olehnya di air, lalu bagaimana?"

   Roro Luhito memegang lengan Kartikosari erat-erat, tidak mau melepaskan lagi. Memang betul kata-kata Roro Luhito dan diam-diam Kartikosari mulai merasa sangsi apakah ia benar-benar akan dapat menangkan Jokowanengpati di air. Orang itu kini berenang mendekat, berenang dengan gerakan mahir, ketika akan dekat lalu melambaikan tangannya ke arah mereka.

   "Mari, kekasihku berdua...! Marilah ikut kakangmas Jokowanengpati bermain di air! Ha-ha-ha-ha! Apakah kalian takut, manis? Biar lah kugendong, seorang sebelah, ha-ha-ha!!"

   Kartikosari menggigit bibirnya menahan marah. Si bedebah itu benar saja amat pandai berenang. Dan agaknya betul dugaannya, Jokowanengpati sengaja mengejek dan mempermainkan mereka, tentu menanti sampai matahari terbenam. Kalau hari sudah menjadi gelap, tentu saja ia akan dapat mendarat dengan aman Dan untuk bertahan di atas air sampai malam nanti, bukan merupakan hal yang sukar, bahkan sama sekali tidak melelahkan bagi seorang perenang mahir seperti Jokowanengpati. Ia tentu takkan membiarkan kesempatan amat baik itu lalu begitu saja. Jelas tadi bahwa Jokowanengpati telah mengalami tendangan yang jitu. Tentu orang itu sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya. Kalau tidak terluka, tentu dia tidak selemah tadi dan tidak akan lari meloncat ke laut. Kalau aku kejar dia sekarang, mungkin belum terlambat.

   "Diajeng, biarkan aku mengejarnya! Dia harus mati di tanganku!!"

   "Tidak! Jangan, mbok ayu!"

   Kartikosari memberontak, Roro Luhito mempertahankan. Keduanya bersitegang dan untuk sementara tidak memperhatikan Jokowanengpati. Tiba-tiba terdengar pekik melengking mengerikan. Otomatis keduanya berhenti meronta dan keduanya menoleh ke laut, mencari-cari dengan pandang matanya. Tiba-tiba keduanya terbelalak memandang ke bawah, ke arah air, dengan mata dibuka lebar dan mulut celangap, terlampau kaget, terlampau kesima sehingga tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, bahkan seakan-akan berhenti bernapas untuk menyaksikan pemandangan di air itu. Sepasang mata Roro Luhito bersinar-sinar, sedangkan ujung bibir Kartikosari membayangkan senyum. Mereka tadi tidak berdaya menghadapi Jokowanengpati yang agaknya sudah akan lolos, akan tetapi kiranya Dewata Agung sendiri yang berkenan menghukumnya!

   "Toloooooooongggg...!"

   Untuk ketiga kalinya tubuh Jokowanengpati tersembul ke permukaan air, kedua tangannya meronta-ronta, memukul-mukul ke arah kakinya. Untuk ketiga kalinya ia memekik minta toiong, matanya terbelalak lebar sekali, mukanya yang sebagian tertutup rambut yang awut-awutan itu menyerupai muka setan. Dan di sebelah bawahnya, seekor ikan hiu menggigit kakinya, seekor ikan hiu yang ganas dan liar!. Kiranya selagi berenang kian ke mari sambil mengejek Kartikosari dan Roro Luhito, seekor ikan hiu besar telah menyerangnya, menggigit kakinya. Terjadi pergulatan hebat antara Jokowanengpati yang mempertahankan nyawanya dan ikan hiu yang mempertahankan mangsanya.

   Kalau saja tadi tidak mencurahkan perhatiannya untuk mengejek kedua orang bekas lawannya, tentu Jokowanengpati dapat menjaga diri, dapat menggunakan kepandaiannya untuk menendang atau memukul ikan hiu. Akan tetapi karena perhatiannya ke atas, ia tidak melihat ikan itu yang tahu-tahu sudah menyambar dan menggigit kakinya. Ikan hiu itu berusaha menyeret korbannya ke bawah dan berkali-kali ia berhasil. Namun dalam keadaan penuh ketakutan seperti itu, timbul semua tenaga Jokowanengpati dan berkali-kali pula ia berhasil meronta dan timbul di permukaan air, menyerang ikan itu, meronta memukul menendang. Namun ikan itu tak pernah mau melepaskan gigitannya. Sekilas pandang Jokowanengpati melihat dua orang wanita di atas batu karang. Saking takutnya ia berteriak, menjerit parau,

   "Tolooooooongggg...! Tooil... auupp...!"

   Tubuhnya sudah diseret masuk ke dalam air lagi. Sejenak tampak kedua tangannya menjangkau ke atas permukaan air, kedua tangan yang jari-jarinya kaku seperti cakar setan, lalu kedua tangan inipun lenyap ditelan air. Bagaikan dua buah arca batu, Kartikosari dan Roro Luhito berdiri terbelalak memandang peristiwa mengerikan di depan mata itu. Setelah beberapa lama Jokowanengpati tidak timbul kembali dan air di mana untuk terakhir kali tubuhnya terseret dan tenggelam tadi berwarna agak kemerahan, keduanya melepas isak dan menutupi muka dengan kedua tangan. Pundak mereka menggigil. Betapapun juga, mereka bukanlah wanita yang berhati kejam. Hukuman yang dialami Jokowanengpati merupakan siksaan yang terlalu mengerikan bagi mereka.

   "Duh Jagad Dewa Batara... tiada kejahatan tanpa hukuman! Habislah riwayat Jokowanengpati manusia berhati iblis...!!"

   Kartikosari dan Roro Luhito terkejut sekali. Tersentak kagetlah mereka, akan tetapi ketika keduanya membalikkan tubuh, kiranya yang mengeluarkan kata-kata itu bukan lain adalah Pujo, suami mereka! Kartikosari dan Roro Luhito kembali melepas isak, lalu keduanya lari ke depan, menjatuhkan diri berlutut dan menubruk kaki suami mereka. Pujo berlutut pula, merangkul kedua isterinya penuh kasih sayang.

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nimas berdua... sudahlah. Memang pemandangan yang mengerikan hati. Akan tetapi, kiranya sudah sepatutnya manusia keji dan jahat itu menemui siksa seperti itu. Marilah kita lupakan itu semua. Kita telah bebas, bebas dari dendam yang menyiksa batin. Marilah kita pergi, nimas. Jangan lupa, kita masih ada kewajiban mencari Joko Wandiro dan Endang Patibroto."

   Kedua orang wanita itu mengangkat muka dan mereka bertiga saling pandang dengan mesra. Biarpun mulut tidak mengatakan sesuatu, namun pandang mata mereka kini lebih mesra, penuh kasih sayang, tidak dibayangi lagi oleh dendam dan aib. Bebaslah mereka kini, dapat melakukan tugas sebagai suami-isteri sebagaimana mestinya, dapat menyatakan cinta kasih sepenuhnya tanpa diganggu keraguan dan sakit hati. Dengan hati bunga penuh bahagia, mereka bertiga bergandeng tangan meninggalkan pantai Laut Selatan. Karena merekapun melihat betapa Resi Bhargowo muncul di medan perang di samping Sang Prabu Airlangga, maka tentu saja mereka segera langsung menuju ke pertapaan bekas Raja itu, di Jalatunda. Tepat seperti perhitungan mereka, mereka dapat bertemu dengan Resi Bhargowo di tempat itu.

   Perlu diketahui bahwa ketika Pujo dan kedua isterinya berada di keraton Pangeran Sepuh sebelum terjadi perang campuh di alun-alun, Resi Bhargowo yang ketika itu tengah melakukan penyelidikan ke Kotaraja, bertemu dengan mereka, Pertemuan yang mengharukan dan menggirangkan, akan tetapi bagi Resi Bhargowo tidaklah mengherankan karna kakek ini sudah seringkali melihat Pujo dan puterinya ketika mereka berdua masih berpisah dan bertapa masing-masing di muara Sungai Lorog dan di Karang Racuk. Dalam pertemuan singkat itulah, Pujo dan isterinya menceritakan segala pengalaman mereka tanpa menyembunyikan sesuatu. Di lain fihak, Resi Bhargowo menceritakan bahwa dialah yang membawa pergi Endang Patibroto dan Joko Wandiro ke Pulau Sempu dan menganjurkan agar kedua orang anak itu dibiarkan belajar disana untuk sementara waktu.

   Setelah ketiga orang itu menghaturkan sembah sujud kepada Sang Resi Jatinendra dan Empu Bharodo, mereka lalu menceritakan betapa mereka mengejar Jokowanengpati yang akhirnya menemui kematian mengerikan di Laut Selatan, menjadi mangsa ikan hiu. Ketika bercerita perihal kematian Jokowanengpati inilah, mau tak mau Pujo melirik kepada uwak gurunya. Ia melihat Empu Bharodo menarik napas panjang dan berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya yang rambutnya sudah putih.

   "Alangkah akan baik dan untungnya andaikata ia benar telah berhenti menjadi hamba nafsu-nafsunya."

   Pujo dan kedua isterinya heran mendengar kata-kata ini. Pujo dan Kartikosari tahu betul betapa dahulu Empu Bharodo amat mencinta muridnya itu. Akan tetapi ketika mereka memandang, mereka melihat Empu Bharodo, seperti juga Resi Jatinendra, duduk tepekur dan meramkan mata, tampaknya pulas dalam samadhi. Resi Bhargowo lalu memberi isyarat kepada mereka untuk keluar dari guha, agar mereka dapat melakukan percakapan tanpa mengganggu kedua orang pertapa itu.

   "Rama, di manakah Endang Patibroto anakku? Apakah rama tinggalkan di Pulau Sempu?"

   Serta-merta Kartikosari bertanya ketika mereka sudah duduk di bawah pohon beringin yang terdapat di tempat agak jauh dari guha pertapaan. Kini Resi Bhargowo menarik napas panjang dengan wajah agak muram.

   "Segala perbuatan di dunia ini tentu ada akibatnya, seperti juga pohon ada buahnya. Mereka berdua itu tadinya lenyap dari pulau ketika aku diserbu oleh kaki tangan Pangeran Anom."

   Resi Bhargowo lalu menceritakan peristiwa yang terjadi di Sempu.

   "Joko Wandiro sudah berada di sini, sekarang menjadi murid Ki Patih Narotama. Akan tetapi... tentang Endang Patibroto, sampai sekarang aku sendiripun tidak tahu ke mana perginya."

   Roro Luhito girang sekali mendengar bahwa keponakannya telah berada di situ, akan tetapi melihat Pujo dan Kartikosari menjadi muram wajahnya mendengar akan hilangnya Endang Patibroto, ia menekan kegirangannya di dalam hati dan ikut berprihatin. Melihat kemuraman wajah puteri dan mantunya, Resi Bhargowo berkata,

   "Sudah kukatakan tadi, Sari dan engkau, Pujo. Tiada perbuatan yang tak berakibat, tiada pohon yang tak berbuah. Akibat selalu mengikuti perbuatan seperti bayangan mengikuti dirimu. Kadang-kadang tidak tampak namun pasti ada dan tidak pernah jauh. Engkau merasa bagaimana prihatin dan khawatir kehilangan anak. Pikir dan kenanglah, apakah ini bukan merupakan akibat daripada perbuatanmu sendiri?"

   Mendengar ucapan ini, Pujo dan Kartikosari seketika sadar. Lenyap kemuraman dari wajah mereka, akan tetapi kini berganti penyesalan. Pujo lebih-lebih lagi merasa betapa perbuatannya yang lalu merupakan dosa besar. Karena salah duga, ia telah menghancurkan rumah tangga Wisangjiwo, bahkan telah menculik Joko Wandiro, memisahkan anak itu dari ayah-bundanya sehingga sampai pada kematiannya, Wisangjiwo tidak pernah bertemu dengan puteranya!. Alangkah hebatnya penderltaan itu, sedangkan mereka sendiri, baru beberapa bulan saja kehilangan Endang Patibroto, sudah merasa gelisah dan duka!.

   "Saya mengaku dosa saya, rama, semoga Dewata mengampuni saya..."

   Kata Pujo sambil menundukkan muka, penuh penyesalan. Resi Bhargowo mengelus jenggotnya.

   "Perbuatanmu terdorong oleh rangsangan dendam dan nafsu membalas dan karena salah pengertian. Kurasa tidak ada malapetaka menimpa diri Endang, akan tetapi segala hal Dewatalah yang mengaturnya. Sekarang masih belum terlambat untuk memperbaiki kesalahan lama dengan membuat pengakuan kepada Joko Wandiro. Baiknya bahwa biarpun engkau bukan ayahnya, akan tetapi sekarang telah menjadi suami bibinya. Itu dia datang! Sering ia berkunjung ke sini."

   Semua orang menengok dan benar saja, dari jauh tampak pernuda tanggung itu berjalan dengan langkah tenang. Agaknya diapun melihat bahwa kakek gurunya bercakap-cakap dengan tiga orang yang dari jauh tidak dikenalnya. Akan tetapi setelah agak dekat ia mengenal Pujo, maka berlarilah ia. Gerakannya tangkas, larinya cepat sekali sehingga mengagumkan dan menggirangkan hati Pujo dan kedua isterinya.

   "Sayang iapun tidak tahu ke mana perginya Endang,"

   Resi Bhargowo berkata."Di Pulau Sempu mereka memang berpisah jalan..."

   "Ayaaaaahhh...!!"

   Joko Wandiro berseru girang lalu merangkul ayahnya. Pujo memeluknya dan sepasang matanya menjadi basah air mata ketika ia teringat bahwa anak yang dikasihi ini harus mendengar bahwa ia bukan ayahnya! Joko Wandiro amat rindu kepada Pujo dan tentu ia akan bersikap lebih mesra lagi kalau saja ia tidak ingat bahwa di situ terdapat orang lain. Ia lalu melepaskan rangkulannya, menoleh kepada Roro Luhito yang memandangnya dengan air mata bercucuran! Wanita ini masih mengenal keponakannya, yang dahulu sering ia gendong-gendong dan sekarang sudah menjadi seorang pemuda tanggung. Saking terharu hatirya, ia tidak dapat mengeluarkan katakata. Joko Wandiro hanya merasa heran mengapa wanita itu menangis dan menduga-duga siapa gerangan wanita cantik ini. Ketika ia memandang kepada Kartikosari, ia segera mengenalnya dan menegur,

   "Ah... bibi! Bukankah bibi ini ibu Endang Patibroto? Dimanakah dia sekarang, bibi?"

   Melihat Roro Luhito menangis dan teringat akan Wisangjiwo, Kartikosari juga meruntuhkan air mata. La memegang pundak anak itu, merangkulnya dan berkata,

   "Anak yang baik, kami sendiri tidak tahu dia sekarang berada di mana."

   Joko Wandiro makin terheran melihat semua orang meruntuhkan air mata. Ia menoleh lagi kepada ayahnya dan Pujo lalu menarik tangannya, diajak duduk di atas batu.

   "Anakku, Joko Wandiro, kau dengarlah baik-baik dan dengan hati tenang ada yang akan kuceritakan kepadamu. Rama resi ini memang benar adalah kakek gurumu karena aku... aku hanyalah gurumu, sama sekali bukan ayahmu..."

   "Aaahh...!!!"

   Joko Wandiro meloncat bangun dari tempat duduknya. Benar-benar ia terkejut seperti disambar petir mendengar keterangan yang sama sekali di luar dugaannya ini. Wajahnya menjadi pucat dan ia memandang Pujo dengan mata terbelalak.

   "Tenanglah, nak...!!"

   Pujo menegur, terharu akan tetapi juga mendesak. Merah sekali wajah Joko Wandiro. Sudah bertahun-tahun ia digembleng oleh ayahnya ini, digembleng lahir batin sehingga sebetulnya ia dapat menguasai perasaannya. Akan tetapi tadi ia hampir tak dapat menguasai perasaannya oleh karena memang berita itu amat mengejutkan. Ia duduk lagi dan berbisik,

   "Maaf, ayah!"

   Pujo tersenyum pahit. Sungguh tidak enak tugasnya bercerita dan membuat pengakuan ini. Akan tetapi memang betul ayah mertuanya. Ia harus berterus terang membuka rahasia ini, demi kebaikan mereka semua.

   "Ayah kandungmu yang sejati sebetulnya adalah Raden Wisangjiwo..."

   Kembali Joko Wandiro memotong,

   "Tapi. ayah bilang Wisangjiwo adaiah musuh besar yang harus kubunuh kelakl!"

   Mendengar ini, serasa ditampar muka Pujo. Mukanya menjadi merah sekali, lalu berubah pucat dan ia menundukkan mukanya.

   "Besar sekali dosaku, anakku...! Dan semua ini terjadi hanya karena salah duga yang timbul dari sifat terburu nafsu!"

   Berceritalah Pujo tentang peristiwa dua belas tahun yang lalu. Mendengar tentang gurunya yang tadinya ia anggap ayah kandungnya, kemudian mendengar pula betapa ia di waktu kecil bersama ibu kandungnya yang ia lupa lagi bagaimana wajahnya itu, diculik oleh gurunya, makin lama makin pucatlah wajah Joko Wandiro.

   Dadanya terangsang sesuatu yang menggelora, yang membuat tubuhnya menggigil. Teringat ia akan penuturan Cekel Aksomolo yang pernah menangkapnya, pernah mengatakan bahwa dia adalah putera kadipaten, putera Raden Wisangjiwo, bahwa Pujo adalah penculiknya. Dan ia malah memaki-maki dan memukul Cekel Aksomolo yang disangkanya membohong! Kini mendengar betapa satu-satunya orang di dunia ini yang dicintanya, dipujanya dan disangka ayah kandungnya itu telah sedemikian kejamnya terhadap ayah-bundanya, terhadap dia sendiri, hatinya seperti disayat-sayat. Apalagi kalau ia teringat betapa Pujo semenjak ia kecil selalu menekankan bahwa musuh besar di dunia ini adalah Wisangjiwo yang harus dibunuhnya kelak!

   Ayah kandungnya sendiri! Harus dibunuhnya! Alangkah kejinya dan hal ini sungguh-sungguh mengecewakan dan menghancurkan hatinya. Saking kerasnya desakan gelora hati yang ditekan-tekannya, ketika mendengar cerita bahwa ayah kandungnya, Wisangjiwo gugur dalam perang, sedangkan ibunya yang pulang ke Selogiri dibawa lari perampok, Joko Wandiro terbelalak memandang ke angkasa, lalu tiba-tiba menjerit dan tubuhnya terjungkal roboh pingsan. Ketika siuman dari pingsannya, Joko Wandiro berada dalam pelukan Roro Luhito. Tentu saja ia terheran-heran, apalagi melihat wanita itu menangis sambil menyebut-nyebut namanya. Sejenak timbul harapannya. Inikah ibu kandungnya? Ah, tak mungkin. Bukankah tadi diceritakan bahwa ibu kandungnya diculik perampok di Selogiri?

   "Joko, aku adalah bibimu sendiri, aku adik kandung ayahmu."

   Dengan suara terputus-putus Roro Luhito memperkenalkan diri. Kemudian ia membuat pengakuan bahwa iapun telah menjadi isteri Pujo. Makin tertusuk hati Joko Wandiro, makin bingung dan kecewa. Pujo ternyata bukan ayahnya, hanya gurunya. Ayah kandungnya sudah tewas, ibunya diculik perampok, bibinya menikah dengan Pujo yang seakan-akan membikin celaka rumah tangga ayah-bundanya. Tidak tertahankan lagi, melihat gurunya menundukkan mukanya yang pucat, melihat eyang gurunya mengelus-elus jenggotnya dengan senyum pahit, melihat isteri gurunya, ibu Endang Patibroto juga tertunduk, kemudian melihat bibinya menangis terisak-isak, Joko Wandiro juga menangis! Tangis penuh penyesalan, penuh kekecewaan.

   "Duh, anakku, angger Joko! Gurumu tadi belum menceritakan semuanya. Ayahmu telah meninggal dunia dan bukan maksud bibimu ini memburukkan nama ayahmu, sama sekali bukan. Akan tetapi agaknya engkau harus mendengar segalanya dengan jelas agar jangan engkau timbul kebencian kepada kami."

   Setelah berkata demikian, Roro Luhito lalu menceritakan segala yang telah terjadi, betapa Wisangjiwo bersama ayahnya, mendiang Adipati Joyowiseso tadinya menyeleweng dan hendak memberontak, bersekutu dengan tokoh-tokoh sakti yang jahat seperti Cekel Aksomolo dan lain-lain.

   Betapa Wisangjiwo menyerang Pujo dan Kartikosari di dalam guha gelap sehingga ketika muncul Jokowanengpati mempergunakan narnanya, maka Pujo dan Kartikosari tertipu. Semua ia ceritakan dengan jelas, tanpa tedeng aling-aling lagi, bahkan ia ceritakan kekejian dan kejahatan Jokowanengpati terhadap keluarga Kadipaten Se lopenangkep, terhadap dirinya sendiri!. Mendengar cerita ini, berubahlah wajah Joko Wandiro. Lenyap semua bayangan penyesalan. Betapapun juga, orang yang selama ini ia kasihi, ia anggap ayah kandung sendiri, ternyata adaiah seorang satria utama, yang telah salah tindak karena tertipu. Seluruh penyesalan dan bencinya kini ia timpakan kepada orang yang bernama Jokowanengpati.

   "Si bedebah Jokowanengpati! Di mana si jahat itu sekarang??"

   Ia melompat berdiri dengan kedua tangan terkepal. Pujo meraihnya. Girang dan bangga hatinya bahwa murid yang ia kasihi seperti puteranya sendiri ini sekarang telah melihat kenyataan, dan tidak membencinya. Ia merangkul dan berkata,

   "Joko anakku, musuh besar itu telah tewas di tangan kedua bibimu, baru-baru ini."

   Joko Wandiro balas memeluk gurunya, lalu berkata,

   "Harap sebuah permohonanku dikabulkan."

   'Tentu saja, Joko. Jangankan hanya sebuah, biarpun seribu permohonanmu tentu akan kupenuhi,"

   Jawab Pujo terharu.

   "Hanya satu saja, yaitu... karena ayah kandungku telah tewas... supaya... supaya aku tetap boleh menyebut... ayah kepadamu."

   Pujo merangkul dan memeluk kepala Joko Wandiro. Dari kedua pelupuk matanya mengalir beberapa butir air mata. Sambil mencium kepala anak Itu, ia berkata,

   "Engkau memang anakku! Biarpun bukan anak kandung, akan tetapi engkau anakku, Joko! Terima kasih bahwa engkau masih mau menyebut ayah kepadaku. Akan tetapi, karena engkau telah mendapatkan seorang guru yang maha sakti, engkau harus melanjutkan pelajaranmu kepada gurumu yang sakti mandraguna dan bijaksana, Ki Patih Narotama. Kami bertiga akan kembali ke Bayuwilis di pantai Laut Selatan, dan kelak, kalau ada perkenan gurumu, kita akan bertemu lagi, Joko."

   Anak yang semuda itu telah mengalami kecewa, sesal, dan duka yang amat hebat itu hanya mengangguk-angguk sambil memandang dengan air mata berlinang. Pujo, Roro Luhito dan Kartikosari memandang anak itu dengan hati penuh keharuan sehingga suasana menjadi sedih. Tiba-tiba Resi Bhargowo tertawa. Suara ketawanya tenang dan sewajarnya, sekaligus mengusir suasana yang iengang sedih itu.

   "Ha-ha-ha, alangkah lemahnya kita diseret kedukaan berlarut-larut! Joko, cucuku yang baik. Gurumu adalah kawula yang paling gagah perkasa dan sakti di seluruh Kahuripan, sungguh mengecewakan kalau engkau sebagai muridnya tak mampu melawan nafsu perasaan sendiri!"

   Sadarlah mereka semua. Joko Wandiro lalu menjatuhkan diri berlutut, menyembah kepada empat orang itu sambil berkata,

   "Hamba pamit mundur...!"

   Tanpa menanti jawaban, tubuhnya sudah melesat dan bagaikan terbang ia lari meninggalkan tempat itu untuk kembali ke tempat pertapaan gurunya yang berada di lereng gunung. Segala sesuatu di permukaan bumi ini, mau atau tidak, semua harus tunduk kepada kekuatan Sang Waktu. Betapapun kerasnya besi baja, betapapun besarnya gunung dan luasnya lautan, semua itu akan lenyap atau berubah setelah tiba saatnya.

   Namun, demikian halus Sang Waktu bekerja sehingga sedikit demi sedikit kesemuanya itu digerogoti sampai habis tanpa ada yang merasakannya! Manusia sendiri, setiap hari digerogoti waktu dalam bentuk usia, kanak-kanak menjadi dewasa, dewasa menjadi tua dan kakek-kakek, tanpa si manusia merasainya, sehingga tahu-tahu Sang Waktu menyeretnya ke lubang kubur!. Sang Waktu merayap selambat kura-kura apabila diperhatikan, akan tetapi terbang secepat kilat apabila tidak diperhatikan. Tahun-tahun lalu serasa hari kemarin! Karena inilah, sebelum terlambat, seyogianya manusia mengisi hidupnya yang tak berapa lama ini dengan perbuatan-perbuatan bermanfaat bagi dunia, bangsa, negara, masyarakat atau sedikitnya bagi orang lain.

   Bahagialah mereka yang tidak menyia-nyiakan waktu hidup sebentar ini hanya dengan perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri saja. Karena sudah pasti bahwa pada akhir hidup, hati nurani sendiri menuntut jasa apakah yang telah diperbuat semasa hidupnya bagi dunia dan manusia?. Sang Waktu melesat cepat sehingga tanpa disadari, Endang Patibroto telah enam tahun tinggal di Pulau Iblis. Selama enam tahun ini, setiap hari ia menerima gemblengan dari gurunya. Dibyo Mamangkoro yang amat mencinta muridnya, bahkan menganggap muridnya itu seperti anak atau cucu sendiri. Tidak ada ilmu yang ia sembunyikan, semua kedigdayaannya ia turunkan kepada Endang Patibroto. Bahkan pada kesempatan menurunkan ilmu terakhir, Dibyo Mamangkoro berkata,

   "Muridku yang pintar, anakku yang denok! Sudah habislah sekarang semua aji kau pelajari. Tidak ada apa-apa lagi yang dapat kuajarkan kepadamu, kecuali hanya hawa sakti di dalam tubuhku yang dapat kuberikan kepadamu. Akan tetapi tidak Sekarang, muridku, karena penyerahan hawa sakti itu akan mendatangkan kematian padaku. Aku tidak sayang mengorbankan nyawa untukmu, Endang, akan tetapi jangan sekarang."

   Endang Patibroto, kini seorang gadis berusia tujuh delapan belas tahun, cantik manis dengan tubuh padat berisi dan ramping, dengan sepasang mata yang tajam akan tetapi bersinar dingin,

   Bibirnya yang selalu merah basah itupun tak pernah ketinggalan senyum, senyum dingin mengejek, kini berdiri memandang gurunya. Sukar untuk menduga apa yang terkandung di hati gadis muda ini, karena wajahnya menyerupai topeng puteri jelita yang tidak pernah berubah. Bahkan Dibyo Mamangkoro sendiri, seorang sakti mandraguna, seorang yang berwatak aneh, liar dan ganas, kadang-kadang mengakui di dalam hati bahwa dalam diri muridnya ini terdapat kekuatan luar biasa, dan memancarkan keanehan dan kesereman. Bahwa di balik sinar mata yang tajam bersinar itu tersembunyi kedinginan yang membeku, dan di balik senyum yang manis menggairahkan hati tiap pria itu tersembunyi maut yang selalu mengintai korban!.

   "Bapa guru,"

   Jawab Endang Patibroto terhadap ucapan gurunya tadi.

   "Kalau bapa tidak hendak memberikan hawa sakti kepadaku karena takut mati, perlu apa bapa menceritakannya kepadaku? Tenagaku sendiri cukup, dan sesungguhnya aku tidak membutuhkan penambahan tenaga dari luar lagi."

   Setelah berkata demikian, perlahan Endang Patibroto membalikkan tubuhnya, lengan kirinya bergerak lambat ke depan, seperti main-main mendorong sebatang pohon sebesar tubuh manusia dan...

   "Kraaakkk!"

   Pohon waru itu roboh!.

   "Huah-hah-hah-hahl Kiranya tidak akan mudah mencari orang yang mampu melawan Endang Patibroto, murid terkasih Dibyo Mamangkoro!"

   Kakek raksasa itu tertawa bergelak, akan tetapi akhirnya suara ketawanya lenyap dalam keraguan. Keningnya yang tebal berkerut ketika ia berkata.

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini