Ceritasilat Novel Online

Badai Laut Selatan 28


Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Bagian 28



Akan tetapi, kadang-kadang ia suka termenung kalau berada sendirian, teringat akan puterinya yang tak pernah dilihatnya, yaitu Endang Patibroto. Kalau teringat akan hal ini, penyesalan memenuhi hatinya, menghambarkan semua kebahagiaan hidupnya. Ia merasa amat rindu kepada puterinya, anak tunggal yang tidak pernah ia lihat itu. Memang ada hal yang mengurangi kedukaan dan penyesalan ini yaitu bahwa kini kedua orang isterinya sedang mengandung! Sekaligus ia akan mendapatkan pengganti puterinya yang hilang sebanyak dua orang anak. Akan tetapi, betapapun juga, ia masih sangat ingin bertemu dengan puterinya yang hilang. Apalagi kalau ia ingat betapa Kartikosari sering kali menangis sedih apabila teringat akan Endang Patibroto.

   Teringat akan ini, hati Pujo merasa perih dan membuat ia teringat akan semua sepak terjangnya yang lalu. Kalau sudah begitu, timbullah penyesalan besar di dalam hatinya. Teringatlah ia akan Wisangjiwo yang disangkanya menjadi musuh besarnya. Teringatlah ia betapa nafsu dendam membuat ia seperti gila, membuat ia mengamuk di Kadipaten Selopenangkep, membunuhi orang tak berdosa, bahkan telah menculik isteri Wisangjiwo dan puteranya. Teringat akan keadaan isteri Wisangjiwo yang menjadi gila karena perbuatannya itu sehingga wanita yang malang nasibnya itu dipulangkan ke desanya, kemudian bahkan dibawa lari perampok. Semua ini gara-gara perbuatannya yang didorong nafsu dendam yang menggila.

   "Ah, agaknya hilangnya puteriku merupakan hukuman bagi perbuatanku itu. Beginilah rasanya kehilangan anak, dan aku telah merenggut Joko Wandiro dari tangan dan hati ayah-bundanya! Hukum karma, tepat seperti yang dikatakan bapa Resi Bhargowo. Semoga Dewata sudi mengampuni dosaku dan anakku dalam keadaan aman sentausa"

   Demikianlah pada senja hari itu ia melamun dan menyesali perbuatannya. Tiba-tiba Pujo meloncat dan memutar tubuhnya membalik. Biarpun gerakan di sebelah belakangnya itu perlahan sekali, namun sebagai seorang sakti ia telah dapat mendengarnya. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik telah berdiri di situ, menentangnya dengan pandang mata penuh kebencian dan kemarahan serta memegang sebatang keris yang mengeluarkan sinar, sebuah keris pusaka! Akan tetapi, pendekar sakti ini segera dapat menenangkan hatinya dan dengan sabar dan tenang ia bertanya,

   "Siapakah andika dan apakah kehen..."

   "Pujo! Sudah butakah matamu sehingga kau tidak mengenal aku? Ataukah engkau pura-pura tidak mengenal? Lupakah kau akan peristiwa di Guha Siluman delapan belas tahun yang lalu?"

   Wanita itu membentak dan memotong pertanyaannya. Kini Pujo benar-benar kaget sekali. la mengenal suara ini, mengenal pula sekarang wajah ini dan ia benar-benar terkejut bukan main. Kedua matanya terbelalak dan ia berdiri bagaikah arca, bibirnya bergerak,

   "Andika... Listyokumolo...??"

   Ia masih belum percaya akan dugaan ini dan memandang dengan penuh keheranan. Listyokumolo tersenyum mengejek, dan tangan yang memegang keris itu gemetar.

   "Bagus, engkau masih ingat kepadaku. Aku datang untuk menuntut balas, untuk minta pertanggungan jawabmu atas kekejian yang kau lakukan delapan belas tahun yang lalu! Hayo katakan di mana kau kubur anakku? kau tentu telah membunuh Joko Wandiro!"

   Seketika lemas kedua lutut Pujo ketika mendapatkan kenyataan bahwa wanita ini memang betul Listyokumolo. Wanita inilah yang selama ini ia bayangkan, menjadi pengganggu kebahagiaan hidupnya karena ia merasa berdosa kepada wanita ini. Sekarang wanita ini datang. Dia ibu Joko Wandiro, muridnya! Melihat sinar mata penuh kebencian, penuh dendam dan kedukaan, tak tertahankan lagi Pujo menjatuhkan diri berlutut.

   Sejenak ia merasa kepalanya pening dan ia menutupi muka dengan kedua tangannya. Alangkah besar dosanya kepada wanita ini, wanita yang tidak berdosa sama sekali. Ia telah merenggut semua kebahagiaan hidup wanita ini, merampas puteranya, membuat ia menjadi gila sehingga terpisah pula dari suami. Kehidupan wanita ini telah hancur lebur, semua karena akibat perbuatannya. Dendamnya kepada Wisangjiwo dahulu telah membuat ia gila, membuat ia menumpahkan dendamnya kepada wanita tak berdosa ini. Alangkah kejamnya ia. Alangkah menyesal hatinya sekarang, apalagi kalau dia ingat bahwa dendamnya kepada Wisangjiwo dahulu itu salah alamat! Dosanya kepada wanita ini adalah dosa tak berampun. Ia telah merusak kehidupan Listyokumolo, merusak sehingga tak dapat diperbaikinya kembali.

   "Aku berdosa..., aku mengaku bersalah. Aku telah menjadi gila dan buta oleh dendam kepada suamimu, dendam yang salah alamat pula. Engkau sudah datang, engkau berhak menuntut balas. Aku menerima segala pembalasanmu. Akan tetapi, percayalah, puteramu Joko Wandiro tidak kubunuh. Dia kupelihara baik-baik, bahkan menjadi puteraku, menjadi muridku. Kini ia menjadi murid Ki Patih Narotama"

   "Bohong! Pengecut kau! Inikah seorang satria? Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab, tidak berani mengaku. Aku tak percaya omonganmu! Kalau Joko Wandiro masih hidup, tentu dia sudah mencari ibu kandungnya"

   "Aku sengaja tidak menceritakan kepadanya tentang ibu kandungnya, baru akhir-akhir ini ia tahu dan aku mendengar kau diculik perampok dan suamimu kakangmas Wisangjiwo telah gugur dalam perang"

   Suara Pujo terisak menahan getaran perasaannya yang penuh penyesalan dan iba kepada wanita di depannya itu.

   "Huh, siapa percaya obrolanmu? kau kemukakan ini semua karena kau takut akan pembalasanku. kau takut menebus dosa-dosamu, pengecut!"

   Pujo bangkit berdiri, mukanya menjadi pucat sekali.

   "Tentu kau tidak mau percaya kepadaku, orang yang telah melakukan perbuatan kejl terhadap dirimu, terhadap puteramu. Listyokumolo, sudah kukatakan tadi, aku bersalah dan aku menerima kesalahanku. Aku tidak akan mundur untuk menghadapi hukumanmu, tidak akan gentar untuk menerima pembalasanmu. Nah, lakukanlah niat yang sudah membayang di matamu, aku takkan melawan!"

   Pujo memasang dadanya dengan penuh penyerahan karena ia merasa akan dosanya yang hebat terhadap wanita ini.

   "Kau telah merusak hidupku, kau telah membunuh puteraku. Rasakan pembalasanku ini!"

   Listyokumolo menggerakkan tangan kanannya menusuk. Pujo tidak mau melawan dan sengaja memasang tubuhnya.

   "Blesss...!!"

   Keris pusaka itu nancap di lambung Pujo sampai ke gagangnya! Biarpun Listyokumolo seperti gila oleh dendam, dan belasan tahun ia digembleng suaminya dengan ilmu kesaktian, akan tetapi ia bukanlah seorang wanita kejam dan belum pernah selama hidupnya ia membunuh orang. Kini merasa betapa lambung itu dengan mudah tertusuk kerisnya, tangannya menggigil dan ia meloncat mundur dengan muka pucat. Ia menggunakan tangan menutup mulutnya yang hendak menjerit ketika ia melihat Pujo terhuyung-huyung ke belakang sambil memegang lambung yang ditancapi keris sanpai ke gagangnya. Pujo tersenyum. Lenyaplah sekarang perasaan sesalnya. Ia telah menebus dosa yang selama ini menyelubungi dan menggelapkan kebahagiaan hidupnya!

   "Sudah tertebus...!"

   Ia menggumam lalu terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya roboh terduduk di atas rumput.

   "Aku aku tidak bohong... Joko Wandiro masih hidup dia di lereng Gunung Bekel"

   Ia masih berusaha untuk memberi keterangan.

   "Kakangmas Pujo...!!"

   Mendengar jerit melengking ini Listyokumolo terkejut dan mengangkat mukanya memandang dua orang wanita yang datang berlari-lari secepat terbang. Matanya terbelalak ketika ia mengenal bahwa seorang dl antara dua wanita cantik itu bukan lain adalah Roro Luhito, bekas adik iparnya. Dan lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melihat Roro Luhito menubruk Pujo yang duduk bersandar pohon, memeluknya dan menangis. Tiba-tiba Listyokumolo meloncat ke samping, menghindarkan diri daripada terjangan wanita ke dua yang amat hebat.

   "Kau..., wanita Iblis... kau berani melukai suamiku?"

   Teriak wanita itu yang bukan lain adalah Kartikosari. Mendengar bentakan ini, Roro Luhito agaknya baru sadar bahwa musuh yang melukai suaminya masih berada di situ. Sekali tubuhnya bergerak, ia telah meloncat dan berhadapan dengan Listyokumolo.

   "Kau...?!? Kang-mbok Listyo"

   Tentu saja Roro Luhito terkejut bukan main setelah mengenal wanita yang masih berdiri bingung itu. Teguran ini membuyarkan semua kebingungan hati Listyokumolo. Matanya mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang bekas adik iparnya.

   "Benar, Roro. Akulah Listyokumolo. Akulah orang yang dihancurkan kebahagiaannya oleh si keparat Pujo ini. Akulah yang diculiknya, dirampas puteraku sehingga aku menjadi gila dan dipulangkan oleh kakakmu. Dia ini musuh besarku dan pula yang menjerumuskan aku sampai aku terculik oleh perampok-perampok liar. Roro Luhito, dia, si keparat ini telah menyerbu dan mengacau Selopenangkep, dia musuh besar kita. Mengapa sekarang kulihat engkau menangisinya??"

   "Kau kau kah yang melukainya...? Kang-mbok... dia... dia ini adalah suamiku..."

   "Suamimu?!? Keparat...!"

   "Wuuuttt!"

   Listyokumolo kini sudah dapat menguasai dirinya sehingga ia menjadi marah sekali mendengar pengakuan Ini. Serta-merta ia melakukan serangan hebat dengan melancarkan pukulan maut ke arah dada bekas adik iparnya. Roro Luhito kaget sekali, kaget dan heran sambil mengelak cepat. Tidak disangkanya bahwa kini bekas kakak iparnya dapat melakukan penyerangan begini hebat, padahal dahulu Listyokumolo adalah seorang wanita yang halus dan lemah.

   Melihat betapa penyerangannya gagal, Listyokumolo menerjang lagi, Roro Luhito kembali mengelak. Betapapun sakit hatinya melihat suaminya dilukai, namun di dalam hatinya Roro Luhito memaklumi sakit hati yang diderita bekas kakak iparnya, maka ia bersikap mengalah dan hanya mengeiak saja. Tidak demikian dengan Kartikosari. Ketika ia memeriksa keadaan suaminya dan melihat betapa keris itu menancap sampai ke gagangnya dalam lambung suaminya, ia hampir gila oleh rasa marah dan duka. Ia maklum bahwa keadaan suaminya amat parah dan terancam bahaya maut. Hal ini membuat ia hampir gila dan dengan pekik dahsyat wanita ini lalu menerjang maju. Ketika Listyokumolo menangkis pukulan ini, ia sampai terpental ke belakang hampir terjengkang roboh.

   "Wanita jahat, kau harus mampus!"

   Bentak Kartikosari sambil mtenubruk ke depan.

   "Tahan dulu..."

   Terdengar suara halus dan sebuah lengan yang amat kuat menangkis lengan Kartikosari yang cepat melompat ke samping. Diam-diam ia harus mengakui bahwa yang menangkis ini memiliki tenaga yang amat kuat. Ketika memandang, ia melihat bahwa yang menangkis adalah seorang laki-laki setengah tua yang bersikap tenang, namun wajahnya diselimuti kedukaan dan penyesalan.

   "Nimas Sari nimas Roro, sudahlah... tak perlu dilanjutkan permusuhan ini aku sudah menerima salah, aku sudah menebus dosaku terhadap Joko Wandiro dan ibunya. Jangan kalian mengulangi lagi dosaku, jangan kalian mengotori lagi Apa yang sudah kucuci bersih dengan darah..."

   Terdengar suara Pujo berkata lemah. Mendengar kata-kata ini, Kartikosari dan Roro Luhito teringat kembali akan suaminya. Mereka menengok dan keduanya menubruk Pujo sambil rnenangis. Mereka sibuk ingin menolong suami mereka yang tercinta ingin merenggut kembali nyawa yang sudah dalam cengkeraman maut. Akan tetapi Pujo menggeleng kepala.

   "Tiada guna aku sudah merasa takkan hidup lagi nimas Sari, ketahuilah... dia itu."

   Telunjuknya menuding ke arah Listyokumolo yang berdiri pucat di samping suaminya.

   "dia itu isteri Wisangjiwo... dialah ibu kandung Joko Wandiro. Dia dahulu yang kuculik, kurampas puteranya dalam kegilaanku hendak membalas Wisangjiwo, dalam dendam kita yang salah alamat kini ia datang membalas sudah sepatutnya, aku sengaja membiarkan dia menanamkan kerisnya sudah kuhancurkan hidupnya... biarlah dia yang merenggut nyawaku..."

   "Tidak...! Tidak boleh! Ahh... kakangmas tidak mungkin aku mendiamkannya saja tanpa membalas!"

   Bagaikan seekor singa betina Kartikosari meloncat lagi dan rnenerjang Listyokumolo.

   "Harap andika sudi bersabar!"

   Ki Adibroto kernbali menangkis pukulan Kartikosari yang ditujukan kepada isterinya.

   "Dukkk!"

   Tubuh Kartikosari terpental ke belakang, namun karena pendekar itu menggunakan tenaga lemas, ia tidak merasa nyeri.

   "Siapa engkau?!?"

   Kartikosari membentak, tangan kanan meraba gagang keris pusakanya, yaitu keris pusaka Ki Banuwilis milik suaminya. Ki Adibroto membungkuk dengan sikap hormat.

   "Saya bernama Adibroto, sekarang menjadi suami Listyokumolo..."

   "Kau hendak membela isterimu? Boleh!!"

   Kartikosari membentak.

   "Harap bersabar."

   Ki Adibroto menarik napas panjang penuh sesal dan duka."Sudah bertahun-tahun isteri saya merajuk dan membujuk untuk mencari puteranya dan mencari musuh besarnya, saudara Pujo. Sudah sebanyak itu pula saya mencegah dan berusaha menghapus dendam, namun sia-sia. Akhirnya kami datang dan tadi saya melihat sendiri betapa saudara Pujo sengaja menyerahkan diri untuk dibalas. Saya menyesal dan berduka sekali. Saudara Pujo ternyata seorang satria utama dan seorang yang suka mengenal diri pribadi, suka mengakui kesalahan sendiri. Alangkah bahagianya seorang yang dapat mengakui kesalahan sendiri kemudian menikmati hukuman yang akan membebaskannya dari rasa salah diri. Saudara Pujo dahulu melakukan pembalasan dendam secara membuta, tidak kepada orang yang telah menyakitkan hatinya, melainkan kepada keluarga orang itu. Dan sekarang saya amat prihatin, tidak ingin melihat isteri saya melakukan kekeliruan yang sama. Urusannya dengan saudara Pujo sudah beres dan terhadap andika berdua, isteri saya tidak punya urusan sesuatu yang patut dipersoalkan lagi. Harap andika berdua suka berpikir mendalam akan hal ini dan menghentikan dendam-mendendam Ini."

   "Enak saja kau bicara! Suamiku telah dibunuh isterimu dan aku disuruh menerima begitu saja? laki-laki bedebah! Kalau aku tidak dapat membunuh Listyokumolo, tidak patut aku menjadi puteri Resi Bhargowo dan namaku bukan Kartikosari lagi!"

   Setelah berkata demikian, Kartikosari yang seperti orang gila oleh kedukaan dan kemarahan itu rnenerjang maju sambil menghunus keris pusaka Banuwilis. Wajah Adibroto menjadi pucat dan ia sedih bukan main, akan tetapi tak mungkin ia menyaksikan isterinya yang terkasih itu dibunuh orang begitu saja di depannya. Ia cepat menarik lengan isterinya dan mendorong tubuh isterinya ke arah belakangnya sehingga dialah yang menghadapi Kartikosari.

   "Kau benar-benar hendak membela isterimu?"

   Kartikosari membentak. Ki Adibroto hanya menggeleng kepalanya, tidak mampu menjawab dan memandang sedih.

   "Nimas Sari!"

   Terdengar suara Pujo memanggil.

   Akan tetapi Kartikosari seperti tidak mendengar panggilan ini karena ia sudah menerjang maju, menusukkan kerisnya ke arah dada Ki Adibroto. Pendekar ini dapat melihat betapa dahsyatnya terjangan lawan, maklum bahwa wanita di depannya ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Cepat-cepat ia menggeser kaki dan mengelak ke kiri. Pada saat itu tampak bayangan putih berkelebat, sukar diikuti pandangan mata saking cepatnya. Bayangan putih ini berkelebat di antara Kartikosari dan Ki Adibroto dan tubuh Ki Adibroto terjengkang ke belakang sampai terhuyung-huyung dan hampir roboh. Bukan main kagetnya pendekar itu. Bayangan tadi hanya mendorongkan tangan, namun serangkum tenaga dahsyat sekali telah mendorongnya, tak dapat dipertahankan lagi tubuhnya terdorong seperti daun kering terbawa angin.

   Ketika ia membuka mata memandang, keheranannya makin menghebat karena kiranya bayangan putih itu hanyalah dara yang masih amat muda, seorang dara remaja sebaya puterinya. Dara remaja yang cantik jelita, berpakaian serba mewah, dengan hiasan rambut dari emas permata, gelang tangan dan lengan, kalung, pendeknya pakaian seorang puteri keraton!. Dara remaja itu tidak memperdulikannya lagi. Kini dara itu memutar tubuh menghadapi Kartikosari yang juga berdiri tercengang. Sejenak kedua orang wanita itu berdiri berhadapan dan saling pandang. Dan dalam keadaan seperti itu, Ki Adibroto merasa bulu tengkuknya meremang. Jelas sekali tampak persamaan di antara kedua orang wanita itu. Bentuk mukanya sama benar, seperti pinang dibelah dua, hanya bedanya, yang seorang setengah tua, yang seorang lagi masih muda belia.

   "Bunda...!!!"

   "Endang... Ohhh, Endang...! Engkaukah ini, Endang Patibroto anakku...??"

   Kartikosari menjerit dan kedua orang wanita itu saling tubruk dan saling rangkul.

   "Kakangmas, jangan bergerak..."

   Roro Luhito mencegah Pujo yang berusaha hendak bangun. Tadi ia sudah rebah terlentang dan kini ia berusaha bangkit, matanya terbelalak memandang ke arah Endang Patibroto.

   "Biar... biar... aku harus melihat dia, ohhh, Endang puteriku..."

   Mendengar ini barulah Kartikosari sadar dan teringat akan suaminya. Ia memegang tangan puterinya mendekati Pujo yang sudah duduk.

   "Endang, lihatlah baik-baik, inilah ayah kandungmu, anakku. Inilah ayahmu Pujo, beri sembah kepadanya, anakku..."

   Kartikosari tak tahan lagi, terisak menangis.

   "Ayah?... Ayah kandungku..."

   Sejenak Endang Patibroto tertegun, kemudian terbelalak memandang ke arah gagang keris yang menempel pada lambung laki-laki itu. Setelah saling pandang sampai lama, Endang Patibroto lalu berlutut menyembah.

   "Ayah!"

   "Anakku!... Endang Patibroto! Anakku...!"

   Pujo merangkul dan mengambungi rambut yang harum dan halus itu."Ha-ha-ha-ha, terima kasih kepada Dewata yang Maha Agung! Sebelum mati aku diberi kebahagian bertemu muka dengan anakku...! Ha-ha-ha-ha! Tiada penasaran lagi sekarang, dosa hapus anak jumpa...! Nimas Sari..., nimas Luhito... dengar baik-baik, untuk terakhir ini... kalian harus memenuhi pesanku... ja... jangan kalian membalas kepada Listyokumolo..."

   "Aduh, kakangmas Pujo... Jangan... tinggalkan aku, kakangmas bawalah aku...!"

   Kartikosari memeluki, menciumi dan menangis tersedu-sedu. Juga Roro Luhito memeluk dan menangis. Tinggal Endang Patibroto yang memandang semua ini dengan kening berkerut. Tidak biasa ia menangis. Semenjak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, hatinya mengeras melebihi batu,

   "Endang... anakku cah ayu, anakku yang cantik jelita kau... kau turutilah permintaan ayahmu, nak"

   Suara Pujo makin lemah, napasnya terengah-engah.

   "Permintaan apakah, ayah?"

   Endang Patibroto mendekatkan kepalanya dan memegang tangan ayahnya. Pujo meremas jari jari tangan puterinya, sejenak matanya yang sudah layu itu bersinar-sinar.

   "Anakku..., kau... kau... kujodohkan dengan... Joko Wandiro jangan jangan... uggghhh..."

   Suara terakhir ini mengantar nyawa Pujo meninggalkan badannya.

   "Kakangmas Pujo...!!"

   Kartikosari terguling roboh dan pingsan.

   "Kakangmas..."

   Roro Luhito merangkul tubuh suaminya dan menangis menjerit-jerit.

   Listyokumolo berdiri dengan muka pucat sekali. Setelah kini menyaksikan akibat pembalasan dendamnya sedemikian menyedihkan, hatinya diliputi keharuan yang amat hebat, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia tentu akan roboh terguling kalau tidak dipeluk suaminya yang juga memandang dengan muka pucat. Ki Adibroto menghela napas panjang dan diam-diam ia membaca mantera untuk mengantar nyawa Pujo yang dianggapnya seorang satria luhur budi pekertinya. suami-isteri ini berdiri seperti arca, tidak tahu harus berbuat Apa. Ketika Kartikosari sadar dari pingsannya dan melihat Roro Luhito masih menangis menjerit-jerit dan memanggil-manggil nama suaminya, segera ia meloncat dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Listyokumolo.

   "Kau perempuan keji! kau telah membunuh suamiku... dan aku tidak berani melanggar pesannya terakhir. Hayo kau bunuhlah aku sekalian, agar aku dapat menyusul suamiku...! bunuhlah aku... bunuhlah..."

   Sambil menangis dan berteriak-teriak minta dibunuh Kartikosari yang amat menclnta suaminya Itu jatuh berlutut di depan Listyokumolo. Tidak dapat lagi Listyokumolo menahan hatinya yang hampir meledak karena rasa haru. Iapun berlutut dan merangkul Kartikosari sarnbil menangis. Akan tetapi tiba-tiba rangkulan Listyokumolo terenggut dan tubuhnya terlempar sampai terjengkang. Ketika wanita ini meloncat, ia dan suaminya sudah berhadapan dengan Endang Patibroto! suami-isteri itu merasa ngeri memandang wajah yang demikian cantik jelitanya Itu seakan-akan merupakan kedok yang mati, begitu dingin dan tidak membayangkan apa-apa.

   "Engkau yang membunuh ayahku?"

   Pertanyaan ini terdengar halus dan merdu, tenang dan, seakan-akan biasa saja.

   "Betul!"

   Jawab Listyokumolo yang sudah dapat menekan perasaannya, suaranya tegas dan agak marah. Biarpun dara ini cantik jelita seperti puteri keraton, namun sikapnya mengerikan seperti iblis betina. Gadis ini oleh Pujo hendak dijodohkan dengan puteranya! Berarti bahwa puteranya benar-benar masih hidup. Ia sudah merasa menyesal telah membunuh Pujo, akan tetapi ia benar-benar tidak setuju kalau puteranya dijodohkan dengan gadis yang sikapnya seperti siluman ini.

   "Aku yang membunuhnya dan ia sudah menerima kematiannya dengan rela karena dosanya terhadap dirlku."

   "Hemmm, begitukah?"

   Dengan sikap tenang Endang Patibroto menghampiri mayat ayahnya yang masih ditangisi Kartikosari dan Roro Luhito, kemudian dicabutnya keris yang menancap dilambung Pujo. Sedikit darah keluar dari luka di lambung dan tanpa memperdulikan Kartikosari dan Roro Luhito yang berteriak kaget, Endang Patibroto membawa keris itu sambil menghampiri Listyokumolo. Ia memegang ujung keris pusaka Itu dan mengangsurkannya kepada pemiliknya.

   "Nah, karena engkau sudah membunuh ayahku, sekarang gunakan kerismu ini untuk menusuk perutmu sendiri!"

   Ucapan inipun dikeluarkan dengan suara halus dan sewajarnya, tanpa perasaan sehingga Listyokumolo dan Ki Adibroto yang mendengarnya menjadi bergidik. Bahkan Kartikosari dan Roro Luhito juga tercengang.

   "Endang! Apa yang kau lakukan...?"

   Kartikosari berseru sambil melompat ke depan dan memeluk pundak puterinya. Akan tetapi dengan halus akan tetapi bertenaga Endang Patibroto mendorong ibunya sehingga Kartikosari kembali duduk di dekat mayat suaminya dengan mata terbelalak.

   "Angger, Endang Patibroto. kau ingatlah pesan ayahmu..."

   Roro Luhito juga berusaha mengingatkannya. Endang Patibroto memandang Roro Luhito dengan kening berkerut.

   "Siapakah wanita ini?"

   Pertanyaan ini ia tujukan kepada ibunya akan tetapi pandang matanya tetap menatap wajah Roro Luhito.

   "Dia Roro Luhito, dia juga ibumu, Endang, karena diapun isteri ayahmu..."

   Kembali Kartikosari terisak dan merangkul mayat suaminya.

   "Hemm, ibu berdua jangan mencampuri urusan ini, biar kubereskan sendiri."

   Ia lalu membalikkan tubuh menghadapi Listyokumolo kembali.

   "Hayo lekas, belum juga kau tusuk perutmu sendiri?"

   Bentaknya ketika melihat Listyokumolo yang tadi menerima kerisnya masih memandang keris di tangan dengan mata terbelalak, seakan-akan ia merasa ngeri melihat ujung keris yang berlumuran darah yang kini sudah menghitam itu. Ki Adibroto mengerutkan kening dan dengan suara tegas ia berkata,

   "Isteriku telah membunuh Pujo untuk membalas dendam yang amat mendalam. Pujo sendiri telah mengakui kesalahannya dan telah menyerahkan nyawanya tanpa melawan sehingga ia tewas di tangan isteriku. Sekarang engkau menyuruh isteriku membunuh diri, Apa maksud dan kehendak mu?'

   "Kau suaminya? Bagus! Hayo suruh dia tusuk perutnya sendiri atau kalau dia tidak berani, kau yang mewakilinya dan menusuk perutnya dengan keris itu sampai mampus!"

   "Babo-babo! Dara remaja sungguh sombong dan bermulut besar! Kalau kami tidak mau melakukan permintaanmu yang gila itu, lalu bagaimana?"

   "Mau atau tidak, dia harus menusuk perutnya sampai mati."

   "Tobat-tobat sombongnya. Hendak kami lihat Apa yang hendak kau lakukan!"

   "Engkau banyak bantahan, engkaupun harus dihajar!"

   
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Endang Patibroto berseru dan tubuhnya berkelebat ke depan rnenerjang Ki Adibroto. Betapapun juga, Ki Adibroto adalah seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi. Biarpun ia maklum betapa dahsyatnya terjangan itu, namun ia tidak takut. Melihat betapa tangan kiri dara itu bergerak dengan jari-jari tangan kiri terbuka hendak mencengkeram ubun-ubun kepalanya, ia bergidik. Alangkah kejinya cara penyerangan ini! Sungguh tidak patut dilakukan seorang dara jelita semuda itu, lebih patut serangan seorang iblis kejam. Dengan pengerahan hawa sakti untuk melawan tendangan ini, ia menangkis dari bawah dengan melintangkan lengan kanan ke atas kepala.

   "Dessss...!!"

   Dua lengan bertemu di udara dan tubuh Endang Patibroto terpental ke belakang sampai tiga meter.

   Akan tetapi terpentalnya dalam keadaan enak saja, dan wajahnya tetap tersenyum-senyum. Tidak demikian dengan Ki Adibroto. Biarpun ia menang tenaga karena memang menang matang latihannya, namun ketika bertemu lengan, ia merasa betapa lengannya panas seperti dimasuki api yang terus menyelinap ke dalam tubuhnya, membuat dadanya terasa sakit. Ia kaget bukan main, juga terheran-heran. Bocah ini benar-benar tidak menyombong kosong belaka, melainkan memiliki llmu yang tinggi, seorang yang sakti mandraguna! Endang Patibroto diam-diam marah pula karena tenaga lawannya benar hebat sehingga ia terpental. Biarpun-hal ini tidak berarti ia kalah, akan tetapi pada lahirnya memang kelihatan bahwa dia tidak mampu menandingi tenaga lawan. Dengan gemas ia lalu menggerakkan tangannya dan

   "Sing... sing... sing!!"

   Tiga batang anak panah meluncur ke arah paha, perut dan tenggorokan Ki Adibroto. Anak panah ini diluncurkan dengan sentilan jari tangan, namun kecepatannya luar biasa, tidak kalah oleh anak panah yang diluncurkan dengan gendewa.

   Apalagi dilepas dari jarak empat lima meter, bukan main cepatnya laksana kilat menyambar. Endang Patibroto sudah memastikan bahwa kali ini lawannya pasti akan roboh. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat tubuh lawannya itu tiba-tiba mencelat ke atas setinggi dua meter lebih sehingga tiga batang anah panah itu lewat di bawah kakinya dan tidak sebatangpun mengenai sasaran. Dengan gemas yang meluap-luap Endang Patibroto lalu meloncat ke depan, tubuhnya agak merendah kemudian kedua tangannya melakukan gerak memukul ke depan. Inilah ilmu pukulan yang luar biasa ampuhnya, yaitu Aji Wisangnolo Api Beracun yang amat dahsyat, ilmu pukulan jarak jauh yang telah ia latih masak-masak dari gurunya!.

   Ketika itu, tubuh Ki Adibroto masih belum turun, masih melayang. Hatinya sudah berdebar karena serangan tiga batang anak panah tadl benar-benar amat berbahaya dan hanya sedikit selisihnya. Nyaris ia terkena anak panah yang ia dapat menduga tentu mengandung bisa ujungnya. Pada saat itu, Ki Adibroto sama sekali tidak menyangka bahwa lawannya yang masih begitu muda, dapat melakukan siasat pertandingan yang demikian licik dan curangnya. Karena inilah, maka dengan tidak menduga akan datangnya pukulan jarak jauh yang demiklan hebat, tahu-tahu ia merasa dadanya dlhantam hawa pukulan yang panas sekali Tubuhnya terlempar ke belakang dan robohlah ia terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan!.

   "Perempuan iblis...!"

   Listyokumolo menjerit sambil rnenerjang maju dengan keris di tangan.

   Namun, dengan mudah sekali Endang Patibroto miringkan tubuh, tangannya menyambar tangan kanan Listyokumolo yang memegang keris, kemudian ia memaksa tangan lawan itu untuk membalikkan keris dan menusuk lambung sendiri! Hebat bukan main tenaga dan ketangkasan Endang Patibroto. Listyokumolo tahu benar betapa tanganya yang memegang keris itu tiba-tiba membalik, akan tetapi ia tidak kuasa mencegah atau menahan tangannya sendiri. Seolah-olah tangan kanannya itu bergerak di luar kekuasaannya dan seolah-olah tangannya itu kini sudah bukan tangannya lagi. Melihat betapa tangannya sendiri tanpa dapat dicegahnya menusuk ke arah lambungnya sendiri, Listyokumolo menjerit dengan mata terbelalak lebar.

   Dengan tenaga terakhir ia berusaha menahan tangan kanan dengan tangan kirinya, namun sia-sia belaka usahanya. Dengan mata terbelalak ia melihat jelas betapa keris itu menusuk lambungnya, terus menusuk dan amblas sampai ke gagangnya. Ia merasa perih dan panas, mendengar suara ketawa lirih dari dara remaja yang sudah melepaskannya, suara ketawa yang bagi pendengarannya merupakan ketawa iblis yang menyeramkan. Listyokumolo sekali lagi menjerit kemudian tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Keris itu menancap tepat di lambung kiri, persis seperti lambung Pujo tadi!

   (Lanjut ke Jilid 28)

   Badai Laut Selatan (Seri ke 03 "

   Serial Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28

   Ki Adibroto tersentak kaget mendengar jerit isterinya. la melompat bangun, mengeluh karena dadanya terasa terbakar dan lehernya seperti dicekik. Ketika menoleh ke bawah, ia melihat isterinya berkelojotan.

   "Nimas!!"

   Ia menubruk, hanya untuk menyaksikan isterinya menghembuskan napas terakhir tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Seketika api kemarahan membakar diri Ki Adibroto. Ingin ia melompat dan menerjang pembunuh isterinya. Akan tetapi kesadarannya mencegahnya. Bunuh-membunuh akibat dendam-mendendam. Dara remaja itu adalah anak Pujo, kini membunuh isterinya karena mendendam dan membalaskan kematian ayahnya. la menahan napas, menahan air mata, lalu memondong tubuh isterinya dan berjalan terhuyung-huyung pergi dari tempat itu, diikuti pandang mata mengejek Endang Patibroto yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang.

   "Endang... Apa yang telah kau lakukan? Mengapa kau membunuhnya...?"

   Tanya Kartikosari dengan penuh penyesalan, teringat akan pesan suaminya. Betapapun ia mencinta suaminya dan merasa sakit hati sekali karena suaminya dibunuh orang, namun setelah mendengar pengakuan suaminya, setelah mendengar pesan suaminya, sebagai seorang puteri pendeta yang bijaksana, ia sadar dan suka mentaati pesan suaminya. Karena itulah ia merasa amat menyesal melihat puterinya telah membunuh Listyokumolo dan melukai Ki Adibroto dengan hebat.

   "Mengapa? Ibu, dia sudah membunuh ayah dan aku membunuh dia. Bukankah ini sudah tepat dan punah? Suaminya terluka dan pasti mati pula, adalah salahnya sendiri!"

   Terbelalak mata Kartikosari mendengar jawaban dan melihat sikap puterinya inl. Terbayang kekerasan hati yang melebihi batu, terbayang sikap dingin melebihi ampak-ampak pada wajah puterinya. Di samping perubahan sikap puterinya yang luar biasa ini, juga jelas tampak kesaktian yang menggiriskan pada diri puterinya. Ia sendiri tadi sudah bergebrak dengan Ki Adibroto dan dapat menaksir bahwa Ilmu kepandaian Ki Adibroto amat tinggi, seimbang dengan ilmunya sendiri. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja, Ki Adibroto nudah dirobohkan oleh Endang Patibroto sampai pingsan dan terluka hebat.

   "Endang... kau... kau... telah membunuh calon... calon ibu mertuamu sendiri...?"

   "Apa kata ibu?"

   Endang Patibroto bertanya, keningnya berkerut, matanya mengkilat.

   "Apa kau lupa akan pesan ayahmu tadi? kau dijodohkan dengan Joko Wandiro..."

   "Uhh! ah yang mengaku murid ayah dahulu itu? Menyebalkan! Nah, biarpun demikian, Apa hubungannya urusan Itu dengan kematian perempuan pembunuh ayah tadi?"

   "Ohh, anakku. Engkau tidak tahu. Listyokumolo yang kau bunuh tadi adalah ibu kandung Joko Wandiro"

   Endang Patibroto kini memandang jenazah ayahnya dengan kening berkerut.

   "Aneh-aneh saja ayah tadi. Kalau dia membunuh ayah, kenapa aku dijodohkan dengan anaknya? Aku tidak sudi!"

   "Endang..."

   Melihat Kartikosari marah, Roro Luhito merangkulnya.

   "Urusan itu dapat dirundingkan perlahan-lahan. Bukankah yang perlu sekarang mengurus jenazah dia...?"

   Kembali ia menangis sehmgga Kartikosari ikut pula menangis.

   Dua orang isteri yang sepenuh jiwa mencinta suami Itu sambil menangis, dibantu oleh Endang Patibroto, mengurus jenazah, membawanya ke pondok kemudian upacara pembakaran dilakukan dengan sederhana. Abu jenazah dlsebarkan di laut, diantar hujan air mata Kartikosari dan Roro Luhito. Diam-diam Kartikosari merasa heran dan juga amat menyesal mengapa sedikitpun Endang Patibroto tidak kelihatan berduka, bahkan tidak setetespun air mata keluar untuk menangisi ayah kandungnya! Pada keesokan harinya, Seorang laki-laki penunggang kuda sampai di Bayuwismo. Melihat kedatangan laki-laki muda belia dan berpakaian amat mewah, berwajah tampan dan bersikap agung ini, Kartikosari dan Roro Luhito tercengang. Apalagi ketika mendengar laki-laki itu dari jauh sudah berteriak memanggil nama Endang Patibroto,

   "Endang...! Engkau di situkah...?"

   Endang Patibroto sedang menggosok-gosok tubuh kudanya. Ia datang ke Bayuwismo berkuda dan sengaja meninggalkan kudanya ketika ia mencampuri urusan orang tuanya dengan Listyokumolo. Melihat laki-laki itu, Endang Patibroto berseri wajahnya dan membalas dengan lambaian tangannya sambil berbisik kepada ibunya,

   "Ibu, dia gusti pangeran."

   "Apa...?!"

   Kartikosari dan Roro Luhito terkejut bukan main dan cepat-cepat menyambut ketika pangeran itu melompat turun dari kudanya dan berlari-lari di atas pasir menghampiri Endang Patibroto. Melihat dua orang wanita cantik bersembah sujut, ia bertanya,

   "Endang, siapakah kedua orang bibi ini?"

   "Yang ini ibu kandungku, yang itu ibu tiriku."

   "Ah! Bibi berdua, silakan bangun, di tempat sunyi ini tidak perlu menggunakan banyak peraturan,"

   Kata pangeran itu dengan ramah sehingga Kartikosari dan Roro Luhito menjadi senang juga. Pangeran ini tidak angkuh seperti bangsawan-bangsawan lainnya dan anehnya, sikap Endang Patibroto terhadapnya seperti sikap seorang teman biasa saja!

   "Mengapa paduka terlambat sekali, gusti pangeran? Dan mana gusti puteri? Mengapa tidak kelihatan?"

   Tanya Endang Patibroto.

   "Celaka sekali, Endang. Setelah kau membalapkan kudamu meninggalkan kami, kami berdua lalu berusaha mengejarmu. Kuda yang ditunggangi adinda puteri memang lebih baik daripada kudaku ini, maka akhirnya aku tertinggal. Aku membalap dan berusaha menyusul, akan tetapi sia-sia dan akhirnya adinda puteri tidak tampak lagi. Dengan hati khawatir aku melanjutkan perjalanan seorang diri ke sini dan sampai sekarang aku tidak pernah melihat lagi. Semua ini gara-garamu, Endang. Hayo kau cari dia sampai dapatl"

   Wajah sang pangeran tampan itu kelihatan gelisah. Akan tetapi Endang Patibroto tenang-tenang saja.

   "Jangan khawatir, gusti pangeran. Pasti dapat hamba cari gusti puteri."

   Kemudian ia menoleh kepada Kartikosari dan Roro Luhito sambil berkata,"Ibu, kuharap ibu berdua suka ikut saja bersamaku dan tinggal di istana. Aku yakin bahwa gusti prabu tentu akan mengijinkannya."

   Kartikosari mengerutkan keningnya, kemudian bertanya,

   "Anakku, sebetulnya apakah kedudukanmu di istana dan istana manakah itu?"

   Kini pangeran itulah yang menjawab,

   "Bibi, apakah Endang belum menceritakan keadaannya? Sungguh aneh kalau begitu. Bibi, puterimu yang perkasa ini sekarang menjadi kepala pengawal istana Kerajaan Jenggala. Saya adalah Pangeran Panjirawit dari Jenggala, bersama Endang dan adik saya Puteri Mayagaluh sengaja hendak mencari bibi di sini. Benar Apa yang diusulkan Endang Patibroto tadi, bibi. Lebih baik bibi berdua pindah ke istana."

   Dapat dibayangkan betapa kaget dan sedih rasa hati Kartikosari setelah mendengar bahwa puterinya bekerja kepada Kerajaan Jenggala! Padahal semenjak ayahnya, Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo masih hidup, sampai dia sendiri dan suaminya semua adalah pengikut-pengikut Pangeran Sepuh yang kini menjadi Raja di Kerajaan Panjalu. Bagaimana sekarang Endang Patibroto malah memihak kepada musuh? Biarpun pangeran muda ini dari Jenggala, akan tetapi betapapun juga ia masih keturunan Sang Prabu Airlangga dan sikapnya amatlah menyenangkan, maka ia menyembah sambil menjawab,

   "Terima kasih atas penawaran dan keramahan paduka."

   Kemudian ia menghadapi puterinya dan berkata,"Anakku, aku dan ibumu Roro Luhito sudah biasa hidup di alam bebas, tidak ingin hidup dalam istana. Kami akan tetap tinggal di sini. kau saja, anakku, kalau memang mencinta ibumu, kau jangan tinggalkan aku lagi. Kembalilah kepada ibumu dan temani kami di sini."

   Mendengar ajakan ibunya ini, Endang Patibroto mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang kepada kedua orang ibunya, dengan pakaian mereka yang sederhana, dan keadaaan gubuk Bayuwismo yang lebih sederhana pula. Kemudian ia menundukkan muka, memandangi pakaiannya yang mewah dan indah, perhiasan emas permata yang berkilauan di tubuhnya. Kerut pada keningnya makin mendalam dan ia menjawab,

   "Belum bisa, ibu. Apalagi sekarang selagi Kerajaan Jenggala menghadapi ancaman perang saudara dengan Kerajaan Panjalu. Kerajaan Panjalu yang menjadi musuh kami mempunyai banyak orang pandai, ibu. Kalau aku sudah berhasil membasmi mereka dan Kerajaan Jenggala terbebas dari pada bahaya, barulah aku akan pikir-pikir untuk menemani ibu berdua di sini."

   Dengan singkat Endang Patibroto lalu menuturkan bahwa ia menjadi murid Dibyo Mamangkoro dan betapa ia digembleng sampai bertahun-tahun di Pulau Nusakambangan, dan betapa kemudian ia dibawa berhamba kepada Kerajaan Jenggala. Juga ia bercerita betapa ia diuji oleh sang prabu di Jenggala dan berhasil mengambil bendera pusaka dan membawa kembali kepala dua orang pengawal keraton Panjalu. Mendengar penuturan Endang Patibroto ini, mula-mula Kartikosari dan Roro Luhito kaget, kemudian terheran-heran, dan akhirnya marah sekali. Kartikosari tak dapat lagi menahan kemarahannya dan ia memandang tajam puterinya lalu membentak,

   "Endang Patibroto, engkau tersesat jauh!!"

   "Hemmm, Apa maksudmu, ibu?"

   Tanya Endang Patibroto sedangkan Pangeran Panjirawit juga memandang heran. Kartikosari tidak perdulikan lagi pada pangeran itu dan ia berkata, suaranya tegas dan keras.

   "Endang, engkau telah tersesat jauh dan mungkin hal itu terjadi karena kau tidak mengerti. Ketahuilah, Raja Jenggala sekarang Ini dahulu adalah Pangeran Anom, sedangkan Raja Penjalu adalah Pangeran Sepuh. Dahulu terjadi perang saudara antara Pangeran Anom dan Pangeran Sepuh. Tahukah engkau fihak mana yang dibela mati-matian oleh eyangmu Resi Bhargowo, oleh ayahmu Pujo, dan oleh ibumu berdua? Kami membela Pangeran Sepuh atau Raja Panjalu yang sekarang! Adapun Pangeran Anom dahulu dibela oleh orang-orang kotor macam Cekel Aksomolo, Warok Gendroyono, Krendayakso, Nogogini, Durgogini dan lain-Iain. Bagaimana sekarang engkau, anak kandungku, cucu Resi Bhargowo, menjadi kepala pengawal di keraton Jenggala? Engkau bersekutu dan berkawan dengan orang-orang jahat macam Cekel Aksomolo dan Iain-Iain itu?"

   Kaget juga hati Endang Patibroto melihat betapa ibu kandungnya marah hebat seperti itu.

   "Tidak, ibu. Biarpun Cekel Aksomolo dan yang lain-lain itu bekerja membela Jenggala, namun aku tidak bersekutu dan tidak bersahabat dengan mereka!"

   Ia mencoba untuk membantah.

   "Keparat! Tahukah engkau betapa mereka itu dahulu pernah mengeroyok eyangmu di Pulau Sempu dan hampir saja membunuh eyangmu? Tahukah engkau bahwa ayah-bundamu ini banyak menderita karena perbuatan biadab seorang di antara pembantu-pembantu Jenggala? Dan sekarang engkau menjadi hamba Jenggala? Endang Patibroto, engkau anakku, engkau harus mentaati ibu kandungmu. Mulai detik ini juga, engkau harus berhenti menjadi hamba Jenggala, engkau tidak boleh kembali ke sana!"

   Kemarahan Kartikosari sudah meluap-luap dan tak dapat ditekan lagi. Hening sejenak, hening penuh ketegangan, terutama bagi Pangeran Panjirawit yang mendengarkan dan melihat dengan jantung berdebar-debar. Kemudian Endang Patibroto menarik napas panjang, memandang ibunya dan menggeleng kepalanya,

   "Tidak mungkin begitu, Ibu. Sudah banyak aku menerima hadiah dan kebaikan dari keluarga gusti prabu. Sebelum aku membalas semua kebaikan itu dengan pahala, bagaimana aku bisa meninggalkan Jenggala dengan begitu saja?"

   "Kebaikan?? kau bicara tentang kebaikan? Apakah kau tidak tahu betapa ibumu ini hampir berkorban nyawa berkali-kali untukmu? Tidak tahu betapa sengsara hidupku, betapa tersiksa, betapa dengan susah payah memelihara dan mendidikmu, betapa digerogoti dendam dan sakit hati. Dan kau lupakan semua itu, tertutup oleh kebaikan orang lain yang tidak ada artinya itu? Endang, apakah kau ingin menjadi anak durhaka, anak murtad? Sekali lagi, lepaskan semua itu dan, kembalilah kepada ibumu, anakku"

   Kalimat terakhir ini mengandung isak-tangis. Endang Patibroto menggeleng kepala lagi.

   "Ibu tidak adil... ibu terlalu mendesak, tanpa memberi kesempatan kepadaku."

   Kartikosari melompat maju.

   "Sekali lagi. Kuminta engkau melepaskan kedudukanmu dan kembali kepada ibumu!"

   Suara Kartikosari parau, wajahnya memucat. Endang Patibroto menggeleng kepala.

   "Tidak bisa, ibu."

   "Anak durhaka! Kalau begitu, daripada melihat engkau hidup tersesat, lebih baik melihat engkau mati!"

   Secepat kilat Kartikosari mencabut keris pusaka Banuwilis lalu maju menubruk, menusukkan kerisnya ke arah dada anaknya sendiri.

   "Yunda Sari...!"

   Roro Luhito menjerit dan bergerak hendak mencegah. Namun terlambat. Keris itu sudah menusuk dada Endang Patibroto. Dara jelita ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis sehingga Pangeran Panjirawit juga berseru kaget dan cemas.

   "Capp...!"

   Keris itu menyeleweng ke samping ketika bertemu dengan dada Endang Patibroto, hanya menancap miring, memasuki kulit dan sedikit melukai daging, akan tetapi tidak kuat menembus ke dalam karena Endang Patibroto mengerahkan sedikit hawa sakti di tubuhnya. Kalau dara ini menghendaki, tentu keris itu tadi membalik dan kulitnya sedikitpun tidak lecet. Akan tetapi ia sengaja membiarkan kulitnya dan sedikit dagingnya terluka sehingga ketika keris itu jatuh terlepas, darah mengalir keluar. Melihat darah ini, Kartikosari agaknya seperti baru sadar dan ia menjerit sambil mundur dan menahan mulut dengan tangan agar tidak menangis mengguguk. Endang Patibroto tersenyum, senyum dingin yang membuat tengkuk Kartikosari meremang.

   "lnginkah kau minta kembali sedikit darah yang kau tumpahkan ketika melahirkan aku? Nah, darahku sudah tertumpah. Apakah hatimu puas?"

   Endang Patibroto menggunakan jari kakinya menyentil keris pusaka Banuwilis yang terletak di atas tanah. Keris itu melayang naik dan di sambut tangan kanannya. Kemudian ia menusukkan keris itu pada dadanya sendiri.

   "Krakkk! Patahlah keris pusaka itu menjadi dua potong! Endang Patibroto memperlebar senyumnya dan membuang gagang keris buntung ke atas tanah. Agaknya dengan perbuatan ini ia hendak membuktikan bahwa kalau tadi ia menghendaki, tusukan ibunya tidak akan melukai dadanya, dan bahwa dadanya terluka karena ia sengaja!.

   "Aahhh..."

   Kartikosari membelalakkan matanya, hatinya serasa ditusuk-tusuk, lalu ia menangis mengguguk-guguk menyebut-nyebut nama suaminya.

   "Aduh kakangmas Pujo... kenapa tidak kau bawa saja aku serta? Kenapa kau membiarkan aku terhina oleh anak sendiri?"

   Roro Luhito memeluk dan dengan air mata berlinang berkata,

   "Sudahlah, ayunda Sari. Ingatlah akan kesehatanmu, ingatlah akan kandunganmu"

   Endang Patibroto mengangkat pundaknya, lalu berjalan kearah kuda dan sekali loncat ia telah berada di punggung kudanya. Sekali lagi ia menoleh, memandang ibunya dengan sinar mata penuh kedukaan, kemudian ia menarik kendali kuda dan binatang itu meloncat ke depan.

   "Endang, tunggu...!"

   Pangeran Panjirawit menengok ke arah dua orang wanita yang bertangis-tangisan itu, meloloskan dua buah gelang tangannya yang bertabur intan, meletakkannya ke dekat dua orang wanita itu, kemudian iapun lari dan meloncat ke arah kudanya, terus membedal kuda mengejar Endang Patibroto.

   * * *

   Menjelang senja, amat sunyi di daerah Telaga Sarangan. Sunyi dan dingin. Permukaan telaga seakan-akan mengeluarkan uap keabu-abuan. Joko Wandiro dan Ayu Candra bergandeng tangan, berjalan perlahan meninggalkan telaga, menuju ke pondok. Selama belasan hari, hubungan mereka makin akrab dan seringkali mereka berdua bercengkerama di tepi telaga. Walaupun tiada kata-kata kasih dan cinta keluar dari mulut mereka yang belum mengenal ucapan itu, namun sinar mata dan getaran jari tangan mereka merupakan bahasa indah tak terucapkan yang langsung membisiki hati masing-masing.

   Asyik-masyuk percakapan mereka selalu, percakapan yang tidak ada artinya, kadang-kadang seperti dua anak-anak bergurau. Namun selalu perhatian mereka tercurah penuh kepada diri masing-masing sehingga mereka tidak tahu betapa sepasang mata yang bersinar tajam mengintai mereka penuh cemburu, iri hati dan marah. Itulah sepasang mata Ki Jatoko yang tentu saja sama sekali tidak disangka-sangka oleh sepasang muda-mudi itu. Ketika menjelang senja hari itu mereka berdua seperti biasanya kembali ke pondok, tubuh Ki Jatoko menyelinap di antara gerombolan pohon dan mengikuti mereka dari jauh.

   "Ayu Candra..."

   "Itu suara ayah...!"

   Ayu Candra berseru kaget dan girang ketika tiba-tiba terdengar suara panggilan itu. Ia segera lari ke arah suara yang datangnya dari pondok. Joko Wandiro lari pula dl belakang dara itu. Alangkah kaget hati Ayu Candra ketika dalam cuaca yang sudah remang-remang itu ia melihat ayahnya rebah tertelungkup di depan pondok sambil merintih-rintih dan bergerak-gerak lemah.

   "Ayahhh...!"

   Ia meloncat dan berlutut, menubruk ayahnya. Dengan hati cemas dara ini membalikkan tubuh ayahnya dan memangku kepalanya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya ketika melihat wajah ayahnya yang tampan itu kini mengerikan, berubah biru kehitaman, napasnya terengah-engah dan warna putih bola matanya menjadi merah sekali!

   "Ayah...! kau kenapa? Ayah ayah... Apa yang terjadi? Mana ibu?"

   Dara ini menjerit-jcrit dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya. Joko Wandiro yang juga berlutut di dekat tubuh Ki Adibroto, menjadi terkejut sekali setelah memeriksa tubuh orang tua itu.

   "Akibat pukulan berbisa yang amat hebat...!"

   Katanya lirih. Mendengar ini, Ayu Candra menangis dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya sambil memanggil-manggil.

   "Ayah...! Ayah...!!"

   "Ayu, minggirlah sebentar. Biar kucoba menyadarkannya,"

   Bisik pula Joko Wandiro. Kemudian ia memeriksa dada Ki Adibroto. Tepat dugaannya, dada pendekar itu totol-totol hitam merah, dan hawa beracun sudah menjalar naik sampai ke muka! Diam-diam Joko Wandiro merasa ngeri. Pukulan ini hebat sekali dan kalau bukan Ki Adibroto yang memiliki kesaktian, tentu sekali terkena pukulan ini terus tewas. Kini keadaan orang tua itu sudah tak mungkin tertolong lagi, maka Joko Wandiro lalu menggunakan lima buah jari tangan kirinya mengurut kedua pundak dan menotok tengkuk. Seketika Ki Adibroto terbatuk-batuk, lalu bergerak-gerak dan mengeluh.

   "Ayah...!"

   Ayu Candra sudah menubruk dan kembali memangku kepala ayahnya, Ki Adibroto membuka matanya yang merah, memandang Ayu Candra, lalu bibirnya bergerak-gerak dan terdengar ia berkata dengan bisikan lemah.

   "Ayu kau pergilah kepada Ki Darmobroto di kaki Merbabu..., dia...dia calon mertuamu, kujodohkan engkau dengan puteranya, Joko Seto."

   "Ayah, kau kenapa? Di mana ibu...?"

   Ayu Candra yang amat pucat mukanya itu bertanya. Ia lebih mengkhawatirkan keadaan ayahnya dan gelisah karena tidak melihat ibunya sehingga pesan tentang perjodohan itu sama sekali tidak ia perdulikan.

   "Ibumu... ibumu sudah tewas...kalau bertemu dengan Joko Wandiro dia putera ibumu yang sulung... kau beritahukan... uuuhhh-uuhhh..."

   "Ayah...!"

   Ayu Candra merangkul sambil menangis.

   "Beritahukan bahwa ibunya telah meninggal dunia..."

   "Ayah, siapa pembunuh ibu? Kenapa ibu tewas?? Katakanlah ayah... katakanlah!"

   Ayu Candra menjerit-jerit sehingga ia tidak melihat betapa Joko Wandiro yang mendengar pesan terakhir itu menjadi pucat wajahnya dan terbelalak matanya. Ki Adibroto sudah payah sekali keadaannya. ia berusaha untuk bicara banyak, namun tenaganya sudah tidak mengijinkannya. Ia hanya mampu berbisik-bisik,

   "Jangan... jangan melanjutkan permusuhan... kau cari tunanganmu... Joko Seto..."

   "Ayah, kenapa ibu tewas? Siapa yang membunuhnya? Dan siapa yang melukai ayah?"

   Kembali Ayu Candra mendesak-desak dengan suara parau. Hampir ia pingsan, namun rasa penasaran membuat ia dapat bertahan dan kemarahannya melihat ayahnya terluka hebat dan mendengar ibunya tewas membuat ia lupa diri, berteriak-teriak dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya yang keadaannya sudah payah itu.

   "Ibumu... ibumu... mencari anaknya... Joko Wandiro... kau beritahu dia telah tewas... dia itu bukan... bukan..."

   Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Agaknya Ki Adibroto dalam saat terakhir itu hendak membuka rahasia bahwa Listyokumolo bukan ibu kandung Ayu Candra, namun ia tidak kuat lagi dan putuslah napasnya.

   "Ayaaaahhh...!!!"

   Ayu Candra merangkul dan pingsan di atas dada ayahnya. Joko Wandiro juga terpukul perasaannya. lapun sedang mencari ibu kandungnya. Ia hanya tahu bahwa ibu kandungnya itu kabarnya diculik perampok. Kini ia mendengar pesan ayah Ayu Candra bahwa ibu kandungnya telah tewas, padahal yang tewas itu adalah ibu kandung Ayu Candra pula! Hal ini hanya berarti bahwa Ayu Candra adalah anak ibunya pula, jadi adik tirinya! Keterangan ini baginya lebih hebat daripada berita kematian ibu kandungnya yang belum pernah ia kenal. Lebih hebat daripada kematian ayahnya Ayu Candra. Lebih hebat dari Apa saja yang mungkin terjadi. Kenyataan ini membuat hatinya serasa ditusuk keris berkarat. Ayu Candra, dia adiknya, adik tirinya, anak kandung ibunya!

   Namun Joko Wandiro pemuda gemblengan itu dapat segera menguasai kesadarannya kembali. Betapapun juga, dara remaja yang sudah merebut hatinya ini bukan orang lain, melainkan adiknya sendiri, sekandungan, seibu. Ia akan tetap mencintanya. Mereka tetap akan saling mencinta sebagai kakak dan adik. Selain itu, oleh ayahnya, Ayu Candra sudah dijodohkan dengan seorang pemuda Iain. Hal ini lebih baik lagi. Setelah dapat menguasai hatinya yang tertusuk, baru Joko Wandiro bergerak menolong Ayu Candra yang pingsan.

   Pada saat itu, ia mendengar gerakan perlahan di belakangnya. Ketika ia menengok, kiranya Ki Jatoko yang datang terhuyung-huyung dengan kedua kaki buntungnya. Joko Wandiro sama sekali tidak tahu bahwa laki-laki buntung itu sudah sejak tadi mengintai dan kini melihat Ki Adibroto sudah mati, lalu datang dan membantu Joko Wandiro mengangkat jenazah Ki Adibroto ke dalam pondok.

   Ayu Candra yang sudah siuman kembali itu menangis sedih, dihibur oleh Joko Wandiro dan Ki Jatoko. Setelah pembakaran jenazah selesai dan abunya dihanyutkan di Telaga Sarangan, Ayu Candra duduk di pinggir telaga itu. Wajahnya pucat sekali, matanya sayu dan ia tampak lemas karena duka dan kurang tidur. Rambutnya kusut. Hati dan pikirannya sekusut rambutnya. Biar bokor terisi abu jenazah ayahnya sudah tenggelam dan abu itu sendiri telah menjadi satu dengan air telaga, ia masih belum bergerak pergi dari pinggir telaga. Ki Jatoko diam-diam pergi dari telaga. Joko Wandiro dengan hati penuh keharuan dan kedukaan berjongkok di belakang Ayu Candra yang duduk bersimpuh di atas tanah berumput.

   Hening keadaan di situ pagi hari itu. Tiada suara burung yang agaknya ikut berkabung. Air telaga juga tenang, tidak ada angin bersilir. Telaga yang tua itu sudah banyak menyaksikan suka-duka manusia, karenanya ia tenang-tenang saja. Ia maklum bahwa manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka-duka, si kembar sakti yang selalu bercanda dan bermain-main dengan manusia secara bergilir. Telaga tua itu tenang-tenang saja karena ia tidak mengenal suka-duka, karena baginya, suka-duka itu tidak ada,t yang ada hanya kewajaran. Hal ini hanya dapat dimiliki oleh mereka yang telah menyatukan diri dengan alam, telah menjadi sebagian daripada alam itu sendiri. Tanpa pamrih, karenanya wajar. Karena wajar, maka tiada suka maupun duka.

   "Ayu...!"

   Panggilan ini hanya merupakan bisikan yang keluar dari mulut Joko Wandiro, bisikan yang keluar dari hati yang merintih. Getaran bisikan ini amat kuat sehingga Ayu Candra seketika tersadar. seperti orang kaget ia sadar, seakan-akan diseret turun kembali dari alam mimpi, ke alam kenyataan yang pahit. Ia menoleh dan menghadapi Joko Wandiro. Sejenak mereka saling pandang, dua pasang mata yang bersinar sayu.

   "Joko..."

   "Ayu!"

   Seperti digerakkan tenaga ajaib, keduanya saiing tubruk dan saling rangkul. Ayu Candra menangis tersedu-sedu di atas dada Joko Wandiro sehingga sebentar saja dada itu menjadi basah. Joko Wandiro merasa seakan akan yang membasahi dadanya itu adalah darah yang bercucuran dari jantungnya. Ia mengelus-elus kepala gadis itu, penuh kasih sayang, kasih sayang yang kini ia paksa dan belokkan dari kasih sayang seorang pria terhadap wanita, menjadi kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya. Joko Wandiro merasa sangat kasih kepada adiknya ini.

   Ia tahu bahwa mereka tadinya saling mencinta dan ia tahu bahwa sampai saat ini, perasaan Ayu Candra terhadap dirinya tetap tidak berubah. Karena Ayu Candra belum tahu siapa sebenarnya ia. Tidak tahu bahwa dialah Joko Wandiro, bahwa dialah kakaknya yang kemarin disebut-sebut Ki Adibroto dalam pesan terakhirnya. Dara ini harus diberitahu, akan tetapi ia tidak tega untuk menghacurkan hati yang sudah parah itu, hati yang penuh kedukaan karena sekaligus kehilangan ayah-bunda. Dia sendiripun kehilangan ibu kandungnya, yang katanya tewas oleh musuh. Akan tetapi kedukaan hatinya tidaklah begitu besar karena ia belum pernah bertemu ibunya, tidak tahu bagaimana rupa ibu kandungnya. Ia lebih berduka karena kenyataan bahwa Ayu Candra adalah adik tirinya, satu ibu!

   "Joko...!"

   Ayu Candra berbisik tanpa mengangkat mukanya yang bersembunyi di dada Joko Wandiro.

   "Ada Apa, Ayu?"

   "Engkau mendengar semua pesan ayah kemarin?"

   

Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini