Ceritasilat Novel Online

Keris Pusaka Sang Megatantra 7


Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang.

   "Wahai, adinda sayang, agaknya perasaanmu sudah sedemikian pekanya sehingga kerisauan hatiku menembusmu dan membuat engkau menjadi gelisah juga. Akan tetapi apa perlunya aku menceritakan hal yang buruk kepadamu dan yang hanya akan membuat engkau merasa khawatir sehingga akan mengurangi sinar kejelitaan mu?"

   "Duh sinuwun pujaan hamba, mengapa paduka berkata demikian? Bukankah hamba ini garwa (isteri) paduka, dan bukankah garwo itu berarti sigaraning nyowo (belahan nyawa) suami dan isteri Itu selalu sehidup semati dengan suaminya, suka sama dinikmati dan duka sama ditanggung, swargo nunut neroko katut(Ke surga ikut ke neraka terbawa)?"

   Mendengar ini, Sang Prabu Erlangga melupakan kerisauan hatinya.

   "Heh-heh..heh, yayi Mandari! Ucapanmu itu hanya merupakan pendapat umum yang salah kaprah! Memang benar bahwa garwa adalah sigaraning nyowo, selagi hidup suami isteri sudah selayaknya membagi rasa, suka sama dinikmati dan duka sama ditanggung. Akan tetapi kalau sudah memasuki alam baka, masing-masing mempunyai tangung jawab dan tempat sendiri-sendiri yang sepadan dengan keadaan masing-masing selama hidup didunia. Seorang isteri tidak hanya swarga nunut neroko katut! Betapapun bijaksana sang suami, kalau sang isteri jahat, tidak mungkin ia akan nunut ke surga dengan suaminya. Sebaliknya, betapapun jahatnya sang suami, kalau isterinya baik budi dan bijak, iapun tidak akan ikut ke neraka bersama sang suami."

   Dengan manja Mandari lalu menjatuhkan diri menelungkup dan meletakkan mukanya di atas pangkuan Sang Prabu Erlangga yang menggunakan kedua tangan mengelus-elus rambut kepala selir terkasih itu. Satu di antara daya tarik yang sangat kuat dari wanita ini adalah rambutnya. Rambut itu halus lemas hitam berikal dan panjangnya sampai ke lutut!

   Ketika itu, gelungan rambutnya yang sejak tadi memang longgar itu terlepas dan rambutnya terurai seperti selendang dari benang sutera hitam melibat tubuhnya. Indah sekali.

   "Kalau paduka tidak berkenan dan tidak percaya kepada hamba, paduka tidak menceritakan kepada hamba juga tidak mengapa, sinuwun. Hamba dapat menerimanya, hamba juga rumangsa (tahu diri) bahwa hamba hanyalah seorang selir....."

   Kata Mandari manja.

   Sang Prabu Erlangga merangkulnya.

   "Tentu saja aku percaya sepenuhnya kepadamu, yayi. Nah, dengarlah berita yang tidak menyenangkan itu. Paman Empu bharada dating memberi peringatan kepadaku bahwa dia merasakan adanya ancaman malapetaka yang akan melanda Mataram, yaitu akan datangnya perang besar, banjir darah dan bunuh membunuh antara manusia."

   "Aduh, sinuwun. Bagaimana mungkin pertapa itu dapat menggambarkan keadaan yang akan datang?"

   Tanya Mandari dengan hati terkejut dan cemas.

   "Engkau tidak tahu, diajeng. Paman Empu Bharada adalah seorang yang bijaksana dan sidda paningal (sempurna penglihatan batinnya) sehingga dia seolah dapat mengetahui atau merasakan hal-hal yang belum terjadi."

   "Sinuwun, kalau begitu, paduka harap tenang dan jangan khawatir. Hambamu ini yang siap untuk membantu, kalau perlu berkorban nyawa, untuk menjaga keselamatan paduka."

   "Hemm, aku senang mendengar ucapanmu yang menunjukkan kesetiaanmu Mandari. Akan tetapi aku tidak menkhawatirkan keselamatan sendiri, yang kuprihatinkan adalah kemelut yang mengorbankan nyawa banyak kawulak itu. Yah, kalau Sang Hyang Widhi sudah menghendaki demikian, apa yang dapat kita lakukan? Menurut Paman Empu Bharada, semua itu merupakan akibat dari pada sebab, akan tetapi aku belum dapat menemukan apa yang menjadi sebab datangnya ancaman marabahaya ini."

   "Ah, paduka pujaan hamba, harap jangan berduka. Hamba sanggup untuk membantu paduka mencari apa yang menjadi penyebabnya."

   Dengan gaya yang amat menarik dan memikat, Mandari mempergunakan semua kecantikan dan kepandaiannya untuk menghibur hati Sang Prabu Erlangga. Harus diakui bahwa Mandari, seperti juga kakaknya, Lasmini yang menjadi selir Ki Patih Narotama, biarpun ketika diboyong ke Kahuripan masih gadis dan belum pernah berhubungan dengan pria, namun dalam hal memikat hati pria memiliki bakat dan kepandaian istimewa. Semua ini mereka dapatkan dari lingkungan pergaulan di istana Kerajaan Parang siluman.

   Sang Prabu Erlangga yang memang sedang terpesona oleh kecantikan Mandari, segera dapat terhibur dan tenggelam dalam lautan madu asmara dengan buih-buih nafsu berahinya yang memabokkan, lupa akan segala.

   Betapapun pandai dan kuatnya seorang manusia, tetap saja dia merupakan mahluk lemah yang terkadang menjadi bodoh dan lemah tak berdaya, ringkih dan menjadi permainan dari nafsunya sendiri Nafsu yang telah diikut sertakan kepada manusia sejak dia lahir, yang semestinya menjadi peserta dan pelayan manusia agar manusia dapat bertahan hidup dan dapat menikmati kehidupan di dunia ini seringkali berubah menjadi majikan yang menyesatkan. Kita ditungganginya, dipermainkannya, hati akal pikiran kita dikuasainya sehingga kita menuruti segala kehendaknya, kehendak iblis yang bersenjatakan nafsu, kita ditundukkan dengan pancinganpancingan kesenangan dan kenikmatan duniawi, dengan umpan pancingan yang serba enak-kepenak. Oleh karena itulah, seorang yang bijaksana akan selalu eling (ingat) dan waspada, ingat setiap saat kepada Sang Hyang Widhi, mohon kekuatan dan bimbinganNya dan waspada terhadap gejolaknya nafsu daya rendah yang selalu siap menerkam dan menguasai kita.

   Pemuda itu duduk diam bagaikan arca di atas batu karang besar itu. Batu karang yang cukup tinggi sehingga pecahan air laut bergelombang yang membentur karang itu tidak sampai mencapai pemuda itu. Dia memegang sebatang walesan (tangkai pancing), duduk diam tak bergerak sedikitpun, sepasang matanya menatap tali pancing yang sebagian tenggelam dalam air, yang bergoyang-goyang terbawa air berombak, hampir tak pernah berkedip. Perasaannya berpusat pada jari tangan yang memegang tangkai pancing karena dari situlah dia akan dapat mengetahui apabila umpannya disambar ikan.

   Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap, bentuknya gagah dan kokoh seperti Sang gatotkaca. Kedua lengannya tampak berisi kekuatan dahsyat. Wajahnya yang tertutup sebuah caping lebar itu tampan dan gagah. Matanya lebar dan mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya terhias senyum mengejek yang membayangkan keangkuhan. Pakaiannya terbuat dari kain halus, potongannya seperti bangsawan! kain pengikat kepalanya juga baru, dilibatkan di kepalanya dengan bentuk yang khas, ujungnya berdiri meruncing di bagian belakang. Kain pengikat kepala ini tersembunyi di bawah caping lebar yang dipakainya untuk melindungi wajahnya yang tampan halus dari sengatan panas matahari siang itu.

   Sudah berjam-jam dia duduk memancing di atas batu karang itu, namun belum sekalipun juga umpan pancingnya disentuh ikan. Alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya mulai tak sabar. Tangan kirinya meraih ujung batu karang dan sekali dia mengerahkan tenaga, ujung batu karang itu sempal (terpotong patah) Kemudian pandang matanya mencari cari ke atas permukaan air yang bergerak-gerak di bawah batu karang. Pandang mata yang tajam itu dapat menangkap berkelebatnya bayang-bayang dalam air dan tiba-tiba tangan kiri yang memegang potongan batu karang sebesar kepalan itu bergerak cepat. Batu karang itu meluncur ke arah air.

   "Syuuuuutt ..... cupp .....!!"

   Batu karang itu masuk ke air dan tampak air bergerak keras, memercik-mercik ke atas dan seekor ikan meloncat ke atas permukaan air, lalu mengambang dengan perutnya yang putih di atas. Ikan sebesar paha manusia itu mati dengan kepala pecah! Bukan main hebatnya sambitan batu karang itu, dapat mengenai kepala ikan yang berenang di bawah permukaan air dengan tepat dan sekaligus membuat kepala yang keras itu pecah! Wajah tampan itu tersenyum dan tangan kirinya menepuk caping di kepalanya.

   'Tolol kau! Datang ke sini bukan untuk mencari ikan, melainkan untuk berlatih kesabaran!"

   Siapakah pemuda yang tangkas ini? Dia adalah Lingga jaya, pemuda putera kepala dusun Suramenggala dusun Karang Tirta yang lima tahun lalu diculik kemudian menjadi murid Resi Bajrasakti dan dibawa ke Kerajaan Wengker. Selama lima tahun, dia telah digembleng oleh gurunya, kini dia telah menguasai berbagai aji kesaktian yang dahsyat. Resi Bajrasakti senang dan puas hatinya melihat muridnya ini karena pemuda ini benar-benar berbakat baik sehingga dalam waktu lima tahun saja telah mampu menerima semua ajiannya. Hanya sedikit yang dianggapnya masih kurang pada diri Linggajaya, yaitu kesabaran. Karena itu selama beberapa hari dia menyuruh muridnya itu melatih kesabaran dengan memancing ikan di Laut Kidul.

   Sejak pagi tadi Linggajaya melatih kesabaran dan memancing, akan tetapi karena sampai siang belum juga ada ikan menyentuh umpan pada pancingnya, ia menjadi kesal dan membunuh seekor ikan besar dengan sambitan batu karang. Akan tetapi dia mencela diri sendiri dan teringat bahwa pekerjaannya memancing ikan hanya merupakan latihan kesabaran dan ketenangan dan dia merasa bahwa latihannya gagal karena dia merasa kesal dan tidak sabar.

   Linggajaya lalu membuang tangkai pancingnya ke laut dan dia segera bangkit dan melompat dari batu karang itu ke batu karang yang lain. Dengan tubuh ringan dia berloncatan sampai akhirnya ia tiba di tepi pantai. Kemudian dia berlari cepat menuju ke utara, ke Kerajaan Wengker. Larinya cepat bukan main sehingga yang tampak hanya bayangannya berkelebat. Inilah merupakan satu di antara aji kesaktian yang sudah dikuasai Linggajaya. Tubuhnya menjadi ringan dan tenaga yang mendorongnya meluncur ke depan amat kuatnya. Di samping aji kanuragan yang membuat pemuda ini menjadi seorang yang digdaya, dia juga mewarisi ilmu-ilmu sihir yang diajarkan gurunya. Bukan hanya kesaktian yang diperolehnya, namun lingkungan hidup di Kerajaan Wengker yang penuh kemaksiatan itupun mempengaruhi watak Linggajaya. Pada dasarnya, ketika masih menjadi pemuda putera lurah di Karang Tirta, dia sudah merupakan seorang pemuda yang tinggi hati, manja, mengandalkan kedudukan ayahnya sebagai orang "nomor satu"

   Di dusun Karang Tirta dan suka bertindak sewenang-wenang melindas siapa saja yang berani menentangnya. Setelah menjadi murid Resi Bajrasakti dan hidup di Kerajaan Wengker selama lima tahun, tabiatnya tidak berubah bahkan dipengaruhi lingkungan yang lebih bejat lagi!

   Akan tetapi, dia kini berubah menjadi seorang pemuda yang ganteng, pesolek, pandai membawa menutupi watak buruknya dengan penampilan yang menyenangkan. Wataknya yang mata keranjang sejak remaja menjadi lebih matang dan dia terkenal sekali di antara para gadis di kota raja Wengker, baik para puteri di lingkungan istana maupun para gadis yang tinggal di luar istana. Dia terkenal sebagai seorang pemuda perayu yang membuat banyak gadis tergila-gila.

   Resi Bajrasakti sendiri adalah seorang yang suka memperdalam ilmu sesatnya dengan cara yang cabul dan kotor, lihat ulah muridnya, dia tidak menegur, tidak marah, bahkan merasa bangga dan sering memuji Linggajaya sebagai seorang pria yang "jantan"

   Seperti Sang Arjuna. Tentu saja pujian gurunya ini membuat Linggajaya menjadi semakin berkepala besar dan semakin nekat. Bukan saja para gadis yang cantik menarik dirayunya, bahkan dia berani merayu isteri orang yang menarik hatinya. Tidak ada wanita yang tidak jatuh oleh rayuannya karena dia menggunakan aji pameletan yang ampuh! Hanya sayang, Linggajaya menganggap para wanita di Kerajaan Wengker kurang menarik, gerak geriknya kasar sehingga jarang ada wanita yang benar-benar menarik perhatiannya.

   Di kerajaan tetangga, yaitu Kerajaan parang Siluman yang berada di pantai Laut Kidul, di sanalah tempatnya para Wanita yang cantik jelita dan menarik. Menurut dongeng, daerah itu dahulu menjadi tempat para pangeran dan bangsawan tinggi Mataram bertamasya dan para bangsawan itu banyak yang memadu kasih dengan para wanita daerah itu sehingga keturunan mereka berwajah elok. Prianya ganteng-ganteng, wanitanya cantik-cantik dan berkulit kuning mulus. Akan tetapi Linggajaya tidak berani bermain gila di daerah Kerajaan Parang siluman yang diperintah oleh Ratu Durgakala yang terkenal cantik jelita. Daerah ini merupakan daerah larangan. Gurunya, Resi Bajrasakti berulang kali memperingatkan agar dia tidak mengganggu para wanita daerah kerajaan kecil itu karena Kerajaan Parang Siluman itu biarpun kecil memiliki banyak orang sakti dan kerajaan itupun menjadi sahabat Kerajaan Wengker dalam menghadapi Mataram atau yang kini disebut Kerajaan Kahuripan.

   Pernah pasukan Mataram dahulu menyerang Kerajaan Wengker, namun berkat perlawanan Raja Wengker, yaitu Raja Adhamapanuda, dibantu oleh pasukan Kerajaan Parang Siluman, maka serangan Mataram yang berkali-kali itu gagal. Sampai sekarang masih berlangsung semacam "perang dingin"

   Antara Kahuripan dengan Wengker dan Parang Siluman.

   KETIKA LINGGAJAYA tiba di perbatasan antara daerah Parang Siluman dan daerah Wengker, di sebuah dusun, matahari telah condong ke barat, bunyi gamelan menarik perhatiannya dan ia pun memasuki dusun itu, selain untuk melihat ada perayaan apa di dusun Sumber itu, juga karena perutnya terasa lapar dan dia ingin mendapatkan makanan.

   Setelah tiba di tempat keramaian, ternyata ada pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun Sumber itu. Putera kepala dusun itu sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis dari daerah Parang Siluman. Linggajaya tersenyum girang. Kebetulan sekali, pikirnya tersedia hidangan yang enak untuknya. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun memasuki tempat perayaan itu.

   Karena seorang pemuda ganteng yang berpakaian seperti seorang bangsawan, maka lurah Sumber yang bernama Kartodikun itu menyambutnya dengan hormat dan Linggajaya malah mendapat tempat terhormat, di jajaran para tamu yang dihormati, dekat tempat duduk kedua mempelai!

   Ketika hidangan disuguhkan, Linggajaya makan sampai kenyang dan setelah makan barulah dia memperhatikan sekitarnya. Baru dia melihat dengan hati terguncang betapa ayu manisnya mempelai wanita itu! Kulitnya yang kuning mulus, wajahnya yang manis, segera menarik hatinya. Di daerah Wengker jarang dia melihat gadis secantik itu! Dia mengerling ke arah mempelai pria. Seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, ciri khas orang-orang Kerajaan Wengker. Sayang sekali, pikirnya, gadis yang begitu ayu manis, bertubuh mulus menggairahkan, akan menjadi isteri seorang laki-laki yang buruk rupa dan kasar!

   Dari tempat duduknya, Linggajaya lalu mengerahkan tenaga batinnya melalui pandang mata yang tertuju kepada mempelai wanita yang sejak tadi menundukkan mukanya itu. Sebentar saja mempelai wanita itu terpaksa mengangkat muka karena ada Suatu dorongan yang amat kuat memaksanya untuk mengangkat muka dan menoleh ke kanan.

   Pandang mata gadis itu bertemu dengan wajah Linggajaya dan seketika gadis itu terpesona. Di antara para tamu, apa lagi dibandingkan pria yang duduk di sampingnya sebagai calon suaminya, maka Linggajaya tampak seperti Arjuna di antara para raksasa! Linggajaya juga memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sejenak. Linggajaya tersenyum kepada mempelai wanita itu. Gadis itupun tersipu, menundukkan mukanya lagi dengan senyum tersungging di bibirnya yang manis. Kenyataan ini merupakan tanda yang cukup jelas bagi Linggajaya dan dia pun sudah mengambil keputusan untuk menggunakan kesempatan itu dan bersenang-senang malam ini di rumah Ki Lurah Kartodikun! Ketika para tamu dibubaran, diapun ikut keluar.

   Malam itu, rumah ki lurah masih meriah dengan bunyi gamelan. Tamunya tidak banyak karena yang datang hanya yang siang tadi tak sempat datang dari perayaannya siang tadi. Akan tetapi gamelan masih terus dimainkan, mengiringi suara tiga orang pesinden. Banyak orang yang menonton di luar pagar pekarangan. Akan tetapi, sepasang mempelai tidak tampak di luar. Mereka sudah lelah mengikuti upacara dan pesta sehari tadi dan kini mereka berdua sudah berada di kamar pengantin yang dijaga beberapa orang di luar pintu kamar untuk melindungi mereka dari gangguan. Tampaknya semua aman saja dan semua orang, sambil tersenyum penuh pengertian, saling berbisik dan mengira bahwa sepasang mempelai tentu sedang berasyik masyuk

   sendiri.

   Akan tetapi, tidak ada seorangpun menduga apa lagi mengetahui, bahwa begitu sepasang mempelai tadi memasuk kamar dan memasang palang pada daun pintu dari dalam, terjadilah sesuatu yang luar biasa. Ketika putera Lurah dusun Sumber itu selesai memasang palang pintu dan hendak menggandeng tangan isterinya menuju ke pembaringan, tiba-tiba dia melihat halimun atau asap putih turun dari atap memasuki kamar itu.

   Sarju, mempelai pria yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu adalah seorang pemuda Wengker yang rata-rata memiliki kegagahan dan keberanian. Dia pun tidak asing dengan keanehan yang terjadi sebagai hasil Ilmu sihir, maka tahulah dia bahwa ada sesuatu yang tidak beres memasuki kamarnya. Mungkin sebangsa siluman atau orang yang mempergunakan ilmu setan. Sementara itu, Sarikem, mempelai wanita yang berusia delapan belas tahun, juga melihat halimun atau asap putih yang turun dari atas itu. Ia menjadi ketakutan dan cepat berlari dan naik ke atas pembaringan, mepet di dinding sambil memandang kearah Sarju yang sudah mencabut kerisnya.

   "Setan! Kalau berani, perlihatkan mukamu!"

   Bentak Sarju.

   Halimun atau asap putih itu membuyar dan tampaklah seorang pemuda tampan berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi Sarju, lalu pemuda itu menoleh ke arah Sarikem dan tersenyum. Sarikem melihat dengan mata terbelalak bahwa pemuda itu bukan lain adalah pemuda ganteng yang dilihatnya menjadi tamu dalam pesta siang tadi. Pemuda itu adalah Linggajaya yang mempergunakan Aji Panglimutan.

   Melihat pemuda ini, Sarju terkejut dan heran karena dia belum pernah melihatnya. Siang tadi dia tidak memperhatikan para tamunya dan tidak melihat Linggajaya.

   "Heh! Siapa kamu? Berani mati memasuki kamar tanpa ijin!"

   Bentak Sarji Suaranya cukup lantang dan hal ini memang dia sengaja untuk menarik perhatian para penjaga di luar kamarnya.

   Akan tetapi tanpa dia sadari, Linggajaya telah mengerahkan kekuatan sihirnya sehingga pada saat itu suara Sarju yang dirasakannya lantang itu hanya terdengar lirih saja sehingga tidak mungkin terdengar dari luar kamar.

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Keris Pusaka Sang Megatantra (seri ke 01 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   "Aku adalah Dewa Asmara. Aku lebih berhak atas diri gadis ini daripada engkau!"

   Sarju marah sekali dan sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau terluka dia sudah menerjang dengan kerisnya. Dengan pengerahan tenaganya dia menusukkan keris itu ke arah perut Linggajaya. Linggajaya sudah dapat menduga bahwa laki-laki tinggi besar itu hanya mengandalkan tenaga kasar saja dan kerisnyapun bukan pusaka ampuh, maka sambil tersenyum saja membiarkan perutnya ditusuk.

   "Singg ....."

   Keris itu berdesing dan dengan kuatnya menghujam ke arah perut LinggaJaya. Melihat ini, Sarikem memejamkan matanya karena ngeri membayangkan perut pemuda tampan itu akan mengucurkan darah.

   "Tuk-tuk.....!"

   Dua kali keris itu menusuk perut, akan tetapi alangkah kagetnya hati Sarju ketika merasa seolah kerisnya bertemu dengan baja! Dia menjadi penasaran sekali melihat bahwa yang tertusuk robek hanya baju pemuda itu. Maka dia mengerahkan seluruh tenaganya, kini menusuk ke arah dada.

   "Wuuuttt ..... krekkk .....!"

   Kerisnya patah menjadi dua dan sebelum dia dapat berbuat sesuatu, tangan kiri Linggajaya menampar ke arah leher Sarju.

   "Wuutt ..... plak ......'"

   Sarju terkulai roboh dan tak dapat bergerak lagi karena tamparan itu membuat dia pingsan Dengan kakinya Linggajaya mendorong tubuh Sarju yang pingsan itu ke kolong pembaringan sehingga tidak tampak. Sarikem yang tadi memejamkan mata setelah tidak mendengar adanya gerakan lagi, lalu memberanikan diri membuka matanya dengan hati merasa ngeri. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat pemuda ganteng itu berdiri di dekat pembaringan sambil tersenyum kepadanya sedangkan calon suaminya tidak tampak lagi.

   Biarpun Sarikem amat kagum dan tertarik kepada pemuda yang ganteng itu, berbeda jauh dari calon suaminya yang hilang, namun karena pemuda itu asing baginya, ia merasa khawatir juga,

   Kalau saja ia menjadi hamba manusia. Akan tetapi, kalau sampai nafsu berahi memperhamba manusia, maka seperti nafsu-nafsu lainnya, ia akan menyeret manusia ke dalam perbuatan-perbuatan jahat dan tidak bersusila. Kalau nafsu berahi memperhambakan manusia maka muncullah perjinaan, pelacuran, bahkan perkosaan!

   Linggajaya juga menjadi hamba nafsu berahi sehingga dia melakukan perbuatan yang hina dan keji. Gamelan di ruangan depan rumah Ki Lurah Kartodikun yang semalam suntuk dibunyikan itu akhirnya berhenti setelah fajar menyingsing dan terdengar ayam jantan berkokok menyambut munculnya cahaya lembut yang menandakan bahwa matahari akan segera tersembul di balik bukit.

   Sarju yang tadinya rebah pingsan di kalong pembaringan, kini membuka mata dan siuman dari pingsannya, seperti orang baru bangun tidur. Dia merasa bingung karena mendapatkan dirinya rebah di kolong pembaringan. Ketika pandang matanya bertemu dengan keris patah yang menggeletak di sudut kamar, teringatlah dia akan perkelahiannya semalam melawan pemuda asing itu. Dia segera menggulingkan dirinya keluar dari bawah pembaringan lalu bangkit berdiri. Matanya terbelalak dan mukanya merah sekali ketika dia melihat Sarikem tidur pulas berangkulan dengan pemuda yang semalam memasuki kamar itu.

   "Jahanam busuk!"

   Bentaknya dan dia melupakan pengalaman semalam betapa dia sama sekali bukan tandingan pemuda yang sakti mandraguna itu. Setelah membentak dengan suara lantang, dia lalu menangkap lengan Linggajaya dan menyeretnya turun dari atas pembaringan!

   Sarikem terbangun dari pulasnya oleh gerakan dan suara ini, dan ia membuka matanya, terkejut melihat Sarju menyeret Linggajaya turun dari pembaringan. Ia bangkit duduk dan menjerit karena kaget dan takut.

   Linggajaya segera sadar dan dia melihat Sarju sudah mengayun kepalan tangannya untuk memukul mukanya. Linggajaya menggerakkan tangan kanan, miringkan tubuh dan menangkap lengan yang bergerak memukulnya. Sekali mengerahkan tenaga dan jari-jari tangannya mencengkeram, tulang lengan Sarju menjadi patah-patah. Sarju berteriak mengaduh, akan tetapi kaki Linggajaya menendangnya dan tubuhnya terlempar menabrak pintu kamar. Begitu kuatnya tubuhnya menabrak daun pintu sehingga daun pintu itu jebol dan tubuh Sarju menggelinding keluar.

   Empat orang yang bertugas jaga di luar kamar pengantin adalah jagoan-jagoan yang menjadi jagabaya (penjaga keamanan) di dusun Sumber. Tadipun mereka sudah merasa heran mendengar suara Sarju memaki di dalam kamar itu. Kini terdengar suara gedubrakan dan tiba-tiba daun pintu jebol dan tubuh Sarju menggelinding keluar. Tentu saja mereka terkejut sekali. Mereka cepat melonggokan dalam kamar dan melihat seorang pemuda tampan sedang membereskan pakaian yang tadinya awut-awutan, sedang mempelai wanita mendekam di atas pembaringan sambil menangis ketakutan. Tanpa dikomando lagi empat orang jagoan itu segera berlompatan masuk dalam kamar, mengepung Linggajaya yang membereskan pakaiannya sambil tersenyum dengan sikap tenang sekali.

   "Hei, siapakah engkau? Menyerahlah untuk kami tangkap!"

   Bentak seorang diantara mereka yang kumisnya tebal dan panjang melintang.

   Linggajaya membereskan kain pengikat kepala sambil tersenyum dan tidak tergesa-gesa, setelah semua pakaiannya beres dan rapi kembali, baru dia berkata "Kalian hendak menangkap aku? Nah tangkaplah kalau kalian bisa!"

   Si kumis tebal memerintahkan temannya yang bertubuh gempal pendek.

   "Suro, tangkap dan belenggu kedua tangannya Kita hadapkan kepada Ki Lurah!"

   Suro yang bertubuh pendek gempal dan tampaknya kokoh kuat itu segera maju dan dia sudah membawa segulung tali. Dengan cepat dia menangkap lengan kiri Linggajaya, menelikungnya ke belakang, disatukan dengan lengan kanan lalu mengikat kedua pergelangan tangan pemuda itu dengan kuat. Linggajaya tersenyum geli seolah melihat pertunjukan yang lucu. Setelah kedua lengan itu diikat kuat kuat, si kumis tebal membentak pemuda tampan itu.

   "Hayo ikut kami menghadap Ki Lurah!"

   Akan tetapi Linggajaya menggerakkan dua tangannya dan tali yang membelenggunya itu putus, kedua lengannya sudah bebas lagi.

   "Hemm, kalian anjing-anjing buduk pergilah dan jangan mengganggu aku!"

   Kata Linggajaya.

   Empat orang itu terkejut dan marah sekali. Mereka mencabut klewang (golok) yang terselip di pinggang lalu menyerang pemuda itu dari depan, belakang, kanan dan kiri. Akan tetapi Linggajaya dengan gerakan cepat memutar tubuhnya seperti gasing, kedua tangannya bergerak cepat empat kali dan empat orang itu berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali! Linggajaya lalu menghampiri pembaringan, mengelus rambut yang terurai itu dan mencubit dagu Sarikem, lalu berkata,

   "Manis, aku pergi sekarang."

   Sarikem yang kebingungan dan ketakutan, menjerit.

   "Kakangmas, bawalah aku pergi! Aku ikut.....!"

   Akan tetapi Linggajaya sudah melompat ke atas dan menjebol atap yang semalam dia tutup kembali ketika memasuki kamar itu. Mana dia mau perduli kepada Sarikem. Setelah apa yang terjadi semalam nafsunya telah terlampiaskan dan dia tidak mau mengacuhkan lagi gadis itu, tidak mau tahu nasib apa yang akan menimpa dirinya. Tentu saja dia tidak sudi membawa pergi Sarikem yang hanya akan menjadi beban saja baginya Setelah keinginannya tercapai, diapun tidak menginginkan lagi wanita itu!

   Dengan mempergunakan kesaktiannya Linggajaya berlari seperti angin cepat dan menjelang tengah hari dia sudah sampai di rumah tinggal Resi Bajrasakti yang berupa sebuah gedung yang cukup mewah Resi Bajrasakti merupakan datuk Kerajaan Wengker, menjadi penasihat utama dari Raja Adhamapanuda, yaitu raja Wengker yang berusia empat puluh lima tahun.

   Linggajaya disambut oleh empat orang wanita muda yang rata-rata berwajah cantik. Mereka adalah selir-selir Resi Brajasakti dan mereka juga diam-diam mengadakan hubungan gelap dengan Linggajaya, bahkan mereka berempat ini yang menjadi "guru-guru"

   Pemuda itu dalam olah asmara. Tentu saja Resi Bajrasakti tidak mudah dikelabui dan tahu bahwa empat orang selirnya itu bermain gila dengan muridnya. Akan tetapi dasar perangainya sendiri sudah bobrok dia tidak menjadi marah bahkan merasa bangga karena muridnya itu tidak saja mewarisi ilmu-ilmunya, bahkan juga mewarisi wataknya yang mata keranjang dan tidak mau melewatkan wanita cantik begitu saja! Ketika Linggajaya memasuki ruangan dalam, gurunya sedang duduk di situ. Linggajaya cepat memberi hormat kepada gurunya.

   "Bapa guru,"

   Katanya sebagai salam.

   "Hemm, Linggajaya, bagaimana dengan latihanmu? Sudahkah engkau dapat memupuk kesabaranmu? Kesabaran itu penting sekali agar engkau dapat mengendalikan diri, tidak menjadi mata gelap dan lengah karena dipengaruhi perasaan."

   "Sudah, bapa. Baru pagi tadi saya berhenti memancing."

   "Bagus, sekarang bergantilah pakaian yang pantas. Kita harus menghadap Gusti Adipati."

   "Menghadap Gusti Adipati? Ada kepentingan apakah, bapa resi?"

   "Ada tugas penting untukmu. Engkau sudah cukup mempelajari semua aji kanuragan dariku. Kepandaian itu harus kaupergunakan untuk mencari kedudukaan dan kemuliaan. Gusti Adipati hendak menyerahkan tugas penting kepadamu. Engkau harus menyanggupinya, dan kalau engkau berhasil dengan tugasmu itu, ha ha, tentu engkau akan memperoleh kedudukan yang tinggi."

   Linggajaya lalu pergi mandi dan berganti pakaian baru. Kemudian bersama gurunya mereka pergi menghadap Adipati Adhamapanuda yang menjadi raja Kerajaan Wengker. Sebagai penasihat raja atau adipati, Resi Bajrasakti dapat masuk sewaktu-waktu ke istana tanpa ada perajurit pengawal yang berani menghalanginya.

   Setelah tiba di ruangan depan istana, Resi Bajrasakti memanggil kepala pengawal dan menyuruhnya menghadap dan melaporkan kepada Adipati Adhamapanuda bahwa dia bersama muridnya mohon menghadap. Setelah kepala pengawal pergi ke dalam istana, guru dan murid itu duduk menanti di pendopo itu. Biarpun sudah beberapa kali Linggajaya memasuki istana diajak gurunya, tetap saja kini dia masih mengagumi ruangan istana yang indah dengan prabot ruangan yang serba bagus dan mewah. Gedung tempat tinggal gurunya yang besar itupun bukan apa-apa dibandingkan dengan istana adipati. Apa lagi rumah orang tuanya di Karang Tirta, walaupun merupakan rumah terbesar dan terindah di dusun itu, namun seolah sebuah gubuk miskin saja dibandingkan istana ini! Diam-diam timbul keinginan dalam hatinya. Kalau saja dia yang menjadi raja dan memiliki istana ini! Alangkah akan senangnya dan bangganya! Lamunan Linggajaya membuyar ketika kepala pengawal itu muncul dan mengatakan kepada Resi Bajrasakti bahwa sang adipati telah menanti di ruangan samping, di mana sang adipati biasa menerima para pamong praja dan pembantunya.

   Ruangan itu luas sekali dan Raja Adhamapanuda sudah duduk di atas kursi kebesarannya dan di depannya telah disediakan kursi untuk Resi Bajrasaki yang menjadi penasihatnya. Setelah memberi hormat, sang resi duduk atas di kursi itu dan Linggajaya duduk bersila menghadap sang adipati atau Raja Wengker itu.

   "Ah, kakang resi telah datang sama muridmu. Siapa nama muridmu ini kakang resi? Aku lupa lagi namanya."

   Kata raja yang bertubuh tinggi besar bermuka brewok dan kedua lengannya berbulu lebat seperti seekor lutung. Suaranya besar parau dan matanya yang lebar itu memandang penuh selidik kepada Linggajaya yang duduk bersila di depannya. Karena gurunya memandang kepadanya, Linggajaya lalu menyembah dan menjawab,

   "Nama hamba Linggajaya, Gusti."

   "Oh ya, sekarang aku ingat. Kakang resi, apakah muridmu ini sudah menguasai semua aji kesaktian yang andika ajarkan kepadanya selama ini?"

   "Sudah, Adi Adipati."

   "Bagus! Boleh kami mengujinya?"

   "Tentu saja, silakan!"

   "Heh, Linggajaya, kami ingin menguji kemampuanmu. Beranikah engkau melawan Limantoko, pengawal pribadi kami?"

   Tanya sang adipati kepada Linggajaya.

   Pemuda itu sudah tahu bahwa Limantoko adalah seorang raksasa yang kokoh kuat dan merupakan jagoan istana Wengker. Akan tetapi menurut keterangan gurunya, Limantoko hanyalah seorang kasar yang mengandalkan tenaga kasar saja, jadi bukan merupakan lawan yang terlalu berat baginya. Maka tanpa ragu dia menjawab.

   "Hamba sanggup dan berani, gusti adipati."

   "Bagus!"

   Kata Adipati Adhamapanuda yang lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun. Laki-laki ini memang menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar, dua kali tubuh Linggajaya, bahkan lebih tinggi besar dibandingkan tubuh

   sang adipati dan tubuh Resi Bajrasakti sendiri. Seperti seekor gajah dia menghampiri sang adipati dan memberi hormat dengan sembah.

   "Limantoko, kami ingin menguji ketangguhan Linggajaya ini. Lawanlah dia agar kami dapat mengetahui sampai di mana kemampuannya."

   "Sendika melaksanakan perintah paduka!"

   Kata Limantoko yang segera bang kit dan menuju ke tengah ruangan yang luas itu, berdiri dengan kedua kaki terpentang dan tampak kokoh kuat seperi batu karang. Dia menoleh ke arah Linggajaya dan berkata dengan suara lantang,

   "Marilah, orang muda, kita main-main sebentar."

   Linggajaya menyembah kepada sang adipati, lalu bangkit berdiri dan menghampiri raksasa itu.

   "Aku telah siap, andika mulailah!"

   Limantoko adalah seorang yang benar benar tangguh karena tenaganya yang besar dan selama ini belum ada orang yang mampu mengimbangi tenaganya. Tentu saja dia gentar menghadapi Resi Bajrasakti karena dia tahu benar bahwa resi itu adalah seorang yang sakti mandraguna dan tidak dapat dilawan oleh kekuatan tenaganya saja. Tetapi menghadapi orang lain, dia memandang rendah.

   Maka, tidak mengherankan kalau diapun memandang rendah kepada Linggajaya, walaupun dia sudah mendengar bahwa pemuda ini murid Resi Bajrasakti selama lima tahun. Dia sendiri melatih diri dengan aji kanuragan sejak muda sampai kini berusia empat puluh tahun. Mana mungkin seorang pemuda yang baru belajar lima tahun saja akan mampu menandinginya?

   
Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Linggajaya jangan membunuhnya,"

   Kata Resi Bajrasakti kepada muridnya.

   Linggajaya menoleh kepada gurunnya sambil tersenyum.

   "Baik, bapa."

   Pesan Resi Bajrasakti itu membuat Limantoko menjadi merah mukanya dan hatinya merasa panas dan marah. Dia merasa dipandang rendah sekali dengan pesan resi itu kepada muridnya, seolah sudah yakin bahwa pemuda itu pasti akan mengalahkannya! Dengan penuh geram dia mulai menyerang.

   "Sambut seranganku!"

   Bentaknya dan tiba-tiba dia membuat gerakan menerkam seperti seekor biruang menangkap kelinci. Kedua lengan yang panjang besar itu bergerak dari kanan kiri dan kedua tangan itu mencengkeram ke arah tubuh Linggajaya, agaknya hendak ditangkapnya tubuh yang baginya kecil itu.

   Namun kedua tangannya saling bertemu, mengeluarkan bunyi keras karena tubuh yang hendak ditangkapnya itu tibatiba saja lenyap. Dengan ketangkasannya Linggajaya sudah melompat menghindar kekiri. Demikian cepat gerakannya sehingga raksasa itu tidak melihat dan tahu-tahu kehilangan lawannya. Akan tetapi sebagai seorang jagoan, Limantoko mendengar gerakan Linggajaya dan cepat dia sudah memutar tubuh ke kanan. Begitu melihat Linggajaya, dia sudah menyerang lagi, kini menggunakan lengannya yang panjang, mengayun tangan kanan untuk menampar ke arah kepala lawan dan tangan kirinya menyusul dengan cengkeraman ke arah pinggang pemuda itu. Serangan ini cepat dan kuat sekali, tamparan itu seperti palu godam raksasa dan kepala Linggajaya dapat remuk kalau terkena dan cengkeraman itupun tidak kalah dahsyatnya. Namun kembali Linggajaya memperlihatkan kesigapannya. Dia mengelak ke belakang lalu melompat ke kanan.

   Setelah serangannya kembali luput, Limantoko menjadi semakin penasaran. Dia menyerang bertubi-tubi, dengan tamparan, pukulan, cengkeraman, bahkan tendangan sehingga angin menderu-deru di ruangan itu. Namun semua serangan itu hanya mengenai tempat kosong belaka. Linggajaya memang hendak memamerkan kelincahan tubuhnya di depan sang adipati. Kalau dia mau, hanya dengan elakan-elakannya saja dia akan dapat membuat raksasa itu kehabisan tenaga dan napas karena baginya gerakan manusia gajah itu terlampau lamban. Limantoko menjadi marah, merasa dipermainkan, maka dia berkata,

   "Orang muda, engkau balaslah kalau mampu!"

   Akan tetapi agaknya Linggajaya memang hendak memamerkan kemampuannya kepada Raja Adhamapanuda. Ketika tangan kanan raksasa itu kembali menyambar, mencengkeram ke arah lehernya dia sengaja menangkis dengan tangan kirinya.

   "Wuutt ..... tappp .....!"

   Lengan kiri Linggajaya dapat dicengkeram, ditangkap oleh tangan raksasa yang besar itu. Linggajaya menggunakan tangan kanan untuk memukul, juga perlahan saja sehingga Limantoko dapat menangkap pula pergelangan tangan kanannya.

   Limantoko girang bukan main telah dapat menangkap kedua pergelangan tangan Linggajaya, sama sekali tidak menduga bahwa pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya ditangkap! Kini Limantoko sambil menyeringai gembira mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh Linggajaya ke atas, untuk kemudian dibanting walaupun dia tidak akan menggunakan sepenuh tenaganya agar pemuda itu tidak sampai mati.

   Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan betapa kedua tangannya tidak kuat mengangkat pemuda itu ke atas! Dia berkali-kali mengerahkan seluruh tenaganya sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh menahan napas, namun tubuh Linggajaya sama sekali tidak dapat diangkatnya. Kedua kaki pemuda itu seolah-olah telah berakar di lantai, bagaikan sebatang pohon yang kuat sekali dan tidak dapat dicabut. Linggajaya sengaja membiarkan dirinya ditangkap hanya untuk memamerkan Aji Selogiri (Batu Gunung) yang membuat tubuhnya seberat batu gunung.

   Setelah membiarkan Limantoko berbekah-bekuh beberapa saat lamanya dan raksasa itu mulai menjadi bingung karena, merasa benar-benar tidak kuat mengangkat tubuh yang baginya kecil saja itu. tiba-tiba Linggajaya melepaskan ajiannya dan tubuhnya kini terangkat ke atas Limantoko kembali merasa girang sekali sehingga dia menjadi lengah. Tiba-tiba Linggajaya menggerakkan kedua kakinya menendang ke arah dagu raksasa itu.

   "Bresss .....!"

   Tubuh Limantoko terjengkang dan pegangannya terlepas.Linggajaya berjungkir balik dan memandang ke arah Limantoko yang jatuh terjengkang sampai terguling-guling!

   "Cukup!"

   Kata Adipati Adhamapanudi "Limantoko, bagaimana pendapatmu Apakah Linggajaya ini cukup tangguh?"

   Limantoko sudah bangkit dan menyembah.

   "Sesungguhnya, gusti, pemuda ini tangguh sekali."

   Adipati Adhamapanuda tertawa senang "Ha-ha-ha, bagus! Engkau boleh mundur Limanto ko."

   Limantoko menyembah lalu mengundurkan diri meninggalkan ruangan itu. Resi Bajrasakti tertawa.

   "Ha-ha-ha, Adi Adipati, sudah hamba katakan berkali-kali bahwa paduka boleh percaya kepada murid hamba ini. Akan tetapi, tugas apakah yang hendak paduka berikan kepada Linggajaya?"

   Adipati Adhamapanuda mengangguk angguk lalu berkata dengan suara bernada serius.

   "Begini, Kakang Resi, dan engkau juga Linggajaya, dengarkan baik baik. Aku mendapat kabar dari Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman bahwa kedua orang puterinya yang cantik jelita itu dipinang oleh Sang Prabu Erlangga dan sekarang bahkan sudah diboyong ke Kahuripan. Lasmini, puterinya yang pertama kini menjadi selir Ki Patih Narotama, sedangkan puterinya yang ke dua Mandari, menjadi selir Sang Prabu Erlangga."

   Resi Bajrasakti mengerutkan alisnya yang tebal dan dia menggeleng-geleng kepalanya.

   "Bukankah dua orang puterinya itu, seperti yang hamba dengar, ikut dan menjadi murid Ki Nagakumala, (kakak ibu) dua orang gadis itu sendiri yang bertapa di Pegunungan Kidul?"

   "Benar sekali, kakang resi."

   Resi Bajrasakti menepuk pahanya sendiri.

   "Tak tahu malu! Kenapa orang orang tua itu menyerahkan puteri-puteri mereka kepada Erlangga dan Narotama yang menjadi musuh-musuh besar kita? Apakah kini Parang Siluman sudah hendak bertekuk lutut dan menyerah kepada Kahuripan tanpa berperang?"

   "Bukan begitu, kakang resi. Penyerahan dua orang gadis itu malah merupakan siasat yang bagus sekali. Lasmini dan Mandari adalah dua orang gadis cantik jelita yang juga pandai dan telah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi dari uwa dan ibu mereka. Mereka sengaja diberikan karena mereka berdua itu dapat memperoleh kesempatan baik untuk membunuh Erlangga dan Narotama."

   "Waahh, itu gagasan yang terlalu muluk! Kita semua mengetahui bahwa Erlangga dan Narotama adalah dua orang yang sakti mandraguna. Hamba kira Ki Nagakumala sendiri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Apa lagi hanya dua orang gadis muridnya!"

   "Akan tetapi dua orang gadis itu memiliki kelebihan yang tidak kita milik yaitu kecantikan mereka yang luar biasa. Dengan kecantikan mereka inilah mereka hendak menundukkan Erlangga dan Narotama sehingga mereka mendapatkan kesempatan untuk membunuh raja dan patihnya itu. Menurut surat Ratu Durgamala yang diberikan kepadaku, Mandari telah berkunjung dan puterinya itu menceritakan bahwa ia mulai dapat memikat hati Erlangga sehingga ia menjadi selir terkasih. Dan mereka telah mengatur siasat, kalau membunuh raja dan patihnya yang sakti mandraguna itu tidak berhasil, mereka akan berusaha untuk mengadu domba antara raja dan patihnya itu atau setidaknya akan menimbulkan kekacauan sehingga Kahuripan menjadi lemah. Kalau sudah begitu, Ratu Durgamala minta kepadaku untuk bersama sama mengerahkan pasukan dan memukul Kahuripan yang sedang kacau dan lemah itu. Bagaimana pendapatmu, kakang resi?"

   Kini Resi Bajrasakti mengangguk angguk dan wajahnya berseri.

   "Bagus, bagus sekali Tidak hamba kira bahwa Ratu Durgamala yang cantik jelita itu dapat membuat siasat yang demikian hebatnya!"

   "Siasat itu diatur oleh Ratu Durgamala, Ki Nagakumala, dan juga Lasmini dan Mandari. Dua orang gadis jelita itu memang hebat, sudah sakti cantik jelita pula sehingga senjata mereka berdua itu lengkap!"

   Kata Adipati Adhamapanuda.

   "Hamba kira kita sudah semestinya membantu mereka. Lalu tugas apakah yang akan paduka berikan kepada Linggajaya?"

   "Begini, kakang resi dan engkau, Lingajaya. Aku hendak mengirimmu ke kahuripan dan engkau menjadi mata-mata kami. Kalau kami mengirim seorang tokoh Wengker, mungkin akan mudah ketahuan. Akan tetapi engkau adalah orang dari daerah Kahuripan, maka tidak akan ada yang mencurigaimu. Kau hubungilah Lasmini dan Mandari itu dan kau bantu mereka sampai berhasil membunuh raja dan patihnya, atau setidaknya mengadu domba dan membikin kacau. Tugasmu penting sekali, juga berat karena kalau engkau ketahuan, tentu nyawamu terancam. Nah, sanggupkah engkau melaksanakan tugas ini Linggajaya?"

   Linggajaya adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Ayahnya adalah seorang lurah, seorang pamong praja kerajaan Kahuripan. Biarpun dia tidak memiliki watak setia kepada Kahuripan, namun dia adalah kawula Kahuripan. Kalau dia harus berkorban mengkhianati Kahuripan, dia harus mendapatkan imbalan yang sepadan dan yang amat besar. Maka dia menyembah lalu berkata kepada Adipati Adhamapanuda.

   "Ampun, gusti adipati. Tentu saja hamba sanggup melaksanakan tugas berat itu, akan tetapi ada suatu kenyataan yang menjadi penghalang bagi hamba untuk menyanggupinya."

   "Hemm, kenyataan yang bagaimana! Linggajaya?"

   Tanya sang adipati sambil mengerutkan alisnya.

   "Kenyataannya bahwa hamba ini bukanlah seorang punggawa Kerajaan Wengker, bagaimana hamba dapat melaksanakan tugas yang amat penting dan rahasia ini? Bukankah seyogianya tugas sepenting ini dilakukan oleh seorang punggawa yang berkedudukan tinggi, setidaknya seorang senopati?"

   Mendengar ucapan ini, Adipati Adhamapanuda menoleh kepada Resi Bajrasakti dan bertanya.

   "Bagaimana pendapat andika tentang hal ini, kakang resi?"

   Resi Bajrasakti tersenyum.

   "Hamba sekali-kali bukan membela murid hamba, akan tetapi hamba kira ucapannya itu mengandung kebenaran. Kalau Linggajaya tidak menjadi punggawa berkedudukan dan terpercaya di Kerajaan Wengker, bagaimana kita dapat mengharapkan kesetiaan darinya?"

   Adipati Adhamapanuda mengangguk-angguk.

   "Baiklah kalau begitu. Linggajaya, mulai saat ini kami mengangkat andika menjadi senopati muda dengan julukan Senopati Lingga Wijaya!"

   Bukan main girang hati pemuda itu. Akan tetapi dasar dia murka dan juga cerdik, maka dia memberi sembah hormat dan berkata.

   "Hamba menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanaan paduka. Akan tetapi karena hamba hendak melaksanakan tugas yang amat penting dan berat, dan mungkin hamba akan menghadapi lawan-lawan yang tanggu, sedangkan hamba tidak memiliki pusaka ampuh, maka hamba akan bersyukur apa bila paduka berkenan memberi hamba sebuah pusaka untuk pelindung diri hamba, gusti."

   Mendengar ini, Resi Bajrasakti tertawa gembira.

   "Ha-ha-ha, murid hamba ini orangnya jujur, Adi Adipati. Memang hamba belum memberi pusaka kepadanya, karena kalau hamba berikan pusaka hamba Cambuk Gading, tentu banyak tokoh Kahuripan mengenalnya dan dapat menduga bahwa Linggajaya mempunyai hubungan dengan hamba. Karena itu untuk membesarkan hatinya dan demi tercapainya cita-cita kita, hamba mohon paduka merelakan untuk memberikan Ki Candalamanik kepadanya."

   Adipati Adhamapanuda menghela napas panjang. Keris pusaka Ki Candalamanik adalah pusaka keturunan raja-raja Wengker. Akan tetapi untuk menolaknya, dia merasa tidak enak karena pemuda itu memiliki tugas berat.

   "Baiklah,"

   Katanya sambil mencabut keris bersama warangkanya yang terselip di pinggangnya.

   "Terimalah Ki Candalamanik ini, kami pinjamkan kepadamu untuk kaupergunakan dalam tugas ini, Senopati Lingga Wijaya."

   Linggajaya menerima keris itu dan menyembah sambil menghaturkan terima kasih, lalu menyelipkan keris pusaka itu di ikat pinggangnya. Setelah kembali ke gedung Resi Bajrasakti, Linggajaya berkemas dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali pemuda itu meninggalkan kota kerajaan Wengker dan menuju ke dusun Karang Tirta, kembali ke rumah orang tuanya, yaitu Ki Lurah Suramenggala kepala dusun Karang Tirta.

   Apa yang diceritakan oleh Adipati Adhamapanuda, raja Wengker itu kepada Linggajaya memang benar. Dia mendapat surat dari Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman tentang siasat yang melakukan kerajaan yang sejak dulu menjadi musuh Mataram dan sekarang memusuhi Kahuripan itu, siasat keji yang dilakukan melalui dua orang puterinya, yaitu Lasmini dan Mandari.

   Seperti telah kita ketahui, dengan bujuk rayunya yang amat memikat hati Mandari berhasil membuat Sang Prabu Erlangga menceritakan tentang peringatan Sang Empu Bharada tentang banjir darah yang akan terjadi di Kahuripan dan Sang Prabu Erlangga masih bingung karena tidak tahu apa yang menjadi sebab datangnya ancaman malapetaka itu.

   Mandari sendiri kehilangan akal, maka pada suatu hari ia berpamit kepada Sang Prabu Erlangga untuk mengunjungi mbak ayunya, yaitu Lasmini yang menjadi selir Ki Patih Narotama karena ia merasa rindu. Tentu saja Sang Prabu Erlangga mengijinkannya.

   Setelah dua orang kakak beradik itu bertemu, mereka lalu bicara bisik-bisik dalam sebuah kamar tertutup. Ki Patih Narotama juga tentu saja mengijinkan selirnya yang terkasih itu bercengkerama dan melepas kerinduan dengan adiknya sang kini menjadi selir Sang Prabu Erlangga.

   "Aduh Mbakayu Lasmini, ketiwasan (celaka) ....."

   Bisik Mandari setelah mereka duduk berdua di atas pembaringan.

   "Ehh? Ada apakah, Mandari?"

   Tanya Lasmini khawatir. Kalau adiknya bersikap demikian khawatir, pasti terjadi sesuatu yang amat penting dan hebat.

   "Si keparat Empu Bharada itu! Sejak semula, dalam pertemuan pertama matanya sudah memandangku seperti mata kucing, tajam menusuk dan menyelidik. Dan sekarang dia menghadap Sang Prabu Erlangga, memperingatkan sang prabu bahwa akan ada malapetaka menimpa kahuripan, akan ada pertempuran, bunuh membunuh dan banjir darah! Dan Sang Prabu Erlangga menjadi gelisah, mencari apa yang menjadi sebab, kesalahan apa yang dia lakukan sehingga akan timbul malapetaka itu. Bukankah ini gawat sekali?"

   "Hemm ....., dan Sang Prabu Erlangga menceritakan semua itu kepadamu Apakah dia amat percaya kepadamu! Mandari?"

   "Tentu saja dia amat percaya kepadaku! Engkau tahu, mbakayu Lasmini, Sang Prabu Erlangga amat mengasihiku. Apa pun permintaanku tentu dituruti. Karena itu, mendengar tentang empu keparat itu, aku menjadi bingung dan gelisah. Aku sengaja minta ijin berkunjung ke sini untuk minta pendapatmu. Kita harus segera bertindak, mbakayu, sebelum empu keparat itu merusak rencana kita."

   Lasmini mengangguk.

   "Memang gawat, Ki Patih Narotama juga sudah terjerat olehku. Dia amat mencintaku. Akan tapi untuk melangkah selanjutnya dan mencoba membunuhnya, aku tidak berani. Dia sakti mandraguna dan kalau aku gagal membunuhnya, tentu aku akan celaka."

   "Akupun tidak berani melakukan pembunuhan terhadap Sang Prabu Erlangga. Dia amat sakti mandraguna. Aku yakin kalau menggunakan jalan kekerasan kita tidak akan berhasil."

   "Lalu bagaimana rencanamu?"

   Tanya Lasmini.

   "Aku memang mempunyai rencana baik sekali. Akan tetapi aku masih ragu, maka aku datang menemuimu karena siasat ini hanya dapat dilakukan oleh kita berdua."

   Kata Mandari.

   "Bagaimana rencana siasatmu itu?"

   "Begini, mbakayu. Kita adu domba antara Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Sekarang ada kesempatan baik sekali bagiku. Sang Prabu Erlangga sedang mencari sebab mengapa Kahuripan akan dilanda malapetaka. Nah, aku akan mengatakan bahwa hal ini disebabkan ulah Ki Patih Narotama!"

   "Eh? Disebabkan Ki Patih Narotama? Bagaimana ini? Apa maksudmu?"

   Tanya Lasmini heran.

   "Aku akan mengatakan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa sebetulnya dahulu ketika Sang Prabu Erlangga meminang kita, engkau sudah setuju dan bahwa sebetulnya engkau diam-diam mencintai dan mengagumi Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi di tengah perjalanan, Ki Patih Narotama yang berpura-pura mengobatimu, telah menelanjangimu, melihati dan meraba-raba perut dan pusarmu. Akan kukatakan bahwa sampai sekarangpun sebetulnya engkau masih mencinta Sang Prabu Erlangga dan hanya mau menjadi selir Ki Patih Narotama karena terpaksa."

   "Hemm, apakah Sang Prabu Erlangga akan percaya?"

   Tanya Lasmini ragu.

   "Kalau aku yang bilang, tanggung dia percaya. Aku akan membujuknya agar dia minta kepada Ki Patih Narotama agar menyerahkan engkau kepadanya. Nah, dia tentu akan tergerak hatinya dan menuruti permintaanku agar engkau diboyong ke istana untuk menjadi selirnya dan berdekatan denganku."

   "Akan tetapi, bagaimana kalau Ki Patih Narotama yang setia itu menyerahkan aku kepada Sang Prabu Erlangga dengan suka rela? Bukankah itu berarti bahwa siasatmu itu sia-sia belaka? Apa untungnya? Kau tahu, Ki Patih Narotama adalah seorang laki-laki yang amat menyenangkan dan membahagiakan hatiku. Dia jantan, lembut, pendeknya aku jatuh cinta kepadanya!"

   Lasmini tersenyum nanis dan melanjutkan.

   "Kalau hasil siasatmu itu hanya memindahkan aku dari tangan Ki Patih Narotama ke tangan Sang Prabu Erlangga, aku tidak mau. Aku sudah terlanjur cinta kepada Ki Patih Narotama!"

   "Mbakayu Lasmini! Apa engkau sudah lupa akan tugas kita? Aku sendiripun sudah menikmati hidup bahagia dengan Sang Prabu Erlangga! Akan tetapi kita tidak boleh melupakan dendam turun-temurun kita terhadap keturunan Mataram, terutama kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!"

   "Aku tidak pernah melupakan hal itu, Adi Mandari. Akan tetapi kalau hanya memindahkan aku dari kepatihan ke istana, apa untungnya?"

   "Aku belum selesai menceritakan siasatku. Engkau harus membantu. Engkau katakan kepada Ki Patih Narotama bahwa engkau mendengar dariku kalau Sang Prabu Erlangga itu sebetulnya menaksirmu, dan sampai sekarang masih ingin mengambilmu dari tangan Ki Patih Narotama. Pendeknya, bakarlah hatinya agar dia menjadi cemburu. Nah, dengan kecemburuan itu, mungkin dia akan menolak permintaan Sang Prabu Erlangga. Andaikata dia tetap menyerahkanmu maka giliranmu untuk melaporkan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa sesungguhnya Ki Patih Narotama membenci rajanya bahwa kebaikan sikapnya itu hanya pada lahirnya saja, namun di dalam hatinya Ki Patih Narotama penuh iri dan dia aakn mengadakan pemberontakan terhadap Sang Prabu Erlangga. Nah, dengan usaha kita berdua ini, mustahil tidak timbul kemarahan dan kebencian dalam hati mereka, saling curiga, saling marah dan membenci sehingga akhirnya terpecah belah."

   Lasmini mengangguk-angguk.

   "Wah, siasatmu ini hebat sekali, adikku. Baiklah, aku akan berusaha agar Ki Patih Narotama marah kepada Sang Prabu Erlangga."

   Mandari menghela napas panjang.

   "Terus terang saja, usaha kita ini penuh resiko, penuh bahaya. Kita sudah terlanjur mencinta pria yang menjadi suami kita, akan tetapi di samping itu kita berkewajiban untuk mencelakakan mereka atau bahkan membunuh mereka. Akan tetapi, kita tak boleh melupakan bahwa mereka itu sesungguhnya adalah musuh bebuyutan kita!"

   "Engkau benar, adikku. Akan tetapi, untuk mencari kesenangan bagi diri kita sendiri, masih ada banyak waktu dan dimana-mana terdapat laki-laki yang tampan dan gagah, yang akan dapat memberi kenikmatan dan kesenangan kepada kita."

   "Akan tetapi biarpun kita sudah sepakat untuk mengatur siasat mengadu domba antara raja dan patihnya itu, hatiku masih gelisah memikirkan tentang mpu brengsek itu, mbakayu. Dia tetap merupakan ancaman besar bagi kita. Agaknya, entah bagaimana, dia itu sudah dapat mengetahui bahwa kehadiran kita berdua di Kahuripan menvembunyikan niat-niat yang akan merugikan Kahuripan."

   "Memang, kita harus bertindak sekarang juga, Mandari. Karena itu, selagi engkau berada di sini, mari kita mengunjungi Ibu Ratu di Parang Siluman. Kita rundingkan tentang Empu Bharada ini dengan Ibu Ratu. Biarlah ia dan Uwa Nagakumala yang mengatur untuk menyingkirkan empu keparat itu. Aku akan minta ijin Ki Patih, dan kita pergi bersama."

   Demikianlah, setelah minta ijin kepada Ki Patih Narotama bahwa ia dan adiknya akan pergi berkunjung kepada ibu mereka di Parang Siluman dan Patih Narotama mengijinkannya, Lasmini dan Mandari naik kereta dan berangkat ke Kerajaan Parang Siluman di pantai Laut Kidul. Mereka bertemu dengan Ratu Durgamala yang biarpun usianya sudah empatpuluh tahun akan tetapi masih tampak muda dan cantik jelita, tak ubahnya seperti saudara saja dari kedua orang puterinya itu. Di sini siasat mereka diatur lebih matang lagi dan karena kebetulan Ki Nagakumala juga berada di situ, maka ibu dan uwa mereka menyanggupi untuk "membereskan"

   Empu Bharada. Setelah semua siasat diatur rapi, Lasmini dan Mandari kembali ke Kahuripan. Mandari menuju ke istana Raja Erlangga sedangkan Lasmini kembali ke kepatihan.

   Ketika Lasmini memasuki gedung kepatihan dan tiba di ruangan dalam, ia melihat suaminya duduk seorang diri sambil membaca Kitab Weda. Lasmini pura-pura tidak melihat dan terus menlangkah sambil menundukkan mukanya kearah kamarnya.

   

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini