Ceritasilat Novel Online

Nurseta Satria Karang Tirta 12


Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Benar, Bibi."

   Kata Puspa Dewi.

   "Ahh, tentu saja kami lupa. Engkau kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Ya, engkau mirip sekali dengan Nyi Lasmi! Sekarang aku ingat. Engkau telah menjadi seorang gadis cantik jelita, sakti mandaraguna dan baik budi!"

   Nyi Endang Sawitri memandang kagum.

   "Paman Dharmaguna, Bibi Endang Sawitri, dan engkau Nurseta, aku tidak mau mengganggu kalian keluarga yang baru saja berjumpa dan berkumpul kembali. Aku ingin melanjutkan perjalananku. Tadi secara kebetulan saja aku melihat Paman dan Bibi dianiaya penjahat-penjahat itu maka aku turun tangan menolong."

   "Puspa Dewi, engkau hendak pergi ke manakah? Engkau berada di daerah Wura-wuri, apakah engkau... kini telah kembali ke Wura-wuri sebagai Sekar Kedaton (Bunga Istana)?"

   Tanya Nurseta sambil mengerutkan alisnya.

   "Hemm, jangan menyangka dengan ngawur (sembarangan), Nurseta! Aku sudah tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuril Aku sedang mencari Adikku. Sudahlah, aku pergi. Paman dan Bibi, mohon pamit!"

   Setelah berkata demikian, Puspa Dewi meloncat jauh pergi dengan cepat seperti terbang.

   "Gadis yang hebat!"

   Endang Sawitri memuji kagum.

   "Engkau mengenalnya dengan baik, Nurseta?"

   Nurseta mengangguk. Dia masih merasa heran mendengar Puspa Dewi mengatakan tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Wura-wuri! Padahal Dewi Durgakumala amat saying padanya!

   "Ah, kalau saja...."

   Endang Sawitri tidak melanjutkan.

   "Mengapa, Ibu?"

   Nurseta bertanya.

   Sebetulnya, Endang Sawitri hendak mengatakan "Kalau saja Puspa Dewi dapat menjadi isterimu!"

   Akan tetapi ia menahan diri dan menjawab.

   "Sekarang ceritakan tentang Eyang Kakung dan Eyang Puteri, Nurseta."

   "Ya, ceritakanlah, Nurseta. Apakah beliau masih marah kepada kami?"

   Tanya puia Dharmaguna.

   "Sama sekali tidak, Ayah dan Ibu. Agaknya terjadi kesalah pahaman antara Ayah dan Ibu dan Eyang Senopati. Beliau memang selalu mengerahkan perajurit untuk mencari Ayah Ibu, akan tetapi sama sekali bukan untuk menghukum. Sudah lama beliau memaafkan Ayah Ibu dan merasa kehilangan, merasa rindu dan Ingin mengajak Ayah Ibu pulang dan tinggal di Kahurlpan. Bahkan Eyang Puterl selalu menangis kalau teringat kepada Ibu."

   "Aduh, Kanjeng Ibu.... ampunkan saya ...."

   Nyi Endang Sawitri menangis.

   "Ah, siapa mengira bahwa kami dicari untuk diajak pulang dan dimaafkan?"

   Kata Ki Dharmaguna.

   "Kami selalu melarikan diri karena takut kalau dipaksa saling berpisah dan mendapatkan hukuman. Kalau saja kami tahu, tentu kami tidak akan selalu berpindah-pindah tempat dan melarikan diri, bahkan terpaksa melarikan diri dan tinggal di dusun Singojajar yang termasuk wilayah Wura-wuri untuk menghindarkan pengejaran."

   "Sudahlah, Ayah dan Ibu, hal yang sudah lalu tidak perlu disesalkan lagi. Sekarang semua penderitaan itu telah berakhir, baik penderitaan bagi Ayah Ibu maupun bagi Eyang Kakung dan Eyang Puteri. Mari Ayah Ibu saya antarkan pulang ke Kahuripan di mana Eyang Senopati sudah menunggu dengan penuh kerinduan. Kita pergunakan kereta Ini."

   Dengan wajah berseri penuh kebahagiaan dan harapan, suami isteri itu naik ke dalam kereta dan Nurseta mengusirinya. Kereta dilarikan menuju Kahuripan. Di sepanjang perjalanan, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menghujani Nurseta dengan pertanyaan. Terpaksa Nurseta menceritakan semua pengalamannya sejak dia ditinggalkan mereka di Karang Tirta kurang lebih dua belas tahun yang lalu. Betapa dia menjadi kuli dan tukang kuda bekerja pada Ki Lurah Suramenggala sampai pada usia enam belas tahun dia diambil murid mendiang Empu Dewamur-ti, kemudian digembleng Bhagawan Eka-denta selama beberapa bulan. Dia menceritakan pengalamannya ketika membela Kahuripan dari ancaman pemberontakan Pangeran Hendratama yang didukung oleh empat Kerajaan Wura-wuri, Wengker, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul. Tentang pertemuannya dengan Senopati Sindukerta dan akhirnya dia mencari keterangan ke Karang Tirta.

   "Saya mencari keterangan kepada Ki Tejomoyo yang menceritakan bahwa belum lama ini Ayah Ibu menyuruh seorang pembantu untuk mencari keterangan tentang diri saya kepada KI Tejomoyo pula. Dialah yang memberi tahu kepada saya bahwa Ayah Ibu kini tinggal di dusun Singojajar, maka saya lalu pergi ke dusun itu. Di sana saya mendapat keterangan bahwa Ayah Ibu dilarikan pasukan Wura-wuri dan Ki Pakem, pembantu Ayah Ibu, terbunuh. Maka saya lalu cepat melakukan pengejaran dan kita beruntung bahwa Puspa Dewi sudah lebih dulu menolong Ayah Ibu sehingga memudahkan saya untuk menyelamatkan Ayah Ibu dari tangan mereka."

   Suami isteri itu merasa kagum mendengar pengalaman anak tunggal mereka. Mereka menghaturkan puji syukur kepada Sang Hyang Widhi yang telah mengakhiri semua penderitaan mereka dengan pertemuan yang membahagiakan ini, apalagi mendengar bahwa Senopati Sindukerta berdua telah lama memaafkan mereka dan bahkan merindukan mereka untuk dapat berkumpul kembali di Kahurlpan.

   Kereta dijalankan cepat dan langsung menuju Kahuripan. Ketika suami Isteri itu mengajak Nurseta singgah dulu di dusun Singojajar, pemuda ini tidak setuju, mengatakan bahwa mungkin kini pasukan Wura-wuri sudah menghadang di sana dan kalau mereka ke sana hanya akan menghadapi bahaya. Pula, mereka akan kembali ke gedung Senopati Sindukerta di mana segala kebutuhan mereka telah tersedia, maka semua harta milik mereka di Singojajar yang tidak seberapa Itu tidak perlu dibawa.

   Setelah memasuki kota raja Kahuripan, Nurseta menjalankan keretanya langsung menuju gedung tempat tinggal kakeknya. Suami isteri yang berada di dalam kereta itu merasa betapa jantung mereka berdebar tegang. Mulut terasa kering. Ketegangan dan keharuan membuat tubuh mereka rasanya gemetar, apalagi ketika kereta memasuki halaman gedung yang luas itu. Bahkan Endang Sawitri sudah tidak dapat menahan turunnya air matanya melihat halaman gedung yang amat dikenalnya itu, tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan!

   Ketika Nurseta menghentikan kereta di depan pendopo, beberapa orang perajurit penjaga dan pelayan segera menyambut. Ada yang memegangi kendali kuda, dan ada pula yang segera masuk untuk melapor kepada Senopati Sepuh Sinduker-ta. Nurseta menggandeng ibunya yang tampak lemas, bersama ayahnya mendaki anak tangga pendopo yang luas. Lalu terdengar jerit tangis dari dalam gedung dan Senopati Sindukerta bersama isterinya tampak keluar dan berlari-lari menyambut.

   "Endang.... ah, Endang anakku....!"

   "Kanjeng Ibu....!"

   Dua orang wanita itu sudah saling tubruk, saling rangkul sambil bertangisan.

   "Kanjeng Ibu.... ah, Kanjeng Ibu....!"

   Endang Sawitri menjerit ketika tiba-tiba ibunya terkulai lemas dalam rangkulannya. Wanita tua itu jatuh pingsan saking hebatnya guncangan hati yang bahagia dan terharu itu.

   Nurseta segera memondong tubuh neneknya dan mereka semua memasuki gedung. Sebentar saja isteri Senopati Sindukerta siuman kembali dan ia menangis saking gembiranya, menciumi pu-terinya. Endang Sawitri bersama Dharmaguna lalu berlutut merangkul kaki dan menyembah kepada Senopati Sindukerta dan isterinya.

   "Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, hamba Dharmaguna mohon beribu ampun telah membuat Paduka berdua mengalami kedukaan."

   Kata Dharmaguna.

   Ki Senopati dan Nyi Senopati mengangkat bangun suami Isteri itu.

   "Sudahlah, sudah lama kami maafkan kalian. Kami sendiri juga merasa bersalah telah membuat kailan menderita. Untung Cucu kami Nurseta ini datang mencari kami. Kami sudah hampir putus asa untuk dapat berkumpul kembali dengan kalian."

   Seluruh penghuni gedung senopaten itu, termasuk para perajurit pengawal dan para abdi, bergembira. Senopati Sindukerta bahkan mengadakan pesta sekeluarga dan para pembantu untuk menyambut kembalinya puteri dan mantu mereka. Sambil berpesta, Nurseta harus menceritakan pengalamannya ketika menemukan orang tuanya. Kemudian Dharmaguna dan Endang Sawitri mendapat giliran menceritakan semua pengalaman mereka selama dua puluh tiga tahun menjadi orang-orang pelarian Itu. Untuk melepaskan kerinduan, mulai hari itu, Senopati Sindu-kerta melarang puteri, mantu, dan cucunya pergi meninggalkan dia dan isterinya. Setiap hari mereka berbincang-bincang dan tiada habisnya pengalaman yang dapat diceritakan.

   Nurseta sendiri baru sekali ini merasakan kebahagiaan berkumpul dengan ayah, ibu, kakek, dan neneknya. Ketika mendengar akan pertolongan yang diberikan Puspa Dewi kepada puteri dan mantunya, Senopati Sindukerta berkata.

   "Ah, gadis itu memang hebat! Bahkan Gusti Sinuhun dan Gusti Patih sendiri berkenan menerimanya dan Sang Prabu Erlangga berkenan memberi hadiah patrem pusaka Sang Cundrik Arum kepada Puspa Dewi! Dan ternyata bahwa Puspa Dewi adalah puteri kandung Anakmas Senopati Muda Yudajaya, putera mantu Adi Tumenggung Jayatanu sahabat lamakul"

   "Akan tetapi, Kanjeng Rama, bukankah Puspa Dewi itu puteri Nyi Lasmi, janda yang dulu tinggal di Karang Tirta?"

   Tanya Endang Sawitri dengan heran.

   "Benar!"

   Senopati Sindukerta mengangguk-angguk.

   "Nyi Lasmi itu adalah isteri pertama Anakmas Senopati Yudajaya yang dulu entah mengapa berpisah dari suaminya. Akan tetapi belum lama ini ia sudah diboyong kembali ke Tu-menggungan dimana Senopati Yudajaya tinggal bersama isterinya yang kedua, yaitu puteri Adi Tumenggung Oayatanu."

   "Ah, kalau begitu-sekali waktu saya ingin mengunjungi Nyi Lasmi, karena dulu saya pernah tinggal sedusun dan mengenalnya dengan baik."

   Kata Endang Sawitri.

   Dua pekan kemudian, keinginan Endang Sawitri terkabul. Bahkan Senopati Sindukerta sendiri yang mengantar Endang Sawitri bersama suaminya, berkunjung ke gedung tumenggungan. Nurseta tidak ikut pergi karena pemuda ini selain tidak mempunyai urusan dengan keluarga Tumenggung Jayatanu, juga ingin berjalan-jalan di kota raja.

   Kunjungan Senopati Sindukerta bersama anak dan mantunya menggunakan kereta itu disambut oleh sahabatnya, Tumenggung Jayatanu sekeluarga dengan gembira sekali. Memang dua orang tua Ini merupakan panglima-panglima yang setia dan besar jasanya, dan di antara mereka terdapat tali persahabatan yang karib.

   "Kakang Senopati Sindukerta, selamat datang! Kami merasa terhormat sekali menerima kunjungan Andika!"

   Sambut Tumenggung Jayatanu sambil mempersilakan tiga orang tamunya masuk ke ruangan tamu yang luas.

   "Adi Tumenggung Jayatanu, aku ingin menguji kekuatan ingatan dan ketajaman pandanganmu. Nah, coba lihat siapa wanita yang kuajak datang berkunjung ini!"

   Kata Senopati Sindukerta sambil menunjuk kepada Endang Sawitri yang tersenyum-senyum dan duduk dengan anggunnya di samping suaminya.

   Tumenggung Jayatanu mengamati wajah Endang Sawitri, tampak ragu. Melihat ini, Endang Sawitri merasa kasihan dan membantu orang tua yang dulu sudah dikenalnya dengan baik sebagai sahabat karib ayahnya.

   "Paman Tumenggung, benarkah Paman telah lupa kepada saya?"

   Melihat senyum itu, Tumenggung Jayatanu melebarkan matanya dan menepuk dahinya.

   "Ah, Endang Sawitri! Bukankah engkau Endang?"

   "Benar, Paman."

   "Ha-ha-ha, kiranya engkau sudah pulang! Wah, Ayah Ibumu setengah mati mengharapkan engkau pulang! Sukurlah, aku merasa ikut berbahagia dengan kepulanganmu!"

   "Adi Tumenggung, ini adalah mantu kami, Dharmaguna."

   Senopati Sindukerta memperkenalkan mantunya, Dharmaguna lalu merangkap kedua tangan ke depan hidung sebagal sembah penghormatan,

   "wah, Anakmas Dharmaguna, senang dapat berkenalan dengan Andika. Andika berdua Endang adalah orang tua yang berbahagia, mempunyai putera seperti Nurseta yang sakti mandraguna dan berjasa besar terhadap Kahuripan! Kalau begitu, sebentar, aku harus mengundang keluargaku untuk bertemu dan berkenalan dengan kalian Kami sekeluarga juga mempunyai kejutan untukmu, Kakang Senopati I"

   "Benarkah?"

   Senopati tersenyum. Sebetulnya dia telah mendengar akan "kejutan"

   Yang hendak dipamerkan sahabatnya itu, .ialah bahwa Puspa Dewi yang terkenal itu adalah cucunya, walaupun hanya cucu tiri dan bahwa Ibu kandung Puspa Dewi, Nyi Lasmi, kini telah tinggal bersama keluarganya di tumenggungan itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu agar tidak mengurangi rasa bangga dan gembira sahabatnya.

   Tumenggung Jayatanu masuk ke dalam dan tak lama kemudian dia keluar lagi diikuti Nyi Tumenggung, Senopati Yudajaya dan dua orang isterinya, yaitu Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih. Begitu saling pandang, Dyah Mularsih dan Endang saling menghampiri

   "Mbakayu Endang....!!"

   "Kau.... Dyah Mularsih!"

   Dua orang wanita itu saling berpelukan. Dulu mereka memang menjadi sahabat baik, sungguhpun Endang Sawitri lebih tua sekitar empat tahun. Setelah saling berpelukan dan berciuman, Endang Sawitri memandang ke arah Nyi Lasmi yang juga memandangnya dengan mata dilebarkan. Mereka saling pandang, saling senyum, lalu keduanya saling menghampiri.

   "Lasmi.... Andika Lasmi yang pernah tinggal di Karang Tirta?"

   Nyi Lasmi tersenyum.

   "Mbakayu Endang Sawitri! Tidak kusangka kita akan dapat saling bertemu di sini!"

   Kedua orang wanita Ini saling berpegang tangan.

   "Wah, kalian sudah saling mengenai?"

   Tegur Tumenggung Jayatanu heran.

   "Paman Tumenggung, Adik Lasmi ini dulu menjadi tetangga saya ketika kami sama-sama tinggal di Karang Tirta."

   Ki Tumenggung Jayatanu lalu memperkenalkan mantunya, Prasetyo atau Senopati Yudajaya kepada Dharamaguna dan Endang Sawitri. Kemudian dua keluarga itu bercakap-cakap diruangan dalam sambil menikmati hidangan yang disuguhkan Nyi Tumenggung.

   SETELAH selesai makan, Endang Sawitri mengajak Nyi Lasmi dan Dyah Mularsih untuk bicara bertiga di ruangan terpisah. Nyi Tumenggung juga ikut setelah berkata sambil tertawa.

   "Ai, aku pun ikut dengan kalian bertiga. Biarlah kita para wanita bicara di dalam dan para pria bercakap-cakap di sini!"

   Maka masuklah mereka berempat ke dalam, sedangkan Tumenggung Jayatanu dan mantunya, Senopati Yudajaya mengajak dua orang tamunya, Senopati Sindukerta dan mantunya, Dharmaguna, bercakap-cakap di ruang tamu. Dalam percakapan yang santai dan akrab, Endang Sawitri secara ramah menyatakan pendapatnya, setelah mereka saling menceritakan tentang anak masing-masing. Lasmi bercerita tentang puterinya, Puspa Dewi, sedangkan Endang Sawitri bercerita tentang Nurseta.

   "Nurseta dan Puspa Dewi juga sudah saling mengenal dengan baik. Keduanya berjasa besar terhadap Kahuripan. Keduanya sama-sama murid orang-orang sakti mandraguna. Aku sendiri bersama suamiku telah diselamatkan oleh Puspa Dewi, dan kami berterima kasih sekali. Kami berdua juga melihat betapa serasinya dua orang Anak kita itu, Adik Lasmi. Alangkah baiknya dan alangkah akan berbahagia hati kami kalau saja Anak kami Nurseta dapat dijodohkan dengan puterimu Puspa Dewi! Bagaimana pendapatmu?"

   Nyi Lasmi tersenyum dan wajahnya berseri, akan tetapi ia lalu menoleh dan memandang kepada ibu mertuanya.

   "Wah, Mbakayu Endang Sawitri, aku pribadi merasa senang dan setuju saja. Akan tetapi hal ini tidak dapat kuputuskan sendiri. Harus lebih dulu mendapat persetujuan dari Puspa Dewi sendiri, lalu dari Ayahnya, juga tentu saja restu Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama Tumenggung!"

   "Aku juga setuju!"

   Tiba-tiba Dyah Mularsih berkata sambil tersenyum.

   "Kalau Anakku Puspa Dewi menjadi mantu Mbakayu Endang, berarti kita berbesan dengan Mbakayu Endang, dan ini menyenangkan sekali, Mbakayu Lasmi!"

   Nyi Tumenggung berkata tenang.

   "Lasmi tadi berkata benar. Sebelum keputusan diambil, hal ini harus mendapat persetujuan Puspa Dewi sendiri, juga Ayahnya dan Eyangnya. Kalau aku sih menurut dan setuju saja atas pendapat suamiku."

   "Terima kasih, Bibi Tumenggung! Hati saya sudah merasa bahagia sekali mendengar bahwa Paduka setuju dan kedua Adik yang menjadi Ibu Puspa Dewi ini juga setuju. Akan tetapi tentu saja harus mendapatkan persetujuan Ayah dan Eyang Puspa Dewi, terutama dari ia sendiri. Yang saya kemukakan ini pun bukan lamaran resmi, hanya menyatakan hasrat hati saya."

   "Mbakayu Endang, apakah Andika sudah membicarakan hal ini kepada suami Andika dan kepada Paman Senopati Sindukerta?"

   Endang Sawitri mengangguk.

   "Mereka juga amat setuju dengan usulku ini."

   "Juga sudah disetujui Nurseta?"

   Tanya Nyi Lasmi.

   "Wah, kalau ini beluml Aku belum mengajak Nurseta bicara tentang hal ini. Akan tetapi setelah pulang, aku akan mengajak dia bicara tentang perjodohannya."

   "Sayang sekali, Puspa Dewi masih belum pulang sehingga tidak dapat kami ajak bicara tentang hal ini."

   Kata Lasmi.

   Setelah beramah-tamah, para tamu itu pulang dengan hati senang. Setelah tiba di gedung tempat tinggalnya, malam itu juga Endang Sawitri dan suaminya, Ki Dharmaguna, mengajak Ki Senopati Sindukerta dan isterinya, membicarakan tentang usul perjodohan itu dengan Nurseta. Sehabis makan malam bersama, keluarga itu lalu bercakap-cakap di ruangan dalam dan Endang Sawitri membuka percakapan tentang perjodohan itu.

   "Anakku Nurseta, ingatkah engkau berapa usiamu sekarang?"

   Mendengar pertanyaan Ibunya, Nurseta menatap wajah Ibunya dan tersenyum.

   "Kalau tidak keliru, umur saya dua puluh dua tahun, Ibu. Mengapa Ibu bertanya tentang usia?"

   "Nurseta, maksud Ibumu, seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun seperti engkau Ini sudah sepantasnya kalau menikah"

   Kata Dharmaguna membantu isterlnya.

   "Benar sekali itu!"

   Sambung Nyi Sindukerta.

   "Aku pun sudah ingin sekali menimang seorang cucu. Eyang Kakungmu juga begitu, Nurseta!"

   "Ha-ha-ha!"

   Senopati Sindukerta tertawa.

   "Nurseta, sekarang engkau didesak Ayah Ibu dan Eyang puterimu. Nah, katakan, apakah engkau telah mempunyai pilihan hati, seorang gadis yang engkau ingin menjadi jodohmu?"

   Nurseta tertegun. Sama sekali tidak disangkanya bahwa orang-orang tua itu secara serentak mendesaknya mengenai urusan perjodohan!

   "Akan tetapi.... sama sekali saya belum pernah memikirkan tentang perjodohan...!' katanya agak tergagap.

   "Nah, kalau begitu sekarang engkau harus mulai memikirkan, Nurseta!"

   Kata Endang Sawitri.

   "Katakanlah, siapa gadis yang hendak kau pilih? Kami yang mengajukan pinangan!"

   Nurseta menggeleng kepalanya.

   "Tidak ada, Ibu. Saya belum pernah memilih, belum pernah memikirkan hal itu...."

   Ketika mengatakan hal itu, dalam ingatan Nurseta terbayanglah wajah-wajah gadis yang pernah dia jumpai semenjak dia dewasa. Yang pertama adalah Puspa Dewi, yang bukan saja telah dikenalnya sejak dia remaja dan tinggal di Karang Tirta, kemudian dia berjumpa lagi dengan Puspa Dewi setelah mereka sama sama dewasa, bahkan sama-sama menjadi orang muda yang digdaya dan sama-sama pula membela Kahuripan. Kemudian dia bertemu dengan tiga orang selir Pangeran Hendratama dan terutama sekali selir termuda bernama Widarti yang tampaknya menaruh cinta kepadanya dan gadis itu kini telah tewas. Kemudian, ketika menolong penduduk Karang Sari dan gangguan perampok, dia hendak diambil mantu Ki Lurah Warsita, Lurah Karang Sari untuk dijodohkan dengan anak gadisnya, yaitu Kartiyah yang hitam manis, namun ditolaknya. Banyak pula dia bertemu gadis gadis cantik yang tidak mempunyai persoalan apa pun dengan dirinya, akan tetapi selama ini dia belum pernah tertarik kepada seorang di antara mereka. Maka ketika kini ayah ibunya dan kakek neneknya mendesaknya, dia menjadi bingung.

   "Nurseta, engkau mengenal Puspa Dewi, bukan?"

   
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nurseta menatap wajah Ibunya.

   "Puspa Dewi? Tentu saja, Ibu. Saya mengenalnya sejak remaja di Karang Tirta dulu."

   "Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?"

   Desak Ibunya.

   "Pendapat saya mengenai apanya, Ibu?"

   Nurseta bertanya, belum dapat menangkap apa yang tersirat dalam pertanyaan ibunya itu.

   "Segalanya tentang Puspa Dewi. Kecantikannya, kedigdayaannya, wataknya."

   Endang Sawitri mengejar.

   "Ahh.... itu? Hemm, ia seorang gadis yang cantik. Ia pun digdaya, berilmu tinggi walaupun agak

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Nurseta Satria Karang Tirta (seri ke 02 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   ganas.... akan tetapi saya kira sekarang sudah tidak begitu ganas lagi. Dan ia gagah dan baik, berjasa besar membela Kahuripan, Ibu."

   "Jadi engkau menganggap ia seorang gadis yang baik?"

   "Benar, Ibu."

   "Pendapatmu itu benar! Dan lebih dari itu, Puspa Dewi adalah cucu Paman Tumenggung Jayatanu yang terkenal gagah perkasa dan setia kepada Kahuripan, Ayahnya adalah Senopati Yudajaya dan Ibunya adalah Nyi Lasmi yang dulu menjadi sahabatku ketika kita tinggal di Karang Tirta. Nah, ia sungguh cocok untuk menjadi cucu mantu Eyangmu, tepat untuk menjadi mantu kami, dan serasi sekali untuk menjadi Isterimu!"

   "Ah, Ibu....!"

   Wajah Nurseta berubah kemerahan.

   Pernyataan ini sungguh terlalu tiba-tiba datangnya dan sama sekali tidak pernah diduganya, membuat dia merasa malu, sungkan, dan salah tingkah.

   "Ibumu benar, Nurseta! Puspa Dewi akan merupakan seorang isterl yang cocok sekali bagimu."

   Kata Senopati Sin-dukerta.

   "Tidak usah malu-malu, Nurseta. Katakan bahwa engkau setuju dan kami akan segera mengajukan pinangan."

   Kata KI Dharmaguna.

   Melihat puteranya masih menundukkan muka dan diam saja, Endang Sawitrl mendesak.

   "Jawablah, Nurseta, agar kami dapat segera mengajukan pinangan. Aku khawatir kalau didahului orang karena Puspa Dewi juga sudah dewasa."

   "Ibu, kalau sampai pinangan ditolak, saya akan merasa malu sekali...."

   "jangan khawatir! Aku sudah membicarakan dengan Nyi Lasmi, Dyah Mularsih, dan Bibi Tumenggung dan mereka bertiga setuju sekali!"

   "Akan tetapi bagaimana kalau Puspa Dewi menolak? Ia seorang gadis yang cantik, pandai, bangsawan dan angkuh, sedangkan aku...."

   "Hushh, jangan merendahkan diri sendiri. Engkau memiliki banyak kelebihan, Nurseta. Jadi engkau setuju kalau kami meminang Puspa Dewi untuk menjadi jodohmu?"

   Nurseta dapat menangkap harapan dan hasrat yang besar dan kuat sekali dalam ucapan ibunya, dan dia melihat pula sikap ayahnya, kakek dan neneknya semua mendukung niat itu dengan sangat, maka dia merasa tidak enak kalau menolak begitu saja. Pula, dia harus mengakui bahwa mendapatkan jodoh seorang gadis seperti Puspa Dewi merupakan hal yang luar biasa sekali. Tidak mudah mendapatkan gadis sehebat Puspa Dewi. Cantik jelita, sakti mandraguna, berdarah bangsawan, baik budi yang dibuktikannya bahwa ia tidak membela gurunya yang juga ibu angkatnya, Nyi Dewi Durgakumala yang jahat, melainkan membalik dan membela Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Dia memang tidak atau belum tahu apakah dia jatuh cinta kepada Puspa Dewi. Yang terasa olehnya hanyalah kekaguman terhadap gadis itu. Akan tetapi dia pun tidak tega membuat kecewa ayah ibunya dan kakek neneknya, maka dia mengangguk dan menghela napas panjang.

   "Ibu, saya hanya menyerahkan keputusannya kepada Ayah Ibu dan kedua Eyang saja."

   Tentu saja para orang tua itu tidak dapat menyelami perasaan Nurseta karena pemuda ini sudah mampu mengendapkan semua perasaan hatinya sehingga wajahnya tidak membayangkan perasaannya. Mereka mengira bahwa pemuda itu setuju sepenuhnya namun merasa malu untuk mengakuinya.

   Akan tetapi karena mendengar bahwa Puspa Dewi belum pulang, Ki Dharmagu-na dan Endang Sawitri masih menunggu. Mereka tidak akan mengajukan pinangan resmi sebelum gadis itu pulang karena mereka tahu bahwa jawaban pihak keluarga Tumenggung Jayatanu terhadap pinangan itu tergantung dari keputusan Puspa Dewi.

   Nenek berpakaian serba hitam itu berlari seperti terbang cepatnya ke arah selatan. Gadis jelita Itu juga berlari cepat mengikuti di belakangnya. Rambutnya yang hitam tebal dan panjang itu terurai lepas dari sanggulnya, berkibar di belakang kepalanya seperti sehelai bendera hitam. Kalau wajah nenek berpakaian hitam itu masih tampak tenang dan biasa saja, sebaliknya wajah gadis itu berkilau basah oleh keringatnya sendiri dan pernapasannya agak terengah. Namun dengan nekat ia berlari terus, tidak mau tertinggal oleh nenek yang berlari di depannya, dalam jarak sekitar tiga tombak saja!

   Nenek itu berusia sekitar lima puluh satu tahun. Wajahnya masih membayangkan bekas wajah wanita cantik, namun wajah itu dingin dan tampak bengis, terutama sinar matanya. Pakaiannya yang serba hitam menambah seram penampilannya. Sebaliknya, gadis berusia sekitar delapan belas tahun lebih itu cantik jelita dan lincah. Mereka adalah Nini Bumigarbo, nenek yang amat sakti mandraguna itu bersama muridnya yang baru, yaitu Niken Harni.

   Seperti kita ketahui, Niken Harni diselamatkan Nini Bumigarbo dan tertarik oleh watak Niken Harni yang lincah pemberani, nenek itu mengambilnya sebagai murid. Sekali ini Nini Bumigarbo mengambil murid bukan dengan maksud agar muridnya ini memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Ia tahu bahwa Niken Harni adalah gadis bangsawan Kahuripan, maka tidak dapat diharapkan akan memusuhi Sang Prabu Erlangga. Ia mempunyai maksud dan niat lain. Gadis ini akan dijadikan murid untuk melampiaskan sakit hatinya terhadap Bhagawan Ekadenta. Bukan langsung memusuhi Bhagawan Ekadenta yang kesaktiannya tak pernah dapat ditandihginya itu, melainkan kepada semua laki-laki! Niken Harni yang cantik jelita pasti akan memikat hati banyak laki-laki dan la menghendaki agar murid barunya ini kelak menghancurkan kebahagiaan banyak laki-laki dengan mematahkan cinta dan harapan para laki-laki yang tergila-gila kepadanya!

   "Bibi Gayatri, masih jauhkah perjalanan kita?"

   Niken Harni berseru kepada Nini Bumigarbo sambil terengah-engah, akan tetapi ia tetap nekat berlari cepat agar tidak tertinggal jauh.

   Nini Bumigarbo terkekeh dan menghentikan larinya. Niken Harni tiba di dekatnya dan gadis ini baru menjatuhkan dirinya duduk di atas batu, mengatur pernapasan dan menyusut keringat yang membasahi leher dan mukanya.

   "Heh-heh, engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, Niken. Aku senang melihatnya. Ternyata benar dugaanku, engkau murid yang amat berbakat."

   "Masih jauh perjalanan kita?"

   "Lihat itu. Laut Kidul sudah tampak dari sini, sudah dekat!"

   Kata nenek itu sambil menuding ke selatan.

   Niken Harni bangkit berdiri dan memandang. Benar saja, dari bukit kapur itu tampak laut membentang luas, tidak jauh lagi.

   "Kita akan ke manakah, Bibi?"

   "Lihat di sana itu, yang tampak menghitam di tengah laut! Kita akan ke sana!"

   Niken Harni melihat sebuah pulau menghitam cukup jauh dari pantai.

   "Ke pulau Itu?"

   "Benar, Itulah Pulau Nusa barung yang akan kita kunjungi."

   "Akan tetapi, siapa yang tinggal di sana dan mau apa kita ke sana, Bibi Gayatrl?"

   "Kita mengunjungi seorang kawanku, kawan baik di waktu ia masih muda. Sahabatku Itu menikah dengan seorang datuk terkenal bernama Dibya Krendasakti, juragan yang berkuasa di pulau itu. Sejak Woro Sumarni menikah dengan Dibya Krendasakti, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya."

   Mereka melanjutkan perjalanan dan karena Niken Harni sudah mengaso, perjalanan dapat dilakukan cepat dan akhirnya mereka tiba di pantai Laut Kidul. Mereka menemukan bagian pantai yang landai dan di situ terdapat belasan buah perahu nelayan, sebagian sudah berada di lautan, akan tetapi ada dua buah perahu yang masih berada di pantai, sedang bersiap-siap untuk berangkat menyusul kawan-kawan mereka mencari ikan.

   Nini Bumlgarbo menghampiri seorang nelayan. Nelayan ini berusia sekitar empat puluh tahun, tubuhnya hanya mengenakan celana hitam sebetis, dadanya yang telanjang tampak kokoh dan kulitnya menghitam terbakar sinar matahari. Melihat seorang nenek dan seorang gadis cantik menghampiri, dia memandang heran.

   "Kisanak, antarkan kami ke tengah laut!"

   Kata Nini Bumigarbo.

   Nelayan itu memandang heran.

   "Ke tengah lautan? Andika berdua mau apa ke sana? Aku hendak mencari ikan, tidak sempat mengantar Andika...."

   "Aku tidak peduli. Mau atau tidak engkau harus mengantar kami!"

   Nini Bumigarbo menghardik.

   Nelayan itu marah, akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata, Niken Harni sudah maju dan menyodorkan sebuah cincin emas kepadanya.

   "Kisanak, Andika turuti saja keinginan Bibiku ini. Cincin ini kalau Andika jual, hasilnya lebih besar daripada hasil tangkapan ikan selama satu bulan. Terimalah, cincin ini untuk menyewa perahumu!"

   Nelayan itu bengong, akan tetapi matanya bersinar gembira. Tanpa bicara dia lalu menerima cincin itu dan dengan tangannya mempersilakan dua orang wanita itu naik ke perahunya dan duduk di atas papan yang melintang di tengah perahu. Nelayan mendayung perahunya ke tengah. Sebagai seorang ahli naik perahu, dengan cekatan dia mendayung perahu melewati gulungan ombak yang menepi sampai dia berhasil melewati susunan ombak dan berada di atas air yang tenang.

   "Ke mana kita akan pergi, Nona?"

   Tanya nelayan itu.

   "Ke sana, ke pulau itu."

   Kata Niken Harni sambil menunjuk ke arah pulau.

   Nelayan itu terbelalak.

   "Pulau Nusa Barung....?"

   Bisiknya.

   "Benar."

   "Ah, tidak.... tidak bisa, aku tidak berani...."

   Katanya.

   "Hemm, takut apa? Jangan takut! Teruskan ke sana!"

   Nini Bumigarbo membentak.

   'Tidak.... Tidak....! Apa artinya aku menerima upah besar kalau setibanya di sana aku mati?"

   "Mengapa, Kisanak? Mengapa mati? Siapa yang akan membunuhmu?"

   Tanya Niken Harni terheran.

   "Siluman.... siluman akan membunuhku. Kami semua tidak ada yang berani mendekati pulau siluman itu..."

   "Cukup! Jangan banyak bicara! Hayo cepat pasang layar dan kita menuju ke sana!"

   Nini Bumigarbo menghardik.

   "Tidak..., aku tidak mau mati...."

   Nelayan itu lalu memutar perahunya dan hendak kembali ke pantai. Akan tetapi ia berteriak mengaduh ketika tangan Nini Bumigarbo memegang pundaknya. Rasanya pundak itu seperti dijepit baja yang keras dan panas.

   "Masih hendak membantah? Apakah engkau ingin kuhancurkan pundakmu?"

   Nelayan yang bertubuh kuat itu mengerahkan tenaga dan berusaha meronta untuk melepaskan tangan nenek yang mencengkeram pundaknya. Akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga meronta, semakin nyeri rasa pundaknya sehingga akhirnya dia menjadi lemas dan menghentikan perlawanannya.

   "Aduh.... ampun..., akan tetapi... aku akan mati di sana...."

   "jangan khawatir. Andika hanya mengantar kami dan Bibiku ini yang akan menanggung bahwa Andika tidak akan diganggu siluman di sana."

   Kata Niken Harni.

   Terpaksa nelayan itu lalu memasang dan mengembangkan layarnya yang tidak berapa besarnya. Perahunya meluncur cepat menuju ke-pulau yang tampak menghitam. Jelas tampak nelayan itu ketakutan. Wajahnya pucat, matanya jelalatan (liar) memandang ke arah pulau dan kedua tangannya yang mengendalikan perahu gemetar.

   "Aduh celaka....!"

   Tiba-tiba dia berkata dengan suara gemetar.

   "Ada apa?"

   Tanya Niken Harni.

   "Itu.... di sana... ikan hiu besar dan ganas...!"

   Nelayan itu menunjuk ke sebelah kanan perahu.

   Niken Harni melihat sirip-sirip besar meluncur tak jauh dari perahu. Sirip hitam runcing dan lebar. Ada dua buah meluncur ke arah perahu.

   "Jangan takut!"

   Tiba-tiba Nini Bumi-garbo membentak dan wanita Itu bangkit berdiri. Kemudian terjadilah hal yang bukan saja membuat nelayan itu terbelalak, bahkan Niken Harni juga terbelalak, hampir tak percaya akan apa yang dilihatnya. Ia tahu benar bahwa Nini Bumigarbo seorang yang sakti mandraguna, akan tetapi tidak pernah menduga akan sehebat itu kesaktiannya. Nenek itu ternyata melompat keluar dari perahu, kakinya tiba di atas air dekat dua ekor ikan hiu yang tampak siripnya itu.

   Dua kali tangannya membuat gerakan menghantam ke arah dua ekor sirip itu. Air muncrat bergelombang dan ketika Nini Bumigarbo melompat kembali ke perahu, dua ekor ikan hiu yang lebih besar dari tubuh manusia itu terapung di atas air dengan perut mereka yang putih di atas, sudah mati! Dapat dibayangkan betapa hebatnya aji pukulan yang digunakan Nini Bumigarbo itu dan betapa hebatnya ilmunya meringankan tubuh sehingga ia mampu berdiri di atas air ketika menyerang dua ekor Ikan hiu itu! Memang, Nini Bumigarbo yang dulu bernama Ni Gayatri ini merupakan seorang di antara murid-murid Sang Maha Resi Dewakaton yang dulu bertapa di puncak Gunung Semeru. Tingkat kepandaiannya hanya di bawah tingkat Sang Bhagawan Ekadenta atau Sang Bhagawan Jitendriya yang merupakan kakak seperguruannya.

   "Melihat kesaktian nenek itu, Si Nelayan kini tidak berani banyak cakap lagi, tidak berani membantah dan dia melayarkan perahunya menuju Pulau Nusa Barung. Setelah tiba di pantai pulau itu, tampak ada lima orang laki-laki berdiri di pantai dan menyambut perahu itu dengan luncuran anak panah! Nini Bumigarbo mendengus dan sekali tangannya bergerak dikibaskan, empat batang anak panah yang meluncur ke arah tubuhnya dan tubuh nelayan, dapat dipukul runtuh oleh angin pukulannya. Sementara sebatang anak panah yang meluncur ke arah Niken Harni, dapat ditangkap oleh gadis itu!

   "Heii, apakah kalian ini orang-orang gila yang bermata buta? Laporkan kepada Dibya Krendasakti bahwa aku Nini Bumigarbo Gayatri datang berkunjung! Kalau kalian menyerang sekali lagi, kalian akan mampus oleh anak panah kalian sendiri!"

   Lima orang itu agaknya meragu dan berunding, lalu tiga orang di antara mereka memutar tubuh lari meninggalkan pantai. Akan tetapi yang dua orang lagi mementang busur mereka dan dua batang anak panah meluncur ke arah dada Nini Bumigarbo! ,

   "Singggg! Singggg!!"

   Nini Bumigarbo menggerakkan kedua tangan dan ia sudah menangkap dua batang anap panah itu, lalu kedua tangannya bergerak menyambitkan senjata itu kearah penyerangnya yang berdiri di tepi pantai.

   Dua orang itu menjerit dan roboh terjengkang, dua batang anak panah itu dengan tepat menembus leher mereka sehingga mereka tewas seketika! Perahu sudah menggulung layar dan nelayan mendayung perahunya mendarat. Dia menggigil ketakutan melihat peristiwa penyerangan tadi.

   Setelah perahu ditarik ke atas pasir dan dua orang penumpangnya turun, nelayan itu tak berani bergerak, akan tetapi dengan suara gemetar dia bertanya kepada Niken Harni.

   "Den Roro.... bolehkah saya sekarang pergi?"

   "Tunggu! Jangan pergi sebelum kuperintah. Kalau melanggar, kamu akan mampus!"

   Bentak Nini Bumigarbo dan nelayan itu menjadi pucat, lalu duduk mendeprok di atas pasir, di dekat perahunya.

   Tak lama kemudian, terdengar suara tawa yang menggelegar, datangnya dari tengah pulau, makin lama semakin kuat suara tawa itu dan akhirnya muncullah seorang laki-laki yang menyeramkan. Laki-laki itu berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh seperti raksasa, rambutnya masih hitam digelung ke atas dan diikat dengan kain sutera merah. Pakaiannya mewah dan sebatang gendewa (busur) besar panjang tergantung di pundaknya. Tempat anak panah dengan belasan batang anak panah tersembul di belakang punggungnya. Setelah tiba di depan Nini Bumigarbo dan Niken Harni, laki-laki itu berhenti melangkah, berdiri memandang kedua orang wanita itu dan menghentikan suara tawanya yang membuat nelayan tadi menelungkup sambil menutupi kedua telinganya yang rasanya seperti ditusuk-tusuk mendengar suara tawa yang mengandung kekuatan sihir tadi. Niken Harni sendiri harus mengerahkan tenaga sakti untuk melawan gelombang suara yang amat kuat itu. Kini kakek itu memandang kepada Nini Bumigarbo dengan alis berkerut, lalu berkata, suaranya dalam dan parau.

   "Gayatri? Andika Gayatri yang kini terkenal sebagai Nini Bumigarbo? Hemm, aku masih mengenal wajahmu Gayatri. Masih cantik, akan tetapi Andika tampak tua!"

   Nini Bumigarbo mendengus.

   "Huh, tengoklah mukamu sendiri, Dibya Krendasakti! Engkau juga sudah menjadi kakek tua bangka!"

   Kembali terdengar suara tawa bergelak-gelak. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, mukanya menengadah, mulutnya terbuka lebar, dadanya membusung dan suara tawa itu semakin bergelombang, bergetar dan terkadang seperti halilintar menggeledek. Niken Harni tak dapat bertahan lagi. Terpaksa ia lalu duduk bersila dan memejamkan kedua matanya, melindungi dirinya dengan himpunan kekuatan batinnya, tenaga saktinya menjaga pendengarannya. Akan tetapi nelayan itu kini jatuh bergulingan sambil menutupi telinganya dengan tangan, mengaduh-aduh, mukanya sepucat mayat. Akan tetapi Nini Bumigarbo tetap berdiri tenang, kemudian berkata dengan suaranya yang tinggi melengking.

   "Kamu Iblis Tua! Beginikah menyambut seorang sahabat yang bertamu?"

   Teguran itu membuat kakek yang bernama Dibya Krendasakti itu menghentikan tawanya. Niken Harni membuka matanya dan bangkit berdiri lagi. Nelayan itu juga bangkit duduk dan dari kedua telinganya mengalir darah.

   "Heh, sampah itu tidak layak berada di sini!"

   Kata Kakek itu menuding kepada nelayan.

   "Dia nelayan yang mengantar kami ke sini!"

   Kata Nini Bumigarbo.

   "Dan dia akan mengantar kami kembali ke darat sana."

   "Hemm, Gayatri, engkau kira aku ini orang apa? Aku pun dapat menjadi seorang tuan rumah yang pantas. Aku punya banyak perahu dan orang-orangku dapat mengantar engkau pulang. Suruh dia pergi dari sini sekarang juga atau aku akan lempar dia ke laut menjadi makanan ikan!"

   Nini Bumigarbo menoleh kepada nelayan itu dan berkata,

   "Pergilah engkau dari sini!"

   Nelayan itu tampak girang sekali. Dia menyembah dan mendorong perahunya ke air, lalu mendayungnya sekuat tenaga, tidak memperduiikan kedua telinganya yang terasa nyeri.

   Menyaksikan semua ini, timbul rasa penasaran dalam hati Niken Harni.

   Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bibi Gayatri, mengapa Andika membiarkan saja orang tua Ini berbuat kejam dan sewenang-wenang memamerkan kesaktiannya mencelakai orang lain yang sama sekali tidak bersalah kepadanya?"

   "Niken, pulau yang kita injak ini adalah Nusa Barung dan Dibya Krendasakti adalah pemilik dan penguasa di sini. Dia boleh berbuat sekehendak hatinya di pulaunya sendiri."

   "Akan tetapi kalau kita disambut seburuk ini, untuk apa kita bertamu di sini?"

   "Hoa-ha-ha! Perawan cilik kemethlk! Bicaramu penuh teguran kepadaku. Ha-ha-ha, baru ini aku ditegur bocah kemarin sore yang ubun-ubun kepalanya masih berbau brambang (bawang merah). Gayatri, siapa sih bocah lucu namun kemethak (layak dipukul) ini?"

   "Ini muridku yang baru, Niken Harni."

   "Aha, pantas menjadi muridmu. Sama kewat (genit) dan cerewetnya dengan kamu waktu muda dulu! Hemm, ia juga berbakat baik. Eh, Niken Harni, tadi aku sengaja hendak menguji kalian. Kalau engkau ingin melihat sambutanku sebagai tuan rumah yang baik, mari, kalian ikut aku!"

   Nini Bumigarbo dan Niken Harni mengikuti Dibya Krendasakti menuju ke tengah pulau. Ketika melewati mayat dua orang anak buahnya, Dibya Krendasakti mengomel.

   "Huh, orang-orang ini tolol sekali berani menyerangmu dengan panah, Gayatri."

   Nini Bumigarbo tersenyum.

   "Hemm, mereka sudah kuperingatkan namun nekat. Agaknya memang mereka sudah bosan hidup, Dibya. Akan tetapi aku tidak minta maaf kepadamu, lho!"

   "Hoa-ha-ha, di antara kita apakah perlu bermaaf-maafan? Kita sudah saling mengenal watak masing-masing."

   Raksasa yang gagah itu tertawa dan Niken yang memperhatikan sekeliling melihat orang-orang yang sedang mengerjakan sawah ladang. Begitu melihat Dibya Krendasakti, mereka cepat memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam.

   Kiranya mereka itu adalah anak buah penguasa Nusa Barung ini. Dari percakapan dua orang tua itu dalam perjalanan menuju perkampungan tempat tinggal Dibya Krendasakti, Niken mengetahui bahwa raksasa itu mempunyai anak buah sebanyak seratus orang yang tinggal di pulau itu. Sebagian dari mereka adalah murid-muridnya. DI Nusa Barung, Dibya Krendasakti hidup bersama isterinya yang bernama Woro Sumarni yang ketika gadis dulu menjadi sahabat Gayatri yang kini menjadi Bumigarbo.

   "Huh, setelah engkau menjadi raja kecil di pulau ini, tentu hidupmu seperti raja. Kaya-raya, dipuja dan ditaati banyak anak buah, dan terutama sekali, punya banyak isterl!"

   Kata Nini Bumigarbo dengan nada mengejek.

   "Engkau menuduh secara membuta, Gayatri. Aku sejak dulu hanya mempunyai seorang isteri, yaitu Woro Sumarni!"

   "Huh, mulut laki-laki! Siapa percaya?"

   "Aku tidak bohong, Gayatri. Aku terlalu mencinta Woro Sumarni!"

   Kata Kakek itu, akan tetapi suaranya mengandung kesedihan. Hal ini terasa benar oleh Niken Harni, akan tetapi agaknya tidak terasa oleh Nini Bumigarbo.

   "Aku tetap tidak percaya kalau tidak melihat buktinya dan mendengar pengakuan Woro Sumarni sendiri."

   Kata Nenek itu.

   "Kalau begitu, nanti akan kau saksikan dan kau dengar."

   Kini mereka tiba di perkampungan di mana terdapat banyak rumah-rumah dari kayu yang kokoh dan cukup baik. Akan tetapi yang paling besar dan indah terdapat di tengah perkampungan dan inilah rumah Dibya Krendasakti. Begitu memasuki pekarangan, tiga orang murid yang bertubuh kekar menyambut dengan penghormatan mereka. Tiga Orang murid Ini yang bertugas jaga di depan rumah pada saat itu. Setelah memasuki pendapa rumah, lima orang wanita berpakaian pelayan menyambut dengan sembah penghormatan mereka.

   "Perintahkan ke dapur untuk mempersiapkan pesta meriah menyambut tamu-tamu kehormatan ini. Cepat!"

   Kata Dibya Krendasakti kepada para pelayan itu yang segera berlari kecil masuk ke dalam rumah.

   "Mari, kita duduk di ruangan tamu."

   Dibya Krendasakti mengajak kedua orang tamunya.

   Setelah duduk berhadapan terhalang meja besar di ruangan tamu yang luas itu, dua orang tua sakti itu bercakap-cakap, sedangkan Niken Harni hanya duduk diam mendengarkan.

   "Aku mendengar kabar angin bahwa gadis jelita Gayatri itu telah menjadi Nini Bumigarbo yang tersohor! Ha-ha-ha, siapa sangka hari ini Nini Bumigarbo datang berkunjung. Eh, Gayatri, bagaimana kabarnya dengan Adi Ekadenta, Kakak seperguruanmu yang juga pacarmu yang ganteng itu? Tentu kalian telah menjadi suami isteri!"

   "Cukup! Jangan bicara tentang dia, jangan sebut namanya!"

   Nini Bumigarbo memotong dengan ketus dan wajahnya berubah kemerahan.

   "Lhadalah! Hubungan mesra itu gagal dan terputus, ya? Ha-ha-ha-ha! Kebahagiaan tidak selamanya singgah pada wajah-wajah yang cantik! Baiklah, aku tidak akan bicara tentang dia."

   "Mana sahabatku Woro Sumarni? Panggil ia keluar menemuiku. Aku sudah kangen (rindu) padanya."

   Kata Nini Bumigarbo.

   "Gayatri, kita tidak bicara tentang Adi Ekadenta maka kita tidak bicara pula tentang Woro Sumarni. Akan tetapi ia akan menemani kita makan-makan nanti. Engkau pasti akan bertemu dengannya. Sekarang yang penting, katakan, apa yang membawamu datang berkunjung? Aku tidak percaya kalau hanya karena kangen kepada Woro Sumarni. Apa yang kau inginkan dariku?"

   "Aku sedang membutuhkan pertolongan dan mengingat akan kemampuanmu dan bahwa engkau adalah seorang sahabatku, maka aku datang berkunjung ini untuk minta bantuanmu, Dibya!"

   "Heh-heh-heh, Nini Bumigarbo yang tersohor itu masih membutuhkan bantuan orang lain? Aneh sekali! Coba katakan, bantuan apa yang dapat kuberikan padamu?"

   "Aku minta bantuan agar engkau suka mencuri Cupu Manik Maya dari gedung pusaka milik Sang Prabu Erlangga di Istana Kahuripan."

   Sepasang mata yang lebar itu terbelalak heran.

   "Hemm, aneh sekali! Bukankah Cupu Manik Maya itu merupakan sebuah di antara pusaka wahyu kraton yang menjadi ciri kekuasaan raja? Untuk apa engkau menginginkan benda pusaka itu, Gayatri? Apakah engkau bercita-cita menjadi

   ratu?"

   "Tidak, Dibya. Kalau engkau berhasil mengambil benda pusaka itu, engkau boleh memilikinya karena engkaulah yang kini bahkan menjadi raja kecil di Nusa Barung. Aku tidak membutuhkan pusaka itu."

   "Hemm, kalau engkau tidak membutuhkan pusaka itu, lalu mengapa engkau menyuruh aku mencurinya?"

   "Aku hanya ingin agar Sang Prabu Erlangga gelisah dan susah karena kehilangan benda pusaka yang penting itu. Aku ingin agar kekuasaan Sang Prabu Erlangga menjadi lemah dan akhirnya hancur. Aku benci kepadanya dan ingin melihat dia sengsara dan jatuh dari kedudukannya sebagai raja besar!"

   "Lho! Mengapa begitu?"

   "Aku benci padanya! Aku benci kepada Sang Prabu Erlangga dan Patih Naro-tama. Aku ingin keduanya hancur, Kerajaan Kahuripan jatuh. Aku benci!!"

   "Wah, kalau engkau membenci mereka dan ingin agar benda pusaka itu dicuri, mengapa tidak kau lakukan saja sendiri, Gayatri? Aku yakin kalau engkau mau, akan mudah bagimu untuk mencuri benda pusaka itu!"

   Nini Bumigarbo cemberut.

   "Kalau aku bisa melakukannya, apa kau kira aku akan datang ke sini dan minta tolong kepadamu?"

   "Lho! Mengapa tidak bisa, Gayatri? Apa engkau takut terhadap raja yang masih muda itu? Menggelikan!"

   "Siapa yang takut?"

   Nini Bumigarbo menghardik.

   "Aku tidak takut, akan tetapi aku tidak bisa melakukannya sendiri karena aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu mereka dengan tanganku sendiri!"

   "Eh? Kepada siapa engkau berjanji itu, Gayatri?"

   "Hemm, sudahlah, tak perlu engkau banyak bertanya. Sekarang jawab saja, maukah engkau membantuku melakukan pencurian benda pusaka Cupu Manik Maya?"

   "Hemm.... entahlah.... akan kupikirkan dulu, Gayatri. Nanti kujawab sehabis kita makan."

   Pada saat itu, pelayan datang memberitahu bahwa hidangan telah dipersiapkan di ruang makan.

   "Ha-ha-ha, bagus! mari, Gayatri dan engkau juga, Niken Harni, mari kita makan bersama dalam ruang makan."

   Ki Dibya Krendasakti tampak gembira sekali.

   Nini Bumigarbo dan Niken Harni mengikutinya meninggalkan ruang tamu menuju ke ruang makan yang ternyata juga cukup luas dan prabotannya mewah. Sebuah meja makan persegi yang besar berada di tengah ruangan. Lima buah kursi berada di seputar meja. Belasan macam masakan berada di atas meja, dan masih mengepulkan uap. Tiga orang pelayan wanita berdiri di dekat dinding, dengan sikap hormat dan siap melayani.

   "Ha-ha, duduklah, Gayatri dan Niken. Kalian berdua duduk di sini."

   Dia menunjuk dua buah kursi yang berjajar. Di seberang meja, berhadapan dengan mereka, terdapat dua buah kursi yang berjajar pula, sedangkan Ki Dibya Krendasakti sendiri duduk di kepala meja.

   Diam-diam Nini Bumigarbo merasa heran mengapa ada dua buah kursi kosong di depannya. Siapa yang akan duduk disitu? Akan tetapi ia tidak menyinggung hal itu ketika bertanya.

   "Dibya, di mana sahabatku Woro Sumarni? Aku ingin bertemu dengannya dan kau bilang tadi ia akan hadir dalam perjamuan ini."

   "Sabar, Gayatri, sebentar juga ia akan datang."

   Ki Dibya lalu berkata kepada seorang pelayan.

   "Cepat kamu mohon Bendoro Puteri untuk hadir sekarang!"

   Pelayan itu membungkuk lalu pergi.

   Tak lama kemudian, muncullah orang yang dinanti-nanti Nini Bumigarbo. Niken Harni ikut memandang dan ia merasa kagum. Seorang wanita, usianya sekitar empat puluh delapan tahun, masih cantik dan tubuhnya ramping padat, kulitnya kuning, namun wajahnya pucat dan matanya suram tanpa gairah, mulutnya yang manis bentuknya itupun menunjukkan hati yang penuh duka. Pakaiannya mewah, bersih dan rapi, dari sutera mahal. Rambutnya masih hitam, panjang dan digelung rapi, dihias tusuk sanggul dari emas permata. Sungguh seorang wanita yang anggun dan cantik. Namun ia pucat dan tak bersemangat, bahkan seperti mayat hidup. Ki Dibya Krendasakti cepat bangkit dari duduknya dan menarik dua buah kursi yang berjajar di depan Niken dan Nini Bumigarbo.

   "Diajeng, duduklah."

   Wanita itu duduk dengan lesu. Yang membuat Niken Harni terbelalak adalah ketika ia melihat seorang pelayan wanita yang tadi berjalan di belakang wanita cantik itu, membawa sebuah baki kecil hitam yang tertutup sehelai kain kuning. Pelayan itu kini meletakkan baki di atas meja, di depan kursi kosong yang berada di sebelah kiri wanita cantik Itu. Kemudian dengan perlahan dan hati-hati la membuka kain kuning yang menutup baki.

   Niken Harni terbelalak dan menahan seruan kagetnya ketika melihat bahwa di atas baki itu terdapat sebuah tengkorak. Tulang itu putih bersih dengan lubang-lubang ternganga pada kedua mata, hidung dan mulutnya. Yang mengerikan adalah mulut tengkorak itu. Masih tampak deretan gigi berbaris rapi pada mulut yang setengah terbuka itu sehingga tengkorak itu seolah menyeringai mentertawakan!

   "Diajeng Woro Sumarni, lihat siapa yang dating mengunjungi kita ini!"

   Kata pula Dibya Krendasakti kepada isterinya yang sejak tadi hanya menundukkan muka dan sama sekali tidak melihat ke arah Nini Bumigarbo dan Niken Harni.

   "Woro! Engkau kenapa? Ini aku, Gayatri!"

   Kata Nini Bumigarbo sambil bangkit dari kursinya dan menghampiri wanita itu.

   Woro Sumarni mengangkat mukanya memandang, sikapnya dingin saja ketika la berkata.

   "Ah, engkaukah yang datang, Mbakayu Gayatri?"

   Setelah berkata demikian, ia menunduk kembali.

   Nini Bumigarbo merangkul Woro Sumarni yang dulu ketika masih sama-sama muda menjadi sahabat baiknya.

   "Marni..., engkau kenapakah....?"

   Akan tetapi Woro Sumarni bersikap dingin saja, menggeleng kepalanya dan berkata.

   "Tidak apa-apa, Mbakayu Gayatri."

   "Ha-ha-ha, Gayatri, ternyata isteriku tercinta ini lebih tenang daripada kamu. Duduklah dan mari kita mulai dengan perjamuan makan yang kami adakan untuk menyambut kalian berdua sebagai tamu kehormatan."

   Kemudian Dibya Krendasakti memberi isarat kepada para pelayan wanita yang kini berjumlah empat orang itu.

   "Hayo isi cangkir kami dengan minuman!"

   Empat orang pelayan itu dengan cekatan lalu menuangkan minuman berwarna kuning dan dari baunya dapat diketahui bahwa minuman itu terbuat dari perasan jeruk ke dalam cangkir-cangkir kosong yang berada di atas meja di depan Ki Dibya Krendasakti, Nini Bumigarbo, dan Niken Harni.

   Di depan wanita cantik itu tidak terdapat gelas kosong dan anehnya, pelayan yang tadi membawa baki terisi tengkorak itu lalu menuangkan minuman ke dalam... tengkorak melalui lubang yang berada di bagian ubun-ubun kepala tengkorak itu! Agaknya lubang-lubang di bagian bawah telah ditambal sehingga minuman itu berada di dalam tengkorak, tidak mengalir keluar.

   "Mari kita minum untuk menyambut pertemuan yang menggembirakan ini!"

   Kata Dibya Krendasakti sambil mengangkat cangkirnya.

   Minuman yang terbuat dari perasan jeruk itu tampak segar dan baunya juga sedap menimbulkan selera. Niken Harni dan Nini Bumigarbo juga sudah mengangkat cangkir masing-masing akan tetapi Woro Sumarni diam saja, dan melihat ini, dua orang tamu itu memandang penuh rasa heran. Di depan Nyonya rumah itu tidak terdapat cangkir ain jeruk.

   "Mari, Diajeng, isteriku yang tercinta, Isterlku yang ayu manis merak ati, mari kita minum!"

   Suara Dibya Krendasakti tampak lembut membujuk dan mesra, namun ada tekanan pada akhir kalimat yang mengandung kekerasan.

   Niken Harni memandang Woro Sumarni dengan penuh perhatian, la tidak mengerti apa maksud Ki Dibya dengan ucapannya kepada isterinya itu. Sejak wanita itu datang dan melihat tengkorak itu ditaruh di atas meja, berhadapan dengannya, Niken Harni sudah merasa tidak suka dan muak. Woro Sumarni, tanpa memandang siapa pun, menggunakan kedua tangannya mengambil tengkorak itu, dihadapkan kepadanya, lalu mendekatkan tengkorak itu dan.... mulutnya dirapatkan pada mulut tengkorak yang ditundukkan. Ia minum minuman itu yang keluar dari mulut tengkorak dan tampak tentu saja seperti orang berciuman!

   "Gayatri dan Niken, mari kita minum, ha-ha-ha!"

   Dibya Krendasakti berkata lalu minun dari cangkirnya.

   Nini Bumigarbo agaknya sama sekali tidak peduli akan perbuatan Woro Sumarni. Ia Juga minum sampai minuman itu habis. Akan tetapi Niken Harni merasa muak dan tidak mau minum, bahkan lalu menaruh kembali cangkir minuman itu di atas meja. Seperti juga Nini Bumigarbo, Ki Dibya menghabiskan minumannya. Bahkan Woro Sumarni juga menghabiskan minumannya, minum melalui mulut tengkorak, lalu seperti menaruh cangkir kosong, ia meletakkan kembali tengkorak itu ke atas meja.

   Melihat Niken Harni tidak mau minum, Ki Dibya berkata.

   "Niken Harni, minumlah air jeruk yang segar itu, dan rnari kita makan bersama dengan gembira."

   Niken Harni marah sekali, la sudah muak dan rasanya mau muntah, la bangkit berdiri dengan kasar dan sebelum membentak nyaring ia menggebrak meja sehingga mangkuk piring di atas meja berloncatan.

   "Brakkl! Aku tidak suka makan minum bersama manusia iblis macam kamu! Bibi Gayatri, mengapa Bibi diam saja melihat laki-laki iblis jahanam ini menghina dan menyiksa isterinya, yang sahabat Bibi sendiri, seperti ini? Iblis ini sudah sepatutnya dibasmi dari permukaan bumi!"

   Nini Bumigarbo adalah seorang datuk aneh yang sama sekali tidak tersentuh perasaannya oleh peristiwa apa pun juga. Juga Ki Dibya Krendasakti juga seorang datuk yang luar biasa, biar dimaki seperti Itu, malah tertawa terkekeh-kekeh.

   "Aku menghina dan menyiksa isteriku yang amat kucinta ini? Heh-heh-heh, Diajeng Woro Sumarni, isteriku sayang, pujaan hatiku, tolong ceritakan kepada perawan cantik yang kewat (genit) ini, siapakah yang kejam? Ceritakan semuanya agar sahabatmu Gayatri ini juga mendengar dan mengerti."

   Ucapan itu lembut dan manis, namun terasa ada kekerasan yang mengancam oleh Niken Harni. Woro Sumarni menghela napas panjang, mengangkat muka memandang suaminya, kemudian menoleh dan memandang ke arah tengkorak itu, dan akhirnya ia menghadapkan mukanya kepada Niken Harni dan Nini Bumigarbo yang duduk berhadapan dengannya, di seberang meja. Setelah menghela napas panjang sekali lagi, ia lalu bicara, suaranya lembut halus, mengandung penyesalan dan kedukaan.

   "Sesungguhnyalah, Kakangmas Dibya Krendasakti tidak bersalah, tidak kejam dan tidak menyiksaku, melainkan dia amat mencintaku. Akulah yang bersalah kepadanya, akulah yang kejam dan telah menyiksa batinnya."

   Niken Harni terheran-heran mendengar ucapan wanita itu. Nini Bumigarbo sambil minum lagi minuman yang sudah diisi ke dalam cangkirnya oleh pelayan, memandang sahabatnya itu dan berkata.

   "Marni, tadi aku mendengar suamimu mengatakan bahwa engkau boleh menceritakan semuanya agar aku dan muridku dapat mendengar dan mengerti keadaanmu. Nah, sekarang ceritakan kepada kami apa kesalahanmu kepada Dibya Krendasakti. Kekejaman dan penyiksaan batin apakah Yang telah kaulakukan kepadanya."

   Wanita itu mengarahkan pandang matanya kepada suaminya dan Dibya Krendasakti tersenyum dan mengangguk, kemudian dia menoleh ke belakang dan berseru galak kepada empat orang pelayan wanita itu.

   "Kalian berempat keluar dari ruangan ini dan tutupkan daun pintunya. Awas, kalau ada yang mengintai dan mendengarkan pasti akan kulemparkan ke sarang ikan hiu!"

   Ancaman itu agaknya bukan gertak sambal karena empat orang pelayan itu menjadi pucat dan segera keluar dari ruangan makan itu. Agaknya sudah pernah atau bahkan sering ada anak buah yang melakukan kesalahan dan benar-benar dilempar ke laut dan menjadi makanan gerombolan ikan hiu yang ganas dan buas. Setelah menghela napas lagi, Woro Sumarni mulai bercerita dengan suara lirih, lembut dan datar.

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini