Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 10


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Harimau yang sebesar gajah telah mengamuk! Ada yang bilang bahwa Itu adalah sang adipati sendiri yang berubah menjadi harimau putlh.

   Bahkan para pengawal yang sempat melihat harimau di dalam taman, menjadi panik. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang berusaha merampas kembali Bagus Seta. Akan tetapi mereka inipun roboh oleh tamparan sang harimau yang kemudian melarikan Bagus Seta dari dalam taman sambil berlompatan cepat sekali! Bagus Seta merasa ngeri juga dan terpaksa ia meramkan mata sambil memeluk leher harimau lebih kuat lagi. Angin berdesir di pinggir telinganya dan tubuhnya kadang-kadang terkena lecutan rumput alang-alang di kanan kiri

   "Paman sardulo.......... ke mana kau membawaku pergi? Kembalilah, kita harus membantu ibuku.......... harus membasmi dan mengusir para perampok jahat.........!"

   Bekali-kali Bagus Seta berbisik di dekat telinga si harimau, akan tetapi harimau putih itu tidak memperdulikannya lagi dan berlari terus keluar masuk hutan dan naik turun gunung.

   Malam telah berganti pagi ketika harimau putih tiba di lereng sebuah gunung, lalu mengaum dan berhenti. Bagus Seta yang merasa lelah sekali lalu melorot turun dari atas punggung harimau, memandang kepada kakek tua yenta berpakaian putih yang tahu-tahu telah berdiri di depan harimau. Kakek itu berdiri sambil memegang tongkat bambu gading, tangan kiri mengelus jenggot panjang yang putih itu dan mulutnya tersenyum.

   "Terpujilah Sang Hyang Wishnu....""! Kakek tua renta itu berkata halus.

   "Suratan takdir tak dapat dihapus oleh siapapun juga di dunia ini! Kulup, Bagus Seta, kedatanganmu ini meyakinkan hatiku bahwa engkau memang berjodoh dengan aku. Engkaulah yang kelak akan mempertahankan kebesaran Sang Hyang Wishnu, angger..........!!!

   Bagus Seta memang seorang anak kecil yang baru berusia sepuluh tahun. Namun ia telah banyak mempelajari tata susila dan tahu menghormat dan menghargai seorang tua yang suci dan bijaksana. Biarpun masih kecil, ia maklum bahwa kakek di hadapannya ini bukanlah seorang manusia biasa dan bahkan menjadi majikan dari sang harimau putih yang hebat. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.

   "Jadi Eyangkah yang menyusuh paman sardula putih datang menolong saya daripada pengeroyokan perampok? Saya mengucap syukur dan menghaturkan banyak terima kasih, Eyang."

   Kakek itu tertawa, suara ketawanya halus dan sepasang matanya yang bersinar amat tajam itu berseri-seri gembira.

   "Sardulo pethak, kau dengar, alangkah pandainya sang adipati di Selopenangkep mendidik puteranya! Heh-heh-heh, angger Bagus Seta. Tidak ada yang menolong atau ditolong. Sardulo pethak kusuruh datang ke Selopenangkep hanya untuk mempersiapkan diri kalau-kalau memang engkau berjodoh denganku, Angger. Kalau bukan karena kehendakmu sendiri engkau ikut dengannya, dia tidak akan memaksamu. Bukankah engkau sendiri yang ikut bersamanya,' kulup?"

   "Tidak salah, Eyang. Memang saya menunggangi punggungnya. Akan tetapi......... saya tidak mengerti mengapa dia membawa saya ke sini menghadap Eyang."

   "Kekuasaan berada di tangan Sang Hyang Widhi, Angger. Bahkan semua dewata dan manusia hanya mempunyai tugas kewajiban, namun keputusan terakhir sepenuhnya berada di tangan Yang Maha Kuasa. Akupun hanya berusaha, angger, dan agaknya usahaku mendapat berkah Sang Hyang Wishnu yang memelihara dan menjaga semua kebaikan. Engkau berjodoh untuk menjadi muridku, kulup, dan kepadamulah aku harus menurunkan semua pengertian yang kumiliki."

   "Banyak terima kasih saya haturkan kepada Eyang. Menurut wejangan Ayah saya, amatlah bahagia menjadi murid seorang yang maha sakti seperti Eyang. Akan tetapi, saya harus kembali ke Selopenangkep, Eyang. Selopenangkep diserbu penjahat, Kanjeng Ibu tentu terancam bahaya. Bagaimana saya dapat mendiamkannya saja dan berada di sini dalam aman tenteram sedangkan Kanjeng Ibu terancam bahaya?"

   "Ha-ha-ha, bagus sekali, sekecil engkau sudah mengenal dharma bakti kepada orang tua! Akan tetapi engkau lupa, Bagus Seta, bahwa kehadiranmu di sana sama sekali tidak akan membantu ibumu,melainkan menambah beban ibumu karena harus melindungimu. Jangan khawatir, Angger. Engkau ikutlah bersamaku dan kelak pasti engkau akan bertemu kembali dengan orang tuamu."

   "Memang saya tidak dapat membantu ibu, Eyang. Akan tetapi.......... apapun yang terjadi di Selopenangkep, saya harus menyaksikannya. Kata Kanjeng Rama, bukanlah watak seorang ksatria kalau melarikan diri daripada bahaya meninggalkan orang lain yang terancam malapetaka. Mencari keselamatan sendiri tanpa memperdulikan orang lain, apalagi Kangjeng ibu sendiri, adalah perbuatan pengecut yang hina!"

   Kakek itu merangkul pundak sambil membungkuk, lalu membelai kepala Bagus Seta.

   "Wahai muridku yang bagus dan baik! Engkau benar-benar calon seorang ksatria budiman yang selalu mengingat wejangan baik di dalam hati. Semoga pengetahuanmu tentang itu akan mendarah daging pada dirimu, tidak hanya akan menjadi hafalan-hafalan kosong belaka melainkan kau nyatakan di dalam semua sepak terjangmu dalam hidup! Tidak salah seujung rambutpun wejangan Ramandamu, Angger. Akan tetapi, sekali ini keadaannya berbeda. Engkau bukan melarikan diri, melainkan dituntun oleh tangan gaib Sang Hyang Wishnu sendiri sehingga engkau datang kepadaku. Sekali lagi kukatakan, janganlah kau khawatir dan marilah kau ikut aku. Sudah tentu saja aku tidak hendak memaksakan kehendakku, karena aku selalu bertindak sesuai dengan -kehendak Sang Hyang Widhi. Sukakah engkau menjadi muridku, Bagus Seta?"

   Anak itu menyembah lagi.

   "Demi semua Dewata di Suralaya, Eyang. Saya suka sekali menjadi murid Eyang."

   "Nah, kalau begitu, mulai saat ini juga engkau kuangkat menjadi muridku. Aku dikenal sebagai Ki Tunggaljiwa dan ketahuilah, muridku, bahwa sesungguhnya Ramandamu itu masih cucu muridku sendiri! Bagus Seta, biarpun engkau masih seorang kanak-kanak, tentu Ramandamu pernah bercerita kepadamu. Tahukah engkau guru ramandamu?"

   Jantung anak itu sudah berdebar tegang saking kagetnya mendengar bahwa kakek ini masih eyang guru ayahnya! Tentu saja ia sudah banyak mendengar dari ayahnya tentang guru-guru ayahnya maka tanpa ragu-ragu ia menjawab.

   "Menurut penuturan Kanjeng Rama, pertama-tama yang menjadi guru Kangjeng Rama adalah Kanjeng Eyang Pujo sendiri, ayah angkat Kanjeng Rama. Kemudian Kanjeng Rama digembleng oleh Eyang Buyut Resi Bhargowo, dan yang terakhir, guru Kanjeng Rama adalah sang bijaksana yang sakti mandraguna Rakyana Patih Narotama."

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Benar sekali apa yang kaudengar dari Ramandamu itu, Angger. Yang membuat Ramandamu menjadi seorang ksatria sakti mandraguna seperti sekarang ini adalah karena beliau menjadi murid mendiang Ki Patih Narotama. Ketahuilah, bahwa bersama mendiang Sang Prabu Airlangga, Ki Patih Narotama adalah murid-murid terkasih dari Sang Bhagawan Satyadharma yang bertapa di puncak Gunung Agung di Ball. Nah, adapun Bhagawan Satyadharma itu adalah kakak seperguruanku sendiri, Angger."

   Terkejutlah hati Bagus Seta. Ia menyembah lagi dan berkata penuh takjub.

   "Kalau begitu.......... Eyang adalah Eyang guru dari Kanjeng Rama dan saya......... adalah cucu buyut Eyang..........

   "Ha-ha-ha, tidak perlu terlibat dalam urutan yang tiada artinya, muridku. Engkau adalah terpilih menjadi muridku, karena itu engkau adalah muridku dan kau boleh saja menyebutku Bapa Guru. Nah, setelah kau menjadi muridku, kau tentu tahu, apakah kewajiban pertama dari seorang murid kepada gurunya?"

   "Kalau saya tidak keliru, kewajiban pertama adalah mentaati semua perintah dan petunjuk sang guru."

   "Tepat sekali, Angger. Nah, sekarang perintahku yang pertama kali, engkau harus ikut bersamaku ke puncak dan lenyapkan, semua kegelisahan hatimu tentang Selopenangkep."

   Bagus Seta masih seorang kanak-kanak. Berat sekali rasanya mentaati perintah ini, apalagi harus melupakan Selopenangkep. Mana mungkin? Akan tetapi sebagai seorang anak gemblengan yang tahu akan arti kata kegagahan dan memegang teguh kata-kata yang sudah keluar dari mulut, ia tidak berani membantah, lalu bangkit berdiri dan mengikuti gurunya yang mulai mendaki Gunung Merapi. Sardulo pethak,-si macan putih, tampak gembira sekali melihat Bagus Seta ikut naik ke puncak.

   Seperti seekor anak kambing yang nakal, ia melonjak-lonjak dan kadang-kadang lari mendahului mendaki lereng, dan di lain saat ia sudah berlari lagi turun, mengitari Bagus Seta, dan mendorong-dorong punggung anak itu dari belakang, seperti rnengajak berlumba lari. Karena diapun masih seorang kanak-kanak, Bagus Seta timbul kegembiraannya dan tak lama kernudian iapun sudah lupa akan kegelisahannya dan bermain-main di sepanjang jalan pendakian itu bersama sardulo pethak.

   Kakek tua renta itu memang benar adik seperguruan Sang Bhagawan Satyadharma di Gunung Agung yang terkenal maha sakti itu. Berbeda dengan Sang Bhagawan Satyadharma yang terkenal menjadi seorang pendeta, adik seperguruan yang jauh lebih muda ini semenjak dahulu suka melakukan perantauan.

   Akan tetapi kakek ini yang memakai nama sederhana, yaitu Ki Tunggaljiwa, tidak suka menonjolkan diri di dunia ramai dan ke manapun juga ia pergi, ia selalu mengunjungi puncak-puncak gunung yang sunyi, jarang bertemu dengan manusia dan hidup bertani di tempat sunyi. Karena itulah maka jarang ada orang mengenalnya. Andaikata ada yang melihatnya sekalipun tentu akan mengira bahwa dia seorang petani tua biasa saja. Pada-hal sesungguhnya kakek ini adalah orang yang memiliki ilmu amat tinggi!

   Mengapa kini Ki Tunggaljiwa yang biasanya hidup menyendiri itu secara tiba-tiba mengambil murid? Bukan sedikit anak-anak yang ia lihat bertulang baik dan berjiwa bersih yang cukup berharga untuk diambil murid selama ia melakukan perantauannya, akan tetapi tadinya ia memang tidak ingin mencampuri urusan dunia, maka hatinyapun menjadi dingin dan hambar, tidak ingin mempunyai murid, bahkan ingin membawa semua ilmunya yang dianggap tiada gunanya itu ke alam baka.

   Akan tetapi, sungguh di luar perkiraannya, terjadilah hal-hal yang membuat ia terkejut dan prihatin sekali. Ia melihat ada usaha-usaha untuk mendesak agama yang dianut oleh rakyat terbanyak di daerah Daha (Panjalu), Jenggala dan terus timur sampai ke Bali, yaitu agama yang memuja Sang Hyang Wishnu! Kalau yang mengancam ini hanyalah penyembah-penyembah Bathara Kala atau Bathari Durgo yang tidak banyak pengikutnya, ia tidak merasa khawatir.

   Akan tetapi musuh-musuh yang akan muncul ini merupakan bahaya-bahaya besar karena selain didukung oleh kerajaan-kerajaan besar, juga dikendalikan atau dijagoi oleh orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi sekali. Melihat ancaman yang tidak terlihat oleh kebanyakan orang ini, hati Ki Tunggaljiwa merasa risau dan ia tahu bahwa kini tibalah saat baginya untuk berdharma bakti kepada dunia, kepada manusia dengan perbuatan-perbuatan yang nyata.

   Ia sudah amat tua, dan betapapun saktinya, la bukan sebangsa ular yang yang ditakdirkan dapat berganti kulit. Dia seorang manusia yang tidak akan luput daripada kematian. Maka ia pikir bahwa jalan terbaik baginya adalah menurunkan atau mewariskan seluruh ilmunya kepada seorang murid yang terbaik.

   Memang apa yang dikhawatirkan Ki Tunggaljiwa itu tidaklah berlebihan kalau dilihat dari perkembangan keadaan negara di waktu itu. Semenjak Kerajaan Kahuripan yang tadinya menjadi amat besar dan kuat sebagai lanjutan Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sang Prabu Airlangga dipecah menjadi dua seperti keadaan waktu itu, yaitu menjadi Kerajaan Panjalu yang kemudian terkenal dengan sebutan Kerajaan Daha dan Kerajaan Jenggala, maka keadaan menjadi lemah. Hal ini mungkin karena pemecahan kerajaan menjadi dua mendatangkan pandangan dan kesan yang amat tidak menguntungkan kerajaan-kerajaan keturunan Sang Prabu Airlangga.

   Raja-raja yang tadinya takluk, menganggap pemecahan itu sebagai kelemahan dan banyaklah di antara mereka yang memberontak dan berdiri sendiri, tidak mengakui kedaulatan kedua kerajaan itu.

   Hal ini menjadi lebih memburuk dan berbahaya ketika pada masa itu ancaman membesar dari Kerajaan Sriwijaya yang memasukkan pengaruhnya lewat Pulau Jawa di sebelah barat. Tadinya, ketika Sriwijaya masih menghadapi musuh utamanya yaitu Kerajaan Cola (India selatan) yang terus menerus menyerang Sriwijaya dan setiap kali mengalahkan pasukan-pasukan Sriwijaya, maka Sriwijaya tidak ada kesempatan untuk mendesak Daha (Panjalu) dan Jenggala.

   Akan tetapi pada waktu itu, terjadilah perdamaian antara Sriwijaya dan Cola, juga dengan kerajaan dari India utara dari mana Sriwijaya mendapat banyak pelajaran tentang ilmu dan agama, yaitu Agama Buddha (Mahayana). Setelah terdapat perdamaian ini, Sriwijaya merasa dirinya kuat kembali dan mulailah melakukan desakan ke selatan, yaitu kepada musuh lamanya, Mataram yang kini menjadi Panjalu atau Daha dan Jenggala itu.

   Seperti telah menjadi catatan sejarah, semenjak dahulu Sriwijaya dan Mataram selalu bertentangan. Hanya pada masa jayanya Sang Prabu Airlangga, terjadilah hubungan baik, yaitu ketika Sang Prabu Airlangga menikah dengan puteri dari Sriwijaya yang kemudian menjadi ibu dari sang prabu di Jenggala. Akan tetapi, setelah terjadi pertikaian antar saudara antara kedua orang pangeran putera Sang Prabu Airlangga, hal ini kembali merenggangkan perhubungan dengan Sriwijaya.

   Apalagi setelah Sang Prabu Airlangga dan puteri dari Sriwijaya telah meninggal dunia, hubungan dengan Sriwijaya boleh dibllang terputus sama sekali. Namun tentu saja hal ini tidak memutuskan cita-cita

   Sriwijaya untuk menanam pengaruhnya di Jawadwipa dan terutama sekali untuk keperluan Agama Buddha yang dianutnya. Selain itu, juga Kerajaan Cola yang kini sudah berbaik dengan Sriwijaya tidak mau ketinggalan, ikut membonceng dan mencari kesempatan menanam pengaruh dan mencari keuntungan di pulau yang indah dan lohjinawi (subur makmur) itu. Golongan ini mempergunakan para penganut Sang Hyang Syiwa untuk mencari kedudukan.

   Dahulu, memang pernah Agama Buddha yang memegang kekuasaan, yaitu ketika Pulau Jawa berada di bawah pimpinan Raja-raja Syailendra. Akan tetapi, pada jaman Mataram di bawah raja yang berjuluk Rakai Pikatan, agama yang memuja Sang Bathara Syiwa menjadi berkembang karena raja ini beragama Syiwa.

   Dan pada masa itu dua agama itu, yaitu Agama Buddha dan Agama Syiwa yang merupakan pecahan daripada Agama Hindu lama, mengalami masa kebesarannya. Akhirnya, setelah Kerajaan Mataram berpindah ke timur di bawah pimpinan Sang Prabu Airlangga, kedua agama ini mulai terdesak dan karena sang raja memuja Sang Bathara Wishnu, maka rakyatpun banyak yang mengikuti jejak raja.

   Dan sekarang, menurut wawasan Ki Tunggaljiwa yang menjadi seorang penyembah Sang Hyang Wishnu, mulailah tampak ancaman dari Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola. Kakek ini sama sekali tidak prihatin akan pertentangan antara kerajaan, akan tetapi ia merasa prihatin sekali melihat betapa Agama Wishnu terancam kebesarannya oleh agama-agama lain.

   Ki Tunggaljiwa tahu akan hal itu karena beberapa bulan yang lalu, ketika ia melakukan perjalanan merantau ke barat, dan hendak bertapa dan bersunyi diri di Gunung Sanggabuwana, bertemulah ia di sana dengan seorang tokoh Agama Syiwa dan seorang pendeta Buddha.

   Sebagai manusia-manusia biasa, biarpun tiga orang tokoh besar ini sudah memiliki kepandaian tinggi, terjadilah perdebatan yang berlarut-larut sehingga memanaskan suasana dan kedua orang tokoh Agama Syiwa dan Agama Buddha itu dalam keadaan hati panas menyatakan bahwa agama mereka sudah siap untuk mengembalikan kekuasaannya di Daha (Panjalu) dan Jenggala!

   "Kami akan menghalau setiap rintangan!"

   Demikian tokoh Agama Syiwa yang marah itu berkata.

   "Dan terutama sekali andika, sebagai tokoh pemuja Sang Bathara Wishnu, kalau merintangi akan kami lenyapkan lebih dahulu!"

   Hanya karena kesadaran dan kesabaran hati Ki Tunggaljiwa saja maka pertemuan dan perdebatan itu tidak berubah menjadi pertempuran. Setelah terjadi hal itu, dengan hati penuh prihatin kembalilah sang pertapa ke timur dan menetap di puncak Merapi. Biarpun ia sudah mengambil keputusan untuk mencari murid, namun tetap saja sang pertapa menyerahkan pemilihannya kepada Sang Hyang Wishnu sendiri, dan setiap hari hanya berdoa agar ,memberi petunjuk dan agar bisa mendapatkan seorang murid yang baik.

   Maka terjadilah pertemuannya dengan Bagus Seta dengan perantaraan sardulo pethak, binatang ajaib yang jarang ada ini dan yang menjadi kelangenannya atau binatang peliharaan yang amat dikasihinya. Pertemuan inilah yang dijadikan tanda oleh Ki Tunggaljiwa bahwa Sang Hyang Wishnu telah memberi petunjuk. Apalagi setelah diketahuinya bahwa anak itu adalah putera Adipati Tejolaksono yang ia tahu adalah murid Ki Patih Narotama, hatinya menjadi girang sekali. Inilah murid yang selama ini ia tunggu-tunggu!

   Di puncak Merapi, tak jauh dari kawah yang selalu mengeluarkan asap, uap dan api panas, terdapat sebuah pondok yang dijadikan tempat bertapa Ki Tunggaljiwa. Pondok tempat tinggalnya berada di sebelah bawah puncak, di tempat yang subur, di mana tumbuh banyak pohon dan buah-buahan dan di situ terdapat pula mata air yang mengeluarkan dua macam air dari dua sumber yang berdampingan, yaitu sebuah sumber air panas mengandung belerang, dan yang sebuah pula sumber air dingin yang amat dingin dan jernih.

   Begitu tiba di situ, pada hari-hari pertama Bagus Seta digembleng oleh gurunya dengan ilmu bersamadhi yang amat berat. Biarpun baru berusia sepuluh tahun, Bagus Seta tidaklah asing akan ilmu samadhi, karena sudah diajari ayahnya. Akan tetapi, latihan samadhi yang diajarkan gurunya ini amatlah sukar dan menyiksa diri karena ia disuruh bersamadhi di siang hari sambil merendam tubuh sampai ke leher dalam air dari sumber air panas yang berbau belerang dan panasnya bukan main itu.

   Pada hari pertama, tubuhnya terasa terbakar dan hampir saja ia tidak kuat bertahan kalau saja di situ tidak ada Ki Tunggaljiwa yang setiap kali menyentuh kepalanya rasa panas membakar itu menjadi berkurang dan dapat ia tahan! Latihan di malam hari tidak kurang menyiksanya karena ia diharuskan bersamadhi sambil merendam diri di dalam air dari sumber air dingin.

   Bukan main dinginnya. Tubuhnya serasa membeku dan giginya sampai berbunyi karena saling beradu, tubuh menggigil dan ia tentu pingsan kalau saja tidak disentuh gurunya pada tengkuknya. Sentuhan bukan sembarang sentuhan karena dari jari tangan gurunya ifu, keluar hawa panas yang dapat melaw,an rasa dingin membeku itu!

   Setelah genap tiga pekan berlatih samadhi seperti ini, mulailah Bagus Seta terbiasa dan tidak perlu dibantu gurunya pula. Tubuhnya dapat menahan, akan tetapi masih belum mudahlah baglnya untuk merigheningkan cipta.

   Semua pancaindranya ia kerahkan untuk melawan rasa panas jika berendam di air panas dan rasa dingin pada malam harinya jika berendam di air dingin, sehingga ;tidak ada sisa kekuatan lagi untuk mengendalikan pancaindra dan mematikan raga.

   Akan tetapi sudah mulai mendapat kemajuan, sedikit demi sedikit dibimbing gurunya. Adanya sardulo pethak di siitu banyak membantu Bagus Seta karena harimau ini ternyatapun kuat bertahan berendam di dalam air dingini Bagus Seta adalah seorang anak yang menjunjung tinggi kegagahan, juga telah memiliki harga diri yang tinggi, maka tentu saja la merasa malu kalau sampai kalah, oleh seekor harimau! Hal ini banyak menolongnya dan banyak membantunya memperoleh kemajuan pesat.

   Kemajuan yang mulai tampak itu menggembirakan hati Bagus Seta sehingga anak ini menjadi makin rajin. Memang dalam waktu kurang lebih satu bulan itu, seringkali termenung kalau memikirkan orang tuanya dan Selopenangkep, akan tetapi justeru hal inipun merupakan latihan batin yang amat baik baginya.

   Mula-mula seringkali ia duduk menangis seorang diri teringat akan,ibunya, akan tetapi akhirnya ia dapat melawannya, bahkan kalau perasaan rindu kepada ibunya Itu datang menyerangnya, ia menceburkan diri ke dalam air panas di waktu siang hari dan air dingin di waktu malam, kemudian, menghilangkan semua rasa rindu itu dengan bersamadhi!

   Biarpun di luarnya tidak menyatakan sesuatu, namun sesungguhnya, setiap saat Ki Tungaljiwa memperhatikan gerak-gerik muridnya dan ia gembira bukan main menyaksikan betapa muridnya yang masih kecil itu ternyata sudah lulus dari ujian pertama yang amat berat. Ia kini yakin bahwa memang Sang Hyang Wishnu sendirilah yang telah memilihkan murid baginya dan ia merasa berterima kasih sekali

   Kurang lebih delapan pekan telah lewat semenjak Bagus Seta berada di puncak Gunung Merapi bersama Ki Tunggaljiwa. Pagi hari itu, seperti biasa, setelah sarapan pagi yang amat sederhana, yaitu ubi bakar dan minum air panas dari sumber yang berbau belerang untuk mengusir hawa dingin pagi hari itu, Ki Tunggaljiwa bersama Bagus Seta duduk di depan pondok. Setiap pagi, Ki Tunggaljiwa tentu mengajak muridnya untuk menyambut munculnya matahari sambil duduk bersila di atas tanah.

   "Sebelum dewangkara (matahari) naik sampai ke atas kepala kita, cahayanya mengandung berkah yang berlimpah-limpah, sarinya, mengandung dasar kekuatan yang tak ternilai harganya. Karena itu, kita harus dapat menikmati berkahnya dan sedapat mungkin kau harus dapat menampung inti sari kekuatan mujijat yang terdapat di dalam sinar kencana itu, muridku."

   Demikian Ki Tunggaljiwa memberitahu muridnya sehingga setiap pagi mereka duduk bersila takberbaju. Hal ini dilakukan oleh guru dan murid dengan sikap yang amat menghormat, karena menurut pendapat Ki Tunggaljiwa, yang menguasai sang dewangkara adalah Sang Hyang Bathara Surya sendiri, oleh karena itu berkah dan kekuatan itu harus diterima dengan penuh hormat.

   Guru yang amat tua dan murid yang masih kanak-kanak itu duduk bersila di pagi hari itu di depan pondok. Tak lama kemudian, keduanya sudah duduk diam dan berlatih samadhi sambil menikmati cahaya sinar matahari pagi yang memandikan tubuh mereka. Demikian tekun dan hening mereka dalam samadhi sehingga, tidak tahu bahwa ada dua orang yang memiliki gerakan ringan dan gesit telah mendaki puncak dan tiba di dekat pondok mereka.

   Dua prang itu bukan lain adalah Adipati Tejolaksono sendiri bersama isterinya, Ayu Candra. Wanita ini berkeras tidak mau ditinggalkan suaminya, hendak ikut dan turun tangan sendiri mencari puteranya yang hilang.

   ADIPATI TEJOLAKSONO tidak dapat, melarang isterinya maka berangkatlah suami isteri ini menunggang kuda menuju ke kaki Gunung Merapi di mana dahulu sang adipati pernah bertemu dengan Ki Tunggaljiwa ketika sedang memburu binatang hutan.

   Setelah perjalanan mendaki gunung sampai di lereng dan amat sukar, terpaksa suami isteri perkasa ini meninggalkan kuda mereka dan melanjutkan pendakian ke puncak dengan jalan kaki.

   Hati mereka berdebar keras penuh ketegangan dan harapan ketika dari jauh mereka melihat pondok kecil di dekat puncak itu. Akan tetapi tiba-tiba Adipati Tejolaksono memegang lengan isterinya dan menarik isterinya itu menyelinap ke belakang gerombolan pohon. Cepat ia menutup mulut isterinya dengan tangan ketika melihat Ayu Candra hendak membuka mulut bertanya.

   Mereka mengintai keluar rumpun dan tampaklah oleh Ayu Candra dua sosok bayangan orang melesat naik ke puncak. Mata wanita itu terbelalak dan bulu tengkuknya berdiri. Setan-setankah yang dilihatnya itu? Kalau manusia mengapa dapat melakukan gerakan sehebat itu, seolah-olah terbang saja mendaki puncak? Dan melihat bahwa mereka berdua itu agaknya sudah amat tua, sungguh luar biasa sekali. Di dalam hatinya, Adipati Tejolaksono juga terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek yang lewat dengan kecepatan laksana terbang itu adalah orang-orang sakti yang amat luar biasa. Maka ia lalu bersikap hati-hati, mengajak isterinya melanjutkan perjalanan mendekati pondok.

   Ketika mereka berdua tiba di depan pondok dan melihat Ki Tunggaljiwa yang duduk di depan pondok di atas tanah bersama Bagus Seta, keduanya tercengang dan terharu sekali. Putera mereka sehat dan selamat.

   Dan baru sekarang mereka melihat betapa putera mereka itu amat sehat dan tampan, duduk bersila bertelanjang dada seperti sebuah arca Sang Hyang Wishnu sendiri di waktu masih kanalk-kanak, tubuhnya yang tertimpa sinar matahari itu bercahaya seperti kencana, dari kepala tampak uap putih membumbung atas membenttik lingkaran pelangi tipis. Hebat! Dan anak mereka itu sedang tekun bersamadhi. Belum pernah mereka melihat putera mereka bersamadhi seperti itu, demikian tenang, demikian hening, penuh kedamaian yang terpancar keluar dari wajahnya yang tersenyum. Sampai terisak Ayu Candra saking girang dan terharu hatinya melihat puteranya ini. Ingin ia berteriak memanggil dan lari memeluk puteranya, akan tetapi tangannya dipegang dan ditahan oleh Tejolaksono yang tidak berani berlaku sembrono di depan kakek yang ia tahu memiliki kesaktian yang amat tinggi itu.

   Tiba-tiba dari belakang pondok itu muncul seekor harimau putih yang langsung melompat ke depan Tejolaksono dan isterinya, lalu mengeluarkan suara gerengan keras dan memperlihatkan taring-taringnya yang runcing. Ayu Candra kaget sekali dan memegang lengan suaminya, siap menghadapi binatang buas yang amat besar dan menyeramkan itu. Akan tetapi Tejolaksono bersikap tenang, bahkan ia lalu maju ke depan harimau itu dan berkata nyaring,

   "Harimau putih, apakah andika masih menaruh dendam atas kematian anakmu? Tak dapatkah engkau memaafkan aku?"

   Ki Tunggaljiwa membuka matanya dan menarik napas panjang, lalu tertawa halus.

   "Ahh, kiranya Sang Adipati telah datang! Ketahuilah, Angger. Harimau dan semua binatang tidaklah semua pendendam seperti manusia. Kematian anaknya pun dianggapnya sesuatu peristiwa yang wajar dan tak terelakkan, maka tak pernah menaruh dendam, baik kepada manusia maupun dewata, karena segala perbuatan akan menimpa si pembuat sendiri, tidak perlu dibalas oleh orang lain! Tidak, sardulo pethak tidak mendendam kepadamu, tidak pula memaafkan dan tidak sakit hati. Dia hanya merasa khawatir kalau-kalau kalian datang untuk membawa pergi Bagus Seta dari sini "

   Dengan perlahan sang pertapa bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya sambil berkata lirih.

   "Kulup, Bagus Seta muridku yang baik, bangunlah. Ini ayah bundamu telah datang, Angger."

   Bagus Seta yang tadinya rnaslh dalam keheningan sarnadhinya tidak mendengar sesuatu, karena sudah biasa gurunya mernbangunkannya darl samadhi, kini menjadi sadar dan membuka matanya. Sepasang mata yang tajam bersinar-sinar akan tetapi kini bertambah dengan kehalusan yang tenang, memandang kepada ayah bundanya. Anak itu lalu melompat bangun dan berseru gembira,

   "Kanjeng Rama............! Kanjeng Ibu....!"

   "Bagus Seta anakku............!!"

   Ayu Candra lari menghampiri, berlutut di depan puteranya sambil memeluk dan menciuminya. Air mata ibu ini bercucuran saking girang hatinya. Akan tetapi puteranya bersikap tenang, bahkan sambil merangkul leher ibunya la berkata,

   "Ibu, kenapa menangis? Saya tidak apa-apa, senang di sini bersama Bapa Guru dan sardulo pethak."

   Aneh sekali tetapi nyata terasa oleh Ayu Candra. Ucapan puteranya ini biarpun dlucapkan dengan suara yang sama sebulan yang lalu, yaitu suara puteranya yang nyaring dan halus, namun ada sesuatu yang jauh berbeda. Di dalam suara ini terkandung sesuatu yang amat berpengaruh, sesuatu yang membuat jantungnya berdetak aneh dan yang sekaligus membuat ia malu akan diri sendiri, malu bahwa ia tadi telah memperlihatkan perasaan yang rnembayangkan kelemahan hati.

   Puteranya ini sekarang seolah-olah bicara seperti seorang dewata yang memiliki wibawa besar, seperti ayahnya! Diam-diarn Tejolaksono yang menyaksikan sikap dan mendengar suara puteranya, juga menjadi heran dan kagum sekali, apalagi ketika ia tadi mendengar kakek itu menyebut murid kepada Bagus Seta dan puteranya itu menyebut bapa guru kepada kakek itu!

   Karena maklum bahwa kakek itu bukan seorang manusia sembarangan, maka Tejolaksono menarik tangan Ayu Candra dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Dia seorang adipati dan sebetulnya tidaklah semestinya kalau ia sebagaI seorang pembesar dan bangsawan harus menyembah seorang kakek biasa yang tidak memiliki kedudukan.

   Akan tetapi Tejolaksono bukan seorang adipatl biasa yang terlalu mementingkan dan membanggakan kedudukannya. Di sudut hatinya, dia adalah seorang ksatria yang selalu tahu menghormat dan menjunjung tinggi seorang tua yang sakti, maka kini ia berlutut menyembah tanpa ragu-ragu lagi. Juga Ayu Candra adalah puteri seorang pertapa sakti, tentu saja wanita inipun bukan seorang penyombong seperti puteri-puteri bangsawan biasa, kini dengan segala kerendahan hati la berlutut menyembah kakek yang ia tahu telah menolong puteranya itu.

   "Eyang panembahan, hamba suami isteri menghaturkan banyak terima kasih kepada Eyang panembahan yang sudah menyuruh harimau putih untuk menolong putera kami dari ancaman para perampok yang menyerang Kadipaten Selopenangkep,"

   Tejolaksono berkata dengan sikap menghormat.

   Ki Tunggaljiwa tersenyum, mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Ia kagum juga menyaksikan sikap adipati dan isterinya ini yang begitu rendah hati, sikap yang jarang ditemukan di antara pembesar atau bangsawan.

   "Harap Andika suka bangkit dan marilah kita duduk dan bicara yang enak dan Angger adipati harap jangan keliru menduga. Saya bukanlah seorang panembahan melainkan seorang petani biasa saja, seorang tua yang lemah dan tidak semestinya Andika sembah. Bangkitlah, Angger dan marl kita duduk di atas rumput yang empuk ini."

   Tejolaksono dan isterinya tidak membantah dan mereka lalu duduk bersila di depan Ki Tunggaljiwa, sedangkan Bagus Seta duduk di samping ibunya yang bersimpuh.

   "Angger adipati, ketahuilah bahwa puteramu berjodoh dengan saya. Harap jangan mengira bahwa saya yang memaksanya datang ke sini, melainkan dia sendiri yang dengan suka rela ikut bersama sardulo pethak datang ke sini kemudian secara suka rela pula menjadi muridku. Inilah yang dinamakan jodoh, dan selama lima tahun saya harap Andika berdua rela melepaskan putera Andika itu untuk tinggal bersamaku mempelajari ilmu."

   "Aahhhh............!"

   Ayu Candra berseru kaget lalu memeluk puteranya seolah-olah tidak merelakan puteranya berpisah dari sampingnya.

   "Eyang, seperti telah Eyang saksikan sendiri betapa beratnya seorang ibu berpisah dari puteranya yang hanya satu-satunya. Bagus Seta masih terlalu kecil dan biarpun saya seorang bodoh yang tiada kepandaian, namun saya masih sanggup untuk memberi pendidikan kepada putera saya. Kelak, kalau dia sudah besar dan menghendaki memperdalam ilmunya kepada Eyang, tentu kami tidak keberatan. Akan tetapi sekarang.......... harap Eyang suka memaafkan kalau hamba berdua tidak dapat menyetujuinya,"

   Kata Adipati Tejolaksono dengan suara tenang.

   "Kanjeng Rama, saya senang sekali menjadi murid Bapa guru, harap Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu tidak melarang hamba..........."

   Kata Bagus Seta tiba-tiba sambil memandang ayah bundanya.

   "Hushhh............ Bagus Seta, bagaimana Ibumu dapat berpisah darimu, Nak? Apalagi sampai lima tahun!"

   Kata Ayu Candra.

   "Bagus Seta, tidak boleh kau membikin susah hati Ibumu!"

   Kata Tejolaksono.

   Ki Tunggaljiwa tertawa.

   "Angger adipati berdua harap maklum bahwa kehendak Hyang Widhi tidak dapat diubah oleh perbuatan manusia. Ketahuilah bahwa bukan semata-mata kehendak saya untuk mengambil murid Bagus Seta, melainkan agaknya Sang Hyang Wishnu sendiri yang memilih anak ini untuk kelak menyelamatkan nama besarNya."

   "Akan tetapi, Eyang............!!!"

   Suara bantahan Adipati Tejolaksono terhenti karena pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak dan muncullah dua orang kakek yang entah dari mana tahu-tahu telah berada di tempat itu, berdiri sambil tertawa menghadapi Ki Tunggaljiwa.

   Kakek ini memandang, menghela napas lalu bangkit berdiri. Melihat sikap ,dua orang yang baru tiba, Adipati Tejolaksono juga bangkit berdiri, diikuti Ayu Candra yang masih memeluk puteranya.

   Tejolaksono yang memandang penuh perhatian, diam-diam menjadi terkejut. Dari cahaya muka dan sinar mata mereka, ia maklum bahwa dua kakek ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Kedua orang kakek itu sudah amat tua, sukar diduga berapa usianya, akan tetapi agaknya tidak kalah tua oleh Ki Tunggaljiwa yang juga sukar ditaksir berapa usianya.

   Yang seorang bertubuh pendek gendut, berkepala gundul licin, dengan jubah kuning yang besar. Wajah kakek ini amat tenang, mulutnya tersenyum dan pandang matanya tajam penuh pengertian seakan-akan tidak ada rahasia lagi baginya akan apa yang terjadi di kolong langit ini.

   Tangan kirinya memegang seuntai tasbih dari batu putih halus mengkilap, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu cendana yang kepalanya berbentuk ukiran kepala naga. Seluruh sikap kakek gundul ini, dari kaki sampai ke kepala, pada senyum mulutnya dan sinar matanya, semua membayangkan ketenangan dan kesabaran, kepala yang gundul dan jubah kuningnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pendeta beragama Buddha dan melihat betapa sinar kasih terpancar keluar dari matanya, mudah diduga bahwa pendeta ini adalah seorang pendeta suci yang sudah matang betul ilmunya.

   Orang ke dua adalah seorang kakek tinggi kurus dan kakek inilah yang tadi tertawa-tawa. Kakek ini rambutnya panjang seperti rambut Ki Tunggaljiwa, juga sudah putih semua, akan tetapi mukanya berkulit merah sehat seperti muka seorang anak kecil yang banyak bermain di bawah sinar matahari. Matanya amat tajam dan penuh semangat hidup, penuh gairah dan panas. Anehnya, pakaian kakek ini yang juga merupakan jubah seorang pendeta Hindu, berwarna merah menyolok. Kedua tangannya kosong tidak memegang sesuatu, akan tetapi di pinggangnya tampak terselip gagang sebuah senjata yang tersembunyi di ba;ik jubahnya.

   Ki Tunggaljiwa menghela napas panjang dan mengucapkan puja-puji kepada dewata sambil berkata,

   "Puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Wisesa yang telah menurunkan anugerah kebahagiaan pada saat ini! Pantas saja angin bersilir sejuk, burung prenjak meng-ganter (berkicau riang), bajing lompat-lompat berkejaran gembira, hari cerah dan jauh lebih indah daripada biasanya. Kiranya puncak Merapi mendapat kehormatan besar menerima sentuhan kaki dua orang suci yang mendatangkan kebajikan kepada sesama umat manusia! Sang Biku Janapati............ dan Sang Wasi Bagaspati, selamat datang di puncak Merapi!"

   "Sadhu............ sadhu............ sadhu............ semoga Sang Tri Ratna melindungi kita semua!"

   Biku Janapati yang gendut dan berkepala gundul itu berdoa sambil merangkapkan kedua telapak tangan ke depan dada.

   "Wahai sang sakti Ki Tunggaljiwa, alangkah pandainya Andika memilih tempat yang begini indah. Sahabatku yang baik Ki Tunggaljiwa, seperti telah dikatakan oleh sabda suci Sang Buddha bahwa yang meninggalkan kejahatan dinamakan Brahmana, yang hidup tenang dan tenteram disebut Samana (orang suci), dan yang mengenyahkan kekotoran dirinya dlnamakan Pabbayita (berslh dari noda). Semoga Andika sudah mencapal tingkat itu, oh, sahabat dan saudaraku Ki Tunggaljiwal"

   Ki Tunggaljiwa tersenyum ramah, sepasang matanya yang bening dan bersinar terang itu ikut pula tersenyum.

   "Saudaraku yang bijaksana, Sang Biku Janapati. Sabda sucl Buddha-darma dalam kitab Dhammapada itu menerangkan tentang sifat-sifat seorang Brahmana dan Andika pergunakan untuk memuji seorang seperti aku. Ha-ha-ha-ha! Terlalu tinggi, sang biku.

   Masa mungkin seorang petani bodoh macam Ki Tunggaljiwa ini disebut seorang Brahmana? Tidak berani aku menerimanya, Saudaraku. Andika inilah yang patut disebut seorang Bhikku yang telah matang jiwanya, seperti telah disabdakan dalam Dhamma-pada bahwa seorang Bhikku hendaknya tidak melebih-lebihkan apa yang diterima olehnya, tidak iri hati terhadap orang lain, karena seorang Bhlkku yang mengiri terhadap orang lain. takkan memperoleh ketenangan batin!"

   "Ucapan Andika amat menyenangkan dan baik, Ki Tunggaljiwa. Sadhu............!"

   "Ha-ha-ha-ha-ha! Semenjak puluhan tahun yang lalu Ki Tunggaljiwa memang seorang yang pandai dan bijaksana. Pandai lahir batin dan pandai pula mengelus hati dan perasaan. Sampai-sampai Biku Janapati dapat kau nina-bobokkan dengan sabda-sabda suci Buddha-dharma (pelajaran Agama Buddha). Akan tetapi, Ki Tunggaljiwa, suara dari mulut itu bukanlah pernyataan pikiran dan senyum bukanlah cermin hati. Karena kita bertiga bukanlah anak-anak kecil lagi, kuminta, Ki Tunggaljiwa, janganlah menggunakan basa-basi dan tak perlu menanam madu di bibir. Lebih baik kita mengeluarkan isi hati dan pikiran sebagaimana adanya. Nah, aku telah berkata demi nama Sang Hyang Syiwa yang berkuasa! Omm, shanti-shanti-shanti...........!!"

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk, masih tersenyum ramah dan sepasang matanya makin tajam bersinar-sinar.

   Lengan kanannya memeluk dada, lengan kirinya bertopang siku pada lengan kanan dan tangannya mengelus-elus jenggotnya yang putih seperti benang-benang sutera perak yang halus.

   "Duhai, Jagad Dewa Bhatara...........! Sang Wasi Bagaspati semenjak puluhan tahun yang lalu masih saja penuh api dan semangat, seperti tidak pernah menjadi tua. Sungguh mengagumkan sekali! Sesungguhnyalah, aku sama sekali tidak........... berkedok basa-basi yang kosong, Sahabat. Memang aku menanam madu di bibir, akan tetapi, ini merupakan tata susila dan kepribadian bangsa kita. Bukankah amat indah tata susila dan kepribadian bangsa kita, Sang Wasi? Tata susila pencerminan peradaban dan tanpa peradaban, apa bedanya antara manusia dan binatang? Betapa janggalnya kalau Andika berdua datang bertemu dengan aku lalu kita saling memandang dengan mata melotot dan mulut cemberut penuh ancaman seperti sekumpulan binatang bertemu lawan."

   

   Mendengar sikap Ki Tunggaljiwa dan mendengar ucapan kakek ini, Adipati Tejolaksono benar-benar amat kagum dan tertarik hatinya. Juga ia tadi kaget dan kagum mendengar bahwa kakek yang diangkat guru puteranya ini benar-benar adalah Ki Tunggaljiwa seperti yang pernah disangka oleh mendiang bibinya Kartikosari. Saking kagum hatinya, tak terasa lagi ia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju dengan bantahan itu.

   "Ha-ha-ha! Dia yang tidak mengerti apa-apa, hanya pandai mengangguk-angguk menelan semua kata-kata manis seperti seekor kerbau mendapat makanan rumput kering dari si petani!"

   Kata pula Wasi Bagaspati yang berwatak brangasan itu sambil memandang.

   Tejolaksono tentu saja merasa dirinya disindir. Ia mengangkat muka memandang pendeta pemuja Sang Hyang Syiwa itu dan begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu, ia terkejut bukan main. Dari sepasang mata kakek itu seperti keluar api berkilat yang panas sekali sehingga menyilaukan matanyal Akan tetapi Adipati Tejolaksono bukan orang sembarangan. Dia pernah digembleng oleh Ki Patih Narotama, bahkan pernah pula diwejang oleh Sang Prabu Airlangga, maka diapun memiliki kekuatan batin amat hebat. Cepat ia mengerahkan tenaga batinnya menentang pandang mata ini, namun biar dia kuat menentangnya, tidak urung jantungnya berdebar dan uap panas mengepul dari ubun-ubun kepalanya!

   "Ha-ha-ha! Kiranya temanmu yang muda ini seorang muda yang berisi juga, Ki Tunggaljiwa! Muridmukah dia ini? Lebih baik kau menyuruh mereka bertiga ini menyingkir lebih dulu agar percakapan kita yang maha penting tidak terganggu."

   Tejolaksono bergidik ketika kakek itu mengalihkan pandang mata kepada Ki Tunggaljiwa. Ia maklum bahwa sebentar lagi, kalau adu pandang itu dilanjutkan, a takkan kuat bertahan. Alangkah hebatnya kakek pemuja Sang Hyang Syiwa itu!

   "Heh-heh, dia bukan orang lain, juga bukan muridku, Sang Wasi. Dia adalah Adipati Tejolaksono, Adipati Selopenangkep."

   "Aaahhh! Kiranya dia ponggawa Panjalu, bukan? Bagus sekali! Biarlah dia menjadi saksi dan pendengar untuk menyampaikan kepada sang prabu di Panjalu. Kami tidak takut!"

   "Sudahlah, Sabahatku Wasi Bagaspati. Tidak ada yang menentangmu, maka memang tidak ada persoalan berani atau takut. Lebih baik kalau Andika berdua Sang Biku Banapati menjelaskan maksud kedatangan Andika berdua."

   "Ha-ha, seperti anak kecil engkau, Ki Tunggaljiwa. Perlu lagikah dijelaskan kepada seorang sakti mandraguna seperti engkau yang kabarnya memiliki mata batin yang tajam dan awas sehingga dapat melihat keadaan masa mendatang?"

   Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng kepala.

   "Andika maklum, bukan hak manusia untuk mendahului kehendak Hyang Widhi Wisesa. Kalau engkau enggan mengaku, aku mohon Sang Biku Janapati menjelaskan maksud kedatangannya."

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   Biku Janapati yang sejak tadi hanya berdiri diam tak bergerak, kini mendehem tiga kali, lalu merangkapkan kedua tangannya lagi.

   "Ah, saudaraku Ki Tunggaljiwa. Semoga Sang Buddha menjauhkan hatiku daripada kehendak buruk! Kedatanganku ini tidak lain hanya mohon petunjuk dan penjelasan mengenai perjumpaanmu setengah tahun yang lalu di puncak Sanggabuwana dengan seorang di antara murid-muridku. Engkau dan muridku berdebat, juga dengan murid Saudara Wasi Bagaspati, dan mendengar bahwa Andika menentang berkembangnya Agama Buddha dan Agama Shiwa. Aku hanya ingin mendengar dari mulut Andika sendiri, benarkah Andika menentang Agama Buddha?"

   "Biku Janapati, perlu apa bertanya lagi? Andaikata benar demikian, tentu Ki Tunggaljiwa yang plintat-plintut ini tidak akan mengaku. Kita semua tahu bahwa dia penyembah Sang Hyang Wishnu dan kita sama tahu pula betapa para penyembah Wishnu selalu menyelamatkan diri di balik ketajaman lidahnya!"

   Ki Tunggaljiwa tidak menjadi marah, hanya mengangguk-angguk dan tersenyum lalu mengelus-elus jenggotnya.

   "Memang benar seperti yang diucapkan Wasi Bagaspati. Perlu apa lagi aku bicara kalau orang datang dengan etikat buruk? Orang yang telah diracuni kebencian tidak akan dapat melihat kebenaran, tidak akan dapat mempertimbangkan keadilan! Kalau aku bicara dan membela kebenaran, tentu akan kalian anggap keliru pula, bahkan jangan-jangan aku disangka tumbak-cucukan (penceloteh). Tidak, kedua saudaraku yang bijaksana. Aku tidak akan membela diri dan membenarkan diri sendiri. Hanya pendirianku begini, hendaknya kalian berdua dengarkan secara teliti, dengan kepala dingin. Tidak aku sangkal lagi bahwa aku, bersama sebagian besar rakyat Panjalu dan Jenggala, memuja Sang Bathara Wishnu yang penuh kasih dan yang bijaksana yang hendak menuntun manusia ke jalan kebenaran, tidak melawan kehendak Sang Hyang Widhi Wisesa! Akan tetapi, sungguh menyimpang daripada ajaran Sang Hyang Wishnu kalau kami para pemujanya membenci dan menghalangi perkembangan agama lain, karena kami tahu bahwasanya semua agama itu bagaikan jalan-jalan yang berlainan namun kesemuanya mempunyai titik tujuan yang sama! Sinar agung Sang Hyang Wisesa merupakan mercu suar dan ke arah mercu suar itulah semua jalan menuju. Sahabat berdua, sekali lagi kutekankan bahwa kami anak murid Sri Wishnu tidak akan menentang agama lain, akan tetapi tentu saja kami juga tidak mau ditekan."

   "Sungguh baik dan benar wawasan Ki Tunggaljiwa dan semoga Sang Buddha memberkahi kita sekalian yang berkemauan baik,"

   Kata Biku Janapati dengan wajah berseri. Akan tetapi Wasi Bagaspati lalu tertawa bergelak penuh ejekan, kemudian berkata, suaranya nyaring,

   "Ha-ha-ha, pemutaran kata-kata yang manis beracun! Heh, Ki Tunggaljiwa! Kakek-kakek seperti kita ini, perlu apa memutar-rnutar omongan? Lebih baik engkau katakan bahwa engkau tidak rela melihat agama kami berkembang ke Panjalu dan Jenggala!,. Aku Wasi Bagaspati semenjak muda terkenal sebagai orang yang paling suka akan sikap jantan yang blak-blakan, membenci sifat plintat-plintut!"

   Keras dan memanaskan hati ucapan yang keluar dari tokoh pemuja Agama Shiwa ini, akan tetapi Ki Tunggaljiwa masih tersenyum, bukan senyum sabar melainkan senyum penuh makium, seperti senyum seorang tua melihat kenakalan kanak-kanak.

   "Wasi Bagaspati, aku tidak menyembunyikan sesuatu yang aku sudah tahu pula akan latar belakang kemarahan Andika berdua. Misalnya, aku tahu bahwa Andika dan murid Andika adalah utusan-utusan atau wakil Kerajaan Cola yang ingin menancapkan kekuasaan di Jawa-dwipa, seperti juga sahabat Biku Janapati ini adalah utusan Sriwijaya yang semenjak dahulu memang ingin mendesak Mataram! Kedua kerajaan ini memperalat kalian, entah kalian sadari ataukah tidak. Akan tetapi aku tidak mencampuri urusan kerajaan. Bagiku, kujelaskan lagi, asal kalian tidak menekan kami para anak murid Sri Wishnu, kami tidak akan menentang siapa-siapa."

   "Ha-ha-ha! Tanpa tedeng aling-aling memang kuakui bahwa aku utusan Kerajaan Cola! Dan Biku Janapati memang utusan Sriwijaya! Akan tetapi kau tidak perlu berpura-pura lagi, Ki Tunggaljiwa. siapakah tidak tahu kepada engkau dan kakak seperguruanmu Bhagawan Satyadarma di Gunung Agung? Siapakah tidak tahu betapa dahulu, semenjak di Balidwipa, kalian mengusahakan agar dapat menguasai Jawa? Buktinya, anak Balidwipa, murid Bhagawan Satyadarma, menjadi Raja Kahuripan! Dan kini putera-puteranya merajai Jenggala dan Panjalu. Tentu saja engkau melindungi mereka! Pendeknya, Kerajaan Cola dan Sriwijaya akan maju terus, dan kamipun akan maju terus!"

   Ki Tunggaljiwa menggeleng kepalanya.

   "Kalau begitu Sriwijaya dan Cola takkan berhasil, dan Andika berdua juga akan menghadapi banyak tantangan!"

   "Ahh............ , begitukah? Dan siapa yang akan menentang kami? Engkaukah, Ki Tunggaljiwa!"

   "Mungkin............ kalau perlu,"

   Jawab Ki Tunggaljiwa dengan sikap tenang.

   Wasi Bagaspati mengedikkan kepala, membusungkan dada dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.

   "Babo-babo............ Ki Tunggaljiwa, kami anak murid Sang Hyang Shiwa memang bertugas membasmi yang jahat!"

   "Aku tidak akan menyangkal, Wasi Bagaspati. Sang Hyang Shiwa memang berwenang membasmi akan tetapi pengertianmu tentang yang baik dan yang jahat kacau-balau dan hanya menurutkan nafsu dan mencari kemenangan pribadi belaka. Dengan demikian, kalau engkau menentang yang benar, berarti engkau bahkan mengkhianati tugas suci Sang Hyang Shiwa."

   "Bagus! Jadi menurut pendapatmu, siapa yang benar? Orang-orang macam engkau inikah? Atau adipati antek Panjaiu ini? Huh, kalau saja dahulu aku diberi kesempatan, sudah kubasmi Airlangga dan Narotama, biang keladi utama sehingga agama-agama lain menjadi muhdur dan hanya menonjolkan penyembahan Sang Hyang Wishnu! Hayo, Ki Tunggaljiwa, majulah, biar kumusnahkan sekarang juga agar kelak tidak mendatangkan banyak korban. Engkaulah biang keladi utama sekarang!"

   "Wasi Bagaspati, Andika sudah berjanji kepadaku tidak akan menggunakan kekerasan!"

   Tiba-tiba Biku Janapati berkata dengan suaranya yang tenang dan mantap.

   Mendengar ini, Sang Wasi Bagaspati tertawa dan kepalanya menengadah ke atas.

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir, Biku Janapati. Aku tidak akan menggunakan kekerasan, akan tetapi kalau tua bangka ini maju, hemmm, dia akan menemui kebinasaanl Orang Mataram semenjak dahulu adalah orang-orang sombong dan pengecutI"

   Kalau Ki Tunggaljiwa tersenyum tenang saja mendengar semua kata-kata yang kasar dan menghina itu, adalah Adipati Tejolaksono yang tidak dapat menahan sabar. Tadinya hanya kedua telinganya saja yang merah. Akan tetapi makin lama, warna merah menjalar ke leher dan seluruh mukanya. Apalagi ketika mendengar bahwa Ki Tunggaljiwa adalah saudara seperguruan Sang Bhagawan Satyadharma, ia menjadi terkejut karena Bhagawan Satyadharma adalah eyang gurunya, dan kini melihat Ki Tunggaljiwa yang masih terhitung eyang gurunya pula itu diperhina orang, mendengar pula Mataram dan orang-orang Mataram disebut sombong dan pengecut, malah tadi nama Airlangga dan Narotama disebut-sebut, adipati yang jauh lebih muda ini segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah Wasi Bagaspati samba berkata tandas,

   "Heh, nanti dulu, Sang Wasi Bagaspati! Andika mudah saja memaki-maki orang Mataram! Saya mendengar tadi bahwa Andika adalah utusan Kerajaan Cola! Padahal melihat warna mata, rambut dan kulit, Andika adalah bangsa saya juga! Akan tetapi Andika sudah merendahkan diri menjadi antek kerajaan asing! Andika bertugas demi kepentingan Bangsa Cola di seberang lautan! Sebaliknya, kami keturunan orang Mataram mengabdi kepada tanah air dan bangsa! Dan Andika masih berani menyebut orang-orang Mataram sombong dan pengecut?"

   "Uaaahhh, babo-babo, si keparat! Engkau bocah masih bau pupuk berani kurangajar terhadap seorang kakek seperti aku? Majulah kalau kau ingin musnah hari ini!"

   "Eyang guru Ki Tunggaljiwa tentu sependapat dengan saya bahwa sebagai anak murid Sang Hyang Wishnu yang taat, saya tidak akan menyerang orang lain tanpa sebab dan hanya akan melayaninya apabila diserang!"

   Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk girang, akan tetapi Wasi Bagaspati menjadi makin marah sehingga matanya melotot mukanya merah.

   "Eyang guru? Jadi Ki Tunggaljiwa ini eyang gurumu? Murid siapa engkau, bocah?"

   "Mendiang Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama pernah membimbing hamba."

   "Hua-ha-ha-ha-ha! Hanya murid si Airlangga dan Narotama sudah berani menentang aku, Wasi Bagaspati?"

   "Saya sama sekali tidak menentang seorang tua bernama Wasi Bagaspati, yang saya tentang adalah kelaliman.........."

   "Huuuuushhh, keparat! Kau bilang aku lalim? Heh, Adipati Tejolaksono, tahukah engkau bahwa dengan mata meram aku sanggup membinasakanmu? Berani kau menerima dua kali pukulanku?"

   "Saya tidak menantang, hanya akan membela diri kalau diserang."

   "Bagus! Kalau begitu aku akan menyerangmu dengan dua kali pukulan. Nah, kau terimalah pukulan tangan kananku, bocah!"

   Wasi Bagaspati tidak melangkah maju, tetap berdiri di tempatnya semula, sejauh dua meter dari Tejolaksono, tangan kanannya dldorongkan ke depan, kelihatannya perlahan saja, namun datanglah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah dada Tejolaksono!

   Tejolaksono adalah seorang sakti. la rnaklum bahwa pukulan jarak jauh yang ampuhnya menggila dan tidak mungkin dielakkan karena jarak lingkungannya tak dapat diduga berapa luasnya. Terpaksa ia lalu mengerahkan seluruh tenaga disalurkan kepada kedua lengannya, sampai ke ujung-ujung jari kemudian kedua tangannya itu dikipatkan ke depan untuk menghalau pukulan lawan. Ia menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang sudah berkali-kali ternyata keampuhannya dalam menghadapi lawan tangguh. Sudah banyak sekali lawan sakti roboh olehnya dengan aji pukulan Pethit Nogo ini.

   Adipati Tejolaksono sudah mahir sekali menggunakan aji pukulan ini sehingga terkenal menjadi buah bibir orang bahwa dengan Aji Pethit Nogo, sang adipati sanggup memukul permukaan sungai sehingga dalam beberapa detik lamanya air itu terpecah atau terpisah sampai tampak dasar sungai! Kini ia menggunakan aji pukulan Pethit Nogo dengan pengerahan seluruh tenaganya, dapat dibayangkan hebatnya dan agaknya si penyerang yang tertangkis tentu akan patah-patah tulang lengannya.

   "Syuuuuutttt............!"

   Dari tangan kanan Wasi Bagaspati dan dari kedua tangan Adipati Tejolaksono meluncur angin yang saling menghantam di tengah udara, di antara tangan mereka yang hanya berpisah satu meter.

   "Dessss............!!"

   Sang adipati merasa betapa kedua telapak tangannya panas seperti dibakar dalam pertemuan tenaga yang tak tampak itu, dan menurut perasaannya, betapapun hebat tenaga Sang Wasi Bagaspati, namun tidak banyak selisihnya dengan tenaga saktinya sendiri. Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika tanpa dapat ia cegah lagi, tubuhnya terlempar ke belakang seperti ditolakkan tenaga yang luar biasa dahsyatnya. Untung ia tidak kehilangan akal dan cepat berjungkir balik di udara menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga ia dapat melayang turun ke bawah dan tidak sampai terbanting ke atas tanah.

   "Hemmm........... kau dapat bertahan?

   Coba yang kedua kali dan terakhir ini, terimalah!"

   Kata pula Wasi Bagaspati dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan. Lebih tepat disebut meluncur karena kedua kakinya tidak tampak bergerak akan tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur maju. Kini tangan kirinya yang mendorong dengan telapak tangan terbuka dan jari-jari tangannya merenggang.

   Sang adipati berlaku hati-hati sekali. Jelas bahwa tadi tangkisan aji pukulan Pethit Nogo tidak kuat menahan pukulan sang wasi, maka kini ia kembali mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan aji pukulan Bojro Dahono yang ia pelajari dari Ki Patih Narotama. Pukulan Bojro Dahono ini setingkat lebih dahsyat daripada Aji Pethit Nogo dan memiliki hawa panas seperti api dari dalam kawah Gunung Merapil Kalau tidak yakin betul bahwa lawannya seorang yang saki mandraguna, kiranya Adipati Tejolaksono tidak akan menggunakan aji ini karena ia tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kakek itu.

   "Wessssssssss............!!"

   Telapak tangan mereka bertumbuk di udara, belum saling menempel, dalam jarak setengah meter, akan tetapi dari kedua telapak tangan mereka mengebul asap dan uapl Hawa dil sekitar tempat itu menjadi panas dan kiranya kedua orang itu menggunakan aji pukulan yang berhawa panas!

   Kembali seperti halnya tadi, Tejolaksono merasa bahwa tenaga lawan tidaklah banyak lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Ia hanya kalah seusap. Akan tetapi aneh sekali, kini tangannya itu terbetot oleh tenaga dahsyat yang tak tampak dan betapapun ia mempertahankan diri, tetap saja ia terbetot dan tangannya makin maju mendekati tangan lawanI Ia mengerahkan tenaga menarik, namun percuma, kini bahkan kakinya terseret dan di lain saat, bagaikan besi tertarik besi sembrani, telapak tangannya yang penuh dengan Aji Bojro Dahono itu menempel pada telapak tangan Wasi Bagaspati!

   

Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini