Perawan Lembah Wilis 11
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Begitu telapak tangannya menempel pada telapak tangan lawan, Adipati Tejolaksono terkejut bukan main. Ia merasa betapa hawa saktinya tersedot tanpa dapat dicegah lagi, memasuki telapak tangan lawan dan kulit tangannya sendirI terasa seperti dibakar api Kawah Condrodimuko! la
mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan tangan, namun sia-sia karena tenaganya "amblas"
Ke dalam telapak tangan lawan.
"Huah-ha-ha-ha! Hayo kerahkan seluruh tenagamu, keluarkan semua aji kesaktianmu, coba lepaskan tanganmu kalau engkau mampu, bocah!"
Wasi Bagaspati tertawa-tawa dan kelihatan enak-enak saja sedangkan Tejolaksono mulai bermandi peluh dan mukanya berubah pucat, napasnya terengah-engah menahan nyeri dan panas. Kalau dilanjutkan ia tentu akan kehabisan tenaga yang disedot oleh lawan, dan seperti orang kehabisan darah, akhirnya ia akan roboh lemas!
"Lepaskan suamiku............!! "
Ayu Candra sudah meloncat maju dan mengirim pukulan ke arah lambung Wasi Bagaspati. Ayu Candra adalah puteri mendiang Ki Adibroto, seorang warok Ponorogo aliran putih yang sakti, tentu saja pukulannya tidak boleh dipandang ringan.
Apalagi semenjak menjadi isteri Tejolaksono, ia telah memperoleh banyak kemajuan berkat bimbingan suaminya. Akan tetapi, pukulannya tidak pernah menyentuh kulit lambung Wasi Bagaspati.
Kira-kira dalam jarak sejengkal jauhnya dari lambung, pukulan itu bertemu dengan tenaga yang berhawa panas sehingga Ayu Candra yang memukul bahkan terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Wanita itu tentu roboh kalau saja tidak cepat dipeluk dari belakang oleh puteranya, Bagus Seta.
"Ah, Angger adipati, harap Andika mundur karena Wasi Bagaspati bukanlah lawan Andika!"
Mendengar ucapan Ki Tunggaljiwa ini, Wasi Bagaspati tertawa dan Tejolaksono bingung. Tangannya sudah melekat dan tenaga saktinya disedot terus oleh kakek lawannya yang luar biasa itu. Bagaimana ia dapat mundur? Melepaskan tangannya saja tidak mampu! Akan tetapi pada saat itu, Ki Tunggaljiwa memegang pundaknya dan dari tangan kakek itu menjalar hawa yang amat dingin yang menembus punggung berkumpul di pusar, mendatangkan tenaga yang amat hebat.
Tejolaksono, seorang yang sakti mandraguna, tahu akan bantuan ini dan cepat menyalurkan hawa itu ke arah lengannya dan........... terdengar suara seperti api disiram air dingin. Dari telapak tangan yang saling menempel itu keluar asap dan sekali tarik, Tejolaksono berhasil melepaskan tangannya. Ia tidak membuang waktu lagi dan cepat melompat mundur. Akan tetapi karena ia lelah sekali, ia jatuh terduduk lalu bersila dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.
"Ha-ha-ha, bagus sekali, Tunggaljiwa! Memang bocah ini bukan lawanku. Hayo engkau majulah. Engkau lawanku. Kita tua sama tua!"
Wasi Bagaspati menantang sambil membusungkan dadanya yang tipis. Ketika Tejolaksono dan Ayu Candra memandang wajah kakek penyembah Bajhara Shiwa ini, mereka bergidik dan menjadi gentar. Kini mengertilah Tejolaksono mengapa ia tadi tidak berdaya sama sekali menghadapi kakek itu. Ia jauh kalah kuat perbawanya. Sekarang pun memandang wajah kakek itu, ia seakan-akan melihat wajah itu mengeluarkan cahaya mencorong yang membuat hatinya gentar. Hebat bukan main Wasi Bagaspati ini.
Akan tetapi menghadapi Wasi Bagaspati yang brangasan dan tinggi hati ini, Ki Tunggaljiwa tetap tenang dan penuh kesabaran. Ia agaknya tidak memandang mata kepada Wasi Bagaspati yang menantangnya, sebaliknya ia lalu menjura ke arah Biku Janapati dengan sikap menghormat. Pendeta Buddha ini sejak tadi hanya menjadi penonton saja dan sedikitpun tidak ada perubahan pada wajahnya yang amat tenang seperti air telaga yang dalam.
"Aku tidak akan berdebat dengan orang yang telah dikuasai amarah. Saudaraku Biku Janapati, bagaimana pendapat Andika? Apakah aku harus melayani tantangan Wasi Bagaspati?"
Pendeta Buddha yang tak berambut itu menarik napas panjang.
"Sadhu, sadhu! Harus diakui bahwa dalam hal pengendalian perasaan, Andika lebih menang setingkat daripada Saudara Wasi Bagaspati, Ki Tunggaljiwa! Memang tidak selayaknya orang-orang tua seperti kita berkelahi seperti orang-orang muda! Bertempur bukanlah permainan para pertapa dan pendeta, melainkan tugas para ksatria. Saudara Wasi Bagaspati, simpanlah kembali aji-aji kesaktianmu. Biarlah kalau kelak terjadi keharusan pertempuran, murid-murid kita yang akan mewakili kita."
"Ha-ha-ha, engkau untung sekali, Ki Tunggaljiwa! Usiamu yang tinggal sedikit diperpanjang beberapa tahun lagi. Kalau Biku Janapati tidak membujukku, betapa-pun kau mengeluarkan seluruh keampuhanmu, pasti hari ini engkau kukirim kembali ke alam asalmu!"
Ki Tunggaljiwa tersenyum dan membungkuk.
"Akupun amat berterima kasih kepada Biku Janapati atas pengertiannya yang mendalam dan kepadamu yang telah bersikap murah kepadaku, Wasi Bagaspati. Aku setuju dengan pendapat Biku Janapati, biarlah kelak murid-murid kita yang akan mewakili kita dan tentu saja biarlah kelak Sang Hyang Widhi Wisesa yang akan menentukan. Becik ketitik ala ketara (yang baik tampak yang buruk kelihatan)!"
"Berat............ , berat............! Ki Tunggaljiwa seorang bijaksana dan sakti mandraguna, sungguh merupakan lawan berat. Marilah, Wasi Bagaspati, kita pergi. Selamat tinggal, Ki Tunggaljiwa. Semoga Sang Tri Ratna memberi penerangan kepada Andika!"
"Doa restuku mengiringi perjalananmu, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati!"
Dua orang kakek itu berkelebat dan dalam sekejap mata saja lenyap dari tempat itu. Adipati Tejolaksono dan isterinya mengikuti bayangan mereka dengan hati kagum dan gentar. Tejolaksono menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sungguh amat berbahaya............ I"
Ia bergidik kalau teringat pengalamannya tadi. Semenjak muda ia sudah seringkali menghadapi lawan tangguh, akan tetapi sekali ini benar-benar tidak berdaya menghadapi Wasi Bagaspati yang dalam dua kali gebrakan saja hampir menewaskannya dalam keadaan mengerikan, menyedot semua hawa sakti dari dalam tubuhnya
"Wasi Bagaspati belum seberapa, Angger adipati. Aku yang tua masih sanggup menanggulanginya. Akan tetapi baiknya Biku Janapati berpemandangan luas dan hatinya bersih. Kalau dia yang dimabuk nafsu amarah seperti Wasi Bagaspati, tidak dapat aku membayangkan apa jadinya. Ilmu kesaktian pendeta Buddha itu sedikitnya dua tingkat lebih tinggi dari-pada tingkat Wasi Bagaspati!"
Adipati Tejolaksono melongo, kaget dan khawatir sekali. Kalau Panjalu dan Jenggala diancam bahaya serangan orang-orang sesakti itu, benar-benar amat mengkhawatirkan! Kemudian ia teringat bahwa kakek ini masih eyang gurunya, maka ia segera memegang tangan isteri dan puteranya, diajak menjatuhkan diri berlutut dan menyembah orang tua itu.
"Mohon Eyang mengampunkan hamba yang tidak tahu bahwa Eyang adalah Paman guru Sang Prabu Airlangga dan Rakyana Patih Narotama. Ternyata Eyang adalah Eyang guru hamba sendiri!"
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya, kemudian iapun duduk bersila seperti tadi.
"Kalian duduklah baik-baik dan dengarkan aku bicara,"
Katanya. Sikapnya tak pernah berubah, tetap tenang dan kini matahari yang telah naik tinggi menyoroti rambutnya yang putih seperti perak sehingga berkilauan menambah keagungannya.
"Kiranya Hyang Widhi telah membuka rahasia dengan kunjungan dua orang pendeta tadi. Angger adipati, setelah Andika menyaksikan dan mendengarkan semua, apakah Andika berdua isteri masih ragu-ragu untuk menyerahkan pendidikan puteramu kepadaku? Ketahuilah bahwa menurut penglihatanku, hanya puteramu ini yang kelak akan sanggup menyelamatkan Panjalu, dan terutama sekali menyelamatkan kewibawaan dan kebesaran Sang Hyang Wishnu. Kalian tadi telah menyaksikan sendiri betapa saktinya pihak lawan."
Suami isteri itu saling berpandangan dengan pucat. Betapapun berat rasa hati mereka harus berpisah dari Bagus Seta, namun mereka dapat melihat kebenaran kata-kata kakek itu.
Musuh yang mengancam negara amat sakti dan kalau tidak ada yang menanggulanginya, akan berbahaya sekali. Mereka amat mencinta putera tunggal mereka, akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang berpemandangan picik dan hanya mementingkan diri sendiri saja. Dari sepasang mata Ayu Candra bertitik dua air mata, akan tetapi Tejolaksono makium dari pandang mata isterinya bahwa isterinya sudah merelakan puteranya. Maka ia lalu berkata,
"Setelah melihat keadaan dan menginsyafi dasar pengangkatan anak kami sebagai murid Eyang guru, hamba hanya pasrah kepada kebijaksanaan Eyang. Semoga saja Bagus Seta kelak tidak akan mengecewakan mengemban tugas yang maha berat itu."
Ki Tunggaljiwa tertawa.
"Bagus sekali kalau kalian berdua sudah rela, Angger. Aku hanya mempunyai kesempatan selama lima tahun dan semoga dalam waktu itu, Sang Hyang Wishnu akan memberi bimbingan kepada puteramu sehingga berhasil dalam mengejar ilmu. Ketahuilah, dua orang pendeta tadi memiliki kesaktian yang amat tinggi. Dalam hal ilmu, kiranya engkau sendiri tidak akan kalah banyak oleh mereka, akan tetapi dalam hal kekuatan batin, ah, mereka itu sukar dilawan dan dikalahkan. Mereka sudah matang dalam gemblengan tapa dan mantra. Andaikata tadi engkau menggunakan Aji Triwikrama, agaknya tidaklah begitu terpengaruh oleh perbawanya yang amat kuat, namun betapapun juga, tidak akan mudah mengalahkan Wasi Bagaspati, apalagi Biku Janapati. Nah, sekarang harap Andika berdua pulang ke Kadipaten Selopenangkep. Masih ada hal yang harus kauhadapi Angger, namun betapapun berat, harus banyak hal yang harus kauhadapi, Angger adipati. Namun, betapapun berat, harus dapat kauhadapi dengan tabah karena segala macam hal yang menimpa diri manusia telah ditentukan oleh Hyang Widhi, sesuai dengan karma dan sesuai pula dengan perbuatan-perbuatan manusia sendiri, sehingga segala hal itu amatlah adil dan wajar. Segala hal yang terjadi pada diri manusia adalah akibat, dan mencari sebab dari luar adalah perbuatan bodoh, Angger, karena sebab-sebabnya adalah perbuatan dan pakarti kita sent diri."
Berdebar jantung Tejolaksono. Teringatlah ia akan semua perbuatannya selama ini. Diawali dengan perburuan di hutan dan pembunuhan anak harimau, pertemuannya dengan Ki Tunggaljiwa. Kemudian teringat ia akan pengalamannya dengan Endang Patibroto yang belum sempat ia ceritakan kepada Ayu Candra.
Teringat akan ini semua, ia menundukkan mukanya, menduga-duga apa gerangan yang akan menjadi akibat daripada semua perbuatannya itu. Dan adipati yang arif bijaksana dan sakti mandraguna ini mengkirik, ngeri ia melihat kenyataan semua perbuatannya itu. Ah, betapa lemahnya manusia. Betapa manusia diombang-ambingkan oleh nafsunya sendiri sehingga terbentuklah sebab-sebab yang akan menelurkan akibat-akibat yang di kemudian hari tidak akan diakui sebagai akibat perbuatannya sendiri, lalu menimbulkan sengsara! Tiba-tiba sang adipati merasa nelangsa batinnya dan ia lalu bersembah sungkem di depan Ki Tunggaljiwa dan berkata, suaranya menggetar penuh perasaan haru,
"Duhai, Eyang............ hamba mohon petunjuk untuk menggayuh (menjangkau) kesempurnaan, Eyang."
Kakek itu tertawa, suara ketawanya ramah dan lunak.
"Ha-ha-ha-ha, Angger Adipati Tejolaksono. Kata-katamu amatlah lucu. Kesempurnaan apakah yang dapat dijangkau, Angger? Dan mengapa mencari kesempurnaan? Lihatlah dirimu sendiri, telitilah sedalam-dalamnya, lihatlah baik-baik segala warna-warni dan bentuk-bentuk, dengarlah segala suara, ciumlah segala ganda (bau), adakah sesuatu di dunia ini yang kurang atau belum sempurna? Segala sesuatu ciptaan Hyang Widhi Wisesa adalah sempurna, Angger, termasuk jasmani dan rohani kita manusia adalah sempurna. Sempurna, bersih dan suci. Yang menjadi persoalan hanyalah betapa cara menjaga kebersihan itu, mempertahankan kesucian itu. Jadi persoalannya hanyalah usaha, ikhtiar yang berupa laku-lampah dan karya kita. Segala perbuatan dan ucapan kita haruslah sesuai dengan isi hati dan pikiran sehingga tidak ada perbedaan antara lahir dan batin, atau jelasnya, perbuatan kita adalah pencerminan daripada isi hati kita. Perbuatan yang sesuai lahir batin inilah, Angger, yang akan menentukan akibat-akibat di belakang hari dalam kehidupan kita."
"Perbuatan yang bagaimanakah, Eyang? Mohon petunjuk."
"Tengoklah sekeliling kita, Angger. Adakah sebuah bendapun yang tiada guianya bagi. kita? Semua berguna, semua demi kenikmatan hidup kita. Demikianlah sifat Hyang Widhi Wisesa, sekalian isi alam diberikan kepada manusia. Memberi, memberi, dan member!, tanpa pamrih! Tidak pernah meminta, tidak pernah menuntut, berkah dan anugerah berlimpah-limpah dalam pemberian yang ikhlas tanpa pamrih. Tidak pilih kasih! Lihat cahaya matahari. Siapapun adanya dia, bodoh atau pintar, kaya atau miskin, boleh menikmatinya. Pendeknya, seluruh ciptaan Hyang Widhi Wisesa diberikan kepada siapa saja yang mau dan dapat menikmatinya! Lalu, apakah balas jasa manusia terhadap semua berkah yang tak kunjung habis itu? Apakah yang telah diberikan oleh manusia? Janganlah hanya pandai meminta, meminta, dan meminta lagi! Kita harus meniru sifat yang amat indah itu, ialah memberi, memberi, dan memberi tanpa pamrih! Melakukan kewajiban sebagai manusia tanpa pamrih, berarti membantu kelancaran perputaran roda kesempurnaan yang diciptakan Hyang Widhi Wisesa."
"Kewajiban dan perbuatan yang bagaimanakah kiranya, Eyang? Maafkan, Eyang, sungguhpun sudah banyak hamba dengar dari para guru, namun petunjuk Eyang akan menjadi penambah sinar terang dalam jalan hidup hamba."
Ki Tunggaljiwa tersenyum.
"Memang, manusia harus senantiasa belajar, dan biarlah semua wawasanku ini tidak akan sia-sia. Terutama sekali kutujukan kepada muridku, Bagus Seta karena wawasan inipun merupakan pelajaran baginya."
Bagus Seta yang tadi berada dalam pelukan ibunya, kini duduk bersila dan mendengarkan penuh perhatian.
"Semua sikap dalam hidup sudah digambarkan secara jelas dalam Bhagawad Gita ketika Sang Hyang Wishnu dalam diri Sang Bhatara Kresna memberi wejangan kepada Sang Harjuna. Akan tetapi sebagai dasar permulaan, aku mempunyai dua macam pelajaran yang amat mudah dan sederhana, mudah dimengerti sungguhpun belum tentu mudah dijalankan. Pertama : JANGAN MENYUSAHKAN HATI ORANG LAIN! Pelajaran pertama ini amat luasnya, Angger dan jangan mengira akan mudah saja dilaksanakan. Karena, jika pelajaran pertama ini sudah mendarah daging pada diri kita, maka kita tidak melakukan segala macam perbuatan jahat yang merugikan atau menyinggung perasaan, pendeknya merugikan lain orang. Nah, kalau pelajaran pertama ini sudah benar-benar menjadi watak, mulailah kita meningkat kepada pelajaran ke dua, yaitu : SENANGKANLAH HATI ORANG LAIN! Senangkanlah hati orang lain sesering dan sebanyak mungkin karena sifat ini sesuai dengan semua ciptaan Sang Hyang Widhi yang serba sempurna. Hidup adalah suatu berkah dan nikmat, maka harus dinikmati bersama dengan landasan kasih sayang antar manusia yang sesungguhnya adalah senasib di dalam dunia ini."
Tejolaksono mendengarkan penuh perhatian. Filsafat yang keluar dari mulut kakek itu amatlah sederhana, namun apabila benar-benar dijalankan manusia, kiranya tidak ada perlunya lagi manusia mengejar-ngejar kesempurnaan seperti banyak dilakukan orang sehingga sesat ke mana-mana. Cara hidup baik yang sesungguhnya amat sederhana dan mudah itu menjadi sulit dan membingungkan karena dituangkan dalam wejangan-wejangan dan pelajaran-pelajaran yang rumit-rumit dan sukar dimengerti.
Setelah menerima banyak wejangan tentang sifat-sifat ksatria dan tentang pembelaan keadilan dan kebenaran, Adipati Tejolaksono dan Ayu Candra berpamit kembali ke Selopenangkep. Ayu Candra dapat menekan keharuan hatinya, hanya memeluk dan mencium pipi puteranya sambil berbisik.
"Yang baik-baik dan rajin engkau belajar di sini, Anakku!"
"Jangan khawatir, Kanjeng Ibu. Saya tidak akan mengecewakan hati Kanjeng Rama Ibu dan Bapa guru,"
Jawab Bagus Seta dengan tabah. Ada keharuan membayang di pandang mata anak itu, akan tetapi wajahnya tetap berseri dan hal ini menjadi tanda bahwa anak ini sudah mulai pandai menguasai perasaannya. Melihat ini, kembali Tejolaksono menjadi kagum. Dalam waktu dua bulan lewat saja sudah tampak perubahan besar pada diri puteranya, kemajuan yang kiranya belum tentu dapat dicapai puteranya itu selama setahun dalam gemblengannya. Ia maklum bahwa mengenai kekuatan batin, Ki Tunggaljiwa sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga ia percaya bahwa puteranya tentu akan memperoleh ilmu kesaktian yang takkan pernah dapat ia ajarkan kepada puteranya itu. Hatinya menjadi lega dan gembira, dan sedikitpun pada wajahnya tidak tampak kedukaan seperti terdapat pada wajah isterinya ketika mereka berdua menuruni lereng Gunung Merapi.
#####
Setelah suami isteri itu turun dart puncak Gunung Merapi, barulah Adipati Tejolaksono mendapat waktu dan kesempatan untuk menceritakan pengalamannya yang hebat di Blambangan. Ia menceritakan segala yang dialami Endang Patibroto, tentang tipu muslihat Blambangan dan tentang pengalamannya bersama Endang Patibroto yang terjeblos ke dalam perangkap, dalam sumur yang hampir saja menewaskan mereka berdua. Akhirnya ia menceritakan pula apa yang terjadi di dalam ruangan di bawah tanah itu, betapa dalam menghadapi kematian yang agaknya tak dapat dielakkan lagi, dia dan Endang Patibroto telah terangkap menjadi suami isteri.
Mula-mula mendengar cerita suaminya, Ayu Candra menjadi terharu sekali dan merasa amat kasihan kepada Endang Patibroto yang bernasib malang. lapun menjadi ikut gelisah dan tegang ketika mendengar cerita betapa suaminya bersama Endang Patibroto menghadapi lawan yang amat banyak, kemudian terjeblos ke dalam lubang jebakan menderita ancaman maut yang mengerikan. Ketika mendengar penuturan suaminya dengan suara tersendat-sendat tentang hubungan suaminya dengan Endang Patibroto sebagai suami isteri, wajah Ayu Candra menjadi pucat sekali dan sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya langkah-langkah kaki mereka saja yang terdengar dan kini langkah Ayu Candra agak lemas.
Tejolaksono memegang tangan isterinya dan berdiri berhadapan di sebuah lereng.
"Nimas, aku harap Adlnda tidak akan menjadi marah. Percayalah, Nimas, bahwa hal ini terjadi di waktu kami menghadapi maut yang kami anggap tak dapat dihindarkan lagi sehingga pikiran kami menjadi gelap. Andaikata tidak dalam keadaan seperti itu, aku yakin hal itu tidak akan terjadi. Adinda tentu tahu bahwa kalaupun aku berhasrat mengambil selir, tentu dengan persetujuanmu lebih dahulu. Maka, harap Adinda tidak marah dan kalau hal ini menyinggung perasaanmu harap kau suka memaafkan kami....
"
Kini Ayu Candra tersenyum, wajahnya berserl dan ia membenamkan mukanya di dada suaminya.
"Maaf, Kakangmas. Sebentar tadi aku digoda cemburu. Tidak........! Aku tidak cemburu. Apalagi Endang Patibroto yang menjadi selirmu. Aku bahkan bangga mempunyai madu seorang wanita yang sakti mandraguna! Memang dia patut dikasihani, Kakangmas. Apalagi setelah kanjeng bibi Kartikosari tidak ada. Biarlah, dia akan kusambut sebagai saudaraku, sebagai adikku, karena memang dia maduku, dia isterimu. Aku tidak cemburu, Kakangmas."
Alangkah girang dan besar hati Tejolaksono. Ia maklum akan kehalusan budi Ayu Candra. Ia lalu memegang wajah isterinya di antara kedua tangan, diangkatnya muka yang cantik jelita itu sehingga muka mereka berhadapan, mata mereka saling tatap. Tejolaksono melihat betapa pandang mata isterinya benar-benar tutus ikhlas, tidak ada sedikitpun bayangan amarah atau cemburu. Ia amat bersyukur dan berterima kasih maka diciumnya mata yang indah itu. Ayu Candra meramkan matanya dan merangkul leher suaminya yang amat dikasihinya.
Ketika suami isteri ini tiba kembali di Kadipaten Selopenangkep, mereka disambut oleh Roro Luhito dan puterinya, Pusporini, kemudian puteri Kartikosari yang bernama Setyaningsih, dan seorang lagi yang amat mengejutkan dan menggirangkan hati suami isteri itu, yakni Endang Patibroto!
Melihat Endang Patibroto, Ayu Candra lalu maju dan merangkulnya.
"Adikku wong ayu, Endang Patibroto............ , aku sudah mendengar semua tentang dirimu. Ahhh, betapa banyak kesengsaraan kau derita, Adikku. Biarlah mulai sekarang kita bersama menikmati kebahagiaan, dan aku sungguh girang dapat memelukku seperti seorang kakak, Adikku."
Endang Patibroto sekilas mengerling kepada Tejolaksono yang tersenyum kepadanya, maka mengertilah wanita ini bahwa Tejolaksono telah membuka rahasia mereka kepada Ayu Candra. Hal ini amat menggelisahkan hatinya tadi, menjadi ganjalan karena ia merasa malu kepada Ayu Candra dan selalu mengkhawatirkan pertemuan ini. Apalagi ketika ia tiba di Selopenangkep dan mendengar tentang tewasnya ibu kandungnya, hatinya makin trenyuh dan gelisah.
Akan tetapi setelah kini bertemu, sikap Ayu Candra benar-benar tak pernah ia sangka-sangka dan hatinya menjadi lega dan terharu sekali. Wanita ini telah ia bunuh ayah ibunya (baca Badai Laut Selatan), dan kini bahkan seakan-akan ia "curi"
Suaminya, akan tetapi menerimanya seramah ini. Ia balas merangkul dan per-kata lirih,........... terima kasih............ , engkau baik sekali............ sudi menerima orang yang buruk watak dan buruk nasib seperti aku............ biarlah mulai saat ini aku mengaku ayunda kepadamu............ dan aku akan mentaatimu seperti mentaati kakak sendiri............
"
Melihat betapa dua orang wanita itu berpelukan terharu, Roro Luhito mengerutkan keningnya. Wanita inI tahu benar akan watak Endang Patibroto, dan sudah mengenal pula watak Ayu Candra. Sifat dan watak kedua orang wanita ini bagaikan bumi dan langit. Endang Patibroto liar dan keras, berdarah panas dan tidak punya rasa rendah hati sama sekali, sukar ditundukkan. Adapun Ayu Candra lemah lembut dan manja atau ingin dimanjakan suaminya. Betapa mungkin dua orang wanita ini menjadi madu? Dia tadi kaget bukan main mendengar percakapan dua orang wanita ini karena semenjak datang ke Selopenangkep pagi tad!, Endang Patibroto tidak pernah bercerita tentang itu.
"Anaknda adipati, harap ceritakan bagaimana dengan hasil usaha kalian mencari Bagus Seta. Mana dia? Mengapa tidak ikut pulang?"
Pertanyaan ini ia ajukan dengan suara keras untuk menutupi ketidaksenangan hatinya melihat Endang Patibroto dan Ayu Candra berpelukan sebagai madu. Roro Luhito sama sekali bukan tidak setuju kalau Adipati Tejolaksono mernpunyai selir. Dia sendiri adalah isteri ke dua, isteri selir. Akan tetapi karena persatuan antara Endang Patibroto dan Ayu Candra, menurut pemandangannya, dapat menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan ada bahaya meruntuhkan kebahagiaan rumah tangga Tejolaksono, maka ia merasa tidak setuju di dalam hatinya. Tentu saja bagi Roro Luhito, yang terpenting adalah kebahagiaan Tejolaksono karena adipati ini adalah keponakannya, putera dari kakaknya,
Ketika Tejolaksono dan Ayu Candra menceritakan tentang keadaan Bagus Seta yang dalam keadaan selamat dan menjadi murid kakek sakti Ki Tunggaljiwa, Roro Luhito menjadi lega hatinya. Sebagai orang tua, ia maklum bahwa pada saat itu merupakan pertemuan segi tiga yang mesra antara Tejolaksono dan kedua orang isterinya, maka ia lalu menggandeng tangan Pusporini dan Setyaningsih sambil berkata,
"Anaknda adipati tentu lelah dan ingin beristirahat. Marilah, kedua anakku, kita ke belakang."
Setyaningsih yang digandeng Roro Luhito, beberapa kali menengok ke arah Endang Patibroto. Semenjak Endang Patibroto datang pagi tadi, anak ini selaIu memandang kakaknya itu dengan pandang mata kagum dan penuh kasih. Sudah banyak ia mendengar dari mendiang ibunya tentang kakaknya ini yang menurut ibunya amat sakti mandraguna. Kini setelah ibunya meninggal dunia, munculnya kakaknya ini seakan-akan menjadi pengganti ibunya. Sebaliknya, Endang Patibroto juga amat mencinta adik kandungnya ini.
Adipati Tejolaksono yang bercakap-cakap dengan kedua isterinya, agaknya penuh dengan kebahagiaan dan suasana tenteram damai penuh kasih menyelimutl mereka bertiga. Agaknya kekhawatiran Roro Luhito adalah kekhawatiran kosong belaka. Ayu Candra telah rela dan ikhlas terhadap Endang Patibroto, demi cinta kasihnya yang murni terhadap suaminya. Bahkan malam hari itu, sebagai isteri pertama yang bijaksana, Ayu Candra membujuk suaminya agar menemani Endang Patibroto di dalam kamarnya.
Sukar dilukiskan betapa besar kebahagiaan hati Tejolaksono dan Endang Patibroto yang melihat bahwa hubungan mereka dapat perlangsung dengan amat baiknya, tiada halangan sesuatu. Dan dalam pertemuan yang mesra itu Endang Patibroto menceritakan tentang perang yang dilakukan Jenggala dan Panjalu terhadap Kadipaten Blambangan. Kedua kerajaan ini mengirim pasukan besar. Bahkan Panjalu mengirim pasukan istimewa yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Darmokusumo dan setelah kedua pasukan ini menggabung, penyerbuan Blambangan dimulai.
Blambangan dilanda serbuan besar-besaran dan biarpun Blambangan melakukan perlawanan mati-matian, namun kadipaten ini bukanlah lawan pasukan kedua kerajaan yang dipimpin orang-orang pandai. Apalagi ada Endang Patibroto di dalam pasukan itu yang mengamuk hebat dan banyak senopati Blambangan roboh di dalam tangan wanita sakti ini. Dalam waktu beberapa hari saja pertahanan Blambangan dapat dipatahkan, kadipaten diserbu, dan Adipati Menak Linggo tewas pula di tangan Endang Patibroto. Juga Ki Patih Kalanarmodo dan Senonatl Mayangkurdo, Klabangkoro dan Klabangmuko semua tewas dalam perang yang pendek namun dahsyat.
Hanya Sindupati yang dapat melarikan diri, berhasil menyelamatkan diri dengan sebuah perahu menyebrang selat dan bersembunyi di Bali-dwipa, dimana ia mencari orang-orang pandai untuk memperdalam ilmunya sambil bersembunyi dari pengejaran musuh.
"SETELAH Blambangan terbasmi, aku meninggalkan pasukan dan berpamit dari Pangeran Darmokusumo untuk pergi lebih dulu karena kuanggap tugasku sudah selesai. Hanya sayang sekali, si keparat Sindupati dapat meloloskan diri, agaknya ia melarikan diri ke Bali-dwipa, akan tetapi aku tidak sempat mengejarnya, Kakangmas. Karena............ karena............ aku ingin sekali segera menyusulmu ke Selopenangkep."
Adipati Tejolaksono tertawa dan mencium isterinya ini yang bercerita sambil rebah dalam pelukannya.
"Mati hidup berada di tangan Hyang Widhi, adinda Endang Patibroto. Agaknya memang belum tiba saatnya Sindupati menerima hukumannya. Memang tepat sekali adinda cepat-cepat datang ke Selopenangkep karena........... hemm............ aku telah rindu sekall............
"
Sejenak sunyi di antara mereka karena Endang Patibroto terbuai dalam belaian suaminya yang mesra dan penuh kasih sayang. Kemudian terdengar ia berkata,
"""".. Kakangmas, sesungguhnya............ baru berpisah hampir dua bulan bagiku........... pun amat berat. Akan tetapi............ ah, terus terang saja, Kakangmas. Sebelum bertemu dengan engkau dan........... ayunda Ayu Candra, hatiku amat gelisah dan khawatir. Aku telah banyak melakukan kisalahap dahulu terhadap ayunda Ayu Candra, dan tadinya aku takut untuk bertemu muka, takut untuk mengakui hubungan antara kita, takut dan malu. Tadinya aku bahkan hendak diam-diam pergi minggat saja, biar aku hidup sebagai pertapa, biar selamanya tidak bertemu dengan ayunda Ayu Candra, betapa pun akan beratnya penanggulangan hatiku yang penuh dendam rindu kepadamu, tapi...."."
Adipati Tejolaksono menghentikan kata-kata isterinya dengan ciuman. Kemudian ia tertawa.
"Cukuplah, Yayi, tidak perlu dilanjutkan persangkaan yang bukan-bukan itu, karena buktinya sekarang tidak seperti yang kau khawatirkan, bukan?"
Endang Patibroto menarik napas panjang dengan hati lapang.
"Memang, dan aku bersyukur kepada Dewata, berterima kasih kepada ayunda Ayu Candra yang bijaksana dan berbudi luhur. Sesungguhnya, akan kelirulah kalau aku menuruti kata hati lalu minggat meninggalkanmu untuk selamanya seperti yang tadinya terniat di hatiku. Aduhh............ betapa akan sengsaranya hatiku kalau begitu. Untung........... , untung sekali ada sesuatu yang memaksa aku harus bertemu dengan engkau, Kakangmas. Yang memaksakan datang ke Selopenangkep dan yang mencegah aku pergi minggat mengasingkan diri."
Adipati Tejolaksono menunda belaian kasih sayangnya dan menatap wajah dalam rangkulannya, memandang penuh pertanyaan.
"Apakah sesuatu itu, Yayi?"
Tiba-tiba ia melihat air mata berlinangan di mata yang indah itu. Endang Patibroto menangis! Akan tetapi bukan tangis karena duka, buktinya bibir yang merah membasah itu tersenyum! Segera Tejolaksono mengecup sepasang mata itu untuk menghapus beberapa titik air mata bening yang turun ke pipi. Kedua lengan Endang Patibroto merangkul lehernya dengan ketat dan mulutnya berbisik dekat telinga Tejolaksono,
"Kakangmas............ Joko Wandiro""""
Suaranya menggetar penuh perasaan dan jantung Tejolaksono berdebar pula mendengar disebutnya nama kecilnya.
"............ aku............ aku telah mengandung............ , semenjak kita berpisah dari Blambangan...........
"
Dan kini air mata makin deras berlinang dari sepasang mata itu. Air mata kebahagiaan! Selama sepuluh tahun menjadi isteri Pangeran Panjirawit, Endang Patibroto tidak mempunyai anak dan kini ia telah mengandung keturunan Joko Wandiro, pria yang dahulu untuk pertama kalinya telah merebut kasih hatinya namun bertentangan karena keadaan.
"Heeeiiii............???"
Saking kaget dan girangnya, Adipati Tejolaksono melompat turun dari pembaringan, memandang kepada Endang Patibroto dengan mata terbelalak.
"Ti............. tidak girangkah............ hatimu........... mendengar hal itu"...., Kakanda""""?"
"Girang?? Ha-ha-ha-ha! Hampir gila aku karena girang! Aduh, adinda pujaan hati, kekasih hatiku, engkau masih bertanya apakah aku girang............? Ha-ha-ha!"
Adipati Tejolaksono merangkul dan mengangkat tubuh isterinya, dipondong dan dibawa berjingkrakan dan berputaran di dalam kamar mereka!
Malam penuh madu asmara, penuh kebahagiaan bagi kedua orang ini. Malam yang indah di mana seluruh perasaan cinta kasih ditumpahkan dan saling dilimpahkan satu kepada yang lain. Malam bahagia yang agaknya menyangkal kekhawatiran hati Roro Luhito.
Dan agaknya memang demikianlah kalau ditengok keadaan Ayu Candra yang rebah sendirian di dalam kamarnya, kadang-kadang tersenyum puas karena selain puteranya selamat dan menjadi murid seorang sakti, suaminya telah berkumpul kembali dengan kekasih lama. Sebagai seorang wanita, ia berperasaan halus dan sejak dahulupun ia sudah menduga bahwa ada jalinan kasih yang terpendam di antara suaminya dan Endang Patibroto. Kini agaknya Endang Patibroto sudah insyaf, sudah merubah wataknya yang liar dan ia merasa puas. Malam itu, biarpun tidur sendirian di dalam kamarnya, Ayu Candra tidur pulas tanpa mimpi.
Akan tetapi, jalan hidup manusia sudah ada garisnya yang ditentukan oleh Tuhan. Garis ini wajar dan sudah semestlnya terjadi demikian, sudah adil dan baik, sesuai dengan karma manusia masing-masing. Berat atau ringan, duka atau suka dalam menerima garis ini tergantung kepada manusia sendiri. Manusia tak mampu merubahnya.
Manusia hanya wajib mengisi hidupnya dengan kebaikan karena hanya dengan cara ini sajalah, dengan menumpuk kebaikan dan menjauhi kejahatan, manusia akan dapat "meluruskan"
Garis hidupnya di kemudian hari karena Tuhan itu Maha Adil. Dosa-dosa yang lalu hanya dapat ditebus dengan rasa tobat yang setulusnya disertai pemupukan perbuatan-perbuatan yang baik dan penerimaan hukuman dengan ikhlas dan sadar. Perbuatan-perbuatan baik barulah benar kalau dilakukan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan anugerah atau hadiah!
Kekhawatiran Roro Luhito bukanlah kekhawatiran dungu, bukan ditimbulkan karena hati iri atau dengki, bukan pula oleh benci atau marah. Roro Luhito seorang wanita yang sudah tua, sudah banyak makan garam dunia, sudah berpengalaman dan wawasannya juga tajam berdasarkan pandangan luas.
Pada malam berikutnya, terbuktilah apa yang dikhawatirkan oleh Roro Luhito. Adipati Tejolaksono, sebagai seorang suami bijaksana, sungguhpun dendam rindunya terhadap Endang Patibroto masih menggelora, pada malam ke dua itu berdlam di dalam kamar Ayu Candra. Seperti biasa, suami isteri yang saling mencinta ini berkasih-kasihan, berbisik-bisik di atas pembaringan dan dalam kesempatan ini, Tejolaksono menceritakan isterinya tentang Endang Patibroto yang telah mengandung!
"Kiranya Hyang Widhi Wisesa juga memberkahi perjodohanku dengan Endang Patibroto, nimas Ayu. Buktinya, ikatan jodoh yang kami laksanakan di dalam ruangan bawah tanah dalam menghadapi maut itu ternyata dianugerahi dewata dan dia kini telah mengandung dua bulanl"
Untuk menjaga perasaan isterinya pertama ini, sang adipati menekan kegirangan hatinya, namun dalam suaranya masih jelas terdengar kegirangan yang meluap-luap. Ayu Candra mula-mula tersenyum dan ikut merasa bahagia. Akan tetapi, ketika suaminya hampir pulas, Ia tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan menangislah Ayu Candra!
Sebagai seorang sakti mandraguna yang memiliki tubuh selalu dalam keadaan siap siaga, sedikit saja keadaan tidak wajar telah membuat Adipati Tejolaksono lenyap kantuknya dan ia bangklt duduk. Dlpandangnya isterinya dan la bertanya Iirih dan halus,
"Yayi dewi............ mengapa kau menangis? Apakah yang menyusahkan hatimu?"
Pertanyaan ini membuat Ayu Candra makin sedih dan menangis sampai mengguguk, menyembunyikan mukanya di atas bantal. Setelah dua tiga kali suaminya bertanya, barulah ia menjawab dengan suara tersendat-sendat,
"Aku............ aku teringat akan Bagus Seta............!,
"Aaah, mengapa, Yayi? Bukankah putera kita itu sudah aman tenteram di bawah bimbingan Eyang Guru Ki Tunggaljiwa? Bayangkan betapa kelak ia akan pulang sebagai seorang ksatria yang gagah perkasa dan............!!"
"Kakangmas............ aku....""
Besok akan pergi menyusulnya di puncak Merapi............!"
"Ehhhh............??"
Tejolaksono terkejut dan memegang kedua pundak isterinya, dibangunkannya isterinya itu duduk di depannya. Rambut yang terurai itu menutupi sebagian muka Ayu Candra.
"Kenapa begitu, Nimas?"
"Aku............ aku tidak dapat berpisah darinya...... aku akan menjaga dan menemaninya di sana sampai ia lulus dari perguruan di sana............ aku............ aku".."
Ayu Candra terisak-isak.
Tejolaksono menarik napas panjang, bingung dan tidak mengerti.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nimas Ayu, engkau tentu maklum bahwa aku sendiri-pun merasa berat berpisah dari Bagus Seta, akan tetapi............ kita sudah melihat peristiwa yang terjadi di sana dan sudah mendengar semua penuturan Eyang Guru Ki Tunggaljiwa. Betapapun berat rasa hatiku berpisah dari putera kita, terpaksa kutahankan karena..........
"
"Karena engkau sebentar lagi akan mempunyai putera lain, Kakangmas! Engkau dan diajeng Endang Patibroto akan mempunyai seorang putera yang selalu dekat dengan kalian, akan tetapi aku............ aku tidak punya siapa-siapa............
"
Diam-diam Tejolaksono tersentak kaget. Jantungnya berdebar dan ia maklum bahwa inilah sebuah di antara akibat daripada perbuatannya! "Aduh, nimas Ayu............ mengapa engkau berpendapat begitu? Ingatlah, Nimas........... anak Endang Patibroto adalah anakku, dan anakku berarti anakmu pula, bukan?Ahhh, apakah akan jadinya kalau engkau pergi menyusul Bagus Seta? Hal ini tidak mungkin, tidak boleh kaulakukan, Nimas. Engkau tahu bahwa kalau hal itu kaulakukan, berarti engkau akan menghancurkan hatiku............ betapa engkau tega melakukan hal seperti itu............
"
Ayu Candra mengangkat mukanya memandang wajah suaminya. Melihat betapa sepasang alis suaminya berkerut, sepasang mata itu sayu dan sedih, ia lalu menubruk, merangkul dan membenamkan muka di dada suaminya.
"Duh............ Kakangmas........... ampunkan hamba........... ampunkan hamba yang picik dan lemah........... Kakangmas, legakan hatimu, aku......... aku takkan melakukan hal itu............ betapapun berat rasa hatiku, akan kukuat-kuatkan............
"
Rasa hati Tejolaksono seperti disiram air embun di puncak Semeru. Batu seberat gunung yang menindih hati serasa diangkat. Lapang bukan main rasa dadanya. Diciumnya ubun-ubun kepala Isterinya dengan sepenuh kasih sayangnya dan ia berbisik.
"Aku tahu............ aku tidak pernah meragukanmu, Yayi............ aku tahu bahwa engkau adalah isteriku yang tercinta, seorang isteri yang setia dan bijaksana............
"
Agaknya urusan itu akan menjadi beres kembali dan hanya sampai sekian saja karena Ayu Candra sudah kelihatan tenang kembali dan hati Tejolaksono sudah menjadi lega dan girang. Akan tetapi sang adipati ini tidak melihat dan tidak tahu apa yang terjadi di luar kamarnya. Kalau saja ia tahu, tentu ia tidak akan dapat begitu bahagia memadu kasih dengan Ayu Candra.
Dengan gerakan yang amat ringan, Endang Patibroto meninggalkan jendela kamar Ayu Candra. Ia menahan suara isak tangisnya dengan kedua tangan yang didekapkan rapat-rapat ke depan mulut dan hidung, kemudian setelah agak jauh, ia lari memasuki taman yang gelap dan sunyi. Ia tidak berani kembali ke kamarnya, karena khawatir kalau-kalau suara tangisnya terdengar oleh bibi Roro Luhito.
(Lanjut ke Jilid 14)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
Kini ia berada di taman sari yang sunyi dan gelap dan di sinilah, di atas sebuah bangku di bawah pohon kenanga, Endang Patibroto menangis mengguguk. Dengan kekerasan hatinya ditahannya tangis Itu, dan kini ia hanya terisak-isak dan duduk melamun. Percakapan antara Tejolaksono dan Ayu Candra masih terngiang-ngiang di telinganya dan jantungnya serasa ditusuk-tusuk.
Apa yang selama ini ia khawatirkan terjadi! Ayu Candra tidak rela ia menjadi isteri Tejolaksono, tidak rela ia berada di situ! Memang tidak terang-terangan menyatakan ketidakrelaannya, akan tetapi sama saja artinya. Masih terngiang dalam telinganya ucapan Ayu Candra sambil menangis tadi.
"Karena engkau sebentar lagi akan mempunyai putera lain! Engkau dan diajeng Endang Patibroto akan mempunyai seorang putera yang selalu dekat dengan kalian, akan tetapi aku............ aku tidak punya siapa-siapa........."
Ayu Candra bahkan rela hendak meninggalkan kadipaten! Ah, betapa mungkin ia mendesak kedudukan Ayu Candra seperti ini? Dahulu ia sudah melakukan banyak hal yang menyakitkan hati Ayu Candra. Membunuh ayah kandung dan ibu tirinya, bahkan hendak membunuh Ayu Candra. Dan sekarang, ia merampas suaminya dan hendak merebut pula kedudukannya? Tidak! Sampai matipun tidak sudi ia melakukan hal tak tahu malu ini! Dialah yang harus pergi dari situ! Memang sejak semula ia sudah ingin pergi, akan tetapi........... cinta kasihnya terhadap Joko Wandiro demikian besar..... ingin ia selalu berdampingan, dan karena kandungannya, ia tak ingin berpisah lagi dari suaminya itu, ayah dari anak dalam kandungannya.
Akan tetapi sekarang jelas baginya bahwa tidak mungkin terlaksana keinginan hatinya itu. Ayu Candra hanya di lahirnya saja mau menerimanya dengan rela, akan tetapi batinnya menolak dan membencinya!
Dan Adipati Tejolaksono amat mencinta Ayu Candra! Dia tidak sudi kalau harus memperebutkan cinta! Dia tidak sudi kalau harus tunduk, memperlihatkan kelemahan hatinya. Tidak, hidup seperti itu akan membuatnya sengsara dan sewaktu-waktu ia tentu takkan dapat mengendalikan hatinya lagi dan mungkin timbul keributan kalau ia sampai bertentangan dengan madunya. Ia tidak ingin menimbulkan ribut dan dosa lagi. Ia akan pergi mengasingkan diri, mencari tempat sunyi.
Biarpun hatinya mengambil keputusan demikian, namun Endang Patibroto merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk yang membuatnya menangis tersedu-sedu lagi. Teringat ia akan Tejolaksono, terbayang ia akan segala kemesraan yang dinikmatinya malam tadi. Ia tahu bahwa sesungguhnya pria inilah yang ia idam-idamkan semenjak dahulu. Dan sekarang, setelah menjadi miliknya, harus ia lepaskan lagi!.
Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya diikuti suara yang halus pula, menggetar penuh keharuan,
"Ayunda............ mengapa ayunda menangis............?"
Mendengar suara adik kandungnya ini, makin sedih hati Endang Patibroto.
Ia meraih Setyaningsih, merangkul dan mendekapnya sambil menangis makin sesenggukan. Setyaningsih biarpun baru berusia sebelas tahun, akan tetapi anak ini mewarisi watak ayahnya, yaitu mendiang Pujo, satria yang sakti mandraguna, bijaksana, berpandangan luas dan bersikap tenang.
Setyaningsih biarpun saudara sekandung Endang Patibroto, namun wataknya jauh berbeda. Tidak mudah terseret perasaan sehingga biarpun kini air matanya juga turun bercucuran, namun ia dapat menahan diri, tidak sampai mengguguk seperti tangis Endang Patibroto. Wanita perkasa ini dahulu juga memiliki watak yang kuat, akan tetapi kekuatannya berdasarkan kekerasan, bukan seperti Setyaningsih yang berdasarkan ketenangan,
"Ayunda, apakah ayunda teringat ke: pada ibunda? Ah, ayunda. Kanjeng Ibu sudah seda (tewas) sebagai seorang wanita utama, sebagai seorang perajurit perkasa. Selayaknyakah kalau puteri-puterinya menangisinya terus? Ayunda, harap ayunda jangan menangis............
"
Setyaningsih membelai-belai rambut kakaknya dengan penuh kasih sayang.
"Aduh, adikku Setyaningsih""".."
Endang Patibroto mencium pipi adiknya dan sambil memegangi kedua pundak anak itu, mereka berpandangan.
"Engkau benar, Setyaningsih, tidak perlu banyak menangis karena menangis adalah tanda kelemahan. Dan kita berdua bukanlah orang-orang lemah, kita berdua adalah keturunan suami isteri yang sakti mandraguna! Kini ayah bunda kita telah meninggal dunia, adikku dan aku hanya mempunyai engkau, engkaupun hanya mempunyai aku! Karena itu........... kita harus pergi data sini, Setyaningsih, sekarang juga."
Setyaningsih memandang ayundanya dengan sepasang mata terbelalak kaget dan heran. Ucapan ayundanya ini sama sekali tak pernah disangkanya. Biarpun ia baru berusia sebelas tahun, namun dia bersama Pusporini sudah mengerti bahwa ayundanya ini menjadi garwa selir Adipati Tejolaksono.
"Akan tetapl........... Ayunda........... bukankah ayunda telah menjadi isteri rakanda adipati?"
Endang Patibroto menghela napas panjang.
"Benar, adikku. Akan tetapi rumah ini adalah mink ayunda Ayu Candra. Setelah ibu kita sekarang meninggal dunia, kita berdua tidak berhak lagi tinggal di sini."
"Mengapa begitu, ayunda? Kalau ayunda menjadi isteri rakanda adipati, ayunda mempunyai hak sepenuhnya tinggal di sini. Siapakah yang akan melarang Ayunda? Saya kira tidak ada seorangpun yang akan, merasa keberatan dan............
"
"Sudahlah, Setyaningsih. Engkau masih terlalu kecil untuk dapat mengerti urusanku. Pendeknya, malam in! juga aku akan pergi dari sini. Kalau engkau kasihan dan mencinta kepada ayundamu ini, marilah engkau ikut bersamaku."
Sambil berkata demikian, Endang Patibroto bangkit berdiri. Setyaningsih bangkit pula dan memegang tangan ayundanya erat-erat.
"Ayunda menjadi penggantl kanjeng ibu. Aku ikut...........
"
"Anak baik, seharusnya begitulah. Mari kita pergi!"
Endang Patibroto memondong tubuh Setyaningsih dan dibawanya meloncat cepat meninggalkan taman sari, menghilang di dalam kegelapan malam.
Beberapa kali Setyaningsih menoleh dan memandang lampu-lampu yang menerangi gedung kadipaten sampaI akhirnya bayangan gedung itu lenyap. Dua matanya menjadi basah dan di dalam hati anak ini timbul kesangsian apakah ia akan dapat melihat kembali gedung Kadipaten Selopenangkep ini.
Pada keesokan harinya, keluarga kadipaten menjadi gempar ketika melihat lenyapnya Endang Patibroto dan Setyaningsih. Lenyap begitu saja tanpa meninggalkan pesan, bahkan pakaian Setyaningsih di dalam kamarnyapun masih lengkap yang berarti bahwa anak itu lenyap hanya membawa pakaian yang dipakainya malam itu!
Roro Luhito menghela napas dan memeluk puterinya yang menangis karena hilangnya Setyaningsih, saudara tirinya yang amat dikasihinya.
"Ahhh, kukira tentu Endang Patibroto yang membawa Setyaningsih pergi. Agaknya masih juga belum berubah watak yang keras dan aneh luar biasa dari Endang Patibroto. Aku sudah merasa tidak enak hati dan menduga tentu akan terjadi sesuatu yang tidak baik ketika ia datang. Ah, angger, anakku adipati, kuatkanlah hatimu menghadapi ujian Hyang Widhi yang amat berat ini."
Kembali Roro Luhito menghela. napas lalu menggandeng tangan Pusporini diajak masuk ke belakang. Tak tahan ia menyaksikan pandang mata sayu Adipati Tejolaksono.
Hanya suami isteri itulah yang mengerti apa sebabnya Endang Patibroto melarikan diri. Mereka dapat menduganya. Tentu Endang Patibroto telah mendengar percakapan antara mereka semalam! Melihat sinar mata suaminya yang begitu sayu, wajah yang pucat dan muram, tarikan mulut yang membayangkan kedukaan yang hebat, Ayu Candra lalu membalikkan tubuhnya, terisak dan lari memasuki kamarnya.
Adipati Tejolaksono melangkah dengan lemas mengikuti isterinya, memasuki kamar. Ketika Ayu Candra melihat suaminya masuk kamar, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kaki suaminya, menangis dan berkata,
"Aduh, Kakangmas Adipati. Semua adalah kesalahanku...........! Karena kelemahan dan kepicikanku........... , tentu diajeng Endang Patibroto mendengarnya dan merasa tersinggung hatinya........... padahal sungguh mati aku sudah menghapus perasaan itu, Kakangmas. Pergilah menyusulnya, Kakangmas. Bujuklah agar suka kembali ke sini dan aku akan mohon ampun kepadanya............!"
Sejenak Adipati Tejolaksono termenung. Terbayanglah di depan matanya segala peristiwa dahulu di waktu dia masih muda. Watak Endang Patibroto amatlah keras liar dan aneh.
Biarpun akhir-akhir ini Endang Patibroto bersikap amat mesra, lembut, dan merupakan seorang wanita yang mencintanya dengan seluruh jiwa raga, yang sepenuhnya wanita, namun agaknya, tepat seperti wawasan Roro Luhito, Endang Patibroto masih belum berubah wataknya yang keras dan aneh luar biasa.
Dan mengingat akan watak ini, agaknya akan sia-sia belaka kalau Ia menyusul. Selain amatlah sukar mencari seorang wanita sesakti Endang Patibroto yang melarikan diri, juga andaikata bertemu kiranya tidak mudah membujuknya untuk pulang ke Selopenangkep.
la tahu bahwa Endang Patibroto mencintanya, namun kekerasan hati wanita itu akan mengalahkan cinta kasihnya karena wanita itu berwatak baja, tidak mau tunduk terhadap siapapun juga.
Ia menghela napas panjang, lalu mengangkat bangun Ayu Candra. ,
"Tidak akan ada gunanya, Nimas. Seorang yang berhati baja seperti diajeng Endang Patibroto, tidak akan mudah dibujuk. Dia tidak akan menyerah sampai mati, kalau tidak karena kehendak sendiri. Dia sudah pergi, dan satu-satunya yang dapat kita lakukan hanyalah menanti sampai dia suka pulang sendiri. Apa boleh buat........ seorang manusla hanya dapat menerima apa yang telah ditentukan oleh Hyang Widhi............
"
Semenjak terjadi peristiwa ini, terjadi perubahan yang amat besar di dalam Kadipaten Selopenangkep. Perubahan yang amat terasa oleh seluruh penghuni kadipaten. Ayu Candra seringkali termenung dan berduka, tidak hanya karena rindunya kepada Bagus Seta, juga karena rasa penyesalan di dalam hati karena wanita yang halus budi ini tak pernah berhenti menyesali diri sendiri dan menganggap dialah yang menyebabkan larinya Endang Patibroto sehingga akibatnya, dia pula yang menyebabkan suaminya selalu berduka.
Tubuh Adipati Tejolaksono menjadi kurus dan adipati yang sakti ini kehilangan cahaya kegairahan sinar matanya. Sikapnya menjadi makin tenang dan pendiam sungguhpun terhadap Ayu Candra tidak pernah berubah kemesraan cinta kasihnya.
Kadipaten yang bertahun-tahun selalu gembira dan suasana riang dengan adanya tiga orang yaitu Setyaningsih, Pusporini dan Bagus Seta, kini kelihatan sunyi karena dua dari tiga orang anak itu telah pergi dan kini tinggal Pusporini seorang.
Karena di situ hanya tinggal Puspotini seoranglah maka sang adipati dan isterinya melimpahkan rasa sayangnya kepada anak ini. Seakan-akan anak ini yang merupakan penghibur bagi mereka.
Memang Pusporini seorang anak yang dapat mendatangkan kegembiraan.Dia amat lincah dan gembira, cerdik dan pandai bicara. Melihat kecerdikan Pusporini, Adipati Tejolaksono lalu mulai mendidik anak ini dengan ilmu silat den kedigdayaan.
Roro Luhito amat girang melihat hal ini. Terutama sekali girang karena anak keponakannya itu dan isterinya mendapat hiburan dengan adanya Pusporini, maka iapun melepas tangan dan membiarkan puterinya menerima gemblengan sang adipati yang memiliki ilmu kesaktian jauh lebih tinggi daripada dia sendiri. Maka mulai tenteram pulalah keadaan hati Adipati Tejolaksono dan isterinya.
Memang mereka selalu masih merindukan Bagus Seta dan menyesalkan kepergian Endang Patibroto, akan tetapi hati mereka terobat oleh kelincahan dan keriangan Pusporini. Hanya di waktu malam yang sunyi, kadang-kadang apabila teringat akan puteranya dan akan Endang Patibroto, Ayu Candra suka menangis dan suaminya selalu siap untuk menghiburnya.
Suami isteri ini seolah-olah mengikuti hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun mengharapkan lewatnya lima tahun untuk menyambut kembalinya putera mereka, Bagus Seta.
Pusporini seorang anak perempuan yang cerdik sekali di samping wajahnya yang cantik manis. Kulit tubuhnya hitam manis seperti ibunya, perawakannya singsat padat dan langsing, rambutnya hitam agak berikal. Anak ini maklum akan kehebatan ilmu kesaktian rakandanya, maka ia belajar dengan amat tekun dan berIatih amat rajin sehingga amat mengagumkan hati Tejolaksono.
Adipati ini maklum bahwa puteranya mendapatkan guru yang jauh lebih saktl daripadanya, dan karena tidak ada anak lain yang akan ia warisi ilmunya, maka satu-satunya anak yang telah menjadi muridnya adalah adik misannya ini, puteri bibinya yang ternyata merupakan murid yang patut dibanggakan.
Yang terutama sekali mengagumkan pada diri Pusporini adalah bakatnya dalam ilmu meringankan tubuh dan gerakan yang amat gesit lincah, sesuai dengan wataknya yang periang.
Bakatnya dalam hal ini jauh lebih menonjol daripada yang lain-lain sehingga dalam beberapa tahun saja ia sudah pandai berloncatan dan berkelebat cepat sekali melampaui kecepatan ibu kandungnya sendiri, bahkan menyusul pula tingkat Ayu Candra! Aji kecepatan Bayu Tantra dapat ia pelajari dengan mudah dan tidak menghabiskan waktu terlalu lama, bahkan empat tahun kemudian ia sudah mulai mempelajari aji kecepatan Bayu Sakti!
Dalam hal ilmu silat, memang terdapat bakat menari pada diri Pusporini. Ia dapat bergerak dengan lemas dan lemah gemulai sehingga di waktu ia dilatih ilmu silat oleh Adipati Tejolaksono, gerakan-gerakannya begitu indahnya seperti orang menari-nari saja.
Rakandanya yang menjadi gurunya ini sampai menjadi terheran-heran dan juga amat kagum, tak pernah menyangka bahwa ilmu silatnya dan aji-
aji seperti Pethit Nogo yang dahsyat dan terkenal keampuhannya itu dapat dimailnkan sedemikian indahnya sehingga merupakan tari-tarian luar biasa oleh Pusporini!
Bakat-bakat yang baik dalam diri Pusporini menambah kegembiraan Adipati Tejolaksono dalam memberi pelajaran, dan kemajuan-kemajuan anak ini menambah rasa sayang pada hati ketiga orang tua itu, Roro Luhito, Tejolaksono, dan Ayu Candra.
Bahkan bukan hanya tiga orang ini saja yang menaruh rasa sayang kepada Pusporini, juga semua abdi dalem Kadipaten Selopenangkep dan akhirnya rasa sayang ini menjalar sampai keluar kadipaten, di antara para ponggawa dan penduduk sekitar kadipaten.
Hal ini adalah karena Pusporini yang lincah gembira itu selalu bersikap baik dan ramah kepada siapapun juga, selalu rendah hati dan tidak sombong seperti biasanya puteri-puteri bangsawan yang memandang rendah rakyat kecil. Tidak, Pusporini tidak seperti itu.
Puteri ini bahkan seringkali membantu para petani dalam pekerjaan di sawah ladang milik sang adipati. Membantu dalam hal bercocok tanam, ramai-ramai ikut menanam dan memotong padi dengan paman-paman dan bibi-bibi tani.
Juga ia amat terkenal dan disayang di antara para pengawal dan perajurit karena selain memiliki ilmu kepandaian yang mengagum kan, juga Pusporini ikut pula berlatih perang-perangan, berlatih menunggang kuda sehingga semua perajurit yang menyaksikan ketangkasan gadis cilik ini menjadi kagum dan sayang.
Jangan disangka bahwa Puspirini hanya suka akan olah keperajuritan, sama sekali bukan demikian. Iapun terkenal di dalam kadipaten, di antara para abdi dalem, di antara para seniman dan seniwati kadipaten karena anak ini semenjak kecil ikut pula belajar seni tari di mana bakatnya amat menonjol dan belajar pula seni suara dengan suaranya yang nyaring sekali.
Demikianlah, dengan adanya Pusporini, sedikitnya mendung yang menyelimuti Kadipaten Selopenangkep dapat terusir. Atau setidaknya, pada lahirnya Pusporini dapat menciptakan sinar kegembiraan di dalam kadipaten sehingga sang adipati dan isterinya dapat terhibur dan agaknya keadaanpun menjadi aman dan tenteram. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan-bulan ditelan tahun.
Sang Waktu bergerak terus, tiada kekuasaan di bumi ini yang dapat menahannya, merayap amat perlahan jika diperhatikan, membalap cepat melebih kilat apabila tidak diingat.
Betapapun juga, segala yang tampak dan tidak tampak di dunia ini, besar maupun kecil, keras maupun lunak, apa saja tidak pandang bulu, kesemuanya ditelan habis oleh Sang Waktu yang memegang rahasia akhir kemenangan.
Segala sesuatu yang diperoleh manusia di dunia ini tidak ada yang kekal. Pertemuan akan berakhir perpisahan. Yang mendapatkan atau mempunyai akan kehilangan. Karena sesungguhnya, segala di dunia ini bukanlah milik manusia.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo