Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 13


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



Wajah keduanya seperti wajah arca dari batu saja, sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa.

   Melihat ini semua,Tejolaksono dapat menduga bahwa mereka ini benar-benar telah memiliki kekuatan dalam yang hebat dan tidak lagi mudah dikuasai perasaan.

   Maka iapun tidak mau lagi banyak menyerang dengan kata-kata, lalu langsung saja bertanya,

   "Kisanak, pendeta atau perampok adanya andika, setelah berhadapan muka dengan aku, katakanlah siapa andika dan apa kehendak andika mendatangi Kadipaten Selopenangkep!"

   "Heh-heh-heh, Adipati Tejolaksono. Andika ingin mengenalku? Aku adalah Cekel Wisang koro , abdi dan murid, juga utusan Sang Wicaksono Wasi Bagaspati! Adapun maksud kedatangan kami adalah dengan hati terbuka, maksud baik dan membawa uluran tangan sang wasi."

   Tidak heran hati Tejolaksono mendengar ini. Memang ia sudah menduga bahwa semua peristiwa yang terjadi adalah kelanjutan daripada munculnya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati di puncak Merapi empat tahun yang lalu.

   Dengan hati panas Tejolaksono tersenyum pahit.

   "Adakah hati terbuka dan maksud baik diawali dengan pertempuran melawan para penjaga Selopenangkep?"

   Kembali Cekel Wisangkoro tertawa.

   "Adipati Tejolaksono, periksalah baik-baik semua perajuritmu. Adakah seorang saja yang tewas di tangan kami? Kami memasuki Selopenangkep dengan hati terbuka dan maksud baik, akan tetapl para perajuritmu menyerang kami.. Sungguhpun demikian, kami masih menaruh kasihan dan tidak membunuh seorangpun, hanya merobohkan karena kami harus membela diri, bukan? Hal itu saja sudah Membukti kan bahwa kami datang dengan maksud baik!"

   Di dalam hatinya, Tejolaksono tak dapat membantah kebenaran ucapan itu. Memang, empat orang ini belum melakukan sesuatu yang jahat di Kadipaten Selopenangkep dan semua perajurit yang roboh tidak terbunuh, hanya babak-belur dan patah tulang saja.

   "Hemmm, katakanlah terus terang, Cekel Wisangkoro,sebagai utusan, apakah kehendakmu dan apakah yang akan kausampaikan kepadaku?"

   "Kami datang mengulurkan tangan kepadamu, Adipati Tejolaksono, untuk bekerja sama dan menjadi sahabat. Kita semua tahu betapa lemahnya Kerajaan Panjalu dan Jenggala, kerajaan yang dahulunya besar kini terpecahbelah, dikuasai oleh raja-raja lalim! Tidak hanya rajanya yang lalim, juga para ponggawanya tidak becus dan kepentingan rakyat tidak ada yang menghiraukan. Kami datang untuk membebaskan rakyat daripada kesengsaraan. Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola siap untuk mengangkat kehidupan rakyat Jawa-dwipa ke tingkat yang lebih tinggi, mengajar rakyat ilmu-ilmu yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan. Karena kami tahu bahwa andika adalah seorang adipati yang baik, maka Sang Wasi Bagaspati berpesan kepada kami untuk menghubungimu dan mengulurkan tangan kepadamu agar kita bersekutu...........!!"

   "Menjadi kaki tangan Kerajaan Cola atau dibunuh seperti halnya Ki Sentana, lurah dusun Sumber?"

   Adipati Tejolaksono' memotong dengan suara marah.

   "Heh, Cekel Wisangkoro! Kau pergilah dan sampaikan kepada Wasi Bagaspati bahwa angkara murka Kerajaan Cola ini takkan berhasil! Penyerbuan rahasia dan secara halus mengelabui rakyat ini akan menghadapi tantangan rakyat dan seluruh perajurit Panjalu dan Jenggala! Niat keji kalian takkan tercapai! Lebih baik kalian membawa pergi semua pasukan berandal itu sebelum diganyang hancur oleh rakyat Panjalu!"

   "Hi-hi-hik, Tejolaksono.Ucapanmu itu menggelikan sekali! Justeru kami kuat karena rakyat berada di belakang kami. Kami datang untuk mengangkat rakyat, bagaimana kau bilang rakyat akan menentang kami? Hihik, sang adipati yang tampan dan gagah. Pikirlah baik-baik, bukankah jauh lebih baik kalau engkau dan aku menjadi sahabat daripada menjadi musuh? Aku percaya bahwa kalau engkau dan aku menjadi sahabat........... ehemm........... kita dapat menciptakan surga di atas bumi ini karena engkau dan aku cocok sekali! Hi-hi-hik!"

   Tiba-tiba Pusporini, dara remaja berusia lima belas tahun yang cantik manis dan bertubuh ramping padat dan seperti bunga mulai mekar itu, melangkah maju dan suaranya nyaring sekali ketika la menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Sariwuni yang masih terkekeh genit,

   "Ihhh, bukankah kamu ini yang bernama Sariwuni? Rakanda adipati sudah bercerita tentang kamu dan tahukah kamu apa yang dikatakan oleh abdi pelayanku? Bahwa Sariwuni adalah seorang perempuan rendah dan hina, tak tahu malu, cabul dan kotor, tak mengenaI susila...........

   "

   "Pusporini........... , diam.........!"

   Roro Luhito membentak puterinya.

   Akan tetapi Sariwuni yang tadi dapat menahan perasaan dan hanya tersenyum-senyum, kini telah menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Tak dapat ia menahan kemarahannya karena dimaki-maki seperti itu di depan orang banyak............

   "Bocah........... , kau sudah bosan hidup..........!"

   Tanpa disangka-sangka, dengan gerak cepat yang dahsyat sekali, tubuhnya sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan yang menggunakan kuku mencakar ke arah muka Pusporini.

   "Rini........... Pethit Nogo...........!!"

   Tejolaksono berseru karena untuk bergerak menolong sudah tak keburu lagi. Pukulan yang dilakukan oleh Sariwuni dengan kuku mencakar itu ia tahu amat berbahaya karena kuku itu mengandung racun yang ampuh dan hanya Aji Pethit Nogo saja yang akan dapat menyelamatkan adiknya, juga muridnya itu karena Aji Pethit Nogo yang mengandalkan kepretan jari yang penuh hawa sakti dapat melawan kuku-kuku beracun.

   Biarpun Pusporini masih muda dan lincah gembira,namun ia gesit sekali dan sudah digembleng oleh Adipati Tejolaksono. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi tangannya sudah bergerak, dengan jari-jari terbuka dan lurus ia menggerakkan Aji Pethit Nogo sehingga jari-jari tangan yang kecil mungil itu tersalur hawa sakti dan tergetar ketika ia pergunakan untuk menangkis.

   "Plakk..........."

   Cakaran tangan Sariwuni terpental, akan tetapi tubuh Pusporini terdorong ke belakang. Dara remaja ini tentu akan roboh terguling oleh hawa pukulan lawan yang jauh lebih kuat kalau saja ia tidak meloncat dan berjungkir balik dengan gerakan manis sekali sehingga dorongan hawa pukulan lawan itu terpatahkan. Ia meloncat turun dan tersenyum.

   "Wah, cakaran itu mengingatkan aku akan Si Belang,kucingku yang karena makan bangkai tikus yang sudah busuk tiba-tiba menjadi gila dan mencakar kalang-kabut seperti itu. Kamu tidak ada bedanya seujung rambutpun dengan kucing yang gila itu. Agaknya engkaupun terkena racun bangkai yang kau makan!"

   Sariwuni makin marah, akan tetapi tiba-tiba Cekel Wisangkoro berkata halus kepadanya.

   "Sudahlah, Wuni,untuk apa melayani seorang anak kecil?"

   "Cekel Wisangkorb, andika sebagai utusan bicaralah, jangan membiarkan sembarang orang mengacau dengan kata-kata kosong memancing keributan."

   Tejolaksono menegur.

   "Heh-heh-heh, maafkan, Adipati Tejolaksono. Akan tetapi Sariwuni bukanlah orang sembarangan atau orang lain, dia adalah adik seperguruanku pula. Dan apa yang diucapkannya tadi benar belaka. Percuma saja kalau andika hendak menolak, lebih baik andika mencari jalan 'yang lebih menyenangkan kedua pihak dan menerima uluran tangan kami. Andika tetap menjadi adipati yang dipertuan di Selopenangkep dan membiarkan kami bergeak ke timur."

   "Kalau aku menolak?"

   "Kalau engkau menolak berarti engkau dan keluargamu akan terbasmi, Selopenangkep akan mempunyai seorang adipati baru dan kami tetap saja akan dapat bergerak ke timur. Jangan bodoh, Tejolaksono, bukalah matamu dan lihat baik-baik. Kadipaten ini telah terkurung oleh barisan yang sedikitnya sepuluh kali lebih besar daripada pasukan Selopenangkep dan ribuan orang rakyat sebagai sukarelawan datang pula dan siap membantu kami, mengapa kau menolak?"

   "Kami tidak takut! Eh, pendeta bau apek, jangan kau banyak tingkah!"

   Pusporini sudah tak dapat dapat menahan kemarahannya lalu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Cekel Wisangkoro.

   "Biar barisanmu seratus kali lebih banyak, akan kami lawan!"

   Kata pula Ayti Candra yang juga sudah marah.

   "Anaknda adipati. Menghadapl tikus-tikus macam ini saja biar serahkan kepada kanjeng bibi! Biar sudah tua, aku sanggup memimpin pasukan membasmi tikus-tikus ini!"

   Kata Roro Luhito sambil melangkah maju dan meraba gagang kerisnya.

   Adipati Tejolaksono tertawa dan menghadapi Cekel Wisangkoro.

   "Engkau telah menyaksikan dan mendengar sendiri, Cekel Wisangkoro. Sedangkan bibiku, isteriku, dan adikku saja tidak takut menghadapi ancamanmu, apalagi aku! Pasukan-pasukanmu yang menyerbu akan kami hadapi dan anggap sebagai musuh negara, adapun rakyat dusun yang terbujuk olehmu dan ikut menyerbu akan kami anggap sebagai pemberontak! Tidak perlu kau mengancam dan banyak cakap lagi karena aku tahu bahwa kalian adalah kaki tangan Kerajaan Cola yang mengilar melihat negara kami dan ingin menjajah. Pendeknya, hanya ada dua pilihan bagi kalian, yaitu pergi membawa kembali pasukanmu ke tempat asalmu atau maju dan hancur lebur menghadapi perlawanan rakyat Panjalu!"

   Kini senyum di mulut Cekel Wisangkoro lenyap, terganti kemarahan yang membayang di mukanya yang halus dan merah itu. Sinar matanya berkilat-kilat, dan dadanya dibusungkan.

   "Babo-babo........... Tejolaksono! Engkau tak dapat diajak berbaik! Engkau telah menentukan kehancuran keluargamu sendiri, seperti pohon itu!"

   Cekel Wisangkoro meloncat ke kiri, mendekati pohon sawo yang tumbuh di halaman kadipaten itu, tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menyambar ke arah batang pohon yang besar itu dan menampar.

   "Blukkk........... I"

   Pohon itu bergoyang-goyang akan tetapi tidak roboh. Semua perajurit Selopenangkep yang melihat betapa pohon itu tak dapat dipukul roboh, tertawa-tawa mengejek , akan tetapi suara ketawa itu segera sirep dan suasana menjadi sunyi, mata mereka terbelalak dan mulut mereka. ternganga ketika melihat betapa daun-daun pohon sawo itu menjadi layu dan rontok seperti hujan,diikuti buah-buah sawo yang tadinya masih mentah kini menjadi busuk dan berjatuhan!

   Keadaan yang hening itu segera berubah menjadi berisik ketika para perajurit menjadi marah dan mereka kini mengurung maju dengan sikap mengancam! Juga Roro Luhito sudah marah sekali.

   Wanita tua perkasa ini mencabut kerisnya dan melangkah maju sambil menudingkan kerisnya ke arah empat orang lawan itu,

   "Pendeta bajul! Apa kaukira dengan sihirmu ini kami menjadi takut?!"

   Dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di sebelah kiri Cekel Wisangkoro meloncat maju sambil mencabut pedang, agaknya hendak menerjang Roro Luhito. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Tejolaksono menyambut mereka sambil membentak,

   "Keparat, kalian mau apa?"

   Dua orang tinggi besar itu menggerakkan pedang membacok, gerakan mereka cepat sekali dan amat kuat sehingga pedang mereka mengeluarkan angin dan menimbulkan suara berdesing.

   Pedang itu menyambar dari kanan kiri ke arah leher dan lambung Sang Adipati Tejolaksono. Demikian cepatnya pedang menyambar sehingga para perajurit Selopenangkep menahan napas.

   Agaknya takkan dapat dihindarkan lagi bahwa tubuh sang adipati tentu akan terbabat putus menjadi tiga potong!

   Hanya keluarga sang adipati itu saja yang memandang dengan tenang dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka cukup mengenaI akan kesaktian Tejolaksono dan percaya sepenuhnya bahwa sang adipati akan dapat menjaga dan menyelamatkan dirinya.

   Harapan mereka ini tidak sia-sia.

   Dengan gerakan amat tenang, Tejolaksono tidak mengelak, bahkan tidak menggerakkan tubuh sama sekali, hanya kedua tangannya saja menyambut. Dua orang tinggi besar itu berseru kaget dan kesakitan karena entah bagaimana, tahu-tahu pergelangan tangan mereka kena dicengkeram oleh Tejolaksono dan terdengar bunyi "krek-krek!"

   Ketika sang adipati mengerahkan tenaga, tanda bahwa tutang lengan kanan mereka patah!.

   Adipati Tejolaksono menarik kedua tangannya dan pedang lawan telah terampas olehnya, kin! kedua kakinya bergerak cepat sekali bergantian dan mencelatlah tubuh dua orang tinggi besar itu sampai empat meter ke belakang di mana mereka terbanting dan meringis kesakitan sambil memegangi tangan kanan yang sudah patah tulangnya.

   Hebatnya, mereka sedikitpun tidak mengeluarkan suara keluhan sungguhpun rasa sakit pada lengan mereka menusuk sampal ke ulu hati.

   Dengan dua batang pedang di tangan, Tejolaksono menghadapi Cekel Wisangkoro dan berkata,

   "Cekel Wisangkoro, aku yakin bahwa kalau aku menghendaki, kalian berempat akan mati di tempat ini sekarang juga. Akan tetapi, aku mengenal tata susila dan mengingat bahwa kalian adalah raka (utusan) dan adalah menjadi hak mutlak caraka untuk datang dan pergi lagi tanpa terganggu, maka aku membiar kan kalian pergi dalam keadaan hidup. Kalau dua orang temanmu ini terluka, hal itu hanya karena kesala han mereka sendiri sebagai hukuman dariku atas kelancangan mereka. Nah, kau pergilah dan boleh bawa sebatang pedang yang tiada gunanya ini!"

   Sang Adipati Tejolaksono mengerahkan kedua tangannya dan

   "krak-krak!!"

   Dua batang pedang itu patah-patah lalu dilemparkannya ke kaki Cekel Wisangkoro! Para perajurit bersorak memuji menyaksikan kesaktian junjungan mereka ini.

   Cekel Wisangkoro menoleh ke arah kedua orang temannya itu dan memaki,

   "Sungguh bodoh kalian!"

   Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh menghadapi Tejolaksono lagi, ia sudah tertawa, sikapnya tenang-tenang saja sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut.

   "Engkau sombong, Tejolaksono! Tahukah engkau bahwa jika sekarang aku melontarkan tongkatku ini ke angkasa, dari empat penjuru akan menyerbu pasukan-pasukanku dan dalam waktu singkat Kadipaten Selopenangkep akan menjadi karang-abang (lautan api)? Akan tetapi karena engkau menggunakan tata susila tidak mau nyerang caraka, akupun hendak mengimbangimu, tidak akan menyerang sebelum me nyodorkan kesempatan terakhir. Nah, kami memberi kesempatan kepadamu sampai sehari ini. Kalau sampai senja kala nanti engkau tidak datang kepada kami di dalam hutan sebelah barat Selopenangkep untuk menerima uluran tangan kami, jangan sesalkan kami kalau kami terpaksa menggunakan kekerasan!"

   "Sudah cukup banyak kau mengoceh, Cekel Wisangkoro! Pergilah sebelum para perajuritku kehabisan sabar!"

   Dengan lagak angkuh Cekel Wisangkoro lalu pergi dari halaman gedung kadipaten, diikuti Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar yang masih memegangi pergelangan tangan kanan mereka yang patah tulangnya. Para perajurit pengawal mengiringkan mereka dengan ejekan dan tertawaan.

   Akan tetapi setelah empat orang tamu itu pergi jauh, Adipati Tejolaksono segera memanggil semua pembantunya dan membagi-bagi tugas mengatur penjagaan di sekeliling kadipaten. Kadipaten Selopenangkep tidak mempunyai pasukan yang besar.

   Seluruh pasukan hanya terdiri dan dua ratus empat puluh orang perajurit. Akan tetapi biasanya, pasukan yang tergembleng ini di bawah pimpinan Tejolaksono merupakan barisan yang amat kuat dan boleh diandalkan untuk menjaga keselamatan kadipaten. Kini pasukan yang kecil itu dipecah-pecah untuk

   menjaga kadipaten secara bergiliran.

   Sang adipati sendiri, bersama isterinya, Pusporini dan Roro Luhito, tidak tinggal diam. Mereka berempat ini maklum akan ancaman bahaya dari plhak lawan, maka merekapun sibuk melakukan perondaan dalam keadaan siap siaga.

   Namun tepat seperti ancaman Cekel Wisangkoro, sehari itu sama sekali tidak terjadi penyerbuan musuh, bahkan di luar sekeliling kadipaten tidak tampak bayangan seorangpun musuh.

   Malam hari itupun tidak ada penyerbuan musuh secara terbuka. Akan tetapi banyak hal menggiris kan hati para perajurit telah terjadi. Rombongan penjaga di sebelah utara dan timur, terdiri masing-masing dari tiga puluh orang perajurit, menjadi ketakutan setengah mati setelah peristiwa yang hebat dan menyeramkan menimpa diri mereka.

   Malam itu, menjelang tengah malam, mereka sedang meronda dan memeriksa bagian tirmur dan utara. Malam sunyi dan gelap, tak tampak bayangan seorangpun musuh, juga tidak terdengar sesuatu. Bulan bersinar terang, didampingi banyak bintang. Udara cerah dan pemandangan indah yang terbentang di angkasa itu sedikit banyak mengurangi ketegangan hati mereka.

   Mula-mula mereka tidak menaruh curiga ketika ada segumpal awan hitam menutupi sinar bulan. Barulah mereka mulai panik ketika "awan"

   Ini dapat melayang turun dan merupakan asap hitam yang menyerang mereka! Keadaan makin menjadi gelap sehingga akhirnya mereka tak dapat melihat tangan sendiri! Dan di dalam kepanikan yang makin meningkat ini, mereka barn tahu bahwa hal yang tidak wajar telah terjadi.

   Apalagi ketika di dalam kegelapan yang hebat itu mereka mendengar suara-suara aneh, bukan suara manusia, gerengan-gerengan dan ketawa-ketawa seakan-akan semua jin dan setan keluar dari neraka dan berkumpul di tempat itu.

   Dan mulailah mereka melihat muka-muka yang mengerikan, muka yang besar seperti kepala raksasa, akan tetapi tanpa tubuh. Paniklah para perajurit.

   Ada pula yang pemberani lalu menerjang ke arah bayangan-bayangan itu hanya uptuk menghantam kawan-kawan sendiri karena di dalam kegelapan itu mereka tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan!

   Setelah terjadi pukul-memukul dan serang-menyerang antara kawan sendiri yang dalam kepanikan disangka musuh sampai beberapa jam lamanya, akhirnya "awan"

   Hitam itu lenyap dan keadaan menjadi terang kembali. Dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan gelisah hati para kepala pasukan ketika menyaksikan akibat peristiwa itu.

   Enam orang perajurit luka-luka oleh pukulan kawan sendiri, dan sepuluh orang perajurit lenyap tak meninggalkan jejak, entah melarikan diri entah bagaimana!

   Para penjaga di sebelah selatan dan barat juga mengalami hal yang amat luar biasa. Juga jumlah mereka In! adalah dua pasukan terdiri dari tiga puluh orang perajurit tiap pasukan.

   Pengalaman mereka tidaklah mengerikan seperti apa yang dialami para penjaga di timur dan utara, akan tetapi akibatnya malah lebih mencelakakan lagi. Selagi mereka menjaga malam itu dekat tengah malam, juga dalam sinar bulan yang cemerlang dan indah romantis, dari dalam kesunyilan muncul tujuh belas orang wanita cantik jelita yang hanya mengenakan pakaian tipis dan rambut mereka terurai.

   Wanita-wanita ini dengan sikap amat menarik hati menggoda mereka dengan bujuk rayu dan pikatan. Kepala kedua pasukan yang tetap waspada membentak pasukan masing-masing dan memerintahkan pasukannya menangkapi tujuh belas orang wanita cantik yang mencurigakan itu.

   Akan tetapi, mendadak tercium ganda yang harum semerbak dan semua perajurit seperti mabuk karenanya, bahkan dua orang kepala pasukan itu tidaklah sebengis tadi dan hanya tertawa-tawa ketika melihat betapa anak-anak buah mereka bersendau-gurau dan bermesraan dengan tujuh belah orang wanita itu.

   Barulah keadaan menjadi kacau-balau ketika menjelang fajar, mereka mendapatkan diri mereka tertidur dan ketika dicacahkan, ternyata dua puluh orang perajurit telah lenyap bersama tujuh belas orang wanita cantik tadi!.

   Tidak hanya di tempat-tempat penjagaan terjadi hal aneh. Bahkan hal-hal aneh menimpa dan terjadi di dalam kadipaten sendiri! Malam itu setelah melakukan perondaan sendiri sekeliling kadipaten, Adipati Tejolaksono kembali ke gedungnya.

   Suasana sekeliling kadipaten seperti malam-malam biasa, sunyi senyap, tidak ada pergerakan musuh.

   Akan tetapi hal ini amat mencurigakan hatinya dan sang adipati yang melihat betapa bibinya Roro Luhito, Pusporini, dan Ayu Candra sendiri masing-masing melakukan penjagaan di dalam gedung, lalu memasuki sanggar pamujan untuk bersamadhi, mempertinggi kewaspadaan dan memohon perlindungan dari para dewata.

   Belum lama sang adipati bermuja samadhi, tiba-tiba ia merasa betapa kedua matanya diserang kantuk yang amat hebat hampir tak tertahankan lagi. Karena tadinya ia menyangka bahwa kantuk ini datang karena lelah dan tegang, maka hampir solo Tejolaksono tunduk dan menyerah, akan tidur barang sebentar. Akan tetapi ketika cuping hidungnya bergerak mengendus ganda kembang menyan, seketika kewaspadaannya timbul kembali. Aji penyirepan! Tak salah lagi, ini tentulah akibat penyirepan yang amat kuat!

   Sang adipati yang Sakti mandraguna ini lalu cepat mengerahkan seluruh tenaga batinnya sehingga hawa sakti menggetar keluar dari tubuhnya membentuk gelombang getaran di angkasa dan menolak getaran aji penyirepan itu. Dari perasaan tertekan dan tertindih di dadanya, sang adipati maldum bahwa yang melepas aji penyirepan adalah seorang yang memiliki hawa sakti yang amat kuat.

   Terjadilah "perang tanding"

   Yang aneh dan tidak tampak oleh mata manusia, pertandingan antara dua getaran hawa sakti, tolak-menolak, dorong-mendorong dan tindih menindih.

   Kalau ada orang secara kebetulan melihat ke atas atap gedung kadipaten, tentu mereka akan merasa terheran-heran melihat adanya segumpal asap putih yang seperti bermain-main di angkasa, kadang-kadang terdorong ke depan kadang-kadang mundur pula ke belakang dan akhirnya setelah lama maju mundur, asap putih yang berbau harum kembang menyan ini hancur dan buyar lalu lenyap!

   Hal ini menandakan bahwa aji penyirepan yang tadinya menguasai sekeliling gedung kadipaten telah dikalahkan oleh getaran hawa sakti yang membubung keluar dari sanggar pamujan.

   Pusporini dara remaja yang cantik manis dan perkasa itu tadinya juga menjaga gedung kadipaten bersama ibunya dan ayundanya.

   (Lanjut ke Jilid 16)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16

   Dara ini telah siap siaga, pakaiannya serba ringkas, bajunya berwarna biru muda berlengan pendek sampai di siku. Baju lengan pendek ini amat baik dipakai dalam menghadapi pertandingan sehingga kedua lengannya akan dapat bergerak leluasa.

   Kainnya dikenakan secara longgar dan agak tinggi, dengan ujung dikumpulkan lalu dikaitkan ke belakang sehingga kainnya di bawah naik sampai ke lutut dan tampaklah celana hitam sampai ke bawah lutut. Betisnya yang masih kecil akan tetapi sudah berbentuk padi bunting dan kulit halus itu tampak. Pakaian kain seperti ini membuat ia akan leluasa bergerak kalau bertempur, tidak menghalangi gerak langkah atau tendangannya.

   Di pinggangnya tampak sebatang keris luk tiga menyelempit di balik sabuk sutera. Rambutnya yang hitam gemuk halus dan panjang sampai ke pinggul itu kini ditekuk dan diikat menjadi satu dengan kuat sehingga ujungnya yang berjuntai hanya sampai ke pundak, tidak disanggul seperti biasa karena kalau dipakai bertempur dikhawatirkan sanggul terlepas dan rambut terurai membuat gerakan tidak leluasa lagi.

   Tangan kanannya memegang sebatang golok, karena ia telah mempelajari permainan golok indah dari sang adipati, yaitu permainan Golok Lebah Putth. Golok yang kecil bentuknya, lebih kecil daripada golok biasa, gagangnya kayu terukir dan memakai ronce-ronce sutera merah.

   Seperti umumnya watak orang muda Pusporini juga haus akan petualangan hebat. Suasana kadipaten yang mencekam perasaan dan amat menegangkan itu merupakan pengalaman menggembirakan bagi dara remaja ini. Kini tibalah saatnya ia akan dapat membuktikan segala aji yang selama ini ia pelajari, pikirnya.

   Dan seorang muda seperti dia sama sekali tidak mengenal takut, belum begitu yakin akan tingginya langit dalamnya lautan! Ia menanti-nanti datangnya musuh untuk dibabat dengan goloknya seperti membabat rumput, dipukul remuk dengan ajinya Pethit Nogo di tangan kini seperti menghancurkan buah-buah mentimun.

   Akan tetapi setelah menanti sampai jauh malam tidak juga muncul seorangpun musuh, hatinya menjadi kesal dan bosan. Maka ditinggalkannya ibu dan ayundanya untuk "mencari angin sejuk"

   Di belakang kadipaten, di dalam taman bunga.

   Angin dingin sejuk memang ia dapatkan, dan hampir saja ia celaka oleh angin dingin sejuk ini. Tadinya ia bermaksud menjaga di taman dan mengharapkan munculnya musuh di dalam taman.

   Akan tetapi begitu ia melangkahkan kaki memasuki taman sari, angin sejuk menyambutnya dan saking kesal hatinya, dara remaja ini duduk di atas bangku dalam taman.

   Angin sejuk semilir menggerayangi muka dan lehernya, menimbulkan rasa nyaman. Ganda harum semerbak yang datang terbawa angin tidak membangkitkan kewaspadaannya, tidak menimbulkan kecurigaannya karena ia menganggap itu adalah ganda bunga-bunga yang tumbuh di taman.

   Malah cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis menyedot ganda harum sedap itu. Maka dengan mudah saja getaran hawa sakti aji penyirepan menguasainya, membuat dara ini tiga empat kali menguap saking mengantuknya, tiap kali menutup mulut dengan punggung tangan kirinya.

   Tak lama kemudian Pusporini pun tertidurlah dengan pulas sambil duduk di atas bangku.

   Tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan seorang laki-laki tinggi besar yang meloncat keluar dari balik pohon di taman itu. Dengan ,beberapa loncatan saja orang ini telah mendekati Pusporini yang masih tidur dengan napas panjang teratur. Ketika melihat dara remaja itu tidak bergerak dan tidur, laki-laki itu menyergap ke depan dan di lain saat tubuh dara remaja itu telah disambar dan dipondongnya.

   Golok yang dipegang Pusporini terlepas dan jatuh! Pusporini masih pulas dan hanya mengeluarkan suara rintihan perlahan seperti orang ngelindur ketika tubuhnya dipondong dan dibawa lari.

   Sementara itu, Roro Luhito dan Ayu Candra yang masih duduk menjaga di ruangan dalam, bercakap-cakap. Dua orang wanita ini maklum akan bahaya yang mengancam kadipaten, namun mereka itu biar tegang di hati, sikap mereka masih tenang saja dan memang ketegangan hati mereka bukanlah tanda hati khawatir.

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka tidak khawatir, juga tidak takut karena mereka percaya penuh akan kesaktian Adipati Tejolaksono, juga percaya akan kemampuan diri sendiri untuk menghadapi musuh.

   Kedua orang wanita ini, seperti juga Pusporini, berpakaian ringkas dan di sabuk mereka terselip senjata pusaka mereka.

   Sebatang tombak berada di samping mereka selalu.

   Dua orang wanita ini sudah dua kali menguap dan Ayu Candra tidak dapat menahan kantuknya lagi, mulai melenggut. Tiba-tiba Roro Luhito memegang pundaknya, mengguncangnya dan berbisik,

   "Ayu........... Bangun........... Awas, musuh menggunakan aji penyirep!"

   Biarpun terpengaruh aji penyirepan, karena memang Ayu Candra bukan wanita sembarangan dan sudah memiliki kekuatan batin yang tangguh, guncangan ini cukup menyadarkan dan bersama Roro Luhito ia cepat duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin untuk melawan pengaruh aji penyirepan ini.

   Bau kembang menyan mengambar-nyambar semerbak memenuhi ruangan. itu membuat kepala mereka terasa pening.

   Akhirnya mereka dapat menguasai diri mereka dan Roro Luhito berbisik,

   "Cepat........... kita cari Pusporini...........!"

   Mereka meloncat bangun dan menggu nakan Aji Widodo Mantera untuk memperkuat batin.

   Setelah menyambar tombak masing-masing, mereka lalu meloncat dan lari ke arah belakang. Angin sejuk menyambut mereka ketika mereka keluar' dari pintu butulan di belakang, memasuki taman sari.

   "Ah, Bibi........... lihat...........!!"

   Ayu Candra berseru kaget dan menudingkan telunjuknya ke arah kiri. Sesosok bayangan laki-laki tinggi besar lari memondong tubuh Pusporini!

   "Keparat...........! Kejar...........!!"

   Teriak Roro Luhito sambil meloncat ke depan, diikuti Ayu Candra.

   Akan tetapi mendadak muncul empat orang laki-laki tinggi besar. Seperti juga laki-laki yang menculik Pusporini tadi, empat orang laki-laki inipun selain tinggi besar, juga kepalanya gundul, ditutup ikat kepala berwarna biru tua dan muka mereka seperti muka arca atau muka mayat.

   Mereka muncul begitu saja, tidak mengeluarkan suara dan secara tiba-tiba langsung menubruk dan menyerang Roro Luhito dan Ayu Candra.

   Jari-jari tangan mereka yang sebesar pisang itu terbuka dan lengan tangan mereka yang penuh bulu amat besar dan kuat menyeramkan.

   Roro Luhito dan Ayu Candra terkejut, cepat mengelak sambil memutar tombak, menghadapi masing-masing dua orang lawan yang bertubuh kuat dan bersenjata golok besar.

   Terjadilah pertempuran hebat di dalam taman, dan terdengar suara senjata berdencingan ketika bertemu berkali-kali.

   Dua orang wanita perkasa itu mendapat kenyataan bahwa empat orang lawan mereka memiliki tenaga yang amat kuat sehingga tiap kali beradu senjata, mereka merasa telapak tangan mereka panas dan sakit.

   Roro Luhito marah sekali, mengeluarkan pekik seperti seekor kera dan gerakannya menjadi cepat laksana halilintar menyambar-nyambar.

   Dalam amarahnya karena teringat akan puterinya yang terculik, wanita ini telah mengeluarkan ajinya

   Sosro Satwo yang dahulu ia pelajari dari gurunya, yaitu Resi Telomoyo.

   Seketika tombaknya berubah menjadi banyak ujungnya dan dalam gebrakan selanjutnya kedua lawan yang menjadi berkunang-kunang pandang matanya itu dapat ia tusuk dengan ujung tombak, tepat mengenai paha dan perut.

   Akan tetapi betapa terkejutnya ketika kedua tusukannya itu membalik dan ternyata ujung tombaknya hanya merobek pakaian dan kulit sedikit saja, tidak mampu menembus daging. Kiranya dua orang lawannya ini selain amat kuat juga memiliki tubuh yang kebal! Ia makin marah dan kini menujukan ujung-ujung tombaknya kepada bagian-bagian yang lemah, terutama ke arah mata kedua orang lawan.

   Ayu Candra mengalami hal yang sama. Ia menggunakan Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari suaminya sehingga kini ia dapat mengatasi kedua lawannya karena gerakannya jauh lebih cepat. Beberapa kali tombaknya dapat menusuk leher dan lambung, namun kesemuanya meleset seakan-akan menusuk karet yang licin sekali. Seperti juga bibinya, kini ia bergerak lebih, cepat dan mengarahkan ujung tombak ke bagian-bagian berbahaya dari kedua orang lawan yang terus mengamuk membabi buta tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.

   Adipati Tejolaksono setelah berhasil membuyarkan getaran aji penyirepan, lalu bangun dari samadhinya, keluar dari sanggar pamujan dan bergerak cepat keluar.

   Sanggar pamujan ini letaknya di bagian samping gedung, dan kini setelah keluar ia mendengar suara senjata beradu di sebelah belakang, di taman sari.

   Cepat ia berkelebat memasuki taman sari dan terkejut hatinya melihat isterinya dan bibinya dikeroyok empat orang laki-laki tinggi besar yang agaknya kebal karena dari jauh ia melihat betapa tombak isterinya dan bibinya itu berkali-kali meleset jika mengenai tubuh lawan. Ia menjadi marah sekali, bagaikan seekor garuda melayang tubuhnya mencelat dan menyambar ke depan.

   "Siuuuuttt........... dess! dessss!"

   Dua kali tangannya menghantam dengan pukulan Bojro Dahono yang ampuhnya menggila itu. Kalau lawan lain terkena hantaman ini tentu tubuhnya akan roboh dan hangus, atau setidaknya tentu akan patah-patah tulang iganya.

   Akan tetapi dua orang pengeroyok Ayu Candra itu terkena pukulan ini hanya mencelat roboh tergiling-guling tanpa mengeluh, kemudian merangkak dan bangkit kembali!

   Terbelalak mata Tejolaksono memandang saking herannya.

   Dua orang ini sama halnya dengan dua orang tinggi besar anak buah Cekel Wisangkoro yang ia patahkan pergelangan tangannya, sama pula dengan Sariwuni,memiliki kekebalan luar biasa sehingga dapat menahan keampuhan pukulan tangannya.

   Ia menjadi penasaran sekali. Ditiupnya kedua tangannya kemudian ketika dua orang laki-laki gundul itu menerjang maju, ia memapak dengan loncatan dan hantaman kedua tangan ke arah kepala mereka.

   TERDENGAR suara seperti buah kelapa dipukul pecah dan dua orang Itu terbanting roboh tak bergerak lagi kini karena kepala mereka pecah oleh hantaman kedua tangan sang adipati!

   Ayu Candra sudah membantu Roro Luhito menghadapi dua orang laki-laki tinggi besar yang lain. Karena kini satu lawan satu, dua orang laki-laki tinggi besar itu terdesak hebat, golok mereka telah dapat dipukul runtuh dan tombak Roro Luhito sudah berhasil menusuk mata kiri lawannya sampai masuk ke kepala dan orang itu roboh berkelojotan sebentar lalu diam dan tewas.

   Ayu Candra yang terus mencecer bagian mata, hampir berhasil pula, akan tetapi tiba-tlba Tejolaksono berseru,

   "Jangan bunuh, aku hendak menangkapnya!"

   Ayu Candra mundur dan Tejolaksono menerjang, menghantam roboh orang itu dengan memukul dadanya. Orang iu terbanting roboh, merangkak hendak bangun akan tetapi kena dipiting oleh Tejolaksono sehingga tak mampu berkutik lagi. Pada saat itu, beberapa orang pengawal yang mendengar ribut-ribut di taman, sudah datang dan atas perintah Tejolaksono mereka segera menelikung orang tinggi besar itu sampai tak mampu berkutik.

   "Pusporini............. dia dilarikan penjahat.............!"

   "Lekas kau kejar, Kakangmas.............!! "

   Mendengar ucapan Roro Luhito dan Ayu Candra ini, bukan main kagetnya hati Tejolaksono. Tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke arah yang ditunjuk oleh dua wanita itu. Roro Luhito dan Ayu Candra segera menyusul dan berpencar untuk mencari Pusporini yang diculik.

   Akan tetapi mereka bertiga tidak dapat menemukan jejak Pusporini, sebaliknya mendapatkan keadaan para penjaga yang kacau-balau!

   Para penjaga di utara dan timur kehilangan sepuluh orang perajurit sedangkan enam orang luka-luka dalam perang tanding sendiri akibat kekacauan keadaan yang gelap-gulita dan penuh godaan iblis.

   Sedangkan para penjaga di sebelah selatan dan barat lebih celaka lagi keadaannya. Mereka semua tertidur dalam keadaan tidak karuan, ada yang bertelanjang bulat, ada yang tertawa-tawa seperti orang mabuk, bersikap seperti orang kegilaan wanita, dan dua puluh orang di antara mereka lenyap.

   Adipati Tejolaksono terpaksa kembali ke gedung kadipaten dan memanggil semua pembantu nya mendengar pelaporan mereka yang aneh.

   Malam itu Kadipaten Selopenangkep geger dan mengalami kerugian besar. Enam orang luka-luka dan tiga puluh orang perajurit lenyap, Pusporini terculik dan sebagai gantinya hanya dapat membunuh tiga orang laki-lakl gundul dan menawan seorang.

   Roro Luhito pucat mukanya, dan hanya dengan kekerasan hati saja wanita tua perkasa ini dapat menahan tangisnya.

   "Aduh, Anaknda Adipati, bagaimana dengan nasib Pusporini.............?"

   Ia mengeluh.

   Tejolaksono dan Ayu Candra juga gelisah memikirkan Pusporini. Tejolaksono menghibur,

   "Kita harus tenang, Kanjeng Bibi. Saya rasa Cekel Wisangkoro tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu Pusporini, karena kalau ia melakukan hal itu, kalau terganggu seujung rambutpun dari Pusporini, ia tahu bahwa Tejolaksono akan mencarinya sampai dapat dan akan menghancurkan kepalanya!"

   Berkata demikian sang adipati tampak marah sekali, kemudian ia menghela napas panjang untuk menekan perasaannya.

   "Agaknya dia menangkap Pusporini dengan maksud untuk memaksa kita menyerah, Akan tetapi, saya akan berusaha merampas Pusporini kembali. Karena itu, kebetulan sekali kita dapat menawan hidup-hidup seorang di antara empat iblis gundul itu. Heh, pengawal, seret tawanan itu ke sini!"

   Tawanan laki-laki tinggi besar gundul yang sudah ditelikung seperti ayam itu diseret ke depan Tejolaksono.

   Adipati ini terhetan-heran melihat betapa tawanan ini sama sekali tidak mengeluh, juga sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang seperti wajah mayat. Ia berusaha mengorek rahasia dari tawanan ini dengan janji-janji manis dan ancaman-ancaman mengerikan, namun tawanan itu hanya memandang dengan mata melotot dan bodoh, tidak menjawab, mengangguk tidak menggelengpun tidak!.

   "Hemm, engkau jangan berpura-pura bodoh!"

   Bentak sang adipati.

   "Melihat kepandaian, kekebalan dan sepak terjangmu, engkau bukan orang bodoh! Hayo mengakulah, ke mana Pusporini adikku dibawa pergi. Kalau engkau mengaku, dan mau membawaku ke sana, aku tidak akan membunuhmu. Akan tetapi kalau tidak, hemm.............engkau akan kusuruh hukum picis!"

   Hukum picis adalah hukuman yang amat mengerikan pada waktu itu. Tubuh seorang tawanan akan diikat dan di situ disediakan sebatang pisau tajam, air asam garam.

   Setiap orang perajurit akan mengerat tubuh si tawanan dan menyiramkan air asam garam pada luka guratan itu. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang akan dialami orang yang dihukum picis sebelum ia mati kehabisan darah.

   Namun tawanan itu hanya melototkan mata makin lebar saja, tak menyatakan sesuatu, baik dengan suara maupun gerakan. Ia hanya mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan.

   Melihat ini, sang adipati menjadi curiga, lalu menggunakan jari tangan untuk menusuk beberapa bagian jalan darah di tubuh tawanan itu. Ia tidak menyaksikan gerakan tubuh yang mengerahkan kekebalan atau hawa sakti, akan tetapi jarinya yang menusuk perlahan itu meleset!

   Ia mengangguk-angguk, lalu memegang kepala orang itu dan membuka pelupuk matanya memeriksa biji mata yang selalu dipelototkan.

   "Ahhhhh............. sungguh kasihan orang ini............."

   Ia berkata kemudian sambil memberi isyarat kepada pengawal untuk membawa pergi si tawanan. Kemudian ia duduk termenung.

   "Apakah artinya semua itu, kakangmas?"

   Tanya Ayu Candra. Juga Roro Luhito tidak mengerti.

   "Si keparat Cekel Wisangkoro atau siapa saja yang melakukan perbuatan-perbuatan keji itu. Orang-orang itu bergerak bukan atas kehendak sendiri. Mereka seperti mayat-mayat yang telah dikuasai oleh iblis-iblis itu, tubuh mereka kebal dan mereka amat kuat dan pandai berkelahi hanya karena berada dalam pengaruh sihir yang amat kuat!. Tentu saja dia tidak dapat menjawab karena dalam keadaan seperti itu, mereka tidak tahu apa-apa, tidak dapat bicara,hanya dapat bergerak untuk menghancurkan segala yang merintangi mereka, sesuai dengan perintah rahasia yang diberikan oleh iblis berupa manusia melalui getaran dalam otak mereka. Dia itu telah mati, mati dalam hidup. Hanya jasmaninya saja yang hidup akan tetapi perasaan dan semangatnya telah berada dalam genggaman orang yang menguasai mereka."

   "Si bedebah! Kalau begitu, anakku............."

   Roro Luhito menahan kata-katanya dan mengerutkan keningnya.

   "Aduh, Kakangmas, bagaimana dengan Pusporini?"

   "Harap Kanjeng Bibi dan engkau Yayi, tenang pada saat seperti ini. Sudah menjadi kenyataan bahwa Pusporini ditawan musuh. Akan tetapi itu hanya merupakan satu di antara akibat perang yang kita hadapi. Perang yang aneh melawan orang-orang yang seperti iblis. Kita belum kalah dan kita harus mempertahankan diri di Selopenangkep. Pada waktu ini, yang terpenting adalah menjaga agar musuh tidak sampai dapat menguasai Selopenangkep. Kalau aku membawa pasukan mencari Pusporini, atau pergi mengejar, berarti keadaan Selopenangkep akan kosong dan lemah. Agaknya memang siasat ini dipergunakan musuh untuk memancing aku keluar dari kadipaten. Biarlah kita bersabar, menjaga kadipaten sambil menanti datangnya Kakang Mundingyudo yang tentu akan membawa bala bantuan dari Panjalu. Kita akan menghancurkan musuh dan percayalah, Sang Hyang Widhi tentu akan melindungi Pusporini. Orang yang benar pasti akan mendapat kemenangan terakhir."

   Biarpun perasaan hati mereka hancur dan penuh kegelisahan, namun kedua orang wanita itu harus membenarkan pendapat sang adipati ini, maka mereka tak dapat berbuat lain kecuali berprihatin sambil memperkuat penjagaan dan mempertebal kewaspadaan.

   -oo0dw0oo-

   Laki-laki tinggi besar berkepala -gundul yang menculik Pusporini, terus lari meninggal kan kota Kadipaten Selopenangkep. Dia keluar dari kadipaten melalui pintu gerbang selatan di mana para penjaganya tertidur semua setelah tergoda oleh tujuh belas orang wanita cantik. Tentu saja dengan mudah ia dapat keluar dari pintu gerbang itu tanpa terhalang. Larinya cepat sekali, dengan langkah lebar dan selama itu, laki-laki ini tidak pernah mengeluarkan kata-kata, juga mukanya yang tersinar bulan tidak menyatakan atau membayangkan sesuatu.

   Keadaan laki-laki ini tiada bedanya dengan empat orang gundul yang menyerbu Kadipaten Selopenangkep dan yang dirobohkan oleh Adipati Tejolaksono. Laki-laki ini hanya bergerak menurutkan yang memerintahnya dan kini iapun lari menuju ke arah datangnya getaran yang menguasainya, menuju ke sebuah bukit kecil di sebelah barat.

   Pusporini yang tadi tertidur pulas akibat aji penyirepan, kini setelah agak lama dibawa lari dan mukanya tertiup angin malam yang dingin, mulai sadar. Mula-mula ia membuka matanya dan dapat dibayangkan betapakagetnya ketika ia mendapatkan dirinya dipondong oleh seorang laki-laki tinggi besar dan dibawa lari di malam gelap!

   Karena marah dan kaget, tubuhnya bergerak dan biarpun laki-laki itu seperti boneka hidup, namun pengaruh yang menguasainya membuatnya cerdik sekali dalam menghadapi lawan.

   Ketika merasa betapa gadis dalam pondongannya bergerak, cepat laki-laki itu menangkap pergelangan tangan Pusporini, digenggam dalam jari-jari tangan kirinya yang panjang dan kuat seperti jepitan besi, sedangkan lengan kanannya merangkul kedua kaki dara remaja itu sehingga Pusporini tak dapat berkutik lagi!.

   "Lepaskan aku..............! Bedebah............. lepaskan aku...........!!"

   Ia berteriak-teriak sambil meronta-ronta.

   Namun sia-sia belaka. Laki-laki itu sama sekali tidak menjawab, dan ia hanya dapat menggerakkan pinggangnya meronta-ronta sedangkan kaki tangannya sama sekali tidak dapat terlepas dari pergelangan laki-laki tinggi besar Itu.

   Tentu saja, dalam hal tenaga kasar, Pusporini sama sekali bukan tandingan laki-laki ini. Akhirnya dara remaja yang cerdik ini sadar bahwa mengandalkan tenaga kasar, ia takkan mungkin dapat terbebas. Ia tidak meronta lagi, juga tidak mengeluarkan suara lagi, bahkan mengendurkan tubuhnya bersandar pada pundak laki-laki itu, meramkan mata mencari akal.

   Teringat ia akan dongeng yang pernah diceritakan ibunya tentang Dewi Shinta yang diculik dan dilarikan Sang Prabu Dhasamuka. Keadaannya sekarang ini persis dengan dongeng yang diceritakan ibunya itu. Ia dipondong dalam keadaan tidak berdaya dan dibawa lari.

   Laki-laki ini tinggi besar dan mengerikan, patut pula menjadi Prabu Dhasamuka. Dan teringat akan hal ia ingat pula bahwa ibunya menceritakan betapa Dewi Shinta dapat dirampas dari tangan Dhasamuka oleh burung sakti Jentayu, akan tetapi Dewi Shinta yang merasa ngeri karena jatuh ke cengkeraman burung raksasa, lalu mempergunakan aji kesaktian memberatkan tubuh sehingga terlepas dari cengkeraman burung yang tidak kuat membawanya.

   Aji memberatkan tubuh itu telah ia tanyakan kepada rakandanya sang adipati yang juga menjadi gurunya. Dan sang adipati yang sakti mandraguna telah mengajarkan aji seperti itu!

   Teringat akan ini, Pusporini lalu meramkan mata seperti orang samadhi, mengheningkan cipta menenteramkan batinnya, kemudian ia berkemak-kemik membaca mantera sambil menekan dan menyalurkan hawa sakti dari dalam pusarnya.

   Aji kesaktian ini oleh Tejolaksono diberi nama Aji Argoselo dan kini tubuh Pusporini terasa berat seperti sebongkah batu gunung. Orang tinggi besar itu tiba-tiba mengeluarkan suara "uh-uhh.............!"

   Dan langkahnya terhuyung-huyung.

   Hampir ia tidak kuat dan karena ini tangan kirinya melepaskan kedua lengan Pusporini untuk membantu memeluk kedua kaki dara ini agar tidak terlepas.

   Kesempatan inilah yang dinanti-nanti Pusporini. Ia menahan napas, membelalakkan kedua matanya dan menyalurkan hawa sakti menjadi tenaga dahsyat kepada kedua tangannya yang sudah ia isi dengan Aji Pethit Nogo.

   Kini kedua tangannya bergerak, dari kanan kiri menghimpit kepala orang yang memondongnya itu dalam hantaman yang tiba-tiba, cepat dan kuat.

   Orang itu terhuyung, ikat kepalanya terlepas dan tampaklah kepalanya yang gundul, kedua tangannya yang memeluk kaki Pusporini dilepaskan untuk memegang kepalanya yang serasa akan pecah. Kesempatan ini dipergunakan Pusporini untuk meloncat turun dari atas pondongan lawan, memandang terbelalak heran melihat kepala orang itu tidak pecah oleh pukulan Petit Nogo yang dilakukannya amat kuat tadi.

   Tidak, sama sekali orang laki-laki tinggi besar berkepala gundul itu tidak mati, bahkan robohpun tidak.

   Setelah terhuyung-huyung, laki-laki itu dapat pulih kembali dan kini menerjang dengan kedua lengan terpentang, hendak menubruk dan menangkap kembali tawanannya yang terlepas!

   Namun tubrukannya hanya mengenai angin belaka karena tahu-tahu tubuh dara remaja itu sudah melejit lenyap dan berpindah tempat di sebelah kanannya, langsung mengirim tamparan lagi dengan Aji Pethit Nogo yang mengenai lehernya.

   "Plakkkk!!"

   Kembali orang itu terpelanting, namun segera bangkit lagi dan menghadapi Pusporini dengan mata melotot.

   Bulu tengkuk dara ini meremang. Dua kali pukulannya tadi amat hebat, dan dengan pukulan-pukulan itu kiranya batu gunungpun akan terpukul pecah.

   Akan tetapi kenapa orang ini mengeluhpun tidak? Ia telah mempelajari banyak macam aji-aji yang ampuh dari Adipati Tejolaksono, akan tetapi pukulannya yang terampuh adalah Aji Pethit Nogo.

   Ketika melihat orang itu menyerangnya lagi hendak menangkap, dengan mudahnya Pusporini mengelak. Dengan aji keringanan tubuh Bayu Sakti, tentu saja dengan mudah ia dapat menghindarkan setiap serangan laki-laki tinggi besar yang baginya terlalu lamban ini, akan tetapi ia masih penasaran kalau belum dapat memukul roboh orang yang telah menculiknya ini.

   Berkali-kali ia memukul dan mengeluarkan semua aji pukulannya, namun orang itu hanya terhuyung, paling-paling terjungkal untuk bangkit kembali dan menerjangnya makin hebat!

   "Eh-eh, engkau ini manusia ataukah iblis? Disuruh mampus saja kok tidak mau, keparat!"

   Pusporini memaki,akan tetapi sebetulnya di dalam hatinya, ia merasa ngeri dan serem. Sekali lagi ia mengelak sambil mengirim pukulan keras yang membuat tubuh laki-laki tinggi besar itu terguling-guling, dan ketika laki-laki itu seperti tadi bangkit berdiri lagi, Pusporini telah hilang dari tempat itu karena dara remaja ini dengan penuh kengerian telah melarikan diri. Siapa orangnya tidak akan merasa ngeri kalau bertanding melawan orang nekat macam itu? Sampai lelah kedua tangannya memukul dan orang itu berkali-kali jatuh lalu bangun lagi!

   Karena Pusporini mempergunakan Aji Bayu Sakti yang membuat larinya seperti seekor kijang muda, maka laki-laki tinggi. besar itu tertinggal jauh, bahkan laki-laki itu mengejar ke arah yang berlainan!

   Akan tetapi, biarpun semenjak kecil digembleng olah keperajuritan dan tata kelahi, Pusporini tidak pernah keluar dari Kadipaten Selopenangkep. Apalagi setelah Sang Adipati Tejolaksono menghapuskan kebiasaan berburu, dara remaja ini tidak mengenal daerah di luar Selopenangkep.

   Tadi ketika diculik, ia berada dalam keadaan pulas sehingga tidak tahu dibawa ke mana. Sekarang, barulah ia menjadi bingung karena tidak tahu ke mana jalan pulang ke Selopenangkep.

   Tanpa ia sadari, la bukannya menuju kembali ke Selopenangkep, melainkan menyusup makin dalam ke hutan yang lebat. Juga tidak tahu bahwa gerak-geriknya semenjak bertanding melawan orang tinggi besar tadi telah diperhatikan oleh banyak orang!.

   Tengah malam telah lewat dan bulan sepotong yang keluarnya hampir tengah malam itu kini sudah naik tinggi, menyinarkan cahaya yang redup namun cukup terang, menimbulkan suasana yang amat indah menyeramkan di dalam hutan! Pusporini mulai merasa bingung ketika hutan yang dilaluinya makin lama makin liar dan gelap.

   Agak lega hatinya ketika di tengah-tengah hutan liar itu ia mendapatkan sebuah lapangan yang luasnya ada seratus meter, berbentuk bundar dan lapangan terbuka ini tidak ditumbuhi pohon sehingga sinar bulan terang memenuhi lapangan itu. Rumput hijau tebal menutupi lapangan seperti permadani hijau dibentangkan, amat indah dan bersihnya.

   Pusporini mengambil keputusan untuk beristirahat dan melewatkan malam itu di tempat ini. Besok kalau matahari sudah menerangi bumi, ia akan dapat keluar dari hutan ini dan pulang, pikirnya. Tempat ini amat enak, juga ia dapat memandang ke sekelilingnya tanpa terhalang pohon sehingga kalau ada musuh mendatang, jauh-jauh sudah akan melihatnya.

   Sambil menghela napas lega dara remaja ini duduk dan melenggut saking mengantuk dan lelahnya.

   Kadang-kadang ia membuka mata dan memandang ke sekelilingnya yang sunyi untuk melihat kalau-kalau si gundul mengerikan tadi datang mengejarnya.

   Sebenarnya hal ini tidak perlu ia lakukan karena kalau ada orang datang berlari menghampirinya, tentu pendengarannya yang tajam akan dapat menangkap langkah kakinya.

   Akan tetapi, bagaimana pendengarannya akan dapat menangkap kalau bendabenda bergerak itu menghampirinya tanpa melangkahkan kaki, melainkan merayap seperti segerombolan ular? Dan bagaimana ia dapat melihat mereka itu kalau mereka menyusup-nyusup di antara rumput-rumput yang tebal dan tinggi? Tidak, Pusporini sama sekali tidak tahu, menyangkapun tidak bahwa pada saat itu, ada belasan orang mengurungnya dari semua penjuru, menghampirinya sambil merayap di antara rumput tanpa mengeluarkan suara!

   Mereka itu adalah orang-orang wanita, masih muda-muda.

   Ketika mereka ini merayap, dengan pinggang ramping bergerak-gerak, pinggul ke kanan kiri, pakaian setengah telanjang, mereka merupakan binatang-binatang yang amat aneh!

   Pusporini sedang melenggut ketika tiba-tiba tubuhnya ditubruk oleh empat orang wanita yang menggelut dan memitingnya dengan gerakan seperti ular-ular membelit leher, lengan dan kaki.

   Dara remaja ini menjerit saking kaget dan ngerinya. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang mengeroyok dan menggelutnya adalah empat orang wanita, kemarahannya bangkit. Apalagi ketika ia melihat betapa kini tampak belasan orang wanita lain telah mengurungnya.

   Ia meronta, mengerahkan tenaga dan menggerakkan kaki tangan.

   "Plak-plak-buk-desss!! ":

   Kini empat orang wanita itu yang menjerit dan tubuh mereka terlempar oleh pukulan dan tendangan si dara perkasa. Akan tetapi empat orang dirobohkan, belasan orang menyerbu dan kembali tubuh Pusporini sudah digelut.

   Pusporini marah sekali dan selagi ia hendak mengamuk, tiba-tiba mukanya disiram bubukan putih yang mengenai mata dan hidungnya. Seketika Pusporini gelagapan, kedua tangannya menutupi mata dan ia terbangkis-bangkis.

   Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kiranya orang telah menyerang mukanya dengan bubukan merica! Bukan main pedih matanya, sampai bercucuran air mata dan betapapun ia menahan, tetap saja ia terbangkis-bangkis sampai terbungkuk-bungkuk. Ia sampai tidak merasa bahwa kedua kaki tangannya sudah ditelikung seperti seekor domba hendak disembelih dan ketika tubuhnya dipanggul oleh para wanita itu, ia masih saja bercucuran air mata dan terbangkis-bangkis, ditertawai oleh mereka yang menawannya.

   "Setan! hidungku terus mengucurkan darah, mimisen!"

   "Gigiku patah dua, yang depan lagi. Sialan!"

   "Perutku masih mulas terus terkena tendangannya!"

   "Lihat garesku, matang biru dan aku akan terpincang sampai beberapa hari."

   Empat orang wanita yang terkena hantaman dan tendangan Pusporini tadi memaki-maki dan mengancam hendak membunuh Pusporini. Terdengar suara seorang di antara mereka, yang tercantik dan melihat lagaknya tentu ia pimpinan rombongan wanita itu,

   "Sudahlah, Ni Dewi menghendaki kita menangkapnya hidup-hidup, tidak boleh diganggu, masa kalian berani hendak membunuhnya? Kalau tidak ada pesan Ni Dewi,apa kaukira aku suka malam-malam susah-payah menangkapnya hidup-hidup? Dia ini adik adipati di Selopenangkep, amat dibutuhkan oleh sang wasi "

   Terdengar suara di sana-sini dalam rombongan wanita yang kini berjalan pergi sambil memanggul tubuh Pusporini, diseling ketawa cekikikan.

   "Wah, agaknya dia ini terpilih oleh sang wasi""!"

   Kata suara yang kecil tinggi penuh iri hati.

   "Tentu saja! Sang wasi cukup waspada dalam memilih.Bocah ini seorang dara remaja yang cantik jelita. Lihat saja kulitnya begini halus, tertimpa sinar bulan seperti kencana saja. Dan mata yang kini tertutup mempunyai bulu mata begitu panjang melengkung, bukan main. Kau ingat matanya tadi ketika terbelalak? Begitu lebar, indah dan bening. Dia masih dara remaja, bagaikan bunga seperti kuncup baru mekar sedang harum-harumnya, bagaikan buah seperti buah ranum mentah tidak matang tidak sedang lezat-lezatnya. Tidak seperti engkau!"

   "Kalau aku mengapa? Jangan lancang mulut kau!"

   "Hi-hik! Kalau dia itu bagaikan bunga mulai melayu dan buah mulai membusuk!!"

   Sambung suara lain.

   "Mana pantas untuk sang wasi? Paling-paling menjadi mangsa Ki Kalohangkoro, hi-hik!"

   Kata suara lain lagi.

   "Apa? Kalian ini benar-benar bermulut busuk, penuh bau kotor! Kucakar muka kalian baru tahu.............!"

   "Ssttt............! Diamlah kalian. Ribut saja! Ni Dewi ingin agar kita cepat membawa Pusporini menghadap untuk melengkapi upacara sesaji di malam Respati. Kalau kalian ribut mulut saja, bagaimana perjalanan dapat dilakukan cepat-cepat?"

   Tegur sang pemimpin dan rombongan wanita itu tidak berani saling maki lagi, hanya mengutarakan kemarahan dengan pandang mata saling melotot.

   Siapakah rombongan wanita ini? Mereka itu rata-rata masih muda, bahkan ada beberapa orang di antara mereka, terutama pemimpinnya berwajah cantik dan bertubuh langsing menggairahkan.

   Gerakan mereka gesit-gesit, tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka ini sesungguhnya masih sekawan dengan tujuh belas orang wanita cantik yang menggoda para penjaga Kadipaten Selopenangkep dan kemudian menculik dua puluh orang penjaga.

   Mereka adalah anak buah dari pesanggrahan Durgaloka, sebuah pesanggrahan atau perkumpulan yang terdiri dari wanita semua, wanita-wanita muda yang kesemuanya dilatih dalam pelbagai ilmu kesaktian, dipimpin oleh seorang wanita cantik bernama Ni Dewi Nilamanik.

   Perkumpulan ini adalah wanita-wanita penyembah Sang Hyang Bathari Durga dan pada waktu itu mempunyai markas di puncak Gunung Mentasari.

   Semenjak Sang Bhagawan Kundilomuko pemimpin para penyembah Sang Bhatari Durga di hutan Gumuk-mas dihancurkan oleh Endang Patibroto (baca Badai Laut Selatan), maka perkumpulan-perkumpulan penyembah Dewi Kejahatan itu tidak berani muncul lagi dan kalaupun ada rombongan-rombongan kecil pemuja Sang Bhatari Durga, maka rombongan ini tidaklah begitu menonjol dan tidak mempengaruhi atau meluaskan pengaruhnya kepada penduduk dusun.

   

Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini