Perawan Lembah Wilis 15
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
"Joko Pramono, bocah bagus. Marilah kau turuti hasratku, aaahhh, kau bocah menggemaskan sekali!"
Sariwuni menubruk maju hendak memeluk, akan tetapi kembali ia menubruk tempat kosong. Heranlah hati wanita ini. Tubrukannya cepat sekali dan ia sudah memperhitungkan bahwa pemuda itu tak mungkin dapat mengelak, akan tetapi nyatanya tubrukannya itu luput!
"Aehhh, jangan mengelak, cah bagus...."!"
Kembali ia menerjang maju, kini lengan kiri hendak memeluk pinggang dan tangan kanan meraih hendak merenggut leher.
"Perempuan tak tahu malu!"
Joko Pramono tidak lagi mengelak, melainkan miringkan tubuh membebaskan diri daripada renggutan dan menangkis lengan kiri Sarlwuni yang hendak memeluk pinggang.
"Dukk.............!"
Sariwuni memekik lirih dan meloncat ke belakang dengan mata terbelalak. Ia kaget bukan main ketika benturan lengan pemuda pada lengannya itu mendatangkan hawa panas yang menusuk tulang lengannya. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda ini dapat menangkis seperti itu dan mengertilah ia kini bahwa pemuda ini, sungguhpun masih remaja, namun telah memiliki ilmu kesaktian yang tinggi.
Berubahlah pandangannya, makin kagum hatinya,dan timbul kemauan hatinya hendak menaklukkan dan menguasai pria muda yang hebat ini.
"Bagus! Engkau mempunyai sedikit kepandaian, ya? Baik, mari kita main-main sebentar untuk membangkitkan kegembiraan dan memanaskan darah, hihik! "
Sariwuni lalu menyerbu ke depan, kini dengan langkah-langkah dan gerak-gerak silat yang cepat bagaikan badai menyerbu.
Sambil membuat gerakan memutar seperti angin lesus,Sariwuni menerjang maju, tangan kiranya mencengkeram ke arah pusar bawah, tangan kanannya dengan dua jari menusuk ke arah mata. Inilah serangan yang amat keji, ganas dan hebat sekali!
"Hemmm............. , keji seperti orangnya!"
Joko Pramono menghadapi serangan yang dahsyat ini dengan sikap tenang sekali. Pemuda ini jenaka dan sikapnya gembira, juga berwatak nakal suka menggoda akan tetapi berbeda dengan watak dan sikapnya, gerakannya dalam menghadapi lawan bertempur amatlah tenangnya.
Tubuhnya membuat gerakan ke samping, menggeser kaki mengganti kuda-kuda, kedua lengannya bergerak ke atas dan ke bawah menyambut kedua serangan lawan. Tusukan ke arah mata ia biarkan saja, akan tetapi jari-jari tangannya sudah menghadang di depan mata, mengancam pergelangan tangan lawan yang hendak menusuk,sedangkan cengkeraman lawan ke arah pusarnya itu ia tangkis dengan kipatan lengannya data atas ke bawah.
"Aihhh, kau boleh juga!"
Sariwuni terpaksa menarik kembali kedua serangannya, kalau dilanjutkan ia akan menderita rugi. Akan tetapi ia menarik kembali untuk mengirim serangan ke dua yang dahsyat sekali, kakinya menendang dari samping menuju lambung, disusul tubuhnya yang mendoyong ke depan mengirim pukulan dengan kepalan tangan kanan menuju ke ulu hati.
Joko Pramono ternyata bukanlah seorang pemuda sembarangan. Serangan yang dilakukan Sariwuni dengan amat cepatnya ini tentu akan merobohkan seorang jagoan, atau setidaknya akan membuat lawan terdesak dan bingung.
(Lanjut ke Jilid 18)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 18
Akan tetapi, pemuda itu dengan tenang saja menanti datangnya sambaran kaki, kemudian secara tiba-tiba menggerakkan tangan kiri dari bawah ke atas dan tangan kanannya dari atas ke bawah menangkis pukulan.
Sariwuni terkejut karena kakinya kini tertangkap pergelangannya. Ia memekik dan kaki kirinya menyusul dengan tendangan berantai, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terlontar ke belakang tanpa dapat ia cegah lagi, karena Joko Pramono telah menyentak kaki kanannya itu ke atas lalu mendorong.
Hanya dengan gerak loncat jungkir-balik di udara sampai tiga kali saja yang mencegah tubuh Sariwuni terbanting. Hampir saja ia menderita malu dan kini wajahnya yang tadi berseri menjadi merah, matanya berkilat-kilat, tanda bahwa kekaguman dan cinta kasihnya tertutup oleh hawa amarah yang mendidih.
"Bocah keparat! Kau tidak mengenal cinta kasih orang,kau tidak ingin senang dan sudah bosan hidup? Baik, kau mampuslah!"
Setelah berkata demikian, Sariwuni menerjang maju lagi dengan kecepatan kilat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat bukan main ilmu kepandaian wanita ini. Sebelum menjadi anak buah Wasi Bagaspati, Sariwuni sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apalagi setelah ia menjadi murid Wasi Bagaspati, murid tersayang dan juga kadang-kadang menjadi kekasih sang wasi, ia menerima pelbagai aji kesaktian yang dahsyat, di antaranya adalah Aji Wisakenaka yang tidak mudah dipelajari sembarang orang.
Terhadap pemuda itu, ia maslh menaruh rasa sayang dan hanya ingin merobohkan tanpa membunuhnya karena ia masih menaruh harapan untuk menaklukkan dan menguasai pemuda yang menimbulkan selera nya dan membuatnya mengilar itu.
Maka biarpun ia kini menerjang dengan dahsyat, ia masih belum mengeluarkan ajinya yang hebat itu, juga masih belum menyentuh gagang pedangnya yang terselip di pinggang.
Akan tetapi sekali ini ia benar-benar kecelik.Serangannya yang dahsyat itu disambut dengan sikap tenang saja oleh Joko Pramono, bahkan kini pemuda itu yang tahu akan kesaktian lawan, membalas dengan pukulan-pukulan yang juga cepat dan antepnya tidak kalah oleh lawan! Terjadilah pertempuran yang amat seru di antara mereka sehingga debu mengebul di pagi hari itu dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan yang berkelebatan cepat sekali.
Pusporini sekarang telah menemukan kembali kepribadiannya, menemukan kembali ketangkasan dan ketabahannya, setelah mengalami guncangan batin yang hebat di puncak Gunung Mentasari.
Menghadapi pengeroyokan dua orang Gagak, makin lama makin timbul kembali kegembiraannya bertanding, bangkit kembali semangatnya. Mula-mula, kedua orang Gagak itu seakan berlomba untuk menangkapnya, untuk memeluk mendekapnya dan memondongnya kembali ke puncak agar mereka selain dapat mendekap tubuh yang muda menggairahkan itu, juga akan mendapat pujian dari Sang Wasi Bagaspati.
Akan tetapi ternyata gadis itu lebih licin daripada belut, lebih tangkas daripada monyet dan tubuh yang langsing itu dapat berkelebatan laksana seekor burung srikatan! Berkali-kali mereka menubruk, namun selalu menangkap angin dan ketika Pusporini sudah bangkit benar-benar semangatnya, dara remaja ini bahkan mengelak sambil menampar!
"Plak! Plenggg............."
Tubuh dua orang raksasa itu terpelanting. Gagak Dwipa jatuh terduduk, megap-megap seperti ikan terlempar di darat karena dadanya terkena dorongan telapak tangan yang halus, yang kecil, akan tetapi mengandung tenaga mujijat itu. Serasa terhenti jalan napasnya dan ia terengah-engah sambil meman dang dengan mata melotot, penuh keheranan, kekagetan, dan juga kemarahan.
Adapun Gagak Kroda yang kena ditempiling pelipisnya, terpelanting dan bergulingan di atas tanah, lalu bangkit duduk dengan mata juling. Bumi dan pohon-pohon di sekelilingnya serasa berputaran, tanah yang didudukinya bergelombang. Setelah ia menggoyang-goyang kepalanya dengan keras, barulah agak reda kepeningan kepalanya.
Pusporini berdiri tegak menanti, bibirnya yang manis tersenyum mengejek. Dia kurang pengalaman sehingga ia tidak tahu bahwa dua orang yang terkena pukulan Aji Pethit Nogo hanya terpelanting dan tidak tewas atau terluka itu sesungguhnya merupakan hal yang aneh, menjadi bukti bahwa kedua orang lawannya itu memiliki kekebalan yang luar biasa. Maka ia cukup girang melihat betapa tamparan tangan nya membuat kedua lawan itu roboh.
"Demi iblis.............! Tangan kecil halus itu............. , kuat benar pukulannya!"
Gagak Dwipa berseru sambil melompat bangun.
"Huh-huh, kita telah bersikap ceroboh tadi, Kakang Dwipa. Kita lupa bahwa gadis ini adalah adik Tejolaksono, tentu saja bukan sembarangan bocah."
Diapun sudah melompat bangun dengan gerakan yang sigap. Gagak Dwipa melangkah maju menghampiri Pusporini, sikapnya penuh ancaman, wajahnya bengis ketika ia berkata,
"Hamm, bocah, jangan kau tertawa-tawa dulu dan mengira akan dapat mengalahkan kami! Kau bocah kemarin sore masih bau pupuk dringo, lebih baik kau menyerah baik-baik agar kami bawa kembali ke puncak menghadap sang wasi karena kalau kau tetap berkeras menolak dan terpaksa kami mempergu nakan paksaan, tidak urung kau akan mengalami sakit-sakit dan kalau hal ini terjadi, sungguh sayang kalau kulitmu yang halus sampai lecet-lecet, dagingmu yang muda ranum akan terluka."
Pusporini yang sudah "mendapat hati"
Melihat betapa tadi ia dapat merobohkan kedua orang lawannya, kini tersenyum mengejek.
"Dua ekor lutung korengen yang menjemukan! Kalian masih banyak cakap lagi! Sungguh tak tahu diri. Lebih baik kalian cepat-cepat minggat dari depanku sebelum kupatahkan batang leher kalian! Aku Pusporini sama sekali tidak gentar menghadapi gertak sambelmu!"
Gagak Dwipa melebarkan matanya dan menoleh kepada saudaranya.
"Wah..wah, bocah ini memang tidak boleh diberi hati. Hayo, kita beri hajaran biar dia kapok, adi Kroda!"
Dua orang Gagak itu kini menyerbu maju, masih seperti tadi hendak mencengkeram dan menangkap, akan tetapi kalau tadi melakukan hal ini secara sembrono, kini mereka berhati-hati.
Pusporini seorang dara remaja yang cerdik sekali. Biarpun belum banyak pengalamannya dalam pertandingan, namun ia dapat menduga bahwa dua orang ini tentu bertenaga besar sekali dan kalau ia harus mengadu tenaga, la akan menderlta rugi. Oleh karena Itu, la segera mengerahkan ilmunya meringankan tubuh dan biarpun Aji Bayu Sakti yang ia pelajari belum sempurna benar, namun sudahlah cukup untuk membuat tubuhnya berkelebatan cepat sekali sehingga dengan mudah ia dapat mengelak dari tubrukan-tubrukan kedua orang itu.
Gagak Dwipa melengak heran ketika ia menubruk tempat kosong dan tahu-tahu lawannya sudah hilang. Akan tetapi Gagak Kroda cepat menyusul gerakan saudaranya dan menyambar pinggang Pusporini dari belakang.
Kembali gadis itu menyelinap dan hanya hawa pukulan Gagak Kroda saja yang mampu menyentuh pinggangnya. Sambil mengelak,Pusporini sudah menotolkan ujung kakinya ke tanah,sehingga tubuhnya melayang naik, dan cepat ia turun di belakang Gagak Dwipa, tangan kirinya menampar ke arah punggung.
Gagak Dwipa juga bukan seorang lemah. Dia adalah orang pertama dari Lima Gagak Serayu, ilmu kepandaiannya tinggi dan tentu saja ia maklum akan datangnya tamparan dari belakang ini. Kalau tadi dia dan adiknya sampai menjadi korban tamparan tangan Pusporini adalah karena mereka berdua memandang rendah dan mengira bahwa tamparan tangan dara yang halus itu akan menimpa tubuh mereka yang kebal seperti pijatan mesra.
Kini ia cepat miringkan tubuhnya, menekuk siku tangannya dan menangkis tamparan itu. Pusporini tidak menarik kembali tangannya melainkan mengerahkan tenaga dan sengaja mengadu lengannya untuk mengukur tenaga lawan.
"Dukk I"
Lengan yang kecil berkulit halus itu beradu dengan lengan yang besar kasar berbulu, dan akibatnya tubuh Pusporini terpental ke belakang! Akan tetapi hal ini hanya berarti bahwa dara itu kalah dalam hal tenaga kasar,sebaliknya, ia menang dalam tenaga dalam, buktinya raksasa itu kini meringis dan menggosok-gosok lengannya yang beradu dengan lengan dara itu, yang kini terasa panas seperti bertemu besi merah bernyala dan seperti ditusuk-tusuk jarum!.
"Rebahlah!"
Bentak Gagak Kroda yang marah sekali dan penasaran. Ia menubruk dari belakang, tangannya menghantam ke arah pundak dara itu. Pusporini hanya memutar tumit menggeser kaki.
Lengan yang panjang besar lewat di samping pundaknya, dara ini cepat menusuk dengan jari tangan ke lambung lawan.
"Ngekkk.............!"
Gagak Kroda sudah mengeraskan lambung bahkan disusul gerakan tangan menangkis, namun karena lambungnya sudah "dimasuki"
Jari tangan yang menotok dengan tenaga mujijat itu, seketika tubuhnya berputaran dan ia memegangi lambungnya sambil meringis-ringis.
Perutnya mendadak terasa mulas sekali, seperti diremas-remas dari dalam, seperti orang terlalu banyak makan lombok sehingga kalau saja ia tidak memiliki hawa sakti untuk menahannya, tentu pada saat itu juga ia sudah kecirit-cirit terberak-berak di dalam celana saking nyerinya!
Kemarahan dua orang Gagak itu membuat mereka menjadi gelap mata, tidak ingat lagi bahwa dara ini harus ditangkap hidup-hidup dan dibawa kembali kepada Wasi Bagaspati. Mata mereka menjadi merah, menyinarkan nafsu membunuh, tidak ingat apa-apa lagi.
Dengan teriakan seperti lolong srigala, Gagak Dwipa dan Gagak Kroda mencabut senjata mereka, yaitu sebuah golok yang melengkung dan tajam sekall sampai berkilau tertimpa matahari pagi.
"Perempuan setan,kuminum darahmu!"
Bentak Gagak Dwipa.
"Kuganyang dagingmu!"
Terlak pula Gagak Kroda.
Mereka berdua sudah menerjang maju, membacok dengan golok. Senjata mereka itu menyambar dengan cepat dan kuat sehingga mengeluarkan suara berdesing.
Pusporini maklum akan bahaya serangan mereka itu, maka iapun cepat mengerahkan Aji Bayu Sakti dan mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menyelamatkan diri,berkelebat ke sana ke mari menghindar kan sambaran dua batang golok.
Pertandingan ini kini berjalan cepat sekali karena dua buah golok yang diputar-putar itu berubah menjadi gulungan dua sinar yang menggulung-gulung tubuh dua orang Gagak itu dan menyambar-nyambar ke arah Pusporini.
Namun gadis inipun hebat, tubuhnya berkelebatan dan yang tampak hanya bayangannya saja yang menyelinap di antara sambaran sinar golok. Untung bagi Pusporini bahwa kedua orang lawannya mempergunakan senjata golok karena justeru dia adalah seorang ahli permainan senjata golok seperti yang diajarkan rakandanya, yaitu Ilmu Golok Lebah Putih.
Biarpun kini ia bertangan kosong, namun ia yang sudah mengenal sifat senjata golok dengan amat baiknya, kini tidaklah begitu terancam dan biarpun tampaknya terdesak, namun selalu dapat menghindar dan menanti kesempatan baik untuk merobohkan dua orang lawannya yang kuat.
Sementara itu, pertempuran antara Sariwuni yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi daripada Gagak Dwipa atau Gagak Kroda, melawan Joko Pramono pemuda remaja yang jenaka dan aneh itu, makin lama menjadi makin seru dan hebat sekali.
Tadinya Sariwuni yang tergila-gila kepada pemuda ganteng ini tidak mengirim serangan maut, karena ia merasa sayang kalau membunuhnya, hanya ingin menaklukkan dan menguasainya. Akan tetapi makin lama wanita ini menjadi makin penasaran karena semua terjangannya dapat dielakkan atau ditangkis pemuda itu dan setiap lengan mereka bertemu, Sariwuni merasa betapa lengannya tergetar.
Ketika dengan rasa penasaran Sariwuni untuk ke sekian kalinya meloncat tinggi dan dari atas tubuhnya menyambar turun, menubruk dan hendak memeluk pemuda itu agar dapat ia ringkus dan dibuat tidak berdaya, Joko Pramono tertawa mengejek, akan tetapi membiarkan diri terjengkang ke belakang dan terjatuh. Ia seolah-olah sudah tidak berdaya lagi dan Sariwuni girang bukan main.
Melihat pemuda itu terjengkang dan kedua lengannya terbuka seolah-olah menanti dia menubruk untuk dipeluk, Sariwuni tertawa dan berkata,
"Aduh, bocah bagus, akhirnya kau menyerah.............
"
la menubruk dengan kedua lengan terpentang.
"Aiilhhhh........................... dessss.............!!"'
Tubuh Sariwuni terlempar ke belakang sampai empat meter jauhnya dan ia terbanting ke atas tanah lalu bangkit berdiri sambil meringis kesakitan. Kiranya ketika ia menubruk tadi, Joko Pramono yang kelihatan tidak berdaya itu mengirim sebuah tendangan yang tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka sama sekali sehingga tepat mengenai perut lawan!
Wajah yang cantik dan tadinya tersenyum-senyum genit itu seketika berubah. Kini pandang matanya penuh kemarahan, sepasang mata yang indah bentuknya itu kini menjadi melotot merah, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya cemberut, wajahnya diliputi kemarahan.
Sariwuni menjadi marah bukan main. Perlahan-lahan tangannya bergerak-gerak, jari tangannya bergerak seperti kuku harimau dan terdengar suara berkerotokan ketika kedua tangannya itu perlahan-lahan berubah warnanya, mula-mula kemerahan, lalu merah tua kehitaman, akhirnya berubah menjadi hitam sama sekali, dari pergelangan tangan sampai ke ujung kuku jari tangannya!
Kini sinar maut membayang di wajahnya, memancar keluar dari matanya ketika ia melangkah maju menghampiri Joko Pramono, mulutnya menyeringai dan membuat wajahnya yang cantik menjadi mengerikan.
"Keparat, tak tahu disayang............. kau memang patut mampus!"
Mulutnya mengeluarkan ucapan ini lirih dan lambat, namun secara tiba-tiba ia sudah menerjang maju,kedua tangannya seperti cakar harimau, gerakannya cepat dan kuku serta tangan itu menjadi bayangan hitam yang mengeluarkan bau busuk memuakkan, amis dan keras seperti bau bangkai!.
Joko Pramono cepat menghindarkan diri dengan loncatan tinggi ke kiri. Pemuda ini tidak mau senyum-senyum lagi, tidak berani main-main lagi karena ia maklum betapa hebat dan jahatnya kedua tangan wanita itu.
Biarpun ia tidak tahu jelas aji sesat apakah yang digunakan wanita itu, namun ia dapat menduga bahwa tentu kuku-kuku tangan wanita itu mengandung racun yang ampuhnya menggila. Oleh karena dugaan ini, maka ia tidak berani sembarangan menangkis beradu lengan, malah berdekatan pun ia tidak berani melainkan mengelak dan mengandalkan kecepatan dan kelincahannya urituk menghindar ke sana ke
marl.
Tanpa disengaja atau diatur terlebih dahulu, keadaan pemuda ini sama benar dengan keadaan Pusporini. Juga dara remaja ini berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri daripada pengeroyokan dua buah golok lawan yang menyambar-nyambar laksana sepasang tangan maut.
Dan karena pertandingan yang tadinya menjadi dua rombongan ini sifatnya sama, yaitu dua orang muda itu berloncatan ke sana-sini dan lawan-lawannya melakukan pengejaran dan desakan, maka lambat-laun pertandingan itu saling berdekatan, bahkan kini bayangan Pusporini dan Joko Pramono kadang-kadang bertukar tempat dan bersilang!.
Tanpa disengaja oleh dua orang remaja itu, hal ini amat menguntungkan. Di dalam kemarahan para lawan, baik edua orang Gagak yang mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada Pusporini, maupun Sariwuni yang mencurahkan perhatian kepada Joko Pramono tanpa memperdulikan hal-hal lain, dua orang remaja ini mendapat kesempatan untuk balas memukul bukan kepada lawan sendiri, melainkan kepada lawan lain yang tidak menyerang mereka!.
Demikianlah, ketika Pusporini meloncat jauh ke belakang, mengelak daripada sambaran dua batang golok para pengeroyoknya, secara kebetulan sekali ia tiba di dekat Sariwuni yang mendesak Joko Pramono. Pemuda inipun meloncat jauh dan Sariwuni membalikkan tubuh untuk mengejar. Saat ini pundaknya menyentuh pundak Pusporini dan dara remaja itu dengan kemarahan meluap-luap karena belum juga dapat membalas dua orang lawannya, lalu memutar lengan mengirlm hantaman sambil mengerahkan Aji Bojro Dahono! Aji pukulan yang ampuhnya menggiriskan ini baru ia latih setengah bagian, belum matang, namun akibatnya hebat sekali.
Sariwuni yang sama sekali tidak pernah menyangka akan mendapat hantaman dari Pusporini karena seluruh perhatiannya ditujukan kepada Joko Pramono, menjerit lirih dan tubuhnya terputar-putar, kedua tangannya memegangi kepala yang tadi kena hantaman.
Seluruh kepalanya terasa panas seperti dibakar, membuat air matanya bercucuran tak dapat ia cegah lagi dan akhirnya Sariwuni jatuh terduduk di atas tanah sambil meramkan mata. Wanita ini maklum bahwa ia menderita luka pukulan sakti, maka ia cepat mengerahkan hawa sakti di tubuhnya untuk memulihkan keadaan dirinya.
Pusporini yang tanpa sengaja sudah merobohkan Sariwuni, kini menengok dan alangkah mendongkol hatinya ketika ia melihat betapa pemuda kurang ajar itu kini menggantikan dia menandingi kedua orang Gagak.
Ia mendengus dan menerjang maju, saking marahnya maka terjangannya pun hebat bukan main. Gagak Dwipa dan Gagak Kroda kini sedang mengeroyok Joko Pramono,melihat robohnya Sariwuni hati mereka menjadi girls, juga marah terhadap Pusporini.
Tadi mereka terpaksa melayani pemuda ini karena si pemuda menerjang mereka kalang-kabut seperti orang gila, akan tetapi sekarang melihat Pusporini, mereka cepat memalingkan perhatian mereka dan segera mendesak dara itu dengan kelebatan golok mereka yang makin cepat dan makin kuat saja.
Pusporini terpaksa kembali mengandalkan kelincahan tubuhnya,berkelebat mengelak.
"Eh, Bajul, tidurlah!"
Tiba-tiba Joko Pramono berteriak.
"Takkk!! Aduhhh.............
"
Gagak Kroda tiba-tiba membuang goloknya dan berjingkrak-jingkrak memegangi kaki kanannya dengan kedua tangan, berloncatan di atas kaki kirinya, berputar-putar dan mengaduh-aduh, meringis dan menangis karena rasa nyeri yang datang dari kakinya itu menembus ke tulang sumsum. Orang yang pernah mengalami betapa nyerinya gares kaki (tulang kering) digajul, tentu akan memaklumi penderitaan Gagak Kroda ini.
Kiranya Joko Pramono yang tadi turun tangan membantu Pusporini, dari belakang ia menyapu kaki dan menggajul gares raksasa itu.
Pusporini makin marah, bukan terhadap lawan melainkan terhadap pemuda kurang ajar itu yang telah berlancang tangan merobohkan musuhnya. Ia mengerahkan tenaga, menyalurkan Aji Pethit Nogo menampar lengan Gagak Dwipa yang datang menyerang dengan golok.
Sambil melejit ke samping, ia menyambut serangan itu dengan tamparan yang menangkis, kemudian terus disusul dengan tusukan jari tangan ke dada lawan dengan Aji Pethit Nogo.
"Trangg............. huuukkk!"
Gagak Dwipa yang tadinya terkejut menyaksikan , adiknya berjingkrakan, menjadi terpecah perhatiannya. Ketika lengannya berciuman dengan jari-jari tangan yang penuh berisi hawa sakti Aji Pethit Nogo, lengan itu sendiri menjadi lumpuh sehingga goloknya terlepas, kemudian totokan jari tangan pada dadanya membuat napasnya seketika terhenti.
Gagak Dwipa menekuk tubuhnya ke depan, terbatuk-batuk dan terengah-engah. Kemudian iapun lari tunggang-langgang karena melihat betapa Sariwuni dan Gagak Kroda juga sudah lari mendaki bukit.
Gagak Kroda masih mengaduh-aduh dan terpincang-pincang, Sariwuni lari sambil memegangi kepala seolah-olah wanita itu khawatir kalau-kalau kepalanya copot, sedangkan Gagak Dwipa lari dengan membungkuk-bungkuk dan terengah-engah.
Joko Pramono berdiri menolak pinggang dan tertawa bergelak memandang ke arah tiga orang yang sedang berlomba melarikan diri itu. Akan tetapi tiba-tiba ia melempar tubuhnya ke kiri, menjatuhkan diri dan bergulingan, mengelak dari serangan Pusporini yang , memukulnya bertubi-tubi dan gencar.
"Eh-eh............. wah............. Apa-apaan ini?"
Joko Pramono sudah melompat berdiri dan kini berdiri menghadapi Pusporini yang memandangnya dengan sepasang mata marah.
"Tidak ada hujan tidak ada angin, kau menyerang seperti kilat menyambar-nyambar! Apa............. kau............. begini.............?"
Joko Pramono meraba dahi dengan telunjuk dimiringkan. Terbelalak mata Pusporini saking marahnya. Cuping hidungnya kembang-kempis, mendengus-dengus, dadanya turun naik bergelombang.
"Apa? Kau anggap aku gila? Kau yang miring otakmu, tidak jejeg! Engkau yang gila,gendeng, edan, goblok,,tolol!"
"Heeitit, heeittt, cukup! Kalau kau tidak miring, kenapa engkau marah-marah dan menyerangku seperti seekor kucing terpijak ekornya?"
Mata yang jernih bersinar-sinar itu makin lebar.
"Apa? Kau maki aku kucing? Berani benar kau, keparat jahanam! Engkau monyet munyuk, lutung kethek! Engkau celenggotheng,bajul barat, engkau tikus kadal coro.............
"
"Walah-walah............. , cukup! Katakan saja aku ini segala macam binatang di hutan, kan lebih lengkap dan tidak perlu menghambur-hamburkan kata-kata? Eh, engkau bocah perempuan yang galak seperti kucing beranak,kenapa engkau marah-marah dan membenci aku begini rupa? Kita saling kenalpun tidak, kenapa engkau memusuhiku?"
Pusporini menudingkan telunjuknya ke arah hidung Joko Pramono dan kemball pemuda ini merasa tidak enak kalau tidak meraba-raba hidungnya yang ditunjuk.
"Engkau pemuda keparat. Engkau bocah yang masih hijau berani bertingkah di depanku! Engkau telah melakukan dosa dua kali dan masih pura-pura bertanya lagi! Hemm, aku tidak akan sudah kalau belum memenggal batang lehermu!"
Joko Pramono kini meraba lehernya dan bergidik. Galak benar wanita ini, akan tetapi juga amat lucu.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, memang aku masih hijau, akan tetapi setidaknya hijau tua seperti daun, sedangkan kau masih hijau pupus! Kau bilang aku mempunyai dua macam dosa? Wahai, ampunilah kiranya hambamu, Sang Hyang Dewi dari kahyangan! Kalau hamba berdosa sampai dua kali, dosa apakah gerangan?"
Pemuda itu sengaja mengejek karena ia merasa penasaran sekali.
"Dasar laki-laki bajul yang lidahnya bercabang!"
Mendengar ini, otomatis Joko Pramono menjulurkan lidahnya keluar dari mulut dan matanya sampai menjadi juling, kedua manik mata mendekati hidung ketika ia berusaha sedapat mungkin melihat ujung lidahnya, untuk melihat apakah lidahnya benar-benar bercabang seperti lidah ular.
Gerakan ini tidak dibuat-buat dan amatlah lucunya sehingga hampir saja Pusporini tertawa. Gadis inipun berwatak lincah periang, akan tetapi karena ia ingat bahwa pada saat itu ia sedang marah, maka tentu saja ia tidak sudi tertawa, bahkan segera menyambung katakatanya,
"Manusia tak tahu diri! Pertama, engkau tadi secara kurang ajar dan tidak sopan telah melanggar susila, berani mampus engkau memangku aku setelah menjegal kakiku ketika aku lari. Dosa ini saja sudah cukup menjadi sebab mengapa aku memusuhimu, kemudian kau susul dengan dosa ke dua, yaitu kau berani sekali membantu aku merobohkan seorang di antara pengeroyokku! Ini namanya penghinaan dan kau memandang rendah kepadaku. Apa kaukira aku butuh akan bantuanmu? Apa kaukira engkau ini yang paling gagah, yang paling pandai; yang paling perkasa di dalam dunia maka kauanggap perlu sekali membantuku?"
Joko Pramono menjadi penasaran sekali. Ia membusungkan dadanya yang bidang, dagunya berkerut sehingga lekuk di tengahnya tampak nyata, giginya berkerot dan matanya yang tajam itu bersinar-sinar.
"Eh-eh-eh, nanti dulu. Enak saja engkau menjatuhkan fitnah. Memfitnah lebih keji daripada membunuh, kau tahu? Pertama-tama kau fitnah aku menjegal kakimu dan memangkumu. Padahal sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, aku sedang tidur dan kakiku kulonjorkan, siapa menjegal orang? Apakah engkau sendiri yang tidak dapat menggunakan mata dengan baik, tidak melihat kakiku, kau tendang dan sandung saja sampai kau terjatuh ke atas kedua pahaku. Bukan aku menjegal dan memangku, malah engkau sendiri yang menyandung dan menjatuhi pangkuanku! Sekarang hal ke dua yang kaukatakan dosaku itu. Kau bilang aku membantumu? Sama sekali tidak! Malah engkau sendirilah yang mula-mula membantuku dan memukul iblis betina tadi sampai ia roboh. Karena dua orang laki-laki raksasa tadi adalah kawan-kawan si iblis betina, tentu saja aku lalu menyerang mereka dan berhasil merobohkan seorang di antara mereka. Aku sama sekali tidak membantumu, justeru engkaulah yang pertama kali membantuku dengan merobohkan iblis betina itu!"
"Wah, memang kau pintar bicara seperti Patih Sangkuni,atau Pendeta Durna! Kalau aku tersandung kakimu dan terjatuh, itu tidak kusengaja, keparat! Dan kalau aku menyerang si perempuan rendah Sariwuni atau membunuhnya sekalipun, sama sekali bukan membantumu. Kau ini apaku maka aku membantu-bantu? Huh! Bukan membantumu, memang dia musuh besar keluarga kami, musuh besar rakanda Adipati Tejolaksono!"
Dalam ucapan ini, selain menyangkal dan membantah, juga dara remaja ini setengah sengaja menyebut nama rakandanya yang ia tahu amat terkenal untuk menaikkan "gengsinya"
Di mata pemuda itu.
Hati dara ini girang bukan main karena ternyata dugaannya tepat. Pemuda itu kelihatan terkejut sekali dan wajahnya berubah, tidak tersenum-senyum seperti tadi, bahkan lalu berkata,
"Apa? Engkau keluarga Sang Adipati Tejolaksono di Selopenangkep?"
Pusporini mengangkat dadanya yang membusung, matanya bercahaya, wajahnya berseri penuh kebanggaan ketika ia berkata,
"Aku Raden Ajeng Pusporini, adik misan gustimu Adipati Tejolaksono!"
Ia percaya bahwa pemuda ini sekarang tentu akan lenyap watak dan sikapnya yang sombong, tentu akan cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepadanya, menggigil ketakutan karena telah berani bersikap kurang ajar terhadap sang puteri bangsawan sehingga ia akan dapat dengan sepuas hati menegur dan menghukumnya.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu tertawa mengejek, lalu berkata,
"Ah, pantas saja engkau begini galak dan sombong! Kiranya engkau adalah anggota keluarga kadipaten yang terkenal sombong itu! Hemm.............!"
Pusporini kaget dan marah sekali. Sungguh di luar perkiraannya bahwa pemuda ini sama sekali tidak menaruh hormat bahkan mengejek dan menyatakan bahwa keluarga Kadipaten Selopenangkep sombong. Ia membanting kaki dan menudingkarf telunjuknya, mukanya merah dibakar kemarahan.
"Heh, si keparat bocah gunung nangnung yang kurang ajar! Berani kau menghina Kadipaten
Selopenangkep? Sebelum aku turun tangan membunuhmu, mengakulah siapa gerangan engkau ini agar kelak aku dapat menerangkan kepada rakanda adipati. Kalau sudah terlanjur aku turun tangan, tentu mayatmu tidak akan dapat memberi keterangan lagi!"
Pemuda itu tertawa lagi, tertawa mengejek. Wajahnya yang tampan itu membuat Pusporini makin marah karena ketampanan dan senyum itu mengejeknya!
"Sombongnya bukan main! Eh, perawan bangsawan, kau dengarlah. Aku bernama Joko Pramono. Rumahku adalah jagat ini, asalku dari atas angin. Hidupku di alam bebas, beratap langit berlantai tanah bertilam rumput, berdinding batu dan pohon, siang hari berdian surya, malam hari berdian bulan dan bintang............."
"Stop............. Aku hanya ingin mengetahui namamu.Tidak perduli kau datang dari dasar neraka, hari ini adalah saat ajalmu..............!"
"Wah, sumbarmu seperti kicau burung nuri! Boleh coba-coba kalau kau mampu membunuhku, kalau tidak mampu, aku akan menawanmu, bocah sombong.............!"
"Setan mampuslah!"
Pusporini berseru keras dan tubuhnya sudah menerjang maju, mengirim pukulan dengan Aji Pethit Nogo mengarah pelipis kiri lawan.
Joko Pramono bukanlah seorang pemuda yang sembrono. Biarpun wataknya periang dan jenaka, bahkan agak ugal-ugalan, akan tetapi ia cukup mengerti bahwa dara remaja yang galaknya kepati-pati (amat luar biasa) ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan dan bahwa pukulan yang dilancarkan ini adalah aji yang amat ampuh.
Maka ia tidak berani menerimanya, apalagi pelipis merupakan bagian kepala yang ringkih (lemah). Tanpa merubah kedudukan tubuh karena ingin menguji keampuhan tangan lawan, Joko Pramono mengangkat tangan kiri ke atas, sengaja menerima dan menangkis telapak tangan dara itu dengan telapak tangannya yang dikipatkan.
"Plakkk............. I I"
Dua tangan bertemu dan akibatnya Joko Pramono terpelanting ke belakang dan hampir saja ia roboh kalau ia tidak cepat melompat ke atas dan berjungkir-balik.
Matanya terbelalak memandang dara itu, penuh kekaguman dan kekagetan. la sudah menyangka bahwa Pusporini seorang dara sakti, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa pukulannya ampuhnya bukan buatan!
"Ihh, takutkah engkau? Laki-laki macam apa, baru sekali gebrakan saja mukanya sudah berubah hijau!"
Pusporini mengejek dan menerjang maju lagi.
"Aehh, sombongnya. Siapa takut pada-mu!"
Joko Pramono panas juga perutnya oleh ejekan ini, ketika Pusporini menghantamnya lagi dengan Aji Pethit Nogo, ia cepat miringkan tubuh mengelak dan secara tiba-tiba tubuhnya merendah, hampir berjongkok dan dari bawah ia mendorong dengan kedua tangannya ke arah tubuh lawan.
Pusporini terkejut ketika merasa betapa dari kedua tangan pemuda itu menyambar keluar hawa pukulan yang amat kuat dan panas. Cepat ia mengerahkan tenaga dan menangkis dengan tangan kanannya.
"Wesss.............!"
Sebelum tangannya yang menangkis itu bertemu dengan kedua tangan lawan, tubuhnya sudah terdorong ke belakang tanpa dapat dicegahnya lagi, kakinya terhuyung-huyung ke belakang dan hampir ia roboh.
Untungnya tangan kirinya dapat menyambar ranting sebatang pohon sehingga ia dapat meloncat dan mengatur keseimbangan tubuhnya. Kini ia memandang dengan penuh kemarahan. Kedua pipinya merah dan matanya menyinarkan cahaya berapi.
"Heh-heh-heh, kau kenapa? Jerih sekarang, ya? Belum lecet belum benjol sudah jerih. Wanita gagah macam apa ini?"
Joko Pramono balas mengejek.
"Ooohhh, kau............. kau............. rasakan pembalasanku, bocah dusun!"
Dengan kemarahan yang meluap-luap kini Pusporini menerjang maju, mengerahkan kegesitan dengan Aji Bayu Sakti sambil menggerakgerakkan kedua lengan mengirim pukulan-pukulan ampuh.
Saking jengkel dan marahnya menghadapi pemuda yang pandal mengejek dan tidak kalah sombongnya ini, ia menyerang seperti seekor banteng terluka, menyeruduk saja tanpa perhitungan lagi, penuh nafsu dan keinginannya hanya satu, yakni merobohkan pemuda sombong kurang ajar ini!
Justeru kemarahan meluap-luap inilah kesalahan Pusporini. Dara remaja ini sesungguhnya telah memiliki ilmu kesaktian yang hebat dan jarang ada tandingnya, dan sungguhpun pemuda itupun ternyata sakti mandraguna, namun tingkat kepandaiannya tidaklah jauh lebih unggul daripada Pusporini.
Tingkat mereka seimbang dan biarpun Pusporini agaknya kalah sedikit dalam hal tenaga, namun dara ini menang sedikit dalam kecepatan sehingga kalau mereka bertanding dalam keadaan sama tenangnya, tentu tidak akan ada yang dapat dikalahkan dalam waktu singkat.
Akan tetapi, Pusporini seperti terbakar saking gemas dan marahnya, sebaliknya pemuda itu tenang-tenang saja bahkan kadang-kadang tertawa mengejek dan tersenyumsenyum.
Di sinilah letak kekalahan Pusporini yang makin lama menjadi makin marah karena terdorong oleh hati yang penasaran. Sampai sejam lebih ia menerjang dan mengeluarkan pelbagai aji pukulan yang ampuh-ampuh, namun selalu dapat dihindarkan pemuda itu dengan mengelak atau menangkis. Belum pernah satu kali juga ia berhasil mengenai tubuh pemuda itu maka ia menjadi makin ganas dan nekat.
"Sudahlah, sampai habis seluruh kepandaianmu, sampai putus napasmu, tidak mungkin kau dapat mengalahkan aku, heh-heh!"
Joko Pramono mengejek.
"Ssssetan I"
Pusporini mendesis marah dan menghantam dengan aji pukulan Bojro Dahono yang ampuhnya menggi riskan itu. Biarpun belum sepenuhnya ia menguasai aji pukulan ini, namun kalau mengenai kepala lawan, kepala itu akan hancur berikut isi kepalanya, kalau mengenai dada tentu akan ambrol dengan tulang iga patah-patah.
"Heeeiiiittt!"
Dengan gerakan indah dan lagak mengejek memanaskan hati Joko Pramono merendahkan tubuhnya sehingga dua pukulan tangan dara itu lewat di atas kepalanya. Dari bawah, dengan cepat sekali kini Joko Pramono mengirim pukulan dorongan seperti tadi, pukulan dorongan yang berhawa panas dan kuat sekali, ke arah lambung Pusporini.
Dara itu cepat mencelat ke atas sambil menangkis, akan tetapi tiba-tiba ia menjerit dan tubuhnya terguling. Kiranya pemuda itu tadi memukul hanya sebagai gertakan atau pancingan saja karena begitu dara itu mengelak, kakinya menjegal dan tepat mengenai kedua kaki Pusporini, mengait betis sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Pusporini terguling.
Sebelum dara itu sempat memperbaiki posisinya, Joko Pramono sudah menubruk, menangkap kedua lengan Pusporini, memutar dan menelikungnya ke belakang.
"Kau curang.............! Lepaskan aku....! Lepaskan.............!"
Pusporini meronta-ronta dan berteriak-teriak marah. Ia marah sekali sampai hidungnya mendengus-dengus dan mulutnya terengah-engah.
"Enak saja dilepaskan. Susah-susah aku merobohkanmu...."".."
"Kau curang""".! Kau menjegal! Mana ada aturannya bertanding pakai jegal-jegalan?"
Pusporini memprotes. Akan tetapi pemuda itu tidak memperdulikannya, bahkan kini dara itu merasa betapa kedua pergelangan tangannya dibelenggu dengan ikat kepala pemuda itu!.
"Keparat! Bedebah! Setan kurang ajar kau! Lepaskan aku kalau tidak.............!!"
"Kalau tidak............. mau apa.............? Enak saja Joko Pramono bertanya, suaranya penuh ejekan.
"Kubunuh kau............. Kucekik kau............. Ku.............!"
"Cobalah kalau mampu!"
Pusporini marah sampai hampir menangis. Ia membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya tak dapat digerakkan, akan tetapi kakinya masih bebas dan tiba-tiba ia mengirim tendangan berantai dengan kedua kakinya. Kedua kaki itu bagaikan kitiran angin saja bergerak menendang bergantian mengarah lutut, pusar sampai ke dada.
"Heh-heh, kau benar-benar seperti seekor kuda betina! Hanya kuda yang menendang-nendang kalau marah!"
Makin jengkel Pusporini dan tendangannya yang terakhir terlalu keras sampai tubuhnya terbawa dan karena kedua tangannya dibelenggu ke belakang, maka ia kehilangan keseimbangan dan.............
"bukkk!"
Pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai terasa pegal dan linu.
Sebelum ia sempat bangun, Joko Pramono sudah menyambar tubuhnya dan memondongnya. Lengan kiri pemuda itu merangkul kedua kaki, perut Pusporini menumpang di pundak dan dara itu meronta-ronta makin keras.
"Setan kurang ajar kau! Berani kausentuh aku! Berani kau memanggulku! Hayo lepaskan.............. lepaskan............. I"
Dengan kedua tangan yang terbelenggu, Pusporini memukul-mukul pundak dan punggung Joko Pramono, akan tetapi pemuda itu hanya terkekeh dan lari cepat membawa pergi tubuh dara itu menuju ke utara.
PUNGGUNG dan pundak itu kuat sekali, dan tak mungkin Pusporini dapat menggunakan ajinya dalam keadaan terbelenggu seperti itu. Karena tahu bahwa sia-sia saja ia meronta-ronta, akhirnya dara itu diam dan hatinya mulai diliputi kekhawatiran dan ketakutan.
Ke mana ia hendak dibawa? Siapakah sesungguhnya, pemuda ini dan mengapa agaknya tidak suka kepada keluarga kadipaten?
"Kau............. mau bawa aku ke mana.............?"
Akhirnya Pusporini tak kuat menahan kegelisahan hatinya,bertanya tanpa meronta lagi di atas pundak pemuda itu.
"Hemm............. , ke mana lagi kalau tidak ke dasar neraka? Kau tadi sendiri bilang aku dari dasar neraka.Wanita galak macam engkau ini patutnya dijadikan umpan setan neraka!"
Jawaban ini tidak menimbulkan takut, malah menambah kemarahan hati Pusporini. Ia meronta-ronta lagi kemudian kakinya menendang-nendang, namun hal ini malah membuat lengan pemuda itu memeluk kedua kakinya lebih erat sehingga perutnya tertekan pada pundak dan mebuatnya sukar bernapas.
Terpaksa ia diam lagi tidak meronta dan Joko Pramono melanjutkan larinya yang cepat sekali.
"Awas kau kalau terjatuh ke tanganku kelak.............
"
Mengancam, suaranya penuh kegemasan dan sakit hati.
"Sekarang juga akupun sudah awas!"
Jawab pemuda itu menggoda terus.
Karena tubuhnya "disampirkan"
Di pundak pemuda itu sehingga kepalanya tergantung ke bawah, lama-kelamaan Pusporini menjadi lelah dan pening. Sedikit demi sedikit ia melorot turun dan agaknya pemuda itupun maklum akan keadaannya maka membiarkan saja, bahkan melonggarkan pelukan lengannya sehingga kini bukan kaki yang dirangkulnya, melainkan paha dan pinggul sehingga kepala Pusporini sekarang mendekati pundak dan leher.
Karena keadaannya tidak begitu melelahkan lagi, agak lega hati Pusporini. Ia memandang leher yang dekat sekali itu, melihat betapa otot-otot yang kuat tampak merentang di bawah kulit yang bersih halus, betapa anak rambut yang hitam gemuk tumbuh melingkar di, tengkuk yang kuat itu.
Heran sekali dia mengapa pemandangan yang selama hidupnya tak pernah ia perhatikan ini, tengkuk seorang laki-laki, sekarang tampak begini indah! Tapi hal ini sama sekali tidak mengurangi kemarahan dan kebenciannya kepada laki-laki yang menggemaskan hatinya ini.
"Engkau kenapa membenci keluarga rakanda adipati?"
Ia bertanya, perlahan karena toh mulutnya sudah dekat telinga. Biarpun lirih suaranya, namun Joko Pramono masih dapat menangkap nada penuh kemarahan dalam suara itu.
"Huh, keluarga sombong! Busuk hati! Karena keluarga Selopenangkep itulah pamanku Adibroto sampai mengorbankan nyawa secara sia-sia! Padahal mendiang Paman Adiproto, menurut mendiang ibuku, adalah seorang yang paling baik di dunia ini."
"Hemm, kaumaksudkan Ki Adibroto warok Ponorogo aliran putih?"
Pusporini yang sudah pernah mendengar cerita dari ibunya bertanya, diam-diam ia kaget dan menduga-duga.
"Betul dia. Ah, engkau mengenal pula namanya. Apa yang kau tahu tentang mendiang pamanku?"
"Aku hanya mendengar bahwa Ki Adibroto adalah ayah kandung ayunda Ayu Candra, isteri rakanda Adipati Tejolaksono! Jadi engkau ini masih adik misan ayunda Ayu Candra! Mengapa memusuhi Kadipaten Selopenangkep?"
Mendengar ini, pemuda itu berhenti dan dengan sikap kasar ia menurunkan tubuh Pusporini ke atas tanah. Gadis ini tergelimpang lalu bangkit duduk dengan sukar karena kedua tangan terbelenggu ke belakang.
Ia masih marah sekali dan diam-diam ia terheran-heran mengapa tadi ia dapat bercakap-cakap dengan penawannya seperti dua orang sahabat lama saja. Ia kini cemberut dan membuang muka, tidak mau memandang muka orang yang duduk di depannya menghapus peluh dari dada dan leher.
Mereka berhenti di dalam hutan, dan enak sekali berteduh di bawah pohon besar itu. Joko Pramono memandang wajah dara yang membuang muka itu, lalu sambil mengebut-ngebut lehernya dengan kain, ia bercerita tentang dirinya.
Di dalam cerita "Badai Laut Selatan"
Diceritakan betapa ibu Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono yang bernama Listyakumolo, setelah berpisah dengan suaminya, Raden Wisangjiwo, telah menikah lagi dengan seorang warok gagah perkasa bernama Ki Adibroto yang juga telah mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Ayu Candra.
Dengan demikian, Adipati Tejolaksono dengan isterinya itu adalah dua orang saudara tiri yang sama sekali tidak ada hubungan darah.
Adapun ibu kandung Ayu Candra yang lebih dulu telah meninggal dunia bernama Ni Rasmi. Ni Rasmi mempunyai seorang adik perempuan bernama Ni Wirani.
Semenjak Ni Rasmi meninggal dunia dan Ki Adibroto membawa Ayu Candra pergi merantau dalam kesedihan, putuslah hubungan antara Ni Wirani dengan kakak iparnya itu. Ni Wirani menikah dengan seorang petani dan mempunyai putera yang diberi nama Joko Pramono.
Akan tetapi malapetaka menimpa Ni Wirani dan suaminya ketika Joko Pramono baru berusia sepuluh tahun, yaitu ketika suami isteri dan anak mereka ini menyeberang sungai yang banjir, perahu mereka terguling dan mereka hanyut.
Suami isteri itu tewas, dan Joko Pramono yang baru berusia sepuluh tahun tertolong oleh seorang sakti, yaitu Resi Adiluhung pendeta perantauyang kemudian mengambilnya sebagai murid dan membawanya ke pertapaan di puncak Gunung Sindoro.
Seperti telah diceritakan dalam cerita Badai Laut Selatan, Ki Adibroto tewas bersama Listyakumolo di tangan Endang Patibroto karena permusuhan yang balas-membalas dengan Pujo, ayah Endang Patibroto, suami Kartikosari dan Roro Luhito, atau juga ayah Pusporini dan Setyaningsih.
"Di waktu masih kecil, ibuku telah menceritakan tentang paman. Adibroto,"
Demikian antara lain dengan muka keruh Joko Pramono bercerita di depan Pusporini yang mendengarkan dengan jantung berdebar karena ia sudah tahu semua akan peristiwa yang terjadi sebelum ia terlahir itu, mendengar dari penuturan ibunya.
"Paman Adibroto yang berbudi mulia dan bijaksana itu mati karena Ratan perjodohannya dengan puteri mantu Selopenangkep. Mati di tangan anak perempuan dari Pujo yang bernama Endang Patibroto, mati penasaran! Kalau pamanku itu tidak berhubungan dengan orang-orang Selopenangkep, tentu tidak akan terbunuh sia-sia."
Pusporini memandang wajah pemuda itu, matanya bersinar dan mukanya merah. Ia marah dan penasaran.
"Akan tetapi, hal itu adalah urusan orang-orang tua dahulu. Bahkan ayunda Ayu Candra kini menjadi isteri Adipatl Selopenangkep. Bukankah ayunda Ayu Canda itu puteri kandung Ki Adibroto dan sama sekali tidak menaruh dendam apa-apa? Kenapa engkau ini yang hanya keponakan Ki Adibroto, kini menaruh dendam dan marah-"marah seperti orang sinting?"
"Memang ayunda Ayu Candra sudah menjadi orang Selopenangkep. Hal ini membuktikan kelemahan hatinya. Kasihan sekali paman Adibroto, mempunyai seorang keturunan saja mengkhianatinya. Akan tetapi aku tidak! Akulah yang akan membalaskan sakit hatinya. Aku yang akan kelak mencari Endang Patibroto dan menghadapi semua keluarga Selopenangkep yang sombong, termasuk engkau!"
"Cih! Kepalamu besar sekali, sebesar kelenting (tempat air), sebentar lagi tentu pecah berantakan! Orang macam engkau ini mana mungkin melawan kakakku Endang Patibroto? Idih, sombongnya. Belajarlah kau seratus tahun lagi, masih juga belum dapat mengalahkan tangan kiri kakakku Endang Patibroto!"
Joko Pramono meloncat bangun, wajahnya merah matanya terbelalak marah.
"Dia kakakmu? Jadi engkau inl puteri Pujo pula? Anak Kartikosari atau anak Roro Luhlto?"
Kalau saja kedua tangannya tidak dibelenggu, tentu Pusporini sudah menerjang dan menyerang dengan nekad saking marahnya mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kedua orang ibunya begitu saja. Alangkah kurang ajarnya.
"Benar sekali! Pujo adalah mendiang ramandaku! Rara Luhito adalah ibu kandungku. Kau mau apa? Mau bunuh aku? Bunuhlah, kaukira aku takut mati? Huh, manusia macam engkau ini beraninya hanya
(Lanjut ke Jilid 19)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
membuka mulut besar terhadap lawan yang terbelenggu. Lepaskan aku, dan kepalamu tentu akan lumat!"
Sejenak kedua tangan pemuda itu tergetar, seakan-akan is hendak memukul hancur tubuh dara yang menjadi tawanannya. Akan tetapi pandang matanya bersinar aneh ketika bertemu pandang dengan Pusporini yang melotot dan sedikitpun tidak takut itu. Kemudian Joko Pramono tertawa lebar.
"Ha-ha-ha-ha, enak benar! Kau sudah tertawan, itu buktinya kau kalah olehku. Dan jangan kira begitu enak saja kau mati. Tidak! Aku akan menyeretmu ke dasar neraka! Ha-ha, engkau akan kujadikan tawanan dan pancingan agar orang-orang Selopenangkep datang. Akan kubalas sakit hati pamanku Adibroto. Kalau Endang Patibroto mau datang dan berhasil kubunuh, barulah kau akan kubebaskan. Aku tidak bermusuhan dengan engkau, sungguhpun engkaupun seorang anggauta keluarga Selopenangkep yang sombong, berkepala batu dan galak!"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Engkau yang sombong! Engkau yang besar kepala! Lepaskan aku!"
Akan tetapi pemuda itu hanya tertawa, lalu menyeret tubuh Pusporini ke dekat pohon, menggunakan ujung ikat kepala yang membelenggu kedua tangan dara itu, diikatkan pada batang pohon. Setelah itu, sambil tersenyum ia lalu meloncat pergi dari tempat itu.
Pusporini berusaha melepaskan diri, namun sia-sia. Ikatan itu kuat sekali dan tubuhnya mulai lemah. Lemah, karena lelah dan lapar dan marah. Ia ditinggalkan di dalam hutan, dalam keadaan terbelenggu. Kalau datang seekor harimau, tentu ia akan diterkam dan tak dapat melawan. Atau ular. Ular?? Ia bergidik dan hampir menjerit ngeri.
Teringat akan binatang ini, Pusporini yang biasanya tabah dan tidak takut mati itu menjadi ngeri ketakutan. Ingin ia menjerit minta tolong, siapa tahu terdengar orang di dekat tempat itu. Akan tetapi ia teringat akan pemuda tadi yang mungkin sekali bersembunyi dan mentertawakan ketakutannya, maka tiba-tiba saja kemarahan mengusir rasa takutnya. Ia diam saja, bahkan tidak merasa ngeri lagi.
Jangan harap aku akan minta tolong dan minta-minta kepadamu, kau monyet kurang ajar, pikimya gemas.
Tak lama kemudian tampak bayangan berkelebat dan Joko Pramono telah berada di depan Pusporini, tangan kiri membawa sesisir pisang ambon yang sudah matang dan tangan kanan membawa sebutir buah semangka yang besar.
Anehnya, pada saat itu, wajah pemuda ini sama sekali tidak mengejek, juga tidak. marah, malah senyumnya wajar dan ramah. Ketika bicara, sinar matanya berseri gembira.
"Tidak ada dusun dekat. Untung sekali aku bisa mendapatkan pisang dan semangka Lumayan untuk mengusir lapar. Kau makanlah!"
"Tidak sudi!"
Agaknya Joko Pramono baru teringat bahwa mereka bukanlah dua orang sahabat yang sedang pesiar! Dan wajahnya yang tampan itu kini berubah seperti tadi lagi, keruh, marah, dan mengejek.
"Heh-heh, kau tidak mau makan, tidak mau minum biar mati kelaparan, ya? Kok enak benar. Apa kaukira aku tidak bisa mendublak (menjejalkan makanan ke mulut) secara paksa? Mau tidak mau, perutmu harus dimasuki pisang ini, sedikitnya dua buah, dan air semangka ini!"
Joko Pramono mengambil sebuah pisang, mengupas kulitnya perlahan-lahan sehingga tampak daging pisang yang putih kuning, baunya harum sedap menimbulkan selera. Pusporini tadinya membuang muka, akan tetapi karena merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-"benar melaksanakan ancamannya dan menjejalkan makanan ke mulutnya dengan paksa, ia kini memandang dengan mata lebar, lalu berkata,
"Lepaskan dulu tanganku, dengan tangan terbelenggu, bagaimana aku bisa makan?"
"Melepaskan kau dan membiarkan kau memukul pecah kepalaku dengan jari-jari tanganmu yang ampuh itu? Enaknya! Nih, kau makanlah, jangan membikin aku jengkel dan memaksamu."
Pemuda itu mendapatkan ujung pisang kupasan ke mulut Pusporini. Dara ini marah sekali, merasa dihina, akan tetapi iapun takut kalau-kalau ia akan dijejal dengan paksa. Ia tahu bahwa pemuda kurang ajar ini agaknya sampai hati melakukan ancamannya, maka dengan muka merah dan mata berapi-api, ia membuka mulutnya, menerima pisang itu memasuki mulut lalu menggigit sepotong.
"Nah, begitu baru anak baik!"
Kata Joko Pramono, wajahnya berseri lagi memandang Pusporini yang mengunyah pisang dengan terpaksa dan marah, kemudian pemuda itu jugs menggigit sepotong pisang dari bekas gigitan Pusporini itu.
Dara ini makin merah kedua pipinya melihat betapa musuh yang dibencinya ini makan pisang bekas gigitannya. Kembali Joko Pramono menyodorkan sisa pisang itu ke depan mulutnya yang sudah kosong.
"Tidak sudi! Bekas gigitanmu!"
Bentak Pusporini.
Joko Pramono membelalakkan mata mengangkat alis, lalu berkata dengan nada kesal,
"Wah, dasar sombong! Tadipun aku tidak menolak bekas gigitanmu. Kalau bekas gigitanku kenapa sih? Gigiku tidak beracun seperti gigi ular."
"Lebih baik makan bekas gigitan ular daripada bekas gigitanmu. Pendeknya, kalau bekasmu itu, aku tidak sudi, biar kau mau jejal, terserah!"
Joko Pramono menarik napas panjang, seperti orang yang menyabarkan dirinya, lalu mengupas pisang lain dan menyuapkan pisang itu ke mulut Pusporini. Kini mereka makan pisang dan semangka tanpa bicara sampai kenyang.
Biarpun ia makan dengan hati marah dan secara terpaksa, akan tetapi setelah perutnya terisi dua buah pisang ambon yang besar-besar dan setengah butir semangka jingga yang manis dan banyak airnya, Pusporini merasa tubuhnya segar kembali dan pulih kekuatannya.
Melihat betapa sekitar mulut dan dagu dara itu basah oleh air semangka, Joko Pramono menggunakan ujung bajunya dan menghapus dengan gerakan cepat dan kasar.
Pusporini berusaha mengelak dengan menggeleng"gelengkan kepala ke kanan kin sambil berseru marah.
"Lepaskan! Tak sudi aku!! "
Akan tetapi Joko Pramono memaksanya sampai bersih air semangka dari sekeliling mulut dan dagu.
"Huh, kau jangan mengira aku melakukan ini karena memanjakanmu, ya? Aku hanya tidak ingin nanti pundakku kotor dan basah jika aku memondongmu. Hayo, kita berangkat!"
Ia melepaskan ikatan pada batang pohon lalu memondong tubuh Pusporini lagi di atas pundaknya seperti tadi, kemudian berlari cepat meninggalkan hutan itu, terus ke arah utara.
Pusporini yang kini menjadi marah bercampur dengan rasa gelisah, hanya dapat memandang ke arah belakang pundak Joko Pramono dengan mata terbelalak. Ia harus dapat membebas kan diri dan membalas semua penghinaan yang telah dialaminya ini, pikirnya. Tak mungkin ia begini tak berdaya dan diam saja dilarikan seorang yang begini kurang ajar.
Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Tangannya terbelenggu. Akan tetapi mulutnya tidak! Kalau tangannya terbelenggu dan kedua kakinya dipeluk kuat sehingga tak dapat meronta, ia dapat mempergunakan giginya! Begitu pikiran ini memasuki benaknya, Pusporini lalu menundukkan mukanya dan menggigit daging pundak pemuda itu sekuatnya.
"Aduhh-duh-duh-duh............. aduhhhh!"
Joko Pramono berteriak-teriak kesakitan, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar pinggul di depannya itu beberapa kali.
"Plak-plak-plak-plak..............!"
Pusporini terbelalak kaget, malu, dan kesakitan. Pinggulnya menjadi panas dan ngilu, akan tetapi ia sudah nekat dan tidak mau melepaskan gigitannya, bahkan memperkuatnya.
"Lepaskan.......................... aduhhh-duh-duh............. lepaskan............. kau kucing, monyet............!"
Joko Pramono tak dapat menahan rasa nyeri di pundaknya dan terpaksa ia lalu melemparkan tubuh tawanannya. Tubuh Pusporini terlempar, gigitannya terlepas dan kini kembali pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai ia mengeluarkan suara "hekkk!"
Dan sekarang tak dapat ditahannya lagi Pusporini menangis!
Menghadapi serangan dan maki-makian Pusporini, Joko Pramono sama sekali tidak gentar, akan tetapi sekarang menghadapi dara remaja yang menangis itu, yang mempergunakan "senjata terampuh"
Seorang wanita, pemuda itu melongo! Ia meraba-raba pundaknya yang menjadi matang biru bekas gigitan Pusporini, akan tetapi matanya menatap wajah yang kini basah air mata itu dengan perasaan kasihan.
"Kenapa kau menangis?"
Ia mengomel untuk menutupi perasaan iba hatinya.
"Aku tidak akan menggang gumu ,hanya menawanmu agar keluargamu mencari dan menyusulmu. Aku ingin membalas dendam pamanku kepada Endang Patibroto dan keluarga Selopenangkep yang sombong."
Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo