Perawan Lembah Wilis 29
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
Sementara itu, dengan wajah berseri penuh kemenangan yang sudah membayang di depan mata, sang permaisuri lalu mempersembahkan sampul surat itu -kepada suaminya sambil berkata,
"Saya bersumpah bahwa saya sendiri tidak pernah membaca surat ini yang semenjak saya rampas dari tangan emban pengkhianat itu tak pernah terlepas dari tangan saya. Dan untuk membuktikan bahwa saya dan juga emban saya tidak membohong, saya persilahkan Paduka membacanya sendiri surat yang menjijikkan dan kotor ini."
Jari-jari tangan sang prabu yang Sudah tua itu menggigil ketika ia -mengeluarkari surat dari sampulnya. Bukan mengglgil karena sudah buyuten, melainkan menggigil karena tegang, seolah-olah bukan nasib Suminten yang akan dihancurkan oleh surat Itu, melainkan nasibnya sendiri.
'"Aduh, Kakanda sinuwun sesembahan hamba "
Suminten sudah merenggutkan lengannya dan lari menjatuhkari diri berlutut menclumi kaki sang prabu sambil menangis.
"Hamba mohon dengan seluruh hati hamba, hendaknya jangan dibuka dan dibaca surat itu oleh Paduka.......... hamba.......... hamba.......... tidak ingin mencelakakan siapa-siapa, hamba lagi, hamba tidak ingin melihat Paduka menjadi berduka Percayalah, hamba selalu mencinta dan setia kepada Paduka.......... dan bahwa kesemuanya inI hanyalah fitnah semata........."
"Kau hendak mengatakan bahwa surat ini bukan dari Kukutan untukmu?"
Sang prabu yang merah mukanya menghardik.
"Tidak hamba sangkal, memang benar demikian akan tetapi..........
"
"Mundurlah engkau!"
Sang prabu menggerakkan kakinya dan tubuh Suminten terjengkang ke belakang, di mana wanita ini berlutut lagi sambil menangis sesenggukan. Emban cantik segera menubruknya dan ikut pula menangis. Sang permaisuri memandang dengan mulut mengejek, maklum bahwa tangis wanita muda itu adalah tangis palsu, air mata buaya. Ia merasa girang bahwa sang prabu mulai sadar, tidak terpengaruh oleh tangis wanita palsu itu.
Jari-jari tangan sang prabu masih menggigil ketika ia membuka surat itu, lalu bibirnya yang gemetar mulai bergerak ketika membaca. Wajah keriputan yang tadinya mulai memucat, itu kini merah kembali, sepasang mataya makin lama makin terbelalak lebar.
Tiba-tiba sang prabu tertawa bergelak, suara ketawa aneh yang mengandung rasa sesal di hati, kemudian ketawanya terhenti diganti suara menggeram dan tangan kirinya menampar lengan kursinya. la masih terbelalak seolah-olah tak percaya akan isi surat yang dibacanya lagi.
"Ha-ha-ha! Aahhhh.......... kalau Adinda Ratu sudah sekeji ini.......... entah aku sudah menjadi gila ataukah masih waras..........!."
Serunya.
Tentu saja sang prameswari menjadi kaget dan heran. Melihat wajah suaminya, ratu ini menjadi gelisah dan mukanya berubah pucat. Sudah gilakah sang prabu? Dia khawatir dan menyesal sekali. Kalau sang prabu menjadi gila saking hebatnya pukulan batin yang dideritanyari sungguh bukan demikian yang ia kehendaki. Ia menghendaki sang prabu menjadi sadar dan bebas daripada cengkeraman wanita iblis Suminten, demi keselamatan keluarga dan kerajaan.
"Kakanda.......... mengapa Paduka...? "
"Diam! Jangan buka lagi mulutmul yang berbisa itu! Baca saja surat ini!"
Bentak sang prabu sambil melemparkan surat ke arah permaisuri. Surat itu melayang ke atas lantai dan sang permaisuri membungkuk untuk memungutnya dengan tangan gemetar. Isak tangis Suminten makin mengguguk.
Sang permaisuri memegang surat itu dan membacanya. Matanya terbelalak, makin lama makin lebardan mukanya menjadi lebih putih daripada kertas yang dipegangnya. Bibirnya gemetar dan akhirnya terlontar dari mulutnya.
"Aduhh.......... Dewata..........!"
Tubuh sang ratu menjadl lemas dan robohlah wanita tua Ini, terkulai dan pingsan di atas lantai. Surat itu terlepas dari tangannya dan melayang di atas lantai pula.
Emban tua menjerit dan menubruk junjungannya, memanggil-manggil dan menangisi dengan bingung. Dalam kebingungannya, ia menjadi penasaran, cepat menyambar surat itu dan membacanya tanpa permohonan lagi.
"Ha-ha-hal Emban berhati busuk, boleh.......... kau bacalah.......... I"
Sang prabu masih ter tawa-tawa, kemudian terdengar suaranya bercampur isak,
"Tak kunyana.......... tak kusangka.......... Adinda Ratu.......... demikian keji.....Setelah dia sendiri begini palsu, siapa pula yang dapat kupercaya.........?
Suminten cepat berdiri dan menubruk sri baginda, merangkulnya dan berkata dengan kata-kata halus,
"Aduh junjungan hamba, masih ada hamba di sini,. mengapa Paduka berkeluh-kesah? Di sini hamba,
(Lanjut ke Jilid 35)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 35
Kakanda, di sini Suminten.......... biarlah hamba yang akan mengusir semua kedukaan Paduka! Bukankah hamba tadi sudah memperingatkan Paduka agar jangan dibaca saja surat itu? Hanya menimbulkan malapetaka belaka, sang ratu pingsan dan Paduka berduka"".."
Sang prabu memeluk dan merangku! leher selir terkasih ini, mengecup dahinya dan berkata mesra,
"Aduh wong ayu.......... kalau tidak ada engkau agaknya sudah bosan aku hidup lebih lama lagi.........."
Sementara itu, emban yang membaca surat, sama halnya dengan sang prabu dan sang ratu, terbelalak seolah-olah tidak percaya. Wajahnya pucat sekali dana mengulang membaca isi surat itu :
Puteranda mohon maaf telah beranl menyurat kepada Ibunda, akan tetapl karena keselamatan Ibunda, terutama sekali Ramanda terancam bahaya, terpaksa puteranda melakukannya juga. Puteranda mendengar dari para penyelidik bahwa Ibunda Ratu telah merencanakan siasat untuk membunuh Ramanda dan Paduka. Dan puteranda setiap saat telah memasang mata-mata untuk mengawasi gerak-gerak Paduka dan puteranda yang selalu menjaga keselamatan Ramanda yang sudah sepuh (tua). Karena puteranda tidak berani mengingatkan sendiri kepada Ramanda berhubung hal Ini akan menyinggung nama balk Ibunda Ratu, terpaksa puteranda mohon kepada Ibunda sudilah kiranya memperingatkan Ramanda daripada bahaya yang tak tersangka-sangka Ibunda Ratu agaknya telah lupa diri dengan nafsu kebenciannya kepada Paduka yang dikasihi Ramanda, kepada puteranda yang diangkat menjadi pangeran mahkota, dan kepada Ramanda yang agaknya telah menyia-nyiakan cinta, kasihnya menurut bisikan hati sang cemburu. Kemudian terserah kebijaksanaan Ibunda.
Demikianlah bunyi surat Pangeran Kukutan kepada Suminten. Emban tua itu terbelalak keheranan. Alangkah bedanya bunyi surat itu dengan yang dibaca emban cantik tadi! Padahal surat rampasan itu tak pernah berpisah dari tangan sang ratu.
Emban itu mengerling ke arah emban muda yang kini bersimpuh di sudut sambil tersenyum-senyum penuh ejekan kepadanya: Maka tahulah emban tua ini bahwa ia dan junjungannya telah masuk perangkap, telah menjadi korban siasat yang busuk dan licik sekali, yang hanya dapat dilakukan oleh manusia-manusia berhati iblis! Tahulah dia yang memang mengerti akan segala persoalan di dalam keraton, bahwa sang ratu telah. terkena pancingan, bahwa Suminten sengaja memancing dengan membuka pintu taman dan berada di dalam pondok taman malam itu, kemudian emban muda yang menjadi kaki tangan itu datang membawa surat.
Kini mengertilah ia bahwa sesungguhnya Suminten dan embannya itu tahu akan kedatangan sang ratu yang mengintai, lalu sengaja si emban membaca Surat secara palsu, kemudian bahkan membiarkan dirinya tertangkap. Dan kini jelas pula baginya bahwa segala sikap Suminten semenjak dipanggil datang, adalah sikap yang amat cerdik, menjalankan siasat dan sandiwara yang sukar dimainkan oleh lain orang, kecuali wanita cantik berhati ular beracun itu. Timbullah kemarahan besar di hati emban tua ini. Dan karena dia hanya seorang emban, maka kemarahannya ia timpakan kepada si emban cantik yang tersenyum-senyum Itu.
"Engkau manusia keji!"
Jeritnya sambil menubruk emban muda yang tentu saja melakukan perlawanan. Maka bergumullah kedua orang emban itu dan karena lebih muda, emban kepercayaan Suminten yang menang dan akhirnya, dengan kain tersingkap memperlihatkan pahanya yang putih pada emban muda itu dapat menunggangi emban tua dan menjambak-jambak sambil memukul dan mencakarl muka lawannya.
Sang prabu yang masih memeluk Suminten lalu berseru memanggil pengawal. Lima orang pengawal yang mendengar ribut-ribut itu cepat muncul dan sang prabu lalu menudingkan telunjuknya ke arah sang ratu sambil berkata,
"Tangkap sang ratu yang berkhianat, bersama emban tua keparat ini! Jebloskan sang ratu dalam tahanan dan bunuh mati sl emban tua!"
Lima orang pengawal itu ternganga keheranan, saling pandang dan sejenak mereka tidak bergerak. Menangkap sang ratu yang tua? Mereka takut kalau-kalau salah dengar, maka tidak berani bergerak.
"Apakah kalian tuli? Gusti sinuwun sudah memberi perintah, kalian masih berdiri seperti arca?"
Suminten berseru marah.
"Akan tetapi.......... tetapi........."
"Kalian berani membangkang terhadap perintahku? Apakah pengawal-pengawalku sendiri hendak memberontak?"
Mendengar perintah ini, para pengawal itu hilang keraguannya dan cepat mereka menyeret tubuh emban tua yang sudah dltunggangi dan dipukuli emban muda itu, dan karena sang permaisurl sudah siuman dan tengah menangis, para pengawal lalu memegang lengannya, dengan halus namun paksa mereka membantunya bangun dan menggiringnya keluar dari ruangan itu.
Kembali Kerajaan Jenggala menjadi geger ketika beberapa hari kemudian rakyat mendengar bahwa sang ratu mereka ini telah "dibuang"
Atau "diasingkan", yaitu ditempatkan di luar istana, di sebuah pesanggrahan yang terletak di kaki Bukit Anjasmoro sebelah utara, sebuah pesanggrahan yang amat sederhana bagi seorang bekas permaisuri raja namun cukup mewah dan indah bagi rakyat kecil, lengkap dengan segala keperluan dan pelayan, namun pondok-pondok itu dikurung dinding tinggi dan terjaga oleh beberapa orang perajurit.
Mengingat akan kedudukannya dan akan hubungan mereka, maka oleh sang prabu, bekas permaisuri ini tidak dihukum, hanya diasingkan dan dilarang meninggalkan tempat pengasingan ini sampai mati. Adapun emban tua yang menjadi abdi kepercayaan bekas permaisuri itu dihukum mati.
Sang ratu yang kini telah diasingkan, tidak merasa berduka akan nasib yang menimpa diri. pribadi, melainkan dia merasa berduka dan gelisah memikirkan nasib sang prabu, dan terutama sekali nasib Kerajaan Jenggala.
Dia maklum bahwa setelah ia gagal dalam melawan manusia-manusia iblis yang pada waktu itu sedang mencengkeram kerajaan, tidak akan ada lagi yang dapat melawan Suminten dan kaki tangannya. Saking prihatin dan nelangsa hatinya, bekas ratu ini menanggalkan pakaiannya yang indah dan mengganti pakaiannya dengan pakaian pendeta, dan setiap hari pekerjaannya hanya duduk bersamadhi, mengheningkan cipta dan memanjatkan doa kepada para dewata agar supaya sang prabu dan Kerajaan Jenggala dilindungi daripada kehancuran.
Dan memang tidak kelirulah apa yang dikhawatirkan bekas permaisuri ini.
Kemenangan mutlak atas diri permaisuri yang siasatnya diatur oleh Suminten, benar-benar membuat Suminten dapat mencapai puncak kekuasaannya. Tepat pula seperti dugaan emban tua yang kini telah dihukum mati, semua yang terjadi, semenjak di dalam taman sari, di pesanggrahan Suminten, sampai kejadian di depan sang prabu, telah lebih dahulu diatur oleh Suminten.
Akal siasat yang amat cerdik dan licik itu adalah hasil pengolahan mereka bertiga, yaitu Suminten, Ki Patih Warutama, dan Pangeran Kukutan! Diolah di antara buih-buih gelombang cinta berahi antara Suminten dan kedua orang pria yang ia layani bermain cinta secara bergiliran. Dan hasilnya hebat, seperti siasat yang diatur iblis sendiri. Sang ratu yang berbathin bersih itu mana mungkin dapat menghadapi siasat manusia-manusia iblis ini? Dia terjebak dan terpaksa mengaku kalah.
Kalau Suminten makin besar kekuasaan dan pengaruhnya atas diri sang prabu yang sudah tua, dan Pangeran Kukutan kini sudah dapat merasa yakin bahwa sepeninggal ayahandanya, pasti dia yang akan menjadi penggantlnya, adalah Ki Patih Warutama yang kini hidup penuh kemewahan dan kesenangan.
SERINGKALI ia tersenyum puas menyaksikan hasilnya.
Dahulu dia hanyalah seorang perwira kecil di Jenggala, dan karena dia bermain cinta dengan seorang puteri dari selir raja, dia terpaksa melarikan diri agar tidak dihukum mati.
Dan setelah berkali-kali gagal dalam usahanya mengejar kemuliaan, gagal di Blambangan dan merantau terlunta-lunta di Bali, kini dia berhasil menjadi Patih Jenggala!
Ki Patih Warutama yang dahulunya bernama Raden Sindupati ini adalah seorang pria yang tampan dan gagah, namun sayang ketampanan dan kegagahannya itu hanya menjadi pulasan belaka, hanya setebal kulitnya.
Hati dan pikirannya selalu kotor dan menjadi hamba daripada nafsu-nafsunya sendiri, terutama sekali nafsu berahi yang membuat dia menjadi seorang pria yang gila wanita.
Setelah kini kedudukannya kokoh kuat, la mulai membujuk Suminten dan Pangeran Kukutan untuk mulai mengadakan kontak dengan fihak Sriwljaya dan Cola yang wakil-wakilnya memang sudah banyak yang menyelundup ke Jenggala.
Mulailah kini Ki Patih Warutama mengangkat pembantu-pembantu yang sesungguhnya adalah anak buah Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku Janapati! Mulailah pengaruh kedua kerajaan itu menyusup ke Jenggala.
Bukan hanya ini saja usaha yang dilakukan oleh KI Patih Warutama. Juga kedudukan dan kemuliaannya membuat penyakit lama dalam dirinya kambuh, yaitu mengejar wanita-wanita cantik! Dan di Jenggala adalah kedungnya wanita-wanita cantik!
Dengan ketampanan wajahnya, ditambah kedudukannya sebagai patih, diperkuat pula oleh kesaktiannya, akan mudah sekali bagi Warutama untuk mencari perawan, janda, atau isteri orang untuk diambilnya. Mulailah pria ini berpesta-pora, pesta palsu, dan ia seolah-olah berlomba dengan Suminten.
Suminten adalah seorang wanita yang gila pria yang selalu haus dan tak terpadamkan, tak pernah puas nafsu berahinya, sehingga setiap malam dia harus ditemani seorang pria, ganti-berganti bahkan hampir setiap malam berganti pria.
Demikian pulalah dengan Warutama. Setelah kini kedudukannya mencapai tingkat tinggi dan kokoh kuat, ia tidak menyembunyikan sifatnya ini dan menyaingi Suminten dalam hal mengumbar nafsunya, berganti-ganti wanita setiap malam, entah puteri siapa, entah isteri siapa asalkan cantik jelita dan sesuai dengan seleranya!
Ketika teringat akan bekas kekasihnya dan mengadakan penyelidikan, ia mendengar bahwa puteri yang dahulu menjadi kekasihnya, yaitu puteri raja dari selir yang bernama Wulandari telah menjadi isteri seorang tumenggung, dia menjadI penasaran sekali dan hatinya takkan dapat merasa puas dan tenteram sebelum ia berhasil mendapatkan kembali kekasihnya yang dahulu dipaksa berpisah darinya itu.
Dia tidak perduli akan kenyataan bahwa menurut penyelidikannya, suami Wulandari itu, yang bernama Tumenggung Matunggal adalah seorang tumenggung yang menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan pula, jadi merupakan "anak buah", dan tidak perduli pula bahwa suami isteri itu telah mempunyai seorang anak perempuan yang kini sudah menjadi seorang gadis dewasa!
Mulailah ki patih merenung dengan hati penuh kerinduan kepada bekas kekasihnya dahulu, padahal iapun mengetahui bahwa, kekasihnya itu, Wulandari yang dahulu amat cantik jelita, kenes dan kewes memikat, kini sedikitnya tentu sudah berusia empat puluh tahun!
Makin rindu rasa hatinya kalau ia mengenang peristiwa di masa yang lalu. Wulandari mencinta dirinya, menyerahkan jiwa raga kepadanya dan ketika hubungan gelap mereka ketahuan, terpaksa ia melarikan diri. Tadinya dikabarkan orang bahwa Wulandari telah membunuh diri. Baru sekarang ia ketahui bahwa hal itu hanya disiarkan untuk menjaga nama dan kehormatan keluarga raja, padahal diam-diam gadis bekas kekasihnya itu dikawinkan dengan Tumenggung Matunggal.
Apalagi setelah ia melakukan penyelidikan dan berhasil melihat bekas kekasihnya itu, rindu dendam dan berahinya makin memuncak. Bukan saja terhadap kekasihnya yang ternyata masih cantik jelita, bahkan lebih "matang"
Daripada duapuluh tahun lebih yang lalu, melainkan juga terhadap Dyah Handini, puteri bekas kekasihnya itu yang kini telah menjadi seorang perawan jelita! Dan mulailah otaknya yang cerdik seperti setan itu merencanakan siasatnya yang keji.
-oo0dw0oo-
Ki Tumenggung Matunggal merasa girang dan bangga sekali ketika ia diserahi tugas oleh Ki Patih Warutama untuk melakukan peninjauan ke Nusabarung dan terus ke Blambangan, dua kadipaten yang telah ditaklukkan oleh Jenggala. Baik Nusabarung (baca Badai Laut Selatan) maupun Belambangan dahulu dapat diserbu dan ditaklukkan berkat kesaktian Endang Patibroto.
Setiap orang pembesar tentu akan merasa girang dan bangga kalau menjadi utusan atau wakil kerajaan menInjau daerah taklukan, girang karena biasanya daerah taklukan tentu akan mellmpahkan hadiah-hadiah dan tanda bukti yang akan membuatnya pulang dengan harta benda bertumpuk, dan bangga karena tugas ini membuktikan bahwa dia adalah orang yang dipercaya oleh kerajaan!
Dengan hati bangga dan besar Ki Tumenggung Matunggal berangkat beserta pasukannya setelah berpamit dari isterinya, puterinya, dan selir-selirnya.
Sama sekali ki tumenggung ini tidak pernah mimpi bahwa kepergiannya yang takkan pernah kembali, dan bahwa perpisahannya dengan keluarganya adalah perpisahan terakhir!
Mengapa demikian? Karena semua ini adalah siasat keji yang dilakukan oleh Patih Warutama yang bertekad bulat untuk mendapatkan kembali bekas kekasihnya, Wulandari yang telah menjadi nyi tumenggung itu, mendapatkan kembali Wulandari berikut puterinya, Dyah Handini.
Dan untuk mencapai niat hati keji ini, Patih Warutama tidak segan untuk melakukan hal yang bagaimana kejamnya pun. Tumenggung Matunggal harus dilenyapkan! Demikianlah siasat yang amat busuk dan yang hanya timbul dalam hati seorang manusia yang sudah menjadi hamba nafsu dan menjadi murid iblis!
Sungguh patut dikasihani orang-orang seperti Ki Tumenggung Matunggal ini. Seorang manusia pengejar kemuliaan dan kedudukan dengan -cara apa pun juga, tidak segan untuk menjilat-jilat atasannya, rela menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan dan mengkhianati kerajaan, sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya ia hanya dipergunakan sebagai alat oleh fihak atasan yang dalam hal mengejar kesenangan pribadi jauh melebihinya, dalam kekejaman jauh 'melewatinya.
Tidak sadar bahwa ia hanya dipermainkan, dipuji-puji dan diberi hadiah apablia masih diperlukan, namun sekali fihak atasannya tidak memerlukannya, dia akan dilempar dan dibunuh begitu saja! Dan alangkah banyaknya manusia-manusia macam Tumenggung Matunggal ini, yang tidak mempunyai pendirian, tidak mempunyai kesetiaan. Kepergiannya melaksanakan tugas meninjau ke daerah-daerah taklukan, diakhiri dengan kematian dalam perjalanan karena diracun oleh pengawalnya sendiri, sudah tentu saja pengawal yang menjalankan perintah Ki Patih Warutama.
Adapun racun yang dipergunakan adalah racun yang diminta oleh Ki Patih Warutama dari Ni Dewi Nilamanik, racun yang amat hebat dan tidak dikenal orang sehingga kematian Tumenggung Matunggal dianggap sebagai kematian wajar, kematian karena sang tumenggung diserang penyakit mendadak di dalam perjalanannya.
Malam hari itu nyi tumenggung atau yang dahulunya bernama Wulandari, puteri dari selir sang prabu, menangis di dalam kamarnya, menangisi kematian suaminya.
Sesungguhnya ia tidak mencintai suami ini, suami yang dijodohkan dengan dia secara paksaan. Akan tetapi karena suaminya itu selalu baik terhadapnya, maka kematiannya yang mendadak dalam perjalanan itu membuatnya berduka juga.
Dan menjelang tengah malam, ketika nyi tumenggung yang berduka ini sudah hampir dapat melupakan dukanya dengan tidur, tiba-tiba jendela kamarnya terbuka dari luar dan sesosok bayanganberkelebatmasuk ke kamar itu.
Wulandarl terkejut dan sejenak berdiri bulu tengkuknya, mengira bahwa roh suaminya yang datang melayang masuk dari jendela itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa pria tampan dan gagah yang berdiri di kamarnya, yang memandangnya dengan senyum membayang di balik kumis tipis dan pandang mata mesra, adalah Ki Patih Warutama!
Baru satu kali Wulandari melihat patih yang baru ini, yang sekali itu pun hanya sepintas lalu, akan tetapi ia telah mengenal ki patih ini karena wajah ki patih mengingatkan dia akan seorang yang pernah dikenalnya baik-baik, akan wajah Raden Sindupati, bekas kekasihnya belasan tahun yang lalu!
Mengapa Ki Patih Warutama memasuki kamarnya? Dan pada waktu malam buta dengan melalui jendela seperti seorang maling? Jantung Wulandari berdebar keras, wajahnya menjadi pucat dan kalau saja ia tidak melihat jelas bahwa ki patihlah orang ini, tentu ia telah menjerit. Kini dengan tubuh gemetar ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara penuh teguran, namun halus,
"Gusti Patih......... mengapa Paduka.........?"
"Wulandari, jangan takut, bintang pujaanku.........
"
Kata Warutama sambil melangkah maju, mendekat.
Wulandari membelalakkan kedua matanya. Ia mengangkat muka dan memandang dengan mata terbelalak, muka makin pucat. Nama kecilnya disebut begitu saja oleh ki patih, padahal di dalam dunia ini hanya satu orang saja yang menyebutnya dengan ucapan mesra "bintang pujaan".
"Paduka......... Paduka.........
"
Ia menggagap kebingungan.
Namun kedua tangan ki patih yang kuat itu sudah memegang pundaknya dan mengangkat nya berdiri. Muka mereka berdekatan, dua pasang mata berpandangan, dan terdengar bisikan keluar dari mulut yang menggigil.
"Paduka Gusti Patih Warutama...."."
Warutama tersenyum.
"Benar, aku Ki Patih Warutama""."
"Kenapa Paduka masuk kamar ini.....? Di tengah malam melalui jendela? Apakah......... apakah kehendak Paduka?"
Wulandari sudah dapat menguasai hatinya dan merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ki patih.
"Apa salahnya? Aku datang untuk menghiburmu, karena aku merasa kasihan kepada keluarga Tumenggung Matunggal yang sudah berjasa."
"Akan tetapi......... ah, Paduka harus cepat keluar dari sini.........
"
Kembali lengan ki patih bergerak dan tanpa dapat mengelak lagi Wulandari sudah dipeluknya dan dipaksanya muka yang masih cantik itu menengadah sehingga mereka kembali saling memandang, muka mereka amat dekat.
"Wulandari, bintang pujaanku......... tidakkah engkau mengenal aku, Diajeng? Pangling orangnya masa pangling suaranya? Andaikata engkau pangling rupa dan suara, apakah engkau sudah melupakan ini?"
Sambil berkata demikian, Ki Patih Warutama atau yang dahulu bernama Raden Sindupati itu menundukkan mukanya lalu mencium leher Wulandari di bawah telinga kini. Ciuman yang khas, seperti yang ia lakukan dahulu kalau dia bermain cinta dengan bekas kekasihnya ini, bibirnya mengecup kulit kuning langsat yang halus itu dan giginya menggigit..........
"Aaggghhhh......... engkau......... engkau benar Kakangmas Sindupati........."
Wulandari berkata lirih dan mereka kembali berpandangan.
"Engkau mengenalku kini, Diajeng. Akan tetapi Sindupati sudah tidak ada nama itu sudah dikubur. Aku Ki Patih Warutama. Sindupati lenyap namun cinta kasihku kepadamu tak pernah lenyap Diajeng bintang pujaanku.........
"
Warutama lalu mencium mulut yang terbuka karena tercengang keheranan itu, mencium mata yang memandangnya penuh takjub karena memang wajah pria ini sudah amat berubah. Wulandari mula terengah-engah dan berkata seperti merintih,
"Akan tetapi......... Kakangmas.....aku......... aku sudah menjadi isteri.........
"
Kembali Warutama mencium dan membungkam mulut itu sehingga Wulandari tidak dapat melanjutkan kata-kata nya.
"Bukan, engkau kini sudah menjadi seorang janda, Wulandari kekasihku."
".......... tetapi......... aku......... suda tua, Kakangmas.........
"
Kembali bibir Warutama sudah menghentikan kata-katanya. Ki patih ini menciumi kekasih lama ini dengan penuh kemesraan, menumpahkan semua kerinduannya selama ini sehingga Wulandari menggigil dibuatnya. Wanita ini memejamkan matanya dan belaian serta ciuman kekasihnya yang tak pernah dilupakannya ini membuat semua bulu di tubuhnya meremang.
"Engkau tidak pernah tua bagiku, Diajeng. Engkau akan kuboyong ke kepatihan bersama puterimu, engkau akan hidup bahagia di sampingku, akan kutebus semua penderitaan yang kita alami selama berpisah, kita takkan berpisah lagi, Diajeng.........
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"
"Kakangmas Sindupati.........
"
"Hushh, namaku Warutama...."""."
"Kakangmas Warutama, betapa mungkin itu? Apa yang akan dikatakan orang kalau kami diboyong ke kepatihan? Suami......... suamiku baru saja meninggal......... dan.........
"
Kembali bibir Warutama yang tiada puasnya itu sudah menghentikan kata-katanya, menciuminya dengan penuh kemesraan sehingga naik sedu-sedan dari dalam dada Wulandari, membuat napasnya sesak, kepalanya pening seperti, orang mabuk.
"Tidak mengapa, Diajeng. Mendiang suamimu seorang berjasa, sudah sepatutnya kalau keluarganya menerima penghargaan dariku. Engkau menurut sajalah aku yang akan mengatur segalanya, aku yang bertanggung jawab."
"Tapi......... tapi.........
"
Hanya sampai di situ saja bantahan yang keluar dari mulut Wulandari karena ciuman-ciuman dan belaian-belaian disertai suara bujuk rayu bekas kekasihnya telah membuai seluruh tubuhnya menjadi lemas, napasnya terengah-engah dan membuat dia seperti mabuk, tidak lagi sadar apa yang dilakukannya melainkan tunduk akan kekuasaan nafsu yang sudah mencengkeramnya.
Bahkan ketika Ki Patih Warutama memondongnya menuju ke pembaringan, dengan sepasang mata dipejamkan dan mulut merintih tak tentu apa yang diucapkannya, Wulandari melingkarkan kedua lengannya ke leher bekas kekasihnya, seperti dua puluh tahunan yang lalu.
Peristiwa pemboyongan nyi tumenggung dan puterinya ke kepatihan tentu akan menimbulkan geger kalau saja yang melakukan pemboyongan itu adalah "orang kecil"
Atau ponggawa yang kedudukannya masih rendah. Perbuatan tidak wajar, apalagi melanggar hukum, dari "orang kecil"
Tentu akan mencelakakan pembuatnya sendiri.
Akan tetapi, siapakah yang berani mencela atau menghalangi perbuatan "orang besar"
Seperti Ki Patih Warutama? Tidak dahulu tidak sekarang, orang yang berkedudukan tinggi dan memiliki kekuasaan, dapat berbuat seenak perutnya sendiri tanpa ada orang yang berani mengganggu, karena bukankah "hukum"
Berada mutlak di dalam telapak tangannya? Semenjak dahulu sampai kini, hukum yang dibuat manusia ternyata gagal untuk melindungi manusia-manusia yang termasuk golongan kecil, dan pada hakekatnya merupakan cara untuk menekan si kecil dan sebaliknya melindungi si besar.
Pemboyongan ibu yang baru saja menjadi janda bersama puterinya ke kepatihan tentu saja menimbulkan keheranan dan pelbagail dugaan, namun semua ini dapat ditutup oleh alasan ki patih bahwa hal ini dilakukan oleh ki patih mengingat akan jasa Tumenggung Matunggal yang tewas dalam melakukan tugas.
Maka habislah urusan itu, bahkan ki patih dipuji-puji sebagai seorang atasan yang pandai menghargai jasa bawahannya, dan bahwa ki patih adalah seorang baik hati yang menaruh kasihan kepada ibu dan puterinya itu.
Namun, sesungguhnya bukan sesederhana ini persoalannya dan hal ini hanya Wulandari yang mengetahuinya. Mula-mula janda ini merasa berbahagia sekali karena dia telah dapat berkumpul kembali dengan kekasih lama, bahkan dapat melanjutkan cinta kasih mereka yang dahulu diputus dengan paksa.
Mula-mula Wulandari terlena dalam kenikmatan cinta, terbuai oleh bujuk rayu dan cinta asmara yang dilimpahkan oleh Ki Patih Warutama. Akan tetapi, ketika pada suatu malam ki patih menyatakan bahwa ki patih hendak mengambil puterinya, Dyah Handini, menjadi isteri ki pitih, ia terkejut sekali seperti disambar halilintar di malam terang bulan!
"Ahhh, Kakangmas.........! Betapa mungkin? Tidak bisa......... tidak boleh Handini menjadi isterimu.........
"
Ki Patih Warutama merangkulnya, memeluk dan membelainya sambil tersenyum.
"Mengapa tidak, Wulandari? Dia akan menjadi isteriku, dan kita bertiga akan dapat berkumpul terus sampai selamanya! Bukankah hal ini membahagiakan kita bertiga?"
"Tidak boleh......... ah, Kakangmas, tidak boleh.........
"
Wulandari menangis.
Warutama mengerutkan alisnya, akan tetapi ia masih tersenyum dan menciumi muka yang mulai basah air mata itu.
"Diajeng Wulandari, ketahuilah bahwa aku mencinta puterimu. Dia mengingatkan aku kepada engkau ketika masih muda. Ketika kita dipaksa berpisah, engkau seumur dia dan persis seperti dia sekarang inilah keadaanmu. Apakah engkau cemburu? Dia puterimu sendiri. Dan engkau tentu yakin bahwa kalau dia menjadi isteriku, dia akan hidup bahagia. Dan engkau pun akan selalu bersanding di sisiku dan di sisi puterimu. Jangan khawatir, bintang pujaanku, aku dapat membagi cinta kasihku antara kalian berdua. Bahkan hubungan suci ini akan mengikat kita bertiga erat-erat, selamanya tidak akan berpisah lagi."
"Tidak.........! Tidak......... Aahhh, jangan.........
"
Wulandari menangis makin mengguguk.
Sinar mata yang menyeramkan memancar keluar dari mata Ki Patih Warutama. Kedua tangannya yang tadi membelai tubuh Wulandari, masih membelainya dan naik ke atas, membelai dan meraba-raba leher wanita itu, mengusap usap dengan gerakan-gerakan tangan seperti hendak mencekiknya. Mulutnya tersenyum dan suaranya dingin sekali ketika ia bertanya lirih,
"Mengapa? Mengapa tidak? Katakanlah, apa sebabnya mengapa kau tidak setuju."
Wulandari mengangkat mukanya memandang wajah pria yang sudah menjatuhkan hati dan segala-galanya itu.
"Kakangmas, dia......... Dyah Handini itu......... , dia......... adalah anakmu sendiri""."
Jari-jari yang mengelus leher itu menegang, akan tetapi belum mencekik, sungguhpun masih membelainya, agak lebih kasar daripada tadi. Wulandari hendak merenggutkan dirinya namun tidak dapat.
"Apa kau bilang.........? Dia anakku""..?"
"Betul, Kakangmas. Dengarlah dahulu, ketika engkau melarikan diri......... dan aku dipaksa kawin dengan Tumenggung Matunggal, aku sudah......... sudah mengandung satu bulan. Dia anakmu, Kakangmas, karena itu......... tidak boleh engkau mengambilnya sebagai isterimu........."
"Aku tidak percaya! Juga tidak perduli. Dia akan menjadi isteriku, tak perduli dia anakku atau bukan, tak perduli engkau setuju atau tidak!?"
"Kakangmas......... Wulandari berseru dengan suara penuh permohonan, dengan air mata bercucuran.
"Cukupl Dengar baik-baik. Aku cinta kepada Dyah Handini, seperti cintaku kepadamu dahulu. Cintaku kepadamu yang terputus. Kini aku minta dilanjutkan, karena dia serupa benar dengan engkau dahulu. Hanya ada dua jalan bagimu. Menyetujui dia menjadi isteriku sehingga kita bertiga akan dapat terus berkumpul, akan tetapi terus saling mencinta, atau......... engkau mati sekarang juga dan dia tetap menjadi isteriku!"
Jari-jari tangan yang masih melingkari leher Wulandari itu kini mengeras dan cekikan mulai terasa.
Dengan wajah pucat dan air mata mengalir, Wulandari terpaksa mengangguk, tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi.
"Ha-ha-ha, bagus, itu baru namanya bintang pujaanku yang sejati!"
Ki Patih Warutama tertawa lalu mengecup bibir Wulandari dengan buas, lalu memaksa wanita yang nelangsa batinnya itu untuk melayani cinta kasihnya yang sesungguhnya hanya merupakan cinta berahi, cinta berahi, cinta nafsu yang selalu menjadi penuntun bagi setiap perbuatan seorang manusia macam Warutama atau Sindupati.
Demikianlah, biarpun sudah mendengar dari mulut Wulandari sendiri bahwa Dyah Handini adalah anaknya, Ki Patih Warutama tidak mau mundur dan melangsungkan pernikahannya dengan dara yang denok ayu itu.
Tentu saja pesta pernikahan diramaikan dengan mewah dan meriah, dan orang-orang mulai memuji-muji lagi ki patih yang dianggapnya amat baik, suka mengangkat derajat anak seorang tumenggung. Semua orang menganggap betapa baik nasib Dyah Handini dan ibunya, yang biarpun telah kehilangan ayah dan suami, namun kini malah dinaikkan derajatnya sampai berlipat kali!
Dyah Handini sendiri sebagai seorang gadis pada masa itu, hanya menurut kehendak ibunya dan akhirnya dia pun berbahagia karena suaminya, biarpun usianya sudah mendekati setengah abad, harus diakui merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, apalagi amat pandai dan seorang ahli dalam merayu wanita dan bermain cinta.
Segera dara yang denok ini jatuh dan mabuk oleh rayuan pria yang menjadi suaminya, sedikit pun tak pernah menduga bahwa suaminya ini sesungguhnya adalah ayahnya sendiri
Ki Patih Warutama yang pada lahirnya merupakan seorang patih yang berpengaruh dan berkuasa, merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, sebenarnya batinnya amatlah rendah. Hanya manusia berperangai binatang saja kiranya yang sudi melahap puterinya sendiri! Bukan hanya itu saja, bahkan lebih jauh lagi tingkah dan ulah ki patih ini.
Terang-terangan di depan isterinya, ia melanjutkan hubungan rahasianya dengan Wulandari! Akhirnya Dyah Handini juga mengetahui bahwa ibunya telah "diselir"
Oleh suaminya. Anak dan ibu menjadi madu!
Namun, Dyah Handini yang sudah jatuh bertekuk lutut oleh belaian kasih sayang ki patih yang amat pandai, tidak berani marah, bahkan diam-diam menjadi gembira karena baginya, lebih baik membagi suaminya dengan ibunya daripada dengan wanita lain.
Terjadilah kemaksiatan yang menjijikkan dalam kamar Kl Patih Warutama. Kini terang-terangan saja dia bermain cinta dengan ibu dan anak itu. Dia tidur sekamar dengan Wulandari dan Dyah Handini, bergiliran mencintai ibu dan anak, tanpa malu-malu lagi bertiga tidur seranjang! Kadang-kadang, mereka bertiga duduk bercengkerama, bersendau-gurau, ki patih duduk di tengah, Wulandari duduk di atas paha kanannya, Dyah Handini duduk di atas paha kirinya, memeluk kedua ibu dan anak itu dengan dua lengannya, bergiliran menciumi dan mencumbu mereka!
Hebatnya, lambat-laun Wulandari dapat melupakan rasa nelangsa di hatinya dan mulailah ia bergembira dan akhirnya ia merasa berbahagia mendapat kenyataan betapa ki patih masih tetap mencintanya seperti cintanya terhadap puterinya.
Wulandari merasa mendapat kepuasan lahir batin dan tak perduli lagilah akan tata susila, tidak malu menyaksikan puterinya bermain cinta dengan ki patih, juga tidak malu lagi disaksikan puterinya apabila dia mendapat giliran! Adakah perbuatan a-susila yang lebih gila daripada ini?
Sementara itu, kedudukan Suminten makin kuat. Keadaan sang prabu yang sudah tua tiada lebih kuat daripada seorang tapadaksa yang tak berdaya. Semua persoalan pemerintahan dipegang oleh tiga serangkai itu, Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama.
Hubungan dengan wakil-wakil Kerajaan Sriwijaya dan Cola makin diperkuat dan mulailah diatur rencana untuk menguasai seluruh Jenggala, kemudian menghantam Panjalu.
Kadipaten sebelah timur sudah pula dihubungi dan mereka ini, termasuk Kadipaten Nusabarung dan Kadipaten Blambangan yang menaruh dendam terhadap Panjalu, sudah siap-siap pula untuk membantu jika pecah perang. Awan gelap menyelimuti angkasa di atas kedua kerajaan bersaudara itu, kerajaan yang menjadi keturunan Mataram, yang terpecah karena mendiang Sang Prabu Airlangga bermaksud bersikap adil dan mencegah perang saudara dengan cara membagi kerajaan menjadi dua.
-oo0dw0oo-
Di kaki Gunung Anjasmoro sebelah utara merupakan pedusunan yang amat sunyi, yang hanya berpenduduk beberapa puluh keluarga petani miskin. Namun tempat ini memiliki pemandangan alam yang indah dan kesunyian selalu merupakan sifat yang khas daripada keindahan alam.
Di antara pondok-pondok kecil, gubuk-gubuk berdinding anyaman bambu dan beratap daun kelapa itu terdapatlah sekelompok bangunan yang dikurung pagar tembok. Pintu gerbang dinding yang mengurung kelompok bangunan ini selalu terjaga oleh beberapa orang perajurit pengawal. Keadaan sekeliling pondok sunyi dan hening, dan hanya beberapa kali saja setiap harinya ada pelayan tua yang keluar melalui pintu gerbang untuk mengurus keperluan penghuni pondok.
Pondok ini adalah tempat pengasingan atau pembuangan bagi bekas permaisuri, sang ratu dari Jenggala! Setelah sang ratu ini gagal menandingi Suminten yang sangat cerdik sehingga sang ratu yang hendak "menangkap basah"
Selir itu sebaliknya malah masuk perangkap, wanita tua ini sekarang menjadi seorang buangan, hidup bersunyi diri di dalam pondok yang dikurung dinding tinggi dan terjaga slang malam ini. Tidak pernah keluar dari pondok, tidak pernah bertemu dengan orang lain kecuali para pelayannya karena bekas permaisuri ini dilarang keluar, dan dilarang pula menerima kunjungan orang luar.
Akan tetapi pada suatu hari, lewat pagi, sepasang orang muda memasuki pintu gerbang dinding yang mengurung pondok pengasingan ini. Mereka berdua tidak dilarang oleh para penjaga, bahkanpara penjaga cepat-cepat berlutut memberi hormat dan menyapa dengan penuh kehormatan kepada pria yang lewat menggandeng wanita itu.
Mereka itu masih muda-muda dan keduanya amatlah eloknya, bagaikan sepasang dewa asmara Sang Hyang Komajaya dan Komaratih.
Kedua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Panji Sigit dan isterinya, Setyaningsih. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah menikah di Padepokan Wilis, Pangeran Panji Sigit mengajak isterinya untuk ke Jenggala.
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa kembalinya ke Jenggala merupakan perbuatan yang banyak resikonya bagi dirinya karena dia telah mempunyai seorang musuh yang berbahaya, yaitu Suminten. Akan tetapi karena pangeran ini amat mencinta ramandanya, dan pula karena ia berpikir bahwa setelah ia beristeri, kiranya Suminten tidak begitu gila untuk menggodanya lagi, maka ia bertekad untuk pulang ke Jenggala.
Di sepanjang perjalanan, pangeran yang amat memperhatikan keadaan ramandanya dan keadaan kota raja, bertanya-tanya dan alangkah kaget hatinya ketika ia mendengar segala peristiwa hebat yang terjadi di kerajaan ramandanya. Tentang pengangkatan Pangeran Kukutan menjadi putera mahkota, sama sekali tidak mendatangkan kesan apa-apa di hatinya karena memang Pangeran Panji Sigit bukan seorang yang gila akan kedudukan.
Peristiwa yang menimpa keluarga ki patih, yang didengarnya di jalan, dan tentang penggantian patih baru, hanya mendatangkan rasa haru dan kasihan di samping rasa penasaran mengapa paman patih yang dianggapnya amat baik dan setia itu sampai dijatuhi hukuman sekeluarga sedemikian mengerikan. Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa ibunda ratu diasingkan, dibuang ke kaki Anjasmoro, Pangeran Panji Sigit menjadi marah sekali.
"Setan betina, iblis laknat, siluman keji! Semua ini gara-gara dial"
Seru Pangeran muda itu sambil mengepal tinju dan mukanya menjadi merah sekali.
"Eh, Kakangmas.........!"
Setyaningsih menegur suaminya.
Pangeran Panji Sigit merangkulnya dan ia sadar, dapat pula menguasai hatinya yang terbakar. Setelah menghela napas panjang ia berkata,
"Diajeng, sungguh jahat sekali dia itu. Semua ini tentu hasil perbuatan Suminten. Aduh dewata Yang Maha Agung......... mengapa Ramanda Prabu sampai tenggelam sedemikian dalamnya......... Diajeng, mari kita pergi ke kaki Anjasmoro, lebih dahulu kita menjenguk Ibunda Ratu."
Perjalanan dilanjutkan. Kuda tunggangan mereka dilarikan lebih cepat dan akhirnya mereka dapat juga menemukan pondok pengasingan di kaki. Gunung Anjasmoro.
Para penjaga tentu saja mengenal Pangeran Panji Sigit yang memang sejak dahulu amat disuka oleh semua perajurit, maka dengan mudah saja Pangeran Panji Sigit dan isterinya memasuki pintu gerbang dan langsung mencari bekas permaisuri yang menurut para abdi sedang duduk seperti biasa di belakang pondok.
Hati Pangeran Panji Sigit terasa seperti disayat-sayat pisau ketika ia melihat wanita tua itu duduk bersila di atas lantai bertilam tikar. Wajah permaisuri itu masih agung, sungguhpun segala keadaan memperlihatkan kesederhanaan yang amat tidak pantas bagi seorang bekas ratu.
Muka itu tidak dirias, tidak dibedaki, rambutnya digelung bersahaja ke belakang, rambut yang sudah bercampur banyak uban, tubuhnya ditutup libatan kain berwarna putih sederhana, pakaian seorang pertapa. Hanya sepasang gelang sederhana yang menghias kedua tangannya yang bertelanjang sampai ke siku.
Sang ratu itu sedang duduk bersamadhi, hening dan tidak bergerak seperti sebuah arca. Wajahnya yang tua itu membayangkan ketenangan, namun gurat-gurat pada dahinya jelas membayangkan penderitaan batin yang hebat. Betapapun juga, mulutnya menjadi pencerminan kesabarannya sehingga makin mengharukan hati Pangeran Panji Sigit yang segera menggandeng tangan isterinya, diajak maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan sang ratu sambil berkata lirih,
"Duhai Ibunda Ratu yang mulia, hamba Panji Sigit bersama isteri datang menghadap Paduka.........
"
Kata Pangeran Panji Sigit dengan suara terharu.
Wanita itu membuka kedua matanya. Wajahnya berseri, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, tanda bahwa hatinya gembira sekali.
"Panji Sigit......... Ah, Pangeran, alangkah gembira hatiku. Mendekatlah, Puteraku wong bagus.........
"
Panji Sigit mendekat dan wanita tua itu lalu membelai rambut kepalanya. Sentuhan ini membuat hati Panji Sigit makin terharu sehingga dua titik air mata membasahi pipinya.
"Dia ini isterimu, Kulup? Ah, Nini, mendekatlah, Mantuku.........!"
Setyaningsih menyembah dan menghampiri. Dengan kedua tangan di atas kepala kedua orang itu, sang ratu menengadah seolah-olah mohon berkah dewata untuk sepasang orang muda itu. Wajahnya jelas membayangkan keharuan dan kegembiraan.
"Duhai Ibunda Ratu......... apakah yang telah terjadi.........? Paduka...."."
"Husshhhh, Panji Sigit puteraku. Tidak ada apa-apa denganku, cerita tentang aku tidak menarik. Lebih baik kauceritakan pengalamanmu semenjak kau pergi dari istana. bagaimana sekarang tahu-tahu pulang membawa isteri yang begini cantik jelita? Anak nakal, agaknya engkau baru pulang dari taman sorga dan mempersunting seorang bidadari.........
"
Di dalam hatinya, Pangeran Panji Sigit makin terharu dan kagum sekali ia akan ketenangan dan ketabahan hati sang ratu. Sudah mengalami nasib yang demikian sengsara dan terhina, masih bersikap tenang, tidak menonjolkan penderitaan pribadinya. Dan seorang wanita yang begini telah dibuang oleh sang prabu!
Maka ia pun menenangkan perasaan hatinya dan bercerita tentang pengalamannya setelah dia pergi meninggalkan istana. Betapa ia memasuki sayembara di lembah Wilis dan berhasil mempersunting Setyaningsih.
"Kanjeng Ibu, dia ini bukan orang lain, melainkan adik kandung dari Ayunda Endang Patibroto yang kini menjadi ketua Padepokan Wilis."
Ia menutup ceritanya.
"Ahhhh......... Endang Patibroto manluku yang terkena fitnah dan......... kasihan puteraku Panjirawit......... Jadi Andika adik kandung Endang Patibroto? alangkah baiknya, kalian menyambung kembali ikatan yang terputus oleh keadaan. Aku girang sekali, Panji Sigit dan Setyaningsih."
"Duh Kanjeng Ibu, sekarang hamba mohon Paduka suka menceritakan, mengapa Paduka sampai menjadi begini...."". sungguh bingung dan sedih hati hamba mendengar dalam perjalanan tentang paduka.........
"
Sang ratu tersenyum.
"Apa yang engkau dengar, Pangeran?"
"Hamba mendengar cerita orang dalam perjalanan hamba bahwa Paduka di......... diasingkan ke tempat ini oleh Ramanda Prabu karena katanya Paduka.... Paduka melakukan fitnah kepada ibunda selir.........
"
Sang ratu mengangguk.
"Memang tampaknya begitulah, Puteraku. Akan tetapi sebetulnya di balik kenyataan ini terdapat rahasia-rahasia yang amat pelik. Nah, kau dengarlah penuturanku, karena engkau sebagai seorang Pangeran Jenggla berhak mengetahuinya."
Maka berceritalah wanita tua itu dengan suara tenang dan sabar. Diceritakan segala peristiwa yang terjadi di dalam istana, yang tidak diketahui orang lain. Tentang sepak terjang Suminten dan Pangeran Kukutan tentang persekutuannya dengan ki patih yang baru, tentang kelemahan sri baginda dan kemudian betapa dia sendiri terjebal ke dalam perangkap yang mereka pasang yang menjebloskannya sehingga mengakibatkan dia terbukti melakukan fitnah dan dihukum buang.
"Ah, si keparat, iblis betina yang keji!"
Pangeran Panji Sigit mengepa tinju, mukanya merah dan matanya terbelalak penuh kemarahan.
"Agaknya dahulu pun dia sengaja menggoda dan menyinggungku agar aku pergi dari istana dan dia dapat berbuat sesukanya! Keparat!"
"Kakangmas, tenanglah.........
"
Setyaningsih memperingatkan.
Sang ratu tersenyum.
"Wah, isterimu ini mengagumkan, Pangeran. Agaknya tidak semudah ayundamu dikuasai kemarahan. Dia benar, Puteraku, tenanglah dan ceritakan kepadaku, apa yang dia lakukan dahulu terhadap dirimu."
"Hamba......... hamba merasa malu untuk menceritakan peristiwa menjijikkan itu, Kanjeng Ibu!"
"Biarlah hamba yang bercerita, Kanjeng Ibu. Sebelum Kakanda Pangeran pergi dari istana, Kakanda pernah digoda oleh......... Ibunda selir, dibujuk rayu dan diajak bermain asmara. Kakanda Pangeran tidak mau melayani niatnya yang kotor itu, kemudian Kakanda yang merasa malu sekali lalu pergi meninggalkan istana."
Sang ratu mengangguk-angguk.
"Hemm......... tidak aneh. Betapa banyaknya pangeran yang terjatuh oleh rayuannya! Syukur engkau teguh hati, Angger."
"Ibunda Ratu, kita harus menghancurkan iblis betina itu! Penghlnaan terhadap Paduka harus dibalas. Biarlah hamba yang.........!"
"Jangan, Kulup. Jangan menurutkat hati panas. Ingatlah bahwa benci dan dendam hanya akan mengotori dan mengeruhkan batin sendiri. Aku tidak membenci Suminten, aku tidak mendendamnya, setelah aku mendapat ketenangan batin di sini baru kuketahui akan hal ini. Aku menerima nasib dan sisa hidupku yang tak lama lagi ini tidak boleh sekali-kali dikotori oleh benci dan dendam."
"Akan tetapi, lblis betina itu telah merusak kebahagiaan Paduka, telah menghina Paduka sehingga Paduka mengalami nasib sengsara seperti ini. Dia adalah musuh Paduka........."
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Keliru wawasanmu, Angger. Boleh jadi dia menganggap aku sebagai musuh, akan tetapi biarlah kalau begitu. Aku tidak menganggap dia atau siapa saja sebagai musuh, dan peristiwa yang menimpa diriku tidak kuanggap sebagai salah siapa-siapa, melainkan semata-mata adalah tepat seperti yang dikehendaki Sang Hyang Wisesa. Apa pun yang terjadi di dunia ini adalah tepat seperti yang dikehandaki-Nya, karena di luar kehendakNya , takkan terjadi sesuatu."
Diam-diam Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih menjadi kagum dan di dalam hati mereka tunduk terhadap wawasan yang sedemikian hebatnya, yang sukar dilaksanakan oleh siapa pun.
"Maaf, Ibunda Ratu, hamba takkan sanggup dan berani membantah kebenaran wejangan Paduka itu. Akan tetapi, kerajaan berada dalam cengkeraman manusia-manusia iblis, kerajaan terancam bahaya, juga Ramanda Prabu......... ah, betapa mungkin hamba yang melihat hal itu semua lalu berpeluk tangan, mendiamkannya saja?"
"Hal itu lain lagi persoalannya, Puteraku. Sudah menjadi kewajibanmu sebagai seorang pangeran dan ksatria untuk membela Ramandamu dan kerajaan.Sudah menjadi kewajibanmu pula untuk menghalau musuh negara. Akan tetapi kalau demikian, semua tindakanmu mempunyai dasar yang bersih, bukan semata-mata karena kebencian dan hendak membalas dendam yang ditimpakan kepadaku. Mengertikan engkau akan perbedaannya, Angger Pangeran?"
Pangeran Panji Sigit menganggukangguk.
Tahulah ia sekarang apa yang dimaksudkan ibu tirinya ini. Tentu saja sebagai seorang gemblengan, ia sudah banyak menerima wejangan dari guru-gurunya, sudah mengerti pula akan perbedaan antara dua perbuatan yang sama. Hanya sama tampaknya, namun seperti bumi dan langit perbedaannya yang terletak pada dasar perbuatan itu yang menjadi sebab.
Membunuh dan membunuh tidaklah sama kalau membunuh yang pertama berdasarkan kebencian dan dendam sedangkan membunuh yang ke dua berdasarkan membela negara. Bukanlah perbuatannya yang dinilai, melainkan yang tersembunyi di balik perbuatan itu, pendorong dan pamrihnya.
"Hamba mengerti, Kangjeng Ibu. Akan hamba usahakan sekerasnya agar hamba tidak melibatkan persoalan pribadi dalam perjuangan hamba, melainkan persoalan membela negara dan melindungi Ramanda Prabu. Hamba bermohon diri, Kanjeng Ibu, sekarang juga hamba bersama Setyaningsih hendak mulai menentang dan menghalau iblis-iblis yang mencengkeram Kerajaan Jenggala."
"Kau terlalu sembrono, Pangeran. Kalian berdua tidak boleh pergi ke Jenggala, hal ini amat berbahaya bagi kalian berdua."
"Hamba tidak takut. Harap Kanjeng Ibu jangan khawatir. Selama hamba pergi merantau, hamba telah menerima banyak gemblengan ilmu, dan di samping hamba ada Diajeng Setyaningsih yang memiliki kesaktian. Hamba berdua dapat menjaga diri. Pula, di kota raja banyak terdapat para ponggawa yang masih setia kepada Ramanda Prabu, dan banyak sahabat-sahabat hamba.......
"
"Ah, engkau tidak tahu, Angger. Seluruh ponggawa telah menjadi kaki tangan Kukutan. Dan ketahuilah bahwa Ki Patih Warutama memiliki kesaktian yang amat luar biasa sehingga dia berhasil menyelamatkan ramandamu dari serbuan orang-orang jahat seperti yang kuceritakan padamu tadi. Engkau sudah pernah bentrok dengan Suminten. Hal ini amat berbahaya bagimu. Sekali Suminten menudingkan telunjuknya kepadamu, engkau akan dikeroyok dan ramandamu takkan dapat berbuat apa-apa karena ramandamu kini tidak pernah keluar dari dalam kamarnya. Tak ada seorang pun sahabat yang berani membelamu, Angger."
Pangeran Panji Sigit mengerutkan alisnya yang tebal.
"Habis, apakah yang harus hamba Iakukan, Kanjeng Ibu? Apakah menerima nasib dan berdiam diri saja?"
"Hanya ada satu jalan terbaik yang dapat kutunjukkan kepadamu, Puteraku. Pergilah engkau bersama isterimu ke Panjalu. Di Jenggala sendiri sudah tidak ada orang yang akan dapat menolong kerajaan.
(Lanjut ke Jilid 36)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 36
Panjalu sajalah yang akan dapat mengatasi keadaan. Pergilah menghadap uwa prabu di Panjalu dan ceritakan semua yang telah kaudengar dariku tadi. Di sana banyak terdapat orang-orang pandai, bahkan Adipati Tejolaksono pun kabarnya berada di Panjalu menjadi patih muda. Nah, ke sanalah tempat engkau mencari bantuan, Angger."
Pangeran Panji Sigit bukanlah seorang pemuda yang hanya menurutkan nafsu amarah. Mendengar nasehat ini ia dapat menerima, maka ia pun lalu berpamit dan pergilah ia bersama Setyaningsih menuju ke Panjalu. Setyaningsih juga merasa girang sekali karena mendengar bahwa Adipati Tejolaksono telah pindah ke Panjalu, dengan demikian dia akan mendapat kesempatan untuk berkunjung dan bertemu dengan mereka, terutama sekali dengan Pusporini yang sudah amat dia rindukan. Tidak ada halangan merintangi perjalanan sepasang suami isteri yang perkasa ini, dan perjalanan dilakukan dengan cepat.
-oo0dw0oo-
"Kalian berhati-hatilah. Ular itu bukan sembarang ular, melainkan ular yang sudah bertapa ratusan tahun lamanya. Sudah ribuan kali berganti kulit dan sudah banyak menerima cahaya sakti bulan dan matahari.
Batu mustika itu berada di dalam kepalanya, di atas lidah, tepat di antara kedua matanya. Mustika itu tidak ada gunanya bagi seekor ular, hanya menambah kebuasannya membahayakan mereka yang lewat di hutan itu, namun sebaliknya amatlah berguna kelak bagi kalian berdua. Aku sudah memberi ijin kepada kalian, pergi cari ular itu, bunu dia sebagai hukuman karena dia telah menelan tiga orang anak penggembala, dan ambil mutiaranya. Akan tetapi hati-hatilah!"
Demikian pesan Sang Resi Mahesapati kepada dua orang muridnya, Joko Pramono dan Pusporini. Telah tiga tahun lebih mereka berdua digembleng oleh guru mereka yang sakti mandraguna itu di puncak Gunung Kawi dan biarpun guru mereka ini tidak menurunkan ilmu baru, namun gemblengannya hebat luar biasa sehingga aji-aji yang telah mereka berdua miliki kini memperoleh kemajuan pesat sekali dan kekuatan sakti mereka menjadi berlipat ganda.
"Eyang Resi, untuk membunuh ular dan mengambil mustika di dalam kepalanya saja mengapa Eyang menyuruh dia ini ikut? Dia hanya akan menghalang-alangi pekerjaanku saja. Biar kulakukan sendiri, Eyang. Hamba berjanji akan membawa mustika ular itu kepada Eyang tanpa bantuan dial"
Kata Pusporini sambil melirik-lirik ke arah Joko Pramono.
Hatinya sedang kesal karena tadi pagi dalam latihan mempergunakan tenaga sakti memukul air, ternyata air telaga muncrat lebih tinggi ketika dipukul Joko Pramono dan pemuda itu sengaja mengejeknya.
"Wah-wah, coba Eyang Resi perhatikan, bukankah murid Eyang yang satu. ini makin lama makin sombong? Makin besar kepala!"
Joko Pramono juga menyerang marah.
"Apa? Kepalaku besar? Tidak sebesar kepalamu! Engkaulah yang sombong! Pagi tadi dia menyombongkan tenaganya dan mengatakan bahwa aku kalah kuat olehnya, Eyang Resi. Coba, bukankah dia yang sombong?"
"Aku kan bicara apa adanya?"
Bantah Joko Pramono.
"Aku pun bicara apa adanya. Memangnya aku membutuhkan bantuanmu untuk membunuh ular itu?"
"Wah aksinya. Melihat ular nanti ku rasa kau akan menjerit-jerit kegelian dan ketakutan!"
"Coba saja! Memangnya aku ini anak kecil? Sepuluh ekor ular ditambah engkau aku tidak takut!"
Sang Resi Mahesapati tertawa bergelak.
"Sudah, sudah......... ha-ha-hal....". Kalian ini seperti bocah-bocah nakal saja; Mendengarkan kalian bertengkar setiap hari, benar-benar membuat aku awet muda! Pertengkaran kalian itu membayangkan jiwa muda yang masih panas membara, semangat yang menyala-nyala dan......... dan......... ha-ha-ha, benar-benar lucu. Sekarang begini saja. Kalian berdua kuijinkan berlomba mencari dan membunuh ular Puspo Wilis itu. Siapa yang nanti membawa mustika dan menyerahkannya kepadaku, kuanggap lebih pandai!"
"Baik, hamba pamit mundur, Eyang!"
Pusporini menyembah lalu berkelebat, sekejap mata saja lenyap dari hadapan gurunya yang duduk di depan pondok bambu.
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo