Perawan Lembah Wilis 36
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 36
Kakek berambut putih itu mengangguk dan berkata lagi,suaranya masih penuh dengan kehalusan yang mencerminkan kesabaran yang sudah mendalam,
"Sama sekali tidak, Nini Bumigarba. Akan tetapi manusia terikat oleh kewajiban-kewajiban sebagai manusia, yang dinamai peri kemanusiaan dan saya hanyalah seorang manusia biasa yang tentu saja tak dapat melepaskan diri daripada ikatan kemanusiaan. Hidup dan mati berada di tangan Dewata,hal ini tak dapat disangkal lagi. Segala akibat adalah urusan dan tugas para dewata. Akan tetapi sebab-sebabnya berada di tangan manusia karena kewajiban untuk berikhtiar, untuk berjaga dan mengatur segala perbuatannya akan menjadi sebab timbulnya akibat. Empat orang muridku sudah mati, hal itu tidak saya ributkan karena saya mengerti bahwa kematian mereka sudah dikehendaki oleh Dewata. Akan tetapi, yang saya uruskan adalah sebab kematian mereka, karena sebab ini tentu diperbut oleh manusia! Andaikata empat orang muridku itu tewas dalam perang membela nusa bangsa, saya akan tersenyum puas karena sebab kematiannya adalah sebab yang luhur dan utama.Andaikata mereka tewas dalam membela kebenaran, hal itupun akan memuaskan hati. Akan tetapi, saya mendengar dari Ki Warok Surobledug ini bahwa empat orang murid saya mati secara sia-sia, tanpa sebab yang patut mereka tebus dengan nyawa. Sudah menjadi kewajiban saya sebagai guru mereka dan sebagai manusia untuk mengurus hal ini, Nini Burrugarba."
"Heh-he-he-he! Agaknya puluhan tahun andika bertapa hasilnya mendapatkan ilmu berdebat! Kematian murid-muridmu disebabkan oleh perbuatan muridku. Nah, dia berada di depanmu, kau uruslah dengan dia!"
Ki Ageng Kelud membungkuk kepada nenek itu.
"Terima kasih atas izin yang Paduka berikan, Nini Bumigarba."
Kemudian ia menoleh dan menghadapi Retna Wilis yang masih berdiri dengan sikap tenang dan tak bergerak-gerak.
"Nini, andika seorang dara yang masih remaja, masih bocah, harap andika suka memberi keterangan sejujurnya. Percayalah, aku adalah seorang tua yang tidak menurutkan nafsu hati dan sama sekali tidak ada nafsu amarah yang mendorongku menghadapimu.Katakanlah, mengapa andika membunuh empat orang muridku? Kalau memang mereka itu bersalah, yakinlah bahwa aku akan menerimanya dengan penuh pengertian dan keprihatinan."
Sampai lama Retna Wilis menatap wajah kakek itu dan Ki Ageng Kelud melihat betapa sinar mata dara itu mengandung hawa maut dan hawa dingin yang mendirikan bulu roma sehingga diam-diam kakek ini dapat menduga bahwa kelak tentu dara ini akan merupakan tokoh yang akan menggegerkan dunia, seperti gurunya di waktu muda.
Diam-diam ia memanjatkan doa kepada para dewata untuk keselamatan bocah ini sambil menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir yang berbentuk indah dan kemerahan itu.
"Ki Ageng Kelud, tidak ada apa-apa yang perlu diributkan. Empat ekor babi hutan yang menjadi muridmu itu pun tidak ada kesalahan apa-apa, hanya mereka itu minta mati dan aku meluluskan permintaan mereka. Apa sih anehnya?"
Ki Ageng Kelud terbelalak kaget. Dara itu masih bocah,akan tetapi jawabannya begitu dingin dan lebih menyeramkan daripada sikap dan kata-kata Nini Bumtgarba sendiri!
Dunia diancam malapetaka hebat yang merupakan diri bocah ini, pikirnya dan dia akan menghabiskan sisa hidup dan tenaganya untuk menentang ancaman bagi ketenteraman dunia ini.
"Nini, ceritakanlah. Bagaimana asal mulanya maka murid-muridku minta mati di tanganmu?"
Retna Wilis tidak sabar lagi, akan tetapi karena ia melihat betapa tadi gurunya melayani kakek ini, ia berpendapai bahwa kakek ini tentulah bukan orang sembarangan dan patut pula ia layani bercakap-cakap.Maka setelah menghela napas panjang ia berkata,
"Aku sedang memetik buah sawo ketika mereka datang.Yang paling muda memaksaku menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan menyuruh aku turun. Aku bilang bahwa mereka sebaliknya pergi saja karena kalau kesabaranku habis, mereka akan kubunuh. Yang paling muda itu nienertawakan aku dan menantang supaya aku membunuhnya. Nah, karena dia sendiri yang minta mati, aku lalu turun dan membunuhnya. Tiga orang kawannya marah-marah dan menyerangku. Kutanya apakah mereka juga ingin mati, dan mereka menjawab dengan serangan senjata mereka. Kuanggap mereka itu hendak berbelapati, maka aku turun tangan membunuhnya. Kemudian muncul kakek ini, akan tetapi karena dia tidak minta mati, aku pun tidak membunuhnya, hanya menyambitnya dengan buah sawo agar dia tidak menggangguku lagi."
Ki Ageng Kelud memandang dan tertegun. Bukan main! Dara ini liar dan ganas sekali dan ia dapat membayangkan peristiwa itu. Murid-muridnya tewas dalam keadaan penasaran. Dara seperti ini kalau tidak dibasmi, kelak akan merupakan malapetaka bagi manusia-manusia lain. Ia menghela napas panjang dan berkata,
"Nini Retna Wilis! Kalau aku si tua bangka ini minta mati di tanganmu, apakah engkau juga hendak membunuhku?"
Berkerut alis yang hitam menjelirit itu.
"Sesungguhnya aku bukan algojo tukang membunuh orang, Ki Ageng Kelud. Akan tetapi, kalau engkau menghendaki demikian dan berusaha membalas dendam kematian murid-muridmu, silahkan, aku tidak akan mundur selangkah, sekarang maupun kapan saja."
"Heh-he-heh, pertapa gemblung (pandir)! Andika berani bertanding melawan Retna Wilis muridku yang sakti mandraguna? Heh-heh-heh!"
Ucapan ini jelas merupakan ejekan, karena sesungguhnya amat memalukan kalau seorang tokoh besar seperti Ki Ageng Kelud bertanding melawan seorang dara remaja yang masih bocah!
"Saya bertindak membela kematian murid-muris saya,kalau Paduka hendak membela murid Paduka, dan berkenan menamatkan hidup saya, silahkan, Nini Bumigarba,"
Jawab kakek itu dengan suara halus. Ia maklum bahwa dia sama sekali bukanlah lawan Nini Bumigarba,akan tetapi kalau perlu, ia akan lawan juga,bukan hanya demi membalas kematian murid-muridnya,melainkan terutama sekali untuk menghalau bahaya yang mengancam ketenteraman dunia.
"Heh-heh, apa kau kira akan dapat mengalahkan muridku? Ki Ageng Kelud, kalau andika bisa mengalahkan Retna Wilis, berarti andika telah mengalahkan aku pula!"
Mendengar ini, Ki Ageng Kelud diam-diam terperanjat sekali. Ia makium bahwa Nini Bumigarba adalah seorang yang kesaktiannya sukar dicari tandingnya dan bahwa seorang dengan kesaktian seperti nenek itu tidak ada alasan untuk bicara besar, maka ucapannya tadi berarti bahwa semua aji kesaktian nenek itu telah diwariskan kepada muridnya ini!
Dia telah mendengar penuturan Ki Warok Surobledug akan kesaktian dara remaja itu yang amat luar biasa, dan kini ia baru benar-benar yakin bahwa dara ini merupakan lawan yang amat berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
"Bagus! Saya menyerahkan nyawa di tangan Dewata kalau saya gagal membasmi pengaruh buruk yang mengotorkan dunia. Nini, bersiaplah engkau!"
"Majulah, Ki Ageng Kelud, aku siap membunuhmu seperti yang kau minta!"
Kata Retna Wilis, sikapnya dingin dan sama sekali tidak kelihatan tegang, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi tantangan seorang lawan yang sakti.
Ketenangannya amat mengerikan sehingga Ki Warok Surobledug yang berdiri menonton di situ menjadi tegang dan merinding bulu tengkuknya. Biarpun dia sudah cukup yakin akan kesanggupan dan kedigdayaan Ki Ageng Kelud, namun kini ia merasa ragu apakah kakek yang dipujanya itu akan sanggup menandingi bocah yang tidak lumrah manusia, melainkan lebih tepat disebut wanita iblis ini.
Ki Ageng Kelud bersedakap dan menundukkan muka,mengheningkan cipta sejenak untuk berdoa kepada Dewata bahwa kini ia menghadapi sebuah pertandingan mati-matian tanpa pamrih untuk diri pribadi, tanpa dikendalikan nafsu, baik nafsu amarah maupun dendam, melainkan semata karena sadar dan yakin bahwa jika dara berwatak iblis ini tidak dibasmi, kelak akan mendatangkan malapetaka bagi manusia.
Setelah ia mengangkat muka lagi, sepasang matanya mengeluarkan sinar bersemangat,kemudian ia melangkah maju menghampiri Retna Wilis.
Dara sakti itu memandang tak acuh,kemudian tubuhnya berkelebat maju dan tangan kirinya menampar secara sembarangan. Biarpun gerakannya sembarangan saja, namun di dalam kesederhanaan ini terkandung kekuatan dahsyat, seperti dahsyatnya pukulan ombak samudera menghamtam karang yang kelihatannya juga sembarangan saja namun dapat menggetarkan gunung karang! Ki Ageng Kelud dapat merasa datangnya angin pukulan hawa sakti yang terbawa oleh tamparan itu. Ia menjadi kaget dan kagum sekali.
Dalam detik itu maklumlah ia mengapa empat orang muridnya bukan lawan dara ini yang sesungguhnya memiliki tangan yang ampuhnya menggila.
Namun, sebagai seorang tokoh tua, ia merasa tidak semestinya mengelak seperti orang takut menghadapi tamparan pertama lawannya yang masih bocah, maka dengan niat mencoba dan mengukur tenaga, Ia mengangkat lengan kanannya menangkis.
"PlakkI"
Dua tenaga sakti bertemu melalui kedua lengan itu dan akibatnya, Retna Wilis dipaksa melang-kah mundur tiga tindak, akan tetapi di, lain fihak, kakek itu terhuyung ke belakang sampai tubuhnya mendoyong miring.
Makin kagetlah Ki Ageng Kelud. Kini ia yakin bahwa tenaga sakti dara itu benar-benar hebat dan dia tidak perlu menaruh sungkan lagi karena biarpun masih bocah, namun dara ini merupakan lawan paling tangguh yang pernah ia hadapi.
Cepat ia mengatur keseimbangan tubuhnya dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang ke atas dan bagaikan seekor burung garuda, ia telah menubruk dengan kedua lengan dipentang dan kedua tangan seperti sepasang cakar garuda mencengkeram ke arah pundak dan ke-pala Retna Wilis.
Hebat bukan main serangan balasan kakek ini. Ki Ageng Kelud memiliki sebuah ilmu yang amat dahsyat, ciptaannya sendiri selama dia bertapa di Gunung Kelud sampai puluhan tahun lamanya, ilmu yang belum pernah ia ajarkan kepada murid-muridnya karena selain terlalu dahsyat, juga ilmu ini amat sukar dipelajari, membutuhan tenaga sakti yang sudah mencapai puncak tinggi.
Ilmu ini disebut Garuda Manang yang ia ciptakan dari gerakan seekor burung garuda yang sedang marah karena sarangnya yang berada di puncak randu alas digerumut seekor ular. Menyaksikan gerakan garuda menyambar-nyambar dan akhirnya membunuh ular besar itu menimbulkan ilham bagi kakek sakti ini sehingga ia berhasil mencipta sebuah, gerak silat yang selain dahsyat, juga amat sukar dipelajari, yaitu Aji Garuda Manang. Kini, menghadapi seorang lawan yang ia tahu amat tangguh, tanpa meragu lagi kakek ini menggunakan ilmu yang sudah dilatih masak-masak namun belum pernah ia pergunakan dalam pertandingan itu.
Retna Wilis adalah seorang dara gemblengan yang luar biasa, digembleng oleh seorang manusia yang memiliki kesaktian tidak lumrah, akan tetapi dia masih-belum berpengalaman, amat percaya kepada diri sendiri dan tidak mengenal takut, juga tidak memandang sebelah mata kepada lawan yang mana pun juga. Kini, menghadapi terjangan Ki Ageng Kelud yang tubuhnya melayang di udara itu, Retna Wilis tidak bergerak, tidak menangkis tidak mengelak, melainkan diam menanti datangnya serangan sambil mengerahkan A ji Argoselo yang membuat tubuhnya kokoh kuat dan kebal seperti batu gunung atau batu karang yang sanggup menerima hantaman ombak samudera.
"Desss..........!!"
Betapapun sudah teguh dan bulat tekat di hati Ki Ageng Kelud untuk menewaskan gadis yang dianggapnya merupakan ancaman bagi ketenteraman dunia itu, namun hati kakek ini sudah penuh dengan welas asih yang dipupuknya selama puluhan tahun.
Oleh karena itu, melihat Retna Wilis tidak mengelak maupun menangkis terjangan yang dahsyat, ia terkejut sendiri dan otomatis, timbul dari sifat welas asihnya, ia merubah cengkeramannya, tidak menyerang kepala melainkan mencengkeram kedua pundak dara itu.
Akan tetapi, terjangannya yang dahsyat itu tertumbuk dengan tubuh yang keras dan kebal melebihi baja dan yang mengeluarkan tenaga dahsyat pula menggempur tenaganya sendiri. Tubuh Retna Wilis hanya bergetar dan berguncang seperti batu karang diterjang ombak, sebaliknya, seperti air laut pula tubuh Ki Ageng Kelud terpelanting dan roboh terguling-guling!
Retna Wilis yang merasa betapa tubuhnya tergetar hebat sehingga ia harus mengerahkan seluruh hawa sakti di tubuhnya agar jangan roboh, menjadi terkejut juga dan timbullah kemarahannya yang ditahan-tahan. Baru sekali ini ia merasakan serangan yang demikian dahsyatnya, dan hal ini membuat hatinya penasaran. Ketika melihat tubuh lawan bergulingan dan wajah kakek itu menjadi, pucat, ia mengeluarkan pekik melengking, dan menerjang maju, menggunakan tumit kaki kanannya untuk menginjak hancur kepala kakek itu!
Ki Ageng Kelud maklum akan datangnya ancaman maut, cepat ia yang masih pening menggulingkan diri mengelak dan kaki Retna Wilis amblas memasukl tanah sampai sebetis dalamnya! Dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau kaki yang mengandung kekuatan itu tadi mengenai kepala Ki Ageng Kelud, tentu akan remuk dan pecah berantakan. Ki Ageng Kelud cepat melompat bangun, menggoyang kepalanya mengusir kepeningan sambil siap-siap menghadapi lawannya yang amat tangguh itu.
"Hi-hi-hik, sebentar lagi engkau mampus, pertapa tua!"
Terdengar Nini Bumigarba tertawa mengejek, hatinya girang menyaksikan kehebatan sepak terjang muridnya.
Mendengar suara gurunya ini, Retna Wilis "mendapat hati"
Dan segera ia memekik lagi sambil menerjang dengan gerakan cepat sekali. Bagi mata biasa, tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan berputaran yang membawa debu beterbangan, sedangkan bagi pandang mata Ki Ageng Kelud, ia melihat betapa gerakan tubuh dara itu amat cepatnya, berputaran dengan kedua lengan dikembangkan dan dari putaran tubuhnya itu melancarkanlah pukulan-pukulan yang dahyat dan mendatangkan angin berpusingan. Inilah Aji Pancaroba yang hebatnya seperti amukan angin taufan!
Maklum akan hebatnya serangan ini, Ki Ageng Kelud bersikap tenang dan mencurahkan segenap tenaga dan kepandaiannya untuk bertahan dan membela serta melindungi dirinya. Untung bahwa ia seorang tokoh yang berpengalaman dan gerakannya mantap dan tenang, kalau tidak tentu dia tidak akan dapat bertahan lama menghadapi Aji Pancaroba yang hebatnya bukan main ini.
Betapapun juga, dia segera terdesak dan terus mundur-mundur dan berputaran, sama sekali tidak lagi mampu membalas. Dia sudah tua, tenaganya sudah banyak berkurang dan napasnya tidak sepanjang puluhan tahun yang lalu, daya tahannya berkurang.
Sebaliknya, Retna Wilis makin lama makin hebat dan cepat gerakannya. Kalau kakek ini berhasil menyusupkan satu dua pukulan, tubuh Retna Wilis menahannya dan sama sekali tidak merasai pukulan itu, seolah-olah dipijat tangan lunak saja. Sebaliknya, setiap kaki tangan dara itu menyerempet pundak atau bahu, tubuh kakek itu tergetar dan terhuyung-huyung.
Ki Ageng Kelud terdesak hebat, setiap saat tentu roboh dan terdengarlah Nini Bumigarba terkekeh-kekeh mentertawakan kakek itu. Ki Warok Surobledug berdiri dengan muka pucat, maklum bahwa sebentar lagi tentu ia akan menyaksikan pertapa yang dijunjungnya tinggi-tinggi itu rebah tak bernyawa. Dia menjadi gelisah dan bingung, hendak membantu maklum bahwa tenaganya tidak ada artinya bahkan merupakan bunuh diri, tidak membantu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Kekhawatiran Ki Warok Surobledug segera terjadi. Ketika tubuh Ki Ageng-Kelud untuk ke sekian kalinya terhuyung oleh dorongan angin pukulan dahsyat, Retna Wilis memekik dan mengirim pukulan dengan jari tangan ke arah muka kakek itu. Ki Ageng Kelud berusaha mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik kepala ke belakang akan tetapi jari-jari tangan yang lunak halus dan kecil menyambar cepat dan menimpa pundak kirinya.
"Krekkk..........!"
Remuklah tulang pundak Ki Ageng Kelud dan tubuh kakek itu terguling. Retna Wilis menubruk maju mengirim pukulan maut ke arah kepala kakek itu yang sudah meramkan matanya menanti datangnya maut sambil tersenyum tenang. Juga Ki Warok Surobledug meramkan mata, tidak tahan menyaksikan kematian kakek itu.
"Ganas..........!"
Suara ini perlahan dan halus, dibarengi bayangan putih seperti asap datang bertiup dan tahu-tahu tubuh Retna Wilis terdorong ke belakang seperti ditiup angin yang tak tertahankan saking kuatnya. Seluruh tubuh dara ini menggigil ketika ia merasa betapa pukulannya tadi bertemu dengan telapak tangan halus yang membuat hawa saktinya seolah-olah tenggelam ke dalam lautan yang dingin melebihi ampak-ampak!
Ketika ia dapat menguasai dirinya dan memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek yang amat tua, berpakaian serba putih, berambut dan berkumis jenggot panjang putih pula, wajahnya tertutup uap bersinar putih dan kakek ini berdiri tak bergerak seperti sebuah arca. Akan tetapi dia bukan arca karena pada saat itu, kakek itu berkata kepada Ki Ageng Kelud,
"Ki Ageng dan Ki Warok, sebaiknya andika berdua kembali ke tempat andika."
Ki Ageng Kelud biarpun sudah remuk tulang pundaknya, namun dengan kekuatan batinnya dapat mengatasi rasa nyeri. Sejenak ia memandang ke arah wajah yang terselimut uap putih, kemudian berkata lirih penuh hormat,
"Omm......sadhu-sadhu-sadhu..........
"
Ia berdiri menyembah lalu membalikkan tubuhnya, mengangguk kepada Ki Warok Surobledug yang tadi terpesona dan terbelalak, sambil menahan nafas lalu mengikuti Ki Ageng Kelud. Setelah mereka pergi jauh sehingga tak tampak lagi dari tempat itu, sambil terengah-engah Ki Warok Surobledug bertanya,
"Paman panembahan...dia.... dia itu siapakah? Dewatakah"".?"
Ki Ageng Kelud menghela napas panjang dan menggeleng kepala.
"Dia manusia biasa, manusia yang terlalu biasa, manusia wajar.......... manusia sejati..........
"
Ki Ageng Kelud tidak bicara lagi, di dalam hatinya ia dapat menduga siapa gerangan kakek yang luar biasa tadi, namun mulutnya tidak kuasa menyebut namanya karena hatinya yang penuh dengan keharuan membuat lehernya tercekik, mulutnya terkancing.
Sementara itu, Retna Wilis yang telah berhasil menguasai dirinya, memandang kakek itu dengan alis berkerut. Hatinya panas dan penuh penasaran, juga tidak puas. Siapakah orang ini yang berani menentangnya, berani menggagalkan pukulan mautnya? Bahkan berani seenaknya saja menyuruh pergi dua orang kakek tadi? Seluruh urat syarat di tubuhnya menegang, dan ia sudah siap untuk
menerjang kakek yang lancang ini.
Tadinya ia tidak dapat melihat muka yang tertutup halimun putih, akan tetapi setelah ia mengerahkan hawa sakti dari pusarnya, disalurkan kepada pandang matanya, ia dapat menembus halimun atau uap putih itu dan tampaklah dengan jelas wajah seorang pria yang tampan.
Wajah yang membayangkan kesabaran tiada batasnya, dengan sepasang mata yang seperti mata bayi baru dapat melek, begitu indah dan. tanpa pencerminan perasaan sedikitpun, wajar dan tulus.
Tiba-tiba Nini Bumigarba meloncat maju, wajah nenek itu tidak seperti biasanya, tampak beringas penuh kemarahan, sepasang matanya menyorotkan kekejaman seolah-olah ia hendak menelan hidup-hidup kakek di depannya itu. Kemudian ia menudingkan telunjuknya kepada kakek itu dan berkata dengan suara serak dan kasar.
"Ekadenta! Engkau benar-benar seorang yang keterlaluan sekali! Telah puluhan tahun aku mencuci tangan, tak pernah mengganggumu, akan tetapi engkau selalu menjadi batu penghalang bagiku! Setelah aku mengasingkan diri di tempat sunyi ini, engkau masih saja menggangguku!"
Kakek itu diam saja, hanya memandang dengan sinar matanya yang lembut penuh welas asih dan penuh pengertian. Ketika Retna Wilis mendengar suara gurunya, ia terkejut bukan main. Jadi dia inikah yang bernama Ekadenta?
Inikah musuh besar gurunya dan murid orang inikah yang kelak harus ia kalahkan? Mengapa harus menanti sampai bertemu muridnya?
Gurunya pun dia tidak gentar untuk menandinginya. Kini musuh ini telah membikin marah gurunya pula, maka dengan suara pekik melengking dahsyat, Retna Wilis sudah meloncat maju dan tangannya telah menyambar segenggam pasir, kemudian ia mengerahkan aji kesaktiannya, menggenggam pasir sampai pasir itu menjadi hitam kebiruan lalu menyambitkan pasir itu ke arah muka si kakek disusul terjangannya dengan Aji Pancaroba!
Itulah Aji Pasir Sekti yang amat mengerikan karena pasir yang digenggamnya tadi telah berubah menjadi pasir berbisa. Jangankan sampai melukai daging, baru mengenai kulit saja dapat menimbulkan keracunan yang merenggut nyawa.
AJI Pasir Sekti yang sedemikian ampuhnya masih ia susul dengan serangan Aji Pancaroba dan pukulan-pukulan maut, sungguh sekali ini Retna Wilis mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ia bermaksud untuk sekali terjang merobohkan kakek itu di depan kaki gurunya!
Akan tetapi suara pekik nyaring mulutnya berubah teriakan kaget dan kesakitan. Pasir-pasir hitam itu telah runtuh sebelum mengenai tubuh si kakek, bahkan terjangannya sendiri bertemu dengan tenaga tak tampak yang melindungi kakek itu dalam jarak tiga kaki! Tubuh Retna Wilis terbanting sehingga kulit sikunya babak serta daging pinggulnya terasa panas sesenutan.
Ia tak dapat lagi menguasai hatlnya yang marah. Begitu bangkit, dara remaja ini menerjang lagi, menghantam dengan kedua tangan bertubi-tubi. Akan tetapi kembali ia terpelanting karena tubuhnya bertemu dengan tenaga tak tampak.
Berkali-kali ia bangkit lagi dan mengirim serangan seperti menggila, namun selalu ia terpelanting dan terbanting jatuh ke atas tanah, padahal kakek itu sedikitpun tidak bergerak, hanya memandang kepadanya dengan senyum dan sinar mata penuh ibat Retna Wilis hampir menjerit-jerit saking marahnya dan ia terus bangkit dan menerjang lagi.
Tiada bedanya dengan seekor ayam menyerang ayam lain yang berada dalam kurungan. Setiap kali menerjang dari luar, sebelum menyentuh ayam di dalam, telah bertumbukan dengan kurungan dan terpelanting jatuh.
"Retna Wilis, mundurlah!"
Tiba-tiba Nini Bumigarba berseru.
Retna Wilis masih penasaran, akan tetapi dia pun maklum bahwa dia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap musuh gurunya yang benar-benar luar biasa ini, maka ia lalu mundur dengan muka merah. Ia masih tidak mau menerima kalah dan andaikata tidak ada gurunya yang menyuruhnya mundur, tentu ia akan menyerang terus sampai lawannya roboh atau sampai dia sendiri yang roboh kehabisan tenaga dan napas!
"Ekadenta, tidak malukah engkau tua bangka menghina orang muda?"
Nini Bumigarba menghardik dengan sikap seperti seekor ayam biang membela anaknya.
Kakek itu menoleh dan membalikkan tubuhnya kepada Nini Bumigarba, lalu terdengar suaranya.
"Sarilangking, tidak ada yang menghina atau terhina. Aku hanya mencegah kesesatan yang lebih parah. Mengapa engkau menjadikan dia seperti itu? Apa gunanya bagi dunia dan manusia?"
"Wah-wah, sombongnya si kepala batul Aku menggembleng muridku sendiri, apa sangkut -pautnya denganmu? Engkau sendiri juga telah menggembleng seorang murid! Aku hanya menandingimu karena dialah yang kelak akan menandingi muridmu. Suruh dia ke sini, kita adu mereka. Hayoh, kita sama lihat siapa di antara murid kita yang lebih digdaya!"
Kakek itu menggeleng kepalanya.
"Sari, sungguh sayang sampai kini engkau masih belum mau berusaha untuk berpaling ke arah kebenaran. Aku mendidik seorang murid untuk mewakili aku, menyumbangkan tenaga demi untuk kebahagiaan manusia, demi untuk ketenteraman hidup, demi untuk menentang kejahatan."
"Benar! Aku yang jahat dan harus ditentang, ya? Aku tidak menyangkal! Aku malah sebaliknya darimu. Muridku akan mewakill aku, merusak kebahagiaan manusia sombong macam engkau, mendatangkan kekacauan untuk meramaikan dunia, dan menentang manusia-manusia yang menganggap diri suci dan baik!"
"Muridku akan berusaha membawa penerangan bagi manusia "
"Dan muridku akan membawa kegelapan!"
"Muridku akan mewakili kebajikan
"Dan muridku akan menjadi ratu kejahatan!"
"Sari, mengapa engkau tidak mau sadar juga? Lupakah engkau bahwa kita ini hanyalah manusia-manusia biasa, manusia yang tidak dapat menguasai mati hidupnya sendiri? Sari, ingatlah, betapa ketika kita dilahirkan, kita tanya bisa menangis, itu pun terjadi di luar kehendak kita? Kita lahir kecil dan lemah, tanpa pikiran, tanpa kehendak, tanpa pendapat, hanya menyerahkan diri di luar kesadaran, hanya bergerak sesuai dengan kehendak Hyang Widi Wisesa. Kita dikurniai segala perlengkapan, sampai pengertian dan akal budi, akan tetapi mengapa semua itu membuat kita lupa akan asal mula diri kita? Sari, kaulihatlah baik-baik. Kau pandanglah aku dan kau..... sadarlah..... Sari!"
Nenek itu tidak menjawab, hanya memandang bagaikan kena pesona. Sampai lama mereka berpandangan, maka nenek itu makin lama makin terbelalak lebar, penuh takjub, penuh kagum, penuh takluk dan takut, kemudian nenek ini menjatuhkan diri berlutut, menyembah dan menangis!.
"Ekadenta......... aku......... aku......... terlampau jauh tersesat......... aku hanyut......... tolonglah aku, Ekadenta....
"
Kakek itu melangkah perlahan-lahan, seakan-akan tidak memperdulikan nenek itu, mulutnya mengeluarkan suara seperti orang bertembang, halus dan merdu, seperti bisikan angin lalu,
"Yang pahit dan getir itu banyak manfaatnya, yang manis dan lezat itu banyak bahayanya. Namun manusia membenci yang pahit getir, tergila-gila kepada yang lezat manis. Akibatnya, banyak derita duka nestapa. Tak baik terpengaruh oleh keindahan lahir, kupaslah kulit dan periksa isi karena kulit yang buruk menyembunyikan isi yang berguna, sebaliknya kulit yang indah seringkali menyembunyikan isi yang tak berguna."
Perlahan-lahan Nini Bumigarba bangkit dan melangkah pula mengikuti Bhagawan Ekadenta. Kakek itu berjalan di depan sambil bertembang nenek itu melangkah di belakangnya, mata memandang jauh ke depan seperti orang dalam mimpi. Mereka berdua berjalan terus menuju ke laut!
"Eyang......... Retna Wilis berseru perlahan, akan tetapi gurunya sama sekali tidak menjawab, menoleh pun tidak. Mereka berdua kini telah tiba di pantai yang disentuh ombak, akan tetapi keduanya berjalan terus, seolah-olah tidak meiihat gelombang yang datang dari depan.
"Eyang.........!!"
Kini Retna Wilis menjerit keras dan meloncat maju mengejar gurunya.
Akan tetapi ia berdiri terbelalak di pinggir laut, membiarkan air laut bermain di kakinya sampai setinggi lutut. Ia tidak merasa ini semua karena sedang terpesona memandang ke selatan, memandang tubuh kakek dan nenek itu yang terus melangkah dengan tenangnya, melangkah di atas gelombang laut kidul yang datang bergulung-gulung!
Retna Wilis berdiri tanpa berkedip memandang dua orang itu yang terus melangkah seakan-akan mereka itu sedang berjalan -jalan di dalam taman saja. Kadang-kadang ombak menggunung menutup mereka, dan kadang-kadang mereka muncul lagi. Mereka terus bergerak ke selatan sampai akhirnya bayangan mereka lenyap di antara gelom bang lautan yang makin bergelora.
Retna Wilis menahan isak saking kagum, terharu dan juga terheran-heran. Kemudian baru ia merasa betapa air telah membasahi kainnya sampai ke paha, maka cepat ia menjauhi air dan duduk di atas pasir, termenung memandang ke arah selatan, mengharapkan sewaktu-waktu gurunya akan muncul dari selatan.
Ia ingin sekali mengetahui apa yang tampak oleh gurunya ketika memandang kakek itu, dan mengapa gurunya lalu berlutut dan takluk, kemudian ia ingin tahu ke mana dua orang sakti itu pergi. Namun, selamanya hal ini takkan pernah dapat dijawabnya, takkan pernah dapat dijawab oleh siapa pun juga kecuali oleh manusia-manusia yang telah terbuka mata batinnya akan hakekat hidup.
Retna Wilis termenung sampai lama di. tepi laut, kemudian sadar bahwa gurunya takkan kembali lagi, sadar bahwa dia kini berada seorang diri di atas permukaan dunia ini. Hatinya mengeras, keberaniannya timbul dan ia lalu mengingat-ingat apa yang dipesankan gurunya.
Hawa Wisalangking telah berada di tubuhnya dan menurut pesan gurunya, ia harus melatih diri, melatih aji kesaktian Wisalangking, cara mempergunakannya seperti yang telah diterangkan gurunya. Dan ia harus pula mengambil pedang Sapudenta dari dalam guha di bawah permukaan air laut. Kemudian, setelah ada tanda lenyapnya bintang di atas puncak Gunung Cengger Jago, ia harus meninggalkan pantai ini dan pergi ke Wilis.
Retna Wilis membulatkan tekadnya dan mulailah ia berlatih Aji Wisalangking yang amat dahsyat. Aji kesaktian ini adalah aji yang paling dahsyat di antara semua ilmu yang dipelajarinya dari Nini Bumigarba. Setahun kemudian, ia telah dapat melatih ilmu itu dengan baik, sungguhpun belum sempurna benar, namun ia sudah dapat menguasai hawa Wisalangking di tubuhnya.
Menurut petunjuk gurunya, sesuai dengan cita-cita gurunya dahulu untuk mengalahkan Ekadenta dengan Aji Wisalangking ditambah penggunaan pedang Sapudenta, Retna Wilis lalu mendatangi pantai di sebelah barat. Ia sudah tahu di mana adanya air ulekan di bawah karang Kukura, yaitu batu karang di mana agaknya menjadi sarang binatang kura-kura raksasa karena kura-kura raksasa yang mendarat untuk bertelur selalu muncul dari air ulekan ini. Setelah ia tiba di pantai itu, ia berdiri memandang air yang berpusing itu dengan hati penuh gairah.
Retna Wilis maklum bahwa sekuat-kuatnya tenaga manusia, tak mungkin akan dapat melawan air berpusing seperti itu. Bagian ini merupakan teluk kecil yang bentuknya bundar, sehingga ombak yang bergelombang datang memasuki teluk kecil ini, airnya berputar dan membentuk pusingan air yang
(Lanjut ke Jilid 44)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 44
hebat dan kuat. Dan dia diharuskan terjun menyelam karena guha di mana tersimpan pedang pusaka Sapudenta terdapat di bawah batu karang Kukura yang ia injak sekarang, berada di dinding karang yang tertutup air yang kadang-kadang tenang apabila ombak berhenti menderu.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Retna Wilis tidak merasa ngeri menyaksikan air berpusing itu. Semenjak berada di situ, ia seringkali bermain-main dengan air dan ombak, menggoda ikan-ikan hiu yang ganas dan dia merupakan seorang ahli renang yang kuat, kuat menahan napas dan dapat membuka mata di dalam air sehingga dapat melihat ikan-ikan di bawah permukaan air.
Memang belum pernah ia mandi di bawah karang Kukuran ini karena tempat itu memang berbahaya, akan tetapi sedikit pun tidak ada rasa takut di hatinya ketika Retna Wilis berdiri di atas batu karang, siap untuk terjun. Dia sudah meraba-raba bajunya seperti biasa kalau hendak mandi di laut, hendak membuka pakaiannya. Akan tetapi ketika teringat akan sesuatu, ia menghela napas dan tidak melanjutkan gerakan jari tangannya.
Semenjak ia melatih Wisalangking, bahkan semenjak ia menerima pemindahan hawa Wisalangking dari gurunya, ia menjadi malu kepada diri sendiri untuk bertelanjang bulat seperti biasa.
Dahulu, sebelum ia memiliki aji lesaktian itu, tubuhnya berkulit putih kuning dan mulus tanpa cacad. Akan tetapi semenjak ia memiliki hawa Wisalangking, la melihat betapa kulit di sekeliling pusarnya diliputi lingkaran warna menghitam! Ia merasa malu dan tak senang dengan cacad ini, akan tetapi betapapun ia berusaha, lingkaran warna menghitam di sekeliling pusarnya itu tak dapat lenyap.
Karena itu pula dia sekarang tidak jadi membuka pakaiannya dan setelah menarik napas, menghimpun hawa segar ke dalam rongga dadanya, dara perkasa ini membelitkan sarungnya ke belakang, mengikatnya kemudian meloncat terjun ke dalam air!
Begitu tubuh dara itu menyentuh air, langsung ia dicengkeram oleh pusaran air dan Retna Wilis cepat menjungkirkan tubuhnya, menyelam mempergunakan gerakan kaki tangannya dengan sekuatnya. Namun, kembali ia dikuasai oleh air berpusing dan betapapun ia melawan, tetap saja tubuhnya dihanyutkan oleh tenaga sakti yang tak mungkin dapat ia lawan. Betapapun saktinya, Retna Wilis adalah seorang manusia dan manusia ditakdirkan hidup di darat sehingga dalam melawan pusaran air, dara yang sakti mandraguna itu akan kalah jauh dibandingkan dengan seekor ikan kecil.
Sampai pening rasa kepala Retna Wilis karena tubuhnya hanyut dan dibawa berputar terus, makIn diseret ke bawah di mana pusingan air itu menjadi makin kuat. Dia maklum bahwa kalau tidak segera dapat melepaskan diri dari pusingan air, ia akan terancam bahaya maut, yaitu dapat terbanting pada batu karang dengan kekuatan yang amat dahsyat.
Maka ia cepat mengerahkan seluruh tenaga, menahan kekuatan dahsyat itu dart matanya terbelalak memandang melalui air yang sudah mulai gelap karena pusingan air membawanya sampai dalam.
Tiba-tiba ia melihat bayangan seekor kura-kura raksasa lewat. Kura-kura ini hanya sedikit saja terpengaruh oleh pusingan air karena tentu saja dalam hal bermain di air, dia seratus kali lebih pandai daripada Retna Wilis! Kura-kura adalah seekor binatang yang tidak buas, tidak suka menyerang manusia apabila tidak diganggu, dan tidak suka pula makan daging manusia. Dia mendekati Retna Wilis hanya karena tertarik melihat benda aneh yang bergerak"gerak melawan pusingan air.
Akan tetapi, begitu binatang ini lewat dekat, kedua lengan Retna Wilis menyambar ke depan dan ia berhasil merangkap dua kaki belakang kura"kura itu yang menjadi terkejut sekali dan meronta sekuatnya.
Sia-sia saja usahanya ini karena kedua tangan Retna Wilis sudah mencengkeramnya dengan kekuatan yang luar biasa, bahkan gadis itu dapat terus merayap dan menerkam binatang itu di atas punggungnya, bertelungkup dan merangkul leher binatang itu dengan kedua lengan! Kura-kura itu menyelam dan menjungkir-balikkan tubuhnya dalam air, namun Retna Wilis tetap berada di punggungnya, bahkan kini dara perkara itu mencekik leher kura-kura sehingga binatang itu akhirnya tidak meronta lagi, maklum bahwa makluk yang berada di punggungnya itu amat kuat.
Ia hanya berenang menjauhi pusaran air karena dalam keadaan tidak berdaya dalam cengkeraman mahluk kuat di punggungnya itu, pusaran air menjadi berbahaya baginya.
Retna Wilis yang masih menelungkup di punggung kura"kura raksasa menjadi lega setelah kura-kura itu menjadi jinak, maka ia lalu menggunakan tangannya menekuk leher kura-kura ke arah kiri. Kura-kura itu kesakitan dan otomatis membelok ke kiri untuk menyelamatkan lehernya. Dengan demikian, dara itu kini dapat "menyetir"
Binatang raksasa itu menuju ke bawah karang Kukura.
Dengan kekuatan pandang mata dan dengan rabaan tangan kiri, akhirnya Retna Wilis berhasil menemukan guha dan ketika kura-kura itu membawanya memasuki guha, ternyata bahwa guha itu penuh dengan kura-kura besar!
Terbuktilah dugaannya bahwa tempat itu memang menjadi sarang kura-kura. Ada beberapa ekor kura-kura yang dengan gerakan ganas datang menyerang, akan tetapi dengan dorongan tangan kirinya Retna Wilis membuat beberapa ekor kura-kura ini terjengkang sehingga akhirnya mereka menjadi ketakutan dan berenang menjauhkan diri, keluar dari dalam guha.
Retna Wilis turun dari punggung kura-kura dan binatang ini yang ternyata merupakan kura-kura terbesar di situ, mendekam di sudut, agaknya dia mulai jinak dan maklum bahwa manusia yang sakti itu tidak berniat jahat, buktinya tidak membunuhnya.
Retna Wilis cepat mencari dan dengan mudah menemukan peti kecil panjang yang terjepit di sela-sela batu karang dalam guha. Ia menarik peti kecil itu, membuka dan matanya silau menyaksikan sebatang pedang yang indah di dalam peti, pedang yang tertarik sedikit gagangnya sehingga tampak sedikit mata pedang yang putih mengkilap.
Tanpa membuang waktu, ia mengambil pedang yang sudah lengkap dengan sarung pedang dan talinya itu, mengalungkan talinya di pundak sehingga pedang itu berada di punggungnya. Kemudian ia menghampiri kura-kura raksasa dan naik lagi ke punggungnya. Dengan menepuk-nepuk kepala kura-kura, binatang ini berenang keluar dan seperti tadi, Retna Wilis mengemudikan binatang ini sampai dapat melalui pusaran air dan timbul di permukaan air dengan selamat.
Retna Wilis cepat menghirup napas, menyedot hawa segar dan duduk bersila di atas punggung kura-kura.
"Kukura, bawa aku mendarat!"
Teriaknya riang dan kura"kura itu cepat meluncur ke pantai.
Dengan wajah berseri Retna Wilis membiarkan dirinya dibawa kura-kura raksasa itu ke pantai, duduk bersila dengan tenangnya, dengan pedang di punggung, gagah perkasa dan cantik jelita seperti dewi laut. Kalau ada orang melihat dara ini duduk bersila di atas punggung kura-kura raksasa, muncul dari dalam laut, tentu orang itu takkan ragu-ragu mengatakan bahwa dia telah melihat dewi atau peri penjaga Segoro Kidul!
Setelah Retna Wilis meloncat turun, kura-kura itu dengan gerakan lamban berjalan atau merangkak kembali ke air, menoleh satu kali memandang ke arah Retna Wilis, kemudian menyelam ditelan ombak mendatang. Retna Wilis melambaikan tangan sambil tertawa.
"Terima kasih, Kukura!"
Mulai hari itu, Retna Wilis lalu makin tekun melatih diri, kini ia menggerakkan dan mainkan pedang pusaka Sapudenta yang memiliki sinar putih seperti perak dalam latihan-latihannya sesuai dengan pelajaran yang ia terima dari Nini Bumigarba.
Kalau ada orang melihat dari jauh ketika dara ini sedang berlatih pedang, tentu akan mengira bahwa di pantai itu ada kilat menyambar-nyambar karena pedang itu ketika dimainkan dengan dorongan tenaga sakti Wisalangking, berkelebatan seperti kilat menyambar, mengeluarkan sinar putih menyilaukan mata.
Setiap malam Retna Wilis tak pernah lupa untuk memandang ke angkasa, ke atas gunung yang berbentuk cengger jago, dan setiap kali melihat bintang Icehijauan masih bersinar-sinar di angkasa, ia menghela napas dan merasa menyesal bahwa waktunya belum tiba untuk meninggalkan tempat itu. Setelah gurunya tiada, dara ini merasa kesepian dan bosan tinggal seorang diri di situ.
Akan tetapi ia selalu taat akan pesan gurunya dan ia tiada akan meninggalkan pantai itu sebelum ada tanda yang dipesankan gurunya, yaitu lenyapnya bintang kehijauan yang menjadi lambang kejayaan kekuasaan yang mencengkeram Jenggala di waktu itu.
Kita tinggalkan dulu dara perkasa Retna Wilis yang setiap malam menanti datangnya tanda seperti yang dipesankan gurunya dan mari kita menjenguk keadaan di Jenggala sendiri. Telah dituturkan di bagian depan bahwa Pangeran Panji Sigit bersama isterinya Setyaningsih, telah tinggal di Jenggala, di lingkungan istana. Juga Pusporini dan Joko Pramono tinggal di istana Jenggala.
Mereka, empat orang muda perkasa ini, gagal dalam penyelidikan mereka tentang diri Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wilis. Kemudian mereka lebih menujukan perhatian mereka terhadap keadaan di Jenggala dan bertekad untuk membantu perjuangan dari Panjalu yang dipimpin oleh Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Tejolaksono, yaitu untuk membebaskan sang prabu dan Kerajaan Jenggala dari cengkeraman persekutuan jahat yang telah mereka ketahui siapa orang-orangnya itu. Makin jelaslah kini bagi Pangeran Panji Sigit dan isterinya, juga Pusporini dan Joko Pramono, akan keadaan di kerajaan ini.
Sang prabu yang sudah tua itu benar-benar telah terlalu dalam tenggelam dan semua kekuasaan telah dicengkeram oleh Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama. Empat orang muda ini maklum bahwa persekutuan ini amat licin dan cerdik, tidak memperlihatkan kekuasaan namun sudah mutlak mengoper kekuasaan Jenggala di tangan mereka sehingga kalau sewaktu-waktu sang prabu yang sudah tua itu meninggal, otomatis Pangeran Kukutan yang menggantikan menjadi Raja Jenggala, Ki Patih Warutama tetap menjadi patih, dan Suminten menjadi ibusuri!
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa untuk menyelamatkan kerajaan harus dilakukan sekarang juga selagi ramandanya masih hidup. Mulailah pangeran ini mulai mendekati ramandanya, mulailah mencari kesempatan untuk memberi ingat kepada ramandanya akan bahaya yang mengancam bagi Kerajaan Jenggala.
Menurut penyelidikan Joko Pramono dan Pusporini, tidak hanya para ponggawa yang diganti oleh orang-orang baru, juga para emban dan pendeta Agama Wishnu telah didesak dan kini telah dibangun candi-candi besar untuk keperluan beberapa orang pendeta penyembah Shiwa yang agaknya mendapat tempat istimewa dan dianakemaskan oleh Ki Patih Warutama dan Pangeran Kukutan.
Dalam pertemuan rahasia mereka, Pangeran Panji Sigit memutuskan untuk mengirim Joko Pramono dan Pusporini ke Panjalu dan memberi kabar kepada Ki Patih Tejolaksono dan Pangeran Darmokusumo tentang hasil penyelidikan mereka, dan tentang gagalnya penyelidikan mereka mengenai diri Nini Bumigarba.
Empat orang muda ini tidak tahu bahwa rencana mereka telah diketahui Suminten, bahwa Suminten telah mengatur siasat yang telah lama direncanakan dan yang kini dipercepat pelaksanaannya untuk mendahului rencana Pangeran Panji Sigit yang hendak mengutus dua orang muda itu membuat laporan ke Panjalu.
Malam itu terang bulan dan langit cerah sekali. Langit yang membiru dihias beberapa buah bintang, terang oleh sinar bulan yang sejuk.
Ketika Pangeran Panji Sigit sedang bercakap-cakap dengan isterinya di luar kamar sambil memandang bulan purnama yang indah, tiba-tiba seorang pelayan wanita datang menghadap dan menyampaikan permintaan gusti selir yang minta kepada Setyaningsih untuk menemaninya di dalam taman keputren. Gusti selir hendak menikmati cahaya bulan di taman dan minta agar Setyaningsih suka menemaninya bercakap-cakap.
Tentu saja hal yang wajar ini sukar ditolak oleh Setyaningsih, bahkan Pangeran Panji Sigit yang tidak ingin menimbulkan kecurigaan di hati Suminten musuh utama yang paling berbahaya itu, membujuk isterinya untuk berdandan dan segera berangkat bersama pelayan itu untuk memenuhi panggilan ibunda selir.
Biarpun di dalam hatinya Setyaningsih merasa segan dan tidak senang karena sesungguhnya ia muak melihat Suminten, namun ia tidak berani menolak dan setelah cepat berdandan, berangkatlah ia bersama pelayan wanita yang diutus memanggilnya itu memasuki keputren dan langsung menuju ke taman yang indah, milik pribadi Suminten.
Sementara itu, Joko Pramono yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya, mendapat kunjungan Ki Mitra. Kakek ini berindap-indap mengetuk daun jendela kamar Joko Pramono.
"Raden.........! Raden......... , keluarlah.........
"
La berbisik.
Joko Pramono turun dari pembaringannya dan membuka daun jendela.
"Paman Mitra, bagaimana engkau bisa masuk.........?"
Pemuda ini merasa heran karena orang tua ini menjadi juru taman di luar istana dan untuk memasuki daerah istana bukanlah hal yang mudah.
"Ssttt......... hamba mengenal seorang pengawal setia.Dia yang memanggil hamba karena terjadi urusan yang gawat sekali!"
Joko Pramono menarik kakek itu memasuki kamarnya.
"Apakah yang terjadi?"
"Lekas paduka bertindak, Raden, kalau tidak.........bisa terlambat.........! Hamba mendengar dari pengawal setia bahwa Gusti Puteri Setyaningsih malam ini diundang ke taman bunga di taman sari oleh Gusti Selir Suminten......"
Joko Pramono memandang tajam.
"Hemm, urusan begitu saja, apa salahnya?"
"Ah, paduka terlalu memandang rendah Gusti Selir Suminten! Menurut laporan-laporan yang hamba dengar, malam ini Gusti Puteri Setyaningsih sengaja dipancing untuk diajak makan minum dan......... akan diracun!"
"Apa.........???"
Joko Pramono terkejut sekali.
"Lekaslah paduka menolongnya sebelum terlambat!"
"Di manakah Kakangmas Pangeran Panji Sigit? Dia harus diberi tahu, dan.........Pusporini "
"Ah, Raden, mengapa menyia-nyiakan waktu? Gusti selir banyak memasang mata-mata, dan kalau kita ribut-"ribut.........dapat terlambat dan celaka! Lebih baik sekarang juga paduka cepat memasuki taman sari dan menolong Gusti Puteri Setyaningsih sebelum terlambat terkena racun. Hamba yang akan memberi tahu kepada Gusti Pangeran Panji Sigit dan Raden-ayu Pusporini.
Karena mengkhawatirkan keadaan Setyaningsih, Joko Pramono mengangguk setuju, kemudian ia meloncat keluar dari jendela kamarnya, menghilang ke dalam gelap untuk cepat-cepat menolong Setyaningsih yang terancam bahaya maut di tangan Suminten yang jahat. Ki Mitra juga berindap-indap menuju ke pondok keputren di mana terdapat kamar Pusporini.
Pada saat itu, Pangeran Panji Sigit yang masih duduk di serambi depan pondoknya, merasa tidak enak mengapa isterinya belum juga pulang. Andaikata bukan Suminten yang mengajak isterinya bersenang-senang di taman, andaikata selir lain dari ramandanya yang sekarang sudah terasing, tentu ia tidak gelisah seperti itu.
"Pangeran........."
Pangeran Panji Sigit tersentak kaget ketika mendengar suara ini dan melihat orangnya yang muncul dari pintu tembusan ke belakang. Ternyata orang yang dikhawatirkan akan mencelakakan isterinya, Suminten, berada di situ! Cantik jelita dan seluruh pembawaannya mengandung tantangan yang merangsang dan genit.
Wanita ini memang cantik manis sekali, hal ini tak dapat disangkal oleh Pangeran Panji Sigit, dan terutama sekali mulut dan mata itu mengundang cinta kasih pria dan tentu akan mudah menjatuhkan hati pria yang bagaimana keras pun. Akan tetapi Pangeran Panji Sigit yang sudah mengenaI watak dan isi dada inilah membusung itu, isi yang amat keji dan kotor, menjadi terkejut dan cepat-cepat ia bangkit berdiri sambil menghormat.
"Ibunda selir......... mengapa berada di sini......... Di mana isteriku, Setyaningsih?"
"Aduh Pangeran......... , karena dialah aku bersusah payah datang mencarimu Marilah kau ikut bersamaku melihat dia. Lihat apa yang dilakukan isterimu dan sahabat baikmu, si keparat Joko Pramono."
"Apa......... apa yang terjadi......... Tipu muslihat apalagi yang kaulakukan?"
Pangeran Panji Sigit serta-merta menuduh ibu tirinya ini dan memandang dengan kening berkerut dan jantung berdebar penuh kegelisahan akan keselamatan isterinya dan sahabat baiknya.
Bibir yang merah semringah itu menahan senyum mengejek, bibir bawah yang penuh bergerak-gerak, dagunya berguncang-guncang karena di dalam rongga mulut lidahnya bergerak-gerak.
Dalam keadaan begini, Suminten tampak amat menarik hati dan menggemaskan hati pria, apalagi disertai pandang mata yang redup sayu seperti mata orang yang mengantuk, benar-benar memikat.
Sang Arjuna sendiri biarpun sedang bertapa, kalau digoda seorang wanita seperti Suminten, agaknya belum tentu akan kuat bertahan! Kalau dalam ceritera Arjuna Mintaraga, Sang Arjuna yang bertapa digoda oleh tujuh orang bidadari dapat bertahan, bukanlah aneh karena bidadari-bidadari yang suci mana mungkin bisa membangkitkan nafsu berahi seorang satria!
"Aduh, Pangeran, paduka juga puteraku dan saya adalah ibumu.........ah begitu keras dan kejamkah hatimu sehingga kesalahan kecil yang pernah saya lakukan dahulu itu masih saja tak terlupakan? Saya tidak melakukan fitnah......... tadinya isterimu bersamaku di taman. Karena
sesuatu urusan, saya terpaksa meninggalkannya sebentar di taman dan......... ah, kau lihat sendiri sajalah. Saya sudah mempersiapkan pengawal mengepung taman, akan tetapi saya tidak membolehkan mereka turun tangan sebelum paduka menyaksikan dengan mata sendiri agar kelak jangan menuduh saya menjatuhkan fitnah terhadap isteri dan sahabatmu. Marilah, Pangeran........."
Pangeran Panji Sigit menjadi pucat wajahnya dan jantungnya berdebar keras sekali. Bagaimana dia dapat menolak? lsterinya belum kembali dan dia amat khawatir. Tidak, sama sekali bukan khawatir bahwa berita yang dibawa Suminten in! mengandung kebenaran.
Isterinya dan Joko Pramono? Wah, biar dunia kiamat dia tidak akan dapat percaya akan hal ini isterinya memang cantik jelita dan dapat meruntuhkan hati setiap orang pria, akan tetapi Joko Pramono adalah seorang satria sejati, seorang gagah perkasa dan seorang pria yang mencinta Pusporini.
Sebaliknya, biarpun Joko Pramono adalah seorang pemuda yang tampan dan. gagah perkasa dan pasti akan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita, akan tetapi isterinya, Setyaningsih, tentu saja amat setia dalam cinta kasihnya dan sampai mati pun ia tidak akan meragukan kesetiaan isterinya sedikit pun juga isterinya dituduh tidak setia oleh wanita hina yang gila laki-laki ini? Ah, betapa ingin ia menampar atau mencekik wanita ini di saat itu juga!
"Ibunda selir.........saya akan melihat dan......... kalau ini hanya fitnah......... demi para dewata, saya takkan mendiamkan saja penghinaan ini.........! "
Desisnya dengan gigi terkancing.
Suminten tersenyum, bibirnya merekah sehingga mututnya terbuka seperti sebuah luka yang tampak dagingnya memerah, dan sebelum Pangeran Panji Sigit dapat menolaknya, wanita itu telah menyambar lengannya dan ditariknya lengan pemuda bangsawan itu keluar dari situ melalui pintu belakang.
"Marilah, Pangeran.Saksikan saja sendiri dan buktikan kebenaran omongan........Suminten.......!"
Ketika menyebutkan namanya sendiri ini, terdengar seperti bisikan mesra sekali. Wanita ini sudah menyebutkan nama sendiri, tidak lagi bersikap sebagai seorang ibu tiri, dan andaikata hati Pangeran Panji Sigit tidak sedang diliputi kegelisahan hebat, tentu ia akan merasakan ketidak wajaran dan sikap yang jelas menantang asmara ini.
Bergegas Suminten yang menarik tangan pangeran itu menyelinap melalui taman-taman istana menuju ke taman sari miliknya sendiri.
Beberapa sosok bayangan menyambut mereka di tempat gelap, di belakang semak-semak.
Mereka itu ternyata adalah pengawal-pengawal yang telah mengadakan pengurungan di taman itu.
"Di mana mereka.........?"
Suminten berbisik.
Seorang pengawal menyembah dan dengan ibu jarinya menunjuk ke depan. Jantung Pangeran Panji Sigit makin berdebar dan ia menurut saja ketika Suminten kembali menggandengnya, menyusup di belakang pohon-pohon dan akhirnya mereka dapat melihat bayangan dua orang di dekat pondok merah di taman.
Pangeran Panji Sigit berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya kepada pandang mata sendiri ketika ia melihat bahwa bayangan itu adalah Joko Pramono dan Setyaningsih. Seolah-olah berhenti denyut jantungnya, lehernya seperti tercekik, mulutnya menjadi kering dan napasnya terengah-engah.
Tanpa berkedip ia melihat betapa Joko Pramono memondong tubuh isterinya, melihat jelas betapa otot-otot lengan Joko Pramono melingkar-lingkar kuat menyangga kedua paha Setyaningsih, lengan sebelah lagi merangkul punggung. Hal ini masih tidak berarti karena memang sudah semestinya demikian kalau sedang memondong orang. Akan tetapi mengapa Joko Pramono memondong Setyaningsih? Kalau saja ia melihat isterinya itu pingsan atau menderita seperti orang sakit atau terluka, ia tentu akan cepat berlari menghampiri mereka dan tidak melihat sesuatu yang aneh kalau Joko Pramono memondong isterinya.
Akan tetapi justeru keadaan Setyaningsih di saat itu tidak seperti orang sakit, apalagi pingsan!
Memang Setyaningsih seperti orang gelisah, akan tetapi gelisah diamuk nafsu berahi! Kedua lengan yang lunak halus hangat dari isterinya itu, kedua lengan yang biasanya merangkulnya, yang biasa diciuminya sehingga ia hampir mengenal di luar kepala segala bentuk lekuk -"leng kung kedua lengan itu, hafal betapa di sebelah dalam pangkal lengan kiri isterinya, di antara bulu-bulu halus mengeriting, terdapat sebuah tahi lalat. Hafal pula betapa di dekat siku kanan yang meruncing itu terdapat segores bekas luka. Kedua lengan itu kini dengan kemesraan yang sama seperti kalau memeluknya, bahkan agaknya lebih mesra lagi, sedang melingkari leher Joko Pramono!
Dan jari -jari tangan isterinya yang kecil panjang dan halus itu! Jari -jari tangan itu menjambak -jambak rambut kepala Joko Pramono, menjambak mesra yang sesungguhnya merupakan belaian khas dari Setyaningsih karena seringkali isterinya itu membelai seperti itu, menjambak -jambak halus rambut kepalanya di waktu mereka berdua berada dalam keadaan semesra-mesranya.
Kini kedua tangan itu, sepuluh jari -jari meruncing itu terbenam ke dalam rambut kepala Joko Pramono dan wajah isterinya diangkat-angkat mendekati wajah Joko Pramono, seperti hendak menciumnya!
"Percayakah paduka, Pangeran?"
Bisik Suminten di dekat telinganya.
Pangeran Panji Sigit kehilangan suaranya, hampir kehilangan napasnya, kehilangan pula semangat dan kemauannya. Ia diam saja.
"Akan kuperintahkan pengawal menangkap bedebah yang mengkhianatimu itu, bagaimana?"
Kembali bibir yang diharumkan sari bunga mawar itu berhembus membisikkan kata-kata dekat telinganya.
Pangeran Panji Sigit hampir pingsan saking marah dan sakit hatinya. Ia tidak buta! Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Isterinya! Setyaningsih! Begitu bergelora dalam nafsu berahi!
Jelas sekali olehnya karena ia telah mengenal betul keadaan isterinya dan biarpun dia djauh, ia melihat jelas betapa saat itu Setyaningsih seperti terbakar nafsu berahi dalam pondongan dan pelukan Joko Pramono.
Biarpun saat itu wajah Joko Pramono tidak membayangkan gairah yang sama, akan tetapi jelas pemuda itu memondong isterinya, dan ia yakin bahwa Setyaningsih belum begitu gila untuk bersikap seperti itu kalau tidak ada uluran cinta kasih dari fihak Joko Pramono!
Keji! Hina! Dan Pangeran Panji Sigit yang mendengar pertanyaan Suminten itu hanya menganggukkan mukanya tanpa mengalihkan pandangnya yang sejak tadi tak pernah berkedip.
Suminten mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan dari segala jurusan berloncatan keluarlah pasukan pengawal dengan senjata tombak, golok, atau pedang.
Jumlah mereka itu tidak kurang dari tiga puluh orang dan mereka semua segera membuat
gerakan mengurung Joko Pramono yang kelihatan kaget dan marah.
Pangeran Panji Sigit dapat melihat jelas betapa dengan setengah memaksa Joko Pramono melepaskan pondongannya dan betapa Setyaningsih meronta-ronta seolah-olah tidak mau dilepaskan. Akhirnya, karena para pengawal sudah menubruk maju, Joko Pramono membuat gerakan melempar sehingga tubuh Setyaningsih terguling di atas tanah, kemudian pemuda itu menerjang maju dan robohlah dua orang pengawal terdepan terkena hantaman kedua tangannya.
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo