Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 40


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 40



Akan tetapi peristiwa pembakaran gudang membuat ia terpaksa membatalkan niatnya dan kini keputusan Suminten itu mengecewakan hatinya. Namun,baik Pangeran Kukutan maupun Patih Warutama tidak berani membantah lagi ketika Suminten berkata,

   "Kalau yang dua jantan suka menyerah kepadaku, yang dua betina akan kuserahkan kepada kalian. Kalau tidak, keempatnya akan kubunuh hari ini juga!"

   Di dalam ruangan tahanan berdinding batu tebal dan kokoh kuat itu, telah diatur persiapannya oleh para pengawal. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono masih terbelenggu di dinding batu, akan tetapi Setyaningsih dan Pusporini telah dipindahkan.

   Kini kedua orang wanita itu diikat pada dua batang balok besar, diikat kaki, tangan dan lehernya pada balok itu sehingga mereka tak mampu bergerak. Suminten duduk di luar kamar tahanan, menonton dari lubang jendela yang digerakkan dengan alat rahasia sehingga dinding yang berhadapan dengan kedua orang muda itu terbuka tengahnya dan kepala Suminten kelihatan dari dalam kamar tahanan.

   Melihat keadaan dua orang wanita itu, dan melihat munculnya kepala Suminten di balik lubang dinding, Pangeran Panji Sigit berseru,

   "Suminten, andika seorang manusia dari darah daging, bukan siluman. Muslihat keji apakah yang hendak kaulakukan atas diri isteriku dan Pusporini? Kalau mau membunuh kami; bunuhlah karena kami tidak takut mati. Dan ingat, bahwa apapun juga yang anda lakukan, kami takkan menyerah dan andika akan melakukan hal yang sia-"sia belaka."

   Suminten tersenyum.

   "Pangeran, apa yang akan kulakukan bukanlah hal sia-sia, dan akan terjadi di depan mata kalian berdua. Baru dapat dihentikan dengan penyerahan diri kalian kepadaku tanpa syarat!"

   Sehabis berkata demikian Suminten bertepuk tangan tiga kali memberi isyarat kepada kaki tangannya. Pintu kamar tahanan terbuka dan masuklah dua orang laki-laki yang keadaannya mengerikan hati Pusporini dan Setyaningsih.

   Mereka itu adalah dua orang laki-laki bertubuh besar dan bersikap kasar, bermuka liar dengan mata terbelalak lebar penuh nafsu, mulut yang besar dengan gigi yang menguning terkekeh-kekeh meneteskan air liur ketika mereka melangkah maju dan terkekeh-kekeh menghampiri dua batang balok berdiri di mana kedua orang wanita muda itu terikat tak berdaya!

   Tanpa bicara sekalipun maklumlah Pusporini dan Setyaningsih, juga Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono, apa yang akan dilakukan oleh dua orang algojo setengah telanjang itu.

   Setyaningsih dan Pusporini menjadi pucat wajahnya, memandang kepada dua orang yang tubuhnya hanya ditutupi cawat kasar, tubuh setengah telanjang bulat yang berisi otot-otot melingkar seperti dadung dan begitu mereka masuk telah tercium bau keringat yang kecut dan apek.

   "Mundur kalian! Jangan ganggu isteriku dan Pusporini!"

   Bentak Pangeran Panji Sigit. Akan tetapi dua orang raksasa itu hanya tertawa ha-hah-he-heh sambil langkah maju terns mendekati dua orang wanita itu.

   "Kalau berani menjamah mereka, kuhancurkan lumat-"lumat kepala kalian!"

   Joko Pramono juga berteriak yang dijawab dengan suara terkekeh-kekeh oleh dua orang itu.

   Mereka sama sekali tidak memperdulikan ancaman kedua orang muda itu dan berdiri di depan Pusporini dan Setyaningsih, dekat sekali. Mereka kini kelihatan makin bernafsu dan air liur mereka menetes-netes menjijikkan.

   Keadaan. mereka itu, ketika kedua orang wanita memandang wajah mereka, mengingatkan Pusporini dan Setyaningsih akan muka dua ekor anjing kelaparan melihat tulang. Napas mereka yang terengah engah keluar dari mulut menimbulkan bau yang lebih menjijikkan daripada bau keringat mereka, seperti bau sampah membusuk. Tidak akan mengherankanlah kiranya andaikata ada ulat-ulat berloncatan keluar dari mulut mereka, begitu busuk baunya.

   Tadinya empat orang tawanan itu menyangka bahwa dua orang raksasa ini agaknya gagu, akan tetapi temyata tidak demikian karena kini raksasa yang berdiri dekat Pusporini berkata, suaranya serak kasar seperti kaleng diseret.

   "Wah-wah, Kakang Suro. Aku menjadi semlengeren (silau) melihat dua orang wanita denok montok dan segar ranum ini sehingga sukar untuk memilih. Kalau boleh keduanya saja untukku, ha-ha-ha!"

   "Heessss, Adi Digdo, biar yang putih kuning dan denok montok ini untukku, yang manis legit itu untukmu!"

   Jawab algojo yang berdiri di depan Setyaningsih sambil meraba dagunya dengan kepalan tangannya yang besar dan berbulu.

   "Buaya darat, monyet kau! Celeng goteng kau! Coba lepaskan ikatanku dan aku akan menginjak-injak hancur kepala kalian berdua babi hutan! Kalau kalian begitu pengecut dan tidak berani melepaskan, bunuh saja kami berdua!"

   Teriak Pusporini yang tak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Wah-wah, eman-eman (sayang) kalau dibunuh, cah ayu.....!"

   Kata algojo yang bernama Digdo sambil memandang seolah-olah hendak menelan bulat-bulat tubuh Pusporini.

   "Suro dan Digdo, jangan banyak cerewet! Lekas lakukan perintahku, tepat seperti yang kalian ketahui. Awas, kalau tidak tepat seperti perintahku, kusuruh penggal batang leher kalian!"

   Tiba-tiba terdengar suara Suminten dari balik lubang dinding.

   Dua orang algojo itu terkejut, menoleh dan menyembah.

   "Renggut baju mereka sampai habis lepas!"

   Kembali Suminten berteriak.

   Dua buah lengan penuh bulu dengan jari-jari tangan sebesar pisang ambon itu bergerak ke depan, mencengkeram baju Pusporini dan Setyaningsih.

   "Breeettt..... breeeettt.....!!"

   Baju yang dipakai kedua orang wanita itu seperti kertas saja di tangan Suro dan Digdo dan dalam sekejap mata, sekali gentak dan renggut baju-baju itu robek semua dan terlepas dari tubuh bagian atas.

   Setyaningsih dan Pusporini memejamkan mata dan mereka menjadi telanjang dari pinggang ke atas. Dua orang algojo itu memandang sambil menelan ludah, kedua tangan mencabik-cabik baju yang tadi menutupi tubuh atas Pusporini dan Setyaningsih.

   Diam-diam Suminten kagum dan iri hati menyaksikan keindahan tubuh atas kedua orang wanita itu. Harus is akui bahwa biarpun tubuh atasnya sendiri pun indah dan terawat baik, namun tidaklah memiliki kesegaran seperti tubuh atas mereka.

   Pada waktu itu, bertelanjang tubuh atas bagi wanita bukanlah merupakan hal yang terlalu berat.

   Akan tetapi keadaan mereka itu berbeda lagi, mereka tengah ditelanjangi oleh tangan kedua orang algojo itu dan hal ini merupakan penghinaan yang amat hebat.

   Joko Pramono dan Pangeran Panji Sigit meronta-ronta namun hanya berhasil membuat rantai-rantai besar yang membelenggu mereka berkerontangan.

   "Suminten, perempuan terkutuk! Bunuh saja Setyaningsih!"

   Teriak Panji Sigit, hampir ia terisak menyaksikan penghinaan yang dihadapi isterinya tercinta.

   "Suminten, engkau dan algojo-algojomu ini sekali waktu akan terjatuh ke tanganku, dan awaslah akan pembalasanku atas perlakuan yang kaujatuhkan pada Pusporini saat ini!"

   Kata pula Joko Pramono, suaranya dingin akan tetapi mengandung ancaman yang jelas melebihi suara halilintar menyambar.

   Suminten tersenyum penuh kemenangan. Memang itulah yang ia kehendaki. Menyiksa batin kedua orang pria itu agar suka tunduk dan berlutut di depan kakinya.

   "Hi-hik, kalian merasa kasihan dan ngeri? Mengapa tidak menolong mereka dan membebaskan mereka dari keadaan yang lebih hebat lagi? Mudah saja dan ringan syaratnya, asal suka membantuku. Kalau kalian masih berkeras kepala, dengarkan apa yang akan dilakukan oleh kedua orang algojoku ini. Atas perintahku, mereka nanti akan merenggut lepas seluruh pakaian dua orang wanita itu. Setelah itu, mereka berdua akan membeIai dan meremas bagian-bagian tubuh Setyaningsih dan Pusporini, bagian-"bagian yang kalian tak ingin dijamah laki-laki lain. Setelah puas, mereka itu akan kuperintahkan untuk memperkosa Setyaningsih dan Pusporini di depan mata kalian sekuat mereka sampai dua orang wanita pujaan hati kalian ini mati! Ya, akan kuperintahkan agar dua orang wanita ini diperkosa sampai mati di sini, tiada henti-henti sampai mereka berdua ini mati atau kedua orang algojo ini kurang kuat dan mereka yang diperkosa itu belum mati, akan kudatangkan dua orang algojo lain yang masih segar dan kuat untuk menggantikan mereka memperkosa Setyaningsih dan Pusporini, kemudian dua lagi, menjadi enam orang, sepuluh orang, dua puluh, sampai seratus orang, sampai Setyaningsih dan Pusporini kehabisan napas dan mati!"

   "Perempuan iblis terkutuk "Joko Pramono memekik, wajahnya pucat kini.

   "Tidak , jangan , kau bunuh saja kami, Suminten, bunuh saja kami,....!"

   Pangeran Panji Sigit merintih suaranya lemah, air matanya bertitik menuruni pipinya.

   Melihat keadaan suaminya seperti itu, Hati Setyaningsih seperti diiris-iris. Ia lupa akan keadaan dirinya sendiri, lenyap rasa ngerinya karena ia kasihan menyaksikan penderitaan bath yang ditanggung suaminya, maka ia lalu berkata lantang setengah menjerit,

   "Kakangmas Pangeran, mengapa berduka? Tubuhku ini bukanlah milik paduka, bukan pula milikku, hanya tanah dan debu. Yang kita miliki adalah rasa cinta kasih yang takkan lenyap dan abadi, dan kita akan dapat berkumpul kembali setelah aku mati dan kemudian paduka menyusul. Biarlah mereka lakukan apa saja atas tubuh bukan milik kita ini, Kakangmas."

   Semua orang tertegun bagaikan disiram air dingin mendengar ini. Suminten merasa seperti ditampar mukanya, bahkan dua orang algojo itu sejenak terbelalak.

   "Duh Ayunda, engkau bijaksana sekali dan terima kasih..."

   Bisik Pusporini di sampingnya dan kini gadis inipun dapat memandang kekasihnya dengan tabah dan wajah berseri-seri, seolah-olah apa yang akan dialami dan yang berangkir dengan kematian merupakan saat-saat dia hendak melangsungkan pernikahan dengan Joko Pramono, pernikahan di akhirat!

   "Isteriku Setyaningsih yang tercinta! Maafkanlah kakanda yang diserang kelemahan tadi. Kini hatiku lega dan marilah kita hadapi hukuman tubuh yang penuh dosa dengan segala penyerahan kepada Hyang Widi. Suminten, jangan mengira bahwa kejahatan dapat mengalahkan kebajikan, bahwa iblis dapat mengalahkan dewata, lakukanlah sesuka hatimu, wahai perempuan malang calon intip neraka!"

   Kata Pangeran Panji Sigit.

   "Ha-ha-ha, engkau mau berkata apa lagi sekarang, Suminten perempuan rendah budi?"

   Joko Pramono tertawa bergelak, hatinya juga lapang setelah mendengar ucapan Setyaningsih tadi.

   Suminten memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan muka pucat. Ia masih belum mau menerima kalah. Ia tidak percaya bahwa dua orang pria muda itu akan kuat bertahan menyaksikan. kekasih-kekasih mereka diperkosa dan disiksa.

   "Suro dan Digdo, renggut kain-kain mereka, telanjangi mereka!"

   Perintahnya.

   Sikap dan ucapan empat orang muda itu mengandung wibawa yang amat hebat, menggetarkan isi dada dua orang algojo yang kasar seperti binatang buas itu sehingga gairah dan nafsu berahi mereka sudah banyak mendingin.

   Akan tetapi perintah Suminten bagaikan cambuk yang memecut punggung mereka, membuat mereka tergesa-gesa mengulur tangan meraih ke depan hendak merenggut kain Setyaningsih dan Pusporini yang sudah memejamkan mata sambil bersamadhi mematikan raga dan rasa, sedangkan dua orang pria muda itu memandang dengan muka pucat akan tetapi dengan penuh keikhlasan dan penyerahan kepada Yang Maha Kuasa.

   Pada saat itu terdengar jelas tarikan napas panjang yang entah dari mana datangnya dan tiba-tiba berkelebat dua sinar kecil menyambar tengkuk dua orang algojo itu.

   Bagaikan disambar petir dua orang algojo itu yang sudah menyentuh kain Setyaningsih dan Pusporini, mengejang dan berdiri kaku seolah-olah mereka telah berubah menjadi dua buah arca batu!

   Kembali datang menyambar sinar-sinar kecil, kini menuju ke arah tambang-tambang kuat yang mengikat leher, lengan, dan kaki kedua orang wanita itu dan seketika semua tambang pengikat tubuh mereka putus seperti dikerat pisau tajam!

   Keadaan ini membuat semua orang tertegun, bahkan Setyaningsih dan Pusporini sendiri kini sudah sadar dari samadhi, membelalakkan mata memandang semua tali pengikat yang sudah putus.

   Sedemikian besar keheranan dan kekagetan mereka sehingga mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan yang sudah bebas itu!

   Hanya pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono yang sadar dan kini mereka menoleh ke arah pintu dari mana tadi menyambar sinar-sinar itu, setengah dapat menduga bahwa ada seorang sakti yang telah menolong mereka.

   Akan tetapi ketika perlahan-lahan daun pintu yang berat itu terbuka, mereka inipun melongo keheranan karena yang muncul bukanlah seorang kakek sakti mandraguna, juga bukan Resi Mahesapati seperti yang tadinya disangka oleh Joko Pramono, melainkan seorang pemuda remaja berpakaian sederhana berwajah tampan berkulit putih yang melangkah perlahan memasuki tempat itu dengan senyum tenang penuh kesabaran di bibir!

   Pemuda remaja ini bukan lain adalah Bagus Seta. Kedatangannya yang tepat sekali pada waktunya itu merupakan hasil daripada usaha Wiraman dan Widawati semalam. Malam tadi, Bagus Seta masih berada di luar kota saja, mendapatkan sebuah tempat yang amat nyaman dalam hutan sehingga ia berhenti dan bersamadhi di tempat itu menikmati keindahan tetumbuhan dan kebersihan hawa segar.

   Akan tetapi pada malam harinya, Bagus Seta melihat sinar merah tanda kebakaran membubung tinggi. Hal inilah yang membuat pemuda sakti mandraguna mempercepat kepergiannya ke kota raja dan begitu memasuki kota raja mendengar akan peristiwa ditawannya Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih dan Pusporini.

   Disebutnya nama kedua orang wanita ini membuat Bagus Seta langsung saja mendatangi tempat tahanan, mempergunakan kesaktiannya dan berhasil datang pada saat yang tepat sehingga kedua orang bibinya itu tertolong.

   Dengan demikian maka tidak sia-sialah kiranya pengorbanan yang dilakukan oleh Wiraman dan Widawati. Kalau saja mereka tidak melakukan usaha itu dan tidak terjadi kebakaran tentu kedatangan Bagus Seta akan terlambat.

   Tentu saja segala macam liku-liku peristiwa yang kebetulan itu telah ada yang mengatur-Nya dan hanya atas kehendak-Nya sajalah maka dapat terjadi semua kebetulan itu!

   Dengan langkah perlahan dan sikap tenang sekali Bagus Seta langsung menghampiri Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono, kemudian menggunakan jari-jari tangannya yang halus itu meraih ke arah rantai baja. Terdengar bunyi berkerotokan dan dalam sekejap mata saja kedua tangan merekapun bebas, rantai itu patah-patah dan jatuh ke atas lantai.

   Bagaikan menerima komando, tubuh Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono meloncat ke depan dan menghantan dengan tangan yang mengandung aji kesaktian ke arah kepala Suro dan Digdo yang masih berdiri seperti arca.

   Terdengar suara keras "prakk!"

   Dua kali dan tubuh tinggi besar kedua algojo itu roboh dengan kepala pecah dan tewas di saat itu juga. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono dengan sikap beringas memutar tubuh hendak mencari Suminten, akan tetapi sudah sejak tadi wanita itu

   lenyap dari balik lubang dinding, bahkan dinding itu sendiri kini tidak berlubang lagi, tertutup oleh gerakan alat rahasia.

   Karena tak dapat melihat Suminten, Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono menjatuhkan diri berlutut di depan Bagus Seta, demikian pula Setyaningsih dan Pusporini yang kini telah sadar dari keadaan terpesona, merekapun cepat berlutut hendak menyembah, lupa akan keadaan tubuh atas mereka yang masih telanjang.

   "Harap jangan banyak penghormatan, kini bukan waktunya bicara, yang terpenting harap lekas ikut bersama saya keluar dari kota raja."

   Bagus Seta menggunakan kedua tangan menyentuh pundak mereka, akan tetapi sentuhan jari tangan itu mengandung kekuatan mujijat yang tak terlawan sehingga keempat orang itu seperti ditarik tenaga raksasa dan bangkit berdiri. Ucapan itu pun sekaligus mengingatkan mereka bahwa bahaya belumlah terhindar selama mereka masih berada di tempat itu.

   Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono lalu menanggalkan baju masing-masing dan memberikan baju mereka untuk dipakai oleh Setyaningsih dan Pusporini sekedar untuk menutupi ketelanjaan tubuh atas mereka.

   Kemudian mereka melangkah keluar mengikuti Bagus Seta yang tenang-tenang saja berjalan keluar dari ruangan tahanan itu. Mereka disambut oleh belasan orang pengawal yang bergerak kebingungan seperti rombongan semut diganggu. Melihat ini, empat orang muda itu siap untuk mengamuk, akan tetapi Bagus Seta berkata perlahan,

   "Harap tenang dan tidak perlu melayani mereka, lebih baik cepat keluar dari sini."

   Dua pasang orang muda itu terheran. Dihadang rombongan pengawal tidak boleh melawan, habis bagaimana akan dapat meloloskan diri? Akan tetapi mereka berempat menjadi kagum dan terheran-heran ketika melihat pemuda remaja itu mengembangkan kedua lengan dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, rombongan pengawal yang datang dari kanan kiri itu terlempar dan roboh saling tindih seperti tertiup angin badai yang amat kuat.

   Kini yakinlah hati kedua pasang orang muda itu akan kesaktian penolong mereka dan mereka berjalan terus mengikuti Bagus Seta dengan cepat keluar dari bangunan.

   Setiap bagian yang mengandung alat rahasia menjadi macet tak dapat bergerak karena dari jauh Bagus Seta telah menggunakan hawa sakti yang meluncur tak tampak dari telapak tangannya untuk memukul rusak alat-alat rahasia yang tersembunyi di balik dinding atau di bawah lantai, dan setiap usaha para pengawal yang puluhan orang banyaknya untuk menghalangi pelarian mereka, roboh malang-melintang dan jatuh bangun oleh gerakan kedua lengan pemuda sakti mandraguna ini.

   Tak seorang pun di antara para pengawal itu tewas, akan tetapi karena tiupan angin kuat yang keluar dari gerakan kedua lengan pemuda baju putih, membuat mereka menjadi gentar dan jerih.

   "Harap pergunakan aji berlari cepat,"

   Kata Bagus Seta setelah mereka berhasil keluar dari dinding istana.

   Dua pasang orang muda itu cepat berlari mempergunakan ilmu mereka, sedang Bagus Seta berlari di belakang mereka sebagai perisai. Apabila ada pengawal berani menghadang, pukulan-pukulan dua pasang orang muda itu sambil berlari cukup untuk merobohkan para penghalang.

   Ratusan anak panah yang diluncurkan oleh para pengawal yang melakukan pengejaran dari belakang, runtuh semua hanya oleh lambaian tangan Bagus Seta sehingga para pengawal menjadi makin gentar.

   Akan tetapi, ketika dua pasang orang muda itu sudah hampir keluar dari dinding kota raja melalui pintu gerbang yang terjaga kuat namun para penjaganya kembali dirobohkan secara mudah oleh Bagus Seta, tiba-tiba mereka tersusul oleh serombongan pengawal yang jumlahnya lima puluh orang menunggang kuda dan dipimpin oleh Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro!

   Mereka ini ternyata telah mengejar melalui pintu gerbang lain dan memotong jalan sehingga mereka dapat menyusul, apalagi karena mereka menunggang kuda. Begitu melihat empat orang tawanan yang lobos bersama penolong mereka yang muda belia dan aneh itu, tiga orang tokoh sakti ini meloncat turun dari kuda diikuti lima puluh orang pengawal anak buah mereka.

   'Babo-babo! Siapakah gerangan bocah lancang yang berani mati membebaskan para tawanan Kerajaan Jenggala! Mengakulah, anak muda, siapa andika sebelum nenggalaku memenggal batang lehermu!"

   Bentak Ki Kolohangkoro menyembunyikan rasa ragu dan gentarnya mendengar berita betapa pemuda berpakaian putih itu memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia biasa!

   Akan tetapi, sebelum Bagus Seta menjawab, Joko Pramono yang sudah menjadi marah sekali melihat munculnya musuh-musuh besar itu, membentak,

   "Ki Kolohangkoro, sekaranglah tiba saatnya kita boleh mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang!"

   Joko Pramono sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menyerang Ki Kolohangkoro dan saking marahnya, begitu menyerang Joko Pramono sudah menggunakan aji kesaktiannya yang amat ampuh, yaitu Cantuka-sekti yang merupakan pukulan mendorong dari bawah dengan tubuh agak direndahkan hampir berjongkok.

   Ki Kolohangkoro menggereng keras dan menggerakkan nenggalanya menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya, akan tetapi seperti ketika untuk pertama kalinya ia bentrok dengan pemuda sakti murid Resi Mahesapati ini, ia kalah tenaga dan tubuhnya terpental ke belakang.

   Kekebalannya melindunginya sehingga hawa pukulan Cantuka-sekti itu tidak mampu merobohkannya.

   Bentrokan antara Joko Pramono dan Ki Kolohangkoro ini merupakan komando bagi para pengawal sehingga mereka menyerbu ke depan sambil berteriak-teriak. Ni Dewi Nilamanik dan Cekel Wisangkoro sudah pula menerjang maju, disambut oleh Pusporini yang menghadapi Ni Dewi Nilamanik, sedangkan Setyaningsih bersama Pangeran Panji Sigit menyambut terjangan Cekel Wisangkoro.

   Serangan Ni Dewi Nilamanik yang menggunakan kebutan merah amat dahsyatnya. Ujung kebutan yang kadang-kadang dapat lemas seperti ujung cambuk kadang"kadang dapat mengeras dan runcing seperti ujung pedang itu meluncur cepat ke arah leher Pusporini.

   Namun secepat kilat Pusporini menggerakkan tangan kin dari samping diputar dengan jari-jari tangan mencengkeram ujung kebutan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengirim tamparan dengan Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila! Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan suara menjerit, menarik kembali kebutannya dan menangkis tamparan dengan kebutan yang diputar ke kiri

   "Prattt!"

   Ujung kebutan bertemu dengan jari tangan yang mengandung Pethit Nogo itu menjadi bobol sedikit dan tubuh Ni Dewi Nilamanik agak terhuyung ke belakang. Akan tetapi Pusporini juga merasa betapa jari tangannya pedas dan panas, tanda bahwa lawannya ini bukanlah lawan yang ringan.

   Yang hebat adalah Cekel Wisangkoro, murid terpandai dari Wasi Bagaspati. Tongkatnya yang hitam berbentuk ular itu berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih.

   Suami isteri ini bertangan kosong, maka mereka cepat mengelak, kemudian dari kanan kiri membalas dengan pukulan sakti yang mereka perdalam di bawah pimpinan mendiang Ki Datujiwa.

   Namun ternyata bahwa tingkat kesaktian suami isteri ini masih kalah oleh tingkat Cekel Wisangkoro yang sudah tinggi sehingga sekali memutar tongkatnya secara tepat, tidak saja cekel tua berhasil menggagalkan serangan mereka, bahkan sebaliknya membalas dengan pukulan dan tusukan tongkatnya bertubi-tubi membuat suami isteri itu sibuk mengelak.

   Tiba-tiba gerakan tongkat ular itu terhenti di tengah udara oleh kekuatan yang tak tampak.

   Ternyata Bagus Seta sudah turun tangan, menggerakkan tangannya mendorong dengan pukulan jarak jauh, menahan gerakan tongkat sehingga suami isteri itu dapat meloncat mundur.

   Ketika Setyaningsih dan suaminya memandang, ternyata para pengawal yang tadi menyerbu dan berada di bagian paling depan, telah roboh terjengkang seperti yang dialami para pengawal yang menghadang di sepanjang jalan tadi.

   "Harap andika berempat cepat melarikan diri dan menanti saja di dalam hutan menuju Panjalu!"

   Terdengar pemuda remaja itu berkata halus. Mendengar ini, Pusporini dan Joko Pramono tidak suka membantah, mereka meloncat mundur karena maklum bahwa kalau dilanjutkan melawan, biarpun mereka tidak akan kalah menghadapi lawan itu seorang lawan seorang, namun kalau dikeroyok oleh puluhan orang pengawal akan memakan waktu lama.

   Apalagi kalau sampai Patih Warutama datang membawa barisan, akan berbahayalah keadaan mereka. Mereka berempat maklum akan kesaktian pemuda remaja itu, maka ucapannya merupakan perintah bagi mereka dan cepat mereka meloncat dan melarikan din ke selatan.

   "Kejar! Tangkap tawanan yang kabur. Bunuh!"

   Teriak Ki Kolohangkoro dan sebagian besar para pengawal sudah berlari dan hendak menunggang kuda melakukan pengejaran.

   Mereka semua maklum bahwa kalau mereka gagal menangkap para tawanan, mereka akan mendapat marah besar dari Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama, terutama sekali mereka ngeri kalau mengingat akan kemarahan Suminten.

   Sebaliknya kalau mereka berhasil menawan kembali empat orang pelarian itu, tentu mereka akan mendapat hadiah yang banyak. Karena inilah maka mereka seakan-akan berlumba hendak melakukan pengejaran.

   "Berhenti!"

   Terdengar suara halus namun amat berpengaruh sehingga semua orang seketika menghentikan gerakan mereka. Beberapa orang yang sudah meloncat ke atas kuda dan sudah melarikannya, tiba-tiba terguling dari atas punggung kuda ketika Bagus Seta mendorongkan tangan kirinya ke arah mereka.

   "Bocah berilmu setan! Siapakah engkau sesungguhnya berani menentang para pengawal Jenggala?"

   Cekel Wisangkoro kini bertanya dengan hati tertarik karena selama hidupnya dalam perantauan, dia belum pernah mendengar tokoh muda seperti ini.

   "Cekel Wisangkoro, ilmu apa pun juga di dunia ini kalau dipergunakan untuk melakukan kejahatan menjadi ilmu hitam atau ilmu setan. Akan tetapi aim akan selalu menggunakan sedikit pengertian yang kumiliki untuk mengabdi kebenaran dan keadilan."

   "Babo-babo! Engkau telah mengenal aim?"

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kini tidak hanya Cekel Wisangkoro yang menghadapi pemuda ini, juga. Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik mendekat dan memandang penuh perhatian, penuh takjub dan menduga-duga.

   "Aku mengenal siapa andika, Cekel Wisangkoro. Andika murid utama dari Sang Wasi Bagaspati, seorang pendatang dari Hindu yang memperjuangkan perkembangan Agama Syiwa, bukan? Aku mengenal pula Ni Dewi Nilamanik yang menjadi pemuka dari penyebaran Agama Bathari Durgo di Tanah Jawa, yang menganggap dirinya sebagai penitisan Sang Bathari Durgo sendiri. Aku mengenal pula Ki Kolohangkoro pemuka dari penyebaran Agama Bathara Kolo di Tanah Jawa, yang mengaku dirinya sebagai penitisan Sang Bathara Kolo sendiri. Wahai andika bertiga, mengapa mengabaikan perbedaan antara baik dan buruk, antara salah dan benar dan menjadi hamba nafsu pribadi yang hanya akan menimbulkan kebakaran dan kehangusan diri andika sekalian sendiri? Manusia bebas memeluk agama apa pun juga, memilih sesembahan mereka, bahkan bebas pula menyebarkannya. Akan tetapi, kalau penyebaran agama itu dilakukan dengan tipu muslihat, dengan kekerasan dan bahkan tidak segan-segan dengan kekacauan dan pembunuhan, hal ini sudah menyeleweng daripada kebenaran, merupakan pemerkosaan yang keji. Mengapa andika tidak mau sadar?"

   Tiga orang tokoh sakti itu terbelalak keheranan. Orang"orang seperti mereka itu mans mungkin dapat mudah disadarkan? Betapa manusia dapat mudah sadar daripada penyelewengan kalau mereka menganggap bahwa penyelewengan itu bukanlah penyelewengan melainkan kebenaran!

   Berbahagialah manusia yang dapat mengenal penyelewengan mereka sendiri!

   "Wahai bocah muda yang amat luar biasa. Siapakah sebenarnya andika?"

   "Namaku Bagus Seta, dan sekali lagi kuperingatkan andika sekalian bahwa usaha Negeri Sriwijaya dan Negeri Cola untuk menanamkan kuku-kuku beracun mereka di Tanah Jawa akan mengalami kegagalan. Setiap kemenangan dari kejahatan pasti akan tersusul, cepat atau pun lambat, oleh kebenaran yang akan menggulung dan menghancurkannya. Belum terlambat kalau andika insyaf dan mengundurkan difi, menyampaikan kepada Sang Biku Janapati untuk tidak melanjutkan usaha mereka mengembangkan agama dengan tipu muslihat dan kekarasan Terutama sekali, insyafkan mereka bahwa angkara murka yang datang dari negara-negara asing untuk menjajah Tanah Jawa takkan mendatangkan kebahagiaan melainkan hanya mendatangkan kehancuran dan kesengsaraan, terutama bagi fihak penjajah."

   "Babo-babo, bocah sombong! Lagakmu seolah-olah engkaulah penitisan Sang Hyang Jagad Nata sendiri! Ataukah engkau bicara mewakili para penyembah Sang Hyang Wishnu dan sengaja hendak menentang kami?"

   Bentak Cekel Wisangkoro marah.

   Bagus Seta menggelengkan kepalanya dan sikapnya masih tenang sekali, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar yang membuat silau ketiga orang sakti itu.

   "Agaknya andika bertiga lupa akan inti sari dan sumber daripada semua agama yang kalian anut. Apakah perbedaan antara Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wishnu, dan Sang Hyang Syiwa? Ketiganya adalah sifat daripada Sang Hyang Widhi Wasesa, satu-satunya kekuasaan tertinggi yang menguasai seluruh jagad-raya seisinya. Ketiga sifat Tritunggal, disebut tiga namun satu juga yang membuat jagad raya ini berputar terus. Kesatuan dari tiga sifat inilah yang merupakan lingkaran tak pernah putus. Hyang Brahma Maha Pencipta, yang mencipta seluruh alam mayapada seisinya. Hyang Wishnu Maha Pelindung dan memelihara, yang memelihara segala ciptaan tadi, yang bergerak maupun tidak. Hyang Syiwa Maha Pembinasa, yang menghancurkan dan membinasakan segala ciptaan itu. Ketiganya adalah Trimurti, selalu bersatu, tak pernah dapat terpisahkan karena ketiga sifat ini dengan kerja sama yang wajar dan tak terelakkan membuat alam mayapada seperti yang terjadi dahulu, yang kita lihat sekarang, dan yang akan terjadi kelak. Sebuah raja di antara Tiga Sifat Yang Maha Kuasa ini dipisahkan, segalanya akan terhenti. Sang Pencipta mencipta segala benda dan mahluk sesual dengan kehendak Yang Maha Kuasa, Sang Pemelihara memelihara ciptaan-ciptaan itu agar dapat berlangsung, dan Sang Pembinasa menghancurkan satu demi satu untuk memberi kelangsungan pula kepada ciptaan-ciptaan baru!"

   TIGA orang sakti itu mendengarkan dengan melongo. Hampir mereka tidak percaya bahwa yang bicara di depan mereka itu adalah seorang pemuda berusia dua puluhan tahun.

   "Andika telah kesiku (terkutuk) kalau memisah-"misahkan tiga sifat itu dan hanya menjadi penyembah Sang Bathara Syiwa saja, atau Sang Bathari Durgo yang hanya menjadi pelengkap dan pembantu, maupun juga Sang Bathara Kolo yang membantu tugas Bathara Syiwa. Di dunia ini, tidak mungkin hanya sifat pembinasa saja yang berkuasa, juga akan pincang kalau hanya sifat pencipta saja, atau sifat pemelihara saja. Harus ada ketiganya, maka disebut Trimurti, Tri-tunggal, tiga sifat dari SATU KEKUASAAN MAHA SEMPURNA yang saling bantu, saling mengisi. Demikianlah, wahai andika bertiga orang-orang yang telah mempergunakan sebagian besar umur andika untuk memipelajari ilmu, janganlah sia-siakan hidup kalian dengan penyelewengan daripada wajib hidup."

   Tiga orang sakti itu melongo dan tertegun bukan untuk taat, sama sekali tidak, hanya terheran saja. Kini, setelah pemuda itu selesai bicara, bangkitlah kemarahan di hati mereka, terutama sekali Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Mereka berdua adalah kepala agama, seorang yang ahli dalam agama yang dianutnya, kini mereka dikuliahi seorang bocah tentang agama! Hal ini mereka terima sebagai penghinaan dan kesombongan si pemuda.

   "Bocah sombong, katakan siapa gurumu? Gurumu tentulah musuh besar dari kami, atau musuh besar Sang Wasi Bagaspati!"

   Bentak Ni Dewi Nilamanik.

   Bagus Seta menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Heran ketiga orang itu melihat sikap yang demikian tenangnya, sama sekali tidak membayangkan kemarahan niaupun permusuhan, lunak dan lembut penuh kesabaran clan pengertian.

   "Guru manakah yang lebih besar daripada Yang Maha Kuasa? Kalau Yang Maha Kuasa dapat diumpamakan apinya matahari, di dalam diri setiap orang manusia terdapat setitik bunga api. Kalau dapat diumpamakan air samudera, di dalam diri setiap orang manusia terdapat setetes airnya. Segala pengetahuan telah berada di dalam diri manusia yang tak pernah terpisah dari Gurunya, yang tak pernah ditinggdlkan. Yang Maha Kuasa tidak pernah sedetikpun meninggal kan setiap orang manusia, hanya si manusialah yang terlalu sering meninggalkanNya. Guru yang berujud manusia hanyalah sebagai petunjuk dan penggali sehingga si manusia menemukan kembali pengertian yang terpendam di dalam dirinya, tertutup oleh sampah-sampah nafsu. Guruku yang berujud manusia sama dengan aku, tidak pernah mempunyai musuh dan tidak akan mempunyai musuh karena sudah terbebas daripada nafsu membenci. Benci menimbulkan dendam, dan dendam menimbulkan permusuhan. Tanpa benci berarti tidak akan punya miasuh, namun dia sendiri tidak pernah mempunyai musuh. Kalau andika bertiga menganggap aku ini musuh, itu adalah kerugian bagi andika sendiri, akan tetapi aku tidak menganggap andika bertiga ini musuh karena aku tidak membenci siapa-siapa."

   "Babo-babo! Lidahmu lemas seperti lidah ular, engkau pandai bicara, orang muda. Hendak kulihat apakah kesaktianmu juga sehebat bicaramu!"

   Sambil membentak keras, tongkat ular di tangan Cekel Wisangkoro sudah meluncur ke depan, menusuk ke dada pemuda itu. Serangan ini diikuti oleh kebutan di tangan Ni Dewi Nilamanik yang mengeluarkan suara meledak keras, dan dibarengi pula oleh tusukan nenggala di tangan Ki Kolohangkoro. Hebat bukan main serangan berbareng yang dilakukan tiga orang sakti itu, datangnya dari tiga jurusan dan memiliki keampuhan masing-masing.

   Akan tetapi Bagus Seta bersikap tenang saja, kemudian secara tiba-tiba tubuhnya lenyap seolah"olah ditelah bumi sehingga tongkat di tangan Cekel Wisangkoro hampir bertemu dengan nenggala Ki Kolohangkoro sendiri. Ketiganya terkejut sekall dan dengan hati ngeri menduga bahwa pemuda aneh itu memiliki kesaktian menghilang dari depan mata mereka!

   Benarkah Bagus Seta pandai menghilang? Sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda sakti itu tidak menghilang, melainkan menggunakan aji kesaktian meringankan tubuh yang amat tinggi tingkatnya sehingga tubuhnya dapat berkelebat mengelak secara demikian cepatnya dan karena gerakannya jauh melampaui ketiga orang lawannya, sehingga mereka bertiga itu tidak dapat mengikuti gerakannya dengan pandang mata.

   Tubuh Bagus Seta berkelebat cepat menghindarkan diri dari serangan lawan lalu melesat keluar kepungan dan pergi melarikan diri dari tempat itu menyusul dua pasang orang muda yang telah lebih dulu melarikan diri. -,

   ,

   Tlga orang sakti itu akhirnya sadar akan hal ini dan benar saja, ketika memandang, bayangan pemuda itu telah pergi agak jauh dart tempat itu.

   "Bocah keparat, hendak lari ke mana kau?"

   Bentak Ki Kolohangkoro yang cepat melontarkan nenggalanya ke arah Bagus Seta.

   Juga Cekel Wisangkoro mengayun tongkat ularnya dan melontarkari tongkat itu menyusul nenggala ke arah tubuh Bagus Seta. lontaran nenggala dan tongkat ini tak boleh dipandang rendah karena tenaga lontarannya sedemikian kuatnya membuat kedua macam senjata itu meluncur lebih cepat daripada luncuran anak panah terlepas dari busurnya.

   Bagus Seta mendengar angin luncuran dua bush senjata pusaka ampuh itu, dan ia hanya menoleh tanpa menghentikan langkahnya, mengangkat tangan kanannya menyampok kedua senjata itu berturut-turut sehingga nenggala dan tongkat itu runtuh ke atas tanah. Kemudian pemuda ini berlari terus dan sebentar saja lenyap dari pandangan mata ketiga orang lawannya.

   Ki Kolohangkoro dan Cekel Wisangkoro dengan hati penasaran berlari dan mengambil senjata mereka. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa ujung nenggala dan tongkat ular itu telah hancur!

   Terpaksa mereka lalu memimpin para pengawal untuk terus melakukan pengejaran, namun pekerjaan ini dilakukan dengan setengah hati karena mereka bertiga kehilangan kepercayaan kepada kekuatan sendiri setelah bertemu dengan Bagus Seta, pemuda yang memiliki kesaktian yang tidak lumrah itu.

   Malah Cekel Wisangkoro tidak ikut melakukan pengejaran yang ia tahu akan sia-sia itu, melainkan ia tergesa-gesa pergi menghadap gurunya, Sang Wasi Bagaspati untuk memberi laporan tentang munculnya Bagus Seta yang memiliki kesaktian luar biasa itu.

   Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini cepat maju menyambut kedatangan Bagus Seta yang melangkah perlahan akan tetapi tidak lama telah dapat mengejar dan menyusul dua pasang orang muda itu, dan sertamerta dua pasang orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya.

   "Tanpa bantuan paduka yang sakti mandraguna,kami berempat tentu tewas.Kami amat bersyukur dan berterima kasih "

   Namun ucapan Setyaningsih ini diputus oleh ucapan halus Bagus Seta,

   "Harap andika berempat bangun dan kalau perlu bersyukur dan berterima kasih, berterima kasihlah kepada Hyang Widhi Wisesa karena hanya dengan kehendak-Nya sajalah kita semua masih hidup di saat ini. Dan harap jangan menyembah saya, terutama sekali kedua bibi, karena sesungguhnya sayalah yang harus berlutut menyembah ke hadapan bibi berdua."

   Setelah tadi mengangkat bangun empat orang itu, kini Bagus Seta yang menjatuhkan diri berlutut dan menyembah dua orang wanita itu.

   "Ahhhh, Raden....... bagaimana mungkin kami dapat menerima penghormatanmu yang tak pada tempatnya ini?"

   Pusporini cepat berseru saking kagetnya. Biarpun pria ini masih amat muda, lebih muda daripadanya, akan tetapi betapa mungkin pemuda sakti mandraguna yang telah menyelamat kan nyawa mereka, bahkan lebih daripada itu, telah menyelamatkan mereka daripada ancaman bahaya penghinaan yang lebih hebat mengerikan daripada maut sendiri, kini menyembahnya?

   "Bibi Setyaningsih dan Bibi Pusporini, harap suka pandang baik-baik kepada hamba. Tidakkah Bibi berdua dapat mengenal keponakanmu lagi?"

   Setyaningsih dan Pusporini terkejut, memandang wajah tampan yang terangkat itu dengan seksama, kemudian keduanya menjerit,

   "Bagus Seta.......!!"

   Setyaningsih dan Pusporini menubruk dan merangkul Bagus Seta sambil menangis.

   "Aduhai....... Bagus Seta....... ke mana saja engkau pergi selama ini?"

   Setyaningsih terisak-isak dengan muka bersandar pundak Bagus Seta.

   "Semenjak engkau pergi,banyak sekali hal telah terjadi......"

   "Seta, anak nakal......! Mengapa engkau menghilang sekian lamanya? Ke mana saja engkau pergi? Aihhh, sekarang eyang-eyangmu......

   "

   Pusporini sukar melanjutkan kata-katanya karena lehernya tercekik oleh keharuan. Ia hanya dapat merangkul dan menciumi rambut kepala keponakannya itu.

   Kalau kedua wanita itu menangis dan menumpahkan rasa haru, adalah Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono yang berdiri bengong. Tentu saja mereka sudah seringkali mendengar dari Setyaningsih dan Pusporini tentang Bagus Seta, putera Tejolaksono yang pergi dibawa orang sakti semenjak berusia sepuluh tahun.

   Kini ternyata anak itu telah menjadi seorang pemuda yang amat sakti, dan yang kini hanya tersenyum-senyum dengan wajah sama sekali tidak dipengaruhi tangis kedua orang bibinya yang mengguguk mengharukan.

   "Syukur engkau datang menolong, Bagus Seta. Kalau tidak, bagaimana akan jadinya dengan nasib kedua bibimu!!

   Setyaningsih berkata lagi, suaranya terputus-putus,

   "Anakku Seta! Engkau telah menjadi seorang sakti, mari bantu kami menghancurkan yang mencengkeram dan menguasai Jenggala!"

   Pusporini berseru, mengepal tinju karena bangkit kemarahannya teringat kepada Suminten dan kaki tangannya.

   Setelah membiarkan kedua bibinya itu menumpahkan rasa terharu mereke sejenak, akhirnya Bagus Seta yang tersenyum penuh pengertian itu lalu memegang tangan kedua orang bibinya, bangkit berdiri dan berkata,

   "Harap Bibi berdua tenangkan hati dan mari kita bicara tentang Jenggala dan pengalaman-pengalaman Bibi sehingga menjadi tawanan di sana. Sebelumnya harap Bibi perkenalkan kedua Paman yang gagah perkasa in!."

   "Bagus Seta, dia adalah Pamanmu Pangeran Panji Sigit, suamiku. Dan dia itu Dimas Joko Pramono, kakak seperguruan Bibimu Pusporini."

   Setyaningsih memperkenalkan.

   Bagus Seta maju memberi hormat.

   "Girang sekali hati saya dapat berjumpa dengan Paman Pangeran Panji Sigit dan paman Joko Pramono. Saya Bagus Seta menghaturkan sembah dan hormat......"

   (Lanjut ke Jilid 49)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 49

   Sejenak kedua orang pria perkasa Itu tertegun menyaksikan sikap penuh hormat dari pemuda remaja itu. Hati mereka menjadl makin kagum akan kerendahan hati Bagus Seta dan kehalusan tutur sapa dan sikapnya, sama sekali tidak tampak kebanggaan dan kesombongannya akan kesaktian luar biasa yang dimilikinya.

   Tersipu-sipu mereka lalu menjawab,

   "Ah, sudah lama aku mendengar akan dirimu dari bibimu Setyaningsih, Bagus. Dan amatlah bahagia hatiku kini bertemu dan melihat bahwa keponakan isteriku adalah seorang yang memiliki kesaktian."

   Adapun Joko Pramono yang sejak tadi memandang Bagus Seta seperti termenung kini berkata,

   "Andika Bagus Seta......seorang pemuda sakti yang akan muncul......ah, Pusporini! Kini...... mengertilah aku! Yang dimaksudkan oleh Eyang Guru Resi Mahesapati bukan lain orang adalah Bagus Seta sendiri!"

   "Ah, benar! Tidak salah lagi! Girang sekali hatiku kalau yang akan kubantu adalah keponakan sendiri."

   Dari kedua orang bibinya itu Bagus Seta mendengar akan segala peristiwa yang menimpa keluarga di Selopenangkep, mendengar bahwa ayah bundanya kini telah berada di Kota Raja Panjalu, ayahnya menjabat pangkat patih muda.

   Kemudian ia mendengar penuturan kedua pasang orang muda itu tentang keadaan di Jenggala dan tentang usaha Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Tejolaksono yang mulai mengadakan penyelidikan ke Jenggala.

   Setelah semua peristiwa didengarnya secara singkat namun jelas, Bagus Seta menghela napas panjang lalu berkata,

   "Aku merasa girang sekali bahwa kedua Bibi dan Paman telah berusaha untuk menolong Jenggala. Terutama sekali bagi Paman Pangeran, memang sudahlah menjadi kewajiban setiap orang kawula untuk membela negaranya. Akan tetapi, urusan di Jenggala ternyata bukanlah urusan kecil dan menyangkut pencampuran tangan Negeri-negeri Sriwijaya dan Cola. Oleh karena itu, seyogyanya kalau kita lebih dahulu menghadap ke Panjalu memberi laporan dan sudah tiba saatnya pula aku harus menghadap Kanjeng Rama lbu."

   Demikianlah, lima orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Panjalu untuk melaporkan segala peristiwa yang mereka alami di Jenggala. Akan tetapi, ketika mereka tiba di tapal batas kedua kerajaan itu, tiba-"tiba perjalanan mereka terhadang oleh seorang laki-laki setengah tua yang menggeletak melintang di tengah jalan, masih bergerak-gerak di samping belasan buah mayat orang yang berserakan di tempat itu.

   "Kalau tak salah, perajurit-perajurit Panjalu......! "

   Seru Setyaningsih dan mereka segera menghampiri perajurit setengah tua yang belum tewas itu.

   Karena mereka semua maklum akan kesaktian Bagus Seta yang luar biasa, maka otomatIs empat orang muda itu menganggap pemuda remaja itu sebagai pemimpin mereka, maka kini Bagus Seta pula yang berlutut memeriksa tubuh perajurit yang terluka itu.

   Lukanya parah sekali, tak mungkin dapat ditolong dan patut dikagumi daya tahan perajurit itu sehingga masih dapat mempertahankan hidupnya. Kiranya perajurit itu memang mempergunakan seluruh kekuatan berdasarkan kesetiaannya untuk menunda kematiannya agar dapat menyampaikan berita kepada orang yang lewat.

   Dapat dibayangkan betapa girang hatinya melihat bahwa yang lewat adalah lima orang muda yang di antaranya terdapat Pangeran Panji Sigit dan isterinya yang sudah ia kenal ketika pangeran itu datang ke Panjalu.

   "....... tolong...... lekas...... , Gusti Patih Tejolaksono......dan kedua isteri beliau...... tertawan dibawa ke gunung itu......"

   "

   Habislah kekuatan perajurit itu dan tubuhnya lemas, nyawanya terbang meninggalkan raganya.

   Setyaningsih, Pusporini, Pangeran Panji Sigit, dan Joko Pramono terkejut bukan main mendengar ucapan terakhir perajurit itu.

   Betapa mungkin hal ltu terjadi? Ki Patih Tejolaksono adalah seorang yang sakti mandraguna, apalagi di situ terdapat dua orang isterinya yang berarti bahwa Endang Patibroto juga hadir, sedangkan Ayu Candra bukanlah seorang lemah pula. Bagaimana dapat ditawan orang dan siapakah penawannya?

   Memang sungguh mengherankan dan meragukan pesan dalam ucapan terakhir perajurit Panjalu itu. Kalau memang benar yang memimpin para perajurit yang kini rebah malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi adalah Ki Patih Tejolaksono, Endang Patibroto, dan Ayu Candra, bagaimana mereka itu dapat dikalahkan dan ditawan orang? Untuk mengetahui hal yang tak dapat terjawab oleh dua pasang orang muda itu, baiklah kita mengikuti sebentar apa yang telah terjadi di tempat itu pada pagi hari tadi.

   Sebelum Ki Wiraman dan Widawati dengan nekat menyerbu ke penjara istana Jenggala untuk menolong dua pasang orang muda yang tertawan, Ki Wiraman telah mengirim pembantunya ke Panjalu untuk memberi kabar tentang penangkapan empat orang muda itu kepada Ki Patih Tejolaksono karena dia maklum bahwa kalau dia dan Widawati gagal, satu-satunya orang yang boleh diharapkan akan dapat menyelamatkan empat orang muda itu adalah ki patih muda di Panjalu yang sakti itu.

   Dapat dibayangkan betapa kaget hati Ki Patih Tejolaksono ketika mendengar berita itu.

   Setyaningsih dan Pusporini ditangkap dan dipenjara di Jenggala! Juga Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono! Segera Tejolaksono menghadap Pangeran Darmokusumo untuk melaporkan hal itu, kemudian Tejolaksono mohon perkenan dari sang prabu dan dari Pangeran Darmokusumo untuk pergi sendiri turun tangan ke Jenggala, selain untuk menolong mereka yang tertawan, juga sekalian menanggulangi kekacauan di sana.

   Permohonannya diperkenankan, maka berangkatlah Tejolaksono disertai Endang Patibroto dan Ayu Candra. Kedua orang isterinya ini tidak mau ditinggal, apalagi Endang Patibroto yang sudah marah-marah mendengar betapa Setyaningsih adik kandungnya itu ditangkap.

   "Sedikit banyak sang prabu di Jenggala pernah menerima bantuan-bantuanku, dan juga bantuanmu, apalagi kalau diingat bahwa Suminten itu ternyata adalah bekas abdi dalemku. Kalau aku yang datang meminta, kiranya mereka itu akan segera dibebaskan,"

   Demikian kata Endang Patibroto.

   "Kalau tidak......hem mm, Jenggala akan kuratakan dengan bumi!"

   Tejolaksono tersenyum dan memandang wajah Endang Patibroto dengan sinar mata berseri dan kagum. isterinya ke dua ini tak pernah menjadi tua, masih selalu penuh semangat seperti di waktu masih menjadi perawan yang ganas dan liar.

   "Aku kira tidak perlu kita menggunakan kekerasan. Apapun yang telah kudengar beritanya, aku tak percaya bahwa gusti sinuwun di Jenggala sampai demikian tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuasaan lagi di sana. Sebaiknya kita buktikan sendiri."

   Ayu Candra menggerakkan alisnya.

   "Betapapun juga, kita harus selalu waspada dan hati-hati. Peristiwa yang melanda Jenggala bukanlah hal yang wajar, melainkan ada rahasia di balik semua itu. Lupakah Kakanda akan perjumpaan kita dengan dua orang kakek amat sakti di puncak gunung ketika kita mencari Bagus Seta?"

   Tejolaksono mengangguk dan diam-diam ia harus membenarkan pendapat isterinya ini. Wasi Bagaspati dan Biku Janapati adalah dua orang pendeta yang amat sakti, dan kalau betul seperti yang pernah disindirkan oleh Ki Tunggaljiwa, dan kedua orang pendeta itu mencampuri urusan kekacauan di Jenggala, maka dia bersama dua orang isterinya harus berhati-hati sekali.

   "Engkau benar, Adinda Ayu Candra. Kita harus berhati"hati sekali. Aku akan membawa lima belas orang pengawal pilihan untuk melayani keperluan kita dalam perjalanan. Di sana aku akan menghadap secara resmi kepada sang prabu dan langsung mengajukan permohonan untuk kebebasan mereka." '

   Rombongan Tejolaksono melakukan perjalanan cepat sekali siang malam tanpa berhenti, bertukar kuda di dalam perjalanan.

   Pada keesokan harinya ketika rombongan ini memasuki tapal batas Jenggala, tiba-tiba dalam sebuah hutan mereka dihadang oleh puluhan orang laki dan perempuan yang kesemuanya memegang senjata, dan para penghadang itu dipimpin oleh seorang wanita cantik yang memegang pedang. Ketika Tejolaksono melihat wanita ini dan mengenalnya sebagai Sariwuni si penyembah Bathari Durgo, anak buah juga kekasih Wasi Bagaspati, tahulah dia bahwa fihak musuh sudah mulai turun tangan. Maka ia berbisik di dekat telingan kedua isterinya.

   "Dia Sariwuni yang telah kuceritakan kepada kalian. Kita basmi saja mereka karena mereka pun merupakan sebagian daripada akar-akar pohon kekacauan di Jenggala."

   Setelah berbisik demikian, Tejolaksono memberi aba-aba kepada lima belas orang pengawal untuk menerjang maju.

   Para pengawal maklum bahwa kalau ki patih serentak memberi perintah menyerang tanpa bertanya, tentu ki patih mempunyai alasan kuat dan mereka yakin bahwa rombongan orang-orang laki perempuan bercampur aduk merupakan barisan liar ini pastilah golongan musuh. Merekapun lalu menerjang maju, melarikan kudanya menyerbu di antara puluhan orang lawan yang juga sudah berteriak-teriak dan menyerang dalam sambutan mereka terhadap terjangan perajurit-perajurit Panjalu.

   "Sariwuni perempuan jahat, kebetulan sekali andika muncul menyerahkan nyawa!"

   Bentak Tejolaksono sambil menudingkan telunjuknya ke arah wanita itu yang tersenyum mengejek dengan gerakan mulut genit sekali.

   "Heh-heh, Tejolaksono, engkau masih hidupkan? Aku memang sengaja menantimu di sini untuk menangkapmu!"

   "Setan alas, mampuslah kamu......

   "

   Tiba-tiba Endang Patibroto melayang dari atas kudanya dan langsung tubuhnya meluncur dan menyambar ke arah Sariwuni bagaikan seekor burung elang menyambar anak ayam.

   Sariwuni terkejut sekali dan cepat menggerakkan pedangnya membacok tubuh lawan yang menyambar seperti burung itu.

   "Krekk...... Aaliihhhhh!"

   Sariwuni terpental ke belakang sampai tiga meter dan pedangnya sudah patah"patah ketika bertemu dengan jari tangan Endang Patibroto! Sariwuni memandang terbelalak dan berkata tertegun,

   "Inikah......Endang Patibroto.....?"

   Sudah lama dia mendengar akan kehebatan seorang wanita bernama Endang Patibroto dan karena akhir-akhir ini dia mendengar berita bahwa Endang Patibroto telah menjadi isteri Tejolaksono, kini menyaksikan terjangan yang ganas dan dahsyat itu, mudah saja dia menduga.

   "Benar dugaanmu. Akulah Endang Patibroto yang datang untuk menghancurkan kepalamu yang hanya terisi hawa busuk itu. Nah, rasakan pukulan ini!"

   Endang Patibroto tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawan yang kini sudah bertangan kosong, lalu menerjang maju dengan gerakan Bayu Tantra yang membuat tubuhnya menjadi gesit dan ringan, sambil memukul dengan aji pukulan Wisangnolo!

   Sariwuni menjadi gentar, akan tetapi ia pun tidak mau menyerah mentah-mentah begitu saja.

   Begitu ia menggerakkan tangan dan memekik, berubahlah warna tangannya menjadi hitam sampai ke kukunya dan kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Itulah pengerahan ajinya yang sangat keji dan kotor, yaitu Aji Wisekenaka yang ia pelajari dari Wasi Bagaspati sebagai hadiah atas jasa-jasanya, terutama sekali dalam melayani nafsu sang wasi.

   "Bressss!"

   Kembali tangan Endang Patibroto tertangkis oleh lengan yang mengandung hawa beracun, bahkan kuku"kuku tangan Sariwuni dalam tangkisan itu telah mencengkeram lengan Endang Patibroto yang berkulit halus putih.

   Akan tetapi akibatnya, tubuh Sariwuni terbanting ke kiri dan perempuan ini bergulingan sambil mengeluarkan rintihan karena lengannya seperti terbakar api neraka ketika bertemu dengan lengan Endang Patibroto yang mengandung hawa Wisangnolo!

   Sementara itu, Tejolaksono dan Ayu Candra juga tidak tinggal diam melihat lima belas orang pengawal mereka bertempur dikeroyok oleh tiga puluh orang lebih gerombolan musuh.

   Ki patih dan isterinya sudah membedal kuda mereka maju memasuki gelanggang pertempuran dan sebentar saja, beberapa orang pengeroyok sudah roboh oleh tendangan-tendangan kaki Tejolaksono dan ayunan pedang Ayu Candra setelah dia merampas pedang dari tangan seorang pengeroyok.

   Dengan majunya suami isteri perkasa ini, biarpun fihak lawan dua kali lebih besar jumlahnya,tetap saja mereka menjadi kocar-kacir dan panik. Sepak terjang suami isteri itu, terutama sang patih, terlalu hebat dan kuat bagi mereka seperti terjangan angin badai.

   Endang Patibroto yang melihat betapa Sariwuni sudah terluka, mengambil keputusan untuk menghabisi saja nyawa lawan itu, maka tubuhnya kembali mencelat ke depan dan kakinya bergerak menendang ke arah kepala Sariwuni untuk memberi pukulan maut terakhir.

   Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Desss......!"

   Kini tubuh Endang Patibrpto yang terpental ke belakang dan kakinya terasa nyeri hampir lumpuh. Kiranya tendangan tadi telah ditangkis oleh sebuah lengan tangan berbulu yang kulitnya kemerahan. Endang Patibroto cepat berdiri tegak memandang penuh perhatian. Orang yang menolong Sariwuni itu adalah seorang kakek tinggi kurus bermuka merah sekali, rambutnya panjang putih terurai dan pakaiannya terbuat dari kain berwarna merah darah!

   "Hoah-hah-ha-ha! Inikah puteri yang bernama Endang Patibroto, murid dari Dibyo Mamangkoro?...... buruk......! "

   Kakek itu lalu memegang lengan tangan Sariwuni yang terluka dan sekali menggosoknya dengan telapak tangan kiri, sembuhlah dan lenyaplah rasa panas.

   "Wuni cah-ayu, lenganmu tidak apa-apa, sekarang lebih baik kau membantu anak buahmu itu yang terdesak,"

   Kata kakek itu lalu menggunakan tangannya meraba pinggul Sariwuni, membelai dan mendorongnya. Sariwuni terkekeh genit lalu berlari untuk membantu anak buahnya yang kocar-kacir.

   "Kakanda, lihat siapa itu......

   "

   Tiba-tiba Ayu Candra berbisik dengan suara menggetar.

   Tejolaksono cepat menoleh dan terkejutlah ia ketika melihat pendeta berjubah merah itu yang bukan lain adalah Wasi Bagaspati!

   "Ah, Endang Patibroto terancam bahaya. Mari kita bantu......!"

   ia lalu meloncat turun dari kudanya, diikuti Ayu Candra, merobohkan dua orang pengeroyok lalu berlari menghampiri Endang Patibroto yang masih berdiri tegak di depan Wasi Bagaspati. Tejolaksono kini berdiri di sebelah kanan Endang Patibroto sedangkan Ayu Candra berdiri di sebelah kanannya.

   "Wasi Bagaspati! Kiranya andika yang menghadang perjalanan kami ke Jenggala,"

   Kata Tejolaksono.

   "Ada maksud apakah menghadang perjalanan kami?"

   "Ha-ha-ha, andika Tejolaksono, dahulu Adipati Selopenangkep dan sekarang kabarnya menjadi patih muda di Panjalu, bukan? Sebagai patih di Panjalu, mau apa gentayangan dan berkeliaran di daerah Jenggala? Andika melanggar tapal batas, harus ditangkap. Ha-ha-ha!"

   "Wasi Bagaspati! Sejak kapan andika menjadi penjaga tapal batas?"

   

Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini