Perawan Lembah Wilis 42
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 42
"Mendengar penuturan kalian dan mengingat akan perkembangan di Jenggala pada saat ini yang amat buruk, tidak perlu lagi kita pergi ke Jenggala karena kita tentu akan menempuh tentangan dari pengaruh-pengaruh jahat yang kini mencengkeram Jenggala. Sebaliknya kita kembali ke Panjalu dan melaporkan segala keadaan Jenggala itu kepada sang prabu. Bagaimana pendapatmu, Bagus Seta?"
Tejolaksono yang maklum sepenuhnya bahwa kini tibalah saatnya apa yang dahulu diramalkan Ki Tunggaljiwa, sengaja menanyakan pendapat Bagus Seta karena puteraya inilah yang akan dapat diandalkan untuk menghadapi orang-orang sakti seperti Wasi Bagaspati yang berdiri di fihak pengacau.
"Pendapat Kanjeng Rama tepat sekali. Memang urusan yang terjadi di Jenggala sudah menjadi urusan besar yang menyangkut kerajaan dan kiranya hanyalah sang prabu di Panjalu saja yang berhak memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap kekuasaan yang secara halus mencengkeram Jenggala."
Demikianlah, setelah sinar matahari pagi mulai menggantikan malam mengusir embun, delapan orang anggauta keluarga sakti mandraguna itu melakukan perjalanan menuju ke Kota Raja Panjalu. Rombongan keluarga yang amat hebat dan baru sekaranglah keluarga itu hampir lengkap, hanya sayang masih berkurang seorang, yaitu puteri Tejolaksono dari Endang Patibroto, Retna Wilis!
Adapun Joko Pramono sungguhpun belum menjadi suami Pusporini, namun sudah dianggap sebagai keluarga karena selain dia adalah kekasih dan tunangan Pusporini, juga kakak seperguruannya.
Apalagi ketika pemuda ini malam tadi menceritakan riwayatnya, memperkenalkan diri sebagai keponakan Ki Adibroto yang menjadi ayah Ayu Candra, maka pemuda ini sesungguhnya masih adik keponakan Ayu Candra sendiri, jadi masih keluarga pula.
Sang prabu di Panjalu menjadi terkejut sekali ketika mendengar pelaporan Tejolaksono tentang keadaan di Jenggala, mendengar betapa parah keadaan kerajaan adiknya itu.
Lebih terkejut dan marah lagi ketika mendengar akan kenyataan bahwa mereka yang berkuasa di Jenggala sekarang adalah sekutu-sekutu dari utusan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola, terutama sekali Kerajaan Cola. Sang prabu yang arif bijaksana maklum akan gawatnya persoalan, maklum bahwa hal ini selain menyangkut jatuh-bangunnya Kerajaan Jenggala, juga menyangkut keamanan Kerajaan Panjalu sendiri.
Juga sang prabu menyatakan kegirangannya akan berkumpulnya keluarga Ki Patih Tejolaksono, lebih-lebih melihat Bagus Seta sang prabu menjadi kagum dan seketika kepercayaannya tercurah kepada pemuda remaja ini.
"Kita harus turun tangan menyelamatkan Jenggala!"
Ujar sang prabu.
"Akan tetapi karena kekuasaan jahat itu menggunakan jalan halus, amatlah tidak baik kalau kita menggunakan jalan kekasaran.Sebaiknya aku akan menulis sepucuk surat pribadi untuk yayi prabu di Jenggala, mengangkat Bagus Seta menjadi utusan pembawa surat. Karena surat ini bersifat pribadi, kita mendapat alasan untuk menyampaikan surat itu ke tangan yayi prabu sendiri. Syukur kalau para pengacau itu memperbolehkan Bagus Seta menghadap yayi prabu sehingga selain menyerahkan surat, dapat pula membebaskan yayi prabu daripada hawa jahat yang mempengaruhinya agar sadar. Andaikata fihak pengacau menggunakan kekerasan mencegah, maka kita mendapat alasan pula untuk turun tangan menggunakan kekerasan. Untuk keperluan Patih Tejolaksono dan keluarganya yang sakti mandraguna kuperintahkan untuk mengawal Bagus seta, dan kepada Pangeran Darmokusumo dan Kakang Patih Suroyudo, kuperintahkan untuk mempersiapkan barisan pilihan untuk membayangi dari belakang sehingga apabila terjadi kekerasan, barisan kita akan dapat cepat menyerbu ke Jenggala. Kuperintahkan andika sekalian berusaha untuk membersihkan Jenggala dari semua oknum jahat, menagkapi atau membasmi para pengacau dan mengangkat kekuasaan yayi prabu di Jenggala. Puteraku Pangeran Panji Sigit, menjadi kewajiban utama bagimu untuk menyelamatkan kangjeng ramamu dari tangan Suminten yang jahat karena untuk mengingatkan penyelewengan seorang ayah menjadi kewajiban seorang anak."
Setelah persidangan di hadapan sang prabu di Panjalu bubar, para satria perkasa segera mempersiapkan tugas masing-masing sambil menanti surat sang prabu dan kelanjutan perintah untuk menentukan hari keberangkatan.
Akan tetapi sebelum perintah penentuan ini tiba, datanglah penyelidik yang melaporkan hal yang amat mengejutkan hati sang prabu di Panjalu, yaitu bahwa sang prabu di Jenggala berada dalam keadaan sakit dan sebulan lagi di Jenggala akan diadakan upacara pengangkatan Pangeran Kukutan sebagai Raja Jenggala oleh sang prabu yang sedang sakit!
"Hemm, ini tentu siasat mereka. Sekali pengangkatan itu sudah dilakukan secara resmi, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi kecuali menyatakan perang. Namun sungguh akan menyedihkan hati! sekali kalau menyatakan perang dengan kerajaan saudara sendiri! Kalau begitu, hari ini juga kalian harus berangkat dan suratnya kuubah berisi permintaan agar yayi prabu menunda pengangkatan raja baru sebelum bertemu dengan aku!"
Pesan sang prabu di Panjalu ini segera dilaksanakan oleh Bagus Seta yang menerima surat untuk raja di Jenggala, kemudian berangkatlah pemuda remaja yang sakti mandraguna ini bersama seluruh keluarganya, yaitu Tejolaksono, Ayu Candra, Endang Patibroto, Pangeran Panji Sigit, Setyaningsih, Joko Pramono, dan Pusporini.
Rombongan keluarga sakti itu sepenuhnya berangkat untuk berjuang membebaskan Jenggala daripada cengkeraman kekuasaan jahat yang dikemudikan oleh Sang Wasi Bagaspati sendiri. Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Suroyudo mengatur sebuah barisan yang pilihan dan cukup besar, sejumlah sepuluh ribu orang mengiringkan rombongan keluarga sakti ini dari jauh.
Ancaman perang agaknya takkan dapat dielakkan lagi!
Barisan Panjalu yang menuju ke Jenggala itu telah didahului oleh berita yang dibawa orang dari mulut ke mulut dan cukup menggegerkan.
Rakyat Jenggala yang sudah muak menyaksikan peristiwa-peristiwa pembunuhan dan kekacauan, kenaikan pajak dan penindasan-penindasan terhadap para penyembah Bathara Wishnu yang setia, diam-diam menjadi gembira dan penuh harapan, bahkan di antara para orang mudanya banyak sudah bersiap-siap untuk membantu fihak Panjalu apabila pecah perang.
Terutama sekali para panglima dan perajurit Jenggala yang terpaksa menghambakan diri kepada kekuasaan baru di Jenggala dengan pengorbanan perasaan, diam-diam juga bersiap untuk memberontak dan membantu barisan Panjalu apabila saat dan kesempatannya tiba.
Rombongan keluarga sakti yang berangkat lebih dahulu dengan kuda-kuda pilihan, terpaksa berhenti di perbatasan kota raja karena ditahan oleh rombongan penjaga yang ratusan orang perajurit banyaknya.
Tejolaksono sebagai kepala rombongan segera maju menghampiri komandan pasukan, seorang perwira yang sudah setengah tua dan yang menyambut mereka dengan muka agak pucat karena perwira ini dengan kaget mengenal orang-orang sakti ini, terutama sekali ia gentar melihat bahwa Endang Patibroto berada di antara rombongan ini.
"Hai, perwira Jenggala. Mengapa andika menahan rombongan kami yang hendak lewat?"
Perwira itu memaksa diri membusungkan dada dan bersikap gagah karena akan amat memalukan kalau di hadapan seratus lebih anak buahnya ia memperlihatkan sikap lunak dan takut, maka jawabnya,
"Kami menjunjung perintah gusti patih untuk menjaga di sini dan tidak memperbolehkan orang luar memasuki tapal batas kota raja sebelum lewat hari penobatan gusti pangeran pati menjadi raja."
Seorang perwira rendahan yang masih muda, yang merupakan ponggawa baru dan termasuk kaki tangan Patih Warutama, melangkah maju menyeret tombaknya yang panjang dan berat. Perwira muda ini bertubuh tinggi besar, kelihatan kuat dan bersikap kasar ketika bertanya.
"Kalian ini rombongan dari mana? Apakah kalian kawula (rakyat) Jenggala?"
Pusporini tak dapat menahan kemarahannya lagi melihat lagak perwira muda ini. Ia meloncat maju mendekati perwira muda itu dan menudingkan telunjuknya ke hidung orang itu sambil membentak,
"Apakah matamu buta? Tidakkah engkau melihat bahwa beliau ini adalah Gustimu Pangeran Panji Sigit, pangeran dari Jenggala?"
Perwira muda itu menodongkan tombaknya ke dada Pusporini dan menjawab kasar,
"Aku mengenal dia sebagai seorang pemberontak dan pelarian. Juga engkau adalah seorang pelarian yang harus kami tangkap!"
Pusporini mengeluarkan seruan marah dan kaki tangannya bergerak. Cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu ia telah merampas tombak itu, dua kali mengayun tombak terdengar suara "krek, krekl"
Dan robohlah perwira muda itu dengan tulang kaki patah-patah.
Kemudian Pusporini mematah-matahkan tombak seperti orang mematahkan biting raja sambil membentak.
"Siapa lagi yang ingin dipatahkan kakinya?"
Semua perajurit Jenggala menjadi pucat wajahnya, akan tetapi mereka pun mulai bergerak hendak mengeroyok.
"Rini, jangan menggunakan kekerasan. Mundurlah!"
Tejolaksono membentak adik iparnya. Pusporini mundur sambil cemberut.
Endang Patibroto di dalam hati menyetujui perbuatan Pusporini itu. Memang ada persamaan antara wataknya dan watak Pusporini atau lebih tepat lagi, wataknya sendiri lebih keras daripada watak Pusporini. Ia melangkah maju dan berkata kepada perwira komandan pasukan itu,
"Heh perwira lancang! Kalau kalian tidak mengakui Gustimu Pangeran Panji Sigit, apakah engkau begitu buta tidak mengenal suamiku Tejolaksono, Gusti Patih Panjalu? Apakah kalian ini seratus orang lebih sudah bosan hidup dan minta kubunuh semua? Apakah engkau tidak mengenal siapa aku?"
Gentarlah hati perwira itu. Memang ia tadi sudah amat takut melihat Endang Patibroto yang pernah menggegerkan Jenggala, apalagi kini menyaksikan gadis muda Pusporini dan mendengar ancaman Endang Patibroto.
"Saya.........eh, hamba mengenal Gusti Patih Tejolaksono dan mengenal pula paduka Gusti Puteri Endang Patibroto, akan tetapi........ hamba hanyalah seorang petugas yang menjunjung perintah atasan yang tentu akan menerima hukuman apabila hamba melanggar perintah atasan harap paduka memaklumi keadaan hamba dan para perajurit."
Tejolaksono melangkah maju dan berkata,
"Perwira Jenggala, kami maklumi keadaan andika dan pembantumu itu menerima hukuman atas sikapnya yang kasar. Ketahuilah, kami pun tidak ingin menggunakan kekerasan asal saja andika tidak menentang. Kami bukanlah pelanggar-pelanggar yang hendak mengacau, melainkan utusan-utusan pribadi dart gusti sinuwun di Panjalu, kami membawa surat gusti sinuwun untuk dipersembahkan kepada gusti sinuwun di Jenggala. Karena kedudukan kami adalah rombongan utusan, maka tidak ada lagi sebutan pelarian dan setiap rombongan utusan, apalagi utusan dari kerajaan yang masih berkeluarga dengan Jenggala, andika tidak boleh mengganggu kami dan bahkan harus mengantarkan kami sampai ke kota raja."
Ucapan Tejolaksono yang mempunyai dasar kuat itu tak dapat dibantah lagi oleh perwira itu, maka ia lalu mengeluarkan perintah agar pasukannya memberi jalan, bahkan kemudian dia sendiri bersama dua losin perajurit mengiringkan rombongan ini menuju ke kota raja.
Karena pengawalan pasukan ini maka rombongan keluarga sakti dapat sampai di luar pintu gerbang dinding Kota Raja Jenggala.
Akan tetapi di pintu gerbang ini, mereka disambut oleh pasukan pengawal bersenjata lengkap terdiri dari lima puluh orang lebih dan melihat sikap mereka jelas dapat diduga bahwa mereka ini dari pengawal-"pengawal pilihan yang muda-muda dan kuat-kuat yang dipimpin oleh Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik!
"Heh, perwira tolol! Apa yang kaulakukan ini? Mengapa kau mengawal rombongan musuh ini sampai ke sini?"
Bentak Ni Dewi Nilamanik dengan suara marah sambil memandang dengan mata terbelalak kepada perwira tadi. Perwira ini dengan tubuh menggigil lalu melangkah maju dan berkata dengan suara gemetar,
"Hamba........hamba terpaksa mengantar mereka karena mereka ini adalah utusan pribadi gusti sinuwun di Panjalu yang dipimpin oleh gusti patih muda dari Panjalu........!"
"Keparat bodoh!"
Ki Kolohangkoro membentak, tangannya menyambar dan pecahlah kepada perwira itu yang tewas seketika.
Rombongan keluarga sakti marah sekali, akan tetapi karena hal yang terjadi adalah urusan dalam dan tidak menyangkut diri mereka, terpaksa mereka menahan sabar dan tidak mau mencampuri.
"Tejolaksono, andika muncul di sini bersama para pelarian yang telah memberontak terhadap Kerajaan Jenggala dan menjadi buronan kami, apakah kehendakmu?"
Ni Dewi Nilamanik bertanya dengan sikap angkuh.
Tejolaksono tersenyum menjawab,
"Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro! Hadirku di sini bukanlah hal mengherankan karena aku adalah Patih Muda Panjalu dan kini memimpin rombongan utusan pribadi gusti sinuwum di Panjalu. Akan tetapi melihat andika berdua memimpin pasukan pengawal di Jenggala benar-benar patut diherankanl Pada pertemuan antara kita yang terakhir sepuluh tahun yang lalu, kalian adalah kaki tangan Kerajaan Cola yang mengacau daerah Panjalu dan' Jenggala. Bagaimana sekarang kalian dapat menjadi pimpinan pengawal di keraton Jenggala?"
Ni Dewi Nilamanik tertawa.
"Hi-hik, apakah anehnya hal itu? Pangeran Panji Sigit adalah Pangeran Jenggala yang berdosa, kini tahu-tahu muncul sebagai anggauta rombongan utusan Kerajaan Panjalu. Memang keadaan setiap orang selalu berubah. Sekarang, sebagai kepala pengawal penjaga, aku berhak untuk melarangmu memasuki kota raja sebelum engkau menjelaskan apa kehendakmu."
Hati Tejolaksono mendongkol sekali, akan ia menahan perasaannya. Ia maklum bahwa kalau sikap Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro seberani. ini, tentu mereka ini mempunyai andalan. Ni Dewi Nilamanik bukanlah seorang bodoh dan tentu saja cukup maklum bahwa menghadapi rombongan keluarganya, apalagi dengan hadirnya Bagus Seta yang selalu bersikap tenang dan pendiam itu, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro takkan dapat mengatasinya. Pula, melihat kenyataan bahwa memang kedua orang itu kini menjadi kepala pengawal, terpaksa ia menjawab sebagaimana mestinya, ,-
"Seperti telah dikatakan perwira yang dibunuh itu, kami adalah rombongan utusan gusti sinuwun Panjalu."
"Diutus apa?"
Ni Dew! Nilamanik memotong.
"Kami diutus menghadap gusti sinuwun Jenggala!"
"Ada keperluan apa?"
Api kemarahan terpancar dari sepasang mata Tejolaksono, akan tetapi ia menekan perasaannya dan berkata sambil tersenyum menghina,
"Wahai, pengawal apakah andika ini begini kurang ajar? Sedikitpun tidak menghormati junjunganmu sendiri! Atau kelirukah aku mengatakan bahwa gusti sinuwun di Jenggala adalah junjunganmu?"
"Tejolaksono, tidak perlu banyak rewel. Pendeknya, kalau ingin diperkenankan masuk kota raja, harus member! tahu dengan jelas apa keperluanmu hendak menghadap gusti sinuwun. Aku adalah kepala penjaga di sini dan berhak menjaga keamanan dan setiap orang yang lewat, tahu?"
"Kami diutus mempersembahkan sepucuk surat pribadi dari gusti sinuwun Panjalu untuk gusti sinuwun Jenggala."
"Serahkan saja surat itu kepada kami!"
Kata Ni Dewi Nilamanik.
"Hemm, ucapan apakah ini? Surat junjungan yang dipercayakan kepada kami sama harganya dengan nyawa kami, hanya gusti sinuwun Jenggala yang berhak menerima tangan tangan kami!"
Jawab Tejolaksono.
"Tidak mungkin menghadap gusti sinuwun. Beliau sedang sakit, tidak dapat menerima siapapun juga!"
"Kami telah mendengar akan berita itu. Justeru karena beliau sakit maka gusti sinuwum Panjalu mengutus kami untuk menjenguk dan mempersembahkan surat."
Ni Dewi Nilamanik tersenyum mengejek.
"Andika semenjak dahulu keras kepala, Tejolaksono. Baiklah, kalian diperkenankan menghadap, akan tetapi harus kami kawal agar kalian jangan sampai mendatangkan kekacauan di sini!"
"Sesukamulah. Yang penting bagi kami melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh gusti sinuwun kepada kami sebagai utusan."
Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan seruan memerintah dan pasukan pengawal membuka jalan dan pintu gerbang pun dibuka lebar-lebar.
Tejolaksono dapat merasakan sesuatu yang mengancam, akan tetapi ketika ia melirik puteranya, ia melihat wajah Bagus Seta tetap tenang saja, maka ia pun lalu mengangguk dan melangkah masuk diikuti oleh semua rombongannya dengan sikap penuh kewaspadaan.
Baru kurang lebih dua ratus langkah mereka berjalan, tiba-tiba dari luar pintu gerbang masuk barisan yang besar jumlahnya dan pintu gerbang ditutup, kemudian terdengar suara ketawa disusul suara nyaring,
"Huah-ha-ha-ha, pintu gerbang maut. Ada jalan masuk tidak ada jalan keluar! Tejolaksono, serahkan surat rajamu itu kepada kami dan menyerahlah, dengan demikian ada kemungkinan kalian terbebas dari kematian!"
Keluarga sakti itu berdiri tegak dalam keadaan siap waspada dan mereka melihat munculnya Wasi Bagaspati dan Warutama yang memimpin barisan pengawal yang segera bergabung dengan barisan yang baru masuk dari luar pintu gerbang sehingga tempat itu kini terkurung oleh barisan yang jumlahnya tidak kurang dari seribu orang!
"Wasi Bagaspati! Kami adalah utusan-utusan raja! Biarpun andika datang dari Kerajaan Cola, akan tetapi kurasa di sana pun terdapat peraturan bahwa utusan tidak boleh diganggu!"
"Utusan atau bukan, engkau harus tunduk akan peraturan di sini. Sang prabu sedang sakit, tak boleh diganggu maka surat itu harus diberikan kepada kami. Kalau menolak, berarti engkau akan mengacaukan menjelang penobatan raja baru di sini!"
Endang Patibroto yang melihat munculnya Warutama, tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya dan sepasang matanya menyinarkan api yang seolah"olah hendak membakar patih itu.
"Sindupati manusia keparat, jahanam berwatak iblis dan keji! Tibalah saatnya engkau mampus di tangan Endang Patibroto!"
Sambil memaki Endang Patibroto sudah melompat seperti terbang saja, tubuhnya melayang dan menyambar ke arah Warutama dengan pukulan sakti Wisangnala selagi tubuhnya masih di udara.
Warutama tidak menjadi terkejut karena memang dia sudah bersiap-siap menghadapi pertemuan
(Lanjut ke Jilid 51)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 51
dengan musuh besarnya ini yang tentu saja takkan berani ia lakukan kalau saja ia tidak mengandalkan kesaktian Wasi Bagaspati, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro dan ribuan orang pengawal.
Kini melihat wanita sakti yang ditakutinya itu menerjang maju dengan dahsyat, ia cepat menggulingkan tubuh ke atas tanah dan menggelinding pergi, lalu meloncat dan menyelinap lenyap ke dalam barisan pengawal.
"Tejolaksono, kalian hendak memberontak? Pengawal, tangkap mereka! "
Bentak Wasi Bagaspati sambil tertawa-"tawa saking girangnya karena ia merasa yakin bahwa kalau keluarga sakti ini dapat dibasmi, tentu penghalang yang amat besar bagi cita-citanya akan lenyap.
Yang paling kuat di antara rombongan itu adalah pemuda remaja aneh putera Tejolaksono, akan tetapi di situ ada dia yang akan dapat melawannya, dan dibantu oleh ribuan pengawal, tak mungkin fihaknya akan kalah.
Tejolaksono dan keluarganya diserbu oleh orang-orang tinggi besar, yaitu murid-murid Sang Wasi Bagaspati, juga Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik sudah menerjang maju.
Tejolaksono dan keluarganya cepat bergerak membela diri, sedangkan Endang Patibroto segera melepas panah api yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk memberi tanda kepada barisan Panjalu yang menanti-nanti di luar kota raja untuk melihat munculnya tanda ini.
Wasi Bagaspati yang ingin cepat-cepat membasmi keluarga sakti yang merupakan penghalang besar bagi pelaksanaan tugasnya, bahkan merupakan ancaman bagi kemajuan yang telah dicapai, mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua lengannya diangkat ke atas agak melengkung dan tiba-tiba dari sepuluh jari tangannya meluncur sinar merah seperti kilat membubung ke atas kemudian menukik turun menyerang kepala Tejolaksono sekeluarga yang delapan orang jumlahnya itu.
Karena Tejolaksono sekeluarga sedang dikeroyok banyak lawan, tentu saja serangan yang datangnya dari atas ini sukar untuk mereka hindarkan, akan tetapi pada saat itu, Bagus Seta yang masih belum turun tangan berseru,
"Wasi Bagaspati, tidak malukah andika bermain curang?"
Pemuda remaja itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan dari telapak tangannya itu menyambar sinar putih yang melengkung panjang dan membentuk lingkaran besar sekali melindungi di atas kepala Tejolaksono sekeluarga.
Ketika sinar-sinar merah itu menukik turun dan bertemu dengan lingkaran putih, sinar-sinar merah itu terpental jauh kemudian lenyap disusul pekik Wasi Bagaspati yang menjadi marah sekali.
"Heh si keparat Bagus Seta! Sekali ini aku akan membasmi dan membunuh seluruh keluargamu, kemudian menghancurkan Panjalu!"
Bagus Seta tetap tenang ketika menjawab,
"Wasi Bagaspati, andika siapakah berani bicara tentang membunuh? Seolah-olah andika berkuasa akan mati hidupnya manusia?"
"Kematian kalian telah berada di telapak tanganku, dan engkau masih berani bicara sombong? Huah-ha-ha-ha! Dikepung ribuan orang perajurit, masih ada lagi laksaan perajurit sebagai cadangan, kalian hendak terbang ke mana? Andaikan bersayap sekalipun, kalian takkan dapat lobos dari kematian!"
"Wasi Bagaspati, mati hidup berada di tangan Sang Hyang Widhi, bagaimana andika berani mengeluarkan ucapan seperti itu? Apabila Hyang Widhi tidak menghendaki seseorang mati, biar dia dikeroyok anak panah sejuta pun tidak akan mengenainya. Sebaliknya apabila kematian orang itu sudah dikehendaki Hyang Widhi, tidak ada kekuasaan di dunia ini dapat mencegahnya! Karena itu, kami menyandarkan dan menyerahkan diri ke dalam tangan Hyang Widhi dan jika kematian kami belum dikehendaki-Nya, segala usahamu untuk membunuh kami takkan berhasil, Wasi Bagaspati!"
"Babo-babo, si keparat! Sang Hyang-Shiwa berhak mencabut dan membinasakan setiap orang! Lihatlah ini!"
Wasi Bagaspati kembali mengangkat tangannya, kini hanya tangan kirinya yang mengeluarkan asap menghitam yang melayang ke arah kepala keluarga sakti itu.
Asap tebal hitam dan seperti hidup gerakannya, bahkan mengeluarkan suara mendesis seperti ular mengamuk.
"Kanjeng Rama sekalian, harap menahan napas sejenak!"
Bagus Seta berkata dengan suara lirih akan tetapi hebatnya, suara ini seolah-olah merupakan bisikan di dekat telinga tujuh orang ayah bunda dan paman bibinya yang sedang dikeroyok banyak musuh.
Untung mereka diberitahu oleh bisikan Bagus Seta karena asap hitam yang hanya menyerang mereka itu sebelum datang menyambar, dari jauh sudah lebih dulu menyerang dengan baunya yang mengandung hawa beracun.
Bagus Seta mengangkat pula tangan kirinya dan keluarlah asap putih yang bergerak cepat naik menyusul asap hitam. Terjadi pergumulan antara dua asap hitam putih di udara, akan tetapi jelas tampak betapa asap hitam itu digulung dan dihimpit dan akhirnya asap hitam seperti seekor anjing kalah bergumul, melayang kembali ke telapak tangan Wasi Bagaspati.
"Auuunggghhh........!"
Wasi Bagaspati memekik-mekik dan mukanya menjadi merah sekali dan mencorong seolah"olah telah menjadi bara api, kedua matanya berkilat-kilat,giginya berkerot-kerot, menyeramkan sekali. Menurutkan kemarahannya ingin ia mengeluarkan senjata Cakranya yang sebetulnya tidak boleh dikeluarkan secara sembarangan saja, akan tetapi ia teringat akan bunga Cempaka Putih yang dimiliki pemuda itu, maka ia menahan kemarahannya ini dan cepat menubruk maju dan menyerang Bagus Seta mempergunakan kedua tangannya.
Kini ia hendak membunuh pemuda ini menggunakan tenaga kasar, karena dalam hal pertandingan menggunakan batin ia tidak berhasil.
Bagus Seta cepat menggerakkan tubuhnya menyambut dan mulailah kedua orang yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia ini bertanding dengan seru, tubuh mereka berkelebatan dan lenyap dari pandangan mata orang biasa, yang tampak hanyalah dua gulungan sinar merah dan putih dari pakaian mereka.
Sementara itu, anggauta keluarga lain sedang mengalami pengeroyokan yang amat berat. Joko Pramono dan Pusporini yang ingin menebus kekalahan mereka dari Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik lima enam tahun yang lalu, sudah menerjang dua orang musuh ini dan mereka telah terlibat dalam pertandingan yang amat seru.
Joko Pramono menghadapi Ki Kolohangkoro dan Pusporini yang sudah marah sekali itu berhadapan dengan Ni Dewi Nilamanik.
Untung bagi kedua orang muda ini yang menghadapi lawan berat karena gerakan mereka dalam pertandingan ini amat cepat sehingga fihak pengawal tidak ada yang berani ikut mengeroyok.
Mereka tidak mampu mengikuti kecepatan empat orang yang bertanding ini sehingga kalau mengeroyok, besar bahayanya akan mengganggu pergerakan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik sendiri. Dan karena kini tingkat kepandaian dua orang murid Resi Mahesapati itu amat tinggi, maka mereka berdua dapat mendesak lawan yang makin lama merasa betapa kuat dan beratnya dua orang lawan muda itu.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keadaan anggauta keluarga sakti lainnya lebih payah lagi.
Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah lebih banyak pengalamannya dalam perang dan pertandingan"pertandingan keroyokan, mengamuk dengan hebat dan sepak terjang suami isteri ini amat menggiriskan.
Pasukan pengawal yang kena diterjang mereka seperti mentimun"mentimum bertemu durian, mawut dan kocar-kacir, banyak yang tewas.
Makin banyak datangnya pengeroyokan, makin gembira dan bersemangat dua orang perkasa ini mengamuk. Ayu Candra juga mengamuk, akan tetapi seperti halnya Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit, kepalanya menjadi pening melihat banyaknya pengeroyokan yang makin banyak itu.
Ia menjadi jijik dan ngeri seperti orang dikeroyok ribuan semut dan kalau pengeroyokan itu dilanjutkan terus, agaknya tiga orang inilah yang takkan kuat bertahan. Siapa yang tidak menjadi jijik dan ngeri kalau melihat para pengawal itu seperti kemasukan setan, roboh satu maju dua, roboh dua maju empat dan selalu berlipat ganda sehingga mayat telah bertumpuk malang melintang?
Karena ngeri dan gentar, sebuah mata tombak berhasil melukai ujung pundak Ayu Candra.
Biarpun hanya kulit dan sedikit daging saja yang terluka, namun Ayu Candra terhuyung-huyung bukan karena luka itu melainkan karena pening kepalanya menyaksikan para pengeroyok yang amat besar jumlahnya, seperti ombak samudera hendak menelan dirinya. Dalam keadaan terhuyung ini, lima tombak meluncur ke arah tubuhnya, sedangkan dalam detik itu Ayu Candra memejamkan mata untuk mengusir kepeningan kepalanya.
"Dinda........ awas........!"
Tejolaksono berseru dan suara suaminya ini menyadarkan Ayu Candra.
Ketika memejamkan matanya tadi, ia merasa betapa nikmatnya kehilangan semua pengeroyok yang tak tampak lagi, betapa nikmatnya menjauhkan diri dari pengeroyokan yang menjijikkan itu' sehingga ia terlena dan lengah.
Cepat ia membuka matanya dan kaget melihat lima ujung tombak sudah meluncur dekat. Ia segera melempar diri ke belakang dan bergulingan.
Tejolaksono sudah memaksa diri meninggalkan para pengeroyoknya dengan sebuah loncatan tinggi, kemudian tubuhnya menukik ke bawah dan menggunakan kakinya menerjang lima orang yang menyerang Ayu Candra itu. Lima orang itu menjerit dan tubuh mereka terpelanting ke kanan kiri seperti disambar halilintar. Dua orang di antara mereka pecah kepalanya dan yang tiga orang patah tulang lengannya.
"Kenapa, isteriku........?"
Tejolaksono memeluk Ayu Candra.
Ayu Candra tersenyum.
"Tidak apa-apa, Kakangmas, hanya........tadi agak pening melihat banyaknya setan-setan ini!"
Mereka tak sempat banyak bicara karena kembali mereka telah dikurung dan dikeroyok. Kini Tejolaksono bertanding dekat isterinya yang tidaklah begitu sakti seperti Endang Patibroto sehingga ia akan dapat melindunginya. Endang Patibroto memang amat menggiriskan sepak-terjangnya.
Ke manapun ia berkelebat, di sana tentu tampak para pengawal bergelimpangan dan Cara Endang Patribroto mengamuk juga membikin kacau barisan lawan. Wanita sakti ini tidak hanya mengamuk di suatu tempat tertentu, melainkan berpindah-pindah, meloncat ke sana ke mari seperti tingkah seekor burung elang menyambari sekumpulan anak ayam. Hal ini ada sebabnya.
Endang Patibroto amat membenci Sindupati yang kini telah menjadi Patih Warutama. jahat yang pernah memperkosanya di puncak Wilis itu harus dibunuhnya karena kalau dia tidak dapat membalas dendam ini, selamanya ia akan hidup menderita penasaran dan sakit hati.
Tadi ia tidak berhasil menyerang Warutama yang menyelinap di antara para pengawal, maka kini Endang Patibroto menerjang ke sana ke mari untuk mencari musuh besarnya itu.
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih bertempur bahu"membahu' dan tidak pernah berpisah jauh. Suami isteri ini maklum bahwa mereka berada dalam bahaya dan sungguhpun mereka sama sekali tidak merasa gentar karena penuh kepercayaan akan kemampuan keluarga mereka, akan tetapi mereka ingin selalu berdekatan sehingga apa pun yang akan terjadi, mereka takkan berpisah lagi dan dapat saling bantu dan saling melindungi.
Baiknya di antara para pengawal dan perajurit, masih banyak terdapat orang0"orang lama yang merasa segan dan suka kepada Pangeran Panji Sigit sehingga mereka mengeroyok secara terpaksa dan setengah hati. Betapapun juga, karena jumlah pengeroyok bukan main banyaknya, pangeran dan isterinya ini pun terdesak hebat.
Pertandingan antara Joko Pramono dan Ki Kolohangkoro berlangsung dengan hebat dan seru sekali. Mereka ini sama kuat dan sama digdaya, dan sungguhpun sepak-terjang Ki Kolohangkoro seperti seorang raksasa mabuk, kasar dan liar menggiriskan, namun Joko Pramono tetap tenang dan menyambut kekerasan dengan kekerasan pula. Perlahan akan tetapi tentu, Joko Pramono mulai dapat menindih dan mendesak Ki Kolohangkoro dengan pukulan-pukulannya yang ampuh, mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya yang mengatasi kecepatan Ki Kolohangkoro.
Pusporini menemui tanding yang lebih kuat daripada Ki Kolohangkoro.
Ni Dewi Nilamanik memang lebih sakti kalau dibandingkan dengan Ki Kolohangkoro yang kasar.
Wanita penyembah Durgo ini memiliki gerakan yang amat cepat dan tubuh yang ringan di samping permainan kebutan merahnya yang amat menggiriskan. Biarpun kalau dibuat perbandingan , Pusporini masih menang setingkat mengingat gemblengan Resi Mahesapati telah membuat dara perkasa ini memiliki aji kesaktian dan hawa sakti yang bersih dan kuat, namun ia kalah pengalaman oleh Ni Dewi Nilamanik.
Cara wanita penyembah Durgo itu mainkan kebutannya benar"benar membuat Pusporini bingung dan terdesak sampai belasan jurus lamanya.
Tiba-"tiba ujung kebutan itu terpecah menjadi lima bagian menyerang Pusporini di bagian tubuh yang berbahaya. Ketika Pusporini menggunakan kedua tangannya sibuk menangkis dengan kibasan jari tangan yang mengandung hawa sakti Pethit Nogo, tiba-tiba bagian ke lima dari kebutan itu telah menyambar dan melibat pinggang Pusporini yang ramping!
Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan suara ketawa mengejek, dengan pengerahan tenaga sakti ia menyendal untuk menarik roboh Pusporini, akan tetapi suara ketawanya terhenti dan bahkan terganti suara ah-ah"uh-uh orang yang menghimpun seluruh tenaganya. ia menarik-narik dan menyendal-nyendal, namun sia-sia belaka seperti seekor monyet hendak mencabut pohon cemara.
Tubuh Pusporini tidak bergeming. Hebat memang aji kesaktian Argoselo yang dipergunakan oleh Pusporini. Jangankan hanya Ni Dewi Nilamanik seorang, biar ditambah tiga orang lagi belum tentu akan dapat menarik roboh tubuh Pusporini yang ramping itu.
"Plakkk!"
Sebagai balasan, Pusporini mempergunakan kesempatan selagi Ni Dewi Nilamanik berkutetan hendak menariknya roboh, Pusporini menempiling dengan Aji Pethit Nogo ke arah pelipis Ni Dewi Nilamanik, dari atas ke bawah.
Betapapun saktinya Ni Dewi Nilamanik, kalau tempilingan aji pukulan Pethit Nogo ini menyentuh pelipisnya, tentu bagian kepala ini akan retak dan nyawanya akan melayang.
Akan tetapi Ni Dewi Nilamanik biarpun sedang dalam keadaan penasaran, masih sempat mengelak dengan menarik kepala ke belakang sehingga yang kena ditampar hanya pundaknya saja.
Namun hal ini cukup membuat tubuh Ni Dewi Nilamanik terpelanting dan libatan ujung kebutan di pinggang Pusporini terlepas. Ni Dewi Nilamanik cepat meloncat dan wajahnya menjadi merah sekali. Kalau saja ia tadi tidak cepat-cepat mengerahkan aji kekebalannya ke pundak, tentu tulang pundaknya sudah hancur. Kinipun rasa nyeri, panas dan menusuk-nusuk membuat ia menyeringai.
Kemarahannya memuncak dan ia memekik keras, tubuhnya menerjang maju, kebutannya mengeluarkan suara meledak-ledak ketika menyambar-nyambar di atas kepala Pusporini. Namun dara perkasa ini menyambutnya dengan gerakan yang tak kalah cepatnya dan membalas dengan pukulan yang tak kalah dahsyatnya.
BETAPAPUN juga, Joko Pramono dan Pusporini yang "menang angin"
Ini andaikata dapat merobohkan masing"masing lawannya, masih dinanti oleh lawan yang lebih berat lagi, yaitu pengeroyokan beratus-ratus orang pengawal! Keadaan keluarga sakti itu benar terhimpit.
Mereka berada di tengah-tengah kepungan ribuan orang pengawal, dan di situ selain Wasi Bagaspati, Ki Kolohangkoro yang melawan secara terang-terangan dibantu orang-orang yang bergerak seperti arca hidup tak kenal lelah dan tak kenal takut, juga masih terdapat orang"orang seperti Warutama yang mengatur barisan secara sembunyi.
Memang benar ucapan Wasi Bagaspati tadi bahwa pintu gerbang itu merupakan pintu gerbang maut bagi kedelapan anggauta keluarga sakti, karena mereka dapat masuk akan tetapi akan sukar sekali untuk dapat keluar.
"Huah-ha-ha-ha, Bagus Seta, sampai berapa lama keluargamu akan dapat bertahan? Dapat membunuh semua pengawal yang ribuan orang banyaknya? Dan di luar masih ada lebih banyak lagi, ha-ha-ha!"
Wasi Bagaspati tertawa-"tawa dan pertandingan antara dia dan Bagus Seta masih terjadi dengan serunya. Karena gerakan mereka berdua ini didorong oleh kekuatan gaib dari ilmu batin, maka pertandingan ini merupakan pertandingan yang amat aneh.
Kadang-kadang mereka berdua berkelebat lenyap berubah menjadi sinar merah dan putih pakaian mereka, kadang"kadang hanya berdiri tegak dan Baling pandang mengadu kekuatan sihir yang keluar dari pandang mata, atau hanya melalcukan gerakan-gerakan mendorong dari jarak jauh untuk mengadu tenaga sakti mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan pintu gerbang depan ambrol disusul masuknya barisan Panjalu bersama rakyat yang sama besar jumlahnya, rakyat Jenggala yang sepanjang jalan makin lama makin bertambah banyak menggabung pada barisan Panjalu yang hendak membebas kan mereka daripada belenggu penindasan mereka yang berkuasa di Jenggala pada waktu itu.
Masuknya barisan ini disertai sorak-sorai gegap-gempita seolah-olah menjawab ucapan yang keluar dari mulut Wasi Bagaspati tadi. Ternyata barisan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Darmokusumo itu telah melihat tanda panah api yang dilepas Endang Patibroto ketika keluarga sakti itu terancam bahaya.
Wasi Bagaspati terkejut sekali dan tak terasa ia mundur-"mundur dengan mata terbelalak.
Tiba-tiba terdengar raung yang mengejutkan, sepertl suitan harimau marah, dan mendengar ini, Wasi Bagaspati terkejut dan cepat menengok.
Wajahnya yang merah itu kini agak berubah ketika ia melihat pembantunya yang amat diandalkan, yaitu Ki Kolohangkoto, sedang berkutetan dengan maut yang hendak merenggut nyawanya melalui senjata nenggala yang menancap di perut Ki Kolohangkoro sendiri, menancap sampai tampak sedikit ujungnya di belakang perut!
Ternyata bahwa akhirnya kesaktian Joko Pramono terlalu berat bagi Ki Kolohangkoro.
Kakek penyembah Bathoro Kolo ini selalu terdesak dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang. Bahkan beberapa kali pukulan ampuh dari tangan Joko Pramono telah mengenal tubuhnya dan hanya kekebalannya yang luar biasa kuatnya sajalah yang menjaga sehingga Ki Kolohangkoro tidak roboh.
Ketika mendengar ambruknya pintu gerbang dan sorak-sorainya tentara Panjalu yang menyerbu ke dalam, Ki Kolohangkoro terkejut sekali. ia menengok dan wajahnya berubah pucat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Joko Pramono untuk menerjang dengan pukulan Cantuka-sakti yang amat hebat dan mengenai dada Ki Kolohangkoro. Dada yang bidang itu tidak pecah akan tetapi tubuh si kakek raksasa terjengkang ke belakang.
Joko Pramono menubruk maju, akan tetapi disambut dari bawah oleh tusukan senjata nenggala di tangan Ki Kolohangkoro.
Joko Pramono cukup waspada, mengerakkan tubuhnya miring sehingga nenggala itu lewat di dekat pinggangnya. Secepat kilat ia menangkap pergelangan tangan lawan dan dengan gerakan tiba-tiba membalikkan senjata nenggala dan mendorongnya ke perut Ki Kolohangkoro!
Joko Pramono meloncat ke belakang dan Ki Kolohangkoro mengeluarkan suara meraung keras, berusaha mencabut nenggalanya, bangkit terhuyung-"huyung, menggunakan kedua tangannya memegang nenggala, mencabut sambil mengerahkan tenaga.
Nenggala dapat tercabut, darah muncrat keluar didahului ususnya, matanya terbelalak, kedua tangannya yang berlumuran darah mengangkat nenggala tinggi-tinggi di atas kepala lalu ia menubruk maju menyerang Joko Pramono dengan dahsyatnya!
Joko Pramono mengelak dengan lompatan ke kiri dan tubuh kakek raksasa itu terjungkal ke depan dan roboh, berkelojotan sebentar lalu terdiam.
Melihat tewasnya Ki Kolohangkoro, sedangkan Ni Dewi Nilamanik juga terdesak sedangkan para perajurit Panjalu sudah mengamuk, Wasi Bagaspati meloncat ke atas dan melayang ke arah Ni Dewi Nilamanik sambil berseru,
"Dewi, kita pergi..........!"
Ni Dewi Nilamanik menggerakkan lengan kirinya dan asap hitam mengebul, menyambar ke arah Pusporini. Gadis perkasa ini cepat melompat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan Ni Dewi untuk meloncat jauh, mengikuti Wasi Bagaspati yang hendak melarikan diri.
"Kejar.........!!"
Tejolaksono berseru keras dan berlombalah keluarga sakti itu melakukan pengejaran. Bagus Seta hendak berseru mencegah, namun terlambat karena semua keluarganya sudah mengejar, maka ia pun lalu menggerakkan kaki meluncur ke depan ikut melakukan pengejaran pula.
Tangan kiri Wasi Bagaspati menggandeng tangan Ni Dewi Nilamanik ketika berlari ia menengok dan tertawa ketika melihat keluarga sakti mengejarnya. Tangan kanannya bergerak dan jari-jari tangannya terbuka.
"Awas senjata rahasia..........!"
Bagus Seta berseru dari belakang.
Keluarga sakti terkejut dan benar saja, dari tangan Wasi Bagaspati itu menyambar sinar berwarna hijau dan bagaikan hujan datangnya benda-benda kecil menyerang mereka dengan kecepatan yang luar biasa sekali.
Tejolaksono dan keluarganya cepat menggerakkan tangan mengibas sambil berlompatan menghindar, bahkan dari jauh Bagus Seta sudah mendorongkan tangannya sehingga sebagian besar sinar hijau itu runtuh ke pinggir, akan tetapi karena cepat dan kuatnya benda-benda kecil hijau itu menyambari maka beberapa orang di antara mereka terkena senjata rahasia bersinar hijau itu.
Pangeran Panji Sigit terkena pipinya, Ayu Candra terkena pada bahunyat Pusporini terkena pundaknya, dan Setyaningsih juga terkena senjata rahasla pada lengannya.
Akan tetapi mereka menjadi lega ketika melihat bahwa senjata-senjata rahasia bersinar hijau itu hanyalah duri-duri berwarna hijau seperti duri kembang mawar, dan hanya menancap setengahnya sehingga ketika dicabut, hanya menimbulkan luka kecil yang mengeluarkan setetes darah saja dan tidak terasa apa-"apa
"Untung tidak berbahaya. Kita harus lekas menyerbu ke dalam istanal"
Kata Tejolaksono.
"Harus kutangkap Sindupati manusia jahanam!"
Kata Endang Patibroto.
"Aku akan membekuk batang leher Suminten siluman betina itu!"
Kata Pusporini.
"Saya harap Kakangmas Patih suka lebih dulu menyelamatkan kanjeng rama.........
"
Pangeran Panji Sigit berkata.
Mendengar ini, semua orang baru sadar dan ingat bahwa mereka melupakan hal yang terpenting.
"Ah, benar sekali. Kita harus menyelamatkan gusti sinuwun,"
Kata Tejolaksono.
"Bagus Seta dan aku sendiri akan menemani Pangeran Panji Sigit menyelamatkan gusti sinuwun. Yang lain membantu rakanda Pangeran Darmokusumo melakukan pembersihan! Ingat, kurangi pembunuhan terhadap perajurit Jenggala. Musuh kita hanyalah kaki tangan penjahat-penjahat itu!"
"Marilah Rakanda Patih.......!"
Kata Pangeran Panji Sigit yang merasa gelisah mengingat akan keselamatan ramandanya yang dikabarkan sakit keras itu.
Tejolaksono dan Bagus Seta lalu bergerak mengikuti Panji Sigit dan berlari menuju ke istana.
Perang telah terjadi merata di seluruh kota raja. Hal ini tadi sesuai dengan siasat Pangeran Darmokusumo yang lebih dahulu telah menyelundupkan beberapa orang ke dalam kota raja, menguasai pintu gerbang dan membagi tentaranya menjadi beberapa kelompok sehingga mereka dapat menyerbu ke dalam kota raja melalui beberapa pintu gerbang.
Tentara Panjalu yang dibantu oleh rakyat Jenggala sendiri telah menyusup ke dalam sehingga di depan istana itu sendiri telah terjadi pertempuran. Namun Pangeran Panji Sigit tidak emperdulikan pertempuran itu, terus saja berlari memasuki istana.
Beberapa pengawal yang masih setia kepada Suminten dan Pangeran Kukutan menyambut mereka dengan tombak di tangan, namun dengan mudah Tejolaksono merobohlon mereka. Pangeran Panji Sigit yang sudah hafal akan keadaan di istana ini, bergagas lari menuju kamar tidur ramandanya.
Pintu berukiran indah dari kamar tidur itu tertutup. Pintu yang tebal dan indah, berukuran besar.
Pangeran Panji Sigit mengetuk daun pintu. Tidak ada jawaban dan tidak ada suara dari dalam, sunyi sekali. Amat mengherankan karena selamanya kamar Ini pasti dijaga pengawal dan di sebelah dalam ada abdi dalem yang melayani segala keperluan yang dibutuhkan sri baginda.
Pangeran Panji Sigit mendorong daun pintu, akan tetapi tak dapat dibuka.
"Dikunci dari dalam.........
"
Katanya cemas.
"Dalam keadaan seperti ini, tidak ada pilihan lain. Kita paksa saja pintu ini terbuka. Bagaimana pendapatmu, Bagus?"
"Harap Ramanda membiarkan saya membuka pintu ini. Mungkin sekali di sebelah dalam ada sesuatu yang berbahaya dan tidak tersangka-sangka."
Ki Patih Tejolaksono mengangguk dan melangkah mundur, bersama Pangeran Panji Sigit berdiri di belakang Bagus Seta.
Tejolaksono sudah maklum bahwa puteranya amat sakti, akan tetapi sekali ini ia ingin melihat dengan aji pukulan apa puteranya hendak memaksa daun pintu terbuka.
Ia melihat tangan kiri Bagus Seta, sebuah tangan yang berkulit halus dan lembut, seperti tangan Ayu Candra, bergerak mendorong perlahan, seperti tidak bertenaga. Akan tetapi terdengar suara keras di sebelah dalam kamar di balik pintu itu, seolah-olah palang pintu patah-patah dan daun pintu bergerak terbuka dengan cepat sekali.
"Celaka!!"
Tejolaksono dan Pangeran Panji Sigit berteriak dengan hati penuh kengerian.
Kiranya daun pintu itu adanya terbuka sedemikian cepatnya karena dipasangi tambang yang mengikat daun pintu, terus ke atas balok melintang di bawah atap dan ujung tambang itu mengikat sebuah batu sebesar kerbau yang tadinya tergantung di atas pembaringan di mana sang prabu yang sudah tua itu tampak berbaring dan tidur pulas.
Tentu saja jika pintu itu dibuka dengan paksa dari luar, palangnya patah, daun pintu itu terbuka dan karena tarikan batu yang tidak ada penahannya dan meluncur ke bawah, daun pintu terbuka cepat sekali, sama cepatnya dengan batu sebesar kerbau yang kini jatuh menimpa sang prabu, hanya tinggal beberapa jengkal lagi sehingga seorang sakti seperti Tejolaksono sekali pun hanya dapat berteriak dan tak berdaya menolong.
Akan tetapi Bagus Seta sudah menggerakkan lengan kanannya didorongkan ke depan dan batu sebesar kerbau itu terhenti di udara, hanya dua jengkal di atas tubuh sang prabu!
Melihat ini, cepat Tejolaksono melompat maju dan mendorong batu besar itu dengan kedua tangannya sehingga batu itu kemudian jatuh menimpa meja yang menjadi hancur berkeping-keping!
"Kanjeng Rama.........!"
Pangeran Panji Sigit lalu menubruk ramandanya, sedangkan Bagus Seta melangkah maju, menyembah lalu mengusap wajah sri baginda yang tua keriputan dan pucat itu.
Terdengar sri baginda raja mengeluh dan membuka matanya.
Ketika melihat Panji Sigit, wajah raja tua itu berseri, lalu bangkit dan memeluk kepala puteranya yang sesungguhnya amat disayangnya itu.
"Duh para Dewata yang Maha Murah......... terima kasih bahwa engkau masih hidup dalam keadaan sehat, puteraku, Sigit.........!"
"Kanjeng Rama, hamba mendengar berita bahwa paduka......... gering........"
"Ahhh, sakit parah sekali, Puteraku. Sakit jiwa......... bukan raga yang sudah tua ini......... eh, siapakah satria ini? Seperti pernah aku melihatnya.........
"
Sri baginda memandang kepada Tejolaksono yang berlutut.
"Hamba Tejolaksono, gusti."
"Wah benar! Tejolaksono yang gagah perkasa! Sekarang patih dalam di Panjalu, bukan? Dan......... pemuda ini......... pemuda luar biasa......... begitu lembut pandang matanya, siapakah andika, wahai bocah bagus?"
"Hamba Bagus Seta, putera kanjeng rama Tejolaksono."
"Ah, kalian semua datang terlambat. Aku pun sadar setelah terlambat......... aduh, Puteraku, betapa besar dosa-dosaku, betapa ringkih batinku. Ahhh, kini terlambat sudah, segalanya, kerajaan ini telah berada dalam cengkeraman mereka....""
"Hamba sudah mengetahui semua itu, Kanjeng Rama. Hamba sudah tahu akan persekutuan jahat antara Suminten, Pangeran Kukutan dan Patih Warutama....""
"Bukan itu saja, Puteraku. Melainkan orang-orang sakti dari Cola.... ahhh, betapa kejinya bersekutu dengan musuh negara.... dan aku.... aku tak berdaya lagi, setelah aku dipisahkan dengan semua orang yang setia kepadaku....
"
"Hamba juga sudah tahu akan hal itu, Kanjeng Rama. Dan berkat pertolongan satria-satria perkasa seperti rakanda patih dan puteranya inilah maka kerajaan Paduka Kanjeng Rama tertolong....
"
"Apa? Bagaimana kalian dapat masuk ke sini dan.... dan.... batu itu.... ah, aku tahu mereka memasang batu itu di atasku sehingga kalau ada yang memaksa membuka pintu, aku.... aku....
"
"Harap Paduka suka menenangkan hati, Sinuwun. Kini bahaya sudah lewat bagi keselamatan Paduka,"
Bagus Seta berkata, suaranya halus dan ramah, mengandung pengaruh menenangkan hati yang mujijat.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Andika benar, Bagus Seta, dan terima kasih atas bantuan kalian. Akan tetapi, bagaimana....? Mereka telah mencengkeram kerajaan ini, tidak hanya di istana, juga di luar istana, di seluruh kerajaan, ponggawa"ponggawa diganti, pengawal-pengawal diganti....."
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai di luar dan sang prabu bangkit berdiri.
"Apakah itu? Jangan-jangan mereka datang menyerbu. Puteraku, lekas kau bersembunyi, lekas keluar dari kamar ini. Aku tidak ingin melihat karena kelalimanku engkaupun menjadi korban. Tejolaksono, tolonglah selamatkan puteraku keluar dari sini.........!"
Pangeran Pinji Sigit bangkit berdiri dan menggandeng tangan ramandanya sambil berkata,
"Harap paduka jangan khawatir, Kanjeng Rama. Suara itu adalah suara kemenangan dari barisan Panjalu yang membantu kita, yang menghalau dan membasmi oknum-oknum jahat yang mencengkeram Jenggala. Marilah, mari kita sama menyaksikannya, Kanjeng Rama."
Pangeran itu menuntun ramandanya keluar dari kamar, dan terns keluar menuju ke ruangan depan istana.
"
Barisan Panjalu? Sampai menyerang untuk menolongku? Aduh, kasihan rakyatku.........perang selalu berarti penderitaan bagi rakyat jelata.........!!"
"Akan tetapi perang sekali ini bahkan akan membebaskan mereka daripada penderitaan, Kanjeng Rama. Selama ini mereka tertindas dan diperas oleh para pengacau yang kini sedang kita basmi."
Sang prabu yang sudah tua itu melihat pertempuran besar, hatinya penuh keprihatinan dan ia minta kepada Pangeran Panji Sigit untuk membawanya ke panggung depan istana di mana ia dapat melihat pertempuran yang terjadi di alun-alun
"Berhenti.........! Semua kawulaku yang masih setia kepadaku. Berhenti dan jangan melawan pasukan-pasukan Panjalu.........!!"
Sang prabu berteriak-teriak, tetapi teriakannya hilang ditelan suara perang yang amat gaduh.
"Gusti Sinuwun, bolehkan hamba mewakili Paduka menghentikan mereka?"
Bagus Seta bertanya halus. Sri baginda mengangguk penuh harapan karena hatinya terasa perih sekali menyaksikan betapa kawulanya sendiri, rakyat Jenggala, membantu barisan Panjalu dan membunuhi perajurit-perajurit Jenggala sendiri!
Bagus Seta lalu berdiri di dekat raja dan terdengar suaranya, biasa saja seperti orang bicara, tidak berteriak-"teriak, dan jelas terdengar mengandung wibawa,
"Saudara sekalian yang sedang bertempur, hentikanlah pertempuran dan lihatlah ke sini, gusti sinuwun telah berkenan keluar dan hendak bicara kepada Andika sekalian. Barisan Panjalu diminta menghentikan pertempuran pula!"
Sri baginda sendiri bersangsi apakah suara pemuda ini akan dapat terdengar oleh mereka yang sedang bertempur. Suaranya sendiri yang ia teriakkan keras-keras tadi hilang ditelan kegaduhan, apalagi suara pemuda ini yang hanya perlahan saja. Mana mungkin terdengar oleh semua orang yang sedang bertempur? Akan tetapi, sang prabu melihat keanehan terjadi. Semua orang yang sedang bertanding itu berhenti secara tiba-tiba dan menengok ke arah panggung. Kemudian terdengarlah suara-suara mereka,
"Gusti sinuwun........!"
"Sesungguhnya gusti sinuwun yang hadir!"
"Setelah sekian lamanya! Betapa kurus beliau........!"
Dan berlututlah para rakyat dan perajurit Jenggala menghadap raja mereka yang sudah amat lama tidak pernah keluar dari dalam kamar itu.
Kini kelompok manusia di bawah itu terbagi dua. Yang berlutut tentulah rakyat Jenggala, adapun yang tetap berdiri namun tidak lagi menggerakkan senjata adalah perajurit-perajurit Panjalu.
Keadaan menjadi sunyi senyap dan melihat sekian banyaknya orang yang tadi bertempur mati-matian itu kini tidak ada yang bergerak, benar-benar mempesonakan.
Tiba-"tiba tampak ada beberapa orang bergerak, bahkan berlarian menuju panggung. Mereka itu adalah Pangeran Darmokusumo yang diikuti oleh Endang Patibroto, Ayu Candra, Pusporini, Setyaningsih, dan Joko Pramono.
Mereka ini bergegas menaiki panggung dan berlutut menyembah di depan sang prabu yang menerima mereka dengan senyum terharu.
"Ah, puteraku mantu Darmokusumo, untung ada engkau yang membantu. Dan andika, Endang Patibroto......... ah,betapa bertumpuk-tumpuk budi yang telah Andika lakukan untuk Jenggala."
"Mohon beribu ampun, Kanjeng Rama."
Pangeran Darmokusumo sebenarnya adalah keponakan Raja Jenggala, akan tetapi karena ia menikah dengan puteri Jenggala yang bernama Maya Galuh, maka pamannya ini menjadi ayah mertuanya dan ia menyebutnya kanjeng rama.
"Terpaksa hamba mengerahkan perajurit Panjalu untuk membantu Paduka menghadapi kekuasaan jahat yang mencengkeram Jenggala. Perkenankanlah hamba kini memerintahkan barisan Panjalu untuk menghentikan pertempuran dan keluar dari kota raja agar jangan sampai terjadi kesalahfahaman antara perajurit-perajurit Panjalu dan perajurit-perajurit Jenggala."
"Baik sekali usulmu, Puteraku. Lakukanlah."
Pangeran Darmokusumo menyembah lalu bangkit berdiri dan mengeluarkan perintah dengan suara keras agar semua pasukan Panjalu mengundurkan diri di luar dinding kota raja, menanti perintah lebih lanjut, dan agar membawa teman-temannya yang terluka atau tewas.
Mendengar ini, barisan Panjalu bergerak bagaikan semut, lalu keluar kota raja dengan aman, sementara itu, para perajurit dan rakyat Jenggala tetap berlutut di alun-alun menanti amanat raja mereka yang telah sekian lamanya seolah-olah lenyap itu.
Setelah semua pasukan Panjalu mundur dan keadaan sunyi kembali, sri baginda lalu berkata dengan suara lantang,
"Wahai semua kawulaku, dengarlah baik-baik. Selama ini aku, raja kalian yang tua ini, telah tenggelam ke dalam kelalaian, menderita sakit jiwa sehingga mengabaikan urusan pemerintahan dan mengabaikan rakyatku. Kuminta maaf kepada seluruh rakyatku dan syukur kepada Dewata bahwa hari ini aku terbebas daripada keadaan itu. Kerajaan kita untuk beberapa lama dicengkeram kekuasaan jahat sehingga banyak ponggawa setia terhukum mati dan digantikan oleh ponggawa-ponggawa yang sesungguhnya adalah musuh-musuh negara. Karena itu, kuminta kepada mereka yang tadinya terseret atau terpaksa mengabdi kepada kekuasaan jahat itu untuk sadar kembali dan menyatakan kesetiaan kepada kerajaan dengan jalan menghalau atau membasmi mereka yang menjadi kaki tangan kekuasaan jahat yang kelak akan diganti dengan ponggawa-ponggawa setia di antara kalian. Pengangkatan raja baru, mengingat akan usiaku yang telah lanjut, tetap akan diadakan, akan tetapi yang akan menggantikan aku bukanlah si Kukutan yang palsu itu, melainkan puteraku, Pangeran Panji Sigit!"
Sorak-sorai menyambut ucapan sri baginda ini dan terjadilah kegaduhan ketika para perajurit bergerak menangkapi perwira-perwira mereka sendiri yang tadinya diangkat oleh Pangeran Kukutan dan Suminten.
Tanpa dikomando lagi mereka itu bergerak dan mengadakan "pembersihan"
Di kalangan mereka sendiri. Sang prabu menghela napas, tidak sampai hati menyaksikan akibat daripada kelemahannya sendiri dan mengajak semua orang yang berada di panggung untuk memasuki istana dan di saat itu juga sang prabu membuka persidangan.
Tak lama kemudian bermunculanlah ponggawa-"ponggawa lama yang tadinya terpaksa atau terpikat menjadi kaki tangan kekuasaan barn.
Mendengar anjuran sang prabu tadi untuk sadar dan kembali, mereka ini memberanikan berturut-turut maju dengan tubuh gemetar dan kedua tangan dirangkapkan seperti serombongan anjing melipat ekornya karena takut digebuk!
Bagus Seta dan Tejolaksono mengajukan permohonan untuk mencari dan menangkap biang keladi semua kekacauan, yaitu Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama.
Akan tetapi setelah memperkenankan dan baru saja mereka berdiri, tiba-tiba Pangeran Panji Sigit roboh terguling, disusul robohnya Ayu Candra dan Setyaningsih! Tiga orang itu roboh dan merintih-rintih di atas lantai, Pangeran Panji Sigit menggaruk-garuk pipinya, Ayu Candra menggaruk-garuk bahunya, dan Setyaningsih menggaruk-garuk lengannya.
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo