Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 43


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 43



Keadaan mereka amat aneh karena sambil menggaruk-garuk muka mereka menjadi merah sekali dan mulut mereka yang tadinya merintih"rintih itu kini berbisik-bisik!

   "Setyaningsih, kekasihku, isteriku....

   "

   Bisik Pangeran Panji Sigit.

   "Rakanda Pangeran, pujaanku, junjunganku....

   "

   Setyaningsih juga merintih-rintih dan berbisik mesra, kemudian kedua orang itu merangkak saling menghampiri dan berpelukan, berciuman!

   "Kakangmas Tejolaksono.... ah, Kakangmas.... yang tercinta....!"

   Ayu Candra juga menubruk dan merangkul leher Tejolaksono yang terbelalak keheranan.

   Sri baginda memandang semua ini dengan muka merah dan mata melotot. Beginikah tingkah laku puteranya yang barn saja ia umumkan akan dijadikan penggantinya? Akan tetapi Bagus Seta cepat melangkah maju dan tiga kali menepuk ia membuat tiga orang itu mengeluh dan pingsan.

   Mereka dibaringkan di lantai dan Bagus Seta lalu berkata, setelah memeriksa sejenak,

   "Mereka ini terkena racun yang terbawa duri-duri yang dipergunakan Wasi Bagaspati tadi. Racun ini jahat sekali,mula-mula merangsang akan tetapi karena racunnya sudah memasuki jalan darah, kalau tidak cepat tertolong dapat membawa maut. Agaknya hamba harus cepat pergi mencari obatnya untuk memunahkan racun Ular Wilis ini.........

   "

   Bagus Seta sudah bangkit, akan tetapi tiba-tiba Pusporini dan Joko Pramono berseru hampir berbareng,

   "Ular Wilis.........??"

   Semua orang memandang mereka, dan Pusporini cepat berkata,

   "Ah, sekarang hamba mengerti mengapa kalau mereka bertiga terpengaruh racun, hamba sendiri yang juga terkena duri itu di pundak hamba, tidak apa-apa! Karena racun Ular Wilis dan karena hamba memakai mustika Ular Wilis, maka selamat!"

   Bagus Seta menoleh kepadanya.

   "Sungguh Dewata adil dan penuh kasih kepada yang benar! Bibi Pusporini mempunyai mustika Ular Wilis?"

   Pusporini sudah mengeluarkan mustika ular yang bercahaya hijau itu. Memang semenjak Resi Mahesapati memberikan mustika itu kepadanya, ia mengalungkannya dan tak pernah mustika itu terpisah dari tubuhnya. Bagus Seta menerima mustika itu dan berkata lirih,

   "Kehendak Hyang Wisesa selalu terjadilah! Betapa akan kecelik rasa hati Wasi Bagaspati kalau dia mengetahui bahwa di antara kita ada yang mempunyai batu mustika Ular Wilis!"

   Pemuda sakti ini lalu menggunakan batu mustika ditempelkan sebentar di bagian tubuh ketiga orang yang menjadi korban senjata rahasia itu. Setelah mereka disadarkan kembali, ketiga orang itu menjadi terheran"heran dan bertanya,

   "Mengapa......... mengapa aku rebah di sini.........?"

   Tejolaksono lalu menceritakan bahwa mereka menjadi korban racun senjata rahasia Wasi Bagaspati, dan tertolong oleh mustika Ular Wilis. Hati mereka menjadi lega, dan sri baginda yang tadinya marah dan kecewa, setelah tahu duduknya perkara, juga tersenyum kembali dan mengutuk kejahatan Wasi Bagaspati.

   Ketika Tejolaksono dan Bagus Seta melakukan penggeledahan dan pemeriksaan, diantar oleh Pangeran Panji Sigit yang mengenal semua tempat di istana, tentu saja mereka tidak menemukan jejak Suminten, Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama.

   Ke manakah perginya tiga orang yang merupakan persekutuan yang menjadi biang keladi semua kekacauan itu? Begitu mendengar akan penyerbuan barisan Panjalu, mendengar betapa Ki Kolohangkoro tewas, Ni Dewi Nilamanik dan Wasi Bagaspati melarikan diri, para perwira kaki tangan mereka tewas dan barisan mereka terdesak kocar-kacir, tiga orang itu tentu saja tidak tinggal diam.

   Tergesa-gesa mereka itu berunding untuk melarikan diri bersama melalui jalan rahasia dari belakang istana.

   Warutama bergegas pulang ke kepatihan untuk meninggalkan pesan kepada kedua isterinya.

   Akan tetapi apakah yang ia dapatkan? Kedua isterinya itu, Wulandari dan Dyah Handini, ibu dan anak, sedang bertengkar ramai! Ucapan terakhir yang didengarnya ketika ia masuk adalah ucapan isterinya yang tua, Wulandari,

   "Tahukah engkau siapa dia itu? Dia adalah ayahmu sendirl, ayah kandungmu! Nah, sekarang engkau ketahui manusia macam apa adanya suamimu, suami kita. Dia manusia terkutuk yang telah memperisteri anaknya sendiri! Betapa maluku nanti menghadapi dimas Panji Sigit dan para pangeran lainnya, betapa aku telah terperosok ke lembah kehinaan dengan menjadi barang permainan manusia macam Sindupati! Ya, menjadi benda permainanlah kita berdua ini, Anakku. Ingat saja apa yang biasa ia lakukan kepada kita berdua selama ini. Tak tahu malu! Ahhh, lebih baik aku mati saja.........!"

   "Ibu.........!"

   Dyah Handini menjerit.

   "Kalau dia ayahku, mengapa ibu tidak memberi tahu dahulu? Ahh, kalau aku tahu hemm, akan kubunuh dia!"

   Tiba-tiba daun pintu terbuka dan Warutama atau Sindupati muncul di depan ibu dan anak yang menjadi pucat wajahnya itu.

   Tak lama kemudian terdengar jerit-jerit mengerikan di dalam kamar itu dan ketika Sindupati keluar dari istana kepatihan membawa benda-benda emas dan intan yang berharga, ia melirik untuk terakhir kalinya kepada dua batang tubuh wanita yang menggeletak tak bernyawa lagi di dalam kamar itu dan ia menyeringai ke arah mayat Wulandari dan Dyah Handini!

   Kalau saja ia tidak mendengar percakapan mereka, tidak perlu ia membunuh mereka, demikian ia menghibur diri sendiri ketika ia bergegas pergi ke taman sari milik pribadi Suminten untuk berkumpul dengan dua orang rekannya di sana kemudian bersama-sama melarikan diri.

   Suminten dan Pangeran Kukutan muncul dengan tergesa-gesa pula.

   Pangeran Kukutan membawa sebuah buntalan besar dan berat, agaknya penuh dengan benda"benda berharga dan melihat kedua orang itu, Sindupati tertawa.

   Dia tidaklah seperti Suminten dan Pangeran Kukutan yang kelihatan ketakutan. Dalam keadaan seperti itu, kehilangan kemuliaan dan kemewahan sebagai patih, Sindupati masih mampu tertawa, mentertawakan Suminten dan Pangeran Kukutan yang berpakaian seperti petani"-petani biasa!

   "Lebih aman memakai pakaian rakyat biasa dalam pelarian,"

   Kata Pangeran Kukutan menangkis tertawaan Sindupati ketika mereka mulai berjalan memasuki lorong rahasia yang menembus keluar kota raja tanpa melalui pintu gerbang, melainkan keluar melalui terowongan yang dibuat menembus di bawah pintu gerbang itu.

   (Lanjut ke Jilid 52)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 52

   "Memang kalian amat pantas berpakaian seperti itu,"

   Kata Sindupati.

   Suminten melerok marah, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia diam saja hanya mengerutkan alisnya penuh keprihatinan. Diam-diam ia mengutuk Wasi Bagaspati dan kaki tangannya yang ternyata tidak mampu mempertahankan Jenggala, dan diam-diam ia mengutuk Pangeran Kukutan yang begitu tidak sabar untuk cepat-"cepat menjadi raja sehingga mereka harus memaksa sang prabu untuk menobatkan Pangeran Kukutan menjadi raja.

   Kalau saja tidak terlalu tergesa-gesa dan membiarkan keadaan berjalan seperti biasa, tentu tidak akan memancing datangnya serbuan dari Panjalu. Kalau saja......... kalau......... kalau.........ah, tidak perlu segala penyesalan itu.Yang penting sekarang melarikan diri agar jangan sampai tertangkap. ia ngeri memikirkan kalau sampai dia ditawan oleh Kerajaan Jenggala. Masa depannya tidak terlalu gelap. Pangeran Kukutan adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan dan mencintanya. Dan mereka membawa bekal yang cukup banyak untuk kebutuhan mereka.

   Kini mereka telah tiba di luar kota raja.

   Sunyi di sini karena pertempuran beralih ke dalam kota raja yang masih terdengar dari situ. Hanya mayat-mayat bergelimpangan dan rintihan mereka yang terluka saja yang terdapat di luar dinding kota raja.

   Suminten bergidik dan mereka melanjutkan perjalanan ke barat. Setelah agak jauh dari kota raja, dan tiba di pinggir persawahan yang juga sunyi karena para penduduknya pergi mengungsi begitu terjadi perang, hati Suminten agak lapang.

   Tiba-tiba Sindupati berkata.

   "Berikan buntalan itu kepadaku!"

   Ucapan ini terdengar oleh Suminten dan Pangeran Kukutan seperti suara halilintar di tengah hari!

   Mereka memandang kepada Sindupati atau Warutama dengan wajah pucat dan mata terbelalak. Pangeran Kukutan bertanya kasar dan marah,

   "Apakah maksudmu dengan ucapan itu?"

   "Apa maksudku? Maksudku jelas! Tidak patut seorang petani miskin seperti Andika ini membawa-bawa sebuntal barang-barang berharga milik istana pula. Kesinikan, berikan kepadaku!"

   "Jangan main-main, Paman patih....

   "

   "Aku bukan patih lagi dan Andika bukan pula pangeran, melainkan orang-orang pelarian, ha-ha-ha! Ayo berikan, ataukah harus kupaksa?"

   "Tidak! Tidak boleh! Mililcku sekarang hanya tinggal ini......... tidak boleh!"

   Suminten tak dapat berkata apa-apa, hanya memandang kepada Sindupati penuh kebencian.

   "Berani engkau membantah Sindupati? Ha-ha-ha!"

   Sindupati meraih untuk merampas buntalan, akan tetapi Pangeran Kukutan mengelak, bahkan lalu memukul ke arah lambung Sindupati dengan nekat.

   Sindupati cepat menangkis dan balas memukul. Maka berkelahilah kedua orang bekas sekutu itu memperebutkan sebuntal barang-"barang berharga!

   Akan tetapi, Pangeran Kukutan tentu saja bukanlah lawan seimbang dari Sindupati yang telah memiliki kesaktian, maka dalam beberapa belas gebrakan saja,buntalan dapat dirampas dan tubuh Pangeran Kukutan menggeletak di galengan sawah dengan kepala pecah.

   Pangeran yang tadinya sudah menjadi putera mahkota, yang nyaris menjadi raja di Jenggala dalam waktu beberapa pekan lagi, kini menggeletak mati sebagai seorang petani di pinggir sawah!

   Suminten menghampiri Sindupati dan merangkul pinggang pria itu, menggeser-geserkan tubuh depannya dan berbisik.

   "Tepat sekali apa yang kau lakukan ini, Warutama......... eh, ataukah Kakang Sindupati? Kakang Sindupati lebih gagah terdengarnya. Tadi memang aku sudah ada pikiran untuk minta kepada Andika melenyapkan saja pangeran menyebalkan ini. Mari kita lekas pergi dari sini, kekasih pujaan hatiku..........!!"

   Sindupati menunduk dan memandang rambut yang halus dan harum itu dengan mata terbelalak. Ia bergidik dan muak. Alangkah berbahayanya perempuan ini, melebihi seekor ular welang! Akan tetapi ia tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha, engkau boleh ikut bersamaku, Suminten. Engkau masih banyak gunanya bagiku, bukankah begitu, manis?"

   Ia menunduk dan mencium pipi wanita itu, akan tetapi Suminten merangkulnya dan membalas dengan mencium bibirnya amat mesra dan penuh nafsu berahi.

   "Tentu saja, Kakang Sindupati, kita dapat saling bekerja sama dengan mesra dan cocok untuk waktu yang lama sekali."

   Kedua orang itu melangkah lagi ke barat tanpa menengok satu kali pun kepada mayat Pangeran Kukutan yang mengelatak di pinggir sawah dengan hidung, mulut, dan telinga mengalirkan darah itu. Dan tak jauh dari situ, di sebelah barat, kini mulailah mereka bertemu dengan rombongan-rombongan tentara yang melarikan diri!

   Tentara Jenggala yang lari kacau-balau karena kehilangan pimpinan. Kalau pasukan sudah tidak ada yang memimpin, tidak ada yang ditakuti lagi, tidak ada disiplin dan hukum, tentu saja terjadi perbuatan-perbuatan pelanggaran yang akibatnya mendatangkan derita bagi rakyat.

   Demikian pula sisa-sisa pasukan Jenggalla yang melarikan diri ini, di sepanjang jalan tentu saja mengganggu dusun-dusun, mengambil makanan dengan paksa, mengangkut benda"benda berharga, menculik dan memperkosa gadis-gadis remaja. Pendeknya, tidak ada perbuatan kekarasan yang menjadi pantangan bagi mereka.

   "Eh......... Gusti Patih, nih! Hendak pergi ke manakah, Gusti Patih?"

   Seorang di antara mereka yang agaknya mabuk tuak yang dirampasnya dari penduduk dusun, bertanya secara kurang ajar kepada Sindupati yang segera dikurung oleh dua puluh orang perajurit yang menyeringai dan memandang dengan penuh nafsu dan kekaguman kepada Suminten.

   "Wah, Gusti Patih pandai sekali mendapatkan seorang yang begini denok!"

   Seorang lain berkata.

   "Dan bekalnya banyak benar, sebuntal besar. Bagi-bagi dong, Gusti Patih!"

   Sindupati tertawa. Ia mengenal baik orang-orang kasar seperti ini sehingga tidak perlu ia tersinggung. Ia malah tertawa dan berkata,

   "Kita sudah kalah, tidak perlu main patih-patihan lagi. Ha-ha-ha!"

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Mereka semua tertawa bergelak, mulut mereka terbuka lebar-lebar sehingga Suminten dapat melihat rongga mulut yang lebar-lebar dan merah di balik gigi yang kuning-kuning.

   "Buntalan ini tak dapat kubagi, kalian boleh mencari sendiri di jalan. Adapun ini......... kalau kalian suka, boleh kalian miliki. Aku sudah bosan dengan dial"

   Sindupati mendorong tubuh Suminten sehingga terhuyung-huyung dan belasan pasang lengan menerimanya dengan penuh gairah.

   "Tidak......... tidak.........jangan......... Sindupati......... ah, jangan.........

   "

   Sindupati menengok dan tertawa, lalu pergi tanpa menoleh lagi biarpun ia mendengar jerit Suminten, malah berlari makin cepat sehingga akhirnya ia tidak mendengar apa-apa lagi, baru ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan biasa, memutar otak ke mana ia akan menujukan kakinya mencari petualangan baru tanpa menyesali kegagalannya di Jenggala setelah ia hampir tiba di puncak tertinggi.

   Ia tidak perlu menyesal, tidak perlu kecewa, hanya sebuah hal yang selalu menjadi ganjalan hatinya, yaitu dendam Endang Patibroto terhadap dirinya. Hal inilah yang membuat ia selalu gelisah dan tidak dapat memkmati hidup.

   Ia merasa menyesal sekali dan menyumpahi kekeliruannya ketika ia tidak dapat menahan nafsu dan berani memperkosa wanita sakti yang baru mengingatnya saja sudah membuat bulu tengkuknya meremang itu.

   "Jangan......... Mundur semua kalian, manusia-manusia biadab! Tidak tahukah kalian siapa aku? Butakah mata kalian tidak mengenal junjungan kalian? Bedebah kamu semua, kurang ajar, lepaskan tanganku!"

   Suminten menjerit dan memaki.

   Dua puluh orang laki-laki kasar itu terbelalak, lalu tertawa bergelak dan menganggap lucu sikap wanita dusun yang amat cantik jelita ini. Biarpun kulitnya tetap agak hitam seperti kulit wanita petani, namun halus bukan main.

   "Duhai puteri jelita, mohon beribu ampun kalau hamba sekalian ,tidak mengenal siapa gerangan paduka puteri ini.Sudilah kiranya paduka puteri berkenan memperkenalkan diri agar hamba sekalian dapat memberi hormat sebagaimana layaknya,"

   Demikian berkata seorang di antar mereka dengan suara dan sikap dibuat-buat sehingga semua temannya tertawa geli dan juga berpura-pura dengan sembah hormat sambil cekikikan seperti sekumpulan anak"anak nakal.

   "Oohhh, kalian ini bukankah para perajurit Jenggala? Apakah benar kalian tidak mengenal aku ataukah sudah buta matamu? Aku adalah junjunganmu, selir kinasih (tersayang) sang prabu, Suminten."

   Kembali dua puluh orang itu tertawa bergelak. Suminten? Baru pakaiannya saja pakaian sederhana, pakaian. wanita dusun, wanita petani, mengaku sebagai Suminten?

   "Wah, jadi paduka ini Gusti Puteri Suminten? Kalau begitu kebetulan sekali, karena Gusti Puteri terkenal paling doyan pria-pria muda dan kuat. Kebetulan kami dua puluh orang adalah pria-pria yang kuat, ha-ha-ha!"

   Kembali mereka berebut maju, berlomba dulu untuk memeluk dan menggerayang tubuh yang padat itu. Suminten menjerit-jerit, kemaki-maki, meronta-ronta, akan tetapi apakah dayanya menghadapi dua puluh orang laki-"laki yang kasar? Akhirnya ia menjerit-jerit dan menangis, namun apapun yang dilakukan malah seakan-akan menambah gairah dua puluh orang pria yang memperkosanya berganti-ganti itu.

   Sampai malam tiba barulah mereka melepaskan Suminten yang menggeletak pingsan di pinggir hutan, meninggalkan perempuan ini sambil tertawa-tawa puas dan memuji-muji.

   Kemudian mereka melanjutkan perjalanan untuk mengacau kampung"kampung, mencari rampasan-rampasan baru, mencari calon korban mereka, wanita-wanita baru.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suminten merangkak sambil merintih-rintih, pakaiannya robek-robek, pakaian yang direnggutkan secara kasar oleh banyak tangan, yang terpaksa dipakainya untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat, untuk menahan serangan hawa dingin pagi itu. Kemudian, setelah merangkak seperti seekor anjing sakit untuk beberapa lamanya, kadang-kadang jatuh dan menangis, akhirnya ia dapat bangkit berdiri, berjalan terhuyung-huyung.

   Tiba-tiba ia berhenti, menengadah dan tertawa kecicikan, kemudian menangis lagi, tertawa lagi.

   Menjelang tengah hari ia bertemu dengan dua orang pemburu di dalam hutan, dua orang pemburu yang lebih pantas disebut orang hutan daripada manusia, liar dan kasar karena lebih sering berada di hutan memburu binatang dari pada hidup di masyarakat ramai.

   "Hi-hik, ke sinilah, wong bagus! Ke sinilah kalian berdua! Lihat, apakah tubuhku tidak denok dan montok? Apakah rambutku tidak hitam panjang dan halus? Wajahku cantik dan tubuhnya hangat! Ke sinilah kalian..........!"

   Sejenak dua orang pria itu saling pandang, akan tetapi kemudian mereka terbelalak memandang ketika Suminten menanggalkan pakaiannya yang compang-camping, memperlihatkan tubuh yang benar-benar mempesonakan dua orang pemburu itu.

   Sungguh, selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan bentuk tubuh seindah ini! Dan wajah itu, biarpun agak kotor dan rambutnya kusut, namun harus mereka akui cantik manis dan rambutnya benar-benar hitam panjang dan berombak.

   Setankah wanita itu? Siluman yang menggoda mereka? Peri? Andaikata mereka tidak berdua, tentu seorang din saja mereka akan lari saking ngeri. Akan tetapi karena mereka berdua, mereka kini malah menghampiri dan begitu tangan mereka menyentuh lengan Suminten dan mendapat kenyataan bahwa si cantik itu benar-benar seorang manusia, keduanya lalu berebut untuk mendapatkan wanita menggairahkan ini lebih dulu!

   Suminten menyambut mereka dengan pelukan mesra dan tertawa terkekeh-kekeh.

   Beberapa hari kemudian, setiap orang pria yang berjumpa dengan Suminten tentu lari dan dikejar-kejarnya sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata merayu, menawarkan tubuhnya.

   Akan tetapi setiap orang laki-laki yang melihatnya menjadi amat jijik dan melarikan diri. Siapa orangnya sudi berdekatan dengan seorang wanita yang kurus kotor, bermuka pucat dan jelas miring otaknya? Akhirnya, tidak sampai sebulan kemudian, orang mendapatkan tubuh Suminten yang telanjang bulat dan kurus kering menggetak mati di dekat sungai, agaknya kelaparan atau kedinginan.

   Suminten, bekas selir terkasih, bahkan bekas orang yang paling berkuasa di Jenggala, mati sebagai seorang pengemis gila yang tak dikenal orang, dan dikuburkan orang hanya karena orang lain tidak mau terganggu mayat membusuk, tidak ada yang berkabung untuknya, tidak ada yang menangisi kematiannya, bahkan tidak ada yang mengenal siapakah wanita terlantar yang mati itu.

   Sungguh akhir hidup yang menyedihkan. Menyedihkankah? Tentu saja menyedihkan diukur pendapat manusia umumnya.

   Benarkah pendapat ini? Belum tentu benar, akan tetapi juga belum tentu benar pendapat umum bahwa ketika menjadi orang yang paling berkuasa di Jenggala, Suminten menikmati kehidupan yang bahagia! Suka atau duka, menyenangkan atau menyedihkan, hanyalah merupakan hasil pendapat dari pandangan orang lain!

   Bulan ini menjadi orang yang paling berkuasa di Jenggala, bulan berikutnya mati seperti seekor anjing kelaparan di pinggir sungai. Inilah keadaan Suminten.

   Demikian pula dengan keadaan hidup manusia ini. Hari ini tertawa, esok menangis atau sebaliknya. Hari ini berhasil dan menang, esok bisa saja gagal dan kalah. Memang isi daripada hidup hanya satu di antara dua yang selalu berselingan, yang sudah semestinya begitu, seperti kemestian bahwa yang hidup menghadapi mati.

   Tak dapat diubah lagi. Karena itu, manusia yang sadar selalu ingat akan dua kata-kata yang berbunyi.

   "Ojo dumeh"

   Yang artinya manusia tidak boleh tekebur, tidak boleh sombong, tidak boleh mengandalkan kekayaan, kedudukan dan kekuasaan karena semua itu hanyalah sekedar "barang pinjaman"

   Belaka. Kesemuanya itu, kalau Tuhan menghendaki, dapat lenyap meninggalkan manusia atau ditinggalkan manusia.

   Orang yang sadar akan menganggap kesemuanya itu hanya sebagai suatu anugerah yang patut dinikmati namun yang sama sekali bukan merupakan tujuan hidupnya, dan sekali-kali tidak boleh menguasai dan memperhamba batinnya.

   Orang yang mabuk akan kemenangan, akan menjadi amat sengsara hatinya kalau sekali waktu dikalahkan. Orang yang terlalu menyayang akan keduniawian yang didapatnya, akan sengsara hatinya kalau kehilangan semua itu. Sebaliknya, orang yang mendendam kekalahan akan menjadi mata gelap dan tersiksa oleh dendamnya sendiri.

   Berbahagialah dia yang dapat tersenyum di kala kehilangan, dan bersahaja di kala mendapatkan hasil baik, tidak iri hati kepada yang di atas selagi dia berada di bawah, juga tidak menghina kepada yang di bawah selagi dia berada di atas.

   
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suminten adalah orang yang selalu mengejar kesenangan, oleh karena itu, mengherankankah kalau dia bertemu dengan kesusahan? Kesenangan dan kesusahan tak terpisahkan, ada senang tentu ada susah, mencari senang berarti mencari susah.

   Orang yang diperhamba oleh nafsu akan kesenangan takkan dapat menikmati kesenangan, karena dia selalu haus dan takkan dapat terpuaskan sehingga akhirnya ia akan tersiksa oleh kehausan akan kesenangan, dan menjadi mata gelap, tidak segan-segan melakukan perbuatan kejam terhadap manusia lain yang bagaimanapun demi untuk mengejar dan mendapatkan cita"cita yang dianggapnya menjadi sumber kesenangan hidupnya.

   Sama sekali tidak tahu atau sadar bahwa yang dikejar-kejar itu kosong melompong, bagaikan mengejar bayangan sendiri, makin dikejar makin menjauh, dikata jauh tak pernah terpisah dari tubuh sendiri! Betapa patut dikasihani manusia seperti Suminten ini!

   Retna Wills berseru girang sekali ketika ia melihat bintang yang setiap malam dipandangnya itu melayang jatuh menjadi sinar yang panjang. Itulah tanda bagi dia untuk diperbolehkan meninggalkan pantai yang sunyi ini seperti yang dipesankan gurunya, Nini Bumigarba yang telah lenyap bersama Bhagawan Ekadenta di Laut Selatan.

   Setelah merasa yakin bahwa bintang yang dimaksudkan gurunya itu betul-betul telah runtuh dan tidak tampak lagi di angkasa, Retna Wills lalu melangkah perlahan menuju tepi laut.

   Sampai lama ia memandang ke arah laut, seolah"olah ia hendak minta doa restu gurunya. Ia termenung seperti telah berubah menjadi arca dewi menjaga pantai dan barn sadar ketika ada Benda berat menindih kakinya. Ia menunduk dan melihat seekor kura-kura besar di depan kakinya. Kiranya kura-kura yang pernah membantunya mengambil pedang pusaka Sapudenta itulah yang tadi mendekam di kakinya.

   "Eh, Kukura yang baik, malam ini adalah malam terakhir aku berada di sini. Bawalah aku berjalan di sepanjang pantai, Kukura."

   Retna Wilis lalu duduk di atas punggung kura-kura raksasa itu dan dengan mendorong"dorong leher binatang itu, ia dapat mengendarai binatang Itu berjalan-jalan bersama Kukura menikmati angin laut dan pemandangan indah ombak-ombak laut ditimpa sinar bulan yang keemasan.

   Ketika matahari muncul kemerahan di permukaan laut sebelah timur, barulah Retna Wilis menyuruh pergi yang kembali ke laut, kemudian ia pun mandi sampai puas dan berganti pakaiannya yang serba hijau.

   Rambutnya yang hitam panjang ia gelung sebagian di atas kepala dan membiarkan sisa rambut itu terurai ke belakang.

   Pakaiannya ringkas dan ketat, pedangnya ia ikat di belakang punggung, wajahnya berseri dan segar ketika akhirnya gadis remaja ini meninggalkan pantai dan berjalan ke utara. Ia hanya ingat bahwa letak Gunung Wilis adalah di barat, dan bahwa untuk menuju ke Gunung Wilis ia hams meninggalkan pantai itu menuju ke utara, kemudian ia akan membelok ke barat.

   Apakah ibunya masih berada di puncak Wilis? Apakah Padepokan Wilis masih berdiri dan ibunya masih menjadi pernimpin Padepokan Wilis? Dia teringat akan nasehat gurunya,

   "Kelak engkau harus menjadi puteri yang menguasai seluruh jagad. Dengan demikian, tidak percuma engkau berpayah-payah belajar di sini dan tidak percuma menjadi murid Nini Bumigarba. Engkau pergilah ke Wilis, himpun kekuatan barisanmu dari Wilis dan kemudian taklukkan semua kerajaan sampai bertekuk di depan kakimu. Ajaklah ibumu, akan tetapi kalau Endang Patibroto menghalangi cita-citamu, tantanglah dia! Biar ibu sendiri kalau menghalangi cita-citamu, tak perlu ditaati, karena engkau adalah seorang puteri yang paling sakti di dunia ini, bukan seorang kanak-kanak yang harus menurut apa Baja yang dikatakan ibumu!"

   Di dalam sudut hatinya, Retna Wilis tidak setuju kalau dia harus menentang ibunya, namun sanjungan-sanjungan gurunya menghidupkan sebuah tekad di hatinya, yaitu bahwa dia harus menguasai jagad sebagai seorang Ratu yang tiada bandingnya! Kalau ibunya menentang, hemm.... bagaimana nanti sajalah.

   la sudah mendengar dari ibunya betapa ayahnya adalah Adipati Tejolaksono dan betapa ibunya terpaksa meninggalkan ayahnya itu karena ibunya hanyalah seorang selir!

   Ibunya hidup merana, mengasingkan diri di Wilis. Karena itu, ia akan mengangkat derajat ibunya, akan membuka mata ayahnya yang bernama Adipati Tejolaksono itu bahwa ibunya bukan seorang wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang menjadi ibu Ratu Dunia! Ayahnya dan isteri ayahnya itu kelak akan ia taklukkan dan ia paksa untuk bertekuk lutut di depan ibunya, untuk minta ampun!

   Dengan semangat menyala-nyala dan wajah berseri penuh keyakinan bahwa semua cita-citanya pasti akan berhasil, Retna Wilis melakukan perjalanan cepat ke utara. Akan tetapi sebagai seorang yang bertahun-tahun hidup di pantai, kini di sepanjang memasuki hutan-hutan dan melihat buah-buahan, Retna Wilis yang sesungguhnya hanyalah seorang gadis remaja itu seringkali berhenti memetik buah-buah dan kembang-kembang!

   Ketika Retna Wilis sedang duduk di bawah pohon dan dengan nikmatnya makan buah semangka yang dipetiknya di jalan tadi, tiba-tiba ia mengerutkan keningnya dan menghentikan sebentar gerakannya makan semangka.

   Akan tetapi ia segera melanjutkan menggerogoti semangka yang merah dan manis itu, tidak peduli akan bayangan banyak orang yang sedang memasuki hutan itu dan menuju ke tempat ia duduk.

   Rombongan orang itu terdiri dari tiga puluh orang lebih laki-laki yang kasar dan memegang bermacam senjata tajam. Mereka berjalan sambil berkelakar dengan suara kasar dan yang mereka bicarakan adalah pengalaman-pengalaman mereka di sepanjang perjalanan melarikan din dari Jenggala, pengalaman membakar rumah penduduk, merampok dan terutama sekali tentang wanita"wanita yang mereka perkosa.

   "Ha-ha-ha, lebih senang begini, kawan-kawan!"

   Terdengar suara yang parau dan paling kasar di antara yang lainnya.

   "Dahulu yang manis-manis dihabiskan oleh para pangeran sendiri, dan para perwira. Kini kita bebas dan setiap menginginkan wanita tinggal ambil saja, ha-ha-ha!"

   "Benar! Selama menjadi perajurit di Jenggala aim tidak pernah mendapat kesempatan menikmati wanita seperti malam tadi, ha-ha-ha!"

   Mendengar ini, bangkit perhatian Retna Wilis. Hemm, jadi mereka ini perajurit-perajurit Jenggala yang melarikan diri! Dia membutuhkan anak buah dan mereka ini baik sekali dijadikan anak buah ibunya di Wilis. Akan tetapi ia melanjutkan menghabiskan semangka di tangannya.

   "Wahhhh... peri kahyangan..!!"

   Seketika suara ribut-ribut tadi berhenti dan tiga puluh orang laki-laki itu mengurung Retna Wilis dengan mata terbelalak kagum dan mulut mengilar seperti macan-macan kelaparan melihat seekor domba gemuk.

   Retna Wilis hanya melirik sebentar, terus menghabiskan semangkanya. Kemudian sambil memegang kulit semangka ia berdiri dan kembali terdengar seruan "wah-wah-wah!"

   Saking kagum mereka. Setelah gadis itu berdiri, bukan hanya wajah cantik itu yang mereka kagumi, melainkan juga bentuk tubuh yang ramping padat dan denok.

   "Kalian ini perajurit-perajurit pelarian dari Jenggala? Apakah mereka yang berkuasa di Jenggala benar sudah hancur dan kalian kehilangan pekerjaan? Kalau kalian mau, mulai saat ini boleh kalian menghambakan diri kepadaku dan kelak kalian akan dapat menjadi perajurit-perajurit dari kerajaan terbesar di seluruh dunia!"

   Sejenak tiga puluh orang laki-laki kasar itu tercengang, kemudian saling pandang dan meledaklah suara ketawa mereka. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya tampan juga dan dia terkenal paling jagoan di antara teman"temannya, juga paling ganas menghadapi wanita di sepanjang jalan pelarian mereka yang mereka ganggu, melangkah maju dan memandang Retna Wilis penuh perhatian, dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu dan mulut menyeringai.

   "Eh-eh, engkau ini perawan dari mana bicara begini besar?"

   Retna Wilis tidak marah, bahkan tersenyum.

   "Aku adalah Perawan Lembah Wilis, atau calon ratu yang akan menundukkan seluruh kerajaan di Nusa Jawa, termasuk Jenggala dan Panjalu!"

   Kembali mereka tertegun dan kembali meledaklah suara ketawa mereka. Jagoan yang bertanya tadi lalu berkata,

   "Waduh, denok. Apakah otakmu miring? Sayang kalau miring, engkau begini cantik manis dan denok. Mari kuobati penyakitmu, ditanggung engkau akan sembuh dari penyakit gilamu. Marilah manis!"

   Setelah berkata demikian, laki-laki itu mengulur tangan kirinya ke arah dada Retna Wilis sedangkan tangan kanannya hendak merangkul leher. Akan tetapi Retna Wilis melangkah mundur, memandang dengan muka merah dan alisnya mulai berkerut.

   "Hemm, apakah kalian ini sudah bosan hidup? Lekas berlutut minta ampun dan menyatakan takluk, atau hemm, kubunuh kalian semua!"

   "Aduh-aduh, hebat sekali kesombonganmu, cah manis! Biarlah, aku memilih mati, mati dalam pelukanmu, ha-ha-ha!"

   Jagoan itu mengejek lagi dan semua kawannya tertawa-tawa.

   "Kardi, lekas bereskan dia, setelah engkau baru aku! Ah, sudah gemas aku ingin menggigit bibirnya yang kenes itu!"

   Teriak seorang laki-laki yang berkumis tebal, sekepal sebelah sambil mengelus kumisnya dan lidahnya menjilat"jilat bibir seperti orang yang kehausan melihat semangka.

   Jagoan yang bernama Kardi itu tertawa, kini meloncat ke depan menubruk Retna Wilis.

   Gadis ini marah sekali, marah yang timbul dari kekecewaan mengapa orang-orang ini tidak mau mentaati perintahnya. Tangan kirinya yang memegang kulit semangka itu menyambar ke depan.

   "Pratttt!!!"

   Kardi menjerit dan roboh bergulingan, mengaduh-aduh berusaha melepas kulit semangka yang melekat di pipinya. Akan tetapi begitu ditarik, darahnya menyemprot keluar dan ia menjerit-jerit kesakitan.

   Ternyata kulit semangka itu telah menghancurkan kulit dan menempel pada tulang rahangnya menggantikan kulitnya sehingga kalau dibeset sama halnya dengan mengupas kulit mukanya. Saking nyerinya, Kardi roboh dan mengerang kesakitan.

   Sejenak kawannya laki-laki kasar itu terkejut dan tercengang. Akan tetapi kemarahan mereka bangkit dan dua orang, satu di antaranya adalah si jenggot tebal tadi, sudah menubruk maju dengan kedua tangan terpentang untuk menangkap perawan yang mereka anggap selain cantik manis denok juga sombong dan galak itu.

   Ingin mereka merobek-robek pakaian garis itu dan beramai-ramai melahapnya seperti sekumpulan serigala kelaparan melahap dan merobek-robek daging seekor domba muda.

   "Plak-plak!!"

   Kembali tangan kin Retna Wilis bergerak tanpa ia menggerakkan kedua kakinya yang masih

   terpentang dengan tubuh tegak. Karena sekali ini yang menyambut dada dan kepala kedua orang itu bukan kulit semangka melainkan jari tangannya, si kumis tebal roboh dengan tulang dada patah-patah sedangkan kawannya roboh dengan kepala pecah dan otaknya muncrat bersama darah.

   Keduanya tewas seketika dengan mata mendelik dan dalam keadaan yang mengerikan sekali.

   "Hayoh, siapa lagi yang bosan hidup?"

   Retna Wills membentak,sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya

   bertolak pinggang dan ia berdiri tegak, sikapnya gagah dan garang sekali. Akan tetapi sekumpulan perajurit Jenggala itu adalah orang-orang kasar yang tidak dapat mengenal orang sakti. Melihat tiga orang kawan mereka roboh, mereka menjadi marah sekali.

   Kesempatan itu dipergunakan oleh empat orang anggauta gerombolan yang berdiri terdekat di belakang Retna Wills untuk menggerakkan golok mereka menyerbu dari belakang, membacokkan senjata mereka ke arah tubuh belakang dan kepala Retna Wilis.

   "Syuuuutttt...plak-plak-plak-plakk!!"

   Tubuh Retna Wilis diputar membalik, kedua tangannya dengan jari terbuka menyambar empat kali. Empat batang golok lawan terbang disusul robohnya tubuh mereka yang tak mungkin dapat bangun kembali karena sekali tampar saja cukup bagi Retna Wilis untuk membuat kepala mereka retak dan dada mereka pecah!

   Robohnya empat orang ini seolah-olah merupakan tanda bagi semua laki-laki di situ untuk menerjang maju. Retna Wilis mengeluarkan seruan marah dan kecewa, akan tetapi ia tidak pernah menggeser kedua kakinya, hanya tubuh atasnya saja berputar ke sana ke mari dan kedua tangannya membagi-bagi tamparan maut.

   Tidak ada yang harus dipukul dua kali karena sekali tampar saja nyawa mereka dipaksa meninggalkan raga. Bagaikan sekumpulan laron menerjang api, Para bekas perajurit Jenggala itu menyerbu untuk mati.

   Setelah lebih dari setengah jumlah mereka roboh binasa, barulah sisanya seperti terbuka mata mereka, dan serta merta mereka menjatuhkan din berlutut, melempar golok dan menyembah minta ampun. Retna Wilis berdiri di tengah-tengah tumpukan mayat yang berserakan, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum puas, kedua tangan di pinggang. ia mengugguk-angguk.

   "Bagus, baru kalian mengenal kesaktian Perawan Lembah Wilis, ya? Mulai sekarang, kalian menjadi anak buahku, calon anak buah Kerajaan Wilis dan kalian hams menyebut aku Gusti Puteri Retna Wilis. Sekarang kalian ikuti aku ke Gunung Wilis, tidak melakukan sesuatu tanpa ijinku. Siapa membantah?"

   Tidak ada yang berani membantah, hanya ada seorang di antara mereka yang agak tua memandang mayat-mayat itu dan bertanya dengan suara gemetar.

   "Maaf, Gusti Puteri. Bagaimana dengan mayat-mayat ini.! "

   "Bagaimana lagi? Tinggalkan saja. Mereka menjadi bagian binatang-binatang hutan. Hayo berangkat!"

   Lima belas orang bekas perajurit Jenggala itu bangkit berdiri dan memanang junjungan barn itu dengan penuh kagum dan rasa takut.

   Tahulah mereka, bahwa wanita muda, gadis remaja ini dalah seorang yang selain sakti mandrauna, juga memiliki kekerasan hati yang menggiriskan.

   Retna Wilis dahulu seringkali mendapat nasehat-nasehat gurunya tentang memimpin anak buah. Maka lcini pun, biar dia sendiri dapat menahan tidak makan minum sampai berhari-hari, dia memperhatikan keperluan anak buahnya dan membolehkan mereka itu mengambil hasil-hasil sawah di luar dusun-dusun untuk dimakan.

   AKAN tetapi ia sama sekali melarang mereka mengganggu pedusunan.

   "Semua rakyat adalah calon rakyatku, mulai sekarang mereka harus diberi pengertian bahwa di Wilis terdapat Kerajaan Wilis yang jaya dan yang membutuhkan bantuan-bantuan rakyat sebagai pasukan-"pasukan Wilis."

   Dua hari kemudian, setelah mereka tiba di kaki Gunung Wilis, rombongan lima belas orang yang dipimpin Retna Wilis ini bertemu dengan perajurit pelarian lain dari Jenggala yang berjumlah lima puluhan orang, dikepalai oleh seorang bekas perwira yang ikut melarikan diri.

   Perwira ini bertubuh tinggi besar, dan sepasang matanya amat menakutkan, lebar dan agalcnya tak pernah berkedip, melotot terns seperti mata orang yang selalu marah.

   "Heh, kalian juga berkeliaran sampai di sini?"

   Laki-laki bermata lebar itu menegur bekas anak buahnya.

   "Dan kalian mendapatkan seorang dara begin hebat? Berikan kepadaku dan kalian lebih baik menggabung dengan pasukanku, kami hendak menyerbu Wilis dan menduduki puncak itu untuk menjadi markas kita."

   Mata yang melotot itu memandang Retna Wilis penuh gairah.

   "Eh........ ahh....... Kakang Barun....... jangan bicara begitu....... beliau ini adalah junjungan dan pemimpin kami....... Gusti Puteri Retna Wilis. Lebih baik Andika semua menyerah dan menjadi anak buah Wilis, menyembah pemimpin kami yang sakti mandraguna ini......"

   "Huah-ha-ha-ha! Apakah kalian sudah gila semua? Aku menyembah dara ini? Heh-heh, minggirlah biar kutangkap dia dan menjadi kekasihku!"

   Barun sudah melangkah maju akan tetapi Retna Wilis membentak,

   "Berhenti!!"

   Bentakan dara ini mengandung wibawa mujijat sehingga Barun tersentak kaget, tidak dapat melangkah maju lagi. Akan tetapi dasar dia seorang yang telah menganggap diri sendiri amat digdaya, hanya sebentar is terkejut dan tertawa lagi.

   "Ha-ha, engkau sungguh denok akan tetapi galak. Aku senang akan dara yang penuh semangat sepertimu, manis. Namamu Retna Wilis? Aduh, terhadap aku jangan galak, bocah ayu."

   "Barun dan semua anak buahmu, lekas kalian berlutut menyembah aku. Akulah calon ratu di Wilis dan calon ratu kerajaan besar yang menaklukkan seluruh kerajaan! Menyembahlah sebelum terlambat, karena sekali aku bergerak, engkau dan teman-temanmu yang melawanku akan mampus!"

   Sambil berkata demikian, ibu jari kaki Retna Wills mencokel tanah dan segumpal tanah campur pasir melayang ke atas, disambarnya dengan tangan kanan.

   Akan tetapi Barun menoleh ke belakang, memandang kawan-kawannya dan tertawalah lelaki ini bergelak-gelak. Teman-temannya juga karena selama hidup mereka sekali ini melihat dan mendengar seorang gadis remaja mengeluarkan ancaman seperti itu.

   "Huah-ha-ha-heh-heh, engkau sungguh lucu sekali! Hayo, kawan-kawan, kita maju dan melihat apa yang akan dilakukan dara jelita ini!"

   Sesungguhnya, biarpun hatinya tidak percaya dan tidak takut akan ancaman Retna Wilis, namun bertemu pandang dengan dara itu mendatangkan sesuatu yang menyeramkan hatinya, maka Barun mengajak teman-temannya maju bersama.

   Ada tujuh orang yang dengan penuh gairah meloncat maju mendampingi Barun, siap untuk menangkap dara yang cantik itu. Delapan orang itu lalu menghampiri Retna Wilis dengan muka menyeringai.

   "Heh-heh-heh, hayo engkau akan dapat berbuat apa, bocah kewek?"

   Barun mengejek, hatinya besar karena ada tujuh orang yang pembantunya mendampinginya. Jarak antara delapan orang itu dengan Retna Wilis masih ada empat meter, dan Retna Wills yang ingin mendapatkan anak buah sebanyaknya itu membentak lagi,

   "Berlututlah sebelum terlambat!"

   Namun, tentu saja delapan orang laiki-laki tinggi besar itu tidak suka mentaati perintah ini dan mereka tetap melangkah maju.

   "Mampuslah kalau begitu!"

   Retna Wilis mengayun tangannya dan sinar hitam ke arah delapan orang itu.

   Itulah tanah pasir yang dicongkel ibu jari kakinya tadi dan biarpun hanya pasir dan tanah biasa, namun berada di tangan Retna Wilis berubahlah menjadi senjata yang amat dahsyat mengerikan karena dia mempergunakan Aji Pasir Sakti! Begitu sinar-sinar hitam itu menyambar, delapan orang itu menjerit-jerit dan roboh bergulingan,berkelojotan seperti cacing-cacing terkena abu papas karena muka mereka telah ditembusi pasir-pasir halus itu sampai masuk ke dalam otak!

   Sisa anak buah Barun terbelalak dan pucat sekali. Barulah mereka kini percaya bahwa gadis remaja ini amatlah sakti. Seketika kecut dan takutlah hati mereka dan cepa t-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah minta ampun.

   Retna Wilis tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan, kemudian berkata,

   "Akulah Gusti Puteri Retna Wilis, Perawan Lembah Wilis yang tidak suka dibantah. Siapa lagi yang sudah bosan hidup?"

   Kini semua orang, termasuk lima belas orang pengikutnya tadi, berlutut semua dan tidak berani berkutik. Baru sekali ini selama hidup mereka, orang-orang kasar ini benar-benar kagum, tunduk dan takut, juga merasa bangga bahwa mereka dapat menghambakan diri kepada seorang yang sesakti ini.

   Dengan seorang pemimpin seperti dara ini, mereka percaya akan dapat menaklukkan seluruh kerajaan. Beramai-ramai mereka menyembah,

   "Hamba sekalian taat akan segala perintah Gusti Puteri!"

   Demikian mereka berkata.

   Dari tempat ,yang agak jauh, ada seorang laki-laki yang bersembunyi di atas pohon dan menyaksikan semua peristiwa ia memandang dengan rata terbelalak, dan melihat sepak teijang Retna Wills ketika membunuh delapan orang itu, ia bergidik dan menggumam,

   "Hebat....... hebat......., selama hidupku barn sekali ini menyaksikan seorang dara remaja sehebat itu....... Ah,kiranya Endang Patibroto sendiri tidaklah sehebat itu kepandaiannya. Barun memiliki kesaktian lumayan, akan tetapi dengan tujuh orang kawannya terbunuh hanya oleh sambitan tanah pasir!"

   Laki-laki ini diam-diam menjadi kagum sekali dan juga jerih, padahal dia bukanlah seorang laki-laki biasa. Sama sekali bukan. Dia adalah seorang yang memiliki kedigdayaan, bahkan dapat disebut seorang yang sakti mandraguna karena dia ini bukan lain adalah bekas patih Jenggala, Ki Patih Warutama yang dahulu bernama Raden Sindupati!

   "Ah, tidak salah. Tentu dia ini yang dahulu diambil murid Nini Bumigarba! Dan dia adalah puteri Endang Patibroto!"

   Sindupati, sebaiknya kini kita menyebutnya Sindupati karena nama Warutama dahulu pun hanya nama samarannya saja, menarik napas panjang.

   Dia tidak berani memperlihatkan diri karena biarpun gadis itu murid Nini Bumigarba, akan tetapi karena puteri Endang Ptibroto, dia tidak tahu bagaimana sikap gadis itu kalau melihatnya.

   Akan tetapi, apakah gadis itu tahu kalau dia musuh Endang Patibroto? Ia memperkosa Endang Patibroto dan ia tidak percaya bahwa Endang Patibroto mau menceritakan aib yang dideritanya itu kepada orang lain, kepada puterinya sekalipun!

   Betapapun juga, dia harus berhati-hati dan tidak berani memperlihatkan diri. Setelah Retna Wills mengajak anak buahnya pergi mendaki Gunung Wilis, Sindupati hanya mengikuti mereka dari jarak yang jauh dan cukup aman.

   Pria yang cerdik ini segera mencari akal dan karena Retna Wilis yang membawa pasukan itu melakukan perjalanan lambat, ia mengerahkan kesaktiannya dan lari mendahului rombongan itu untuk mendaki puncak Wills.

   Mudah saja bagi Sindupati untuk mencari keterangan dan betapa girang hatinya bahwa Endang Patibroto kini tidak berada lagi di Wilis. Tadinya ketika ia melihat munculnya Endang Patibroto di Kota Raja Jenggala, ia mengira wanita itu masih memimpin Pondok Wilis. Akan tetapi setelah menyelidiki di puncak Wilis, ia mendapatkan berita yang amat menggirangkan hatinya, yaitu bahwa Wilis telah lama ditinggalkan wanita yang ditakutinya itu dan kini bahkan telah dipimpin oleh seorang "raja"

   Baru, yang telah menaklukkan ketiga orang tokoh Wilis yang dulu menjadi pembatu-pembantu utama Endang Patibroto, yaitu Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis.

   Kepala atau "raja"

   Barn ini adalah seorang manusia bertubuh raksasa yang bernama Ki Walangkoro, yang kabarnya amat digdaya dan ditakuti semua anak buah Wilis.

   Kalau dulu di bawah pimpinan Endang Patibroto di situ berdiri Padepokan Wilis dan para anak buahnya disebut satria-satria Wilis, kini keadaan mereka berubah sama sekali dan kembali mereka menjadi Gerombolan Wilis yang ditakuti penduduk di sekitar Gunung Wilis. Mendengar berita ini, Sindupati cepat membuat per siapan-persiapan.

   Demikianlah, ketika Retna Wilis dan lima puluh orang lebih anak buahnya mendaki sampai di lereng Wilis, tiba-"tiba perjalanan mereka dihadang oleh seorang pria yang tampan dan gagah dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun, namun masih tampan ganteng dan menarik.

   Baik bentuk rambutnya, tarikan mukanya, dan pakaiannya, semua tidak ada bekas-bekasnya bahwa pria ini adalah bekas patih di Jenggala! Kini Sindupati telah berubah menjadi seorang yang sikapnya seperti seorang pertapa, halus gerak-geriknya, tenang pandang matanya.

   Bahkan lima puluhan orang pengikut Retna Wilis itu tidak ada yang mengenahiya, ketika pria itu berdiri menghadang dengan sikap tenang.

   Melihat keadaan dan sikap pria ini, Retna Wilis yang dapat mengenal orang pandai, melarang anak buahnya turun tangan dan dia sendiri yang melangkah, maju paling depan, memandang pria itu penuh perhatian lalu berkata,

   "Siapakah Andika dan ada keperluan apakah Andika menghadang perjalanan kami?"

   Sindupati mengambil sikap seperti orang tercengang dan keheranan, lalu berkata, suaranya halus,

   "Duhai puteri remaja yang mempunyai wibawa dan sinar kesaktian, adakah andika yang memimpin rombongan orang-orang gagah ini?"

   Senang hati Retno Wilis mendengar ucapan yang halus dan penuh hormat ini. ia memandang dengan penuh perhatian, kemudian menjawab,

   "Sungguh tepat ucapan Paman yang awas paningal. Saya Puteri Retna Wilis yang memimpin pasukan ini, hendak menghadap Ibunda Endang Patibroto yang menjadi ketua Padepokan Wilis. Siapakah andika, Paman?"

   Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mendengar ini Sindupati cepat membungkuk dan menyembah dengan hormat.

   "Duh Sang Puteri, kiranya paduka adalah puteri ketua Padepokan Wilis! Pantas saja menyinarkan cahaya cemerlang, cahaya kesaktian yang menakjubkan. Saya bernama Adiwijaya, seorang pertapa biasa yang bertapa di Pagunungan Seribu. Telah beberapa pekan saya datang ke Wilis dengan maksud mengunjungi Padepokan Wills yang amat terkenal, untuk menghaturkan sembah hormat kepada ketua Wilis yang saki mandraguna dan bijaksana, serta menawarkan bantuan tenaga saya yang tidak seberapa ini untuk perikemanusiaan. Siapa kira, sampai di sini saya merasa kecewa sekali karena tidak dapat berjumpa dengan ibunda yang mulia, bahkan menyaksikan kenyataan yang amat tidak menyenangkan hati."

   Retna Wilis mengerutkan alisnya.

   "Ah Paman Adiwijaya, apakah yang teijadi? Ke manakah perginya ibuku dan Siapa kini yang berada di puncak?"

   "Saya mendengar bahwa telah lama sekali ibunda meninggalkan Wilis dan semenjak itu, kekuasaan Padepokan Wills berada di tangan ketiga orang gagah Limanwilis dan dua orang adiknya."

   "Ah, ketiga paman Wilis masih berada di puncak? Syukurlah!"

   "Akan tetapi, Sang Puteri, ternyata keadaan tidaklah begitu menyenangkan seperti yang paduka kira. Kini puncak telah dikuasai oleh seorang ketua baru, dan Padepokan Wilis telah berubah menjadi Gerombolan Wilis!"

   "Apa? Siapa yang berkuasa di sana?"

   "Ketiga orang gagah Wilis telah ditundukkan oleh seorang tokoh jahat yang bernama Ki Walangkoro, seorang tokoh hitam yang kabarnya datang dari Madura."

   "Apa? Si keparat!"

   Retna Wilis menoleh ke belakang dan berkata kepada anak buahnya,

   "Bersiaplah kalian membuktikan kesetiaan kalian kepadaku! Kita serbu puncak Wilis!"

   "Hamba siap, Gusti Puteri!"

   Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut para bekas perajurit Jenggala sehingga hati Sindupati yang kini berganti nama Adiwijaya menjadi makin kagum.

   Puteri remaja ini benar-benar hebat, pikirnya. Tidak saja memiliki kesaktian yang mengerikan, juga amat berwibawa.

   "Saya pun siap membantu paduka, Gusti Puteri,"

   Katanya hormat.

   Berseri wajah Retna Wilis.

   "Bagus, Paman Adiwijaya. Aku girang sekali menerima bantuanmu, dan percayalah, engkau tidak akan rugi menghambakan diri kepadaku. Kelak aku akan menaklukkan seluruh kerajaan dan kalau andika memang benar setia dan berjasa, aku tidak akan melupakan bantuan-bantuanmu."

   "Hamba dapat melihat seorang yang sakti dan pandai, Gusti Puteri, dan hamba akan mempertaruhkan jiwa raga hamba untuk membela Paduka."

   "Bagus! Hayo kita mendaki terus!"

   Sebagai jawaban ucapan Retna Wilis yang penuh semangat ini terdengarlah sorak sorai lima puluh orang anak buahnya itu dan tiba-tiba terdengar sorakan jawaban yang bergemuruh dari atas.

   Retna Wilis mengangkat tangan mencegah anak buahnya bergerak maju dan sambil bertolak pinggang dara perkasa ini memandang ke depan. Adiwijaya cepat menghampiri Retna Wilis dan berdiri di sebelah kanannya, juga memandang ke depan.

   Pasukan yang turun dari atas puncak itu jumlahnya seratus orang lebih, dipimpin oleh seorang kakek tinggi besar seperti raksasa. Sangat besar dan tinggi tubuh kakek ini sehingga tiga orang tokoh Wilis, yaitu Limanwilis dan dua orang adiknya yang termasuk orang-orang tinggi besar kelihatan kecil, hanya setinggi pundak kakek itu!

   (Lanjut ke Jilid 53)

   Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 53

   Rombongan ini bersorak gembira ketika melihat ada rombongan lain yang mereka anggap sebagai calon-calon korban yang tentu akan dapat dipreteli pakaian dan senjatanya, apalagi melihat ada seorang gadis remaja cantik sekali berada di antara mereka.

   Akan tetapi tiba-tiba mereka itu berhenti ketika terdengar gadis remaja itu mengeluarkan suara yang amat nyaring dan membuat jantung mereka bergetar,

   "Hai para satria Wilis! Beginikah kalian menyambut gusti puteri kalian? Paman Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis, apakah mata kalian sudah lamur sehingga tidak mengenal aku?"

   Limanwilis dan kedua adiknya, juga para bekas anak buah Endang Patibroto, memandang dengan mata terbelalak. Anak tetapi anak buah-anak buah baru yang tadinya merupakan anak buah Ki Walangkoro yang kini digabungkan dengan anak buah Wilis, tertawa bergelak.

   "Waduh, perawan remaja yang genit dan galak!"

   Adapun Ki Walangkoro yang juga memiliki kesaktian dan bermata awas, dapat mengenal sinar kesaktian memancar keluar dari wajah dara perkasa itu, menudingkan telunjuknya dan berkata, suaranya seperti geluduk di musim hujan,

   "Heh, babo-babo, siapakah andika bocah kemarin sore yang bermulut benar?"

   "Hemm, engkau tentu si Walangkoro yang mengacau di Wilis! Mau tahu siapa aku? Akulah Perawan Lembah Wilis, akulah Puteri Retna Wilis. Setelah ibuku Endang Patibroto meninggalkan Wilis, andika lancang berani mengacau di sini, ya? Agaknya engkau sudah bosan hidup, Walangkoro!"

   Kini terdengar seruan-seruan kaget dan heran dari mulut Limanwilis dan kedua orang adiknya, juga dari anak buah Wilis. Mereka teringat dan memandang gadis itu dengan mata terbelalak. Anak perempuan yang dulu lenyap diculik nenek mengerikan itu kini telah pulang dan menjadi seorang dara remaja yang serupa benar dengan Endang Patibroto, sama cantik jelita dan sama gagah, bahkan jauh lebih galak dan berwibawa!

   Akan tetapi karena mereka itu sudah merasa menyeleweng dan menghamba kepada pemimpin baru, dan karena kehidupan sebagai gerombolan lebih menyenangkan bagi mereka daripada hidup sebagai anggauta-anggauta padepokan yang berdisiplin dan tidak memungkinkan mereka mengumbar nafsu angkara murka, mereka diam saja dan hendak melihat dulu bagaimana sikap pemimpin mereka yang barn dan yang sudah mereka ketahui kesaktiannya itu.

   "Babo-babo, si keparat!"

   Ki Walangkoro memaki.

   "Dahulu aku mencari Endang Patibroto untuk kutundukkan dan kuangkat menjadi permaisuriku, akan tetapi dia telah minggat. Kini muncul puterinya yang lebih jelita, lebih denok dan lebih muda. Retna Wilis, eman-eman engkau bocah ayu kalau berani menentang Ki Walangkoro! Lebih baik engkau menyerah, menjadi kekasihku, menjadi permaisuriku, sehingga engkau tetap akan disembah"sembah seluruh anak buah di Wilis. Menyerahlah, wong ayu!"

   Ki Walangkoro bukanlah seorang pria yang mata keranjang, akan tetapi menyaksikan seorang dara yang begini denok dan jelita, gairahnya timbul dan ia hampir tidak kuat menahan gelora nafsunya, ingin terus memondong dara itu dan dibawa lari ke dalam kamarnya.

   "Jahanam bermulut kotor!"

   Tiba-tiba Adiwijaya meloncat maju, gerakannya trengginas dan sikapnya masih tenang, namun matanya menyorotkan kemarahan. Sekali ini Adiwijaya benar-benar marah, bukan pura-pura atau hendak mencari muka kepada Retna Wilis.

   Entah bagaimana, begitu bertemu dengan dara ini, hatinya benar-"benar tunduk dan timbul rasa kagum, menyayang dan hormat, sehingga ia tidak suka mendengar orang lain memaki dan menghina gadis itu. Ia lalu menoleh kepada Retna Wilis dan berkata dengan halus,

   "Gusti Puteri, perkenankanlah hamba menghajar buto (raksasa) yang bermulut lancang dan kotor ini!"

   Berseri wajah Retna Wilis.

   "Paman Adiwijaya, dia memilild sedikit kepandaian, apakah andika mampu melawannya?"

   "Gusti Puteri, untuk memukul seekor anjing korengan mengapa harus menggunakan tongkat besar? Sayang tangan Paduka yang akan menjadi kotor kalau menyentuh tubuhnya yang menjijikkan. Hamba akan mencobanya dan hamba rela mati membela Paduka."

   Retna Wilis tersenyum. Sikap orang tua ini benar-benar menyenangkan hatinya.

   "Jangan khawatir, Paman. Aku tidak akan membiarkan kadal buduk ini mencelakakan seorang pembantu sebaik Paman. Maju dan lawanlah!"

   Adiwijaya lalu membalikkan tubuhnya lagi menghadapi Ki Walangkoro, dan dengan sikap tenang ia mencawatkan sarungnya ke belakang dan mengikatkan ujungnya kuat-"kuat di pinggang.

   Kemudian ia berkata lantang,

   "Ki Walangkoro! Wilis adalah milik Gusti Endang Patibroto yang menjadi ketua Padepokan Wilis, akan tetapi engkau telah lancang merampasnya selagi ketuanya tidak ada. Kini Gusti Puteri Retna Wilis telah pulang dan kalau memang engkau tahu diri, sebaiknya engkau bertekuk lutut dan menakluk, bersama semua pengikutmu menghambakan diri kepada Gusti Puteri. Kalau engkau merasa kuat, cobalah engkau melawan aku. Adiwijaya siap menghadapimu membela kedaulatan Gusti Puteri Retna Wilis!"

   Ki Walangkoro memandang Adiwijaya dengan tertawa mengejek dan memandang rendah.

   "Namamu Adiwijaya, heh? Omonganmu sungguh menjemukan! Dilihat jumlahnya pengikut, pasukanku dua kali lebih banyak daripada pengikut Retna Wilis! Dilihat pemimpinnya, aku jauh lebih patut dan lebih gagah daripada engkau yang mengaku menjadi pembantunya. Adiwijaya, kulihat engkau lumayan juga, memiliki kesaktian. Apakah tidak lebih baik engkau menjadi pembantuku saja dan Retna Wilis menjadi isteriku? Dengan demikian, keadaan kita menjadi lebih kuat!"

   "Si bedebah!"

   Teriakan ini keluar dari mulut Retna Wills dan gadis ini saking marahnya sudah mengipatkan lengan lengannya ke arah Ki Walangkoro, dan anehnya tubuh raksasa yang tinggi besar itu terpelanting seolah-olah ditumbuk palu godam atau diseruduk banteng.

   Padahal jarak antara dia dan gadis itu ada tiga meter dan dia terpelanting roboh hanya oleh angin kipatan tangan dara perkasa itu! Kembali Adiwijaya kagum dan ngeri. Dara itu benar-benar sakti mandraguna dan ia bergidik memikirkan betapa ngerinya kalau harus bertanding melawan gadis yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia ini!

   

Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini