Perawan Lembah Wilis 45
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 45
Bahkan yang memimpin pasukan itu menyeringai kepadanya.
"Aku hendak bertemu dengan Ratu Wilis. Kalian ini siapakah?"
Endang Patibroto balas tanya tanpa menyebutkan namanya, sikapnya angkuh dan galak.
Mendengar ada orang wanita yang begitu saja hendak bertemu dengan ratu mereka, tanpa menyebut gusti dan sama sekali tidak memperlihatkan sikap menghormat,sepuluh orang itu menjadi marah dan pemimpin mereka tertawa bergelak.
"Wah-wah, dari mana datangnya wanita yang miring otaknya ini? Eman-eman (sayang) sekali, begini cantik jelita kok miring otaknya. Marilah manis, mari kuobati penyakitmu, mari sini, engkau akan terobati dalam pelukanku. Apakah sudah terlalu lama engkau menjanda sehingga kekeringan dan kesepian membuatmu menjadi gila?"
Laki-laki itu mengulurkan tangannya hendak meraih tubuh Endang Patibroto.
Endang Patibroto hanya mengeluarkan suara mendengus "hemmm.......!!", kakinya bergerak seperti kilat menyambar dan terdengar suara "krekkk!"
Disusul menjeritnya laki-laki itu karena tulang lengannya patah"patah dan remuk di bagian yang dicium kaki Endang Patibroto!
"Aduh tanganku...... lenganku!"
Laki-Iaki itu mengeluh dan memegangi lengan kanannya dengan tangan kiri.
"Keparat, mampuslah!"
Endang Patibroto membentak dan kembali tubuhnya bergerak, kini jari tangannya yang menyambar dengan tempilingan keras ke arah kepala orang itu.
"Prokk!"
Kepala itu remuk dan otaknya muncrat bersama darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi!
Melihat ini, Sembilan orang anak buah pasukan itu menjadi marah bukan main. Mereka membentak.
"Perempuan gila!"
Dan mereka telah menerjang maju dengan senjata golok mereka. Endang Patibroto menjadi makin marah.
Sebenarnya wanita ini sudah banyak berubah semenjak ia berdekatan dengan suaminya, Ki Patih Tejolaksono. Wataknya yang keras sudah agak jinak, dan kalau saja ia tidak berada dalam keadaan begitu marah terhadap puterinya, kiranya ia akan dapat mengampuni orang-orang ini.
Akan tetapi ia sedang marah dan kecewa mendengar tentang puterinya, apalagi ketika melihat kenyataan betapa anak buah puterinya begin buruk wataknya, kemarahannya terhadap puterinya memuncak dan ia timpakan semua kepada orang-orang sial itu.
Melihat mereka maju dengan golok terhunus, ia mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya berkelebat menyambar-nyambar dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan ketika tubuh sembilan orang itu berturut-turut roboh dengan kepala pecah semua dan tewas di saat itu juga.
Betapa mereka dapat bertahan menghadapi tamparan-tamparan yang mengandung Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila itu? Tubuh orang itu mati dalam keadaan utuh, akan tetapi kepalanya hancur semua sehingga sukar untuk mengenal mereka lagi.
Darah dan otak mengotori rumput-rumput hijau dan keadaan di situ sungguh amat mengerikan.
Munculnya pasukan lain yang lebih besar, ada tiga puluh orang jumlahnya, membuat Endang Patibroto menjadi lebih beringas lagi. Kalau perlu, akan dibasminya semua orang"orang yang mencemarkan nama Wilis ini! Dia sudah meloncat ke depan dan berseru,
"Manusia-manusia biadab, majulah kalian semua! Saat ini adalah saat kematian kalian semua!"
Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru,
"Gusti Puteri Endang Patibroto......!!"
orang itu segera menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh teman-temannya yang segera mengenal wanita sakti itu. Mereka yang tidak pernah melihat Endang Patibroto karena mereka adalah orang"orang baru, begitu mendengar disebutnya nama ini dan melihat teman-temannya berlutut, segera membuang golok dan berlutut pula.
Mereka sudah mendengar bahwa Endang Patibroto adalah pendiri Padepokan Wilis, dan bahkan menjadi ibu dari ratu, mereka!
Dengan napas terengah-engah saking marahnya, Endang Patibroto memandang beberapa wajah yang dikenalnya dan ia membentak,
"Bedebah kalian semua! Di mana Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis? Hayo suruh mereka cepat menghadap aku di sini!"
Sementara itu dari jarak yang jauh, ada orang yang menonton peristiwa ini dengan wajah pucat dan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Kemudian orang ini diam-diam menyelinap di antara gerombolan pohon dan melarikan diri dari tempat itu. Orang ini bukan lain adalah Ki Patih Adiwijaya atau Warutama atau Sindupati! Dari jauh ia mendengar suara ribut-ribut dan dia sudah lari menghampiri. Akan tetapi begitu melihat Endang Patibroto, ia merasa seolah-olah jantungnya menjadi beku dan hampir ia terkencing-kencing saking takutnya.
Kebetulan sekali ketiga orang tokoh Wilis yang dulu menjadi pembantu Endang Patibroto, yaitu Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis, berada tidak jauh dari lereng itu. Mendengar suara ribut-ribut mereka cepat berlari menghampiri dan ketika melihat Endang Patibroto berdiri tegak dan didekatnya ada mayat sepuluh orang perajurit Wilis yang kepalanya remuk semua, mereka menjadi pucat dan cepat lari menghampiri dan menjatuhkan din berlutut di depan Endang Patibroto.
"Gusti Puteri.......!!"
Melihat ketiga orang bekas pembantunya yang ia pasrahi Padepokan Wilis Endang Ptibroto menggeget giginya menahan marah.
"Hemm, apakah yang kalian bertiga telah lakukan? Apakah yang merubah keadaan Wills? Beginikah kalian menjalankan kewajiban kalian membawa para satria Wilis, menjadi gerombolan-gerombolan manusia biadab?"
Sambil berkata demikian, kaki Endang Patibroto bergerak dan cepat sekali kaki itu sudah menendangi tubuh ketiga orang tokoh Wilis itu sehingga mereka bertiga jatuh bergulingan.
Tentu saja Endang Patibroto tidak mempergunakan seluruh tenaga, karena kalau hal ini ia lakukan, tentu ketiga orang itu telah tewas dengan sekali tendang saja. Namun tendangan yang bagi Endang Patibroto perlahan saja itu, bagi ketiga orang saudara Wilis ini merupakan sambaran halilintar yang membuat mereka mengaduh-aduh sambil memegangi kepala mereka.
"Aduh, Gusti Puteri.......! "
Mereka bersambat.
"Plak-plak-plak!"
Kembali Endang Patibroto menendang disusul makian-makiannya,
"Kalian semestinya dibunuh! Kalian tidak patut dibiarkan hidup. Keparat kalian, Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis!"
"Aduh tobat.......!"
Limanwilis mengeluh dan roboh terlentang.
"Ampun, Gusti....... , ampunkan hamba.......!"
Lembuwilis juga roboh terlentang dan menutupi mukanya seperti orang menangis.
"Aduhhh....... Gusti Puteri....... aduh, bunuh saja hamba ""
Nogowilis meraung-raung karena hampir tidak kuat menahan rasa nyeri terkena tendangan kedua kalinya ini.
"Memang aku akan bunuh kalian! Aku akan bunuh kalian dengan tendangan ke tiga kalau kalian tidak lekas menceritakan apa yang telah kalian perbuat di sini!"
Tiga orang itu masih mengaduh-aduh karena belum mampu bercerita ketika pada saat itu terdengar bentakan nyaring,
"Eh-eh, iblis dari mana berani datang mengacau di sini?"
Endang Patibroto memandang dengan mata beringas. Yang muncul ini adalah ki patih muda dari Wilis, yaitu Ki Walangkoro sendiri. Ketika laki-laki tinggi besar ini melihat seorang wanita menghajar ketiga orang pembantunya dan melihat sepuluh orang anak buahnya menggeletak dengan kepala pecah, melihat puluhan orang perajur itu Wilis lairmya berlutut dengan mata terbelalak dan muka pucat ketakutan, ia menjadi marah sekali.
"Setan alas! Engkaulah yang menjadi biang keladi di sini? Engkau kepala di sini, keparat jahanam?"
Endang Patibroto memaki dengan suara mendesis-desis saking marahnya.
"Eh-eh, babo-babo si wanita keparat! Berani engkau menghina Ki Walangkoro, patih muda Kerajaan Wilis?"
Ki Walangkoro marah sekali dan menerjang maju. Akan tetapi Endang Patibroto tidak menanti dia diserang, karena dia pun sudah menerjang maju memapaki dengan pukulan tangannya, sedangkan tangan yang kiri menangkis lengan lawan.
"Plak-desss......!!"
"Aduhhhh....!"
Ki Walangkoro terjengkang dan menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas. Memang panas rasa dadanya yang terkena pukulan tangan Endang Patibroto karena wanita sakti ini menggunakan Aji Wisangnolo yang panasnya melebihi kawah Candradimuka!
Kalau saja Ki Walangkoro tidak memandang rendah, tentu dia lebih berhati-hati menghadapi wanita sakti itu. Betapapun hebatnya, terkena pukulan Wisangnolo ia seperti cacing terkena abu panas, menggeliat-geliat dan mengaduh-aduh, sukar untuk bangun kembali sungguhpun kekebalannya telah melindunginya.
Kalau ia tidak kebal sekali, tentu telah gosong dadanya dan melayang nyawanya terkena pukulan ampuh itu.
"Aduh, Gusti Puteri, ampunkan hamba....... sesungguhnya, hamba bertiga hanyalah terpaksa. Mula"mula, setelah paduka pergi, kami melakukan tugas seperti yang paduka perintahkan....
"
Lembuwilis mulai bercerita setelah ia berhasil bangkit dan duduk bersila sambil menyembah-nyembah.
"Akan tetapi kemudian muncul Ki Walangkoro ini, kami tidak sanggup melawannya. Kami dikalahkan dan kedudukan di Wilis dia rampas. Padepokan Wilis diganti menjadi Gerombolan
Wilis. Kami tidak berdaya.......
"
Melihat betapa raksasa tinggi besar ini tidak tewas oleh pukulannya. Endang Patibroto percaya bahwa ketiga orang Wilis ini tidak akan mampu menandingi si tinggi besar itu.
"Kemudian bagaimana.....?"
Bentaknya.
"Lalu, aduhhh....... dada hamba.......
"
Limanwilis tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Melihat ini Lembuwilis yang sudah bangkit lalu melanjutkan,
"Hamba bertiga dipaksa menjadi anak buahnya. Kemudian, beberapa bulan yang lalu muncullah Gusti Puteri Retna Wilis....... ya....... puteri paduka yang lenyap dulu.......
"
"Lanjutkan!"
Bentak Endang Patibroto seolah-olah mendengar pernyataan bahwa Retna Wilis adalah puterinya membuat hatinya tertusuk.
"Beliau telah menjadi seorang yang amat sakti, Gusti. Dengan mudah Ki Walangkoro ditaklukkan, kemudian malah dijadikan patih muda dan sekarang gusti Retna Wilis membangun sebuah kerajaan Wilis......."
"Hemmm....... , keparat ini pun bertanggung jawab!"
Endang Patibroto berseru marah, sekali meloncat ia telah berada dekat tubuh Ki Walangkoro yang kini sudah merangkak bangun. Akan tetapi sebelum Ki Walangkoro sempat berdiri, Endang Patibroto mengayun tangannya. Sebuah pukulan dengan Aji Pethit Nogo menyambar kepala bekas pemimpin Gerombolan Wilis.
"Dukkk!"
Berkat aji kekabalan yang amat kuat, kepala itu tidak remuk, akan tetapi tubuh itu terpelanting dalam keadaan tidak bernyawa karena pukulan sakti itu menggocang otaknya yang menjadi awut-awutan di dalam kepala.
Pada saat itu terdengar seruan-seruan.
"Gusti Puteri datang.....!"
Endang Patibroto mengangkat mukanya, memandang sesosok tubuh ramping yang datang bagaikan terbang cepatnya. Seorang gadis yang amat cantik, berpakaian serba hijau, gilang-gemilang perhiasan yang terpasang di telinga dan ikat pinggangnya, seorang dara remaja yang luar biasa cantiknya, membuat Endang Patibroto ternganga.
Sejenak hatinya penuh kebanggaan, namun segera terganti kepahitan dan kekecewaan.
Yang datang adalah Retna Wilis. ia mendapat laporan seorang anak buahnya bahwa ada orang mengamuk membunuhi perajuritnya. Dengan kemarahan meluap dara ini meninggalkan istana dan berlari cepat menuju ke lereng itu.
"Siapa berani....."
Tiba-tiba kata-katanya terhenti dan bagaikan kena pesona ia memandang Endang Patibroto yang berdiri tegak di depannya, kemudian kakinya melangkah maju menghampiri Endang Patibroto.
"Ibu.......! Ibu.......??"
Panggilan pertama amat mesra, penuh kerinduan, panggilan ke dua bernada ragu-ragu dan agak dingin.
"Retna Wilis.......!!!"
Bentakan Endang Patibroto amat janggal didengar. Mengandung pencetusan rasa rindu, dicampur kemarahan, teguran, dan kedukaan.
Retna Wilis memandang ibunya, kemudian pandang matanya bergerak, memandang ke arah tubuh sepuluh orang perajurit yang kepalanya hancur, memandang mayat Ki Walangkoro yang tidak terluka, kemudian melihat kepada tiga orang kakak beradik Wilis yang mukanya bengkak-bengkak dan masih merintih-rintih, kepada para perajurit yang berlutut di depan ibunya, akhirnya ia kembali memandang ibunya.
"Ah, kiranya Kanjeng Ibu yang datang mengamuk. Hemmm, orang-orang sial itu memang patut dibunuh, berani menentang Ibu......."
"Retna Wilis! Apa yang telah kaulakukan di sini??"
Retna Wilis yang sudah menghampiri ibunya untuk memeluk, menghentikan langkahnya dan dengan sikap dingin menggerakkan pundaknya.
Ibunya datang-datang marah kepadanya dan tidak ada sikap mesra, maka kerinduannya pun menipis dan kegirangannya lenyap.
"Apa yang kulakukan, Ibu? Tidak ada hal yang menyusahkan hatimu telah kulakukan. Bahkan sebaliknya.Anakmu datang sebagai seorang ratu besar yang berhasil menghimpun tenaga dan berhasil menundukkan banyak kadipaten...."."
"Retna Wilis! Mengapa engkau menyeleweng seperti ini?"
"Eh, Ibu Menyeleweng bagaimanakah yang Ibu maksudkan? Aku membentuk kerajaan dan akan kutaklukkan seluruh kerajaan, termasuk Panjalu dan Jenggala! Kelak akulah yang akan menjadi ratu dari seluruh Jawa-dwipa! Dan ibu akan menjadi ibu suri yang disembah-"sembah manusia sejagat!"
"Gila! Apakah engkau sudah gila, Retna Wilis? Tidak boleh engkau melakukan hal ini! Ibumu adalah kawula Panjalu dan ayahmu adalah Patih Panjalu. Bagaimana engkau berani memberontak terhadap Panjalu? Engkau tidak boleh melakukan hal ini!"
"Hemm! Siapa yang hendak melarangku, Ibu? Tidak ada orang yang dapat melarangku!"
"Aku yang melarangmu!!"
"Ibu, engkau sungguh tidak adil. Ingatlah semenjak kecil aku Ibu bawa lari dalam kandungan sampai besar di Wilis ini, jauh dari ayah yang tidak memperdulikan nasib kita. Ibu terlunta-lunta, dan bukan itu saja. Aku mendengar riwayat Ibu sebagai mantu Jenggala yang disia-siakan, dimusuhi oleh Kerajaan Jenggala dan Panjalu, difitnah, bahkan pangeran yang menjadi suami ibu dibunuh! Ibu telah dihina dan dibikin sengsara hidup Ibu , dan Ibu masih mau menjadi kawula Panjalu? Apakah kita ini kalah oleh keluarga Kerajaan Panjalu dan Jenggala? Apakah kita harus merangkak-rangkak di depan ayah yang telah menyia-"nyiakan Ibu? Tidak, seribu kali tidak! Aku berhasil mendapatkan ilmu, dan ilmu ini akan kupergunakan untuk membalas dendam penderitaan Ibu. Akan kutaklukkan Panjalu dan Jenggala. Akan kupaksa ayah bertekuk lutut di depan ibu. Akan kuangkat Ibu menjadi ibu suri yang dimuliakan orang sejagat! Akan.......
"
"Cukup omongan gila itu! Retna Wilis, anak siapakah engkau?"
"Anak Ibu , tentu saja kalau Ibu mau mengakuinya."
"Hemm, kalau engkau masih ingat bahwa engkau adalah anakku, engkau harus mentaati perintahku! Mulai hari ini juga, bubarkan Gerombolan Wilis ini, bubarkan kerajaanmu dan engkau ikutlah bersamaku ke Panjalu, bertemu dengan ayahmu, berkumpul dengan semua keluarga. Tahukah engkau bahwa bibimu Setyaningsih kini telah menjadi ratu di Jenggala? Dia telah menjadi permaisuri raja di Jenggala! Dan kita semua sekeluarga akan menjadi satu, betapa bahagianya, Nak........
"
Leher Endang Patibroto serasa tercekik oleh keharuan ketika ia mengeluarkan ucapan ini.
Akan tetapi Retna Wilis tersenyum pahit dan menggeleng kepalanya.
"Tidak, Ibu. Aku tidak sudi mengemis-ngemis anugerah orang lain. Aku tidak sudi membonceng kemuliaan orang lain. Sebaiknya kalau Ibu merestui cita-citaku dan ikut membantuku. Ingat, Ibu. Dahulu Endang Patibroto merupakan tokoh wanita tanpa tanding. Kalau kini Endang Patibroto bergerak di samping puterinya, Retna Wilis, kutanggung dunia ini akan berada di telapak tangan kita!"
"Dan engkau hendak melawan dan menentang ayahmu yang menjadi patih di Panjalu? Menentang bibimu yang menjadi permaisuri di Jenggala?"
"Kalau perlu, apa boleh buat. Aku akan terpaksa melawan dan menundukkan siapa saja yang menentangku, yang menghalangi cita-citaku."
"Anak durhaka, kalau begitu, apakah engkaupun hendak menentang aku?"
Endang Patibroto sudah mulai marah lagi.
"Ibu, aku tidak akan menentang siapa saja, apalagi Ibu. Aku hanya melawan siapa pun juga yang menentangku."
"Bagus! Kalau aku melarangmu melanjutkan cita-cita gila ini? Kalau aku, ibumu sendiri, menentangmu? Apakah engkau juga hendak melawan aku?"
Retna Wilis tersenyum dingin sehingga Endang Patibroto sendiri yang biasanya amat digentari orang, kini merasa mengkirik. Senyum puterinya itu amat manis, akan tetapi seperti senyum iblis yang mengandung ancaman maut!
"Tidak ada seorang pun di dunia ini, juga lbu sendiri tidak, yang akan dapat menghalangi cita-citaku, yang akan menghentikkan usahaku menundukkan dunia, kecuali kematian."
"Anak durhaka, kalau begitu aku lebih suka melihat anakku mati daripada melihatnya hidup tersesat!"
"Dm hendak membunuhku? Tidak akan bisa, Ibu Ibu takkan dapat menangkan aku. Lebih baik Ibu hidup mulia dan bahagia di sini, kusembah-sembah menjadi junjunganku. Atau kalau Ibu lebih suka menjauhiku, kembalilah saja Ibu kepada suami Ibu, dan harap jangan mencampuri urusanku."
"Bocah iblis! Aku sudah melahirkan engkau, aku pula yang membunuh engkau!"
Endang Patibroto membentak dan meloncat maju mengirim serangan maut. Wanita perkasa ini dengan hati hancur melihat kenyataan betapa anaknya benar-benar telah terpengaruh watak yang aneh dan seperti iblis, dan kalau dibiarkan, tentu akan menimbulkan malapetaka dan terutama sekali akan merusak dan mencemarkan nama baik orang tuanya.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia mengenal puterinya dan tahu bahwa bujukan-bujukan takkan berhasil lagi kalau Retna Wilis sudah mengambil keputusan seperti itu.
Daripada melihat puterinya yang tercinta menyeleweng, menjadi pemberontak, mengacaukan kerajaan-kerajaan, menimbulkan malapetaka dan pembunuhan-pembunuhan akibat perang yang ditimbulkan, mendatangkan kedukaan kepada semua keluarga, lebih baik ia melihat puterinya itu mati di depan kakinya sendiri.
Karena ia dapat menduga bahwa sebagai murid Nini Bumigarba, puterinya ini tentu memiliki kesaktian yang luar biasa, maka sekali menyerang Endang Patibroto sudah meloncat dengan gerakan Bayutantra dan tangan kanannya yang terbuka telah menampar muka Retna Wilis dengan Aji Gelap Musti.
"Plakkk!"
Pipi kiri Retna Wilis yang berkulit halus itu kena ditampar karena memang dara perkasa ini sama sekali tidak mengelak, hanya mengerahkan kekuatan saktinya melindungi kepalanya. Akan tetapi ia tidak roboh, hanya bergoyang sedikit. ia telah menerima tamparan sakti ibunya itu dengan mata terbuka, berkedip pun tidak. Bibirnya sedikit pecah ujungnya sehingga meneteslah darah dari ujung mulut.
"Retna Wilis....... Anakku.......!"
Endang Patibroto menjerit dan menubruk puterinya, merangkul, menciumi muka anaknya, mencium beberapa tetes darah yang menitik di pipi itu.
"Retna Wilis.......ah, betapa engkau menyiksa hati ibumu! Anakku, mengapa engkau tidak mentaati permintaan ibumu? Marilah, Angger,anakku bocah ayu, marilah engkau ikut bersama ibumu.....!"
Dua titik air mata menetes dari sepasang mata Retna Wilis. Akan tetapi mulutnya tersenyum dingin dan biarpun ia dipeluk dan dibelai, diciumi ibunya, ia tetap tenang, hanya mengelus pundak ibunya.
"Ibu, mengapa pula ibuku sendiri yang hendak menghalangi cita-citaku? Mengapa Ibu hendak merusak kebahagiaanku?"
"Engkau keliru, Retna. Cita-cita itu tidak akan membawamu kepada kebahagiaan, melainkan kesengsaraan karena pelaksanaannya akan menimbulkan bencana hebat. Kebahagiaanmu adalah bersama ibumu, bersama ayah dan keluargamu. Marilah Retna, percayalah bahwa ibu menentang kehendakmu ini demi cintanya kepadamu. Marilah, Anakku, sebelum terlambat.......
"
"Tidak Ibu Terserah penilaian Ibu , akan tetapi aku tetap akan melanjutkan cita-citaku ini."
Perlahan-lahan Endang Patibroto melepaskan pelukannya dan melangkah mundur. ia terisak menahan tangis, memandang tajam lalu berkata lirih,
"Kalau begitu, sebelum engkau menyebar kematian di antara manusia"manusia yang tidak berdosa, lebih dulu kaubunuhlah ibumu ini!"
Endang Patibroto kini sudah marah kembali, kemarahan yang bercampur dengan putus asa.
Hatinya sakit sekali, seperti ditusuk-tusuk keris. Anaknya yang begini cantik jelita, begini gagah perkasa, begini sakti sehingga tamparan Gelap Musti diterimanya tanpa berkedip dan hanya membuat ujung bibirnya berdarah sedikit.
Betapa akan bangga hatinya, betapa akan bahagia hatinya kalau dapat menuntun anaknya ini dan memperkenalkannya kepada ayah anak ini, Ki Patih Tejolaksono. Akan tetapi kenyataannya adalah sebaliknya, amat pahit dan menyakitkan hatinya.
"Ibu , lebih baik Ibu pulang kembali saja ke Panjalu."
Retna Wilis berkata dan sikapnya dingin sekali.
"Engkau atau aku harus mati di sini!"
Endang Patibroto membentak dan kini ia maju menyerang sambil mengeluarkan pekik dahsyat.
Wanita ini telah mengeluarkan Aji Sardulo Bairowo dan pekiknya melengking tinggi menggetarkan permukaan lembah gunung Wilis. Semua anak buah Wilis yang berdatangan di tempat itu, terkejut mendengar pekik ini, jantung mereka tergetar dan mereka yang tidak kuat sudah jatuh berlutut dengan tubuh menggigil, yang agak kuat masih berdiri dengan muka pucat dan mata terbelakak memandang ibu dan puterinya yang hebat itu.
Pekik Sakti Sardulo Bairowo sama sekali tidak mempengaruhi Retna Wilis, dan melihat pukulan ibunya yang amat hebat dan ampuh menghantam kepalanya, Retna Wilis menggerakkan lengan menangkis.
Dua lengan yang sama halusnya bertemu dahsyat dan akibatnya tubuh Endang Patibroto terpelanting! Wanita perkasa itu mendengus marah dan penasaran, meloncat bangun dan menerjang kembali.
Retna Wilis yang maklum akan kesaktian ibunya, sudah mengerahkan aji kesaktiannya ke dalam kedua lengannya, lalu menangkis kembali. Dan sekali lagi tubuh ibunya terpelanting.
Namun Endang Patibroto sudah bangkit dan menyerang lagi.
Wanita yang hancur hatinya ini sudah mengambil keputusan nekat untuk mengadu nyawa dengan anaknya. Ia menyerang secara bertubi-tubi. Retna Wilis hanya mengelak dan setiap kali ia menangkis ibunya tentu terguling, akan tetapi tidak pernah ia balas memukul ibunya.
Pertandingan ini berjalan seru dan lama sekali, akan tetapi setiap kali bertemu lengan, selalu Endang Patibroto yang terguling roboh. Makin lama Endang Patibroto menjadi makin penasaran dan marah, akhirnya ia menjadi mata gelap.
Sambil menyerang, ia melepaskan banyak panah tangan yang menyambar seperti kilat cepatnya menuiu tubuh anaknya.
Retna Wilis mengeluarkan suara pekik melengking dan semua anak panah yang mengenai tubuhnya runtuh, tidak sebatang pun dapat melukai kalitnya!
"Ibu takkan menang melawanku, lebih baik ibu pergi."
"Anak durhaka!"
Endang Patibroto menyerang lagi, kini pukulan Wisangnolo yang ia pergunakan amat dahsyatnya karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Retna Wilis mendorongkan tangannya memapaki telapak, tangan ibunya.
"Desss!!"
Dua tenaga mujijat bertemu dan terdengar Endang Patibroto mengeluarkan rintihan lirih dan tubuhnya yang terguling lagi tak dapat bangun kembali karena ia telah roboh pingsan, tergetar oleh hawa pukulannya sendiri yang membalik ketika terbentur hawa sakti dari tangan Retna Wilis.
Sejenak Retna Wilis berdiri termangu memandang tubuh ibunya. Ia menggunakan ujung baju menghapus keringat di dahinya. Ibunya adalah seorang lawan yang tangguh dan andaikata dia tidak memiliki tenaga sakti yang hebat, tentu dia sendiri sudah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya.
Perlahan-lahan dihampirinya tubuh ibunya, dipondong dan diangkatnya, dipeluk dan diciumnya dahi ibunya dengan kemesraan seorang anak kepada ibunya.
Akan tetapi ia segera menekan perasaan dan pandang matanya berubah dingin kembali ketika ia
(Lanjut ke Jilid 55)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 55
berkata memerintah.
"Keluarkan kereta, dan antarkan ibu ini turun gunung. Tinggalkan kereta di bawah kaki gunung."
Perintah ini ia tujukan kepada Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis.
Biarpun tiga orang ini masih sakit-sakit tubuhnya akibat tendangan-tendangan Endang Patibroto tadi, mendengar perintah itu cepat mereka bertiga mengambil kereta.
Retna Wilis memondong tubuh ibunya, membawanya ke dalam kereta, membaringkan tubuh ibtunya di dalam kereta, sekali lagi mencium dahi ibunya dan berbisik lirih.
"Ibu!"
Kemudian ia turun dari kereta memberi isyarat kepada ketiga orang tokoh Wilis itu untuk berangkat.
Lembuwilis dan Nogowilis duduk mengendarai kuda penarik kereta, sedangkan Limanwilis yang ter tua duduk menjaga Endang Patibroto di dalam kereta, kemudian kereta pun berangkat menuruni gunung Wills.
Retna Wills berdiri tegak memandang, dua titik air mata menetes turun. Akan tetapi setelah menghela napas ia lalu menghapus air matanya, memutar tubuhnya memandang anak buahnya yang berlutut dan berkata,
"Mulai hari ini, siapkan semua pasukan. Hei!, di mana Paman Patih??"
Tak seorang pun di antara para anak buah Wilis tahu ke mana perginya Patih Adiwijaya.
"Mungkin gusti patih sedang melakukan pemeriksaan di perbatasan, Gusti Puteri!"
Akhirnya terdengar jawaban seorang perwira.
"Biarlah, kalau sudah datang suruh ia menghadap. Beritahukan kepada semua pasukan agar berkumpul, juga kerahkan seluruh rakyat yang sudah takluk untuk siap membantu gerakan kita. Secepatnya kita akan menyerbu Ponorogo!"
Para anak buah Wilis bersorak gembira. Penyerbuan ke suatu tempat berarti perang, dan perang berarti pula kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan-kesempatan bagi mereka untuk menikmati kesenangan, selain membunuh musuh di bawah pimpinan orang-orang sakti, juga kesempatan itu dapat mereka pergunakan untuk memperoleh barang-barang berharga dan wanita-wanita cantik.
Di bawah sorak-sorai anak buahnya, Retna Wilis lalu lari naik ke puncak, memasuki taman sari yang baru saja. dibangun, kemudian menjatuhkan diri ke atas bangku di tengah-tengah taman sari.
Air matanya deras mengucur. Setelah berada seorang diri , tak dapat ia menahan kekecewaan dan kedukaan hatinya mengenangkan sikap ibunya. Ia menangis dan akhirnya karena tekanan batin dan kelelahan, ia tertidur pulas di atas bangku taman sari, kedua pipinya masih basah air mata.
Sehari semalam Retna Wilis tertidur di taman itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia terbangun dengan isak tertahan. Ia melihat Patih Adiwijaya duduk bersila tak jauh dari bangku sambil menundukkan muka..
Wajah orang tua ini kelihatan berduka. Retna Wilis bangkit duduk dan barn tahu ia bahwa tubuhnya telah diselimuti jubah luar patihnya.
"Paman Adiwijaya, ah, aku tertidur di sini.......
"
Suaranya masih mengandung isak,
"berapa lama aku tertidur?"
Ia menyerahkan kembali jubah luar patihnya.
"Duh Gusti Puteri yang malang. Paduka tertidur semenjak kemarin siang."
"Kenapa engkau tidak membangunkan aku, Paman?"
Patih itu memandang wajah Retna Wills dengan pandang mata penuh iba hati dan prihatin.
"Hamba baru pulang siang kemarin dari memeriksa keadaan penjagaan di tapal batas timur, untuk mendengarkan gerak-gerik Ponorogo. Baru hamba mendengar akan kunjungan Ibunda Paduka dan....... ah, sungguh kasihan sekali Paduka, Gusti. Hamba....... ikut berduka dengan peristiwa yang menyedihkan itu......."
Retna Wilis tersenyum, memandang pembantunya itu dengan sinar mata berterima kaksih.
"Dan semenjak kemarin siang, engkau menungguku di sini?"
"Hamba tak berani membangunkan Paduka yang tidur pulas sambil kadang-kadang terisak. Ampunkan hamba yang berani menyelimuti Paduka dan hamba menjaga di sini, menanti Paduka terbangun."
Retna Wilis mengulurkan tangan dan menyentuh pundak patihnya.
"Paman, engkau baik sekali. Agaknya engkaulah orang yang paling baik terhadap diriku. Adapun ibuku....... ah, benar-benar aku bingung, Paman."
"Mengapa Paduka bingung? Hendalcnya Paduka tenang karena setelah hamba mendengar akan semua peristiwa, hamba merasa yakin akan kebenaran paduka. Setiap manusia di dunia ini berhak untuk mencari kemuliaan, apalagi seorang sakti mandraguna seperti paduka. Hanya si manusia sendiri yang akan dapat menetukan nasib hidupnya. Paduka benar, dan hamba bersumpah untuk bersetia, untuk membela dan membantu paduka dengan taruhan nyawa hamba."
Ucapan ini keluar dari hati nurani Adiwijaya karena entah bagaimana, baru sekali ini selama hidupnya ia mencinta seseorang, mencinta yang sungguh-"sungguh murni, bukan cinta nafsu, melainkan cinta seorang ayah terhadap puterinya. ia merasa kagum akan kesaktian dara ini, merasa kagum akan kecantikannya, dan timbullah rasa sayang dan setia yang belum pernah ia rasakan selama hidupnya.
"Terma kasih, Paman. Aku tidak akan melupakan kebaikan hatimu."
"Aduh Gusti Puteri Retna Wills yang bijaksana dan sakti mandraguna. Hamba hanyalah seorang yang rendah, hamba seorang yang penuh dosa, hamba seorang yang banyak dimusuhi orang lain, seorang yang jahat dalam pandangan orang lain."
"Bagiku, engkau seorang yang baik, dan itu bagiku sudah cukup. Aku tidak perduli pendapat orang lain."
"Mungkin ibunda paduka pun menganggap hamba seorang jahat, Gusti."
"Hemm, mengapa, Paman?"
"Mungkin....... hamba disangka sebagai orang yang membujuk-bujuk paduka......."
"Ah, biarlah. Biar andaikata ibuku sendiri membencimu dan menganggapmu orang jahat, aku tetap menganggapmu seorang baik. Sekarang, Paman. Siapkan bala tentara kita. Kita serbu Ponorogo, terus ke timur."
"Terus menyerbu Jenggala, Gusti?"
Tanya Adiwijaya penuh gairah.,
"Benar, Paman. Ke Jenggala! Kita tundukkan Jenggala secara baik-baik, mengingat bahwa yang menjadi raja di sana adalah Paman Pangeran Panji Sigit, dan permaisurinya adalah Bibi Setyaningsih, adik ibu sendiri. Kalau mereka menghadapi kita dengan kekerasan, terpaksa akan kutundukkan Jenggala dengan kekerasan pula. Setelah itu, baru kita menengok ke Panjalu!"
"Balk sekali, Gusti. Hamba siap dan sekarang juga hamba akan mengumpulkan seluruh barisan Wilis!"
Kata Adiwijaya penuh kegembiraan.
Sementara itu, jauh dari puncak Wilis, di sebelah timur kaki gunung Wilis, sebuah kereta berhenti di dalam sebuah hutan. Limanwilis, Lembuwilis, dan NogoWilis duduk di atas tanah bersila dan tak bergerak seperti arca. Tadi mereka menghentikan kereta, melepaskan kuda yang mereka biarkan makan rumput, kemudian mereka duduk menanti di bawah kereta.
Retna Wilis, dan juga Ki Walangkoro sendiri, ternyata hanya dapat mempengaruhi Lembuwilis, Limanwilis dan Nogowilis untuk sementara saja.
Mereka bertiga ini tunduk karena terpaksa dan tidak berani melawan. Akan tetapi begitu melihat Endang Patibroto, hati ketiga orang ini tergetar dan watak baik mereka yang sudah lama dipupuk oleh Endang Patibroto selama wanita itu memimpin Padepokan Wilis, bangkit kembali.
Mereka merasa terharu sekali, apalagi menyaksikan nasib bekas junjungan mereka yang amat menyedihkan. Memang harus diakui bahwa sebelum menjadi anak buah Endang Patibroto, tiga orang ini adalah tokoh-tokoh Wilis yang bekerja sebagai perampok.
Namun, kekejaman hati mereka sudah menipis oleh gemblengan-gemblengan Endang Patibroto dan kini menyaksikan kekejaman hati Retna Wilis yang tega
melawan ibunya sendiri, mereka menjadi penasaran dan di dalam hati, mereka berpihak kepada Endang Patibroto.
Begitu siuman dari pingsannya, Endang Patibroto teringat akan puterinyaj dan ia mengerang, lalu menangis tersedu-sedu.
Sampai lama ia menangis, kemudian barn ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah kereta yang berhenti. Cepat ia meloncat keluar dari dalam kereta dan melihat Limanwilis dan kedua orang adiknya duduk bersila dengan kepala tunduk.
"Eh, kalian bertiga mengapa berada di sini?"
Limanwilis menyembah dan berkata,
"Hamba bertiga diutus oleh Gusti Puteri Retna Wilis untuk mengantar Paduka dengan kereta sampai di kaki Wilis, kemudian hamba bertiga disuruh meninggalkan kereta. Akan tetapi, hamba tidak tega meninggalkan Paduka di sini, Gusti. Dan, jika kiranya Paduka sudi mengampuni hamba bertiga kakak-beradik, hamba ingin bersuwita (menghamba) kepada Paduka, ingin mengiringkan Paduka kembali ke Panjalu. Hamba tidak sanggup lagi menjadi kawula Wilis yang ternyata menyeleweng daripada kebenaran, Gusti."
Endang Patibroto menarik napas panjang dan menghapus air matanya.
"Kehendak Hyang Widdhi Wisesa tak dapat diubah dan dibantah. Retna Wilis telah menyeleweng jauh sekali setelah dia menjadi murid Nini Bumigarba dan memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia. Kalian bertiga telah mengalami dan melihat perkembangan semenjak dia lahir di puncak Wilis sampai dia diculik Nini Bumigarba. Aduh, Kakang Limanwilis....... apakah yang harus kulakukan.......?"
Endang Patibroto menangis lagi, menutupi muka dengan kedua tangannya.
Tiga orang tokoh Wilis itu memandang bekas junjungan, mereka dengan muka keruh, penuh keharuan. Belum pernah selama mereka menghamba kepada wanita sakti ini yang terkenal keras hati, mereka melihat wanita ini menangis seperti itu.
"Duh, Gusti Puteri Endang Patibroto. Memang sesungguhnyalah Sang Hyang Widdhi tak dapat diubah dan dibantah, karena itu manusia hanya dapat menyerahkan kepada kekuasaanNya. Akan tetapi, manusia berwenang untuk berusaha dan berikhtiar. Kalau Paduka suka menurut anjuran hamba, lebih baik Paduka hamba antar kembali ke Panjalu dan melaporkan hal ini kepada Kerajaan Panjalu."
Endang Patibroto mengangguk, lalu memasuki kereta kembali. Tiga orang kakek itu pun naik ke atas kereta seperti tadi dan kuda-kuda yang telah dipasang di depan kereta sebelum mereka naik, dijalankan melaju ke timur.
"Andika bertiga belum tahu, Kakang Wilis. Suamiku, ayah Retna Wilis adalah Ki Patih Tejolaksono di Panjalu."
"Ahhh.......!!"
Tiga orang itu mengangguk-angguk. Tentu saja mereka sudah mendengar akan nama Tejolaksono, seorang tokoh yang memiliki kesaktian lebih tinggi daripada Endang Patibroto sendiri.
Ibunya seorang wanita yang tiada bandingnya, ayahnya seorang tokoh sakti di kedua Kerajaan Panjalu dan Jenggala, gurunya seorang nenek sesakti iblis sendiri, pantas saja Retna Wilis menjadi seorang dara yang hebatnya sampai mengerikan hati para jagoan Wilis ini!
Dengan sikap yang amat gagah, Retna Wilis berdiri di tempat yang menonjol tinggi. Di bagian bawah, memenuhi lereng sekitar puncak, berkumpullah ribuan orang perajurit Wilis yang sudah bergabung dengan sebagian rakyat dari daerah-daerah yang sudah ditaklukkan.
"Para perajuritku yang setia!"
Suara dara itu melengking tinggi dan dapat terdengar sampai jauh sehingga perajurit yang berdiri paling belakang dapat mendengar dengan jelas.
"Karena Ponorogo menentang kekuasaan kerajaan kita, kini tiba saatnya bagi kita untuk menggempur Ponorogo! Kita hams dapat membuktikan bahwa Kerajaan Wilis adalah kerajaan terbesar di seluruh jagat!"
Sorak-sorai gegap-gempita, menyambut ucapan Retna Wilis ini. Setelah semua persiapan dilakukan, berangkatlah barisan besar ini turun dari lereng Wilis, dipimpin oleh Retna Wilis yang didampingi oleh Patih Adiwijaya.
Biarpun kehilangan pembantu-pembantu yang pandai, yaitu Ki Walangkoro yang tewas di tangan Endang Patibroto, juga Lembuwilis dan kedua orang adiknya yang tidak kembali ke Wilis ketika mengantar Endang Patibroto turun dari puncak, namun sedikit pun Retna Wilis tidak menjadi gentar.
Melihat sikap dara ini, Adiwijaya yang tadinya merasa ragu-ragu apakah mereka akan dapat menundukkan Ponorogo yang terkenal memiliki barisan kuat dan banyak orang sakti, menjadi besar hati dan yakin bahwa di bawah pimpinan seorang seperti Retna Wilis, mereka akan dapat mengalahkan Ponorogo.
Mula-mula Retna Wilis tidak mau menunggang kuda. Semenjak kecil is belum pernah naik kuda dan ketika menjadi murid Nini Bumigarba di pantai Taut, yang biasa dijadikan binatang tunggangan hanyalah seekor kura-kura raksasa! Akan tetapi Adiwijaya menasehatinya,
"Paduka pada saat seperti ini merupakan panglima besar barisan Wilis. Bagaimanakah seorang panglima memimpin bala tentaranya dengan berjalan kaki. Hal ini akan merendahkan nama Paduka, Gusti."
Karena nasehat ini, terpaksalah Retna Wilis menunggang seekor kuda putih dan biarpun ia tampak makin gagah mengagumkan, namun sesungguhnya ia merasa kurang leluasa harus menunggang kuda. Akan tetapi setelah menunggang sehari lamanya, ia mulai terbiasa dan merasa lebih enak, sungguhpun ia akan seribu kali memilih jalan kaki dalam menghadapi lawan daripada di punggung seekor kuda.
Sementara itu, Kadipaten Ponorogo yang tentu saja tidak sudi tunduk terhadap perintah Retna Wilis yang amat hina, sudah pula melakukan persiapan untuk berperang. Barisan-"barisan telah disiapkan, bala bantuan sudah datang, hanya bantuan dari Panjalu yang belum datang karena Ki Patih Tejolaksono menahan pengiriman bantuan spasukan ke Ponorogo, menanti kembalinya Endang Patibroto yang hendak mencegah puterinya melakukan penyerbuan-"penyerbuan yang merupakan pemberontakan itu.
Di Ponorogo telah berkumpul orang-orang sakti untuk membantu perjuangan kadipaten ini menghadapi ancaman Kerajaan Wilis yang baru sekali itu mereka dengar.
Akan tetapi para orang sakti ini tidak lagi berani memandang rendah dara remaja yang kabarnya menjadi ratu di Wilis ketika mereka mendengar sendiri dari mulut Panembahan Ki Ageng Kelud betapa saktinya dara itu di waktu masih kecil dahulu.
Apalagi ketika mendengar bahwa dara itu adalah murid Nini Bumigarba, tengkuk mereka meremang dan tahulah mereka bahwa bukan hanya Ponorogo yang terancam, juga nyawa mereka sendiri. Akan tetapi, sebagai orang-orang berilmu yang membela kebenaran, mereka tidak merasa gentar dan siap menghadapi lawan.
Bentrokan pertama antara kedua pasukan Ponorogo dan Wilis teijadi di tapal batas. Ternyata oleh barisan Wilis bahwa ketenaran nama barisan Ponorogo memang tidak kosong belaka. Semenjak bentrokan pertama, pasukan"pasukan Ponorogo mengadakan perlawanan sengit dan mereka itu selain memiliki anak buah yang kuat-kuat dan pantang mundur, juga dipimpin oleh perwira-perwira yang berpengalaman dan pandai mengatur barisan.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untung bagi bala tentara Wilis bahwa di pihak mereka ada Ki Patih Adiwijaya. Seperti telah diketahui, patih ini adalah seorang perajurit kawakan yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam perang.
Pernah menjadi perwira Jenggala, menjadi panglima Blambangan, kemudian menjadi patih di Jenggala pula. Maka Patih Adiwijaya dapat mengimbangi siasat perang pihak lawan.
Adapun untuk pertandingan perang campuh itu sendiri, semua perajurit Wilis menjadi besar hatinya menyaksikan sepak terjang ratu mereka, Retna Wilis.
Dara ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Ke mana saja ia mengajukan kudanya, pasti barisan lawan cerai-berai dan korban jatuh bertumpang-tindih dan bertumpuk-tumpuk!
HAL ini banyak sekali pengaruhnya, terhadap lawan dan anak buah sendiri. Fihak lawan menjadi gentar sekali dan fihak anak buah menjadi besar hati.
Karena sepak terjang Retna Wills yang selain mempergunakan kesaktian kedua tangannya juga menggunakan ilmu hitam semacam sihir, maka buyarlah fihak musuh. Setiap siasat dan pasangan barisan diimbangi dengan pasangan lain oleh Patih Adiwijaya dan selalu pasangan barisan lawan buyar oleh amukan Retna Wilis dan para pasukannya.
Pertempuran itu hanya berlangsung setengah hari. Pihak pasukan Ponorogo terdesak mundur dan biarpun semangat tempur para perajurit masih tinggi, namun para perwira yang menyaksikan betapa pasukan mereka hancur seperti rumput dibabat di bawah amukan Retna Wilis dan anak buahnya, segera memberi aba-aba kepada pasukan"pasukannya untuk mundur.
Retna Wilis berteriak nyaring, meneriakkan aba-aba kepada para barisannya untuk mengejar dan menyerbu terus. Di sepanjang perjalanan menuju ke Kadipaten Ponorogo, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan barn, namun mereka maju terus sehingga tubuh semua perajurit berlumuran darah lawan.
Mereka bergerak seperti kemasukan iblis, tertawa-tawa dan bersorak-sorak, apalagi karena sepak-terjang Retna Wilis makin buas dan ganas. Segenggam pasir di tangan Retna Wilis, sekali disambitkan dapat merobohkan puluhan orang lawan! ltulah Aji Pasir"sekti. Masih baik bagi para perajurit Ponorogo bahwa gerakan-gerakan dara perkasa itu dihalangi oleh kedudukannya di atas kuda. Andaikata dia mengamuk tanpa menunggang kuda, tentu akan lebih mengerikan lagi akibatnya.
Retna Wilis yang menyetujui nasehat patihnya, tidak pernah turun dari punggung kudanya.
Makin dekat serbuan para perajurit Wilis ke kadipaten, makin kuatlah perlawanan perajurit-perajurit Ponorogo, bahkan kini orang-orang sakti di fihak barisan Ponorogo sudah mulai membantu pula.
Begitu orang-orang sakti yang dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan para warok yang jumlahnya ada lima puluh orang itu menyerbu, barisan Wilis menjadi kacau-balau. Tidak kuat mereka menandingi serbuan orang-orang sakti ini yang mengamuk seperti api menjalar, makin lama makin ganas dan merobohkan banyak korban.
Melihat ini, Patih Adiwijaya memberi aba-aba kepada pasukan yang menghadapi rombongan orang sakti itu untuk mundur dan ia mendekati junjungannya memberi laporan karena maklum bahwa dia sendiri tidak akan kuat menanggulangi amukan orang-orang sakti itu. Satu-satunya orang yang akan dapat menghancurkan mereka hanyalah Sang Ratu Wilis sendiri.
Mendengar laporan patihnya, Retna Wilis mengeluarkan teriakan garang lalu membedal kudanya ke depan, membuka jalan berdarah merobohkan setiap lawan yang menghadangnya sampai ia tiba berdepan dengan rombongan warok yang dipimpin oleh Panembahan Ki Ageng Kelud dan Ki Warok Surobledug!
"Ha, kita bertemu lagi untuk yang terakhir kalinya, Surobledug dan engkau Ki Ageng Kelud. Terakhir kali kataku karena sekali ini kalian semua takkan terlepas dari maut di tanganku!"
Kata Retna Wilis sambil menudingkan cambuk di tangan kirinya.
Semenjak mengamuk tadi, Retna Wilis hanya menggunakan cambuk kuda, kedua tangan dan kakinya saja, tidak pernah menyentuh gagang pedangnya.
"Retna Wilis, engkau perempuan berwatak iblis! Kematian hanya berada di tangan Sang Hyang Widdhi, sekali-kali bukan di tangan iblis seperti engkau!"
Ki Warok Surobledug membentak.
"Retna Wilis, kejahatanmu melampaui takaran, terpaksa kami turun tangan!"
Panembahan Ki Ageng Kelud juga berkata sambil menudingkan tongkatnya.
Retna Wilis tertawa, suara ketawanya dingin mengejek, membuat mereka yang mendengar menjadi mengkirik. Akan tetapi diam-diam Surobledug telah memberi isyarat dan tiba-tiba terdengar suara bersautan dan ratusan anak panah menyambar ke arah tubuh Retna Wilis!
Melihat ini, Retna Wilis cepat memutar cambuknya sehingga anak-anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya runtuh semua. Akan tetapi tiba-tiba kuda yang ditungganginya meringkik keras dan roboh terguling.
Retna Wilis kaget dan marah.
Kudanya telah menjadi korban anak panah musuh. ia meloncat dari punggung kuda. Akan tetapi karena ia kurang pandai menunggang kuda dan tidak biasa, ia lupa bahwa kakinya masih terkait dan ketika ia meloncat tentu saja tubuhnya terpelanting dan ia terbawa roboh bersama kuda, sebelah kakinya terhimpit tubuh kudanya yang berkelojotan.
Pada saat itu, Patih Adiwijaya meloncat dari atas kudanya langsung menolong sang puteri, menarik tubuh kuda dan membantu Retna Wilis yang hendak disambarnya dari tempat berbahaya itu karena kini banyak anak panah melayang lagi diikuti para warok yang dipimpin Ki Warok Surobledug meneijang dengan senjata mereka.
Adiwijaya berhasil menyambar tubuh Retna Wilis, akan tetapi ia merupakan perisai dan biarpun Retna Wills yang melihat datangnya anak panah itu cepat menggerakkan tangan memukul anak-anak panah itu dengan hawa sakti,tetap saja ada sebatang anak panah menancap di pundak Adiwijaya!
"Ah, Paman, mengapa engkau menoIongku? Engkau terluka sendiri....
".
Retna Wilis berkata penuh sesal. Kalau hanya jatuh tertindih tubuh kuda begitu saja, bukan apa-apa baginya dan tidak ditolong sekali pun dia mampu menolong diri sendiri.
Adiwijaya terhuyung dan menggigit bibir ketika Retna Wilis mencabut anak panah itu yang ternyata mengandung racun!
"Cepat mundurlah dan obati lukamu!"
Kemudian sekali tangannya bergerak ke belakang, ia telah mencabut pedang dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata.
Pedang Sapudenda telah berada di tangannya, dan sekali memekik nyaring tubuh dara perkasa ini sudah mencelat ke depan, disambut oleh rombongan warok.
Kini dara itu tidak lagi menunggang kuda, maka gerakannya makin dahsyat mengerikan. Tampak sinar pedangnya seperti kilat menyambar-nyambar di musim hujan dan terdengarlah jerit-jerit kematian dari tujuh orang warok termasuk Ki Surobledug sendiri yang putus batang lehernya disambar pedang Sapudenta!
Selain hantaman tongkat di tangan Ki Ageng Kelud ini, masih ada sambaran senjata-senjata pusaka yang berupa kolor ajimat, digerakkan oleh tangan Ki Warok Dwipasekti dan tiga orang warok sakti lainnya.
Retna Wilis kini sudah marah sekali, wajahnya yang cantik jelita berubah beringas, matanya bersinar-sinar seperti memancarkan api, hidungnya berkembang kempis, mulutnya tersenyun dingin penuh ejekan.
Melihat datangnya serangan lima orang sakti itu, ia hanya menyambut tongkat Ki Ageng Kelud.
Tangan kirinya bergerak menangkap tongkat, tangan kanan yang memegang pedang menusuk dan darah muncrat dari dada kakek itu yang ditembusi pedang Sapudenta sampai ke punggung.
Biarpun sudah tua dan kini pedang pusaka yang luar biasa ampuhnya menembus dadanya, namun Ki Ageng Kelud adalah seorang yang gentur tapa, seorang sakti mandraguna yang sudah dapat mengatasi perasaan nyeri. Ia seperti tidak merasakan nyeri sama sekali, malah tertawa dan kedua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan leher Retna Wilis!
Dara perkasa ini berseru kagum, tidak memperdulikan empat buah senjata kolor yang menghantam tubuhnya, bahkan terns membelit kaki dan pinggangnya, namun ia menyambut cengkeraman Ki Ageng Kelud dengan pukulan tangan kiri, menggunakan Aji Wisalangking.
Pukulannya cepat sekali, membuat kedua tangan kakek itu terpental, terus menghantam kepala dan sekali ini Ki Ageng Kelud tidak kuat bertahan, tubuhnya terpental, pedang tercabut dan robohlah tubuh kakek itu dalam keadaan hangus bagian mukanya!
Retna Wilis tadi sengaja menghadapi Ki Ageng Kelud yang ia tahu amat sakti, tidak memperduli kan hantaman empat buah kolor jimat di tangan empat orang warok sakti.
Biarpun hanya kolor, akan tetapi bukan kolor sembarangan karena dengan senjata kolor ini, warok-warok sakti itu sanggup untuk sekali pukul menghancurkan batu karang dan menumbangkan pohon jati sebesar orang!
Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kolor mereka mengenai tubuh Retna Wilis, dara itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, dan kolor-kolor itu mengenai tubuhnya sama sekali tidak dirasakannya, seolah-olah hanya empat ekor lalat yang hinggap di tubuh.
Melihat dara itu menusuk dada Ki Ageng Kelud dengan pedang, kemudian memukul hangus kepala kakek itu, empat orang warok itu menjadi marah dan penasaran.
Kolor mereka yang tadi memukul tanpa hasil, terus melibat. Dua buah melibat pinggang, dan yang dua buah lagi membelit kedua kaki gadis itu, kemudian-mereka mengerahkan seluruh tenaga dan bersama-sama mereka membetot untuk membikin tubuh dara itu terguling.
Tenaga Ki Warok Dwipasekti dan tiga orang kawannya itu amat besar. Tarikan mereka tidak akan kalah oleh tenaga tarikan empat ekor kerbau jantan. Akan tetapi Retna Wilis tetap berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, tangan kanan memegang pedang melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas dan tubuhnya sedikit pun tidak bergeming!
Jangankan baru empat warok sakti, biar ditambah sepuluh kali lipat, belum tentu akan kuat menggeser gadis itu yang mengerahkan Aji Argoselo. Kalau sudah mengerahkan aji seperti itu, tubuh dara itu seolah-olah berubah menjadi gunung batu, kedua kakinya seperti telah berakar di bumi!
Empat orang warok itu mendengus-dengus mengerahkan tenaga dan ketika Retna Wilis menggerakkan pedang Sapudenta, pedang itu berubah menjadi sinar berkelebat dan empat buah kepala warok itu mencelat terlepas dari tubuh mereka yang masih menarik-narik kolor!
Retna Wilis meloncat mundur menghindarkan darah yang muncrat-muncrat dan robohlah empat batang tubuh yang sudah tidak berkepala lagi itu.
Para warok menjadi marah bukan main, akan tetapi kini Retna Wilis sudah mengamuk dengan pedangnya. Senjata berupa apapun juga dari para pengeroyoknya pasti terbabat putus oleh pedang Sapudenta, dan disusul muncratnya darah dari bagian tubuh yang ikut terbabat dan menjadi buntung. Sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan mayat para tokoh sakti yang membantu Ponorogo.
Sementara itu, setelah mengobati lukanya di pundak, Adiwijaya terus memimpin tentaranya menghajar pasukan-"pasukan musuh.
Karena pihak Ponorogo melihat betapa para warok dan orang-orang sakti terbasmi oleh Retna Wilis, hati mereka menjadi gentar sekali. Akhirnya, ketika pasukan Wilis menyerbu kadipaten, sisa pasukan Ponorogo bersama Adipati Diroprakosa melarikan diri menuju ke Panjalu.
Ketika Retna Wilis dan pasukannya memasuki kadipaten, di depan istana kadipaten, Adiwijaya roboh pingsan. Luka di pundaknya memang tidak hebat, akan tetapi karena luka itu terkena racun yang terkandung di ujung anak panah, dan dia tidak beristirahat melainkan memimpin terus barisannya, kini racun mulai bekerja dan dia roboh pingsan.
Retna Wilis cepat memerintahkan beberapa orang perwira untuk menggotong tubuh patihnya itu memasuki kadipaten dan dia sendiri yang merawat luka patihnya yang setia itu.
Ketika siuman dan mendapatkan dirinya dirawat sendiri oleh Retna Wilis, Adiwijaya menjadi terharu. Baru pertama kali ini selama hidupnya ia merasa terharu, perawatan Retna Wilis menyentuh hatinya, seolah-olah ia menjadi seorang ayah yang dirawat seorang puterinya.
"Ah, harap Paduka jangan melelahkan diri. Sudah sepatutnya hamba terluka, memang hamba sendiri yang salah dan lancang. Hamba lupa bahwa biarpun jatuh, Paduka tidak akan mungkin dapat celaka di tangan musuh. Hamba kaget dan panik sehingga lancang menolong sehingga hamba sendiri yang terluka. Sudah sepatutnya, memang hamba bodoh sekali..."
Katanya, hatinya merasa sungkan juga melihat betapa dara perkasa yang dipuja dan dikaguminya itu mencuci sendiri luka di pundaknya, memberi obat dan membalutnya.
"Eh, Paman Adiwijaya, mengapa sungkan-sungkan? Biarlah kubalut baik-baik lukamu. Engkau terkena racun. Engkau telah menolongku, dan hal itu kuanggap bahwa Paman telah menolong nyawaku, telah melepas budi besar."
"Paduka terlampau sakti, tak mungkin akan dapat dicelakai lawan. Luar biasa sekali. Selama hidupku, belum pernah hamba menyaksikan sepak terjang seorang panglima perang seperti Paduka"
Setelah pasukan Ponorogo melarikan diri, pasukan-"pasukan Wilis berpesta-pora dalam melakukan pengejaran. Pengejaran itu hanya sebagai alasan belaka, sesungguhnya mereka itu berpesta-pora melakukan perampokan-"perampokan, bukan hanya harta benda yang direnggut, juga kehormatan-kehormatan wanita cantik.
Demikianlah keadaan perang. Yang menang mabuk kemenangan dan memperlakukan yang kalah sesukanya sendiri. Merampok barang, memperkosa wanita, membunuh, menyiksa! Di antara sorak-sorai gembira, sorak kemenangan itu tertutuplah isak tangis dan lengking kematian dari rakyat yang tinggal di sekitar Ponorogo.
"Aduh, Kakangmas....... , apa yang harus kulakukan....... Aduh dewata, lebih baik dicabut saja nyawa Endang Patibroto daripada menderita batin seperti ini......
".
Endang Patibroto mengeluh dan menangis di dalam kereta sehingga Limanwilis yang duduk pula di situ hanya melongo dan menghela napas panjang dengan hati penuh iba. Dia tidak dapat menghibur, maklum betapa hancur hati junjungannya itu.
Ketika akhirnya kereta itu memasuki halaman Kepatihan Panjalu, Endang Patibroto meloncat turun dan lari memasuki kepatihan dengan agak terhuyung. Patih Tejolaksono bersama Ayu Candra dengan kaget sekali menyambut kedatangan Endang Patibroto yang masuk sambil menangis. Lebih-lebih lagi rasa kaget dan cemas hati Patih Tejolaksono ketika Endang Patibroto menubnik kakinya dan menangis,
"Aduh, Kakangmas bagaimana dengan anak kita itu ,apakah yang hams kulakukan, Kakangmas?!!"
Ayu Candra cepat merangkul pundak madunya.
"Dinda Endang ada apakah? Apa yang terjadi? Bagaimana Retna Wills! "
Ayu Candra sudah pula menangis melihat madunya tersedu-sedu seperti itu.
Patih Tejolaksono menghela napas dan menekan batinnya, lalu ia mengangkat bangun tubuh Endang Patibroto sehingga wanita itu bangkit berdiri, lalu kedua tangannya memegang pipi ldri kanan, memaksa wajah yang basah air mata itu bertemu pandang dengannya. Tejolaksono tcrsenyum, senyum penuh ketenangan dan ia berkata,
"Adinda Endang Patibroto, ke manakah ketenanganmu? Pandanglah aku, apakah dunia sudah begitu sempit sehingga engkau kehilangan akal? Tenanglah dan mari kita duduk di dalam untuk membicarakan persoalan yang menyusahkan hatimu."
Tejolaksono merangkul pundak isterinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Ayu Candra memegang tangan Endang Ptibroto yang masih terisak dan memandang wajah madunya yang pucat itu dengan hati cemas.
Endang Patibroto merasa makin seperti diremas-remas hatinya setelah ia bertemu dengan suami dan madunya. ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menyembunyikan mukanya pada bantal dan menangis lagi. Ayu Candra juga menangis dan hendak menubruknya, akan tetapi Tejolaksono memegang pundaknya dan memberi isyarat dengan gelengan kepala agar Ayu Candra membiarkan Endang Patibroto menangis dulu.
Hal ini akan melepaskan kerisauan hatinya. Ia mengerutkan kening memandang tubuh Endang Patibroto yang bergoyang-goyang dalam tangisnya. Bukan watak Endang Patibroto untuk menangis seperti itu. Tentu telah terjadi hal yang amat hebat dengan Retna Wilis.
Benar saja, setelah dibiarkan menangis sejenak, Endang Patibroto akhirnya dapat meredakan gelora hatinya dan ia bangkit duduk menghapus air matanya.
"Maafkan aku, Kakangmas, maafkan Ayunda....
Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo