Perawan Lembah Wilis 5
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Demlkian Ki Patih Suroyudo melanjutkan ceritanya.
"Para empu dan ahli mengatakan bahwa mereka itu tewas akibat ilmu hitam yang amat jahat, namun tak seorangpun di antara mereka dapat menangkap penyerang pengecut itu. Kematian para ponggawa semua terjadi dalam waktu cepat, tak tersangka-sangka sehingga kami tidak tahu siapa-siapa yang akan menjadi korban berikutnya."
Sang Adipati Tejolaksono mengerutkan keningnya yang hitam tebal. Sepasang matanya yang tajam itu memancarkan sinar aneh. Kemudian terdengar ia bertanya,
"Menurut penuturan paman patih tadi, gejala-gejala yang tampak pada jenazah-jenazah para ponggawa adalah pendarahan yang keluar begitu saja dari kaki tangan dan dada tanpa ada luka di bagian-bagian tubuh itu?"
"Benar, anakmas. Tidak ada luka sedikitpun, namun darah bercucuran dari kaki, tangan dan terutama sekali dari ulu hati seakan-akan bagian-bagian itu ditusuk dengan keris. Mereka itu, rekan-rekan kita yang malang, tewas tanpa dapat melakukan perlawanan, juga tidak tahu siapa musuh yang melakukannya. Karena inilah, maka sang prabu mengutus saya untuk datang ke Selopenangkep dan mengundang anakmas datang ke Panjalu menghadap sang prabu setelah anak mas berhasil menangkap penjahat dan pembunuh itu."
"Setelah saya berhasil menangkap nya?"
Adipati Tejolaksono menegas.
"Benar, anakmas. Sang prabu berpendapat bahwa hanya anakmas yang akan dapat membikin terang perkara gelap ini karena menurut pendapat umum, menurut pula desas-desus yang menyelinap masuk sampai ke istana, pelaku daripada semua pembunuhan yang terjadi di Panjalu, juga di Jenggala, adalah.......... hem m.......... puteri mantu sang prabu di Jenggala.........
"
Terbelalak mata yang tajam itu ketika memandang kepada tamunya.
"Paman.......... paman maksudkan.....isteri Gusti Pangeran Panjirawit, diajeng Endang Patibroto???"
Ki Patih Suroyudo yang tua itu menganggukanggukkan kepalanya perlahan.
"Demikianlah bunyl desas-desus, anakmas adipati. Menurut penuturan para ahli kami di Panjalu yang sudah tua-tua, di jaman dahulu yang pandai akan ilmu hitam seperti itu hanyalah tokoh dari Kerajaan Wengker,kerajaan siluman itu. Dan mengingat bahwa....... beliau adalah murid Ki Dibyo Mamangkoro.......hemm.......dan kesaktiannya sudah tersohor di kedua kerajaan, maka bukan hanya semua orang, bahkan sang prabu sendiri berkenan menyatakan kekhawatiran dan dugaan beliau bahwa agaknya memang benarlah isi desas-desus itu. Kemudian sang prabu menyatakan bahwa hanya anakmas adipati seoranglah yang akan dapat mengatasl urusan ini, maka paman diutus untuk menyampaikan semua ini kepada anakmas."
Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk. Hatinya merasa tidak enak sekali. Mengapa nasib selalu hendak mempertemukannya dengan Endang Patibroto?
Terbayanglah semua pengalamannya dahulu dengan wanita sakti itu, dan terbayang pula pertandingannya melawan Endang Patibroto yang mati-matian (baca cerita Badai
Laut Selatan).
Harus ia akui bahwa selama hidupnya,belum pernah ia bertemu tanding sehebat dan sesakti Endang Patibroto. Boleh dikatakan bahwa tingkat ilmu kesaktian mereka seimbang, tidak berbeda jauh. Dan kini, setelah bertahun-tahun ia hidup dalam keadaan aman tenteram, tiba-tiba saja ia dihadapkan perkara yang akan mengharuskan ia lagi-lagi berhadapan dengan Endang Patibroto.
"Baiklah, paman Patih Suroyudo. Hamba menerima tugas ini dengan ketaatan. Harap paman sudi menyampaikan penghaturan sembah bakti saya kepada gusti sesembahan kita di Panjalu dan akan hamba usahakan sekuat tenaga untuk menyelidiki perkara ini kemudian menangkap pelakunya."
Setelah beramah-tamah dan menikmati hidangan, Ki Patih Suroyudo minta diri dan berangkat kembali ke Panjalu diiringkan pasukan pengawalnya.
Adipati Tejolaksono termenung sejenak ketika tamunya sudah lama pergi dan barulah sadar daripada lamunannya ketika sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. ia menoleh dan melihat bahwa Ayu Candra sudah berdiri di situ.
Lengannya lalu meraih pinggang yang langsing itu, menariknya duduk di atas kursi di depannya. Karena mereka duduk di pendopo yang terbuka, maka sang adipati menahan hasrat hatinya membelai isterinya. ia hanya tersenyum dan memandang wajah isterinya yang kelihatan khawatir itu.
"Nimas, kau pergilah menemui kedua bibi dan minta mereka suka datang bercakap-cakap di ruangan dalam. Ada urusan penting yang ingin kusampaikan kepada mereka, bahkan hendak kumintai pertimbangan mereka."
"Ada apakah, kakanda? Ki Patih tadi membawa kabar apakah?"
Tanya Ayu Candra dengan alis berkerut.
Adipati Tejolaksono menangkap tangan isterinya dan meremas-remas jari tangannya.
"Jangan kau khawatir, isteriku sayang. Dan sebaiknya kalau adinda suka memanggil kedua bibi agar bersama dapat membicarakan urusan yang dibawa ki patih tadi."
Biarpun hatinya diliputi kekhawatiran, namun melihat wajah suaminya yang tenang, Ayu Candra tidak mendesak lagi. Memang, betapapun juga besar cinta kasih dan kemanjaannya, ia tetap taat akan segala yang diminta dan dikatakan suaminya. ia mengangguk, lalu pergilah ia masuk ke dalam.
Dan dari belakangnya, Adipati Tejolaksono memandang tubuh belakang isterinya dengan hati gembira. Biarpun sudah menjadi ibu dan usianya sudah bertambah, tiada perbedaan terjadi pada tubuh Ayu Candra. Dan ia tersenyum karena maklum bahwa pendapat ini menambah tebal cinta kasihnya.
Sang adipati lalu masuk ke ruangan dalam. Ketika isterinya kembali bersama dua orang bibi,yaitu Roro Luhito dan Kartikosari yang memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan dan dugaan, barulah Adipati Tejolaksono teringat akan perintah sang prabu dan sikapnya menjadi sungguh-sungguh. ia mempersilahkan kedua orang wanita setengah tua itu duduk, kemudian mulailah ia bercerita yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ayu Candra, Kartikosari, dan RoroLuhito.
Ketika ia menceritakan tentang pembunuhan-pembunuhan mengerikan dan aneh yang terjadi atas diri banyak ponggawa-ponggawa Panjalu dan Jenggala, tiga orang wanita itu saling pandang dengan perasaan ngeri.
Mereka bertiga bukanlah orang-orang lemah, terutama sekali Kartikosari. Akan tetapi, peristiwa pembunuhan seaneh dan sengeri itu baru sekarang ia pernah mendengarnya.
"Demikianlah, bibi. Karena kejadian aneh itu menimpa para ponggawa dan tidak dapat diduga semula siapa-siapa yang akan menjadi korban berikutnya, keadaan di Panjalu menjadi geger dan dicekam suasana ngeri dan takut. Sang prabu mengutus paman Patih Suroyudo untuk memerintahkan saya pergi menanggulangi perkara itu, menyelidiki dan kemudian menangkap si jahat yang melakukan pembunuhan-pembunuhan secara pengecut dan keji."
Menggigil tubuh Ayu Candra. Adipati Tejolaksono tahu benar akan hal ini melihat dari pandang mata serta gerak leher isterinya.
"Aahhh bagaimana seorang manusia dapat melawan iblis? Kurasa hanya iblis sendiri yang dapat melakukan pembunuhan-pembunuhan keji seperti itu."
Kata Ayu Candra.
Adipati Tejolaksono tersenyum. ingin sekali hatinya menceritakan tentang desas-desus yang tertiup angin di Kerajaan Panjalu tentang dugaan umum siapa pelaku pembunuhan-pembunuhan itu, akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang yang bijaksana.
Endang Patibroto adalah anak kandung bibi Kartikosari. Bagaimana ia dapat menyebut nama Endang Patibroto di depan bibinya ini? Tidak, ia tidak akan menceritakan hal itu, apalagi nama Endang terbawa dalam peristiwa itu hanya sebagai desas-desus yang belum ada buktinya.
Kecuali kalau memang kemudian ternyata bahwa Endang Patibroto yang melakukan hal itu, dan ini sama sekali tidak dipercayainya, tentu saja ia tidak akan menutupinya.
"Bukan iblis bukan siluman, yayi, melainkan seorang tukang tenung, seorang dukun lepus ahli ilmu hitam Dan kalau dapat kuselidiki dan kutemui orangnya, tentu akan kuhajar dia Seorang yang melakukan perbuatan seperti itu bahkan lebih kejam daripada iblis sendiri."
"Tapi tapi dia tentu memiliki kesaktian yang amat hebat...."
Kembali Ayu Candra berkata penuh kekhawatiran sambil memandang suaminya, wajahnya agak pucat.
"Ayu, mengapa engkau kini menjadi begini penakut? Mana kegagahanmu yang dahulu, cah-ayu? Ahhhh, benar-benar cinta kasih bisa membuat orang menjadi penakut,"
Tegur Roro Luhito kepada Ayu Candra.
Memang Roro Luhito kalau bicara jujur tanpa tedeng aling-aling lagi.
"Kau tahu bahwa suamimu memiliki kesaktian yang dapat mengatasi musuh-musuhnya, apalagi hanya seorang dukun lepus. Jangan kau khawatir, seperti bukan wanita gemblengan sajai"
"Betul ucapan bibimu Luhito, anakku. Tidak perlu khawatir jika kali ini suamimu melaksanakan tugas dan perintah junjungan. Memang ini sudah menjadi kewajibannya. Apalagi, aku yakin benar bahwa pelaku pembunuhan-pembunuhan itu bukanlah seorang yang benar-benar sakti mandraguna. Bukanlah seorang sakti yang suka melakukan perbuatan pengecut seperti itu, melainkan seorang lemah dan penakut. Yang tidak berani menghadapi aldbat perbuatannya. Jangan kau khawatir, anakku, suamimu tidak akan menemui bahaya."
Mendengar hiburan kedua orang tua itu, agak legalah hati Ayu Candra. Alangkah bangga dan besar hati Adipati Tejolaksono. Untung ada kedua orang bibi ini yang seratus prosen boleh diandalkan.
Kalau tidak ada mereka, agaknya iapun akan ragu-ragu dan khawatir meninggalkan isteri tercinta sendirian di rumah bersama puteranya. Kalau tidak ada kedua orang bibinya yang boleh dipercaya ini, agaknya ia akan "mengantongi"
Isteri dan anaknya itu dan membawanya serta ke manapun ia pergi.
"Saya mohon perhatian dan bantuan bibi berdua, bukan untuk menghadapi urusan pembunuhan di Panjalu melainkan.... hemm.... Bagus Seta....
"
KARTIKOSARI mengangguk.
"Ki Tunggaljiwa?"
Wanita ini sudah dapat menduga apa yang dipikirkan sang adipati.Tejolaksono mengangguk.
"Saya tidak. menyangka bahwa orang tua itu mempunyai niat buruk. Akan tetapi, hemm , keadaannya juga amat aneh. Oleh karena Itulah sepeninggal saya ke Panjalu, saya harap bibi berdua sudi membantu Ayu untuk mengamat-amati Bagus Seta. Tentu saja hal Ini sudah dan akan bibi lakukan tanpa saya minta, akan tetapi.. , hati saya akan lega dalam perjalanan kalau saya sudah membicarakan hal ini secara berdepan begini dengan bibi yang saya percaya dan hormati setingginya."
Kartikosari tersenyum. Biarpun Roro Luhito lebih pandai bicara daripadanya, akan tetapi menghadapi segala urusan, selalu dia yang menjadi dan penentunya. Roro Luhito hanya akan mengikuti semua jejaknya.
"Anakku adipati, kami mengerti perasaanmu setelah pengalamanmu bersama Bagus Seta di dalam hutan. Dan bukan hal yang kebetulan saja ucapan Ki Tunggaljiwa kepadamu yang meramalkan bahwa dalam waktu singkat anaknda akan pergi dari Selopenangkep. Oleh karena itu, harap engkau waspada dan hati-hati dalam perjalanan menunaikan tugas yang dibebankan oleh sang prabu kepadamu. Adapun tentang keadaan di Selopenangkep sepeninggalmu, harap legakan hati dan jangan khawatir. Isterimu, Ayu Candra bukan seorang anak-anak melainkan seorang ibu yang tentu akan dapat menjaga putera dan rumah tangga sebaiknya. Adapun kami, kedua bibimu ini, tentu saja akan mengamat-amati kesemuanya dan akan membela Selopenangkep seisinya dengan taruhan nyawa."
Ucapan Kartikosari yang tenang dan mantap ini membuat hati Adipati Tejolaksono menjadi lega. Lapang rasa dadanya dan ia dapat pergi dengan tenang.
Ayu Candra juga sadar bahwa ketidakrelaannya yang diperlihatkan atas kepergian suaminya, amatlah tidak baik. Suaminya adalah seorang yang sakti mandraguna. Kalau hanya menghadapi seorang penjahat pengecut saja, memang tidak perlu dikhawatirkan sama sekali.
Demikianlah, pada pagi hari itu juga, Adipati Tejolaksono meninggalkan Selopenangkep, menunggang seekor kuda berbulu dawuk yang besar dan kuat, membawa perbekalan dan tidak lupa membawa senjata pusakanya, yaitu keris Megantoro, sebatang keris berlekuk tujuh yang mengeluarkan sinar keputihan seperti awan. Hatinya tenang karena kepergiannya diantar senyum penuh kepercayaan oleh isteri dan kedua biblnya, dan dibekali peluk cium puteranya, Bagus Seta.
Akan tetapi ketenangan hati Adipati Tejolaksono lenyap seperti awan ditiup angin ketika perjalanannya membawa ia makin mendekati Kerajaan Panjalu.
Ia melakukan perjalanan ini seorang diri, tidak berpengawal karena apakah artinya pengawal bagi seorang sakti seperti adipati muda ini? Apalagi, perjalanannya kali ini adalah perjalanan untuk melakukan penyelidikan dan mencari seorang penjahat sakti sehingga perlu ia lakukan dengan diam-diam.
Hatinya makin gelisah setelah ia dekat dengan Kerajaan Panjalu karena santer terdengar olehnya akan desas-desus tentang pembunuhan-pembunuhan itu. Apalagi setelah pada suatu pagi ia tiba di luar kota raja, kagetnya bukan main mendengar berita bahwa di Kota Raja Panjalu terjadi geger yang hebat sekall. Yaitu tentang penyerbuan Endang Patibroto ke istana Pangeran Darmokusumo yang gagal.
Berita ini membuat ia terkejut dan termenung di atas kudanya yang ia hentikan di tepi jalan agar mendapat kesempatan makan rumput hijau. Endang Patibroto menyerbu dan berniat membunuh Pangeran Darmokusumo? Inilah hebat! Untung, menurut berita itu, bahwa penyerbuan itu dapat digagalkan oleh pasukan-"pasukan Panjalu yang memang sudah berjaga-jaga. Nyaris Endang Patibroto tertangkap, demikian berita itu. Penasaran memenuhi hati Adlipati Tejolaksono.
Mengapa Endang Patibroto melakukan hal itu? Bukankah wanita ini telah menjadi seorang isteri berbahagia dari Pangeran Panjirawit dan hidup mulia di Kerajaan Jenggala? Bukankah Pangeran Darmokusumo itu masih saudara iparnya sendiri karena isteri Pangeran ini adalah adik kandung Pangeran Panjirawit? Ah, hampir tak dapat ia mempercayai berita aneh itu. Akan tetapi, bukan hanya dari satu dua orang ia mendengar berita ini! Ia harus segera ke Jenggala, sekarang juga! Ia harus bertemu sendiri dengan Endang Patibroto dan bercakap-cakap dengan adik angkatnya itu.
Sebelum melihat bukti dan mendengar keterangan dari mulut Endang sendiri, ia tidak akan mengambil tindakan tergesa-gesa dan harus amat berhati-"hati karena ia sudah cukup mengenal watak Endang Patibroto yang boleh dikatakan sejak kecil selalu menjadi musuhnya (baca cerita Badai Laut Selatan).
Tanpa memasuki Kota Raja Panjalu, Tejolaksono lalu membedal lagi kudanya berangkat menuju ke Jenggala. Melalui jalan-jalan yang amat dikenalnya ini terkenang lagilah sang adipati akan masa mudanya, terkenang akan segala peristiwa yang terjadl pada dirinya belasan tahun yang lalu dan terkenanglah ia kepada Endang Patibroto,gadis sakti mandraguna yang amat galak terhadapnya dahulu itu.
Endang Patibroto, yang sejak kecil selalu benci kepadanya, yang merupakan lawan terberat baginya, bahkan yang telah membunuh ibu kandungnya! Wanita yang amat dikasihaninya, dikaguminya akan tetapi juga pernah dibencinya karena telah membunuh ibunya.
Namun karena ibu kandungnya menjadi pembunuh ayah kandung wanita ini, maka kesadaran hatinya telah menyudahi rasa bencinya, dan berbalik ia menjadi kasihan kepada Endang Patibroto, apalagi setelah ia hidup berkecimpung di dalam kebahagiaan cinta kasih dengan isterinya, Ayu Candra.
Dan hatinya ikut girang dan bahagia ketika ia mendengar berita bahwa Endang Patibroto juga hidup bahagia di samping seorang suami yang amat mencintanya, yaitu Pangeran Panjirawit.
Akan tetapi sekarang muncul peristiwa yang amat aneh ini.
Mula-mula terjadi pembunuhan-pembunuhan gelap, kemudian timbul desas-desus bahwa Endang Patibrotolah orangnya yang melakukan perbuatan pengecut dan keji ini. Dan sekarang, yang amat mengejutkan adalah berita tentang penyerbuan Endang Patibroto seorang diri di malam gelap untuk membunuh Pangeran Darmokusumo. Mana ia bisa percaya?.
Hari telah menjadi malam ketika Adipati Tejolaksono memasuki Kota Raja Jenggala yang dahulu amat dikenalnya itu. begitu ia menuntun kudanya memasuki pintu gerbang, lima orang penjaga menghadang dan memandangnya penuh kecurigaan. Akan tetapi sebelum mereka sempat menegurnya, seorang di antara para penjaga yang sudah tua usianya memandang Tejolaksono penuh perhatian, kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah adipati ini dan berkata gagap,
"Bukankah.. andika ini.. Raden Bagus Joko Wandiro?!! "
Tejolaksono tersenyum. Sebetulnya ia, tidak ingin memperkenalkan diri, karena ia ingin diam-diam mengunjungi Pangeran Panjirawit dan menemui Endang Patibroto, tidak mau memberitakan tentang kedatangannya ke Jenggala kepada orang lain. Akan tetapi karena penjaga tua ini mengenalnya, ia tidak dapat menyangkal lagi dan mengangguk.
"Benar, paman. Aku ingin pergi mengunjungi Gusti Pangeran Panjirawit "
Tejolaksono menghentikan ucapannya ketika melihat perubahan muka kelima orang penjaga itu yang tampak nyata di bawah sinar lampu di pintu gerbang. Mereka itu terbelalak, jelas kaget sekali mendengar disebutnya nama pangeran itu. Ia menyangka pasti ada hal yang hebal terjadi, maka cepat ia bertanya,
"Ada terjadi apakah, paman?"
Penjaga tua itu bertanya,
"Benarkah paduka ini Raden Bagus Joko Wandiro yang kini sudah menjadi gustl adipati di Selopenangkep?"
Kembali Tejolaksono mengangguk tak sabar. la tidak mempersoalkan dirinya, melainkan ingin mendengar tentang Endang Patibroto. Melihat orang muda ini mengangguk, lima orang penjaga itu lalu memberi hormat. Yang empat adalah penjaga-penjaga muda yang belum pernah melihat Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono, akan tetapi sudah mendengar nama besar ksatria yang sakti mandraguna ini.
"Maafkan hamba berlima tadi berlaku kurang hormat, gusti adipati.
"
"Ah, bangkitlah, paman dan harap suka menceritakan apa yang telah terjadi."
Dan Tejolaksono melongo keheranan ketika mendengar penjaga tua itu bercerita. Makin banyak ia mendengar, wajahnya makin keruh. Keheranan bercampur dengan kegelisahan dan tidak percaya.
Bagaimana ia bisa percaya mendengar betapa Endang Patibroto benar-benar telah membunuh-bunuhi para ponggawa Jenggala dan Panjalu dengan ilmu hitam, kemudian betapa wanita sakti yang oleh para penjaga disebut "iblis betina"
Itu telah menyerbu istana Pangeran Darmokusumo, kemudian betapa Pangeran Panjirawit yang membela nama isterinya itu ditangkap sendiri oleh ayahnya, sang prabu di Jenggala lalu dipenjarakan.
Betapa kemudian, iblis betina itu secara hebat dan seorang diri telah menyerbu penjara yang terjaga amat kuatnya, menyamar sebagai pria, sebagai penjaga kemudian berhasil melarikan suaminya itu dari penjara.
"Iblis itu hebat bukan main, gusti adipati. jelas bahwa dia bukan manusia biasa, melainkan iblis. Kalau manusia biasa, bagaimana bisa berhasil merampas gusti pangeran yang terjaga oleh ratusan orang prajurit dan pengawal? Bahkan dikerocok (dihujani) anak panah, masih berhasil melesat pergi seperti terbang saja dan keluar dari kota raja, entah ke mana, hanya setan yang tahu"
Adipati Tejolaksono hanya bisa mengeluarkan suara "ahh!"
Berkali-kali, kemudian ia mengucapkan terima kasih dan pergi dari situ, meninggalkan para penjaga sambil menuntun kudanya, berjalan perlahan seperti orang mimpi melalui jalan yang amat gelap itu.
la memang merasa seperti mimpi mendengar semua itu. Ia tersenyum kalau teringat akan keheranan para penjaga yang menceritakan tentang perbuatan Endang Patibroto membebaskan suaminya Ia tidak heran mendengar itu.
Seorang sakti seperti Endang Endang Patibroto tentu saja mampu melakukan hal itu, bahkan yang lebih daripada itu sekalipun! Ia tersenyum kalau membayangkan betapa Endang Patibroto mempermainkan ratusan orang prajurit itu, membakari sebagian istana dan menyamar sebagai perajurit, kemudian melarikan diri, dikeroyok puluhan orang pengawal dan menangkis semua anak panah yang datang bagaikan hujan. Ia sudah tahu akan kesaktian wanita itu.
Iblis betina? Ah, ia cukup tahu akan watak Endang Patibroto.
Kalau sedang marah memang melebihi iblis, akan tetapi sebetulnya mempunyai dasar watak satria puteri utama! Akan tetapi, tidak habis keheranannya mendengar semua peristiwa itu. Endang Patibroto membunuhi para ponggawa dengan ilmu hitam yang mujijat? Memang hal inipun tidak aneh dan bisa saja Endang Patibroto melakukannya, mengingat bahwa dia adalah murid Dibyo Mamangkoro yang jahat dan sakti seperti iblis sendiri.
Akan tetapi, ia yakin bahwa tanpa alasan yang amat kuat, tak mungkin Endang Patibroto mau melakukannya, apalagi sebagai isteri Pangeran Panjirawit yang terkenal berbudi bawa-laksana!
Kalau begitu, apa sebabnya? Mengapa terjadi semua itu? Mengapa? Dan ke mana ia harus mencari Endang Patibroto? Ia tidak akan menjatuhkan sesuatu pendapat atau penilaian atas peristiwa semua itu sebelum ia mendengar sendiri dari orang yang bersangkutan, dalam hal ini Endang Patibroto dan suaminya.
Ia harus mencari Endang Patibroto dan Pangeran Panjirawit. Ia menyesal mengapa tidak datang lebih pagi.
Peristiwa penyerbuan penjara oleh Endang Patibroto itu baru terjadi dua hari yang lalu!
Adipati Tejolaksono memeras otaknya. Di dalam gelap, ia berhenti berjalan, lalu duduk bersila, merenung dan mengerjakan otaknya.
Peristiwa ini terlalu aneh, tidak mungkin terjadi tanpa dasar yang amat kuat. Ia merasa yakin bahwa tentu ada sesuatu yang menggerakkan semua itu, sesuatu yang memaksa Endang Patibroto melakukan perbuatan-perbuatan hebat itu, yakni menyerbu istana Pangeran Darmokusumo dan kemudian menyerbu penjara membebaskan suaminya, melawan perajurit-perajurit mertuanya sendiri, Sang Prabu Jenggala!
Dan, satu-satunya hal yang mungkin terjadi adalah bahwa tentu penggerak itu merupakan musuh besar Kerajaan Jenggala dan Panjalu. Siapa? Kadipaten Nusabarung merupakan musuh besar terakhir dari Jenggala, akan tetapi kadipaten itu telah dihancurkan.Siapa lagi yang dapat memusuhi Jenggala dan Panjalu?
Memang banyak kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tunduk kepada kedua kerajaan ini, akan tetapi mereka itu tak mungkin dapat melakukan hal yang amat hebat ini. Kemudian ia teringat. Bukankah kerajaan Adipati Nusabarung mempunyai sekutu yang amat besar dan kuat? Adipati di Blambangan! Ya, kiranya Kadipaten Blambangan inilah merupakan satu-satunya musuh besar yang termasuk kuat dan berbahaya.
Akan tetapi bagaimana Blambangan dapat mempengaruhi Endang Patibroto? Inipun kiranya tak masuk di akal karena setahunya, hubungan Endang Patibroto dengan pengaruh-pengaruh luar hanya dengan Dibyo Mamangkoro yang telah meninggal dunia, pula, Kerajaan Wengker di mana dahulu Dibyo Mamangkoro menjadi senopati besarnya, kini telah tiada pula.
Adipati Tejolaksono bangkit berdiri, menuntun kudanya, kemudian melompat naik ke punggung kudanya.
"Dawuk, satu-satunya peganganku hanya Blambangan. Semoga tidak salah perhitunganku. Kita ke Blambangan!"
Ia menarik kendali kudanya dan mulailah ia melakukan perjalanan, menuju ke timur. Ke Blambangan!.
Pada malam ke dua tibalah ia di lembah Sungai Menjangan setelah melewati Gunung Semeru. Tiba-tiba kudanya Si Dawuk mengeluarkan ringkik perlahan. Tejolaksono menjadi waspada, cepat meloncat turun dan membiarkan kudanya terlepas di dekat sungai di mana terdapat banyak daun dan rumput hijau gemuk.
Kemudian ia berjalan ke sebelah kira ke mana tadi kudanya menoleh ketika mengeluarkan ringkikan. Ia percaya akan ketajaman, ke enam yang amat tajam dari binatang tunggangannya.
Kalau Si Dawuk meringkik seperti itu, tentu ada apa-apa yang tidak wajar di sebelah kiri itu.
Berindap-indap Adipati Tejolaksono berjalan dan matanya tajam meneliti keadaan sekelilingnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Malam itu bulan purnama menerangi jagat raya dan biarpun keadaan remang-remang namun Tejolaksono dapat melihat dengan terang.
Tiba-tiba ia merighentikan langkahnya.
Ada suara mengerang perlahan, agak jauh dari tempat ia berdiri. Agaknya suara itulah yang tadi mengejutkan kudanya. Suara itu terdengar memang aneh, bukan seperti suara manusia, akan tetapi juga tak pernah ia mendengar ada binatang yang suaranya seperti itu.
Cepat ia melangkah maju ke arah suara. Kiranya suara itu terdengar dari sebuah jurang atau sumur tua yang dalamnya kurang lebih tiga meter. Dan di atas sumur itu, ia melihat sesuatu bergerak-"gerak. Cahaya bulan tidak mencapai dasar sumur sehingga keadaan amat gelap.
"Kisanak, siapakah andika yang berada di dasar jurang?"
Tanya Tejolaksono sambil berjongkok di pinggir jurang.
Lama ia menanti jawabannya. Namun tidak ada jawaban. Kemudian terdengar suara merintih lagi, kini jelas suara manusia mengaduh.
Ada manusia yang membutuhkan pertolongan! Adipati Tejolaksono yang berjiwa satria, tentu saja tidak membuang waktu untuk meragu di mana tenaganya dibutuhkan orang lain. Ia segera lari ke arah serurnpun bambu yang tumbuh tak jauh dari situ.
Dengan pengerahan tenaga saktinya, tangan kanannya membabat ke bagian bawah sebatang pohon bambu dan "krakkkl"
Pohon itu jebol dan tumbang. Dia lalu menyeret pohon yang amat panjang itu, diturunkan perlahan ke dalam sumur. Ternyata pohon barbu itu cukup tinggi sehingga dapat mencapai dasar sumur. Merayaplah Adipati Tejolaksono turun ke dalam sumur melalui batang pohon bambu.
Keadaan di dasar sumur gelap, remang-remang namun setelah matanya biasa dengan kegelapan itu, Tejolaksono dapat melihat sosok tubuh seorang laki-laki tinggi besar rebah miring sambil mengerang kesakitan. Ia meraba, lalu mengangkat tubuh itu dan memanggulnya. Perlahan ia memanjat batang bambu ke atas, kemudian mengerahkan tenaganya meloncat keluar lubang sumur.
"Aduh... aduhh...!! "
Laki-laki tinggi besar itu ternyata tubuhnya berlumur darah.
Ketika memeriksanya di bawah sinar bulan, tampak oleh Tejolaksono gagang sebatang keris tersembul keluar dari dadanya. Keris itu menancap di dada sampai ke hulu kerisnya.
"Paman, siapakah andika dan mengapa berada dalam sumur dalam keadaan begini?"
Tejolaksono bertanya setelah melihat bahwa laki-laki tinggi besar itu adalah seorang kakek yang bertampang gagah dan bertubuh kuat sekali. Ia sudah terheran-heran mengapa kakek ini belum tewas oleh luka di dadanya yang hebat itu. Tahulah ia bahwa orang ini bukan orang sembarangan, karena kalau tidak berkepandaian tinggi tentu tak dapat bertahan.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lelaki Itu membelalakkan matanya, mengerang lagi perlahan lalu berkata,
"Terima kasih terima kasih....aduhhh kasihan kau, gusti puteri Endang Patibroto
aduhh , Gusti Dlbyo Mamangkoro.. maafkan hamba , Maafkan hamba tidak dapat melindungi murid paduka auugggghhh...!!! "
Adipati Tejolaksono terkejut sekali. Cepat ia menyentuh punggung orang itu, mengerahkan aji kesaktian sehingga hawa panas keluar dari pusarnya melalui tangan dan menembus kulit punggung. Orang itu mengeluarkan seruan perlahan, agaknya terheran, kemudian napasnya yang terengah-engah itu mulai tenang.
"Kau kau siapa....?"
Agaknya kakek ini heran menyaksikan betapa orang yang mengangkatnya keluar dari sumur ini memiliki ilmu yang demikian hebat. Tadinya ia mengira bahwa yang menolongnya hanyalah seorang petani biasa.
"Paman, aku adalah saudara Endang Patibroto! Ke mana dia? Dan apakah yang telah terjadi dengannya? Katakanlah, paman! "
"Uuhh siapa kau...?! "
Adipati Tejolaksono berpikir sebentar. orang ini menyebut-nyebut nama Dibyo Mamangkoro, tentu anak buah guru Endang Patibroto itu. Kalau ia menyebut namanya yang sekarang, tentu tidak mengenalnya.
Maka ia lalu berkata.
"Paman, namaku adalah Koko Wandiro "
Tiba-tiba orang Itu berseru dan tangannya yang besar itu melayang, menghantam ke arah muka Adipati Tejolaksono
Tentu saja dengan mudah Tejolaksono mengelak dan orang itu kembali mengerang kesakitan.
"Aduh, keparat.! Kau.... kau pembunuh gusti senopati Dibyo Mamangkoro.
"
Memang Adipati Tejolaksono dahulu telah membunuh manusia iblis itu (baca cerita Badan Laut Selatan).
"Paman, betapapun juga, aku adalah saudara Endang Patibroto. Kalau engkau gagal menolongnya, barangkali aku yang akan dapat menolongnya!"
"Benar uuhh, benar nah, dengarlah orang muda."
Kakek itu bukan lain adalah Ki Brejeng, bekas anak buah Dibyo Mamangkoro.
Seperti telah kita ketahui di bagian depan cerita ini, Ki Brejeng telah menjadi anak buah Raden Sindupati pemimpin pasukan Blambangan dan telah ikut menjalankan siasat membujuk dan mempengaruhi Endang Patibroto sehingga wanita yang bernasib malang itu terbujuk ikut dengan rombongan itu ke Blambangan.
Ketika rombongan tiba di lembah Sugai Menjangan, malam telah tiba dan mereka membuat pesanggrahan darurat di situ. Malam harinya, Raden Sindupati yang tak dapat menahan lagi nafsu hatinya yang sudah tergila-gila akan kecantikan Endang Patibroto, diam-diam dibantu oleh beberapa orang anak buahnya hendak menyergap wanita itu dengan menggunakan racun memabukkan dalam makanan yang dihidangkan kepada wanita itu.
Akan tetapi, Ki Brejeng yang merasa sayang kepada murid bekas junjungannya, tahu akan hal ini dan segera mencegahnya. Dia diam-diam masih amat setia kepada Dibyo Mamangkoro dan karena itu setia pula kepada Endang Patlbroto. Biarpun ia mau diajak menipu Endang Patibroto, namun diam-diam ia selalu memasang mata dan bersiap melindungi puteri yang dikasihinya ini.
"Demikianlah, raden aku mengganti makanan yang disuguhkan gusti puteri sehingga usaha keji Raden Sindupati itu tak berhasil. Akan tetapi mereka mengetahui perbuatanku ini maka ketika malam itu aku tidur, mereka menyergap. Sia-sia aku melawan. Mereka sakti dan akhirnya aku roboh tertikam kerisku sendiri yang terampas oleh Raden Sindupati,. Setelah sadar, aku mendapatkan diriku di dalam sumur sampai tiga hari tiga malam. Kebetulan kau dapat menolongku keluar ".
Adipati Tejolaksono terkejut dan diam-diam ia makin kagum. Kakek ini hebat sekali. Terluka begitu parah masih dapat bertahan untuk hidup selama tiga hari tiga malam di dasar sumur!.
"Akan tetapi, paman. Mengapakah paman Brejeng berada dalam rombongan Sindupati dan mengapa pula Endang Patibroto ikut bersama kalian?".
Dengan napas terengah-engah Ki Brejeng menceritakan riwayatnya, kemudian ia mulai menceritakan semua peristiwa yang terjadi, semua siasat Blambangan yang mempergunakan Wiku Kalawisesa untuk menyebar maut di antara para ponggawa kedua kerajaan dan betapa siasat itu selanjutnya menimpakan kesalahan di pundak Endang Patibroto, menyebar desas-desus kemudian betapa Enbang Patibroto tertipu oleh penuturan Wiku Kalawisesa untuk mengadu domba dia dengan Pangeran Darmokusumo.
Adipati Tejolaksono terheran-heran dan bukan main marahnya mendengar semua siasat jahat Blambangan itu.
"Demikianlah dia dia terbujuk ikut ke Blambangan dan dan ah, nasibnya tentu tertimpa bencana hebat di sana.. aku... aku tak berhasil aaaahhhhh!"
Tubuh tinggi besar itu mengejang lalu lemas dan habislah riwayat Ki Brejeng karena nyawanya telah meninggalkan badannya.
Adipati Tejolaksono bangkit berdiri, mengepal tinju. Tak salah dugaannya. Blambangan yang berdiri di belakang semua peristiwa di Jenggala dan Panjalu itu, dan Endang Patibroto yang menjadi korban. Ia menyesal sekali mengapa Ki Brejeng keburu tewas sehingga ia tidak dapat bertanya lebih jelas. Ia tidak tahu bagaimana jadinya dengan Pangeran Panjirawit, Endang Patibroto.
Dalam erita yang singkat dan terputus-putus tadi, Ki Brejeng tidak menyebut-"nyebut.nama Pangeran Panjirawit dan dia sendiri yang pikirannya penuh dengan Endang Patibroto tidak ingat pula untuk menanyakannya.
Kalau Endang Patibroto terkena bujukan orang-orang Blambangan, ia masih dapat menerimanya karena ia tahu bahwa Endang Patibroto yang tentu marah sekali karena dituduh melakukan pembunuhan-pembunuhan itu kemudian diadu domba dengan fihak Panjalu, tentu marah kepada kedua kerajaan itu dan mudah dihasut oleh orang Blambangan.
Akan tetapi, mengapa Pangeran Panjirawit tidak mencegahnya? Tentu pangeran itu tidak sudi melakukan pengkhianatan, tidak sudi bersekutu dengan Blambangan. Apakah pangeran itu tidak bersama Endang? Kalau begitu, ke mana gerangan perginya setelah berhasil diselamatkan Endang Patibroto dari dalam penjara?
"Tidak perlu bingung, paling perlu mengejar dan menyusul ke Blambangan!"
Pikirnya.
"Endang Patibroto harus ditolong, kemudian bersama wanita itu datang menghadap kedua kerajaan untuk memberi laporan tentang keadaan sebenarnya yang telah terjadi."
Setelah berpikir Adipati Tejolaksono menggali sebuah lubang dan mengubur mayat Ki Brejeng. Ia melakukan hal ini karena mengingat akan jasa dan budi Ki Brejeng terhadap Endang Patibroto.
Setelah selesai, menjelang pagi ia melanjutkan perjalanan. Ke Blambangan.
Endang Patibroto merasa menyesal dan kecewa sekali mendengar penuturan Raden Sindupati bahwa Ki Brejeng semalam telah melarikan diri.
"Memang selama di Blambangan, dia selalu gelisah dan agaknya tidak kerasan. Dia yang sejak dahulu suka hidup bertualang dan bebas, agaknya tidak tahan hidup bermalas-"malasan di Blambangan. Hanya karena ia merasa berhutang budi kepada Gusti Adipati Blambangan sajalah agaknya yang membuat kakek itu segan meninggalkan pekerjaannya. Akan tetapi, semenjak ia ikut bersama rombongan kami, makin tampak sifatnya yang suka akan alam bebas. Semalam, betapapun kami berusaha mencegahnya, ia tetap tidak mau mendengar dan melarikan diri. Kami tidak dapat menahannya dengan paksa. Kasihan orang tua itu, kalau memang dia ingin hidup bebas, biarlah,"
Demikian antara lain keterangan Raden Sindupati kepadanya.
Endang Patibroto dapat menerima keterangan ini karena iapun mengenal watak seorang bekas anak buah gurunya seperti Ki Brejeng itu. Akan tetapi, sedikit banyak kepergian Ki Brejeng mempengaruhi hatinya, membuat ia kurang senang.
Namun, karena ia harus membalas dendam hatinya kepada Kerajaan Jenggala dan Panjalu, ia harus mencari sekutu dan untuk menghadapi kekuatan barisan kedua kerajaan itu, maka Kadipaten Blambangan merupakan sekutu yang baik.
Selama dalam perjalanan, Raden Sindupati memperlihatkan sikap yang amat baik, sopan dan menghormat kepadanya sehingga senang juga hati Endang Patibroto. Ia mengambil keputusan bahwa kalau Adipati Blambangan kurang baik sikapnya, masih belum terlambat baginya untuk pergi dari Blambangan dan menuntut balas seorang diri saja.
Akan tetapi, ternyata bahwa Adipati Blambangan menyambut kedatangannya dengan sikap yang amat baik.
Adipati itu seorang tinggi besar, mukanya penuh cambang bauk, kedua lengannya yang kuat dan besar itupun penuh rambut yang panjang seperti lengan monyet besar. Matanya lebar-lebar dan suaranya parau kasar, suka tertawa akan tetapi sikapnya yang kasar itu malah menyenangkan hati Endang Patibroto, mengingatkannya kepada mendiang gurunya, Dibyo Mamangkoro.
Adipati Blambangan itu bernama Adipati Menak Linggo, dahulunya seorang adipati-yang diangkat oleh raja di Bali, akan tetapi yang kemudian memberontak dan berdiri sendiri tidak mengakui kedaulatan Raja Bali maupun Kerajaan Jenggala dan Panjalu.
(Lanjut ke Jilid 07)
Perawan Lembah Wilis (Seri ke 04 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
Berkali-kali Kerajaan Bali mengirim pasukan untuk menyerang, namun selalu dipukul mundur oleh barisan Kadipaten Blambangan yang kini menjadi kuat dan memiliki banyak panglima-"panglima yang sakti.
Adipati Menak Linggo yang tinggi besar dan tubuhnya penuh bulu itu memiliki kekuatan yang dahsyat.
Kabarnya, ketika gajah putih Dwipangga Seta yang didapatnya sebagai hadiah dari barat pada suatu hari mengamuk, kepalan tangan kanan Adipati Menak Linggo inilah yang menundukkannya, dengan sekali pukulan membikin pecah kepala gajah yang mengamuk itu sehingga tewas seketika! Di samping tenaganya yang dahsyat, adipati ini wataknya keras dan dengan tangannya sendiri, ponggawanya yang bersalah akan dipukulnya mati sekali pukul! Akan tetapi, di samping kekerasan terhadap yang salah, adipati ini terkenal royal dan pandai mengambil hati ponggawa-ponggawa yang pandai dan berjasa sehingga para ponggawa yang pandai suka mengabdi kepadanya.
Sebagai contoh akan keroyalannya, karena melihat kesetiaan dan kepandaian Raden Sindupati, ia tidak saja membiarkan Raden Sindupati bermain gila dengan selir-selirnya yang cantik-"cantik dan banyak jumlahnya, bahkan ia menyerahkan seorang di antara puteri-puteri selirnya yang baru berusia lima belas tahun untuk diselir oleh Raden Sindupati yang tak pernah mempunyai isteri.
Banyak sekali senopatl-senopati yang sakti mandraguna dan pandai memimpin tentara bekerja di Blambangan. Selain Raden Sindupatl yang selain sakti juga amat pandai bersiasat dan dua bersaudara Klabangkoro dan Klabangmuko yang kuat dan setia, masih terdapat banyak senopati-senopati yang sakti, di antaranya yang paling menyolok adalah Ki Patih Kalanarmodo, Patih Blambangan yang masih tunggal guru dengan Adipati Menak Linggo.
Kalau sang adipati berusia lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar, ki patih ini usianya lebih tua lima tahun, tubuhnya tinggi kurus dan kelihatan seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi kalau orang , sudah menyaksikan tandangnya (sepak terjangnya), dia akan terkejut sekali.
Ki patih ini adalah seorang yang amat ahli dalam air. Ia pandai berenang seperti seekor ikan hiu, kuat sampai lama sekali menyelam dalam air dan pandai mengatur barisan yang bergerak di atas perahu-perahu.
Berkat kepandaian ki patih inilah maka beberapa kali barisan Bali yang menyerang melalui laut, selalu mengalami kegagalan. Selain ahli dalam hal itu, juga ki patih ini memililki tubuh yang licin seperti belut. Kabarnya, dia tidak dapat dibelenggu, tidak dapat dirantai.
Betapapun kuat orang merantai dan mengikatnya, tubuhnya yang licin seperti belut itu pasti akan dapat terlepas dalam waktu singkat
Orang ke dua yang terkenal sekali dalam barisan senopati Blambangan adalah Mayangkurdo Senopati Blambangan ini adalah seorang peranakan Bali, tubuhnya besar sekali akan tetapi pendek sehingga kelihatan persegi empat! Kekuatannya amat mengagumkan dan selain kuat, iapun kebal tidak termakan senjata tajam dan runcing.
"Huah-hah-ha-ha-ha! Bagus, bagus! Aaahh, wong denok ayu yang gagah perkasa! Endang Patibroto yang. sakti -manraguna! Aha, sudah lama sekali aku mendengar tentang dirimu yang amat mengagumkan! Bagus, andika suka datang bersama Sindupati senopatiku yang setia. Bagus sekali! Sudah kudengar pelaporan juru berita tentang malapetaka yang menimpa dirimu. Waaahhh! Memang Raja Jenggala itu seorang manusia tak berjantung! Tega membunuh putera sendiri dan menjatuhkan fitnah keji kepada seorang puteri mantu yang begini denok, begini perkasa! Keparat! Dan apa pula itu Raja Panjalu! Halus mulus seperti wanita! Tidak patut! Tidak patut! Harus dihancurkan Jenggala dan Panjalu, dibuminhanguskan disamaratakan dengan bumi. Eh, sang puteri, Endang Patibroto. Katakanlah, apa kehendakmu sekarang setelah andika menghadap di depanku, heh?"
Ucapan sang adipati ini kasar sekali, akan tetapi Endang Patibroto sudah biasa dengan sikap dan ucapan kasar. Gurunya dahulu, Dibyo Mamangkoro, lebih kasar daripada adipati ini. Dahulu, dalam pergaulannya dengan gurunya dan anak buah gurunya, semua laki-laki itu kasar dan tidak sopan, akan tetapi di dalam kekasaran mereka itu ia melihat suatu keindahan, yaitu keindahan daripada sikap jantan yang terus terang dan jujur polos! Karena itulah maka kini ia menilai sang adipati dengan kesan yang baik pula, menganggap bahwa Adipati Menak Linggo inipun tentu seorang kasar yang jujur! Endang Patibroto sama sekali tidak tahu bahwa kekasaran sikap seorang laki-laki tidak dapat dijadikan ukuran bahwa ia jujur dan setia! Ia sama sekali tidak tahu, bahkan mendugapun tidak bahwa di balik kekasaran watak Sang Adipati Blambangan ini tersembunyi kecerdikan dan kepalsuan yang mengerikan!
Teringat akan persamaan watak adipati ini dengan gurunya, Endang Patibroto tersenyum. Disebut wong denok ayu oleh seorang bersikap seperti ini tidaklah menyakitkan hati, bahkan menyenangkan karena ia tahu bahwa di balik sebutan yang amat bebas dan berani ini tidak tersembunyi maksud buruk. Andaikata orang lain yang menyebutnya demikian, dengan sikap mencumbu atau berkurang ajar, tentu tanpa banyak cakap lagi ia akan turun tangan menghajarnya, mungkin membunuhnya!
"Adipati Menak Linggo, hatikupun lega melihat dan bertemu denganmu. Kau bertanya tentang kehendakku datang ke Blambangan dan bertemu denganmu? Sudah jelas dan agaknya Raden Sindupati sudah menyampaikan pelaporan kepadamu bahwa aku ingin sekali membalas dendam atas kematian suamiku dan atas pencemaran nama baikku. Karena itu, mendengar bahwa engkau berhasrat hendak menyerang Jenggala, maka aku ingin bekerja sama denganmu. Aku ingin menjadi senopati jika bala tentaramu menyerang Jenggala."
"Huah-ha-ha-ha-ha! Hebat engkau! Hebat sekali! Siapa menyangka bahwa dalam tubuh yang denok ayu, di balik wajah yang cantik jelita, seperti Dewi Sri, bersembunyi semangat yang membara! Bagus, bagus! Mulai saat ini, anggaplah dirimu sendiri sebagai senopatiku! Ha-ha-ha-ha! Di mana di dunia ini ada seorang adipati yang mempunyai seorang senopati begini hebat, begini bahenol (denok)? Eh, senopatiku yang denok, tahukah engkau syarat menjadi senopati?"
"Adipati, di waktu aku baru berusia belasan tahun, aku sudah pernah menjadi senopati Kerajaan Jenggala! Tentu saja syarat seorang senopati harus pandai mengatur barisan, harus memiliki kesaktian dan keberanian, dan harus setia."
Tentu saja Sang Adipati Menak Linggo tahu akan kesemuanya itu. Ia tahu betul siapa wanita di depannya ini.
Tahu bahwa wanita sakti inilah yang menggegerkan Kerajaan Jenggala dan Panjalu. Wanita inilah yang membunuhi orang orang perkasa, dan yang amat menyakitkan hatinya adalah terbunuhnya pamannya, yaitu Bhagawan Kundilomuko di tangan wanita ini! Akan tetapi semua ini hanya terkandung di dalam hati Sang Adipati Menak Linggo, sedangkan pada wajahnya yang penuh cambang bauk itu tidak tampak sesuatu kecuali ketawa riang gembira.
"Heh-heh, bagus-bagus! Memang ltulah syaratnya, akan tetapi bagaimana aku tahu bahwa kesaktianmu yang tersohor luar biasa itu benar-benar dapat mengatasi semua senopatiku? Ha-ha-ha, ketahuilah, Endang Patibroto senopatiku, di Blambangan ini aku mempunyai banyak sekali senopati yang sakti mandraguna! Dan perang terhadap Jenggala dan Panjalu adalah perang besar yang tidak ringan. Aku sendiri harus maju dan tentu saja yang menjadi senopati beryuda (berperang) harus yang terbaik di antara semua senopatiku!"
Merah kedua pipi yang halus seperti lilin itu. Endang Patibroto yang masih berdiri di depan Adipati Menak Linggo yang duduk, kini menyapu ruangan paseban itu dengan pandang matanya. Ia memandang setiap orang yang hadir, yang duduk bersila di atas lantai.
Mereka yang bertemu pandang dengan mata Endang Patibroto, melihat sinar mata yang tajarn seperti ujung keris pusaka, yang mengandung cahaya panas berahi, yang amat berwibawa dan yang jelas membayangkan keberanian yang mengerikan.
Banyak di antara para ponggawa yang hadir, tak dapat lama-lama menentang pandang mata seperti itu, ada yang menunduk, dan ada pula yang memaksa bertahan untuk akhirnya berkedip-kedip!
"Adipati Menak Linggo! Untuk membuktikan kesanggupanku, aku bersedia melayani semua senopatimu untuk bertanding kedigdayaan!"
"Huah-hah-hah-hah!"
Adipati Menak Linggo menoleh ke kanan kiri, memandangi para senopatinya. sambil terkekeh"kekeh.
"Para senopatiku ditantang! Ditantang bertanding kedigdayaan oleh seorang wanita cantik jelita! Hah-ha-ha"ha, apakah ini tidak menggelikan? Hayo, siapa yang berani??"
Seorang di antara para senopati Blambangan itu adalah seorang yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, wajahnya tampan, tubuhnya sedang akan tetapi wajahnya agak pucat dan matanya kemerahan penuh nafsu berahi.
Pemuda ini seorang senopati yang terkenal pandai bermain panah, namanya Haryo Baruno. Di samping ahli bermain panah, juga dia seorang ahli bermain asmara! Semacam Raden Sindupati akan tetapi lebih parah lagi.
Kalau Raden Sindupati mencari korban nafsunya di antara para puteri, adalah Haryo Baruno ini begitu mata keranjangnya sehingga siapa saja, asal dia wanita masih muda dan tidak cacad, tentu tidak terlepas daripada incaran dan godaannya.
Semenjak tadi ia melihat tubuh belakang Endang Patibroto dan jantungnya sudah jungkir-balik tidak karuan. Berkali"kali kalamenjingnya bergerak turun naik ketika ia menelan ludah saking besarnya dorongan hasrat dan gairah nafsu berahinya. Baru melihat bentuk pinggul itu saja, ia sudah tergila-gila, apalagi ketika Endang Patibroto memutar tubuh dan tampak wajahnya.
Haryo Baruno melongo dan pandang matanya seakan hendak menelan Endang Patibroto bulat-bulat! Ia baru sekali ini melihat dan mendengar nama Endang Patibroto maka tentu saja akan kesaktian yang dipuji-puji setinggi langit oleh Adipati Menak Linggo, ia sama sekali tidak memandang sebelah mata. Kini, begitu melihat kesempatan untuk mempermainkan Endang Patibroto seperti yang biasa ia lakukan terhadap setiap wanita, berkatalah ia cepat-cepat sebelum lain orang ada yang mendahuluinya,
"Gusti adipati, hamba rasa amatlah sayang kalau kulit yang begitu halus menjadi lecet dalam bermain yuda! Hamba berani menantangnya mengadu kelincahan. Kalau dia dapat mengelak semua usaha hamba untuk memeluk dan menciumnya, hamba akan mengaku kalah dan tidak berkeberatan dia menjadi senopati perang, yaitu setelah lima kali hamba menubruknya. Akan tetapi, kalau sampai dapat terpeluk dan tercium oleh hamba sang dewi yang jelita ini harus menemani hamba, tidur selama..
aaauuuuggghhh...!!! "
Tahu-tahu tubuh Haryo Baruno terlempar sampai menabrak dinding ruangan itu dan ketika tubuhnya terbanting ke atas lantai, darah mengalir dari telinga, mulut, hidung dan mata.
Kepalanya telah pecah dan tewas seketika!
Semua orang melongo, terbelalak dan kaget sekali. Mereka tadi hanya melihat tubuh Endang Patibroto bergerak ke arah Haryo Baruno dan tangan kanan wanita itu bergerak menghantam.
Tahu-tahu senopati muda itu telah terlempar dan tewas dalam keadaan begitu mengerikan.
Bahkan Adipati Menak Linggo sendirl merasa kaget dan ngeri. Bukan main hebatnya wanita ini. Pantas saja pamannya yang sakti, Bhagawan Kundilomuko, tewas di tangan wanita ini. Juga sekutu utusannya, Sang Wiku Kalawisesa juga tewas di tangannya!
"Eh hoh-hoh kenapa.. Kenapa kau membunuh seorang senopatiku begitu saja di hadapanku, Endang Patlbroto?"
Baru sekali ini sejak tadi sang adipati tidak tertawa, mukanya yang penuh cambang bauk itu kemerahan, matanya melotot lebih lebar lagi dan air ludahnya muncrat-muncrat ketika ia menegur.
Endang Patibroto yang tadi menghajar mampus Haryo Baruno dengan gerak Bayu Tantra dilanjutkan pukulan Pethit Nogo kemudian secepat kilat melayang kembali ke tempatnya yang tadi, perlahan-lahan memutar tumit kakinya menghadapi sang adipati.
Bibir yang manis itu tersenyum dan orang yang sudah mengenal watak Endang Patibroto sebelum menjadi isteri Pangeran Panjirawit, senyum ini amat mengerikan. Makin manis senyum Endang Patibroto seperti itu, makin berbahayalah dia karena senyum ini menyembunyikan gelora hati yang marah!.
"Adipati Menak Linggo, maafkan kalau aku telah mengotori ruangan persidanganmu, akan tetapi aku tidak bisa membiarkan seorang macam dia menghinaku. Siapapun orangnya, kalau berani mengucapkan kata-kata kotor menghina seperti itu kepadaku, tentu akan kubunuh, di manapun ia berada dan bilamanapun!"
Adipati Menak Linggo termenung sebentar, mengerutkan alisnya yang tebal sekali, kemudian bertanya,
"Kalau ada senopati hendak mengujimu, apakah kaupun akan turun tangan membunuhnya?"
Endang Patibroto menggeleng kepala.
"Tentu saja tidak. Bertanding mengadu kedigdayaan bukanlah pertandingan mengadu nyawa. Penghinaan berbeda lagi, harus dibalas dengan kematian. Sampai di mana harga diri seorang wanita kalau membiarkan dirinya diperhina laki-laki seperti yang dikeluarkan dari mulut laki-laki keparat itu tadi?".
Adipati Menak Linggo mengangguk-angguk, kemudian sudah menyeringai tertawa lagi, menggerakkan tangan kepada para pengawal,
"Sudah, lekas bawa keluar mayat itu!"
Para senopati yang hadir di situ diam-diam menjadi marah sekali terhadap Endang Patibroto.
Kemarahan yang tadinya timbul oleh rasa iri hati menyaksikan betapa junjungan mereka memuji-muji dan menghormat Endang Patibroto secara berlebihan.
Semua senopati menghadap sambil duduk di lantai, akan tetapi wanita ini berdiri saja dan sama sekali tidak menghormat Adipati Menak Linggo.
Kemarahan mereka makin menjadi oleh pembunuhan yang dilakukan Endang Patibroto terhadap Haryo Baruno.
Akan tetapi, melihat kesaktian yang mengerikan itu, sebagian besar para senopati sudah kuncup hatinya, hilang keberaniannya untuk menentang wanita sakti itu.
"Huah-ha-ha-hal Kehebatanmu membuat hati laki-laki menjadi kecil, Endang Patibroto. Eh, Mayangkurdo, apakah engkau juga tidak berani menguji kedigdayaan Endang Patibroto?"
Mayangkurdo mengangkat mukanya, memandang kepada Endang Patibroto. Senopati Blambangan berusia empat puluh tahun ini tidak pernah mengenal takut. Di dalam perang ia terkenal sebagai penyerbu terdepan dan jika pasukan terpaksa mengundurkan diri, selalu berada paling -belakang.
Dia adalah tokoh nomor dua di antara para senopati yang dikepalai oleh Ki Patih Kalanarmodo sendiri sebagai tokoh nomor satu. Kematian Haryo Baruno tadi tidak menimbulkan perasaan sesuatu dalam hatinya karena Mayangkurdo menganggap Haryo Baruno sebagai seorang bawahan yang tiada artinya.
Dan di antara para senopati, yang tahu bahwa Endang Patibroto ini sebetulnya musuh besar sang adipati yang harus dibunuh, mengerti pula bahwa sang adipati menggunakan siasat halus, hanyalah Ki Patih Kalanarmodo, Mayangkurdo, dan Raden Sindupati bersama tangan kanannya, yaitu kakak beradik Klabangkoro dan Klabangmuko. Oleh karena itulah maka ia tidak merasa iri hati menyaksikan betapa Adipati Menak Linggo memuji-muji Endang Patibroto.
"Hamba bersedia untuk menguji kesaktian wanita perkasa Endang Patibroto!"
Katanya, maklum bahwa sang adipati selain hendak menyuruhnya menguji kesaktian, juga kalau mungkin membunuh wanita ini
"Ha-ha-ha, bagus sekali, Mayangkurdo. Memang engkaulah yang pantas menandingi Endang Patibroto!"
Kata sang ,adipati girang.
Ruangan persidangan itu cukup luas untuk bertanding ilmu dan para senopati sudah mundur untuk memberi tempat yang luas bagi kedua orang yang hendak mengadu ilmu.
Endang Patibroto tersenyum, memandang calon lawannya dengan sinar mata penuh selidik.
Melihat bentuk tubuh orang itu, ia dapat menduga bahwa Mayangkurdo memilild tenaga yang amat besar, dan sikap orang ini yang tenang, pandang matanya yang tajam juga membayangkan kekuatan dalam yang tak boleh dipandang ringan. Namun tentu saja ia tidak takut dam sambil tersenyum ia berkata kepada calon lawannya,
"Majulah, Mayangkurdol"
"Baiklah, Endang Patibroto, kau hati-hatilah akan seranganku!"
Kata pula Mayangkurdo yang sudah menyembah sang adipati kemudian sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat dan berhadapan dengan Endang Patibroto.
Mayangkurdo sudah memasang kuda-kuda. Kedua kakinya bersilang, lutut ditekuk sedikit sehingga tubuhnya yang pendek menjadi makin rendah, tangan diangkat melengkung melindungi kepala, tangan kanan dengan jari dikepal ditaruh di depan dada kiri, sebagian mukanya terhalang oleh lengan kiri dan sepasang matanya mengintai lawan dari bawah lengan kiri itu.
Kuda-kudanya ini amat kuat dan kedudukan kedua lengannya merupakan perisai yang setiap saat dapat bergerak menangkis, akan tetapi juga mudah dirubah untuk menjadi gerak serangan dari atas dan bawah. Karena tubuhnya pendek, maka kuda-kuda inipun merupakan kuda-kuda segi empat yang kokoh kuat. Lawan akan sukar mencari lowongan atau sasaran yang mudah "dimasuki".
Melihat kuda-kuda lawan ini, Endang Patibroto diam"diam memuji. Orang ini bertenaga kuat dan agaknya sudah menduga akan kesaktiannya maka memasang kuda-kuda yang menitikberatkan kepada pertahanan itu. Karena tidak mau gagal Endang Patibroto tidak tergesa-gesa.
Pertandingan kali ini adalah pertandingan untuk menguji kedigdayaan, bukan perkelahian merebut kemenangan dengan taruhan nyawa. Kalau dalam perkelahian, ia tidak akan berlaku terlalu sungkan atau mengalah, tentu sudah digempurnya dengan gerak cepatnya, seperti yang telah ia lakukan pada diri Haryo Baruno tadi.
Kemenangan sekali ini harus ia dapatkan tanpa membunuh lawan, paling-paling hanya merobohkan dan melukainya tanpa membahayakan keselamatan nyawa.
Maka iapun lalu memasang kuda-kuda yang amat indah dipandang. Indah dan gagah. Ia berdiri miring dengan lawan di sebelah kanannya. Kaki kanan diangkat dengan paha lurus kedepan, lutut ditekuk, kaki lurus ke bawah. Kaki kiri tegak dan teguh. Lengan kanan diangkat, tangan kanan dengan jari-jari terbuka dan dikembangkan menghadap musuh, telapak tangan di atas dengan ibu jari ditekuk ke dalam. Tangan kiri dikepal, menempel di siku kanan. Matanya melirik ke kanan ke arah lawan. Tubuhnya tak bergerak sama sekali, teguh dan kokoh kuat, namun indah seperti sebuah patung batu pualam, bibirnya yang merah membasah tersenyum mengejek.
Para senopati memandang tegang. Adipati Menak Linggo juga memandang penuh perhatian, mulutnya menyeringai matanya melotot, tubuhnya agak condong ke depan karena ia tidak ingin melewatkan sedikitpun gerakan pertandingan ini. Ruangan menjadi sunyi sekali, seakan tiada manusianya.
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Mayangkurdo bergerak, mula-mula yang tampak hanya getaran pundak dan betis, lalu terdengar ia berseru keras dan tubuhnya sudah menerjang maju bagaikan angin badai.
"Haaaaahhhhh!!"
Tubuhnya yang segi empat itu seperti sebuah peluru menyambar ke depan, tangan kiri mencengkeram pundak lawan, tangan kanan menyusul dengan pukulan keras sekali ke arah perut.
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo